BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengakuan Diri Seorang Gay di Dalam Lingkungan Gay (Studi Deskriftif Cafe’ Shop di Kota Medan)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

  Pada umumnya, orang-orang memiliki orientasi seksual terhadap lawan jenisnya. Seorang pria tertarik pada wanita, dan sebaliknya, wanita tertarik pada pria. Mereka disebut sebagai kaum heteroseksual. Namun, kenyataannya ada orang-orang yang orientasi seksualnya justru terarah pada sesama jenis. Mereka lebih tertarik pada orang yang berjenis kelamin yang sama dengan dirinya. Pria tertarik pada pria dan wanita tertarik pada wanita. Mereka inilah yang disebut sebagai kaum homoseksual, lesbian untuk wanita homoseksual dan gay bagi pria homoseksual (Kompas, 26 September 2006).

  Pada kenyataannya, fenomena homoseksual bukanlah hal yang baru. Hubungan ini sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Ulasan dari Wikipedia (2006) mengatakan bahwa tokoh-tokoh seperti Alexander Agung, Socrates, dan Julius Caesar dipercaya memiliki orientasi homoseksual. Selain itu, sebuah survey antropologi menemukan bahwa 50% suku bangsa yang ada di dunia mempraktekkan dan melembagakan homoseksualitas, meskipun masih belum dapat diterima di sebagian besar budaya yang berkembang saat ini, termasuk di Indonesia. Akibatnya, masih banyak kaum homoseksual yang tidak berani menunjukkan jati diri mereka.

  Juliastuti (2000), seorang pemerhati kaum gay, dalam esainya melaporkan bahwa sejak peristiwa Stonewall tahun 1968 tentang pembangkangan kaum homoseksual untuk memperjuangkan hak-haknya, menghasilkan gerakan yang

  1 nyata bagi kaum homoseksualitas untuk lebih menyatakan keberadaan mereka, tidak lagi takut takut dan bersembunyi dalam mengungkapkan orientasinya.

  Kajian-kajian dengan topik homoseksual juga berkembang dengan pesat dan mulai bermunculan komunitas-komunitas homoseksual seperti GAYa Nusantara atau Lambda Indonesia, yang menyuarakan hak-hak mereka sekaligus sebagai wadah berkumpul dan berbagi pengalaman. Sampai saat ini, keberadaan kaum homoseksual sudah menjadi rahasia umum. Bahkan di beberapa negara seperti Kanada dan Belanda telah mengesahkan pernikahan pasangan sejenis (http://kunci.or.id/esai/nws/05/gay.htm, 2000).

  Banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis. Masters dan Johnson (1979, dalam Caroll, 2005) mengemukakan teori behavioral tentang homoseksual dan menganggapnya sebagai perilaku yang dipelajari, sebagai akibat dari reward atau reinforcement yang menyenangkan atau hukuman atau reinforcement negatif dari perilaku homoseksualnya. Selama masa dewasa, pria dan wanita bergerak menuju perilaku sesama jenis jika mereka memiliki hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang menyenangkan. Sementara itu, Bem (1996, dalam Carroll, 2005) mengatakan bahwa adanya variabel biologis memberi kontribusi terhadap tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi preferensi anak terhadap kegiatan sex-typical atau sex-atypical dan teman sebayanya, yang mengarah pada munculnya orientasi homoseksual.

  Teori exotic-becomes-erotic yang dikemukakan oleh Bem (1996) mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman jender sejenis sebagai lebih eksotis, atau berbeda, daripada dengan lawan jenis. Artinya ketika kita merasa nyaman berhubungan dengan teman sesama jenis, kita telah memutuskan untuk memilih orientasi seksual yang ingin kita jalankan. Hal ini terungkap saat penulis berkomunikasi dengan Budi, seorang gay berusia 48 tahun (bulan Oktober 2007):

  “Saya tidak pernah berhubungan seks dengan wanita. Saya tidak pernah suka dengan wanita sejak kecil. Tidak tahu kenapa. Tapi saya rasa pria lebih tahu bagaimana memuaskan pria.” (komunikasi personal Oktober 2007)

  Mereka yakin bahwa menjadi gay adalah pilihan hidupnya. Bagi Andi, menjadi gay itu adalah pilihan sebagaimana yang diungkapkan berikut ini: "Hidup itu pilihan, gue pengen kayak gini. Gue milih ini karena gue udah siap. Kebanyakan orang suka let it flow dan tahu-tahu mereka stuck, ’kok gue udah sejauh ini ya?’” (Boulevard's Blog June 2007.html)

  Kenyataan bahwa homoseksual merupakan pilihan masing-masing orang tidak membuat hidup sebagai seorang homoseksual sebagai sesuatu yang gampang untuk dijalankan, terutama ketika lingkungan tidak bisa menerima aktivitas yang dilakukannya (Carroll, 2005). Untuk memahami pendapat orang lain tentang homoseksual, maka pada bulan Agustus 2007 peneliti melakukan wawancara dan terungkap bahwa homoseksual belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat:

  ”Homo? Ih, aku bakal lari kalau ketemu mereka....” ”...Saya sih bisa menerima mereka, tapi yang penting mereka tidak menyukai suami saya. Hahaha....” (komunikasi personal/Agustus, 2007) Bagi kebanyakan orang, menemukan bahwa identitas diri sebagai homoseksual dapat menyakitkan dan membingungkan, seperti terungkap dalam kutipan berikut:

  “Here I was, with a good job, close friends who I know would not abandon me when they learned I was gay. I had many gay friends, so I had support network.

  My family is open, so I wasn’t worried about them rejecting me. And still, I cried myself to sleep every night and woke up each morning feeling like I had been kicked in the solar plexus.” (Carroll, 2005:hlm. 330)

  Orang tersebut, yang memiliki segala dukungan dan kelebihan dalam hidupnya, masih mengalami kesulitan dan kebingungan. Kesulitan yang lebih banyak akan dialami oleh orang-orang yang merasa akan ditolak oleh keluarga dan teman temannya (Carroll, 2005).

  Ada dua istilah utama dalam wacana homoseksual modern, yaitu: ”closet”(kloset, tertutup) dan “coming out” (keluar). Istilah ’kloset’ mengacu pada individu yang masih menyimpan jati dirinya sedangkan istilah

  “coming out” merujuk pada individu yang telah terbuka kepada publik mengenai homoseksualitasnya. Kategori “kloset” digambarkan sebagai orang-orang yang menjalani hidupnya dengan kepalsuan, tidak bahagia, dan tertekan oleh posisi sosial yang diterima dari masyarakat. “Kloset” kemudian bermakna strategi pertahanan yang dibuat untuk menghadapi norma-norma masyarakat heteroseksual di sekitarnya (http://kunci.or.id/esai/nws/05/gay.htm, 2000).

  Memutuskan untuk mengungkapkan jati diri bukanlah hal yang bersifat sementara karena dengan demikian, seorang homoseksual harus memiliki kema mpuan “manajemen informasi” seumur hidup, menyediakan alasan yang berbeda bagi keluarga, teman, dan orang lain dalam konteks yang berbeda (Cain, 1991) seperti dalam kutipan berikut:

  “I developed crushes on female classmates but felt so ashamed that I would cry myself to sleep at night. I desperately wanted to make myself normal like the other girls. Girls and boys, were pairing off into couples and kissing at middle school parties, and kids who didn’t participate were called “faggot” and “dyke,” words that terrified me because I suspected they had something to do with who I was…. …I realized I was a lesbian but had no idea where to go…. …I worried that maybe I was the only one…. … I was as repressed as a teenager can possibly be, and I just wasn’t happy. I prayed that God would make me into someone “normal” that no one would hate…. … I didn’t want to be different, or hated, or bashed

  • – I wanted to be invisible…. … I swallowed a bottle of Tylenol 4 with codeine, and waited to die…. … I knew that I wanted to come out, but I was terrified that it would kill my parents.” (Carroll, 2005:hlm. 342)

  “Saya akui bahwa saya memang punya kecenderungan menyukai sesama jenis. Saya punya teman akrab seorang lelaki yang sudah menikah. Hampir setiap hari kami jalan bersama. Dia berbadan gemuk. Setiap saya jalan dengan dia dan kebetulan kulit kami bersentuhan, saya langsung ereksi. Sepertinya ia menikmatinya juga. Begitu pun bila jalan ke mal, saya suka melihat pria berbadan gemuk, tetapi saya tidak berniat untuk berhubungan badan dengan mereka.

  Karena kuatnya keinginan untuk menepis perasaan yang menyimpang ini saya memutuskan sepihak pertemanan dengan sahabat saya itu. Saya takut rasa ini berlarut-larut dan susah untuk dihilangkan. Anehnya, saya malah tersiksa karena saya semakin rindu dengannya. Pertanyaan saya, apakah saya bisa diobati? Saya ingin membangkitkan kembali rasa yang dulu ada ketika pertama kali berhubungan intim dengan pacar dan ingin melenyapkan perasaan suka sesama jenis ini!” (Homoseksual Jangan Menikah « seksfile.htm, 2014).

  Lesbian atau gay yang berusia dewasa biasanya lebih terbuka pada teman- temannya daripada pada keluarganya. Namun, kebanyakan homoseksual mengalami penolakan oleh teman-teman mereka yang memiliki orientasi heteroseksual. Pada sebuah studi y ang dilakukan oleh D’Augelli & Herschberger

  (1993); Remafedi (1987), ditemukan bahwa 46% pemuda-pemudi gay dan lesbian mengatakan bahwa mereka kehilangan teman setelah membeberkan orientasi seksual mereka (Carroll, 2005).

  Ditemukan bahwa homoseksual yang ditolak oleh orang tuanya mengalami peningkatan isolasi, kesepian, depresi, bunuh diri, homelessness, prostitusi dan infeksi yang ditularkan secara seksual (Armesto, 2001 dalam Carroll, 2005). Resiko mengalami kecemasan, depresi, dan gangguan psikiatris lainnya lebih tinggi dialami oleh kaum homoseksual daripada heteroseksual (Cochran, 2001 dalam Carroll, 2005).

  Takut orientasi seksualnya diketahui orang lain, terutama oleh orang tua, juga dialami oleh seorang homoseksual bernama Anto (bukan nama sebenarnya), 32 tahun, saat peneliti berkomunikasi dengannya.

  ”Ada sih, beberapa teman dekat yang tahu. Tapi kalau bisa jangan semua orang tahu, apalagi orang tua. Gimana ya, mereka pasti pengen anaknya bisa berkeluarga.... ...Kalau ketahuan bisa berabe lah. Tapi untung mereka sekarang ada di Jakarta, jadi mereka tidak tahu apa yang saya lakukan di sini.” (komunikasi personal/Agustus 2007)

  Keinginan bunuh diri juga tercermin dalam kutipan berikut ini: “Please help me. Oh, shit, I have to talk to someone. Help me please. My feelings are turning into gnawing monsters trying to clamber out. Oh please, I want to just jump out that window and try to kill myself. Maybe I’ll get some sympathy then. Maybe they’ll try to understand I have to tell someone, ask someone. Who?!! Dammit all, would someone please help me? Someone, anyone. Help me. I’m going to kill myself if they don’t.” (Carroll, 2005 : hlm. 330)

  “Perbedaan bukanlah sesuatu yang disukai…. …saat kau berbeda, kau jadi makhluk freak, nerd, atau si homo. Saat kau berbeda, kau akan jadi sasaran bullying mereka yang mayoritas. Belum lagi jika kau berasal dari keluarga yang kurang harmonis, di mana keluarga tidak bisa jadi pilar tempatmu bersandar….. … Bayangkan betapa takutnya dirimu saat mengetahuinya. Kau tentu tidak mau dipanggil si homo, banci, lesbi, bencong, lines, atau apalah sebutan lainnya selama di sekolah, kan? Atau bahkan kau bisa dipukuli di sekolah setiap hari karena alasan bahwa dirimu “beda”. Rasa takut dan bingung itu membuat banyak remaja seakan-akan merasa berada dalam lubang hitam tergelap dalam hidupnya. Saya sendiri pernah mengalaminya. Satu kali. Berpikir untuk mengakhiri hidup agar orang tidak perlu tahu bahwa saya lesbian...

  (http://rahasiabulan.blogspot.com, 2014) Orang tua dari anak homoseksual juga mengalami kesulitan dalam pembelajaran untuk menerima orientasi seksual anak mereka. Hal ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan berpikir bahwa homoseksual sebagai sesuatu yang tidak diajarkan oleh orang tua. Orang tua dapat secara tiba-tiba merasa tidak mengenal anaknya, bahwa anak mereka adalah orang asing, atau khawatir bahwa mereka telah melakukan hal yang salah sebagai orang tua (Fields, 2001 a;Strommen,1989 dalam Carroll, 2005). Orang tua yang memiliki anak-anak gay, lesbian atau biseks cenderung bereaksi dengan kekecewaan, malu, dan terkejut ketika mengetahui orientasi seksual anaknya (LaSala, 2000, dalam Carroll 2005).

  Masa dewasa adalah waktu dimana seorang manusia mengeksplorasi dan mengeksploitasi identitas dirinya yang telah terbentuk pada tahap perkembangan sebelumnya melalui pilihannya akan gaya hidup, hubungan dan pekerjaan. Pada masa inilah biasanya seseorang memperbarui apa yang ia ketahui tentang hidup, mencapai pemahaman baru mengenai dirinya dan menentukan jalan hidup. Masa dewasa adalah ketika seorang individu menilai kembali prioritas dan nilai personal mereka yang nantinya berpengaruh pada kemampuannya untuk memperoleh cinta, kesenangan, dan rasa kebermaknaan dalam hidupnya (Corr,Nabe,Corr, 2003).

  Setiap orang, tidak terkecuali homoseksual, akan senantiasa mencari makna dalam menjalani kehidupannya karena hidup selalu memiliki makna dalam keadaan apa pun, bahkan keadaan yang paling menyedihkan sekalipun. Orang mengalami berbagai kejadian dan situasi dalam hidupnya yang selalu menawarkan kesempatan untuk memberikan makna dalam hidupnya. (Frankl, dalam Barnes 2000).

  Proses pencarian makna dimulai dengan memiliki kebebasan untuk berkehendak (freedom to will), kehendak untuk hidup bermakna (will to meaning), dan menentukan serta menemukan makna hidup (meaning of life). Manusia bukan saja mampu mengambil jarak (to detach) terhadap berbagai kondisi di luar dirinya, melainkan juga terhadap kondisi di dalam dirinya sendiri (selfdetachment).

  Kemampuan inilah yang menyebabkan manusia disebut the self determining yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan

  being

  apa yang dianggap penting dan baik bagi dirinya yang harus diimbangi dengan tanggung jawab (Bastaman, 1996).

  Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang dapat menjadi sumber makna bagi hidup dalam diri manusia, yaitu: nilai-nilai kreatif (Creative Values), nilai-nilai Pengalaman (Experiental Values), nilai-nilai bersikap (Attitudinal Values). Bastaman (2007) menambahkan satu komponen lain yang dapat menjadikan hidup ini menjadi lebih bermakna, yaitu nilai-nilai Harapan (Hopeful Values).

  Reaksi lingkungan, khususnya orangtua, dan ketakutan-ketakutan yang muncul dalam diri homoseksual dapat membuat hidupnya menjadi hampa, bosan dan tidak bertujuan. Ketika kita merasa takut tidak bisa memenuhi harapan orang lain, kita akan berusaha membatasi diri kita dalam berhubungan dengan orang lain. Konflik-konflik yang muncul akibat pilihan yang kita ambil tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan akan mempengaruhi makna hidup yang dijalani seseorang, dalam hal ini kaum homoseksual. Akibatnya, hidup mereka senantiasa berada dalam ketakutan, tidak aman, dan tidak bisa menjadi diri mereka apa adanya (Frankl, dalam Barnes, 2000).

  Bagi orang yang berada dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negative dan dipertanyakan. Sikap yang negatif akan menghasilkan perasaan hampa (vacuum) termasuk nihilsm, reductionism, dan pandeterminism. Nihilsm didefinisikan sebagai penyangkalan makna, dan karena penyangkalan ini, seseorang tidak menemukan pentingnya pencarian makna karena memang tidak ada. Reductionism melibatkan penyangkalan keinginan untuk hidup bermakna, dan karenanya percaya bahwa tidak perlu mencari makna karena tidak memiliki cara-cara untuk mencapai hidup bermakna. Pandeterminism terdiri dari kerangka berpikir yang percaya bahwa tidak perlu mencari makna hidup karena seseorang sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu, gen, dorongan-dorongan Sosiologis, dan lingkungan (Barnes, 2000).

  Keadaan sebaliknya juga mungkin terjadi. Kaum homoseksual justru menemukan makna hidupnya tanpa menjadikan orientasi seksual sebagai hambatan dalam menjalani hidup yang bermakna. Mereka menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah hidup dan jauh dari perasaan hampa. Mereka juga mempunyai tujuan hidup yang jelas dan kegiatan yang terarah. Selain itu, mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam arti menyadari batasan-batasan lingkungan, tetapi dalam batasa itu mereka tetap dapat menentukan sendiri apa yang paling baik untuk mereka lakukan. Mereka benar-benar menghargai hidup dan kehidupan, karena mereka menyadari bahwa hidup dan kehidupan itu menawarkan makna yang harus mereka penuhi (Bastaman, 1996).

1.2. Perumusan Masalah

  Berdasarkan fenomena di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana para homoseksual memaknai hidupnya mengingat mereka hidup di tengah ketakutan akan lingkungan yang memberikan penolakan dan reaksi negatif terhadap kaum homoseksual, namun tetap saja mereka bertahan?

  Bagaimana mereka mengambil sikap dalam menjalani proses pencarian maknanya?

  1.3. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai pemaknaan hidup kaum homoseksual, khususnya yang ada di kota Medan.

  1.4. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menambah khasanah dalam pembelajaran mengenai homoseksual dan memberi sumbangan bagi ilmu

  Sosiologi, khususnya Sosiologi klinis.

  2. Manfaat praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan pemahaman tentang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki kaum homoseksual dalam proses pencarian makna hidup. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran bagi kaum homoseksual dalam memaknai hidupnya.

  1.5. Sistematika Penulisan

  Laporan hasil penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

  Bab I : Pendahuluan Dalam bab ini akan disajikan uraian singkat mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan serta sistematika penulisan.

  Bab II : Landasan Teori Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Adapun teori-teori yang dimuat adalah teori-teori yang berhubungan dengan homoseksualitas dan makna hidup.

  Bab III : Metode Penelitian Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan, partisipan penelitian, lokasi penelitian, dan prosedur penelitian. Bab IV : Analisis Data dan Interpretasi Bab ini memuat deskripsi data, rekonstruksi data, analisa data, dan pembahasan. Bab V : Kesimpulan dan Diskusi Pada bab ini akan dijelaskan kesimpulan dari penelitian ini, diskusi tentang temuan selama proses penelitian dan saran yang diajukan berkaitan dengan penelitian ini.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) - Analisis Perbedaan Profitabilitas dan Pengelolaan Perusahaan Sebelum dan Sesudah Privatisasi yang Mewujudkan Good Corporate Governance (Studi Empiris Pada BUMN Sektor Te

0 3 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Perbedaan Profitabilitas dan Pengelolaan Perusahaan Sebelum dan Sesudah Privatisasi yang Mewujudkan Good Corporate Governance (Studi Empiris Pada BUMN Sektor Telekomunikasi di Indonesia)

0 0 7

Analisis Perbedaan Profitabilitas dan Pengelolaan Perusahaan Sebelum dan Sesudah Privatisasi yang Mewujudkan Good Corporate Governance (Studi Empiris Pada BUMN Sektor Telekomunikasi di Indonesia)

0 1 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peringkat Obligasi Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 2 37

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peringkat Obligasi Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 9

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peringkat Obligasi Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 3 12

Perubahan Gaya Hidup Remaja Pasca Berdirinya Wisata Hiburan Hill Park di Desa Suka Makmur Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang

0 0 20

Perubahan Gaya Hidup Remaja Pasca Berdirinya Wisata Hiburan Hill Park di Desa Suka Makmur Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang

0 0 12

Perubahan Gaya Hidup Remaja Pasca Berdirinya Wisata Hiburan Hill Park di Desa Suka Makmur Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial SOPIA WINDA KETAREN

0 0 11

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Homoseksual - Pengakuan Diri Seorang Gay di Dalam Lingkungan Gay (Studi Deskriftif Cafe’ Shop di Kota Medan)

0 1 29