Globalisasi dan Dinamika Lokal: Kondisi Keamanan Insani Pedagang Lokal di Sekitar Hipermarket Giant di Kota Malang

  

Globalisasi dan Dinamika Lokal: Kondisi Keamanan Insani

Pedagang Lokal di Sekitar Hipermarket Giant

di Kota Malang

  5 Dian Mutmainah Abstract

  This article is part of a research that applied human security as a concept in a

local situation. The research investigated whether the presence of Giant hypermart as a

representation of foreign actor affects the human security of local traders around it. It

is an important question because global interaction has been reducing the capability of

the state to provide security to its citizen. In this case, the presence of Giant at one

urban area in Malang City has inevitably put local traders into global economic

competition.

  The findings of the research demonstrate that the locals’ understanding is

insufficient to build solidarity in order to create collective mechanism to survive the

competition. One of the main reasons was because they merely saw the competition as a

normal consequence of government policies. Indeed, it can be concluded that the

guarantee of the fulfillment of locals’ human security also requires their understanding

over their political rights to question government policies.

  Keywords: globalization, human security, economic security Pendahuluan

  Perdagangan internasional telah mendorong interaksi antara berbagai aktor dan kepentingan yang ada di tingkat global dengan mereka yang berada di tingkat lokal. Konsekuensinya, ketahanan ekonomi sebagai bagian dari human security (keamanan insani) suatu masyarakat atau negara tidak bisa dijamin dengan hanya memperhitungkan faktor-faktor yang bisa dikendalikan oleh negara. Investasi asing dalam berbagai bentuknya menghadirkan secara langsung para aktor global dalam transaksi ekonomi di tingkat lokal. Artinya, interaksi ekonomi global memiliki kemampuan untuk mempengaruhi ketahanan ekonomi sampai pada level yang paling bawah, termasuk di Kota Malang.

  Kota Malang memiliki posisi yang strategis baik secara ekonomi, politik, maupun budaya. Selain dikenal sebagai kota yang memiliki banyak institusi pendidikan, Kota Malang juga dikenal sebagai kota wisata dan juga kota perdagangan (Kompas:16/03/2001). Khusus di sektor perdagangan, terjadi 5 Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas

  Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya perubahan yang cukup signifikan terkait ekspansi para pemodal lokal maupun asing untuk mendirikan pasar modern. Kota Malang sudah sejak lama memiliki tempat belanja modern berupa mal, seperti Sarinah, Malang Plaza, dan Gadjah Mada Plaza. Fenomena pembangunan pasar modern semacam ini kembali terjadi memasuki tahun 2000-an. Dimana Proyek pertama pembangunan pasar modern di era 2000-an berupa mal yang kemudian dikenal dengan Malang Town Square (MATOS) dan sempat menimbulkan kontroversi karena dibangun di kawasan pendidikan. Proyek besar selanjutnya adalah pembangunan Malang Olympic Garden (MOG) yang dibangun tepat di lokasi Stadion Gajayana yang merupakan kebanggaan warga Malang yang terkenal loyal dengan klub-klub sepakbolanya. Proyek kedua ini juga tidak lepas dari kontroversi karena sebagian warga beranggapan bahwa pembangunan MOG akan membuat Kota Malang menjadi semakin metropolitan; dua mal baru terlalu banyak untuk ukuran kota Malang. Namun, akhirnya MATOS dan MOG diterima sebagai bagian dari kegiatan perdagangan di Kota Malang. Bagian terpenting dari mal yang dianggap menghadirkan ancaman bagi pedagang lokal adalah supermarket-nya yang memperjualbelikan bahan makanan pokok yang merupakan komoditi andalan dalam transaksi di pasar tradisional.

  Ekspansi pasar modern selanjutnya berlangsung secara berbeda. Beberapa waralaba hipermarket memilih untuk mengakuisisi bagian supermarket dari mal lama seperti hipermarket dan Carrefour yang menggantikan supermarket lama Plaza Mitra di kawasan alun-alun Kota Malang.yang telah ada sebelumnya atau mencari lahan baru dan beroperasi sendiri tanpa menjadi bagian dari mal. Sebagai contoh, hipermarket Giant di kawasan Kawi Atas atau minimarket-minimarket Alfamart dan Indomaret yang tersebar di seluruh pelosok Kota Malang. Ekspansi yang terakhir ini kemudian dianggap lebih mengancam daripada ketika waralaba semacam itu berada dalam komplek mal yang umumnya lebih berjarak dengan pasar tradisional.

  Liberalisasi perdagangan telah memungkinkan semua itu terjadi. Transaksi berskala kecil, harga murah, dan keakraban bukan lagi menjadi pertimbangan utama bagi konsumen untuk datang ke toko-toko kecil.

  Hipermarket yang juga melayani transaksi kecil setara toko kelontong (ritel), bersih, dan menarik menghadirkan pertimbangan-pertimbangan baru bagi para konsumen untuk berbelanja. Hal inilah yang menempatkan hipermarket secara potensial menjadi ancaman bagi pedagang lokal. Sejauh ini, kehadiran pasar modern di Kota Malang tidak menimbulkan krisis yang berakhir dalam bentuk konflik social. Namun demikian, hal itu tidak dengan sendirinya menjamin bahwa tidak ada dampak negatif dari situasi ini, terutama yang melibatkan permodalan asing.

  Salah satu hipermarket yang beroperasi di Kota Malang adalah Giant. Hipermarket ini merupakan usaha waralaba ritel yang merupakan bagian dari grup Dairy Farm International asal Hong Kong. Terdapat beberapa hal menarik yang perlu dicatat terkait fakta tersebut. Pertama, lokasi pembangunan hipermarket Giant adalah Kawi Atas. Lokasi padat penduduk sekaligus merupakan sentra perdagangan. Artinya, permodalan asing sudah tidak lagi hanya berada dalam sektor ekonomi atau perdagangan dalam skala yang sangat besar atau makro. Kedua, keberadaan kompetitor asing dalam ekonomi skala kecil menciptakan kompetisi yang tidak seimbang. Waralaba asing yang sudah lama berkembang selama ini, terutama waralaba makanan, bisa diterima karena faktor kekhasan produk. Namun, hipermarket justru menjadi pesaing tanpa kekhasan produk. Ketiga, hipermarket Giant termasuk pemain dalam kategori retail berskala besar yang menyediakan kebutuhan dari hulu sampai hilir.

  Dengan demikian, menjadi penting untuk melihat upaya pedagang lokal dalam mempertahankan tingkat transaksi maupun jumlah konsumen di lokasi tersebut akibat munculnya pesaing berlevel global.

  Dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional, masalah ini menjadi perhatian karena berpotensi mempengaruhi ketahanan ekonomi para pedagang lokal. Dalam konteks ini, jaminan terhadap keberlangsungan hidup pedagang lokal dan keluarga mereka, termasuk penyediaan akses-akses sosial ekonomi, termasuk pendidikan, tergantung pada besarnya transaksi usaha mereka. Hadirnya hipermarket Giant di kawasan Dinoyo, menghadirkan potensi ancaman bagi ketahanan ekonomi para pedagang lokal. Penelitian ini bermaksud melihat lebih jauh keterkaitan tersebut

  d

  engan mempertimbangkan potensi positif ekspansi ekonomi global dan terjaminnya keamanan ekonomi masyarakat lokal, yang dalam penelitian ini dikhususkan pada para pedagang di sekitar hipermarket Giant.

  Tulisan ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana kondisi keamanan insani pedagang lokal terhadap kehadiran hipermarket Giant sebagai kompetitor global di Kota Malang yang berimplikasi terhadap ketahanan ekonomi.

  Keamanan Insani dan Ketahanan Ekonomi

  Keamanan insani (human security) adalah konsep keamanan non- tradisional yang berkembang pasca Perang Dingin. Ia menggeser konsep keamanan tradisional yang awalnya berkonsentrasi pada ancaman-ancaman yang sifatnya militer menjadi persoalan-persoalan yang berfokus pada keamanan manusia dan komunitas. Obyek dari keamanan insani adalah kondisi manusia yang bukan saja terjamin keamanan dan keselamatannya dari ancaman-ancaman yang sifatnya fisik, tapi juga bagaimana manusia dapat bertahan hidup serta memperoleh hidup yang layak dan bermartabat. Dengan kata lain, ancaman dalam keamanan insani adalah ancaman atas martabat manusia. Konsep keamanan insani pertama kali secara resmi disebutkan dalam Human

  

Development Report tahun 1993 dan dijelaskan secara sistematik dalam Human

Development Report 1994. Menurut laporan terakhir ini, keamanan insani harus

  menitikberatkan pada empat karakteristik dasar, yaitu universal, interdependen, preventif, dan people-centered (Human Development Report, 1994: 22). Universal dalam karakterisistik keamnan insani berarti keamanan insani berlaku untuk seluruh umat manusia di mana saja, baik di negara kaya maupun miskin; interdependen atau melibatkan semua bangsa; preventif, di mana usaha pencegahan terhadap ancaman keamanan insani lebih efisien dan hemat biaya daripada upaya penanganannya;dan people-centered, yaitu bahwa keamanan insani lebih menitikberatkan pada bagaimana manusia hidup di masyarakat, bagaimana mereka bisa bebas melakukan pilihan, sebesar apa akses mereka pada peluang pasar dan sosial, dan apakah mereka bisa hidup dalam konflik atau

  6 6 dalam damai.

  Lihat Human Development Report 1994, (New York: Oxford University Press, 1994), p. 22.

  Pendekatan keamanan insani menawarkan konsep yang mendasarkan diri pada pertanyaan-pertanyaan baru terkait masalah keamanan. Pergeseran dari keamanan yang berbasis negara menjadi keamanan yang berbasis individu memunculkan tiga pertanyaan baru, yaitu “Security of Whom,”“Security from

  What

  ,”dan“Security by What Means.” Dalam hal “Security of Whom,” keamanan insani menawarkan fokus pada individu dan kelompok individu yang lebih luas konteksnya yang mencakup nilai-nilai seperti martabat, kesetaraan dan solidaritas. Keamanan insani melihatkeamananatas individu sebagai manusia, bukan hanya sekedar sebagai warga negara. Individu menjadi aktor vital yang harus diperhitungkan paling utama, keamanannya menjadi tujuan akhir, sementara instrumen atau aktor lain adalah subordinat (Human Development Report , 1994: 22).

  Ancaman atau “Security from What” bagi keamanan insani bisa datang dari mana saja, mulai dari negara dan negara lain akibat perang atau kekerasan fisik, kekerasan dari kelompok lain, dari individu yang lain dan bahkan dari diri sendiri. Salah satu prinsip keamanan insani adalah melihat tidak ada satu pun ancaman dan kekerasan terhadap manusia atau individu yang bentuknya tunggal. Semua ancaman, aktor, instrumen, dan solusi potensial terhadap tantangan- tantangan keamanan insani berhubungan dan sangat tergantung satu sama lain dalam konteks global, dimana batas nasional dan kedaulatan dipandang relevansinya semakin berkurang. Sementara itu, “Security by What Means” dimaknai tidak hanya mulai dari bagaimana mendorong kebijakan publik yang tidak memicu insecurity (ketidakamanan) sejak awal, namun juga menjadikan individu sebagai basis fundamental bagi keamanan. Individu menjadi ‘agen’ yang secara aktif mengidentifikasi ancaman potensial terhadap keamanannya dan berpartisipasi aktif untuk memitigasinya. Negara dan institusi lain hanyalah alat untuk mencapai tujuan utama, yaitu keberadaan dan harga diri dari manusia sendiri.

  Selanjutnya, aspek keamanan insani dikaitkan dengan dimensi yang lebih spesifik dalam konteks ketahanan ekonomi (economic security). Ketahanan ekonomi menekankan bahwa kondisi struktural globalisasi ekonomi tidak dapat dipisahkan dari realitas kehidupan saat ini. Banyak pakar globalisasi sepakat bahwa selain mendatangkan kemakmuran, globalisasi ekonomi kontemporer juga memicu munculnya periode ekonomi yang rentan dan tidak pasti, yang membawa implikasi pada seberapa besar rasa aman yang dimiliki negara, komunitas, dan terutama individu (Helen E.S. Nesadurai : 2005). Para pakar Studi Pembangunan dan Ekonomi Politik Internasional berargumen bahwa ketidaktahanan ekonomi dilihat sebagai rentannya negara, masyarakat, dan individu terhadap persitiwa-peristiwa ekonomi, khususnya krisis-krisis yang menggangggu keberadaan material. Sementara itu, pakar kebijakan publik melihat ketahanan ekonomi secara lebih komprehensif dalam kerangka keamanan insani, dimana ketahanan ekonomi dilihat sebagai upaya mengamankan individu dari hilangnya pendapatan dan konsumsi secara tiba- tiba, misalnya melalui penjaminan keamanan sosial (Nesadurai, 2005). Ancaman utama terhadap ketahanan ekonomi adalah kemiskinan. Dalam konteks ini, setiap orang membutuhkan jaminan atas penghasilan dasar, baik yang diperoleh dari kerja produktif atau renumerator, baik di sektor publik maupun privat, ataupun yang diperoleh dari gaji atau pendapatan sendiri melalui usaha mandiri.

  Tulisan ini dihasilkan dari penelitian yang menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif digunakan dalam bentuk survei untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang persepsi pedagang lokal tentang Giant. Metode kualitatif digunakan untuk melakukan analisis terhadap struktur, perilaku, dan tindakan sosial dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian melalui pemahaman mendalam terhadap fakta-fakta sosial (Moleong, 1985). Penelitian dilaksanakan di wilayah Kota Malang, tepatnya di sekitar lokasi hipermarket Giant Dinoyo. Data primer dikumpulkan melalui survei dan wawancara terhadap 45 orang pedagang di sekitar lokasi. Bagian tulisan setelah ini menguraikan hasil penelitian yang dibagi dalam tiga bagian sesuai dengan tiga pertanyaan inti keamanan insani sebagaimana yang telah dijelaskan.

  Posisi Ekonomi Pedagang Lokal terkait Keberadaan Giant (Security of Whom)

  ‘Security of Whom’meliputi aspek terkait nilai-nilai seperti martabat, kesetaraan dan solidaritas. Pendekatan keamanan insanibertujuan melihat lebih jauh kepada aspek tidak adanya gangguan yang berasal dari kehadiran hipermarket Giant terhadap kegiatan ekonomi masyarakat di sekitar lokasi ia berada. Lebih dari sekedar perhitungan untung-rugi, pendekatan keamanan insanimenekankan pada ada tidaknya keterlibatan warga secara sadar dalam menentukan perubahan (rekayasa) atas lingkungannya.Keterlibatan ini akan dilihat dari empat karakteristik dasar keamanan insani, yaitu universal, interdependen, preventif, dan people-centered. Dalam konteks ini, akan dilihat apakah keberadaan Giant bertentangan dengan nilai-nilai universal, dalam kasus ini pelanggaran hak asasi manusia warga sekitar; apakah perubahan situasi terkait dengan peristiwa atau aktor dari negara lain; apakah ada upaya pencegahan terhadap dampak negatif atas keberadaan Giant; dan apakah keputusan atas pendirian Giant dilakukan dengan melibatkan masyarakat.

  Beberapa kriteria digunakan untuk menampilkan posisi penting kegiatan ekonomi bagi pelakunya, antara lain status kepemilikan lokasi, status usaha, omset, jenis usaha, dan jarak dengan Giant. Masing-masing kriteria mewakili aspek tertentu: martabat atau pengaruh usaha terhadap status sosial ekonomi (status kepemilikan lokasi dan status usaha); kesetaraan atau level transaksi (omset); dan solidaritas atau kesamaan kondisi (jenis usaha). Hasil survei ditampilkan dalam Tabel 1.

  Tabel 1. Profil Responden Jumlah Persentase

  No. Kategori Status a. Sendiri 22 48,9 Kepemilikan Lokasi

b. Sewa/ Kontrak

23 51,1 Status Usaha a. Utama 30 66,7

  b. Sampingan 13 28,9

  c. TidakTahu 2 4,44 Omset a. <100 2 4,44

  b. 100-500 25 55,56

  c. >500-2 jt 13 28,89

  d. > 2 jt 5 11,10 Jenis Usaha a. Kelontong 5 11,10

  b. Lainnya 40 88,89 Kriteria pertama akan melihat bagaimana pengaruh usaha terhadap kondisi sosial ekonomi para pedagang. Jika dilihat dari kepemilikan lokasi, distribusi responden terbagi menjadi 48,9% (22) lokasi usaha adalah milik sendiri dan 51,1% (23) merupakan usaha yang lokasinya disewa atau dikontrak. Dari temuan ini dapat dilihat bahwa terdapat komposisi yang relatif seimbang antara usaha yang lokasinya milik sendiri dan yang lokasinya sewaan. Dalam aspek ini, ditemukan bahwa lokasi usaha milik sendiri tidak selalu mengindikasikan posisi ekonomi yang relatif lebih stabil dibanding dengan usaha yang lokasinya disewa. Kriteria ini masih perlu dikaitkan dengan kriteria omset karena ternyata lokasi usaha milik sendiri bisa jadi sebuah upaya pertahanan terakhir aktivitas ekonomi yang hanya bisa dilakukan dalam skala yang sangat kecil (omset rendah).

  Berdasarkan kriteria status usaha, responden terdistribusi sebagai berikut: 66,7% (30) merupakan usaha utama; 28,9% (13) merupakan usaha sampingan; dan 4,44% (2) menyatakan tidak tahu status usaha tersebut karena mereka hanya karyawan. Komposisi persentase ini menunjukkan bahwa mayoritas pedagang di sekitar Giant menempatkan usaha mereka sebagai sumber pendapatan utama. Sementara itu, dari kriteria omset atau skala usaha (tanpa melihat struktur permodalan usaha tersebut), terdapat 4,44% (2) responden beromset kurang dari Rp100.000 per hari; 55,56% (25) beromset antara Rp100.000-500.000 per hari; 28,89 % (13) beromset antara lebih dari Rp500.000 hingga Rp2.000.000 per hari; dan 11,1% (5) beromset lebih dari Rp2.000.000 per hari. Dari data ini dapat dilihat bahwa sebagian besar responden merupakan pelaku usaha skala kecil dan menengah.

  Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar usaha di sekitar hipermarket Giant merupakan sumber pendapatan utama bagi pemiliknya. Di samping itu, usaha yang mayoritas merupakan usaha skala kecil dan menengah juga memberi gambaran bahwa perdagangan di kawasan itu sangat mempengaruhi kemampuan para pedagang dalam memenuhi nafkah keluarga mereka. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa usaha yang terdapat di sekitar Giant berkontribusi penting dalam menentukan kondisi sosial ekonomi para pedagang dan keluarga mereka.

  Ditemukan juga bahwa tidak ada usaha di sekitar Giant yang setara dengan level transaksi hipermarket tersebut. Seperti yang sudah disampaikan, sebagian besar usaha di kawasan tersebut merupakan usaha kecil dan menengah. Dalam konteks perdagangan terjadi persaingan yang tidak seimbang antara Giantdengan usaha-usaha yang ada di sekitarnya. Terakhir, dalam aspek solidaritas ditemukan bahwa potensi terbangunnya solidaritas antar pedagang sangat rendah karena jenis usaha di sekitar Giant sangat beragam. Berdasarkan data, dapat dilihat bahwa usaha kelontong sebagai jenis usaha yang memiliki kesamaan komoditi dengan Giant ternyata hanya berjumlah lima buah atau 11,1% dari seluruh responden. Artinya, jika kelima usaha ini menjadi kelompok yang paling dirugikan sekalipun, maka akan cukup sulit menciptakan solidaritas penolakan di antara mereka.

  Dari ketiga aspek keamanan insani, bisa disimpulkan bahwa sebagian besar usaha para pedagang di sekitar Giant Dinoyo menjadi sumber pendapatan utama bagi pemiliknya. Dengan sebagian besar usaha dalam skala kecil dan menengah, artinya mereka memainkan peranan penting dalam memenuhi kondisi keamanan insani para pedagang secara ekonomi. Namun demikian, berdasarkan fakta terkait jenis usaha, hanya sebagian kecil usaha di kawasan tersebut yang terancam oleh keberadaan Giant karena alasan kesamaan komoditi. Secara umum respon para responden terhadap keberadaan Giantsangat bervariasi.

  Cara Pandang tentang Giant sebagai Potensi Ancaman (Security from What)

  Cara pandang tentang Giantmeliputi pengetahuan dan sikap pedagang atas keberadaan hipermarket ini. Enam pertanyaan yang diajukan untuk menggali informasi terkait bagaimana responden melihat Giant sebagai potensi ancaman meliputi pemahaman tentang Giant, rencana pembangunannya, pihak yang memberi informasi, sikap responden, reaksi responden, dan bentuk reaksi. Deskripsi singkatnya dirangkum dalam tabel berikut ini:

  Tabel 2. Pemahaman tentang Potensi Ancaman Giant

  No. Pertanyaan Jawaban Jumla Persentase h

  36

  80 b.Tidak tahu

  9

  20

  2 Tahu rencana pembangunan

  

a. Ya

26 57,8 Giant? b. Tidak 19 42,2

  3 Sumber informasi (dari total

  a. Lurah 1 3,9 (2a) 26) b.Sesama 3 11,5 pedagang c. Lainnya 22 84,6

  4 Setuju dengan pembangunan

  a. Setuju 30 66,7 Giant? b.Tidak setuju 10 22,2

  c. Abstain 5 11,1

  5 Reaksi

  a. Khawatir 7 15,5 b.Tidak khawatir 17 37,8

  c. Biasa saja 17 37,8

  d. Tidak peduli 4 8,9 6 (5a) Reaksi kekhawatiran

  b. Tidak ada 7 100

  Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar responden (80% atau 36 orang) menyatakan tahu tentang ‘apa itu Giant’. Sebagian besar juga mengetahui rencana pembangunannya (57,8%) dari berbagai sumber. Dari total 36 responden yang menyatakan paham tentang Giant, seluruhnya mengetahui ia sebagai ‘supermarket atau swalayan tempat belanja kebutuhan sehari-hari’. Dari jumlah tersebut 32 responden menyatakan tidak tahu dari mana Giant berasal, 2 responden menyatakan asalnya dari Malaysia dan 2 orang lagi menyatakan asalnya dari Indonesia. Yang menarik, ada 9 orang responden yang sama sekali tidak mengetahui tentang apa itu Giant. Walaupun secara kuantitas tidak dominan, kelompok ini menjadi indikasi bahwa tidak semua pedagang di sekitar hipermarket Giant menaruh perhatian khusus pada kompetitor dari level global. Mereka cenderung menganggap Giant sebagai pesaing biasa seperti halnya pesaing lain di tingkat lokal.

  Pemahaman tentang rencana pembangunan Giant semakin rendah atau dengan kata lain semakin banyak yang tidak mengetahui rencana tersebut, yaitu sebanyak 42,2% (19). Total ada 26 responden yang mengetahui rencana pembangunan Giant. Menariknya, hanya satu orang yang menyatakan mengetahuinya dari pihak aparat. Sebanyak 22 orang lainnya mengetahui dari berbagai pihak seperti media dan pihak non-pedagang, serta hanya tiga orang yang mengetahui dari pedagang lainnya. Artinya, pembentukan pemahaman dan distribusi informasi secara kolektif tentang Giant sangat minim. Ini menunjukkan bahwa solidaritas antarpedagang lokal di sekitar Giant dalam merespon keberadaan Giant (termasuk pada tahap pendirian) sangat rendah. Fakta ini merefleksikan bahwa pedagang lokal tidak melihat Giant sebagai potensi ancaman yang serius.

  Berkaitan dengan sikap responden terhadap rencana pembangunan Giant,sebanyak 66,7% (30) responden menyatakan setuju; 22,2% (10) menyatakan tidak setuju; dan 11,1% (5) responden menyatakan abstain. Yang menarik, dari sekian alasan kelompok yang setuju, alasan terkuat (dinyatakan oleh 10 responden) adalah ‘meramaikan persaingan’. Sementara bagi kelompok yang tidak setuju, hampir semuanya khawatir bahwa keberadaan Giant akan mematikan usaha kecil di sekitarnya. Sebagaian besar dari kelompok yang abstain (4) melihat kehadiran Giant sebagai ‘biasa saja’ dan satu orang berada pada situasi dilematis karena ‘di satu sisi belanja dekat, tapi kasihan pedagang kecil’. Namun demikian, reaksi kekhawatiran hanya ditunjukkan oleh 15,5% (7) responden. Sebanyak 37,8% (17) menyatakan ‘tidak khawatir’; 37,8% (17) responden ‘biasa saja’; dan 8,9 % responden ‘tidak peduli’. Jika dibandingkan dengan poin sebelumnya, terdapat tiga responden yang ‘tidak setuju’ terhadap pembangunan Giant yang tidak menyatakan khawatir terhadap keberadaan hipermarket ini. Artinya, ekspresi ketidaksetujuan menjadi bagian yang paling dilihat konsistensinya.

  Temuan di atas didukung oleh jawaban atas poin terakhir dalam tabel. Dari 7 orang yang menyatak an ‘khawatir’, tidak satu pun bisa menyebutkan bentuk reaksi yang mereka berikan atas kekhawatiran mereka. Seluruhnya menyatakan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan dan tidak terpikir apa yang bisa dilakukan. Satu catatan di sini, seorang responden yang merasa lebih terganggu oleh minimarket di sebelah tempat usahanya menyatakan bahwa

  

karena pemerintah yang bersangkutan setuju, maka yang dilakukan adalah

menelepon kantor retailer tersebut untuk menunjukkan penolakan saya . Namun

  demikian, pada akhirnya minimarket tersebut berdiri juga. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa dalam aspek ‘Security from

  

What ’, para pedagang lokal tidak melihat Giant sebagai ancaman. Hal ini terkait

  dengan cara pandang para pedagang yang tidak membedakan Giant dengan pesaing lokal lainnya. Konsekuensinya, hanya sedikit pedagang yang kemudian mampu memberikan reaksi yang proporsional terkait kehadiran hipermarket Giant. Hanya terdapat sebagian kecil pedagang yang cukup mampu mengekspresikan ‘kekhawatiran’ mereka atas kehadiran pesaing global ini, sekalipun pada akhirnya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hasilnya, tidak ada aksi nyata yang mereka lakukan untuk menunjukkan ‘ketidaksetujuan’ tersebut. Fakta ini mempengaruhi cara pandang responden tentang mekanisme perlindungan diri atau ‘Security by What Means’ yang akan dijelaskan berikut ini.

  Cara Pandang tentang Mekanisme Perlindungan Diri (Security by What Means)

  Tabel 3. Pandangan atas Dampak dari Giant dan Mekanisme Perlindungan Diri (Security by What Means) No. Pertanyaan Jawaban Jumlah Perse ntase Omset usaha setelah adanya Giant a. Berkurang 11 24,4

  b. Meningkat 8 17,8

  c. Tetap 26 57,8 7a) Jika berkurang, ada hubungannya dengan Giant?

  a. Ya 3 27,3

  b. Tidak 3 27,3

  c. Tidak tahu 5 45,4 7a) Siapa yang bertanggung jawab? (jika berkurang)  11 responden

a. Pemerintah pusat

  

b. Pemerintah daerah

6 53,3

  c. Warga sekitar 2,2

  d. Lainnya 1 6,7

  e. Tidak ada yang

bertanggung jawab

4 35,6

  f. Abstain 2,2 9b) Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah? (reaksi 6 responden)

  Harus ada pengaturan jarak antara toko tradisional

dengan pemodal besar

  1 Harus melindungi usaha kecil dan mengatur keberadaan usaha besar

  3 Melakukan penelitian mendalam pada masyarakat sekitar sebelum memberikan

izin usaha retailer

  h. Giant dan masyarakat 2 4,4

i. Semua (a,b,c, & d)

2 4,4

  b. Tidak 26 57,8

  40

  18

  5 Ada perubahan standar hidup? a. Ya

  60

  27

  b. Tidak

  40

  18

  4 Berpengaruh terhadap nafkah keluarga? a. Ya

  b. Ada 20 44,4

  3 Upaya Pencegahan Rugi a. Tidak ada 25 55,6

  20

  1 Pembatasan retailer asing

karena ‘membunuh’

kemampuan masyarakat

  9

  

g. Giantdan pemda

  f. Giant, pemda, dan masyarakat 2 4,4

  e. Pemda dan masyarakat 1 2,2

  d. Masyarakat 11 24,4

  

c. Pemerintah daerah

2 4,4

  

b. Pemerintah pusat

  2 Siapa yang paling diuntungkan? a. Giant 16 35,6

  c. Tidak tahu 5 11,1

  b. Tidak 35 (11) 77,8

  1 Merasa terlindungi oleh pemerintah? a. Ya 5 11,1

  1

  c. Abstain 1 2,2 Sektor yang

  a. Konsumsi 11 61,1 6 disesuaikan (15a) b. Pendidikan 5 27,8

  c. Rekreasi 2 11,1 Ada perubahan a. Tidak 10 55,6 7 terhadap rencana b. Ada 7 38,9 masa depan? (15a) c. Tidak tahu 1 5,5 Ada upaya alternatif? a. Tidak ada 5 71,4 8 (17b) b. Ada 2 28,6

  Berdasarkan data yang ditampilkan dalam tabel di atas dapat dilihat bahwa lebih dari setengah responden (57,8%) tidak merasakan dampak (baik positif maupun negatif) dari kehadiran Giant Dinoyo. Sementara itu, 11 responden (24,4%) menyatakan bahwa omset mereka berkurang setelah Giant beroperasi dan 8 responden (17,8%) menyatakan bahwa omset mereka justru meningkat dengan kehadian Giant. Dari 11 responden yang merasakan dampak negatif dari kehadiran Giant, hanya tiga orang yang memastikan bahwa penyebabnya adalah keberadaan Giant, tiga responden lainnya menyatakan tidak ada hubungannya dengan Giant, dan lima sisanya menyatakan “tidak tahu.” Tujuan dari dua pertanyaan ini adalah untuk mengetahui seberapa besar kehadiran Giant mempengaruhi kondisi perekonomian pedagang lokal yang sebelumnya sudah beraktivitas di kawasan tersebut. Dari data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa dari sebagian kecil responden yang menyatakan bahwa ada penurunan omset usaha setelah adanya Giant sekalipun, tidak bisa didapatkan konfirmasi yang kuat melalui pertanyaan kedua bahwa kehadiran Giantberdampak negatif buat mereka. Ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari responden, khususnya yang mengalami penurunan omset, yang menyebutkan adanya keterkaitan antara kehadiran Giant dengan kondisi yang mereka hadapi.

  Bagaimanapun, dari jawaban atas pertanyaan kesembilan terlihat bahwa sebenarnya para pedagang ini mengharapkan pihak lain untuk bertanggung jawab atas kondisi yang mereka hadapi. Dari 11 responden yang mengalami penurunan omset, sebanyak enam orang menunjuk pemerintah daerah sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab dan satu orang menyatakan pihak lain di luar pemerintah yang harus bertanggung jawab. Yang menarik, empat orang menyatakan bahwa ‘tidak ada yang bertanggung jawab’. Jawaban terakhir ini menampilkan satu profil responden yang paling ‘apatis’ dibanding jawaban lainnya. Jadi, sebenarnya terdapat lebih dari tiga responden (mereka yang merasa dirugikan oleh Giant) yang menuntut pertanggungjawaban pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa responden yang tidak menyebutkan secara langsung bahwa mereka dirugikan oleh kehadiran Giant sebenarnya berpendapat serupa, hanya tidak mengekspresikannya secara terbuka.

  Dari enam responden yang menyebutkan bahwa ‘Pemerintah daerah yang h arus bertanggung jawab’, sebanyak tiga orang berpendapat bahwa pemerintah daerah seharusnya ‘melindungi usaha kecil dan mengatur keberadaan usaha besar’, satu orang mengatakan, ‘harus ada pengaturan jarak antara toko tradisional dengan pemodal besar’, seorang lagi mengatakan bahwa pemerintah daerah seharusnya ‘melakukan penelitian mendalam pada masyarakat sekitar sebelum memberikan izin usaha retailer’, dan responden terakhir mengatakan bahwa pemerintah daerah seharusnya melakukan ‘pembatasan retailer asing karena membunuh kemampuan masyarakat’. Dari serangkaian pernyataan tersebut dapat dibaca bahwa sebenarnya beberapa responden melihat Giantsebagai ancaman. Hanya saja, cara pandang itu tidak sejalan dengan pilihan tindakan sebagai reaksi atas ancaman tersebut, sebagaimana bisa dilihat dari inkonsistensi atas jawaban-jawaban untuk pertanyaan nomor 8, 9, dan 10. Inkonsistensi terlihat lebih jelas dalam jawaban atas pertanyaan nomor 11 yang disampaikan ke seluruh responden. Menariknya, sebanyak 77,8 % responden (35 orang) menyatakan merasa tidak terlindungi oleh pemerintah, hanya 11,1% (5) responden yang menyatakan merasa terlindungi oleh pemerintah, dan 11,1 % lainnya menyatakan ‘tidak tahu’.

  Berdasarkan pengamatan pada pola jawaban sebelumnya, responden yang menjawab ‘tidak tahu’ adalah mereka yang enggan menjelaskan lebih jauh ketika (sebenarnya ingin) memutuskan menjawab ‘ya’.

  Pertanyaan nomor 12 tentang ‘siapa yang diuntungkan’ dimaksudkan untuk melihat cara pandang responden tentang pesaing atau ‘oposisi’. Jawaban terbanyak atas pertanyaan ini adalah ‘Giant (16 responden), ‘masyarakat’ (11 responden), dan ‘Giant dan pemda’ (9 responden). Dari uraian tersebut bisa dilihat bahwa responden cenderung melihat berdasarkan logika ekonomi daripada logika kepentingan (politis). Hanya 9 responden yang melihat adanya keterkaitan antara kedua ranah tersebut. Namun demikian, jumlah ini juga tidak konsisten dengan jumlah responden yang menyatakan secara terbuka tentang ‘kekhawatiran’ mereka seperti yang terlihat dalam jawaban atas pertanyaan- pertanyaan sebelumnya.

  Pertanyaan nomor 13 tentang ‘Upaya Pencegahan dari Kerugian’ disampaikan kepada semua responden dengan pertimbangan bahwa pertanyaan ‘tidak langsung’ semacam ini justru mewakili apa yang sesungguhnya ingin disampaikan responden. Dari 45 responden, 55,6 % (25) orang menyatakan ‘tidak ada’ atau tidak melakukan upaya pencegahan dan 20 orang menyatakan melakukan upaya pencegahan. Bentuk dari upaya pencegahan yang dilakukan secara umum bisa dibagi menjadi tiga, yaitu memperbaiki kualitas layanan, mengurangi skala usaha, atau membuat usaha alternatif. Kelompok yang mewakili bentuk pencegahan dengan memperbaiki kualitas layanan meliputi upaya ‘mencari supplier yang setara dengan Giant, survei harga di Giant, meningkatkan jumlah produk dan survei harga, menambah produk pelengkap, menyebar brosur ke instansi untuk menjalin kerja sama, membuka cabang, jam buka lebih awal dan jam tutup lebih malam, membuat brosur promosi dan papan reklame, menambah stok barang, meningkatkan manajemen dan SDM, dan mengirim barang ke luar’. Bentuk upaya yang kedua berupa mengurangi jumlah karyawan, sementara bentuk upaya dalam kategori ketiga termasuk membuka usaha kontrakan rumah atau kos-kosan, mengubah jenis usaha, menekuni usaha lain (jahitan), dan tidak mempekerjakan karyawan.

  Pertanyaan nomor 14 berkaitan dengan pengaruh perubahan kondisi usaha terhadap nafkah keluarga. Sebanyak 40% (18) responden menjawab ‘Ya’ dan 60% (27) responden menjawab ‘Tidak’. Dari 18 orang tersebut, hanya tiga orang yang menyatakan terpengaruh secara negatif, sementara 15 responden lainnya justru mengungkapkan adanya perubahan kondisi usaha secara positif yang diikuti dengan peningkatan kesejahteraan karyawan. Bentuk pengaruh negatif tersebut di antaranya ada lah ‘penggunaan omset usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari’, ‘membuat prioritas kebutuhan rumah tangga’ dan ‘menurunnya omset yang mengharuskan mencari cara lain untuk survive’. Dari 18 responden yang menyatakan terpengaruh, semuanya menyatakan bahwa terdapat perubahan standar hidup pada beberapa sektor kehidupan. Yang menarik, jumlah responden yang menyatakan ‘menyesuaikan dengan standar hidup yang lebih rendah’ lebih tinggi dari jumlah yang menyatakan mendapatkan pengaruh negatif pada pertanyaan sebelumnya (tiga orang).

  Beberapa bentuk penyesuaian yang dilakukan adalah lebih hemat dan cerdik mengatur keuangan, menyesuaikan pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari, pemangkasan gaji karyawan, dan menghemat pengeluaran untuk kebutuhan tersier. Responden lainnya mengalami kenaikan standar hidup sesuai dengan besarnya pengaruh positif yang didapatkan.

  Sebanyak 11 responden (61,1%) melakukan penyesuaian pada sektor konsumsi, 5 (27,8%) responden melakukan penyesuaian pada sektor pendidikan, dan 2 (11,1%) responden melakukan penyesuaian pada sektor kehidupan yang tersier (rekreasi). Fakta ini menunjukkan bahwa sektor konsumsi adalah sektor yang paling rentan berubah sesuai dengan perubahan standar hidup mereka. Pada saat yang sama, hal ini menjadi indikasi bahwa kebanyakan responden yang terpengaruh masih berada pada level ekonomi yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar (konsumsi). Oleh karena itu, menjadi wajar ketika pertanyaan nomor 17 tentang ‘perubahan rencana masa depan’ disampaikan, sebanyak 5 5,6% (10) responden menyatakan ‘tidak ada’. Hanya tujuh orang yang menyatakan ‘Ada’, sementara satu orang menyatakan ‘tidak tahu’. Dari ketujuh orang yang menyatakan ada perubahan rencana masa depan, hanya lima yang melakukan upaya alternatif seperti membuka usaha laundry dan katering di rumah; menjual usaha lain (pakan burung); menekuni usaha jahit; menambah variasi produk dan mengontrakkan rumah; serta menambah usaha lain.

  Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa terkait aspek ketiga (Security by What Means), pemahaman responden terkait dampak yang dihadapi dari keberadaan Giant relatif rendah. Namun demikian, penjelasannya tidak sederhana. Responden sering tidak konsisten antara jawaban dengan sikapnya. Responden menjawab ‘tidak’ atau ‘tidak masalah’ pada satu pertanyaan terkait isu tertentu, namun ketika sampai pada pertanyaan tentang pihak yang harus bertangggung jawab, banyak responden yang kemudian menguraikan secara panjang lebar tentang hal tersebut. Ini menunjukkan bahwa terdapat faktor lain yang menghambat para pedagang untuk secara terbuka menyampaikan (mengekspresikan) apa yang mereka rasakan. Sebagai konsekuensinya, reaksi terhadap dampak itu pun relatif ambigu. Pada akhirnya, sangat sedikit kesan negatif yang tertangkap terkait kehadiran Giant di kawasan Dinoyo, walaupun uraian tentang kekecewaan disampaikan secara panjang lebar. Yang terpenting adalah pemahaman bahwa para responden bukanlah pihak yang bisa melakukan upaya perlindungan diri. Jika suatu hal sudah diputuskan pemerintah, maka itulah yang harus dilakukan. Apabila itu terkait dengan masalah ekonomi, maka persaingan dianggap sebagai hal yang wajar walaupun sangpesaing adalah aktor global.

  Penutup

  Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa ketahanan ekonomi pedagang lokal di sekitar GiantDinoyo relatif baik menurut para pedagang. Namun demikian, jika dilihat lebih jauh beberapa karakteristik ketahanan ekonomi tidak terpenuhi secara baik. Kelemahan terbesar dari kondisi tersebut justru berada pada level masyarakat yang tidak terlalu memahami posisi pesaing global. Akibatnya, solidaritas yang terbangun tidak dibentuk melalui pemahaman tentang pesaing global tersebut. Di sinilah alasan mengapa isu global-lokal tidak terlalu menjadi pertimbangan bagi para pedagang dalam melihat posisi Giant. Pemahaman yang rendah terkait dampak dari kompetisi ekonomi global berimplikasi pada pemahaman tentang hak politik untuk bersikap kritis pada kebijakan pemerintah. Ambiguitas perilaku responden mewakili keinginan agar pihak lain yang menyampaikan keluhan mereka untuk mendorong perubahan kondisi agar menjadi lebih baik.

  Secara keseluruhan, penelitian yang penulis lakukan ini masih memiliki banyak kelemahan. Bagian tersulitnya adalah mempertemukan level kajian pada tingkat global dengan isu lokal. Hal ini menjadi tantangan dalam kajian ilmu Hubungan Internasional yang selama ini cenderung melihat permasalahan pada level makro. Padahal, interaksi internasional justru semakin dalam memasuki segala aspek kehidupan masyarakat di tingkat lokal. Oleh karena itu, pemahaman global bagi segala lapisan masyarakat menjadi isu penting sekaligus tantangan bagi semua pihak yang terlibat dalam interaksi internasional.

  REFERENSI Buku

Moleong, J. Lexy. 1985.Metode Penelitian Kualitatif. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya

Offset , 1985

Nesaduri, Helen ES. 2005.Conceptualising Economic Security in an Era of

  Globalisation: What Does the East Asian Experience Reveal?. CSGR Working Paper No. 157/05

  Jurnal Human Development Report 1994, New York: Oxford University Press, 1994 Website Surat Kabar Kompas, Kompas Edisi 16 Maret 2001