PERBANDINGAN SONETA ARTIFISIAL WING KARDJO DENGAN SONETA SITOR SITUMORANG

  

PERBA NDINGA N SONETA ARTIFISIA L W ING KA RDJO

DENGAN SONETA SITOR SITUM ORA NG

THE COMPARISON OF WING KARDJO’S ARTIFICIAL SONNET WITH SITOR

SITUMORANG’S

  

Suyono Suyatno

  Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jalan Daksinapati Barat IV, Raw amangun, Jakarta 13220, Telepon: (021) 4958823,

  Pos-el: suyonosuyatno@gmail.com Naskah masuk: 3 April 2013, disetujui: ..., revisi akhir: .....

  

Abstrak: Soneta di tangan dua penyair yang berbeda melahirkan kecenderungan yang berbeda pula.

  

Soneta Sitor Situmorang cenderung lebih liris dan ekspresi estetiknya pun lebih setia pada konvensi soneta.

Sementara itu, soneta Wing Kardjo cenderung naratif dan hanya memanfaatkan pola ekspresi soneta

sambil memarodikannya. Kecenderungan memarodikan soneta bagi Wing Kardjo sejalan dengan

keinginannya memarodikan situasi sosial politik di negeri ini. Kecenderungan liris pada soneta Sitor

Situmorang tidak terlepas dari muatan soneta Sitor yang menampilkan persoalan-persoalan personal,

terutama dalam hal relasi lelaki-perempuan. Di sisi lain, kecenderungan naratif soneta Wing Kardjo terkait

dengan muatan soneta Wing Kardjo yang merupakan respon terhadap situasi sosial politik di negeri ini.

  Kata kunci: soneta, liris, soneta artifisial, naratif, dan parodi situasi sosial politik

Abstract: Sonnets in the hands of two different poets creat different tendencies. Sitor Situmorang’s

sonnet tends to be more lyrical and aesthetic in its expression. It is more faithful to those stated in

the convention. Meanwhile, Wing Kardjo’s tends to be narrative and only make use of the expres-

sion pattern of the sonnet while parodying it. Tendency of parodying sonnet for Wing Kardjo was

in line with his desire for parodying social and political situation in the country. Lyrical tendencies

in the Sitor Situmoran’s sonnet cannot be separated from the type of his work depicting personal

problems, especially, in the male-female relationships. On the other hand, the tendency of the Wing

Kardjo ‘s narrative sonnet is the content of Wing Kardjo’s that was a response to the social and

political situation in the country.

  Keywords: sonnet, lyrical, artificial sonnets, narrative, socio-political situation parody

1. Pendahuluan

  So neta terserap ke d alam p erp uisian berformulasi sampiran%isi. Hingga saat ini Indo nesia sekitar awal abad 20, dipelopori p un so neta masih d itulis oleh beberap a o leh M uham ad Jam in. So neta d eng an penyair Indonesia, antara lain oleh Sapardi mudah terserap ke dalam perpuisian Indonesia Djoko Damono. karena kemiripan dan kedekatannya dengan

  Kehadiran soneta dalam puisi Indonesia pantun, puisi asli Indonesia, misalnya dalam y ang ham p ir seabad tentu saja hal keteraturan rima yang berp o la d an membaw akan perkembangan tersendiri, METASASTRA , Vol. 6 No.

  2

  , Desem ber 2013: 125—136 salah satunya adalah soneta Wing Kardjo yang terhimp un d alam Fragmen M alam:

  Setumpuk Soneta yang hanya mengambil dan

  memanfaatkan pola 14 larik sebagai salah satu karakter ekspresi puitis soneta. Tulisan ini memband ingkan soneta Wing Kardjo (yang cend erung memaro d ikan so neta) dengan soneta Sitor Situmorang yang lebih setia pada konvensi soneta dan liris. Untuk itu, dipilih sajak-sajak Wing Kardjo yang menurut penyairnya merup akan so neta artifisial atau lahiriahnya saja soneta dan beberap a sajak Sito r Situm o rang yang berp ola so neta. Selanjutnya, dipaparkan hasil pembacaan dan pemaknaan atas sajak- sajak Wing Kardjo dan Sitor Situmorang.

  Teeuw (1980) p ernah m eny atakan bahwa pada dasarnya sastra tidak lahir dari keko so ng an, d alam arti sastra lahir berdasarkan ko nvensi dan tradisi sastra, bahasa, dan bud aya yang telah ada d an berlaku sebelumnya, entah itu dalam bentuk pengukuhan (melanjutkan konvensi d an tradisi yang ada sebelumnya) atau dalam bentuk p eng ing karan (m em bero ntaki konvensi dan tradisi sastra yang berlaku sebelumnya). Oleh karena itu, pengamatan atas p erkem bang an so neta p un akan dilakukan dalam dialektika sebagaimana yang dikemukakan oleh Teeuw.

  So neta ad alah suatu puisi lirik yang terdiri atas 14 larik yang mengikuti satu atau beberap a p o la rim a tertentu. D ap at dikatakan, ada 2 pola soneta yang utama, yakni soneta Itali dan soneta Inggris. Pola (formulasi Itali) terdiri atas oktaf (delapan larik) dan sekstet (enam larik) yang masing- masing berpola rima abbaabba dan cdecde,

  cdccdc

  , atau cdedce. Biasany a o ktaf m eng had irkan narasi d eng an m em unculkan suatu p ertany aan atau pernyatakan suatu p ropo sisi, sedangkan sekstet m eng g erakkan narasi d eng an membuat komentar abstrak, menerapkan p ro p o sisi, atau m em ecahkan suatu p erso alan. N am un, fo rm ulasi tersebut tidaklah ketat: formulasi oktaf-sekstet tidak selalu ditepati, pola rima pun bervariasi, tetapi soneta Itali tidak memerkenankan lebih dari lima pola rima. Di sisi lain, pola soneta Inggris berbeda jauh dari soneta Itali, m isalny a d alam hal p em baitan d an pelarikan. Pola rima yang khas pada soneta Inggris adalah abab cdcd efef gg (Cuddon, 2012: 668—669).

  Dalam perpuisian Indonesia modern so neta sang at berv ariasi d an telah mengalami mo difikasi d ari p ola aslinya sebagaimana yang terdapat di Itali. Variasi soneta yang cukup ekstrem diperlihatkan o leh sajak-sajak W ing Kard jo y ang terhimpun dalam kumpulan sajak Fragmen

  Malam: Setumpuk Soneta

  . Soneta Wing Kardjo d alam Fragmen M alam: Setumpuk Soneta hanya mengambil dan memanfaatkan pola 14 larik sebagai salah satu karakter ekspresi p uitis so neta. Bahkan, d alam sajakny a “ M em p erko sa So neta” W ing Kard jo mengkred okan “ pemerkosaan” terhad ap soneta:

2. Kajian Teori

  Menggiring kata-kata jadi barisan soneta menjinakkan sajak dan otak dalam seragam diam, mengelak atau tak bergerak dalam kotak.

  Menyaksikan gedung-gedung merebut lengkung langit. Penggusuran pahit meninggalkan bibit penyakit. Pembengkakan kaum modal, pemiskinan rasa so sial. Kesenjang an y ang tambah meresahkan saja Membiarkan anak-anak tumbuh dalam lingkungan kumuh, hidup di jalanan, menenggak arak murahan D alam mabuk p em bang unan menciptakan kerawanan Memperkosa soneta: menjaring suara dalam rangka seperti mengurung diri dalam demokrasi kita

  S U YON O S U YAT N O : P ERBANDI NGAN S ONETA A RTI FI SI AL W I NG K ARDJO DENGAN S ONETA S I TOR S I TUMORANG soneta artifisial, demokrasi hanya formal (Kardjo, 1997: hlm. 333)

  Bait p ertam a sajak “ M em p erko sa So neta” memerlihatkan semacam kred o “ pemerkosaan soneta” : ‘Menggiring kata- kata jadi barisan soneta/ menjinakkan sajak dan otak dalam/ seragam diam, mengelak atau/ tak bergerak dalam kotak.’ Larik-larik tersebut sekaligus m enam p ilkan satire terhad ap situasi so sial p o litik y ang m eng ekang kebebasan d an m eny erag am kanny a d alam “ id eo lo g i p em bang unan” . D eng an d em ikian, p enyeragaman sajak-sajak W ing Kard jo (dalam kumpulan Fragmen Malam: Setumpuk

  Soneta

  ) dalam w ujud soneta yang artifisial saja adalah jawaban terhadap situasi sosial p o litik y ang m em bung kam d an menyeragamkan (‘ soneta artifisial, demokrasi

  hany a formal’

  ). Damo no (1999:141) juga mengemukakan bahwa pilihan Wing Kardjo untuk menulis soneta adalah upaya untuk meredam kemarahan menyaksikan situasi sosial politik di negeri ini.

  Tulisan ini mengungkapkan bagaimana so neta W ing Kard jo tam p il sekalig us menyimpang dari konvensi soneta yang asli. Di samping itu, akan membandingkan pula soneta Wing Kardjo dengan soneta Sitor Situmorang yang relatif lebih setia terhadap konvensi puitis soneta yang awal di negeri asalnya.

  Sajak-sajak soneta Wing Kardjo hanya memanfaatkan pola soneta yang terdiri atas 14 larik, sesungguhnya bisa d ip and ang sebag ai suatu bentuk p ro tes d an perlawanan terhadap situasi sosial politik di tanah air yang ada ketika Wing menulis so neta. Pad a saat itu rez im O rd e Baru m asih berkuasa d an m elestarikan kekuasaanny a m elalui m ekanism e demokrasi yang formal: ada siklus pemilihan umum yang berlangsung tiap lima tahun dan pemilihan presiden di MPR (tetapi yang dimunculkan selalu calon tunggal, Suharto).

  Rezim Ord e Baru adalah rezim yang sejak aw al berkuasa telah memanip ulasi demokrasi. A.H. Nasution dalam salah satu bukunya mengemukakan bahwa menjelang Sid ang Istim ew a MPRS, sebagai Ketua MPRS ia menentang penetap an Suharto sebag ai p ejabat p resid en karena mengkhawatirkan munculnya pemerintahan yang militeristik d i Ind o nesia. Namun, Suharto dengan merekayasa fraksi-fraksi di M PRS ketika itu akhirny a berhasil memeroleh dukungan suara mayoritas dan dikukuhkan sebagai pejabat presiden (dan dikukuhkan lagi sebagai presiden dalam Sid ang Istim ew a M PRS berikutny a). Selanjutny a, m elalui rekay asa p o litik dengan menjadikan Golkar sebagai mesin kekuasaan dan mengebiri partai-partai lain (sebelum p roses pemilihan umum, calon anggota DPR selalu disaring lew at litsus), Suharto selalu muncul sebagai calon tunggal dalam proses pemilihan presiden di MPR.

  Sebag aim ana bait terakhir sajak “ Memp erkosa Soneta” yang menyatakan ‘ M em p erko sa so neta: m enjaring suara d alam rang ka/ sep erti m eng urung d iri d alam d emo krasi kita/ so neta artifisial, d em o krasi hany a fo rm al’ , d alam w aw ancaranya d engan harian Kompas (1 O kto ber 1997) W ing Kard jo jug a menyatakan, “ Jadi saya menganggap soneta itu artifisial. Tadinya bukan soneta, dengan komputer kita bisa bikin soneta. Demokrasi juga formal, kalau vokal, di-recall.”

3. Hasil dan Pembahasan

  Dalam kaitannya d engan pernyataan Wing Kardjo, patut dikemukakan bahw a sebag ian sajak y ang m uncul d alam kumpulan Fragmen Malam: Setumpuk Soneta adalah sajak-sajak lama Wing Kardjo yang d imo d ifikasi d an d ibalut d alam w ujud so neta. Sebelumnya, p erlu jug a d icatat bahwa pembaitan sajak-sajak soneta Wing Kardjo d alam Fragmen M alam: Setumpuk

3.1 Paralelisme M emerkosa Soneta - M emerkosa Demokrasi

  Soneta pada umumnya berpola 4 – 4 – 3 -3

  larik. Berikut ini akan dikutip “ Sajak Sakit” , sebelum dan setelah disonetakan:

  Sajak Sakit METASASTRA , Vol. 6 No.

  2

  , Desem ber 2013: 125—136 1.

  Kau sakit, kata sajak. Memang, kataku. Penyair sakit sebab dipikirkannya derita dunia. Tapi siapa yang tak sakit di zaman ini. Hidup luar biasa, perubahan begitu besar dan tiba-tiba buat dunia ketiga. Kota-kota membengkak, jalan- jalan m eling kar. Untuk sam pai ke rumahmu (dulu hanya seratus langkah saja d ari rumahku) aku berputar-putar. Anjing-anjing di pekarangan menyalak, garang dan galak. Aku hanya membawa buku sajak. Dulu kau senang sajak. Sekarang aku harus lama menunggu di depan gerbang. Kemudian satpam muncul, bertanya siapa aku yang datang jalan kaki. A ku penyair, ingin ketemu Pak Jaksa. Aku temannya dari jauh, sudah lama tak ketemu. “ Tunggu dulu. Siapa nama Bapak, dari mana? Dan sekali lagi apa kerjanya?” Aku penyair, kerjaku nulis sajak. Tahu sajak? Sajak ialah jejak, peta pengembara dalam ruang dan waktu Satpam kelihatan paham dan segera pergi. Lalu keluar lagi bawa kabar.

  Sedang anjing masih menggonggong seperti aku ini garong. Katanya, ada pesan dari d alam. “ Tak kenal jejak. Kafilah lalu enggan diganggu!” 2.

  Aku penyair, tak tahu hukum. Kau Jaksa abdi pengadilan, pasti kenal keadilan Aku mau mengadu, kau tentu gudang ilm u, tap i m asuk pun ke halaman rumahmu aku tak m am p u. A ku m inta perlindungan, tapi kautolak. Dulu kau kawanku. Sekarang? A da jurang, ada gerbang penghalang. Kulihat kau ngintip lewat tirai jendela. Pasti kau orang kaya. Ada Baby Benz dan BMW (Barang bukti?), gardu penjaga dan parabola raksasa! Kau tangkap berita dunia, kelaparan di A frika, pembantaian di Bosnia dan Chechnya, perpisahan Princess Diana d engan Putra Mahkota. (Tapi masih kenal tetangga?) Bangsawan serong, apalagi anak petani yang dalam satu generasi naik gengsi Jad i priy ayi tinggi berkat rev o lusi. Apakah arti revolusi apalagi dengan g lo balisasi! Kau kenal peng usaha- pengusaha mancanegara. Kauhitung kekayaanmu dalam dolar. Uang beredar, berputar dalam arus bebas tapi d alam kalangan terbatas. Tanpa belas kekayaan kita, kebanggaan bangsa, ludas, terkuras! (Ismail, 2002: hlm. 193—195) Sajak Sakit 1.

  Kau sakit, kata sajak. Memang, kataku. Penyair sakit sebab dipikirkannya derita dunia. Tapi siapa yang tak sakit di zaman ini. Hidup luar biasa, perubahan begitu besar dan tiba-tiba buat dunia ketiga. Kota-kota membengkak, jalan- jalan m eling kar. Untuk sam pai ke rumahmu (dulu hanya seratus langkah saja d ari rumahku) aku berputar-putar. Anjing-anjing di pekarangan menyalak, garang dan galak. Aku hanya membawa buku sajak. Dulu kau senang sajak. Sekarang aku harus lama menunggu di depan gerbang. Kemudian satpam muncul, bertanya siapa aku yang datang jalan kaki. A ku penyair, ingin ketemu Pak Jaksa. Aku temannya dari jauh, sudah lama tak ketemu. “ Tunggu dulu. Siapa nama Bapak, dari mana? Dan sekali lagi apa kerjanya?” Aku penyair, kerjaku

  S U YON O S U YAT N O : P ERBANDI NGAN S ONETA A RTI FI SI AL W I NG K ARDJO DENGAN S ONETA S I TOR S I TUMORANG nulis sajak. Tahu sajak? Sajak ialah jejak, peta pengembara dalam ruang dan waktu Satpam kelihatan paham dan segera pergi. Lalu keluar lagi bawa kabar.

  Sedang anjing masih menggonggong seperti aku ini garong. Katanya, ada pesan dari d alam. “ Tak kenal jejak. Kafilah lalu enggan diganggu!” 2.

  Aku penyair, tak tahu hukum. Kau Jaksa abdi pengadilan, pasti kenal keadilan. Aku mau mengadu, kau tentu gudang ilm u, tap i m asuk pun ke halaman rumahmu aku tak m am p u. A ku m inta perlindungan, tapi kautolak. Dulu kau kawanku. Sekarang? A da jurang, ada gerbang penghalang. Kulihat kau ngintip lewat tirai jendela. Pasti kau orang kaya. Ada Baby Benz dan BMW (Barang bukti?), gardu penjaga dan parabola raksasa! Kau tangkap berita dunia, kelaparan di A frika, pembantaian di Bosnia dan Chechnya, perpisahan Princess Diana d engan Putra Mahkota. (Tapi masih kenal tetangga?) Bangsawan serong, apalagi anak petani yang dalam satu generasi naik gengsi jad i priy ayi tinggi berkat rev o lusi. Apakah arti revolusi apalagi dengan glo balisasi? Kau kenal pengusaha- pengusaha mancanegara. Kauhitung kekayaanmu dalam dolar. Uang beredar, berputar dalam arus bebas tapi d alam kalangan terbatas. Tanpa belas kekayaan kita, kebanggaan bangsa, ludas, terkuras! (Kardjo, 1997: hlm. 84%86)

  “ Sajak Sakit” kary a W ing Kard jo m eng ung kit ketim p ang an so sial d an m eny ajikanny a d alam teknik o p o sisi (sebagaimana dinyatakan pula oleh Damono

  (1999, hlm.141): masa lalu x masa kini, penyair x jaksa, anak petani x priyayi tinggi, d an kekay aanm u d alam d o llar x kebanggaan bangsa, ludas, terkuras. Relasi oposisional dalam “ Sajak Sakit” karya Wing Kard jo itu mengimp likasikan bahw a d i tengah arus perubahan w aktu, negeri ini makin hanyut dalam arus globalisasi dan modernisasi: kota-kota membengkak dan jalan-jalan bertam bah banyak. Namun, jurang ketim p angan so sial jug a makin menganga sehingga kekayaan yang fantastis y ang m elud eskan d an m eng uras kebang g aan bang sa hany a bered ar d i kalangan terbatas.

  Sebagaimana telah dikemukakan, sajak- sajak so neta W ing Kard jo y ang hany a so neta artifisial sesung g uhny a ad alah resp on terhad ap demo krasi yang hanya berjalan secara formal (sehingga demokrasi p o litik d an d emo krasi eko no mi macet). Bag ian 3) sajak “ Le p o ète m aud it” (p eng antar Fragmen M alam: Setumpuk

  Soneta

  ) menjelaskan posisi penyair di tengah- tengah lingkungan sosial politiknya:

  Memang semua serupa hari yang cepat jadi senja, menggigil angin memanggil malam yang kelam. Kausangka aku kecewa, terbenam dalam jeram-jeram rumusan: pembangunan, penggusuran, pengangguran, pelacuran, korupsi, ko lusi, ko ng lo m erasi, d ereg ulasi, globalisasi. Kebingungan tanpa ujung. Aku bilang, di luar semua ini. Tak peduli hidup jadi begini. Biar hancur! Maka seperti dalam dongeng, kubangun lagi susunan baru. Tapi dalam tata yang ini, milikku hanya pula dunia kata, lambang- lambang

2 METASASTRA , Vol. 6 No.

  , Desem ber 2013: 125—136

  tak berdaya. Padahal sejak Plato dengan tidak pernah menyerah pada upaya

  penindasan dan pembungkaman. Sikap ini

  tak habis-habisnya orang berbincang

  juga dikaitkan dengan semacam keyakinan membuang penyair dari republik idaman. akan kebenaran Ilahi (sebag aim ana

  (Kardjo, 1997: hlm. 21)

  diimplisitkan pada bait terakhir). Karena itu,

  Bagian 3) sajak “ Le poète maudit” pal- sajak ini juga d ap at d ip and ang sebagai ing tidak menjelaskan ketidakberd ayaan pembenaran akan pilihan so neta: so neta p enyair berhad apan dengan kekuasaan, yang artifisial yang hanya menautkan diri sebagaimana sejak zaman Plato p enyair pada pola persajakan yang terdiri atasi 14 telah disingkirkan dari sistem kekuasaan larik adalah jaw aban terakhir yang paling negara. Yang bisa dilakukan penyair adalah mungkin ketika berhadapan dengan rezim ‘ sep erti dalam do ngeng, kubangun/ lagi y ang rep resif y ang m embungkam d an susunan baru. Tapi dalam tata yang ini,/ membatasi kritik dan perbedaan pendapat. milikku hanya pula dunia kata, lambang-

  3.2 M emerkosa Soneta, M emarodikan

  lambang/ / tak berdaya’. Dengan demikian,

  Situasi

  sajak-sajak dalam Fragmen Malam: Setumpuk

  Soneta

  yang dikemas dalam w ujud soneta Sajak-sajak soneta Wing Kardjo yang artifisial adalah dalam rangka susunan dan terhimpun dalam Fragmen Malam: Setumpuk tatanan baru soneta untuk merespon “ dunia

  Soneta

  sebenarnya dapat dipandang sebagai baru” y ang p o rak-p o rand a y ang upaya memarodikan soneta, dengan hanya d em o krasiny a hany a fo rm al serta membalut sajak dalam wujud soneta secara membungkam dan menyakiti rakyat. artifisial, yakni hanya memanfaatkan syarat

  Sajak so neta Wing Kard jo yang lain, formal jumlah larik soneta yang 14 larik, “ Pernyataan” , mengungkapkan sikap dan sebag aim ana d iny atakan W ing Kard jo prinsip kepenyairan: dalam sejumlah sajak sonetanya dan dalam

  Baris-baris sajak yang kutuliskan w aw ancarany a d eng an harian Kompas. ialah gema dari segala cinta Sajak-sajak soneta Wing Kardjo merupakan

  p em aro d ian so neta y ang terlihat p ad a

  padamu, kata-kata mengalir

  p eng ing karan hakikat so neta y ang dari sayap penyair. dilakukan oleh penyair. Jika pada umumnya cenderung bersifat lirik, sajak-sajak soneta

  Garis kepercayaan yang kami peluk ialah

  Wing Kardjo justru bersifat naratif untuk

  kemerdekaan yang tak kenal takluk, senantiasa siap membendung bencana

  so sial p olitik yang d ikecamnya. Bahkan, menyelamatkan jembatan kencana. pada sebagian soneta Wing Kardjo situasi d an realitas p un d ip aro d ikan. Dengan

  Baris-baris kehormatan yang kami demikian, sajak-sajak soneta Wing Kardjo

  sebenarnya soneta yang telah mengalami

  jaga ialah keutuhan

  d eko nstruksi dan p engingkaran sebagai

  harga manusia

  soneta, dengan melakukan pengingkaran dan pembalikan terhadap hakikat soneta

  di mana dusta dan mulut neraka

  y ang bersifat lirik d an m enjad ikanny a

  tak punya hak menyebut-

  naratif. Hanya syarat formal jumlah larik

  nyebut surga!

  so neta y ang terd iri atas 14 larik y ang

  (Kardjo, 1997: hlm. 71) dipenuhi dan dimanfaatkan oleh penyair.

  Karena itu pula, sajak-sajak soneta Wing Kard jo d ap at d ip and ang sebagai up aya memarodikan soneta.

  Sajak “ Pernyataan” karya Wing Kardjo Memarodikan soneta itu sejalan dengan memerlihatkan sikap untuk menjaga dan upaya penyair untuk memarodikan situasi m em ertahankan harkat kem anusiaan

  S U YON O S U YAT N O : P ERBANDI NGAN S ONETA A RTI FI SI AL W I NG K ARDJO DENGAN S ONETA S I TOR S I TUMORANG

  juga, sebagaim ana y ang terbaca d alam beberapa sajaknya. Umumnya, sajak-sajak Wing Kardjo, kecuali sajak-sajak lamanya y ang kem ud ian d iso netakan, mengung kap kan masalah ketimp angan so sial, ketid akad ilan, p enind asan, d an sebag ainy a. Berikut ini ad alah sajak “ Frag men Malam” y ang menamp ilkan m asalah eksp lo itasi eko no m i, y ang menelantarkan dan menyengsarakan rakyat jelata:

  1. Selalu saja seperti itu malam yang fana, rempah- rempah yang ditimbun di kota- kota pelabuhan, dimuat kuli-kuli lalu berlayar dengan kapal-kapal ke Eropa, ke pelosok-pelosok negeri kaya, lalu minyak, mas, tembaga, kayu lalu lautan bukan lagi milik kita, jual saja banyak-banyak anak-anak kita merayap di tiap jengkal tanah kerdil dan tak berotak Tangki-tangki bertolak. Siapa membubuhkan tanda tangan memutuskan hitam-putihnya sekian kemungkinan? Bukan kita yang berjuta-juta masuk ke dalam alienasi materi tapi hanya segelintir saja yang berkuasa. Tapi tahulah senja datang juga matahari jingga juga semua terlena, terlena di sebrang kemewahan yang maya. (Kardjo, 1997: hlm. 231%232)

  Sajak “ Fragmen Malam” yang terdiri atas dua bagian tampak mengungkapkan hal yang sama, yakni eksploitasi alam untuk kep enting an kap italism e, tetap i jug a mengoposisikannya secara temporer. Bagian p ertama sajak “ Fragmen Malam” imaji- imajinya membayangkan masa penjajahan

  VOC: remp ah-remp ah, ko ta p elabuhan, kapal yang berlayar ke Eropa, minyak, mas, tembaga, dan kayu. Sementara itu, bagian ked ua m em bay ang kan m asa setelah kem erd ekaan: kap al-kap al tang ki d an (p enguasa) yang m em bubuhkan tand a tangan. Dengan demikian, ada satu hal yang ingin dikemukakan dalam sajak ini, yakni bahw a rakyat jelata selalu menjadi korban atau d iko rbankan, baik p ad a m asa p enjajahan m aup un p ad a masa setelah kemerdekaan. Ironisnya, apabila pada masa penjajahan negeri ini dijajah oleh bangsa asing, setelah kemerdekaan d ijajah o leh bangsa sendiri. Pikiran semacam inilah yang mewarnai sebagian sajak-sajak Wing Kardjo y ang m eng g ug at ketim p ang an d an kesenjang an so sial y ang tetap saja berlangsung biarpun telah merdeka.

  Gugatan terhadap situasi dan realitas sosial politik yang ada itu oleh Wing Kardjo d isampaikan secara p arod i lew at soneta yang artifisial, sebagaimana terbaca dalam sajak “ Pem bukaan” y ang m erup akan parodi terhadap Pembukaan UUD 1945:

  “ M aka sam p ailah p erjuang an pergerakan Indonesia mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kem erd ekaan d eng an selam at d an sentosa.” Hanya setelah lewat gerbang ternyata ada yang selamat ada yang tidak.

  Ada taman pahlawan dan ada kuburan tanpa nisan, ada yang cacat dan ada pengkhianat sampai akhir zaman, sedang METASASTRA , Vol. 6 No.

  2

  3.3 Soneta Sitor Situmorang

  pada kutipan berikut:

  aabb – bbbb – abb – abb , sebagaimana terbaca

  Selain itu, juga terdapat pola sampiran – isi (proposisi – konklusi) sebagaimana yang dipersyaratkan dalam konvensi soneta. Pola rima akhir sajak Sitor Situmorang ini adalah

  soneta, meskipun tidak sepenuhnya. Sajak “ Dia dan Aku” , misalnya, berjumlah 14 larik dengan pola pembaitan 4 – 4 – 3 – 3 larik.

  Kertas Hijau relatif lebih setia pada konvensi

  Sajak-sajak so neta Sito r Situmo rang yang terhimpun d alam kumpulan Surat

  (1986) menghadirkan nada satiris dan paro dis karena pemarod ian so neta yang dilakukannya (Cuddon, 2012: 898—900).

  , Desem ber 2013: 125—136

  Gate

  So neta artifisial W ing Kard jo y ang muncul pada akhir abad 20 sesungguhnya dapat dipandang sebagai lanjutan hal yang sama yang terdapat dalam puisi Inggris pada aw al abad 20. Sonnet Reversed (1911) yang ditulis oleh Rupert Brooke, misalnya, telah m em erlihatkan sem ang at anti-sonnet. Bahkan, sisip an so neta (sebany ak 590 soneta) dalam novel Vikram Seth The Golden

  Sajak “ Pem bukaan” d an “ Fragm en M alam ” , m eng em ukakan ad any a penjajahan lama dan baru, penjajahan oleh bangsa asing d an bangsa send iri. Oleh karena itu, Pembukaan UUD 1945 p un d ip aro d ikan, d iejek, d an d ip ero lo kkan karena semangat untuk m erd eka y ang secara tekstual muncul dalam Pembukaan UUD 1945 d alam realitas faktual d ap at d iang g ap belum m uncul: kita hany a berganti penjajah dan majikan.

  Teks lain Pembukaan UUD 1945 yang dimunculkan dalam sajak Wing Kardjo ini (“ A tas berkat rahmat A llah Yang Maha Kuasa/ dan didorong oleh keinginan yang luhur, maka kita hidup/ merdeka, bersatu, berd aulat, ad il d an m akm ur.” ), jug a dilanjutkan dengan olok-olok dan ejekan: ‘Hanya/ yang luhur makin makmur, terlalu makmur, sedang yang tergusur/ / makin terdesak mundur teratur ke lubang kubur/ sam bil m embung kuk-bungkuk rund uk menghadapi majikannya,/ dulu orang asing sekarang belasteran, keturunan badak dan biaw ak.’

  Dalam sajak “ Pembukaan” p ertama- tama dikutip teks Pembukaan UUD 1945 (“ Maka sampailah perjuangan pergerakan Indonesia/ mengantarkan rakyat Indonesia ke d ep an p intu g erbang / kemerd ekaan dengan selamat dan sentosa.” ), setelah itu muncul komentar yang memerolok-olok teks Pembukaan UUD 1945 tersebut: ‘ Hanya setelah/ lew at gerbang ternyata ada yang selamat ada yang tidak.’

  sementara yang d ud uk d i temp at terhormat menimba kekayaan terus-terusan. “ Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan yang luhur, maka kita hidup merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Hanya yang luhur makin makmur, terlalu makmur, sedang yang tergusur makin terdesak mundur teratur ke lubang kubur sambil membungkuk-bungkuk runduk menghadapi majikannya, dulu orang asing sekarang belasteran, keturunan badak dan biawak. (Kardjo, 1997: hlm. 299)

  Akankah kita bercinta dalam kealpaan semesta? %Bukankah udara penuh hampa ingin harga?— Mari, dik, dekatkan hatimu pada api ini Tapi jangan sampai terbakar sekali A kankah kita utamakan percakapan begini? %Bukankah bumi penuh suara inginkan isi?— Mari, dik, dekatkan bibirmu pada bisikan hati Tapi jang an samp ai m eg ap nafas bernyanyi Bukalah dada hamparkan warna

  S U YON O S U YAT N O : P ERBANDI NGAN S ONETA A RTI FI SI AL W I NG K ARDJO DENGAN S ONETA S I TOR S I TUMORANG

  Di pelaminan musim silih berganti Padamu jua kelupaan dan janji Akan kepermaian rahasia Permainan cumbu dendam silih berganti Kemasygulan antara tangkap dan lari (Situmorang, 1977: hlm. 6)

  Sajak “ Dia dan Aku” Sitor Situmorang tampaknya mengikuti pola konvensi soneta Itali yang terdiri atas o ktaf (8 larik) d an sekstet (6 larik) meskipun tidak secara ketat sehingga pola pembaitannya 4 – 4 – 3 – 3 larik. Selanjutny a, p ad a bag ian o ktaf d im unculkan p ertany aan reto rik atau propo sisi (‘ A kankah kita bercinta dalam kealp aan sem esta?/ % Bukankah ud ara p enuh ham p a ing in harg a?— / ..../ / A kankah kita utam akan p ercakap an beg ini?/ % Bukankah bumi p enuh suara inginkan isi?—‘ ), sedangkan pada bagian sekstet dihadirkan jawaban atas proposisi tersebut (‘ Bukalah d ad a ham p arkan warna/ Di pelaminan musim silih berganti/ Pad am u jua kelup aan d an janji/ / A kan kep erm aian rahasia/ Perm ainan cum bu dendam silih berganti/ Kemasygulan antara tangkap dan lari’).

  Meskipun tampaknya “ Dia dan A ku” mematuhi ko nv ensi so neta, sajak Sito r Situmorang ini juga tidak sepenuhnya taat. Pada bagian oktaf, sajak ini terdiri atas dua bait, tiap baitny a setelah d ua larik m em unculkan p ro p o sisi d an d ua larik berikutnya menghad irkan p embayangan (‘Mari, dik, dekatkan hatimu pada api ini/ Tapi jangan sampai terbakar sekali/ / ..../ Mari, dik, dekatkan bibirmu pada bisikan hati/ Tap i jang an sam p ai m egap nafas berny any i’ ). D ap at d ikatakan, pembayangan ini menjadi perantara untuk sampai pada konklusi yang muncul pada dua bait terakhir: hasrat yang senantiasa menawan dan memesona, tetapi tak pernah abadi.

  D ua bait terakhir y ang m erup akan sekstet sajak “ Dia dan Aku” yang sekaligus merupakan konklusi atau inti sajak, dapat d ikatakan m erup akan realisasi d ari p and ang an carpe diem y ang p ernah berkembang di Eropa yang menekankan untuk m ereg uk d an m enikm ati hid up sebelum ajal tiba. Karena hid up p ad a hakikatnya adalah misteri dan kefanaan, si aku lirik berup ay a m enikm ati p eso na keindahan, meskipun sadar bahwa hal itu tidak akan pernah abadi, senantiasa silih berg anti antara tang kap d an lep as. Pandangan serupa ini muncul juga dalam sajak Sitor Situmorang yang lain, “ Telah Lama” .

  Sajak Sitor Situmorang yang lain, “ The Tale of Two Continents” juga masih berpola soneta sebagaimana sajak “ Dia dan Aku” :

  Satu rasa dua kematian Satu kasih dua kesetiaan Antara benua dan benua Tertunggu rindu samudra Dua kota satu kekosongan Dua alamat satu kehilangan Antara nyiur dan salju Merentang ketakperdulian tuju Semoga kasih tahu jalan kembali Pada pintu yang membuka dinihari Kemana angin membawa diri Kekasih, semoga kau berdua Dapat kepenuhan cinta dalam aku tiada Terpecah dua benua, suatu kelupaan di sisik samudra (Situmorang, 1977: hlm. 18)

  Pola pembaitan “ The Tale of Two Con- tinents” adalah 4 – 4 – 3 – 3 larik dengan p o la rim a akhir aabb- aacc- ddd- bbb . D iband ing kan d eng an sajak Sito r Situmorang “ Dia dan Aku” , sajak “ The Tale o f Tw o Co ntinents” ini d ari sisi kompo sisinya sebagai so neta lebih rapi. Bagian o ktaf yang terd iri atas d ua bait menghadirkan prop osisi (‘ Satu rasa d ua kematian/ Satu kasih dua kesetiaan/ Antara benua d an benua/ Tertung g u rind u METASASTRA , Vol. 6 No.

  2

  , Desem ber 2013: 125—136 samudra/ / Dua kota satu kekosongan/ Dua alamat satu kehilangan/ Antara nyiur dan salju/ Merentang ketakperdulian tuju’), dan d iikuti o leh d ua bait terakhir y ang m erup akan bag ian sekstet y ang menghadirkan konklusi (‘Semoga kasih tahu jalan kembali/ Pada pintu yang membuka dinihari/ Kemana angin membaw a diri/ / Kekasih, sem o g a kau berd ua/ D ap at kepenuhan cinta dalam aku tiada/ Terpecah d ua benua, suatu kelup aan d i sisik samudra’ ).

  Prop osisi yang termuat p ad a bagian oktaf sajak “ The Tale of Tw o Continents” memberikan pembayangan kemend uaan cinta: satu rasa dua kematian, satu kasih dua kesetiaan, dua kota satu kekosongan, dua alamat satu kehilangan. A ku lirik yang hany a m em iliki satu rasa kasih, m em bag iny a d alam d ua kesetiaan. Implikasinya adalah di antara dua kota, dua alamat, salah satu (kekasih) merasakan kekosongan dan kehilangan. Metafora yang sekaligus metonimi ‘antara nyiur dan salju’ pada larik ketiga bait kedua mengisyaratkan cinta aku lirik yang terbelah di antara dua benua sehingga judul sajak ini pun “ The Tale of Tw o Continents” . Satu benua mungkin Asia, Indonesia tercakup di dalamnya, dan satu benua lagi adalah Eropa, yang masing- masing ditunjukkan oleh metonimi ‘nyiur’ dan ‘salju’.

  • – 4 – 3 – 3 larik, dengan pola rima aabb –

  Yang agak unik, dua bait terakhir sajak ini yang merupakan sekstet, masing-masing bait menampilkan semacam dialog antara (salah satu) kekasih dan aku lirik. Bait ketiga berisi semacam cakapan batin dari (salah satu) kekasih kemud ian d iikuti cakap an batin serup a d ari aku lirik p ad a bait keempat:

  Semoga kasih tahu jalan kembali Pada pintu yang membuka dinihari Kemana angin membawa diri Kekasih, semoga kau berdua Dapat kepenuhan cinta dalam aku tiada Terpecah dua benua, suatu kelupaan di sisik samudra Sajak Sitor Situmorang yang lain lagi,

  “ Surat Kertas H ijau” , m asih m enam pilkan ko nv ensi so neta, sebagaimana terbaca berikut ini. Segala kedaraannya tersaji hijau muda Melayang d i lembaran surat musim bunga Berita dari jauh Sebelum kapal angkat sauh Segala kemontokan menonjol di kata-kata Menepis dalam kelakar sonder dusta Harum anak dara Menghimbau dari seberang benua Mari, dik, tak lama hidup ini Semusim dan semusim lagi Burung pun berpulangan Mari, dik, kekal bisa semua ini Peluk goreskan di tempat ini Sebelum kapal dirapatkan (Situmorang, 1977: hlm. 8)

  Sebag aim ana sajak so neta Sito r Situmorang yang lain, sajak “ Surat Kertas Hijau” pun menampilkan pola pembaitan 4

  aaaa – ccd – ccd

  . Sama halnya dengan dua sajak Sitor Situmorang yang dikemukakan sebelum ini, sajak “ Surat Kertas Hijau” pun menamp ilkan p o la o ktaf - sekstet yang masing-masing terdiri atas dua bait. Bagian oktaf menampilkan proposisi, sedangkan bagian sekstet konklusi. Pada bagian oktaf terlihat p aralelism e antara ‘ Seg ala kedaraannya tersaji hijau muda/ Melayang di lembaran surat musim bunga’ dan ‘Segala kem o nto kan m eno njo l d i kata-kata/ Menepis dalam kelakar sonder dusta’,.dan ‘ Berita d ari jauh/ Sebelum kap al angkat sauh’ % ‘Harum anak dara/ Menghimbau dari seberang benua’. Seperti halnya dalam sajak “ Dia dan A ku” , sajak “ Surat Kertas Hijau” p ad a bag ian o ktaf jug a menghadirkan pembayangan di setiap dua larik terakhir pada tiap baitnya (‘Berita dari jauh/ Sebelum kap al ang kat sauh’ d an

  S U YON O S U YAT N O : P ERBANDI NGAN S ONETA A RTI FI SI AL W I NG K ARDJO DENGAN S ONETA S I TOR S I TUMORANG

  ‘ Harum anak d ara/ M eng him bau d ari seberang benua’). Pembayangan ini menjadi semacam p erantara untuk samp ai p ad a bagian konklusi di bagian sekstet.

  Bagian sekstet sajak “ Surat Kertas Hijau” (dua bait terakhir sajak ini) tidak sepenuhnya merupakan konklusi meskipun lebih mengarah dan memokus. Bait ketiga sajak ini (yang merupakan bagian sekstet) masih melontarkan pembayangan (‘Mari, d ik, tak lam a hid up ini/ Semusim d an semusim lagi/ Burung pun berpulangan’ ), sebelum akhirnya sampai pada konklusi yang sebenarnya di bait terakhir (‘Mari, dik, kekal bisa semua ini/ Peluk goreskan di tempat ini/ Sebelum kapal dirapatkan’). Jadi, d ap at d ikatakan, ko nklusi pad a bagian sekstet sajak “ Surat Kertas Hijau” terbangun melalui relasi oposisional antara bait ketiga dan keempat (‘.... tak lama hidup ini’ % ‘.... kekal bisa semua ini’). Konklusi p ad a bait terakhir ini d ap at d iang gap berangkat dari p andangan momento mori yang menekankan untuk menikmati hidup sebelum ajal tiba, suatu up aya merebut keabadian di tengah kefanaan.

  • – aaaa

  Sajak lain Sito r Situm o rang y ang berpola soneta adalah “ Telah Lama” :

  Kefanaan ini telah lama dikandungnya Tiada indah yang dibiarkan tetap di mata Juga tubuhmu yang kupeluk nyata Sekali akan bertukar jad i hany a kenangan rasa Tapi sebelum itu dan kita tiba Pada perbatasan antara ada dan tiada Tangan menggapai dalam udara Dan di kesejukan di relung dada Beri aku bercumbu di ronamu Istirahat kelupaan bermimpi Di pangkuan Tiada kekal tiada fana kali ini Hanya kekinian saat beradu Bernama perempuan (Situmorang, 1977: hlm. 5)

  Seperti halnya sajak-sajak soneta Sitor Situmorang yang dikemukakan sebelum ini, sajak “ Telah Lama” juga menampilkan pola pembaitan 4 – 4 – 3 – 3 larik, dengan pola rim a aaaa – aaaa – bcd – cbd. N am un d em ikian, bag ian o ktaf p ad a d ua bait pertama agak unik. Dengan pola rima aaaa

  , bagian oktaf ini mendekatkan diri pada po la rima syair. Walaupun berpola rima syair pada bagian oktaf, tetapi sajak “ Telah Lama” ini tetap bersifat lirik dengan alur yang khas soneta, yakni bergerak dari hal yang bersifat umum (proposisi) ke yang khusus (konklusi).

  Bait terakhir sajak “ Telah Lama” (‘Tiada kekal tiada fana kali ini/ Hanya kekinian saat berad u/ Bernam a p erem p uan’ ) d ap at dikatakan merup akan konklusi atau inti sajak ini yang berasal dari pandangan yang sebelumnya berkembang di Eropa, yakni

  carpe diem yang menyatakan bahwa sebelum

  kematian datang nikmatilah hidup sepuas- puasnya. Sebelum sampai pada konklusi tersebut, sejak bait pertama secara bertahap dilontarkan sesuatu yang bersifat umum, yakni tentang kefanaan. Pad a bait-bait berikutnya soal kefanaan makin digiring dan diarahkan pada konklusi yang muncul di bait terakhir. Pad a bait ked ua, m isalny a, dinyatakan ‘Tapi sebelum itu dan kita tiba/ Pada perbatasan antara ada dan tiada/ ....’ Selanjutnya, pada bait ketiga dilontarkan ‘ Beri aku bercumbu di ronamu/ Istirahat kelupaan bermimpi/ Di pangkuan’.

  4. Simpulan

  So neta d i tangan d ua p enyair yang berbed a, y akni W ing Kard jo d an Sito r Situmorang, melahirkan kecend erungan yang berbeda pula. Soneta Sitor Situmorang cenderung lebih liris, sesuai dengan karakter asli soneta, dan ekspresi estetiknya pun lebih setia pada konvensi soneta. Sementara itu, soneta Wing Kardjo cenderung naratif dan hanya memanfaatkan pola ekspresi soneta sambil memarodikannya. Kecenderungan memaparodikan soneta pada Wing Kardjo— sehingga ia menyebutnya sebagai soneta artifisial—sejalan d engan keinginannya

2 METASASTRA , Vol. 6 No.

  , Desem ber 2013: 125—136 untuk memarodikan situasi sosial politik di relasi lelaki—perempuan (yang berangkat negeri ini (soneta artifisial sebagai respon dari pandangan momento mori yang pernah terhadap demokrasi artifisial). berkem bang d i Ero p a). Sem entara itu, kecenderungan naratif pada soneta Wing

  Kecenderungan liris pada soneta Sitor Kardjo terkait dengan muatan soneta Wing

  Situmo rang tid ak terlep as d ari muatan Kardjo yang merupakan respon terhadap soneta Sitor yang menampung persoalan- situasi sosial politik di negeri ini. p erso alan p erso nal, terutama d alam hal

  Daftar Pustaka

Cuddon, J.A. 2012. The Penguin Dictionary of Literary Terms and Literary Theory (Fifth Edition).

  London: Wiley – Blackwell.

Damono, Sapardi Djoko. 1999. “Memperkosa Soneta” dalam Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta:

Pustaka Firdaus.

  

The Sonnet. http:// www.writing.upenn.edu/~afilreis/88/sonnet.html. Diunduh pada tanggal 20 Maret 2013.

  

Ismail, Taufiq dkk. 2002. Horison Sastra Indonesia 1: Kitab Puisi. Jakarta: Majalah Sastra Horison &

The Ford Foundation. Kardjo, Wing. 1997. Fragmen Malam: Setumpuk Soneta. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Kompas. 1997, 1 Oktober. “Wing Kardjo Memperkosa Soneta”. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Situmorang, Sitor. 1977. Surat Kertas Hijau. Jakarta: Dian Rakyat. Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.