Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration Terkait Pelanggaran HAM Terhadap Aktivis dan Pembela HAM di Propinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2015

  

Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration

Terkait Pelanggaran HAM Terhadap Aktivis dan Pembela HAM

di Propinsi Papua dan Papua Barat Tahun 2015

  1 Karina Putri Indrasari

Abstract

  Cases of abuses and violence in Asia, particularly in the member countries of

ASEAN are still happening despite of the fact that the member countries of ASEAN has

approved the ASEAN Human Rights Declaration (AHRD) and adopted it in legislation.

However, in practice, the implementation of the ASEAN Human Rights Declaration is

still slow in progress and receiving less special attention by both national governments

member country concerned, or by the member countries of ASEAN.

  Unreasonable arrest and torture cases against human rights activists and

defenders in Papua and West Papua, for example, are double human rights violation

cases. First of all, it violates the right to speak and express the activists’ opinions. It

violates their civil and political rights. Secondly, activists and human rights defenders

were unreasonably arrested, and they were tortured and threatened by officers

Indonesian National Police (INP) and the Indonesian National Armed Forces (INAF)

during the arrest.

  This study examines the challenges in implementing AHRD both at national and

sub-national levels by the ASEAN member countries due to ASEAN Way. Also, this

research paper analyzes the challenges to implement the AHRD in Papua and West

Papua Indonesia through the process associated with human rights violations suffered by

human rights defenders and activists in Papua and West Papua Provinces. Then, the study

presents an analysis of the violence that occurs to the human rights activists and

defenders, and the de-securitization processes that hinder the implementation processes

of AHRD in national and sub-national level. Then it focuses on matters what has been

done by the government of Papua and West Papua in implementing this AHRD.

  Keywords: Human Rights; Freedom of Speech; Papua Province; West Papua

Province; activists; tortured activists; ASEAN Human Rights Declaration; ASEAN Way.

  Pendahuluan

  Isu HAM telah menjadi isu yang sangat diperjuangkan oleh negara-negara Barat, apalagi seusainya Perang Dingin, dimana Amerika Serikat bangkit menjadi Negara superpower. Amerika Serikat gencar menyebarkan ideologi-ideologi 1 Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas

  Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration ….|

  liberalismenya dan konsep HAM sebagai dasar tercapainya liberalisme. Hal ini pun mempengaruhi negara-negara Asia, terutama setelah Krisis Financial di Asia pada tahun 1997-1998. Krisis tersebut membawa banyak perubahan terhadap Asia terutama setelah Structural Adjustment Programs (SAPs) yang diwajibkan

  

International Monetary Funds (IMF) untuk meliberalisasi ekonomi dan

  pemerintahan. Lalu, negara-negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN mulai membuat ASEAN Charter dan membentuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) untuk membantu dalam memantau penegakan HAM di negara-negara anggota ASEAN. Seluruh anggota negara menandatangani Charter tersebut dan kemudian dilanjutkan oleh pembentukan Deklarasi HAM ASEAN.

  Pendeklarasian HAM di ASEAN (ASEAN Human Rights Declaration) yang dilakukan oleh pada November 2012 menjadi pondasi awal negara-negara anggota ASEAN dalam menguatkan kedaulatan negara masing-masing anggota dalam mengatasi masalah-masalah domestiknya, terutama masalah Hak Asasi Manusia (HAM) (Narine, 2012, p. 366). Dengan adanya AHRD ini diharapkan negara mampu membela HAM masyarakatnya dan meredam amarah dari mayarakat sipil dan LSM yang sangat menentang kekerasan dan pelanggaran HAM. Meskipun AHRD telah dideklarasikan dan diadopsi di undang-undang negara-negara ASEAN, kekerasan dan pelangggaran HAM terus terjadi.

  Di Indonesia, misalnya, sebagai salah satu negara anggota ASEAN, mempunyai catatan pelanggaran HAM yang cukup banyak. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang masih belum tuntas hingga hari ini adalah kasus pembunuhan massal di tahun 1965, kasus Petrus 1982-1985, peristiwa Talangsari Lampung tahun 1989, penembakan mahasiswa Trisakti tahun 1998, tragedi Semanggi 1 dan 2, kerusuhan Mei 1998, dan kasus Waisor dan Wamena Papua (Galih, 2015). Setiap kasus pelanggaran HAM ini memakan banyak korban jiba hingga ada yang mencapai ribuan orang (Galih, 2015). Secara garis besar, pelanggaran HAM yang terjadi di kasus-kasus tersebut merupakan kasus pelanggaran HAM berat yang mencakup tentang pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan, penyiksaan dan lainnya (Galih, 2015). Menilik kasus-kasus

  64 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2 tersebut, tampaknya sulit bagi Negara untuk mengimplementasikan deklarasi hak asasi manusia yang telat dibuat.

  Dari kedelapan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tersebut, wilayah Papua termasuk wilayah yang rentan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Hal ini terjadi dikarenakan secara historis, Papua baru bergabung dengan Indonesia tahun 1969 dengan bantuan dukungan dari PBB (Cultural Survival, 1991). Banyak dari masyarakat Papua sendiri yang tidak setuju dengan bergabungnya Papua dengan Indonesia, sehingga banyak terjadinya konflik di daerah ini. Konflik yang terjadi antara masyarakat asli Papua yang ingin merdeka dari Indonesia dengan masyarakat Indonesia pendatang menyebabkan banyaknya terjadi pelanggaran terhadap HAM di wilayah ini. Selain itu, mengingat wilayah Papua memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah, perebutan sumber daya alam antara orang asli Papua dan para pendatang termasuk korporasi multi nasional menyebabkan banyak terjadinya pertumpahan darah dan penyiksaan di tanah Papua.

  Dari tahun ke tahun, hingga hari ini, Papua dan Papua Barat tetap menjadi wilayah yang rentan dengan kasus pelanggaran HAM. Di tahun 2013 misalnya POLRI telah memenjarakan tujuh orang Papua Barat karena diduga akan mengibarkan bendera Bintang Kejora (Amnesty International, 2014). Kenam orang yang diduga sebagai warga Papua yang Pro-Papua Merdeka ditangkap pada saaat doa bersama pada acara Pesta Mama (Amnesty International, 2014). Keenam orang tersebut adalah Obaja Kamesrar, Yordan Magablo, Klemens Kodimko, Antonius Saruf, Obeth Kamesrar, Hengky Mangamis, dan Isak Kalaibin, yang ditangkap seminggu setelah acara Pesta Mama (Amnesty Internasional, 2014).

  Tidak hanya kasus-kasus tersebut saja pada tahun 2013, baru-baru ini di pada Januari 2015, sekitar lima orang Papua ditangkap oleh POLRI dan TNI karena diduga tergabung dalan masyarakat pro-Papua Merdeka (Papuans Behind Bar, 2015). Selain mereka banyak sekali aktivis-aktivis pembela HAM yang dipenjara karena mereka membela warga Papua yang tersiksa dan dipenjara

  Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration ….|

  dari 35 orang aktivis pembela HAM yang dianiaya dan dipenjara di Provinsi Papua Barat semenjak tahun 1970 (Papuans Behind Bar, 2015).

  Pelanggaran-pelanggaran HAM ini menunjukkan betapa masih minimnya usaha pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menerapkan dan mengimlementasikan kerjasama dalam menunjung tinggi HAM melalui AHRD dan AICHR. ASEAN yang merupakan bentuk kerjasama regional yang dibentuk pada 1967 oleh negara-negara Asia Tenggara yang merasa meemiliki kedekatan historis maupun kultural. Kerjasama regional ini dapat juga disebut sebagai regionalisme. Seperti yang disebutkan oleh Hopkins dan Mansbach (1973), “Pengelompokan regional diidentifikasikan dari basis kedekatan geografis, budaya, perdagangan dan saling ketergantungan ekonomi yang saling menguntungkan, komunikasi serta keikutsertaan dalam organisasi internasional”. ASEAN yang merupakan forum solidaritas dan kerjasama negara- negara Asia Tenggara yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masing- masing anggotanya menjadi terlihat lemah. ASEAN diharapkan dapat menjadi platform bagi negara-negara ASEAN yang memiiliki sejarah dan kultur yang sama untuk saling membantu dalam mewujudkan HAM menjadi kehilangan kekuatan dan signifikansinya di kawasan Asia Tenggara.

  Namun demikian, kerjasama regional yang sudah lama dibentuk dan difokuskan pada perlindungan HAM melalui AHRD dalam pengimplementasikannya ke domestik negara anggota belum sempura karena masih banyaknya kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi. AHRD sendiri sudah terkandung dalam Undang-Undang Negara Indonesia, bahkan Pancasila Negara Indonesia pada sila kedua, walaupun pada prakteknya pelanggaran masih marak terjadi. Hal inilah yang menjadi perhatian penting perwujudan dari AHRD sebagai salah satu produk kerjasama antar negara ASEAN ini dapat menjadi sarana penegakan HAM secara nyata. Lalu sebenarnya, Bagaimanakah implementasi ASEAN Human Rights Declaration di Provinsi Papua dan Papua Barat tahun 2015 terkait pelanggaran HAM terhadap aktivis dan pembela HAM ?.

  66 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2

  HAM dan ASEAN

  Hak Asasi Manusia pada hakekatnya adalah hak dasar yang kita memiliki sebagai manusia. Hak-hak dasar tersebut merupakan hak yang wajib dilindungi selama individu masih menjadi manusia. Seperti yang Donnelly (2003) katakan tentang HAM,

  “Human rights are equal rights: one either is or is not a human being, and therefore has the same human rights as everyone else (or none at all). They are also inalienable rights: one cannot stop being human, no matter how badly one behaves nor how barbarously one is treated. And they are universal rights, in the sense that today we consider all members of the species Homo sapiens “human beings,” and thus holders of human rights (p.10).”

  Jadi, HAM adalah hak yang sama sebagai manusia, dan HAM adalah hak yang individu miliki sebagai manusia tanpa kemudian terpengaruh kepada bagaimana individu tersebut bersikap. Secara alami selama seorang individu masih menjadi manusia dan menjadi keturunan dari species Homo sapiens, hak itu akan tetap melekat sampai kapanpun.

  Karena universalitas dari HAM ini, dan bagaimana HAM ini dapat diaplikasikan kepada seluruh warga di dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa pun telah memberikan wadah agar HAM dapat diterapkan dan diimplementasikan di seluruh dunia. Pada United Nation Declaration of Human Rights menyatakan bahwa tiap-tiap hak individu dilindungi dan hak tiap individu sebagai manusia adalah untuk memperoleh kebebasan sebagai manusia bebas dan sederajat (United Nations, diakses 08/05/2015).

  Oleh karena perkembangan dunia internasional yang dipengaruhi oleh supremasi Amerika Serikat sebagai superpower setelah Perang Dingin, dunia internasional memberikan atensi lebih terhadap isu HAM. Konsep HAM yang universal sendiri mulai dianut oleh actor regional seperti ASEAN. ASEAN sendiri mengadopsi HAM dengan membentuk Komisi HAM di ASEAN yang disebut dengan ASEAN Intergovernmental Commissions on Human rights (AICHR) (Narine, 2012, p. 366). Dengan adanya AICHR, dibentuklah kesepakatan kerjasama regional untuk menangani isu HAM melalui dideklarasikannya

  Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration ….|

  Pendeklarasian AHRD ini menjadi tahapan awal dari negara Asia Tenggara dalam merespon tekanan terhadap negara- negara Barat dan cara untuk menguatkan legitimasi dan posisi negara-negara Asia Tenggara di mata dunia internasional (Narine, 2012, p. 376). Namun demikian, hal inilah yang menyebabkan penerapan dari AICHR sendiri menjadi sulit bagi negara- negara anggota ASEAN karena sifatnya yang tidak terlalu mengikat dan bertentangan dengan ASEAN Way.

  ASEAN Way sendiri menjadi penting untuk digunakan sebagai acuan

  dalam menganalisis implementasi AHRD, karena ASEAN Way dapat menghambat pengimplementasian dari AICHR di tingkat nasional maupun sub- nasional. ASEAN Way adalah dua sisi metode dan norma yang terstruktur yang memberikan gambaran dan pesan kepada partai ketiga dalam rezim ASEAN (Jones, 2014, p. 73). ASEAN Way juga bisa diartikan sebagai persetujuan antara negara-negara ASEAN yang tidak ingin urusan domestiknya dicampuri oleh negara lain dan menggunakan cara perdamaian dalam menyelesaikan segala masalah anatar negara-negara anggota ASEAN (Jones, 2014, p. 73). Berdasarkan definisi, dapat dikatakan bahwa ASEAN Way tidak ingin adanya campur tangan dari pihak manapun yang mencampuri urusan internal negara.

  Hal ini dapat mempengaruhi penerapan dari AICHR di negara-negara maupun sub-nasional anggota-anggota ASEAN. Karena apabila negara tidak dapat mencampuri urusan negara lain, perjanjian terakhir dari AICHR yaitu menjunjung tinggi HAM melalui kerjasama sulit untuk diterapkan.

  68 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2

  

ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dan

ASEAN Human Rights Declaration (AHRD) sebagai Proses Sekuritisasi

HAM

  AICHR sebagai badan intergovernmental ASEAN berperan paling penting dalam mempromosikan dan memastikan terlindunginya HAM masyarakat negara- negara anggota ASEAN (Clarke, 2012, hal. 44). AICHR adalah pilar penting bagi ASEAN dalam memajukan sistem HAM (Clarke, 2012, hal. 44). Selain berperan sebagai promotor dan penegak HAM di ASEAN, AICHR juga bertugas sebagai “konsultan” antar badan nasional. Regional maupun internasional dalam penanganan HAM (Clarke, 2012, hal. 46). AICHR juga berperan penting dalam penyusunan draft Deklarasi HAM di ASEAN atau AHRD.

  AHRD dibentuk oleh negara anggota ASEAN dengan dasar pemikiran bahwa dengan adanya standarisasi sistem stabilitas HAM tertulis atau norma, yang mana diharapkan mampu untuk mempromosikan serta memastikan komitmen negara-negara anggota ASEAN dalam penegakan HAM di negaranya. Pembuatan AHRD ini tetap mengindahkan aspek saling menghormati dalam hal latar belakang politik, sejarah, budaya dan agama masing-masing negara anggota (Clarke, 2012, hal. 51). Dengan adanya AHRD ini juga diharapkan akan membantu proses pembentukan masyarakat ASEAN baik ekonomi, politik, maupun keamanan.

  Dengan adanya pendeklarasian HAM secara regional di Asia Tenggara, hal ini menunjukkan bahwa negara-negara anggota ASEAN sedang men- sekuritisasi perihal HAM. Sekuritisasi sendiri dapat diartikan sebagai proses yang dilakukan oleh aktor untuk membuat isu yang bukan termasuk isu keamanan menjadi isu keamanan yang penting untuk dicari solusinya. Proses sekuritisasi menurut Barry Buzan (1998) dalam William (2008) dikonstruksikan secara sosial dan politikal melalui speech act (hal. 125). Bourdieu dan Thompson (1991) dalam William (2008) menyebutkan,

  A successful speech act is then a combination of language (the grammar of security) and society (the social and symbolic capital of the enunciator, the magic of ministry he belongs to), an intrinsic features of the speech, and the

  Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration ….| representativity of the spokeperson regarding the group that authorizes and recognize it (p. 125).

  Kesuksesan speech act bergantung pada bahasa yang digunakan dalam menggambarkan keamanan yang diperlukan, aktor yang melakukan pidato atau speech act, serta audience atau target sasaran dalam menerima proses sekuritisasi ini.

  AHRD sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk speech act yang digunakan negara-negara anggota. Pasal-pasal dari AHRD sendiri menggunakan bahasa yang sangat mendukung untuk sekuritisasi ini dijalankan. Terbukti dengan isu HAM yang tadinya tidak dianggap sebagai isu keamanan yang perlu diberikan perhatian lebih, menjadi isu keamanan yang harus diperhatikan. Terlebih ketika kepala negara meratifikasi AHRD ini. Hal ini menjadi karakteristik speech act yang khas yang diciptakan oleh aktor-aktor negara anggota ASEAN. Target sasarannya pun adalah masyarakat-masyarakat negara ASEAN yang rentan terhadap kasus pelanggaran HAM. Hal ini menjadikan perlunya HAM menjadi isu keamanan yang penting. Adanya AICHR juga menjadi alat utama proses sekuritisasi ini berjalan.

  Walaupun AHRD menjadi bentuk sekuritisasi yang dilakukan oleh negaa anggota ASEAN, beberapa poin yang ada dalam AHRD yang masih menjunjung prinsip non-intervensi menjadikan kendala proses sekuritisasi tersebut. Prinsip- prinsip non intervensi negara anggota ASEAN atau yang biasa disebut dengan ASEAN Way ini dapat menjadi akar sulitnya implementasi AHRD di tingkat nasional dan sub nasional.

  Singkatnya, AHRD pun menjadi lambang komitmen negara-negara anggota ASEAN kepada nilai-nilai demokrasi. Namun, karena beberapa poin

AHRD yang menjunjung Prinsip non- intervensi ASEAN atau ‘ASEAN Way’

  menimbulkan kritik dari berbagai pihak (Pembukaan atau Preamble dari AHRD). AHRD justru malah menjadi sarana untuk merasionalisasikan tindakan-tindakan pelanggaran HAM yang terjadi di negara-negara anggota (Weatherbee, 2013, hal.

  35). Sehingga, proses sekuritisasi terhadap HAM yang sudah dirancang melalui AHRD ini sendiri mengalami proses de-sekuritisasi karena adanya ASEAN Way.

  70 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2

  ASEAN Way sebagai Proses De-Sekuritisasi

  Nilai-nilai yang digunakan oleh negara-negara di ASEAN dalam menjalankan kerjasama regionalnya berdasarkan pada ASEAN Way. ASEAN Way pun tertuang di ASEAN Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Di dalam TAC Artikel 2 menekankan bahwa negara-negara anggota ASEAN harus menjunjung tinggi kedaulatan, kemerdekaan, dan batas wilayah seluruh negara anggota, tidak mencampuri urusan atau masalah internal satu negara dengan lainnya (non-intervention), serta menyelesaikan sengketa melalui jalur musyawarah dan dengan jalur damai (tanpa kekerasan atau perang), dan menjunjung tinggi kerjasama diantara anggota (Goh, 2003, hal. 114; ASEAN website, 2014). Dari Artikel 2 TAC ini nilai dan norma pembuatan ASEAN berdasarkan kepada 2 (dua) norma besar yaitu regulatif dan prosedural (Jones, 2014, hal. 73). Norma-norma regulatif adalah pada poin kedaulatan, kemerdekaan serta batas wilayah negara yang harus dihormati, prinsip non-intervensi antara negara anggota dan jalur damai dalam penyelesaian sengketa (Jones, 2014, hal. 73). Sedangkan norma-norma prosedural terletak pada poin musyawarah (Jones, 2014, hal. 73). ASEAN Way ini sebagai prinsip-prinsip penuntun langkah anggota ASEAN dalam mencapai suatu kesepakatan. Hal ini menekankan pada informalitas dari proses pengambilan keputusan di dalam tubuh ASEAN sendiri (Masilamani and Peterson, 2014, hal. 11)

  Nilai dan norma yang regulatif dan prosedural yang sangat dijunjung tinggi oleh negara anggota ASEAN ini menjadi penghalang proses implementasi AHRD sebagai bentuk speech act dari sekuritisasi masalah HAM di regional. Poin non-intervensi yang ditekankan dalam TAC ini menjadi ujung tombak proses de- sekuritisasi yang telah dijalankan. Proses de-sekuritisasi terjadi karena secara regional, ASEAN telah menyepakati masalah HAM menjadi masalah keamanan, sedangkan di tingkat nasional dan sub-nasional, negara dapat mendefinisikan maalah HAM sebagai masalah non keamanan. Apabila negara tidak mengindahkan masalah HAM sebagai masalah keamanan yang penting untuk segera ditangani, negara lain pun tidak boleh mengintervensi masalah ini. Sehingga, kerjasama secara regional dalam hal penegakan HAM masih jauh dari

  Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration ….|

  harapan. ASEAN Way secara tidak langsung tidak memperhitungkan kepentingan negara (Weatherbee, 2013, hal. 65). Kepentingan negara anggota ASEAN dalam hal HAM bisa berbeda-beda tergantung kepada bentuk pemerintahannya juga. Di Indonesia, meskipun sudah demokrasi dalam kepemimpinannya, tidak menjamin bahwa pelanggaran HAM tidak akan terjadi. Pada kasus Papua dan Papua Barat, beberapa aktivis dari Organisasi Papua Merdeka tidak dapat menyuarakan pendapatnya ke publik karena hal ini tidak sejalan dengan kepentingan negara. Banyak dari para aktivis dari OPM yang ditangkap dan dipenjarakan bahkan dianiaya karena dianggap tidak memiliki kepentingan yang selaras dengan kepentingan negara Indonesia. Walaupun tindak pelanggaran HAM terjadi di Indnesia, negara anggota ASEAN lain tidak dapat memaksakan atau bahkan mencampuri keputusan pemerintah Indonesia dalam menghadapi hal ini. Oleh karena itu, ASEAN Way ini menjadi sarana de-sekuritisasi bagi negara-negara anggota untuk mencapai kepentingan nasionalnya.

  Hal ini terbukti dari temuan peneliti tentang kasus penganiayaan terhadap aktivis HAM yang ada di provinsi Papua dan Papua Barat. Masih banyak terjadinya kasus-kasus pelnggaran HAM baik pelanggaran HAM berat maupun ringan yang terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat memperliatkan peran regional speech act atau AHRD tidak menjadikannya momok bagi negara-negara anggota yang telah menandatanganinya.

  Implementasi AHRD di Provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia

  Provinsi Papua dan Papua Barat sangat rentan terhadap kasus-kasus penganiayaan dan pelanggaran berat HAM. Hal ini terjadi karena secara historis, Papua dan Papua Barat merupakan provinsi yang awalnya adalah wilayah jajahan Belanda yang dipersiapkan untuk merdeka secara utuh. Namun, setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Indonesia mengklaim bahwa wilayah jajahan Hindi- Belanda adalah termasuk dalam wilayah Indonesia (M., Danni, 2015). Namun setelah diadakannya Komando Mandala dan Tri Komando Rakyat untuk melawan Belanda dan mengusir Belanda dari wilayah Papua Barat yang dipimpin Presiden Soekarno, wilayah pulau Papua bagian Barat menjadi bagian dari wilayah

  72 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2 Barat oleh United Nations Temporaray Executive Authority (UNTEA) kepada Indonesia pada tahun 1962 (M., Danni, 2015).

  Oleh karena kondisi historis ini, munculah pergerakan-pergerakan aktivis pembela Papua Merdeka yang meresa bahwa Papua Barat seharusnya tidak bergabung dengan Indonesia tetapi berdiri sendiri sebagai negara merdeka. Aktivis ini sering menyuarakan tentang kemerdekaan Papua sebagai tujuan organisasi mereka. Oleh sebab itu, pemerintah Indoseia dalam mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI) berusaha untuk meredam gerakan yang dianggap sebagai gerakan separatis ini. Peredaman gerakan separatis ini biasanya dilakukan oleh TNI dengan tujuan mempertahankan kedaulatan. Aktivis ini ditangkap bahkan disiksa ataupun dianiaya dengan harapan bahwa mereka tidak lagi akan menyuarakan keinginan mereka untuk Papua menjadi negara yang merdeka dan berpisah dari Indonesia. Penangkapan dan penganiayaan ini dapat juga dikatakan sebagai bentuk pelanggaran HAM terhadap kebebasan berpendapat dan berbicara serta hak untuk hidup tanpa siksaan atau penganiayaan.

  Beberapa penyiksaan, penangkapan, dan kriminalisasi terhadap aktivis- aktivis HAM di Papua dan papua Barat, bahkan kepada warga Papua yang sedang tidak berada di Papua mengalami tindak kekerasan dan penangkapan secara sewenang-wenang (Lihat Tabel 1.1).

Tabel 1.1 Event Local

  Initial Record Event Title Geograph Local Index Date Number ical Area aktivis Barat SEWENANG

  kemerdekaan WENANG, Papua oleh oleh PENAHANAN

  SEWENANG Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration ….|

  Polisi di bandara WENANG, Sentani KRIMINALISASI

   sewenang- SEWENANG

  wenang oleh WENANG Polisi terhadap 3 aktivis Papua di Bandung

   sewenang- SEWENANG

  wenang terhadap WENANG

  3 Pemuda di Nabire oleh Polisi

   Puluhan Aktifis Barat SEWENANG

  dan Tahanan WENANG, Politik Papua LAINNYA Merdeka Pada perayaan 1 Mei di Manokwari

   Aktivis SEWENANG

  Kemerdekaan WENANG Papua

   orang Aktivis Barat SEWENANG

  Papua Merdeka WENANG pada saat perayaan hari

  74 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2 Integrasi papua oleh Polres Manokwari

  

Mahasiswa di SEWENANG

  Jayapura oleh WENANG, Polisi saat aksi KEBEBASAN Penggalangan BEREKSPRESI dana bagi tim adhoc kasus Paniai

  

Ugapuga, PENYIKSAAN

  Kabupaten Dogiyai, Papua terhadap dua siswa SMP oleh Polisi Brimob

   seksual pada anak SEKSUAL

  SMP oleh Polisi di Timika, Papua

  

karyawan Barat

  perusahaan tambang oleh TNI di Papua

  

terhadap warga

  Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration ….|

  oleh TNI di lokalisasi Tanjung Elmo, Papua

  

Sumber: Data diperoleh dari hasil Interview dengan anggota LSM KontraS Arif Fikri

(18/08/2015)

  Dari data tabel di atas, dapat dikatakan bahwa hampir tiap bulannya dari bulan Maret hingga Juli 2015 masih adanya kekerasan terhadap aktivis HAM baik yang berada di Papua dan Papua Barat maupun yang berasal dari kedua Provinsi tersebut. Data yang diperoleh peneliti yang palin komprehensif menyebutkan tindak kekerasan terhadap aktivis pembela HAM adalah hanya dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban tindak kekerasan (KontraS). Kontras pun menyatakan kesulitan untuk mendapatkan data rinci mengenai tindak kekerasan ini karena jarang adanya pelaporan dari pihak korban, kerena biasanya korban diancam oleh pihak berwenang apabila melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya (Interview dengan Bapak Arif, KontraS, 18/08/2015). Bentuk tindakan kekerasan yang diterima oleh para aktivis HAM di Papua dan Papua Barat meliputi penyiksaan, diskriminasi rasial dan intimidasi (Interview dengan Bapak Arif, KontraS, 18/08/2015).

  Selain itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) sendiri tidak merasa banyak tindakan kekerasan terhadap aktivis-aktivis HAM di Papua yang terjadi kecuali pada kasus Paniai (Interview dengan Ketua Komnas HAM, Bapak Nur Kholis, 03/09/2015). Komnas HAM sebagai lembaga pemerintah yang mengurusi soal HAM memperoleh data dari laporan masyarakat dan bekerja sama dengan LSM untuk mendapatkan data tentang tindak penyiksaan dan pelanggaran HAM di Indonesia (Interview dengan Ketua Komnas HAM, Bapak Nur Kholis, 03/09/2015). Laporan dari Bapak Fritz Komnas HAM Papua (Phone interview (09/09/2015) juga hanya ada pelaporan dari Theo Hesegem Aktivis HAM di Wamena dan Yan Warinusi dari Manokwari.

  Tindakan yang dilaporkan maupun yang dikumpulkan melalui berita adalah sumber utama bagi LSM dan bagi Komnas HAM sebagai lembaga negara.

  76 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2 rekomendasi kebijakan serta mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan permasalahan terkait. Namun demikian, pemerintah masih belum dapat menjauhkan kepentingan nasionalnya dalam penegakan HAM. Terlihat pada kasus penangkapan mahasiswa di Jayapura ketika sedang menggalang dana untuk Tim Adhoc kasus Paniai oleh Polisi setempat. Pemerintah setempat belum mengindahkan adanya perjanjian regional dan hukum nasional yang melindungi HAM. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 merupakan Undang-Undang yang melindungi Hak Asasi Manusia secara utuh bahkan jauh sebelum AHRD dibuat (Komnas HAM Website, 2013). Namun demikian, meskipun undang-undang ini sudah ada sejak lama, kasus pelanggaran HAM masih terus terjadi, dan tidak ada satupun negara di ASEAN yang berhak ikut campur dalam hal ini.

  Baru-baru ini, di Provinsi Papua dan Papua Barat, terjadi kasus pembunuhan sadis dan pemerintah setempat masih belum dapat menyelesaikan kasus tersebut. Contohnya adalah ketika terjadi pembunuhan sadis terhadap ibu hamil dan dua anaknya di Teluk Bintuni (Berita Satu, 2015). Pemerintah provinsi setempat masih sangat lambat dalam menanggapi hal ini. Evaluasi khusus, terutama evaluasi keamanan, perlu dilakukan terhadap pemerintah setempat agar kasus-kasus pelanggaran HAM dapat diselesaikan, baik pelanggaran HAM masa lalu maupun yang terjadi saat ini.

  Hal tersebut menunjukkan belum adanya penanganan pemerintah secara lebih mendalam mengenai permasalahan HAM. Dibuatnya AHRD di tingkat regional tidak membuat pemerintah nasional maupun sub nasional negara anggota merasa harus mematuhi deklarasi HAM yang telah dibuat karena prinsip ASEAN Way yang dimuat di dalam deklarasi tersebut tidak terlalu mengikat dan tidak membuat negara anggota menyamakan kepentingannya dalam penegakan HAM. Sehingga, implemetasi AHRD di tingkat nasional pun belum tercapai atau belum berhasil. Hal ini juga menjadi gambaran singkat proses de-sekuritisasi yang terjadi baik di tingkat nasional dan sub-nasional.

  Penutup

  Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration ….|

  Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan, peneliti menyimpulkan bahwa proses sekuritisasi yang dilakukan oleh ASEAN untuk menjadikan isu HAM menjadi isu yang penting untuk ditangani melalui pembuatan AHRD sebagai sarana speech act tidak mampu membuat negara-negara anggota ASEAN yang sudah meratifikasi AHRD benar-benar menjadikannya masalah kemananan yang serius. Implementasi AHRD di Indonesia terutama di Provinsi Papua dan Papua Barat masih belum dapat terimplementasikan dengan baik dikarenakan berbenturan dengan ASEAN Way. Hal tersebut membuat Negara anggota ASEAN, seperti Indonesia , mengabaikan proses sekuritisasi dan speech act yang sudah dibuat melalui AHRD.

  Kepentingan nasional negara Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan NKRI mengakibatkan tidak terimplementasinya komitmen kerjasama regional yang tela dicapai Indoneisa melalui AHRD. Komitmen kerjasama yang dibuat oleh Negara-negara anggota ASEAN dalam AHRD sebagai bentuk sekuritisasi tidak berjalan sempurna. Adanya ASEAN Way terutama prinsip non intervensi membuat proses de-sekuriti terjadi di tingkat nasional dan sub nasional. Negara akan tetap mementingkan kepentingannya yang mungkin bertabrakan dengan HAM demi tercapainya kepentingan tersebut. Negara lain tidak berhak ikut campur atas pilihan kebijakan domestik negara tersebut walaupun negara tersebut melanggar HAM.

  Kasus penganiayaan aktivis di Papua dan Papua Barat menunjukkan bahwa Indonesia masih mementingkan kepentingannya tanpa mengindahkan proses sekuritisasi HAM tersebut di ranah regional. Pemerintah setempat pun belum mampu mengatasi pelanggaran HAM di provinsi Papua dan Papua Barat, karena pemerintah setempat masih sangat berpegang pada kepentingan nasional NKRI untuk terciptanya kedaulatan NKRI. Hal ini sangat disayangkan sebab hal ini menyebabkan kegagalan implementasi AHRD sendiri di tingkat nasional maupun sub-nasional, khususnya di Provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia.

  78 | JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL VOL 2 NO 2

  REFERENSI

Amnesty International.2014. Indonesia: Papuan Activist Imprisoned in Sorong District.

  Berita Satu.2015. Polres Bintuni dan Polda Papua Barat Tidak Serius Ungkap Pembunuhan Sadis . [online] Available at:

  Clarke, Gerard.2012. The Evolving ASEAN Human Rights System: The ASEAN Human Rights declaration of 2012. Journal of International Human Rights Law . Vol 11(1). Pp. 1-83.

  Cultural Survival.1991. West Papua: Forgotten War, Unwanted People. [online] Available at:

  Donelly, J.2003. Universal Human Rights in Theory and Practice. USA: Cornell University Press. Fikri, Arif.2015. Interviewed by Karina Indrasari [in person]. KontraS Office. 18 Agustus 2015 Galih, B.2015. Ini 8 Kasus Pelanggaran HAM yang Masih Macet Hingga Sekarang. Kompas Online. [online] Available at:

Goh, Gillian.2003. The ASEAN Way: Non Interventio n and ASEAN’s Role in

  

Conflict Management. Standford Journal of East Asian Affairs. Vol. 3 (1). Pp.

  113-118.

Jones, W. J.2014. Universalizing Human Rights The ASEAN Way. International Journal

of Social Sciences. Vol. III(3). Pp. 72-89.

  

Kholis, Nur.2015. Interviewed by Karina Indrasari [in person]. Komnas HAM Indonesia

Jakarta. 3 September 2015. KOMNAS HAM Website. (2013). Accessed:

21/10/2015. <Available at:

>

  M. Danni.2015 dalam Website TEMPO. Sejarah Dunia HAri Ini: Irian MAsuk Indonesia . Accessed: 21/10/2015.<Available at: k-indonesia>

  Masilamani, Logan and Peterson, Jimmy.2014 . The “ASEAN Way”: The Structural Underpinnings of Constructivie Engagement. Foreign Policy Journal. Pp. 1-21.

  Karina Indrasari , Analisis Implementasi ASEAN Human Rights Declaration ….|

  Narine, Shaun.2012. Human Rights Norms and the Evolution of ASEAN : Moving without Moving in a Changing Regional Environment. Contemporary Southeast Asia. Vol 34(3). Pp. 365-388).

  Papuan Behind Bars.2015. Current Prisoners. Accessed: 8/5/2015. <Available at:

  United Nations.2015. The Universal Declaration of Human Rights. Available: http://www.un.org/en/documents/udhr/index.shtml. Last accessed 08 May 2015.

  

Weatherbee, Donald.2013. Indonesia in ASEAN: Vision and Reality. Singapore: ISEAS

Publishing.