Haluan Baru Politik Luar Negeri Indonesia: Perbandingan Diplomasi ‘Middle Power’ Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo

‘Middle Power’ Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo

Rizky Alif Alvian, Ganesh Cintika Putri, Irfan Ardhani Institute of International Studies (IIS) International Relations Department, Faculty of Social and Political Science Gadjah Mada University Bulak Sumur, Yogyakarta 55281 rizky.alif.a@mail.ugm.ac.id Submitted: 16 October 2017, Accepted: 29 March 2018

Abstract This article attempts to identify changes in Indonesia’s middle power diplomacy strategy under President Susilo Bambang Yudhoyono and Joko Widodo. This phenomenon is important to be studied because President Yudhoyono and President Widodo proposed different visions of Indonesia’s foreign policy, yet similarly perceived Indonesia’s position as a middle power country. Using border and maritime diplomacy as well as democracy, Islam, and human rights as case studies, this article argues that the strategy of Indonesia’s middle power diplomacy experienced a shift in orientation from —to use Krasner’s terminology—relational power to meta-power. While Indonesia under Yudhoyono previously attempted to gain benefits by following established rules, Indonesia under Widodo tried to pursue its interests by influencing, altering, or crafting rules in international politics. Keywords: Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, middle power, relational power, meta-power.

Abstrak Artikel ini berupaya mengidentifikasi perubahan strategi diplomasi middle power Indonesia di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Fenomena ini penting untuk dikaji karena Presiden Yudhoyono dan Joko Widodo mengajukan visi yang berbeda mengenai politik luar negeri Indonesia, tetapi sama-sama memaknai posisi Indonesia sebagai negara middle power. Dengan menggunakan isu diplomasi perbatasan dan maritim serta demokrasi, Islam, dan hak asasi manusia sebagai studi kasus, artikel ini berargumen bahwa strategi diplomasi middle power Indonesia mengalami pergeseran orientasi dari—meminjam terminologi Krasner—relational power menuju meta-power. Apabila Indonesia di bawah Yudhoyono sebelumnya berupaya meraih lebih banyak keuntungan dengan mengikuti aturan main yang mapan, Indonesia di bawah Widodo kini berusaha mencapai kepentingannya dengan cara mempengaruhi, mengubah, atau membangun aturan main dalam politik internasional. Kata Kunci: Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, middle power, relational power, meta-power.

PENDAHULUAN

Kemenangan Presiden Joko Widodo atau yang dapat memberi keuntungan domestik serta Jokowi dalam pemilihan umum 2014 menandai memperkuat kedaulatan Indonesia (lihat, Davies dan perubahan corak politik luar negeri Indonesia. Haris-Rimmer, 2016; Andika, 2016; Harding dan

Orientasi ke “luar” (outward looking) Presiden Susilo 1 Mechant, 2016; Rosyidin, 2017). Meski demikian, di Bambang Yudhoyono digantikan oleh orientasi ke tengah perubahan orientasi ini, Yudhoyono maupun

“dalam” (inward looking) Presiden Joko Widodo. 2 Jokowi melihat Indonesia sebagai negara middle power Upaya Indonesia untuk mengambil peran global serta berupaya membangun diplomasi middle power

melalui aktivitas-aktivitas multilateral digantikan Indonesia. dengan upaya untuk membangun politik luar negeri

152 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018

Pergeseran orientasi politik luar negeri Indonesia merupakan suatu fenomena yang penting Indonesia nampak dalam perubahan visi Indonesia untuk dikaji. Apa pendekatan yang diajukan oleh dalam politik internasional. Pada tataran visi, Presiden

dan Jokowi dalam Indonesia

Yudhoyono

berusaha menerjemahkan dan mempraktikkan diplomasi middle mengaplikasikan visi “thousand friends and zero enemy”. power Indonesia? Mengapa pergeseran strategi tersebut Melalui prinsip ini, Indonesia berusaha menjalin terjadi?

di bawah

Yudhoyono

hubungan yang baik dengan seluruh negara, sehingga Artikel ini berpendapat bahwa strategi dalam kata- kata Presiden Yudhoyono (2009), “no diplomasi middle power Indonesia telah mengalami country perceives Indonesia as an enemy and there is no pergeseran. Pergeseran ini terjadi utamanya pada jenis country which Indonesia considers an enemy. Thus power yang digunakan Indonesia. Berangkat dari Indonesia can exercise its foreign policy freely in all pengembangan atas konseptualisasi Krasner (1985)

directions, having a million friends and zero enemies ”. Di mengenai relational-power dan meta-power 3 , artikel ini tengah meningkatnya interdependensi antar-negara, berargumen bahwa peran meta-power semakin sentral pemerintahan Yudhoyono mendorong agar negara- dalam strategi diplomasi middle power Indonesia. negara bekerjasama untuk mengatasi tantangan Berbeda dengan relational-power yang menuntut sebuah kolektif.

negara untuk memperjuangkan kepentingannya Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi dengan mula-mula mengikuti aturan main yang

berangkat dari visi yang berbeda. Jokowi secara dominan dalam rezim internasional, meta-power eksplisit berupaya “mereposisi peran Indonesia dalam mendorong negara untuk mengubah aturan main

isu- isu global” (Widodo dan Kalla, 2014: 12). Jokowi rezim

menjadi kondusif bagi berkomitmen untuk menjaga “kebebasan dalam kepentingannya. Sebelumnya, strategi diplomasi menentukan arah hubungan luar negeri yang middle power Indonesia lebih banyak dibangun di atas mengabdi pada kepentingan nasional” serta konsepsi relational-power. Dengan kata lain, apabila

sehingga

“menempatkan Indonesia sebagai kekuatan regional Indonesia sebelumnya berupaya meraih lebih banyak dengan keterlibatan global secara selektif, dengan keuntungan dengan mengikuti aturan rezim yang memberi prioritas pada permasalahan yang secara mapan, Indonesia kini berusaha mencapai langsung berkaitan dengan kepentingan bangsa dan kepentingannya dengan mempengaruhi, mengubah, rakyat Indonesia” (Widodo dan Kalla, 2014: 12). Visi atau membangun aturan main rezim. Praktik relational politik luar negeri Jokowi ini beresonansi dengan power, menurut Krasner, antara lain nampak dalam

kritik terhadap politik luar negeri Yudhoyono yang negosiasi bantuan pembangunan bilateral (bilateral dirasa elitis dan tak punya hubungan langsung dengan

aid ). Dalam situasi ini, negara berkembang berusaha kepentingan

untuk memaksimalkan besaran dan mengurangi pengembangan ekonomi dalam negeri (Sukma, 2016;

prasyarat bantuan. Walau demikian, negosiasi ini Rosyidin, 2017).

tidak mengubah aturan main dasar dari bantuan Artikel ini berupaya membandingkan strategi

pembangunan Utara-Selatan: bahwa negara donor diplomasi middle power Indonesia di bawah Presiden berhak untuk menggunakan bantuan itu sebagai

Yudhoyono (khususnya pada periode kedua) dan sarana mencapai kepentingannya. Sementara itu,

Jokowi serta mengidentifikasi perubahan strategi di Krasner mengambil proposal New International antara keduanya. Seiring dengan perubahan

Economic Order (NIEO) sebagai contoh praktik meta- paradigma kedua presiden dalam memandang politik

power. Dihadapkan pada rezim ekonomi internasional internasional, fakta bahwa kedua presiden tetap yang berorientasi pasar, negara-negara berkembang berupaya untuk membangun diplomasi middle power

berusaha merancang aturan main alternatif yang

RIZKY ALIF ALVIAN, GANESH CINTIKA PUTRI, IRFAN ARDHANI 153

HALUAN BARU POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

memungkinkan negara

untuk (2003) menggolongkan Indonesia dan Malaysia mempertahankan otoritasnya di hadapan kekuatan sebagai negara middle power di wilayah Asia Pasifik pasar. Bagi negara berkembang, strategi ini krusial karena keduanya memiliki posisi menengah dalam karena mereka memiliki kesempatan untuk beberapa indikator, yakni (1) populasi; (2) wilayah mengurangi kerentanan negara terhadap dinamika geografis; (3) pengeluaran militer; (4) GDP; (5) pasar yang fluktuaktif.

berkembang

pertumbuhan riil GDP; (6) nilai ekspor; (7) Gross Meski demikian, perlu digarisbawahi bahwa National Income (GNI) per kapita; (8) persentase tren pergeseran dari relational power ke meta power perdagangan dalam GDP; dan (9) angka harapan dalam politik luar negeri Indonesia terjadi secara tidak hidup (lih., Ruhama, 2015). Mengikuti nalar Ping, merata di seluruh bidang. Pergeseran ini juga tidak negara middle power adalah negara yang memiliki posisi sempurna. Perubahan ke arah meta-power tidak pernah menengah dalam hierarki power. Pada gilirannya, membuat strategi berbasis relational-power benar-benar power ini dijangkarkan pada kepemilikan berbagai menghilang.

sumber daya yang dapat diidentifikasi melalui Untuk mengurai argumentasi di atas, artikel ini indikator-indikator di atas. Ping (2003: 44) menulis: mula-mula akan mendiskusikan karya-karya terdahulu

“If a case can be built for the definition of a particular mengenai middle power maupun perilaku Indonesia

state to be classified as one in the middle of some form sebagai middle power. Artikel ini selanjutnya akan of power, then that gives the definition ample information about which to be critical but allows for

menjelaskan kerangka konseptual yang digunakan the evolution of the term along with the evolving oleh artikel ini untuk membaca perubahan strategi

international political economy. Thus, a definition of a diplomasi

middle power Indonesia.

Dengan

MP (Middle Power) is legitimate if it includes the source of the power and identifies a middle position. ”

menggunakan isu diplomasi perbatasan dan maritim serta, demokrasi, Islam, dan HAM, artikel ini

Perubahan status middle power karenanya dapat kemudian berusaha untuk memetakan perubahan dilacak melalui koleksi data statistik atas indikator-

pendekatan diplomasi middle power Presiden indikator yang disebutkan sebelumnya serta Yudhoyono dan Jokowi. Artikel ini kemudian ditutup menentukan posisi suatu negara dalam hierarki dengan kesimpulan.

sumber daya. Melalui usaha tersebut, dapat diketahui apakah sebuah negara menjadi middle power atau justru

TINJAUAN PUSTAKA

kehilangan status tersebut.

INDONESIA SEBAGAI NEGARA ‘MIDDLE POWER’ Untuk mempertahankan posisinya, negara Bagian ini berusaha mengidentifikasi berbagai middle power dituntut untuk mengambil manuver- pandangan mengenai status dan perilaku Indonesia manuver yang membuat mereka tetap kompetitif

sebagai negara

power serta dalam lanskap politik internasional yang terus mengontekstualisasikannya dalam lanskap perdebatan berubah. Upaya ini yang disebut Ping sebagai middle power yang lebih luas. Karya-karya mengenai ‘hibridisasi’. Kepemilikan power pada tingkat status dan perilaku Indonesia sebagai middle power menengah membuat negara middle power memiliki dapat digolongkan ke dalam dua pendekatan. ruang untuk bermanuver alih-alih semata tunduk Pendekatan pertama berargumen bahwa status middle pada negara besar. Namun, karena power negara- power Indonesia diraih berkat kepemilikannya atas negara tersebut sebatas menengah, mereka mesti sejumlah sumber daya kunci seperti populasi, berkompromi dengan tekanan sistem internasional. kekuatan militer, atau besaran Gross Domestic Product Dilema inilah yang membuat inisiatif negara middle (GDP). Analisis Ping (2003) dapat menjadi ilustrasi power bersifat ‘hibrid’. tentang bagaimana pendekatan pertama bekerja. Ping

middle

154 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018

Melalui hibridisasi, negara middle power seperti pendekatan ini. Untuk menangkap kompleksitas Indonesia melakukan emulasi atas perilaku negara- perilaku Indonesia sebagai negara middle power, negara besar sembari terus menyesuaikan diri dengan Ruhama membedakan classic middle power dari emerging perkembangan politik internasional. Kegagalan middle power. Negara-negara classic middle power melakukan hibridisasi akan membuat negara middle memiliki sejumlah penanda perilaku seperti berupaya power kehilangan status serta otonominya. Bagi Ping menjadi bridge-builder, interlocutor, serta mediator dalam (2003), upaya Indonesia untuk mengadopsi politik internasional. Sementara itu, negara emerging demokrasi, membentuk dan melibatkan diri dalam middle power berupaya menegaskan independensinya ASEAN, serta mengimplementasikan rekomendasi serta membangun kekuatan di kawasan. Ruhama IMF pasca krisis finansial Asia merupakan bentuk berargumen bahwa perilaku Indonesia di bawah hibridisasi tersebut.

Presiden Yudhoyono sesuai dengan kriteria classic Pendekatan

bahwa middle power sementara Presiden Jokowi membuat Indonesia dapat disebut sebagai middle power karena Indonesia berperilaku layaknya emerging middle power. Indonesia memiliki pola perilaku tertentu yang Santikajaya (2016) membangun argumentasi lebih dianggap khas negara middle power. Dibandingkan jauh bahwa Indonesia bukanlah negara middle power. dengan pendekatan pertama, karya-karya yang Perilaku Indonesia, menurutnya, berada di antara berangkat dari pendekatan kedua lebih mendominasi perilaku negara-negara middle power (berorientasi pada kajian-kajian tentang status Indonesia sebagai middle status quo , bergerak sebagai mediator, dan punya power.

kedua

berargumen

pengaruh yang lemah di kawasan) dan negara-negara Pendekatan kedua berpendapat bahwa status BRIC (revisionis, mencari status great power, dan

middle power suatu negara ditentukan oleh pola orientasi regional yang lemah). Berbeda dengan perilakunya. Mengutip Darmosumarto (2009), Beeson negara-negara di kedua kutub tersebut, Indonesia dan Lee (2015: 230) berargumen bahwa Indonesia mengambil sikap soft-revisionis, menjadi bridge-builder, “has not only begun to act like a middle power in playing a serta memiliki pengaruh kuat di kawasan. more prominent part in various multilateral organizations,

Kedua kelompok karya ilmiah yang telah but has also begun to use the language of middlepowerdom is didiskusikan di atas merefleksikan dua pendekatan especially significant ”. Perilaku middle power yang arus utama dalam studi terhadap negara-negara middle

dimaksud oleh Beeson dan Lee adalah tindakan power. Pendekatan pertama terinspirasi oleh Indonesia yang semakin banyak terlibat dalam forum- argumentasi neorealisme yang dirumuskan oleh forum multilateral serta berusaha menjadi jembatan Holbraad (1984). Sementara pendekatan kedua bagi great power dan small power di dalamnya. Bagi banyak dipengaruhi oleh analisis liberal Cooper, Beeson dan Lee, keterlibatan dalam forum Higgot, dan Nossal (1993). multilateral serta aktivitas bridge-building merupakan

Pertama, Holbraad (1984) berpendapat bahwa perilaku khas negara middle power. Argumen senada negara middle power d itentukan berdasarkan “strength diusung oleh Azra (2015). Dalam analisisnya, Azra they possess and the power they command ”. Negara middle

(2015: 133) berpendapat bahwa status middle power power ditentukan berdasarkan kemampuannya untuk Indonesia diraih berkat aktivitasnya dalam organisasi memaksakan kehendaknya kepada negara lain internasional serta upayanya sebagai “balancing and sembari menentang kehendak negara lain yang mediating force for countries that were involved in internal dipaksakan terhadapnya. Kemampuan ini, menurut conflicts or even among countries in a certain region ”.

Holbraad, bisa dilihat dari sejumlah indikator. Dalam Analisis Ruhama (2015) dan Santikajaya (2016) jangka pendek, Holbraad berpendapat bahwa

memberikan kompleksitas tambahan terhadap kemampuan ini didasari oleh kekuatan militer suatu

RIZKY ALIF ALVIAN, GANESH CINTIKA PUTRI, IRFAN ARDHANI 155

HALUAN BARU POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

negara, tingkat pengeluaran militer, serta kuantitas cooperation building, enterpreneurial leadership, serta role of perangkat militer tertentu yang memiliki nilai facilitator bagi negara-negara lain dalam usaha untuk strategis. Sementara itu, dalam jangka panjang, mengatasi permasalahan global,

mulai dari besaran GNP dan populasi bisa menjadi indikator penyebaran epidemi, pelucutan senjata, hingga kemampuan suatu negara untuk menciptakan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Cooper, pengaruh. Dalam hierarki sistem internasional, negara Higgott, dan Nossal (1993: 19) (dikutip dalam Flemes,

middle power adalah negara yang berada pada bagian 2007: 8), negara middle power dicirikan dengan: tengah hierarki sehingga juga memiliki kemampuan

“[…] the tendency to pursue multilateral solutions to mempengaruhi yang relatif moderat: lebih rendah dari

international problems, the tendency to embrace negara-negara great power tetapi berada di atas negara- compromise positions in international disputes and the tendency to embrace notions of ‘good international

negara small power. citizenship’ to guide diplomacy.” Di dalam sistem internasional yang dihegemoni

oleh kekuatan besar, negara middle power sebetulnya Upaya-upaya negara middle power ini seringkali tidak memiliki kapasitas yang cukup besar untuk tampil dalam bentuk niche diplomacy. Negara middle

mengatur arah sistem internasional. Negara-negara power yang melakukan niche diplomacy akan berusaha besar menjadi aktor yang lebih menentukan meraih posisi kepemimpinan dalam forum-forum bagaimana sistem internasional bekerja. Di sisi lain, multilateral dan mengarahkan forum tersebut dengan negara middle power juga memiliki kapasitas yang bekal reputasi dan keahlian teknis yang mereka miliki. terbatas untuk menyesuaikan diri dengan perubahan- Dengan mengambil kepemimpinan dalam forum- perubahan yang terjadi di dalam sistem internasional. forum multilateral, negara middle power dapat Dalam lanskap ini, negara middle power berusaha memperoleh kedudukan yang dapat memberi mereka untuk mengambil peran dalam forum-forum dua manfaat, yaitu (1) peningkatan status negara multilateral dalam rangka meningkatkan kapasitas tersebut dalam sistem internasional (2) meluasnya mereka untuk memitigasi resiko bagi diri mereka kesempatan bagi negara-negara tersebut untuk menata sendiri. Dengan mengambil bagian dalam forum- sistem internasional sedemikian rupa sehingga

menguntungkan

mereka.

Meski demikian,

forum tersebut, negara middle power dapat

meningkatkan pengaruhnya untuk memastikan sistem keterbatasan sumber daya yang mereka miliki internasional tetap stabil. Hal ini sekaligus membuat mereka tak bisa melibatkan diri dalam menjelaskan mengapa negara middle power kerap terlalu banyak forum. Negara middle power mesti terlibat dalam usaha-usaha resolusi konflik. memilih fungsi apa yang ia ingin ambil dalam sistem Meningkatnya stabilitas dan prediktabilitas sistem internasional (Cooper, 1997).

Kedua pendekatan di atas memiliki keunggulan internasional akan membuat negara middle power

dan kelemahannya masing-masing. Pendekatan terhindar dari ancaman-ancaman yang timbul akibat

pertama memiliki definisi yang lebih presisi mengenai instabilitas sistem tersebut (Krasner, 1985; Jordaan,

2003). negara middle power. Dengan meletakkan negara middle Kedua, Cooper, Higgott, dan Nossal (1993) power sebagai negara yang menempati posisi

berpendapat bahwa negara middle power bisa menengah dalam hierarki power politik internasional — didefinisikan berdasarkan pola perilakunya. Menurut dicirikan dengan kemampuannya untuk menengahi mereka, negara middle power lebih kerap melibatkan tekanan great power sembari membangun pengaruhnya diri dalam kerja sama multilateral yang berupaya sendiri —pendekatan neorealis dapat menghindari untuk mewujudkan nilai-nilai good international sejumlah kesulitan yang dialami oleh pendekatan citizenship. Negara middle power berupaya menawarkan

156 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018

liberal. Meski demikian, pendekatan neorealis power ” yang “accomodative” dan “multilateral (Cooper, memiliki definisi yang terlalu sempit mengenai power.

1997: 17). Meski demikian, konseptualisasi middle Pendekatan Cooper, Higgot, dan Nossal (1993) power ini tetap dibangun di atas argumen bahwa status mengandaikan bahwa status middle power suatu negara middle power ditentukan oleh set perilaku yang diambil ditentukan berdasarkan pilihan perilaku yang suatu negara. Batasan ini mendorong Santikajaya diambilnya, yakni keterlibatan dalam multilateralisme, (2016) untuk meninggalkan konsep middle power kecenderungan untuk mengambil sikap kompromis, untuk menggambarkan Indonesia. Karena Indonesia dan bertindak sebagai good international citizen. mengambil set perilaku yang berbeda dengan kriteria Meskipun sangat berpengaruh, pendekatan ini middle power , ia memutuskan untuk meletakkan memperoleh

karena Indonesia di luar kategori tersebut. Hal ini ketidakmampuannya untuk menjelaskan perilaku menunjukkan bahwa upaya mengklasifikasikan middle berbagai negara yang tidak mengikuti kriteria Cooper, power berdasar pola perilakunya menjadi kurang Higgot, dan Nassal, namun tak dapat digolongkan produktif. Perubahan sistem internasional membuka sebagai great power maupun small power. Chapnick ruang bagi banyak variasi perilaku. Memperluas (1999) menyebut pendekatan Cooper, Higgot, dan konsep middle power untuk merangkum segala bentuk Nossal sebagai tidak “obyektif” dan “tautologis”. perilaku akan membuat konsep itu terlalu longgar. Chapnick (1999: 76) menulis: “that middle powers are Sementara upaya untuk mempersempitnya akan those that practice middle power internationalism, and that membuat konsep middle power memiliki ruang lingkup middle power internationalism describes the behaviour of analisis yang terlampau kecil. middle powers is a tautology ”.

berbagai

kritik

Pada titik ini, konseptualisasi Holbraad (1984) Dalam karyanya yang ditulis tahun 1997, tentang middle power menjadi lebih berguna.

Cooper berusaha memperluas kerangka analisisnya Argumentasi Holbraad (1984: 5) layak dikutip cukup agar dapat mencakup negara-negara yang berada pada panjang di sini: tingkat menengah, tetapi tidak berperilaku dalam

“The number of great powers in the system and the kriteria yang telah ditetapkan oleh Cooper, Higgot,

political relations that exist between these chief actors dan Nossal (1993). Meski demikian, Cooper (1997:

determine the international environment of the lesser states and influence their behaviour, towards the great

15) menyadari bahwa upaya mengakomodasi powers as well as among themselves. The middle power,

keragaman perilaku negara- negara tersebut “poses a closer to the top level of international politics, tend to be danger of further diluting the middle-power concept ”.

particularly sensitive to the conditions that prevail

Cooper (1997: 9) menyiasati hal ini dengan there. For them, each systemic situation presents its own

set of difficulties and opportunities. […] [T]he reactions memperluas konsep negara middle power sebagai

of middle powers in comparable international situations negara

may be expected to show some similarities. All of them building ”,“coalition-building”

yang bekerja

exposed to the competitive conditions of international

“entrepreneurial/technical leadership” dan “calatyst and society and determined to survive and prosper, they can

neither afford persistently to ignore the threats and facilitator ”. Sementara Jordaan (2005: 165)

encouragements presented by the structure of the system berargumen bahwa seluruh negara middle power

and the interaction of its principal actors, nor

berusaha “stabilises and legitimises global order”. Manuver repeatedly fail to exercise a degree of rationality in their response to them .”

konseptual ini membuka ruang bagi munculnya tipologi “emerging middle power” dan “traditional middle

Pendekatan Holbraad ini memberi penekanan power ” yang menginspirasi karya Ruhama (2015)—di kuat pada posisi middle power dalam politik mana negara “emerging middle power” dirasa lebih internasional. Negara middle power di satu sisi

“combative” dan “regional” ketimbang “traditional middle mengalami tekanan dari situasi internasional yang,

RIZKY ALIF ALVIAN, GANESH CINTIKA PUTRI, IRFAN ARDHANI 157

HALUAN BARU POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

pada gilirannya, dipengaruhi oleh interaksi antar great Krasner —mengandaikan bahwa manuver negara middle power. Dalam arena ini, negara middle power —sebagai power diarahkan lebih untuk menjaga posisi mereka “states that are weaker than the great powers in the system dalam politik internasional atau melindungi otonomi. but significantly stronger than the minor powers and small Pendekatan ini cenderung enggan untuk menyatakan states with which they normally interact ” (Holbraad, secara eksplisit bahwa negara middle power juga 1984: 4) —berada dalam upaya untuk menghindari menyimpan hasrat untuk tumbuh menjadi negara tekanan sembari memanfaatkan kesempatan yang great power meski usaha itu berlangsung lambat dan disediakan struktur. Artikel ini akan berangkat dari tak pasti. argumentasi ini. Dalam artikel ini, middle power

dimengerti sebagai negara yang berada dalam posisi KERANGKA KONSEPTUAL

ini: ditekan oleh sistem internasional, tetapi masih Berpijak dari diskusi di atas, artikel ini memiliki

dan berupaya memperluas konseptualisasi middle power memanfaatkan kesempatan.

sehingga konsep tersebut sensitif terhadap (1) Meski demikian, pendekatan Holbraad keragaman power yang digunakan Indonesia (2) memiliki keterbatasan serius dalam memahami dan aspirasi Indonesia untuk menjadi great power. Artikel memperlakukan power. Kecenderungan untuk melihat ini akan mendiskusikan aspek kedua terlebih dahulu. power berdasarkan sumber-sumber material yang

Untuk menangkap aspirasi Indonesia untuk dimiliki negara tidaklah keliru. Tetapi, cara ini tak menjadi great power, artikel ini menggunakan konsep akan cukup berhasil menangkap kompleksitas kasus relational power dan meta-power. Krasner (1985: 14) Indonesia. Pertama, pendekatan Holbraad —yang menulis: kemudian diterapkan Ping (2003) untuk Indonesia —

“Relational power behavior refers to efforts to maximize tak berhasil memeriksa power Indonesia yang bersifat

values within a given set of institutional structures; non-material. Padahal, sebagaimana yang ditunjukkan meta-power behavior refers to efforts to change the institutions themselves. Relational power refers to the

oleh berbagai analisis, power Indonesia tak hanya ability to change outcomes or affect the behavior of diperoleh melalui sumber daya material. Laksmana

others within a given regime. Meta-power refers to the (2011), Acharya (2015), dan Davies dan Haris-Rimmer

ability to change the rules of the game. ” (2016), misalnya, menunjukkan bahwa power

Krasner, negara Indonesia diperoleh dari posisi normatifnya atas memiliki dua pendekatan dalam mewujudkan

Dalam konseptualisasi

berbagai isu, seperti demokrasi, Islam, dan HAM. kepentingan nasionalnya. Kedua pendekatan ini Laksmana (2011: 165) menulis bahwa “democracy dibedakan berdasarkan sikapnya terhadap suatu provides Indonesia with an excellent window of opportunity rezim. Lewat pendekatan berbasis relational power,

to raise its regional and global profile ”. negara berupaya mencapai kepentingannya tanpa Kedua, pendekatan ini juga tidak dapat berusaha mengubah aturan main rezim. Sementara

menangkap aspirasi Indonesia untuk menjadi great itu, lewat pendekatan meta-power, negara berupaya power. Fealy dan White (2016: 93) mencatat bahwa mencapai kepentingannya dengan mengubah aturan Indonesia “start taking a bigger and more assertive role, if main yang dominan. not as a classic ‘Great Power’ then at least as a major

Mengikuti Holbraad, kekhasan negara great regional power ”. Gejala sejenis diidentifikasi oleh power terletak pada kapasitasnya untuk mempengaruhi Ardhani (2016) yang menunjukkan bahwa Indonesia sistem internasional. Karenanya, aspirasi negara middle menginginkan status negara besar melalui berbagai power untuk menjadi great power menuntut mereka upaya glorifikasi atas masa lalu. Pendekatan yang untuk tak hanya menggunakan pendekatan relational diajukan Holbraad —juga oleh neorealis lain seperti power , tapi juga meta-power apabila memungkinkan.

158 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018

Negara middle power dituntut untuk turut Artikel ini mengkombinasikan konsep relational mempengaruhi arah sistem alih-alih sekadar power dan meta-power dengan ketiga teknik power di memastikan kepentingan mereka terpenuhi di atas. Sebagai contoh, suatu negara yang memakai dalamnya. Pada titik ini, konsep relational power dan teknik pengaturan institusi serta pendekatan meta- meta-power dapat berguna untuk menangkap power akan bergerak untuk membangun institusi yang ambiguitas negara middle power yang berupaya mendukung kepentingannya. Pendekatan relational melakukan gerak defensif dan ofensif sekaligus power dengan teknik yang sama akan mendorong menengahi tekanan sistem sembari meningkatkan negara untuk meraih posisi strategis dalam institusi pengaruh. Ketika tekanan begitu kuat, negara middle atau memanfaatkan aturan main untuk memastikan power dapat bekerja dalam modus relational power kepentingannya terpenuhi. untuk sekadar memastikan kepentingannya terpenuhi. Namun, ketika kesempatan terbuka, negara middle

Tabel 1. Kerangka Analisis Diplomasi Middle Power power dapat mengubah pendekatannya menjadi meta-

Pendekatan

power untuk membuat sistem jadi

lebih

Relational Power

Metapower

Pemenangan

Aktor lain

menguntungkan baginya.

konflik via

mengambil

Meski demikian, dalam Structural Conflict

peningkatan

tindakan sesuai

sumber daya

keinginan aktor

(1985), Krasner cenderung memahami konsep

strategis

(Holbraad, 1984)

relational power dan meta-power sebagai ekspresi dari

Aktor

Aktor mendesain

“structural power” (strange) atau “institutional power”

memperoleh

institusi

(Barnett dan Duvall). Artinya, kedua konsep Krasner

posisi strategis

sementara aktor

Pengaturan

dalam institusi

lain mengikutinya

tersebut memahami power sebagai kuasa atas

ik institusi n

yang ada (Cooper, (Barenskoetter,

bangunan institusi internasional. Artikel ini

2007; Barnett

berpendapat bahwa konseptualisasi ini tak cukup luas dan Duvall, 2005)

Tek

Aktor diakui

Aktor

untuk mengenali berbagai sumber dan teknik kerja

sebagai bagian

mendefinisikan

power.

dari komunitas

normalitas baru

internasional

yang diikuti aktor-

Berangkat dari pembacaan atas karya

Pengaturan

(Hynek, 2004)

aktor lain

Barenskoetter (2007) serta Barnett dan Duvall (2005),

normalitas

(Barenskoetter,

artikel ini berpendapat bahwa power memiliki 2007; Guzzini,

2013; Nabers,

setidaknya tiga ragam ekspresi. Pertama, power diraih

melalui kepemilikan atas sumber daya kunci. Sumber: dirangkum oleh penulis

Melaluinya, negara dapat memaksa aktor lain untuk

mengambil suatu tindakan —misalnya, karena rasa PEMBAHASAN

takut akibat tindakan akumulasi persenjataan oleh STRATEGI DIPLOMASI ‘MIDDLE POWER’ negara lain. Kedua, power diperoleh lewat kemampuan INDONESIA: PERUBAHAN mempengaruhi bangunan institusi internasional.

Bagian ini mendiskusikan strategi diplomasi Melalui teknik ini, suatu negara dapat membatasi opsi middle power Presiden Yudhoyono dan Presiden

strategis negara lain. Ketiga, power diraih lewat Jokowi serta memetakan perubahan kebijakan di produksi normalitas. Lewat cara ini, negara menyebar- antara keduanya berdasarkan kerangka konseptual luaskan cara berpikir tertentu yang, pada gilirannya, yang telah dibangun pada bagian sebelumnya. menentukan apa yang dianggap normal dan tidak. Meskipun Yudhoyono dan Jokowi berupaya Standar ini kemudian membentuk preferensi negara- menjadikan Indonesia sebagai negara middle power, negara lain.

RIZKY ALIF ALVIAN, GANESH CINTIKA PUTRI, IRFAN ARDHANI 159

HALUAN BARU POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

bagian ini mengidentifikasi sejumlah pergeseran internasional yang dapat membantu Indonesia strategi di antara keduanya. Bagian ini berpendapat melindungi kepentingannya di laut. bahwa pendekatan yang diambil Yudhoyono dan

dalam pemerintahan Jokowi berbeda dalam isu perbatasan serta demokrasi. Yudhoyono digunakan antara lain dalam sengketa Tetapi keduanya menyimpan sejumlah corak yang antara Indonesia-Malaysia dan Indonesia-Filipina. sama dalam isu perekonomian. Bagian ini akan secara Dalam kasus sengketa wilayah antara Indonesia dan berurutan mendiskusikan strategi Indonesia di bawah Malaysia, Yudhoyono menegaskan bahwa Indonesia kedua presiden dalam isu perbatasan, demokrasi, dan mesti menjadikan perang sebagai opsi terakhir ketika perekonomian.

Cara-cara

damai

jalan-jalan damai tidak berhasil. Dalam kasus sengketa Ambalat, Yudhoyono mengatakan: "Saya ingin bicara

Diplomasi Perbatasan dan Maritim untuk didengar negara-negara lain, bagi Indonesia Presiden Yudhoyono dan Jokowi selalu perang jalan terakhir jika tidak ada jalan lain. Bagi meletakkan isu integrasi teritorial Indonesia sebagai setiap perselisihan konflik, kita akan dahulukan cara salah satu fokus utama mereka. Indonesia di bawah lain, cara damai” (Sindonews, 26 Oktober 2011). Yudhoyono berfokus pada penyelesaian sengketa

Pilihan Yudhoyono untuk mengutamakan perbatasan —baik darat maupun laut—dengan sejumlah jalan-jalan damai dilatari oleh keinginannya untuk negara seperti Filipina, Malaysia, Singapura, dan memastikan Indonesia tidak memperoleh kecaman Timor Leste. Sementara itu, Indonesia di bawah internasional serta dapat menjadi contoh bagi negara- Jokowi memberi banyak perhatian terhadap negara lain bahwa sengketa perbatasan dapat kedaulatan laut Indonesia, baik dari ancaman diselesaikan melalui cara yang damai. Di tengah keamanan non-tradisional seperti Illegal, Unregulated, meningkatnya tekanan publik dan aktor domestik and Unreported Fishing (IUUF) maupun sengketa agar Indonesia mengambil sikap yang lebih tegas atas wilayah seperti kasus Laut Cina Selatan. Terlepas dari sengketa Ambalat, Yudhoyono mengatakan: “Jangan sedikit perbedaan fokus di antara keduanya, upaya sampai kita mengeluarkan tembakan-tembakan yang Yudhoyono dan Jokowi bisa dimengerti sebagai tidak diperlukan. Nanti masyarakat internasional ekspresi dari upaya keduanya untuk menjaga integritas mengecam , mengapa Indonesia melakukan itu”.

teritorial Indonesia. (Viva, 4 Juni 2009) Komentar serupa dibuat oleh Yudhoyono dan Jokowi mengambil strategi Yudhoyono ketika Indonesia berhasil menuntaskan yang berbeda untuk melindungi integrasi teritorial sengketa batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan Indonesia. Sementara Yudhyono mengutamakan jalur Filipina.

mengatakan: “Saya penyelesaian sengketa secara damai, Jokowi menggarisbawahi bahwa kesepakatan ini merupakan mengambil pendekatan yang lebih asertif dalam isu tonggak bersejarah. Ini juga sebuah model dan contoh kedaulatan laut Indonesia. Yudhoyono berusaha yang baik bahwa sengketa perbatasan bisa diselesaikan membangun dialog dengan negara-negara yang secara damai” (Kabar24, 23 Mei 2014). Ungkapan memiliki sengketa wilayah dengan Indonesia sembari senada juga dibuat oleh Kemenlu ketika sengketa meminimalkan ketegangan antar-negara. Sementara Indonesia- Singapura berhasil diurai: “The settlement of itu, pemerintahan Jokowi bersedia mengambil the negotiations [...] may also serve as reference for peaceful langkah-langkah konfrontatif dengan negara-negara resolution of other maritime disputes between countries in yang bersengketa maupun dengan negara yang dirasa the region, by implementing the principles of the mengganggu kedaulatan laut Indonesia. Jokowi juga international maritime law .” (Jakarta Globe, 5 berusaha merancang bangunan institusional di tingkat September 2014).

Yudhoyono

160 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018

Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa, bagi 2017). Meski memperoleh kritik, Indonesia tidak Yudhoyono, penyelesaian sengketa perbatasan bukan berniat melakukan dialog atas permasalahan ini. hanya penting untuk memastikan kedaulatan

Sikap asertif juga ditunjukkan Indonesia dalam Indonesia terlindungi. Isu sengketa perbatasan juga merespon kegiatan IUUF. Sepanjang 2016, menjadi ajang bagi Indonesia untuk menunjukkan pemerintahan Jokowi telah menenggelamkan kurang bahwa Indonesia merupakan bagian dari masyarakat lebih 256 kapal pencuri ikan yang melanggar internasional yang menjunjung tinggi perdamaian dan perbatasan laut Indonesia. Sementara di pertengahan tata internasional. Manuver ini memperoleh apresiasi 2017, tercatat sudah ada 106 kapal yang dari masyarakat internasional. Seiring dengan ditenggelamkan (Kompas, 17 Januari 2017). Seperti selesainya sengketa maritim antara Indonesia dan yang diutarakan Jokowi dalam pidato kenegaraannya, Filipina, Presiden Filipina, Benigno Aquino III, upaya penenggelaman kapal ini merupakan bagian mengatakan: “It [negosiasi Indonesia-Filipina] serves as dari strategi Indonesia untuk melindungi nelayan dan solid proof to our steadfast commitment to uphold the rule of sumber daya laut serta kedaulatan maritim Indonesia law and pursue the peaceful and equitable settlement of “tanpa kompromi” (Suara, 18 Juli 2017). Angka ini maritime concerns .” (BBC, 23 Mei 2014).

meningkat tajam dari masa pemerintahan SBY yang Pendekatan yang kontras dilakukan oleh menenggelamkan 37 kapal dan menahan 546 kapal Jokowi. Pemerintahan Jokowi menunjukkan sikap terhitung dari masa kepemimpinannya di 2008-2012. yang cenderung asertif dalam merespon isu teritori,

Langkah ini memperoleh kritik maupun khususnya dalam kedaulatan Indonesia di laut. Dalam apresiasi dari masyarakat internasional. Respon keras pidato pertamanya sebagai presiden, Jokowi ditunjukkan misalnya oleh China, sebagaimana mengungkapkan perlunya Indonesia untuk kembali dikutip kantor berita Xinhu

a: “China strongly protests ke laut karena “di laut justru kita jaya” (Antara, 20 and condemns such excessive use of force […] China urges Oktober 2014). Untuk itu, Jokowi menambahkan, Indonesia to stop taking action that escalates tension, “Kita tidak boleh ragu menjaga kedaulatan kita, complicates issues, or affects peace and stability ” (Xinhua, menjaga laut kita, menjaga perbatasan kita, menjaga

19 Juni 2016). Cina juga menyatakan bahwa tindakan sumber daya alam kita. Kita harus berani melawan Indonesia melanggar hukum internasional. Di lain

pencurian sumber daya laut kita. Kita berani sisi, dalam kasus penenggelaman kapal FV Viking, menenggelamkan kapal ilegal untuk melindungi Indonesia dipuji —antara lain oleh pemerintah nelayan kita” (Tirto, 16 Agustus 2017).

organisasi konservasi laut Sikap Indonesia yang lebih konfrontatif internaisonal —karena berhasil meledakkan kapal yang nampak dalam keputusannya untuk menamai bagian dituding melakukan penangkapan ilegal atas ikan bass Laut Cina Selatan sebagai Laut Natuna Utara. Melalui yang terancam (Washington Post, 15 Maret 2016). penamaan ini, Indonesia mengklaim kepemilikan atas

Norwegia

dan

Sikap Jokowi ini berbeda dengan sikap yang landas kontinen Laut Natuna Utara sesuai dengan diambil oleh Yudhoyono. Chen dan Syailendra (2015) aturan mengenai ZEE sejauh 200 mil laut. Sikap dan Parameswaran (2015) berpendapat bahwa sikap Indonesia ini tak pelak memperoleh kritik keras dari Yudhoyono yang kurang asertif disebabkan oleh Cina. Cina menyatakan bahwa tindakan Indonesia keinginannya untuk menjaga status kepantasan dari menimbulkan “complication and expansion of the dispute, perilaku Indonesia. Di tengah reputasi Indonesia

and affects peace and stability […] Indonesia’s unilateral sebagai negara yang bersahabat, melakukan name-changing actions are not conducive to maintaining this penahanan dan pengeboman kapal merupakan excellent situation [kemajuan dalam proses sengketa tindakan yang tidak patut dilakukan. Laut Cina Selatan]” (Channel Newsasia, 2 September

RIZKY ALIF ALVIAN, GANESH CINTIKA PUTRI, IRFAN ARDHANI 161

HALUAN BARU POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA

Selain mengambil sikap yang lebih asertif, keamanan dunia. Implikasinya, masalah pencurian Indonesia di bawah Jokowi juga berupaya ikan yang semula terbatas pada urusan domestik kini memperkuat pertahanan Indonesia. Pada tahun 2016, harus menjadi masalah internasional yang diselesaikan Jokowi meningkatkan anggaran keamanan yang bersama. sebelumnya 0,89% dari Pendapatan Domestik Bruto

Upaya Indonesia ini memperoleh respon positif (PDB) menjadi 1,1% atau sekitar Rp250 triliyun. dari masyarakat internasional. Presiden Majelis Jokowi menambahkan bahwa jika pertumbuhan Umum PBB, Peter Thomson, menyatakan bahwa ekonomi meningkat di atas 6%, maka anggaran “IUUF is indeed a transnational crime […] Ultimately, it is pertahanan dan keamanan dapat mencapai 1,5% dari the responsibility of all parties, international organizations, PDB (Tempo, 23 Februari 2016). Angka ini naik governments, civil society, NGOs and the scientific tajam dari anggaran Yudhoyono pada tahun 2013 community. This is not just an individual's responsibility but sebesar Rp77 triliyun. Selain itu, pada tahun 2014 the responsibility of all of us ” (VOA, 10 Juni 2017). Jokowi menerbitkan Perpres Nomor 178/2014 Apresiasi senada diungkapkan oleh sejumlah negara tentang pembentukan Badan Keamanan Laut seperti Kanada dan Norwegia. Kedua negara tersebut (BAKAMLA) sebagai komando pengendali operasi mengulang argumen Indonesia bahwa IUUF perlu keamanan laut Indonesia. BAKAMLA dibentuk diatasi melalui upaya bersama-sama karena besarnya Jokowi secara khusus untuk memperkuat batas terluar ancaman yang ditimbulkannya. Seiring dengan makin Indonesia dengan didukung oleh Sistem Peringatan banyaknya negara yang menyepakati status IUUF Dini dan Unit Penindakan Hukum yang terpadu.

sebagai TOC, Indonesia dapat mendorong Terakhir,

menekankan terbentuknya institusi internasional yang bekerja pentingnya persatuan negara-negara untuk melawan untuk mengatasi IUUF. IUUF dengan menjadikan IUUF sebagai kejahatan

Jokowi

selalu

Diskusi pada sub-bagian ini menggambarkan transnasional yang terorganisasi (transnational-organized bagaimana

Indonesia mengalami crime /TOC). Paling tidak terdapat empat forum yang perubahan. Di bawah Yudhoyono, Indonesia pernah dipakai Indonesia untuk memaparkan ide ini membangun citra sebagai negara yang dapat yaitu Second International Symposium on Fish CRIME bersahabat dengan semua negara. Yudhoyono juga pada Oktober 2016 di Yogyakarta, World Ocean berusaha mewujudkan kepentingan Indonesia —dalam Conference pada 2016, World Ocean Summit pada hal ini, kedaulatan wilayah —dengan cara-cara yang Februari 2017 di Bali, dan UN Ocean Conference pada dapat meredam konflik di kawasan. Karena itu Juni 2017. Dalam World Ocean Conference 2016, Yudhoyono berusaha membina hubungan baik Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa IUUF dengan negara yang memiliki sengketa teritorial sering dijadikan modus operasi bagi perdagangan dengan Indonesia serta tidak mengambil sikap manusia, peredaran narkoba atau transaksi hewan konfrontatif dengan negara besar di kawasan, langka (VOA, 10 Juni 2017) sehingga perlu khususnya Cina. Pada tingkat internasional, taktik diperlakukan sebagai TOC. Jika IUUF telah Yudhoyono ini bertujuan untuk memperkuat citra disepakati sebagai TOC maka akan lebih mudah bagi Indonesia sebagai good international citizen yang peduli semua negara dan INTERPOL untuk bekerjasama pada

kebijakan

stabilitas, serta aturan memberantas kejahatan kriminal yang menjadi bagian internasional. dari IUUF. Di titik ini pemerintah Indonesia di

perdamaian,

Dibaca dalam kerangka konseptual artikel ini, bawah Jokowi menawarkan sebuah pendekatan yang Yudhoyono berupaya meningkatkan pengaruh berbeda. Jika semula IUUF didekati dengan nalar Indonesia dengan cara berperilaku sesuai narasi good administratif, kini IUUF dianggap sebagai masalah international citizen yang dominan dalam politik

162 JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL

VOL. 6, NO. 2, Oktober 2017-Maret 2018

internasional. Narasi ini —yang dibangun oleh Kanada Indonesia untuk menjauh dari konstruksi good dan Australia serta mencerminkan nilai-nilai tata international citizen Barat. Di lain sisi, konfrontasi dunia liberal yang disangga oleh Amerika Serikat dengan Cina juga mengekspresikan keinginan (Evans, 1990; Neufeld, 1995; Cox, 1981) —menuntut Indonesia untuk tidak mengakui Cina sebagai negara untuk menjadi demokratis, damai, serta hegemon kawasan. Sebaliknya, Indonesia berusaha menghormati

Dengan mengajukan konsepsi baru tentang bagaimana negara- mengikuti preskripsi narasi ini, Yudhoyono berusaha negara —terutama di kawasan Asia Timur dan menunjukkan bahwa Indonesia merupakan bagian Tenggara —mesti berperilaku. Meski masih berada di dari masyarakat internasional yang beradab dan tahap awal, Indonesia mendorong negara-negara memperoleh peran di dalamnya. Hal ini menjelaskan untuk memperlakukan kedaulatan maritim secara mengapa Yudhoyono enggan mengambil langkah serius. Aksi agresif Indonesia terhadap IUUF asertif dalam isu perbatasan meskipun aktor domestik mengirimkan sinyal bahwa intrusi terhadap wilayah mendesaknya. Langkah asertif dapat membuat maritim suatu negara —walau dilakukan oleh nelayan Indonesia kehilangan statusnya sebagai good sekalipun —tidak dapat diterima. Melalui kampanyenya international citizen dan berimplikasi pada melemahnya mengenai IUUF sebagai TOC, Indonesia berupaya power normatif Indonesia.

hukum

internasional.

memperkenalkan gagasan ini sembari mendorong Strategi

dapat pelembagaannya dalam tata pergaulan internasional. diklasifikasikan dalam kategori relational power. Dalam hal ini, Jokowi sungguh-sungguh menjadikan Yudhoyono berusaha menyusup ke dalam konstruksi identitas Indonesia sebagai negara kepulauan sebagai normalitas tertentu —dalam hal ini, good international basis dari politik luar negerinya. citizenship —dan berupaya meraih power dengan

Yudhoyono

karenanya

Indonesia di bawah Jokowi karenanya memiliki mengambil peran di dalamnya.

kecenderungan bergerak ke arah meta-power. Hal ini Sementara itu Jokowi mengambil pendekatan dilakukan mula-mula dengan membangun jarak dari

yang berbeda. Di bawah pemerintahan Jokowi, pengaruh negara-negara Barat maupun Cina. Indonesia tidak banyak menunjukkan keinginan Indonesia selanjutnya berusaha mempromosikan untuk mengikuti narasi good international citizen. gagasannya tentang kedaulatan maritim sebagai Indonesia mengambil sikap yang lebih konfrontatif normalitas

serta mendorong dan tak segan menciptakan friksi dengan negara institusionalisasi gagasan tersebut melalui kampanye

alternatif

tetangga maupun negara berpengaruh di kawasan, mengenai IUUF. seperti Cina. Dalam kasus penenggelaman kapal,

Perbedaan pendekatan antara Yudhoyono dan Indonesia mengambil posisi yang ambigu terhadap Jokowi tak pelak membuat masyarakat internasional