BAB 15 RANCANGAN PENELITIAN ETNOGRAFIK - Bab 15 RANCANGAN ETNOGRAFIK

BAB 15 RANCANGAN PENELITIAN ETNOGRAFIK Istilah etnografi secara harfiah bermakna “menulis tentang kelompok-kelompok orang”. Dengan menggunakan rancangan kualitatif ini, anda bisa mengidentifikasi sekelompok

  

orang, meneliti mereka di dalam rumah, tempat kerja mereka, mencatat bagaimana mereka

bertingkah laku, berpikir dan berbicara serta mengembangkan gambaran umum tentang

kelompok tersebut. Bab ini mendefenisikan penelitian etnografis, mengidentifikasi ketika

anda menggunakannya, menilai karakteristik-karakteristik kuncinya, mengajukan langkah-

langkah dalam melaksanakan dan mengevaluasinya.

  Pada akhir bab ini, anda diharapkan akan mampu:  Mengdefenisikan penelitian etnografi dan mengidentifikasi ketika ia digunakan;  Membedakan antara tiga jenis rancangan penelitian etnografis;  Mengidentifikasi tema-tema kultural di dalam sebuah penelitian etnografis;  Mengidentifikasi karakteristik dari sebuah kelompok yang memiliki budaya yang sama;  Menjelaskan tipe-tipe dari pola-pola kesamaan tingkah laku, keyakinan, dan bahasa yang diteliti dalam sebuah etnografi.

   Mendeskripsikan beberapa bentuk data etnografis yang dikumpulkan melalui kerja lapangan;  Mendeskripsikan tiga komponen dari penelitian etnografi: deskripsi, tema dan interpretasi;  Mengilustrasikan aspek-aspek dari konteks yang dilaporkan di dalam etnografi;  Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan yang digunakan para etnografer untuk mendokumentasikan refleksivitas mereka;  Mengidentifikasi langkah-langkah dalam melakukan sebuah penelitian etnografi;  Mengidentifikasi kriteria yang bermanfaat untuk mengevaluasi sebuah laporan penelitian etnografis; Maria memilih untuk melakukan penelitian kualitatif etnografi untuk proyek penelitian pada pasca sarjananya. Komite Sekolah telah melakukan pertemuan berkali-kali sepanjang tahun itu dan telah menentukan cara-cara penelitiannya akan dilakukan. Sebagai seorang anggota penguji, Maria, memiliki sudut pandangan alamiah yang menguntungkan untuk mengobservasi bagaimana panitia bekerja. Ia mengamati bagaimana orang-orang bertindak, bagaimana mereka berbicara, dan bagaimana mereka berinteraksi dalam praktek keseharian seperti memulai bekerja tepat pada waktu. Maria melakukan sebuah kajian etnografis. Ia mengajukan pertanyaan ini, “Apa-apa saja keyakinan, nilai, dan sikap yang dimiliki bersama oleh komite sekolah tentang kepemilikan senjata di sekolah?” Melalui jawaban tersebut, Maria akan mendapatan pandangan yang mendalam tentang bagaimana sebuah komite sekolah bergulat dengan masalah-masalah terkait dengan senjata di sekolah.

APA YANG DIMAKSUDKAN DENGAN PENELITIAN ETNOGRAFI?

  Ethnographic design (rancangan etnografis) adalah prosedur penelitian kualitatif untuk

  mendeskripsikan, menganalisis, dan menginterpretasikan pola-pola bertingkah laku, berkeyakinan, dan berbahasa yang diyakini bersama oleh sebuah kelompok kultural tertentu yang telah bertumbuh- kembang pada jangka waku yang lama. Dalam defenisi ini yang menjadi pusatnya adalah kultur (budaya). A culture (budaya) adalah “ segala sesuatu yang berkaitan dengan tingkah laku dan keyakinan manusia” (LeCompte, Preissle, Tesch, 1993, halaman 5). Ia bisa mencakup bahasa, ritual, stuktur perekonomian dan politik, tahap-tahap kehidupan, interaksi, dan gaya berkomunikasi. Untuk bisa memahami pola-pola kelompok yang memiliki budaya yang sama ini, si etnografer biasanya menghabiskan banyak waktu “di lapangan” mewawancarai, mengobservasi, dan mengumpulkan dokumen-dokumen tentang kelompok orang yang berbudaya yang sama itu guna memahami tingkah laku, keyakinan dan bahasa mereka.

  Kapan Anda Melakukan Penelitian Etnografi?

  Anda melakukan penelitian etnografi apabila kajian tentang sesuatu kelompok memberikan pemahaman tentang sebuah isu yang lebih luas cakupannya. Anda juga melakukan penelitian etnografi ketika anda memiliki kelompok yang memiliki budaya yang sama untuk diteliti – kelompok yang sudah hidup dalam kebersamaan dalam waktu yang cukup lama dan telah tertanam dalam diri mereka masing-masing nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan bahasa yang sama. Anda menangkap “aturan-aturan” bertingkah laku, seperti hubungan-hubungan informal antara masing-masing para guru yang berkumpul di tempat-tempat favorit mereka untuk bersosialisasi (Pajak & Blase’, 1984). Kelompok yang berbudaya sama ini boleh jadi terkerangka secara sempit (seperti para guru, siswa , atau staf) atau terkerangka secara lebih luas (seperti keseluruhan sekolah dan prestasinya, inovasi, atau kekerasan). Kelompok yang berbudaya sama itu boleh jadi berbentuk keluarga, seperti pada penelitian etnografis tentang anak berusia duabelas tahun yang menderita down syndrome dan keluarganya Harry et al., 1998).

  Kelompok yang berbudaya sama itu boleh jadi merupakan reprsentasi atau ilustrasi dari proses-proses, perisitiwa-peristiwa, atau aktivitas-aktivitas yang lebih luas (seperti berpartisipasi dalam program pasca sarjana). Seting-seting kehidupan di asrama merupakan situs di mana pria sering mengeksploitasi dan menjadikan wanita sebagai korban. Dalam etnografi kritis, Rhoads (1995) meneliti budaya sebuah kehidupan berasrama dan praktek-prakteknya yang menyebabkan wanita tidak berdaya dan menjadi marginal.

  Etnografi juga bisa memberikan gambaran peristiwa keseharian yang detil, seperti pemikiran dan aktivitas-aktivitas dari sebuah komite yang bertugas mencari orang untuk dipekerjakan sebagai kepala sekolah baru (Wolcot, 1974; 1994). Anda melakukan sebuah kajian etnografi ketika anda memiliki akses yang berjangka panjang terhadap kelompok yang berbudaya sama ini sehingga anda bisa membangun rekaman yang detil tentang tingkah laku dan keyakinan mereka untuk jangka waktu tertentu. Anda boleh jadi merupakan partisipan di dalam kelompok atau cuma sebagai pengamat, akan tetapi anda mengumpulkan catatan lapangan secara ekstensif, mewawancarai banyak orang, dan mengmpulkan surat-surat dan dokumen-dokumen untuk membangun rekaman dari kelompok yang berbudaya sama tersebut.

  Bagaimana Penelitian Etnografis ini Berkembang?

  Etnografi sebagaimana dipraktekkan di dalam dunia pendidikan telah dibentuk oleh antrolopologi budaya, dengan penekanan pada isu-isu terkait dengan penulisan budaya, dan bagaimana laporan-laporan etnografis perlu dibaca dan difahami saat ini. Faktor- faktor ini merupakan jantung bagi pemahaman praktek-praktek terkini dalam etnografi (misanya Bogdan & Biklen, 1998: Denzin, 1997: LeCompte et al., 1993: Walcott, 1999). Akar dari etnografi pendidikan terletak pada antropologi budaya. Pada penghujung abad 19 dan awal abad 20, para antropolog mengkaji budaya-budaya “primitif” melalui kunjungan-kunjungan ke negara-negara lain dan dengan bergumul dengan masyarakatnya untuk periode waktu yang ekstensif. Mereka menghindarkan diri dari “menjadi natif “ (penduduk asli) dan mengidentifikasikan diri mereka secara dekat sekali dengan orang- orang yang mereka teliti sehingga mereka bisa menulis sebuah kisah yang “objektif” tentang apa yang mereka lihat dan dengar. Pada waktu-waktu tertentu, kisah-kisah ini dibandingkan dengan budaya-budaya lain yang jauh di benua lain, terutama dengan cara- cara hidup orang Amerika. Contoh, Margareth Mead, seoang antropolog terkemuka, mengkaji pengasuhan anak, remaja, dan pengaruh budaya terhadap kepribadian di Samoa (Mead, 1028). Observasi dan wawancara menjadi prosedur standar dalam pengumpulan data “di lapangan”. Juga, dibawah para sosiolog di Universitas Chcago pada tahun 1920-an sampai 1950-an, penelitian difokuskan pada pentingnya penelitian tentang kasus tunggal

  • – apakah kasusnya tentang seseorang individu, kelompok, tetangga, atau unit budaya yang lebih besar. Contoh, para sosiolog Chicago melakukan analisis kualitatif terhadap dokumen-dokumen pribadi dan publik dalam rangka membangun pandangan hidup dari para imigran Polandia (Thomas & Znaniecki, 1927). Dengan penekanan pada kehidupan perkotaan, mereka menggambarkan kehidupan sehari-hari di kota-kota Amerika Serikat: daerah kumuh Yahudi, taxi-dance hall (ruang dansa para sopir taksi), pencuri profesional, para gembel, dan anak-anak nakal (Bogdan & Biklen, 1998). Dengan menggaribawahi kehidupan para indvidu ini, mereka memberikan perspektif “insider” dengan jalan melaporkan kisah-kisah detil dari indvidu-individu yang sering termarginalisasikan di dalam masyarakat. Bidang kajian antropologi pendidikan interdisiplier yang masih bayi ini mulai mengkristal selama tahun 1950-an dan berlanjut sampai tahun 1980-an (LeCompte et al., 1993). Jules Henry menggambarkan kelas-kelas di sekolah dasar dan sekolah menengah sebagai tribes (suku bangsa) dengan ritual-ritual, budaya, struktur sosialnya, dan George dan Louise Spindler mengkaji pembuatan keputusan pendidikan, isi kurikulum, dan pengajaran (LeCompte et al., 1993). Para antropolog pendidikan memfokuskan diri mereka pada sub kelompok budaya, seerti:

   Kisah perjalanan karir dan kehidupan atau analisis peran para individu;  Microetnografis tentang kelompok-kelompok kerja dan kelompok-kelompok hobi dalam skala kecil;  Kajian-kajian terhadap kelas-kelas tunggal yang diabstraksikan sebagai masyarakat-mayarakat dalam kelompok kecil;  Kajian-kajian terhadap faisilitas-fasilitas sekolah atau fasilitas-fasilitas dinas pendidikan yang mendekati unit-unit ini sebagai sebuah masyarakat yang diskrit

  (terpisah) (LeCompte et al., 1993, halaman 14). Dalam penelitian seperti ini, para etnografer pendidikan mengembangkan dan memperhalus prosedur-prosedur yang dipinjam dari antropologi dan sosiologi. Dari tahun 1980-an sampai dewasa ini, para antropolog dan antropolog pendidikan telah mengidentifikasi tekhnik-tekhnik guna memberikan fokus terhadap kelompok budaya, melakukan observasi, menganalsis data, dan menuliskan laporan penelitian (misalnya Petterman, 1998; Walcott, 1992. 1994, 1999).

  Peristiwa yang membatasi etnografi, menurut Denzin (1997), adalah publikasi buku yang berjudul Writing Culture (Clifford & Marcus, 1986). Para etnografer telah “menulis dengan cara mereka sendiri” (Denzin, 1997, halaman xvii) semenjak itu sesuai dengan isi buku tersebut. Clifford an Marcus mengangkat dua buah isu yang sangat menggugah minat banyak orang terhadap etnografi pada umumnya dan dalam bidang penelitian pendidikan. Pertama terkait dengan krisis representasi. Krisis ini terdiri dari penilaian kembali tentang bagaimana para etnografer memberikan interpretasi terhadap kelompok-kelompok yang mereka teliti. Denzin berargumetasi bahwa kita tidak bisa lagi melihat si peneliti sebagai reporter yang objektif yang membuat pernyataan-pernyataan yang bersifat omnipresent (hadir di mana-mana) tentang individu-individu yang dia teliti. Sebaliknya, si peneliti hanyalah merupakan satu suara dari banyak suara – individu- individu seperti si pembaca, para partisipan, dan gate-keeper (para penjaga) – yang perlu didengar. Ini memicu krisis kedua: legitimasi. “Dalih-dalih” validitas, reliabilitas dan objektivitas dari “normal science” tidak lagi bisa mewakili standar. Para peneliti perlu mengevaluasi masing-masing penelitian etnografis dalam batas-batas standar yang fleksibel yang melekat pada kehidupan para partisipan, pengaruh-pengaruh kesejarahan dan budaya; dan kekuatan-kekuatan interaktif bersumber ras, jender, dan kelas.

  Ditilik dari sisi ini, etnografi perlu memasukkan perspektif yang diramu dari pemikiran-pemikiran feminist, pandangan-pandangan berbasis ras, perspekspektif seks, dan teori kritis, dan ia perlu juga sensitif terhadap ras, kelas, dan jender. Etnografi dewasa ini menjadi “messy” (carut marut) dan akhirnya menampilkan diri dalam berbagai bentuk seperti (seni) pertunjukan, puisi, drama, novel, atau narasi pribadi (Denzin, 1997).

APA TIPE-TIPE RANCANGAN ENOGRAFIS?

  Dengan perkembangan seperti digambarkan di atas, pendekatan eklektif menjadi suatu ciri dari penelitian etnografis pendidikan saat ini. Bagi seorang peneliti yang baru terhadap etnografi, panjangnya daftar tidak menjadi penting ketimbang fokus terhadap bentuk-bentuk utama seperti yang dipublikasikan dalam laporan-laporan penelitian pendidikan. Tanpa diragukan lagi, penelitian etnografis tidak selamanya cocok (pas) untuk kategori-kategori, akan tetapi ada tiga bentuk yang jelas:

   Etnografi Realis

   Studi kasus  Etnografi Kritis

  Etnografi Realis

  Etnografi realis adalah sebuah pendekatan yang populer yang digunakan oleh para antropologi budaya. Dicirikan oleh Van Maanen (1988), ia mencerminkan sebuah pandangan tertentu yang diambil oleh si peneliti terhadap para individu yang sedang diteliti. Etnografi realis adalah sebuah kisah yang ditampilkan secara objektif dari suatu situasi, biasanya ditulis dari sudut padangan orang ketiga, yang melaporkan secara objektif informasi yang dipelajari dari para partisipan di situs (lapangan). Dalam rancangan etnografis ini:

   Para etnografer realis menarasikan penelitiannya dalam suara orang ketiga yang tidak memihak dan melaporkan observasinya terhadap para partisipan serta pandangan mereka. Si etnografer tidak menawarkan refleksi-refleksi pribadi dalam laporan penelitiannya dan tetap berada di latar belakang sebagai pelapor “fakta” yang “omniscient” (yang serba tahu).  Si peneliti melaporkan data-data objektif dalam gaya yang terukur tanpa terkontaminasi oleh bias pribadi, tujuan-tujuan politis, dan pertimbangan. Si peneliti boleh memberikan detil keseharian dari orang-orang yang sedang diteliti. Si etnografer juga menggunakan kategri-kategori standar berkaitan dengan deskpripsi budaya (seperti kehidupan di lingkungan keluarga, kehidupan di lingkungan kerja, jejaring sosial, sistem status).  Para etnografer mengungkapkan pandangan-pandangan para partisipan melalui pengeditan secara ketat kutipan-kutipan dan memberikan kata-kata akhir berupa interpretasi dan penyajian budaya (Van Maanen, 1988). Jenis etnografi seperti ini sudah lama menjadi tradisi dalam antropologi budaya dan pendidikan. Contoh, Wolcott (1974, 1994) menggunakan pendekatan realis terhadap etnografi untuk meneliti aktivitas-aktivitas sebuah komite yang ditunjuk untuk menyeleksi seorang kepala sekolah. Penelitian tersebut berkaitan dengan proses yang dialami oleh sebuah komite pemilihan sekolah ketika mereka mewawancarai para calon. Wolcott memulai dengan seorang calon sampai akhirnya individu terakhir diidentifikasi. Dengan mengikuti deskprisi proses wawancara ini, Wolcott memberikan interpretasi terhadap tindakan-tindakan komite dalam batas-batas kurangnya pengetahuan profesional, tingkah laku mereka yang tak kondusif, dan keengganan sekolah untuk beruah.

  Sebagai seorang etnografer yang realis, Wolcott memberikan sebuah kisah tentang keputusan yang dibuat oleh komite seolah-olah ia sedang milihat ke dalam

  dari luar, melaporkan prosedur secara objektif, dan juga mencakup pandangan para

  partisipan. Interpretasi pada akhirnya menampilkan penyajian pandangan Wolcott tentang pola-pola yang dia lihat yang dilakukan oleh komite pemilihan kelompok budaya.

  Studi Kasus

  Para penulis sering menggunakan istilah studi kasus sehubungan dengan etnografi (misalnya lihat LeCmpte & Schensul, 1999). Studi kasus merupakan sebuah tipe etnografi yang penting, walaupun ia sebenarnya berbeda dengan etnografi dalam beberapa hal penting. Para peneliti studi kasus boleh jadi memfouskan diri pada program, peristiwa, atau aktivitas yang melibatkan individu-individu ketimbang semata-mata kelompok (Stake, 1995). Juga, ketika para peneliti studi kasus meneliti sebuah kelompok, mereka boleh jadi lebih tertarik pada mendeskripsikan aktivitas-aktivitas kelompok ketimbang mengidentifikasi pola-pola bertingkah laku yang diperlihatkan oleh kelompok tersebut. Para etnografer berusaha menemukan pola-pola kebersamaan yang bekembang sebagai sebuah kelompok yang saling berinteraksi untuk jangka waktu tertentu. Akhirnya, para peneliti studi kasus akan cenderung kurang mengidentifikasi tema-tema budaya untuk dikaji pada awal dari sebuah penelitian, terutama dari sisi antropologi; sebaliknya, mereka akan terfokus pada eksplorasi mendalam tentang “kasus” aktual.

  Walaupun beberapa orang peneliti mngidentifikasi “kasus” sebagai sebuah objek kajian (Stake, 1995), yang lainnya menganggap ini sebagai prosedur inkuiri (seperti Merriam, 1998). Studi kasus adalah sebuah eksplorasi mendalam tentang bounded

  system (suatu sistem tertutup) seperti aktivitas, peristiwa, proses, atau individu berbasis

  pengumpulan data yang ekstensif (Creswell, 2007). Bounded (tertutup) bermakna bahwa kasus itu terpisah (berdiri sendiri) untuk diteliti dalam hal waktu, tempat, atau batas-batas fisik tertentu.

  Penting kiranya diingat bahwa tipe-tipe kasus yang sering diteliti oleh para peneliti kualitatif adalah:

   “Kasusnya” bisa jadi seseorang individu, beberapa orang individu secara terpisah atau dalam sebuah kelompok;  “Kasusnya” boleh jadi merupakan repsentasi sebuah proses yang terdiri dari serentetan langkah (seperti proses pengembangan kurikulum perguruan tinggi) yang terdiri dari serentetan aktivitas;

   Seperti diperlihatkan pada Diagram 15.1, sebuah kasus boleh jadi dipilih untuk diteliti karena kasus tersebut luar biasa dan memiliki manfaat di dalam dan untuk dirinya sendiri. Apabila kasus itu sendiri diminati, kasus tersebut disebut intrinsic

  case (kasus intrinsik). Penelitian tentang sekolah bilingual (dwibahasa)

  mengilustrasikan bentuk studi kasus seperti ini (Stake, 2000). Alternatif lain adalah fokusnya diberikan pada isu spesifik, dengan sebuah atau lebih kasus yang digunakan untuk mengilustrasikan sebuah isu. Tipe kasus seperti ini disebut

  instrumental case (kasus instrumental), karena kasus tersebut diarahkan untuk

  memenuhi tujuan untuk mengiluminasikan isu tertentu. Studi kasus “gunman

  incident” (Asmussen & Creswell, 1995) menggambarkan sebuah kasus

  instrumental dari sebuah kampus dalam rangka memperlihatkan reaksi kampus terhadap tindakan kekerasan di kampus. Studi-studi kasus boleh jadi juga mencakup kasus-kasus jamak, yang disebut collective case studies (Stake, 1995), di mana kasus-kasus jamak dideskripsikan dan dibandingkan dalam rangka memberikan pemahaman terhadap sesuatu isu. Seorang peneliti studi kasus boleh jadi meneliti beberapa sekolah guna mengilustrasikan pendekatan-pendekatan alternatif terhadap pilihan sekolah bagi para siswa.  Para peneliti berupaya mengembangkan sebuah pemahaman mendalam tentang kasus dengan jalan mengumpulkan bermacam ragam bentuk data (seperti gambar, klipingan, videotape, dan e-mail). Memberikan pemahaman yang mendalam memerlukan hanya beberapa kasus saja yang diteliti, karena untuk setiap kasus yang diteliti, si peneliti akan memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menelusuri secara mendalam setiap kasus tersebut.  Si peneliti juga menempatkan “kasus” atau “kasus-kasus” itu di dalam konteks yang lebih luas, seperti seting-seting geografis, politik, sosial, atau ekonomi

  (seperti konstelasi keluarga yang terdiri dari kakek nenek, saudara kandung, dan anggota-anggota keluarga yang “diadopsi”).

  Sebuah contoh dari studi kasus adalah penelitian oleh Kos (1991) tentang empat orang siswa sekolah menengah yang memiliki ketidakmampuan membaca. Penelitian ini mengkaji faktor-faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kesulitan membaca pada para remaja. Peneliti memberikan tutorial kepada keempat siswa tersebut, mengamati kegiatan membacanya sendiri dan kegiatan membacanya di kelas, melakukan wawancara, dan mengumpulkan catatan-catatan sekolah untuk masing-masing siswa dimaksud. Keempat anak tersebut, yang umurnya berada antara 13 dan 15 tahun, tidak bisa membaca bahan-bahan bacaan lebih tiggi dari bahan- bahan bacaan untuk anak-anak kelas 3. Setelah mendeskripsikan masing-masing anak, peneliti mengidentifikasi empat tema yang mencuat tentang maing-masing anak tersebut: tingkah lau membaca, pengalaman-pengalaman negatif dan mengesalkan (frustrated), rasa khawatir (anxiety) terhadap bacaan, dan riwayat membacanya di taman kanak-kanak dan kelas satu. Dari analisis tentang kasus-kasus individual ini, peneliti kemudian membandingkan keempat anak tersebut dan menemukan bahwa keempat siswa tersebut menyadari kelemahan-kelemahan (kekurangan-kekurangan) mereka, memperlihatkan koneksi antara ketidakmampuan membaca dan stress (tekanan), dan ketidakmampuan mengintegrasikan berbagai ragam strategi membaca.

  Studi kasus ini memperlihatan sebuah penelitian berkenaan dengan empat buah bounded system (sistem terpisah) – individu-individunya spesifik—dan penilaian terhadap pola-pola tingah laku masing-masing individu dan keempat mereka. Si peneliti memfokuskan diri pada isu tentang ketidakmampuan membaca dan melakukan pengkajian mendalam tentang keempat kasus ini dalam rangka mengilustrasikan isu tentang ketidakmampuan membaca ini. Berbagai bentuk data dikumpulkan, dan analisisnya terdiri dari pengembangan deskripsi dan tema-tema.

  Contoh lain adalah studi kasus oleh Padula dan Miller (1999) tentang empat orang wanita yang kembali kuliah sebagai mahasiswa program doktor. Dalam studi kasus ini, para peneliti mengajukan pertanyaan tentang keputusan mereka untuk kembali ke bangku kuliah, bagaimana mereka mendeskripsikan pengalama- pengalaman mereka berkuliah, dan bagaimana pengalaman-pengalaman mereka selama mengikuti program pasca sarjana tersebut mengubah kehidupan mereka. Melalui wawancara dan observasi terhadap para wanita ini, para peneliti menemukan beberapa tema yang mencuat tentang keyakinan-keyakinan yang mereka pegang. Contoh, para wanita tersebut meyakini bahwa pengalaman-pengalaman di pasca sarjana tidak akan memenuhi kebutuhan mereka, mereka membandingkan diri mereka sendiri dengan mahasiswa-mahasiswa yang masih muda belia, dan mereka merasakan adanya kebutuhan umum untuk menyelesaikan perkuliahan mereka secepat mungkin.

  Etnografi Kritis

  Ketika Denzin (1997) berbicara tentang krisis kembar antara reprsentasi dan legitimasi, ia sebenarnya memberikan respon terhadap perubahan yang menyolok di dalam masyarakat, seperti masyarakat menjadi lebih multi-nasional, bergabung dengan perekonomian dunia, dan mengubah aspek-aspek demografis menjadi kelompok- kelompok yang lebih multi ras. Faktor-faktor ini telah mnciptakan sistem kekuasaan, prestise, keistimewaan, dan otoritas yang berperan memarjinalkan individu-individu dari berbagai kelas, ras, dan jender dalam masyarakat. Dengan berakar pada pemikiran Jerman tahun 1920-an, masalah historis yang ditimbulkan oleh dominasi, elienasi, dan perjuangan sosial sekarang memainkan peranan dalam penelitian pendidikan dan dan ilmu-ilmu sosial.

  Bibliografi sekarang memadukan pendekatan “kritis” (Carspecken, 1995; Carspecken & Apple, 1992; Thomas, 1993) untuk menampung perspektif advokasi di dalam etnografi. Critical ethnographies (etnografi kritis) adalah sejenis penelitian etnografis di mana para peneliti tertarik pada pemberian advokasi dalam rangka emansipasi kelompok-kelompok yang terminalkan di dalam masyarakat (Thomas, 1993).

  Para peneliti kritis biasanya adalah individu-individu yang berpikiran politis yang mencoba mencari, melalui penelitian mereka, advokasi terhadap ketidaksederajatan dan dominasi (Carspecken & Apple, 1992). Contoh, para etnografer kritis boleh jadi meneliti sekolah-sekolah yang memberikan keistimewaan-keistimewaan kepada kelompok- kelompok siswa tertentu, menciptakan situasi-situasi ketidaksederajatan diantara masing-masing anggota dari berbagai kelas sosial, dan memperbesar “suara” cowok dan para cewek menjadi partisipan yang bisu di daam kelas.

  Komponen utama etonografi kritis disarikan dalam Diagram 15.2. Faktor-faktor ini, seperti orientasi bernilai sama (tanpa membedakan), pemberdayaan orang dengan jalan memberikan mereka lebih banyak otoritas, menantang status quo, dan perhatian terhadap kekuasaan dan kontrol, memainkan peranan dalam sebuah etnografi dalam karakterisk proseduralnya, seperti berikut:

   Peneliti-peneliti etnografi kritis mengkaji isu-isu sosial terkait dengan kekuasaan, pemberdayaan, ketidaksederajatan, ketidakadilan, dominasi, represi (penindasan), hegemoni, dan victimization (membuat orang lain jadi korban);  Para peneliti melakukan penelitian etnogafi kritis untuk menjaga agar penelitian mereka itu tdak selanjutnya malah memarjinalkan individu- individu yang sedang diteliti. Dengan demikian, para peneliti berkerjasama, secara aktif berpartisipasi, bernegosiasi dengan para partisipan dalam menuliskan laporan akhir mereka, menggunakan kecermatan dan kehati- hatian dalam memasuki dan meninggalkan situs, dan secara timbal balik melakukan pengecekan terhadap para partisipan.  Etnografer kritis harus memiliki kesadaran diri tentag interpretasinya, mengetahui bahwa interpretasi-interpretasinya itu memberikan refleksi kesejarahan dan kebudayaan. Interpretasi hanya bisa tentatif dan mempertanyakan dan menjadi bahan bagaimana para pembaca dan partisipan akan memandanganya.  Para peneliti kritis memposisikan diri mereka, di dalam teks, agar refleksif dan sadar akan peranan mereka, dan berada di depan dalam menulis laporan penelitian mereka.

  Ini bermakna mereka harus mengidentifikasi adanya bias dan nilai; mengakui pandangan-pandangan orang lain, dan membedakan antara penyajian tetkstual oleh si peneliti, para partisipan,, dan para pembaca. Seorang etnografer bukan lagi seorang pengamat yang “objektf”, seperti pada pendekatan realis.  Posisi yang netral ini juga bermakna bahwa si etnografer akan merupakan advokat bagi perubahan guna membantu menstransformasikan masyarakat sehingga orang- orang menjadi merasa kurang tertekan dan termanijalkan.  Pada akhirnya, laporan enografi kritis akan menjadi sebuah pendekatan penelitian yang “messy, multimethod ” (berantakan; multi metoda) , penuh dengan kontradiksi, faktor-faktor yang tidak dapat diperhitungkan, dan penuh ketegangan) (Denzin, 1997).

  Penelitian etnografis kritis tentang sebuah sekolah dasar “inklusif” (Keyes, Haney-Maxwell, & Capper, 1999) mengilustrasikan banyak diantara aspek ini. Tujuannya secara menyeluruh adalah untuk mendeskripsikan dan mendefenisikan peranan kepemimpinan adminsitratif pada sebuah sekolah inklusif dengan para siswa yang banyak mengalami peristiwa disablity classification (kegagalan mengklasifikasi), seperti kognitif, emosional, pembelajaran, berbicara, dana bahasa. Dengan tujuan untuk menghasilkan teori baru yang akan memberdayakan para individu di sekolah, para peneliti memulai dengan sebuah kerangka pemberdayaan kepemimpinan: pemberian dukungan, fasilitasi, dan peluang.

  Didasarkan pada kerja lapangan yang ekstenif yang terdiri dari membuntuti kepala sekolah (Marta), mengobservasi ruang-ruang kelas, melakukan wawancara secara individual dan wawancara kelompok terfokus, dan meganalisis pengumuman- pengumuman mingguan, para peneliti mengkompilasi sebuah gambaran tentang kepemiminan Maria yang mencakup sistem keyakinan sprititual pribadi. Spiritualitas Maria memungkinkannya menilai perjuangan pribadi, mendukung martabat para individu, memadukan masalah pribadi dan masalah profesi, meyakini bahwa bekerja keras, dan memberi penekanan pada pentingnya mendengarkan dan berkhayal. Pada akhirnya, Keyes et al., (1999) memberikan sebuah “visi keadilan yang ditopang oleh “keyakinan-keyakinan” spirtual (halaman 233) dan kmudian mengajukan pertanyaan- pertanyaan konklusif ”Reformasi sekolah untuk apa?” dan “Pemberdayaan kepemimpinan untuk siapa” (halaman 234).

  Sebagai sebuah kajian etnografis tentang sebuah sekolah yang menerapkan perspektif kritis, proyek kegiatan ini memfokuskan diri pada isu pemberdayaan yang dirasakan oleh para siswa dan para guru yang termarjinalkan di sekolah. Kepala sekolah secara aktif berupaya mencari partisipasi kolaboratif melalui dialog-dialog bersama dengan para guru dan para siswa. Para peneliti mengadvokasi demi wujudnya sebuah prubahan dan menggarisbawahi ketegangan yang memungkinankan terbukanya pertanyaan-pertanyaan baru ketimbang menutup pembicaraan. Walaupun pandangan para peneliti tidak dibuat secara eksplisit di dalam teks, perhatian dan minat mereka terhadap perubahan dan terhadap visi baru dalam kepemimpian sekolah bagi para individu dengan berbagai kegagagalan/ketidakmpuan seperti dinyatakan terdahlu jelas adanya.

APA KARAKTERISTIK KUNCI DARI RANCANGAN ETNOGRAFIS

  Dengan keanekaragaman pendekatan terhadap etnografi seperti diidentifikasi pada pendekatan realis, studi kasus, dan pendekatan krits, tidak mudah mengidentifikasi karakteristik umum yang dimiliki bersama. Walaupun demikian, bagi mereka-mereka yang mempelajari etnografi, karakteristik berikut biasanya merupakan tanda bagi sebuah kajian etnografis:

   Tema-tema budaya  Kelopmok yang berbuda sama

   Pola-pola bertingkah laku, berkeyakinan, dn berbahasa yang sama  Kerja lapangan  Deskripsi, tema, dan interpretasi  Konteks atau seting  Refleksibilitas si peneliti

  Tema-tema kultural

  Para etnografer biasanya meneliti tema-tema kultural yang diramu dari antropologi budaya. Para etnografer tidak memasuki lapangan mengambil secara serampangan segala sesuatu yang mungkin ditemukan. Sebaliknya, mereka tertarik untuk menambah/mengembangkan pengetahuan tentang budaya dan mengkaji tema-tema spesifik tentang budaya. Sebuah cultural theme (tema budaya) dalam etnografi adalah posisi umum, tersurat atau tersirat diakui atau diharapkan keberadaannya di dalam masyarakat atau kelompok (lihat Spradley, 1980b, untuk pembicaraan tentang tema-tema budaya). Sama seperti dalam semua penelitian kualitatif, tema ini tidak berperan mempersempit lingkup penelitian; sebaliknya ia menjadi sebuah lensa yang lebih luas yang digunakan oleh para peneliti ketika mereka pada awalnya memasuki lapangan guna meneliti sebuah kelompok, dan mencari manifestasinya. Seperti dikatakan oleh Wolcott, kita bisa melihat “culture at work” (halaman 25).

  Apa-apa saja tema-tema budaya ini? Tema-tema budaya tersebut dapat ditemukan dalam buku-buku teks pengantar antropologi budaya. Wolcott (1999) menyatakan buku-buku teks pengantar yang berbicara tentang tema-tema dalam antropologi budaya, seperti oleh Kessing (1958), Haviland (1993), atau Howard (1996). Tema-tema tersebut juga bisa ditemukan di dalam kamus-kamus tentang konsep-konsep antropologi budaya, seperti oleh Winthrop (1991). Pendekatan lain adalah mencari tema- tea budaya dalam kajian-kajian antropologis tentang pendidikan. Para penulis mengenalkannya berupa judul-judul atau pada awal penelitian. Anda bisa lihat tema- tema tersebut dalam rumusan tujuan penelitian (purpose statement) di dalam etnografi atau di dalam rumusan pertanyaan penelitian berupa “fenomena sentral” (lihat bab 5). Contoh, berikut adalah beberapa tema kultural yang ditelusuri oleh penulis:

   Persistence (ketekunan) dalam penyelenggaraan pendidikan jarak jauh

   (Graland, 1993)

   “Munculnya” tahap-tahap pengembangan identitas gay (Rhoads, 1997)  Pengembangan ketrampilan-ketramplian sosial para siswa di Jepang

  (LeTendre, 1999).

   Enkulturasi pada program pendidikan anak usia dini di lingkungan Maori di Selandia Baru (Bauermeister, 1998)

  Kelompok Berbudaya Sama

  Para etnografer belajar dari penelitian tentang kelompok yang berbudaya sama pada sebuah situs tunggal. Jarang terjadi para peneliti meneliti indvidu-individu secara perorangan, seperti dalam penelitian Wolcott (1974, 1994) studi kasus tunggal tentang seorang kepala sekolah. Dalam penelitiaan tentang sebuah kelompok, para etnografer mengidentifikasi situs tunggal (misalnya ruang kelas di sekolah dasar), mengidentifikasi sebuah kelompok di sana (misalnya kelompok membaca), dan mengumpulkan data tentang kelompok (misalnya mengobservai waktu membaca). Ini membedakan etnografi dari bentuk-bentuk lain penelitian kualitatif (misalnya penelitian naratif) yang memfokuskan diri pada individu-individu ketimbang pada kelompok-kelompok orang. Sebuah culture-sharing group (kelompok yang berbudaya sama) dalam etnografi adalah dua atau lebih individu yang memiliki kesamaan tingkah laku, keyakinan, dan bahasa . Contoh, kelompok-kelompok yang diteliti dalam etnografi ini adalah:

   47 orang siswa dalam pendidikan jarak jauh tentang mata-mata kuliah terkait dengan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan (Garland, 1993)  16 orang calon guru sekolah dasar (Goodman & Adler, 1985)  40 orang mahasiswa dalam sebuah organisasi yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai gay atau bisexual (Rhoads, 1997) Kelompok-kelompok seperti ini biasanya memiliki karakteristik tertentu, seperti terlihat pada Tabel 15.2. Kelompok-kelompok bisa bervariasi atas dasat besar kecilnya kelompok, akan tetapi individu-individu di dalam kelompok perlu memenuhi basis reguler dan berinteraksi pada jangka waktu tertentu (misalnya lebih dar dua minggu sampai empat bulan) dalam rangka terbentuknya pola-pola bertingkah laku, berpikir, atau berbicara. Kelompok ini sering merupakan representasi dari kelompok yang lebih besar, seperti kelompok membaca dalam lingkup kelas tiga.

  Sering, para etnografer meneliti kelompok-kelompok yang belum mereka kenal sehingga bisa melihat mereka dengan cara-cara “baru dan berbeda seolah-olah mereka

  itu luar biasa dan unik” (LeCompte et al., 1993), halaman 3). Individu-individu kadang-

  kadang simpang siur tentang makna kelompok budaya dan kelompok etnik. Kelompok- kelompok etnik (suku bangsa) adalah individu-individu yang mengidentifikasi diri mereka sendiri sebagai indvidu-individu dalam pengelompokan sosiopolitik yang mengakui identititas publik, seperti di Amerika Serikat misalnya, Hispanik, para pendatang dari Asia Pasific, dan orang-orang Amerika yang berasal dari Arab (LeCompte & Schensul, 1999). Penggunaan label-label etnik seperti ini bisa menimbulkan masalah dalam sebuah kajian etnografi karena label-label tersebut boleh jadi bukan merupakan istilah yang digunakan oleh para indvidu tersebut.

  Pola-pola Tingkah Laku, Keyakinan dan Bahasa yang Sama

  Para peneliti etnografis berupaya mencari pola-pola tingkah laku, keyakinan dan bahasa yang sama yang diadopsi bersama oleh kelompok yang berbudaya sama dalam jangka waktu tertentu. Karakteristik ini memiliki beberapa elemen . Pertama, kelompok yang berbudaya sama itu perlu mengadopsi pola-pola yang sama yang dapat di bedakan oleh seorang etnografer. Sebuah shared pattern (kesamaan pola) dalam etnografi merupakan interaksi sosial yang umum yang menstabilkan sebagai suatu kesepakatan dan ekspektasi dari keklompok (Spidler & Spindler, 1992). Kedua, kelompok memiliki kebersamaan dalam satu atau kombinasi tingkah laku, keyakinan, dan bahasa.

   Tingkah laku dalam etonografi adalah sebuah tindakan yang diambil oleh seorang indidividu dalam sebuah seting budaya. Contoh, Wolcott (1974, 1994) meneliti bagaimana komite penseleksian kepala sekalah bertidak ketika melakukan penseleksian seorang kandidat.  Keyakinan dalam etnografi adalah bagaimana seseorang individu berpikir tentang atau mempersepsikan tentang sesuatu dalam sebuah seting budaya.

  Contoh, Padula dan Miller (1999) menemukan bahwa mahasiswa wanita calon doktor dalam psikologi memiliki kesamaan perhatian dan keprihatinan bahwa mereka tidak mampu menginvestasikan terlalu banyak energi unyuk keluarga mereka.  Bahasa dalam etnografi adalah bagaimana seseorang individu berbicara dengan orang-orang lain dalam sebuah seting budaya. Dalam sebuah penelitian naratif tentang kisah hidup dua orang wanita Afrika Amerika, Nelson (1990) menganalisis code-swiching (alih bahasa), beralih dari Bahasa Inggeris baku ke Bahasa Inggeris non baku (Black English). Sara, contohnya, menggunakan struktur klausa paralel yang repetitif yang ditemukan dalam tradisi-tradisi gereja orang hitam ketika ia berkata “It is pain, suffering, determination,

  preseverance” (rasanya menyakitkan, menderita, determinasi, perseverance) (halaman 147).

  Pola-poa yang dimiliki secara besama ini menimbulkan beberapa pertanyaan praktis yang oleh etnografer perlu dklarifikasi dalam sebuah penelitian. Berapa lamakah kelompok itu perlu tinggal bersama-sama untuk bisa “share” (membangun kebersamaan) tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, kajian khusus harus dilakukan. Tanpa diragukan lagi, makin lama kelompok itu hidup bersama, akan makin banyak individu yang akan mengadopsi kesamaan tingkah laku dan cara-cara berpikir dan semakin mudah bagi si etnografer untuk memilih pola-pola tersebut. Walaupun demikian, tekhnik-tekhnik penilaian tersedia dalam rangka pengumpulan data secara cepat dari sebuah kolompok yang boleh jadi telah membentuk keyakinan bersama dalam waktu yang singkat (LeCompte & Schensul, 1999). Anggota-anggota yang hidup di asrama (fraternity) boleh jadi telah membentuk keyakinan-keyakinan bersama dengan sumpah baru secara cepat atau komite-komite sekolah boleh jadi telah mengembangkan pemahaman bersama melalui “pengunduran diri bersama dari komite” yang memungkinkan seorang etnografer untuk bisa melakukan penilaian pola-pola secara cepat.

  Isu lain adalah apakah pola-pola itu ideal (apa yang seharusnya terjadi), aktual (apa yang sebenarnya terrjadi), atau proyektif (apa yang mungkin telah terjadi). Ketika seorang etnografer melakukan observasi atau wawancara, contoh- contoh dari ketiga pola ini boleh jadi mencuat dari data. Seorang etnografer yang mengunjungi ruang kelas kelas tiga sekolah dasar boleh jadi ketemu dengan kelompok membaca dan melihat apa yang sudah terjadi, mewawancarai gurunya untuk mengidentifikasi apa yang mungkin telah terjadi, dan berkonsultasi dengan koordinator kurikulum tentang apa yang yang diharapkan oleh dinas pendidikan telah terjadi.

  Kerja Lapangan

  Etnografer mengumpulkan data melalui kebersamaan dengan para partisipan di lapangan dalam periode waktu tertent di mana mereka hidup, bekerja dan bermain. Untuk bisa memahami dengan baik pola-pola dari sebuah kelompok budaya, seorang etnografer perlu menghabiskan waktu cukup lama dengan kelompok tesebut. Pola-pola tersebut tidak bisa secara mudah dikenali/dibedakan melalui angket atau perjumpaan-perjumpaan singkat. Sebaliknya, si etnografer harus “pergi masuk ke lapangan”, hidup dengan atau berkunjung berkali-kali menemui orang-orang yang diteliti, dan secara berangsur-angsur menemukan caa-cara budaya di mana kelompok tersebut bertingkah laku, atau berpikir.

  Field work (kerja lapangan) di dalam etnografi bermakna bahwa si peneliti

  mengumpulkan data-data di dalam seting di mana para partisipan berlokasi dan di mana pola-pola kebersamaan dapat diteliti. Pengumpulan data ini mencakup:  Data-data emic adalah informasi yang diberikan oleh para partisipan di dalam penelitian. Emic sering mengacu pada konsep-konsep tataran pertama, seperti bahasa lokal, konsep-konsep, dan cara-cara berekspresi yang diperlihatkan oleh anggota-anggota kelompok berbudaya sama (Schwandt, 2001). Di dalam penelitian etnografis tentang sup ayam bagi para tuna wisma, Miller, et al., (1998) mewawancarai dan merekam “kisah-kisah” yang diceritakan oleh Michael, Dan, Sarah, dan Robert dan menggunakan kutipan-kutipan dari individu-individu ini untuk membangun perspektif mereka.  Data-data etic adalah informasi yang merupakan reprsentasi dari interpretasi si etnografer terhadap perspektif para partisipan. Etic biasanya mengacu pada konsep-

  konsep tataran kedua, seperti bahasa yang digunakan oleh para ilmuwan soisal atau

  pendidik ketika mereka mengacu pada fenomena yang sama seperti diungkapkan oleh para partisipan (Schwandt, 2001). Dalam penelitian tentang sup ayam (Miller, et aj., 1990), para pengarang membentuk tema-tema sebagai interpretasi mereka terhadap data-data partisipan yang memperlihatkan bagaimana sup ayam itu berfungsi.  Data-data negosiasi terdiri dari informasi yang disepakati oleh para partisipan dan peneliti untuk digunakan dalam sesuatu penelitian. Negosiasi terjadi pada tahapan- tahapan yang berbdea dari peneitan, seperti persetujuan untuk memasuki situs peneitian, sama menghormati individu-individu pada situs penelitian, dan mengembangkan perencanaan untuk feed bacak dan saling memberi dan menerima dengan para ndividu. Lagi-lagi dalam penelitian sup ayam untuk para tuna wisma (Miller, et al., (1998), para pengarang berupaya melalui gate keeper (penjaga) untuk bisa mendapatkan izin memasuki situs penelitian, membantu mengadvokasi para tuna wisma melalui lembaga-lembaga untuk medapatkan pendanaan dan berpartisipasi untuk memberikan makan siang secara teratur. Selama kerja lapangan, si etnografer menggunakan berbagai tekhnik penelitia untuk mengumpulkan data. Tabel 15.3, yang merupakan daftar kompsit dari LeCompte dan terutama seklai data-data kualitatif dan sedikit data-dta kuantitatif. Dari kemungkinn- kemungikinan ini, observasi dan wawancara tak terstruktur merupakan tehnik yang paling populer di antara para etnografer. Untuk melihat keanekaragaman pengumpulan data yang digunakan oleh etngrafer pada sebuah penelitian, perhatikan bentuk-bentuk berikut yang digunakan oleh Rhoads (1995) dalam penelitian etnografisnya tentang kehidupan fraternity (asrama):

   12 kali wawancara ormal, terstruktur yang memakan waktu sekitar 1 samapi 2 jam  18 kali wawancara yang kurang formal dicatat dngan tulisan tangan  Partisipasi dalam pesta-pesta asrama secara terbuka dan ritual-ritual tertutup yang terbuka hanya pada beberapa orang outsider  Diskusi yang berketerusan dengan para partisipan kunci yang menjelaskan sifnifikansi dari berbagai praktek fraternity  Mengkaji berbagai dokumen, termasuk buku petunjuk universitas Greek,

  minutes (catatan-catatan) rapat pada chapter, makalah-makalah chapter, dan kebijakan pertanggung jawaban asrama.

   Deskripsi, Tema, dan Interpretasi

  Para peneliti etnografis mendeskripsikan an menganalisis kelompok berbudaya sama dan membuat sebuah interpretasi tentang pola-pola yang terlihat dan terdengar. Selama pengumpuan data, si etnografer memulai menempa penelitian. Ini terdiri dari menganalisis data untuk keperluan deskripsi tentang para individu dan situs-situs dari kelompok yang berbudaya sama itu; menganalisis pola-pola tingkah laku, keyakinan, dan bahasa, menarik beberapa kesimpulan tentang makna yang dipelajari dari penelitiin tentang orang=orang dan situs (Wolcott, 1994).

Dokumen yang terkait

HASIL PENELITIAN KETERKAITAN ASUPAN KALORI DENGAN PENURUNAN STATUS GIZI PADA PASIEN RAWAT INAP DI BANGSAL PENYAKIT DALAM RSU DR SAIFUL ANWAR MALANG PERIODE NOVEMBER 2010

7 171 21

SOAL ULANGAN HARIAN IPS KELAS 2 BAB KEHIDUPAN BERTETANGGA SEMESTER 2

12 263 2

Idioms Used In Real Steel Movie - Digital Library IAIN Palangka Raya

2 4 9

BAB IV HASIL PENELITIAN - Pengaruh Dosis Ragi Terhadap Kualitas Fisik Tempe Berbahan Dasar Biji Cempedak (Arthocarpus champeden) Melalui Uji Organoleptik - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 2 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Uji Kualitas Mikrobiologi Minuman Olahan Berdasarkan Metode Nilai MPN Coliform di Lingkungan Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelurahan Pahandut Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

1 2 12

The effect of personal vocabulary notes on vocabulary knowledge at the seventh grade students of SMP Muhammadiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 20

BAB IV HASIL PENELITIAN - Penerapan model pembelajaran inquiry training untuk meningkatkan berpikir kritis dan hasil belajar siswa pada pokok bahasan gerak lurus - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 1 23

CHAPTER I INTRODUCTION - The effectiveness of anagram on students’ vocabulary size at the eight grade of MTs islamiyah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 10

BAB II KAJIAN TEORITIK A. Penelitian Sebelumnya - Perbedaan penerapan metode iqro’ di TKQ/TPQ Al-Hakam dan TKQ/TPQ Nurul Hikmah Palangka Raya - Digital Library IAIN Palangka Raya

0 0 26

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan model Problem Based Instruction (PBI) terhadap pemahaman konsep dan hasil belajar siswa pokok bahasan tekanan Kelas VIII Semester II di SMPN Palangka Raya Tahun Ajaran 2015/2016 - Digital Library IAIN Pala

0 3 80