Tempat Imam Lebih Tinggi dan Masalah Menembok Kuburan

Tempat Imam Lebih Tinggi dan Masalah Menembok Kuburan
Pertanyaan 1
Bagaimana hukumnya, bila tempat imam lebih tinggi dari pada tempat makmum
atau sebaliknya tempat makmum lebih tinggi dari pada tempat imam dan bagaimana
kalau makmum terpencar-pencar di sekitar masjid ?
Takmir Masjid Ja’far al Basyir
Sewon Bantul

Jawaban :
Untuk menjawab pertanyaan saudara tersebut di atas, lebih kami kemukakan haditshadits yang bertalian dengan masalah tersebut kemudian kami analisis seperlunya untuk
sampai kepada istimbat hukumnya.

Artinya : “Rasulullah saw melarang imam berdiri di atas sesuatu (lebih tinggi)
sedangkan orang banyak (makmum) berada di belakangnya, yakni lebih
rendah dari padanya”. (HR ad Daruquthni).

Artinya :”Bahwa Hudzaifah ra mengimami orang-orang di kota Madain sambil berdiri
di tempat yang tinggi. Lalu Abu Mas’ud menarik gamisnya dan setelah shalat
selesai ia berkata: tidak tahukah anda bahwa mereka dilarang berbuat
demikian ? Hudzaifah menjawab: benar, saya baru teringat ketika enkau
menarikku”. (HR Abu Daud).


Artinya: “Aku (Sahal Ibn Sa’ad ra) melihat Nabi saw duduk di atas mimbar pada hari
pertama diadakannya mimbar itu., lalu beliau bertakbir dan ruku’ di atasnya,
kemudian turun dan melangkah mundur, lalu sujud di lantai mimbar itu,
kemudian kembali naik diatas mimbar. Setelah shalat itu selesai, beliau
bersabda: Wahai orang banyak, sebenarnya saya lakukan tadi itu, supaya kamu
dapat mengikuti dan mempelajari tata cara shalatku”. (HR al Bukhari, Ahmad
dan Muslim).
Uraian dan Penjelasan:
Didalam kita beristimbat hukum, maka jika ada dua dalil yang lahirnya
berlawanan/bertentangan
(ta’arudl),
maka
pertama-tama
diadakan
pengkompromian/pengumpulan dua dalil itu dalam pengamalan, jika jalan itu tak dapat
dilakukan, maka ditempuh jalan mentarjihkan dan mengamalkan yang kuat dan
meninggalkan yang kurang kuat.
Pada ketiga dalil di muka, memang selintas kelihatan bertentangan, tetapi kalau
diteliti secara cermat, sebenarnya tidak. Karena yang yang pertama bukanlah larangan

mutlak (lit tahrim). Sehingga penjelasannya ialah bahwa hadits nomor 1 dan 2 tersebut
di atas menjadi dalil dilarangnya posisi imam lebih tinggi dari pada posisi makmum,
tanpa membedakan antara jarak tinggi posisi imam dan makmum. Berdasarkan
pernyataan Abu Sa’id bahwa orang-orang yang dilarang melakukan hal itu dan
pernyataan Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah saw melarang hal demikian itu. Adapun
mengenai shalat Rasulullah saw di atas mimbar ( hadits nomor 3) Hal itu beliau lakukan
karena beliau bermaksud mengajar para shahabat, sehingga membolehkan imam berada
dalam posisi lebih tinggi dari pada makmum (ada suatu kepentingan).
Menurut qaidah dalam Ilmu Ushul Fiqh, bila Rasulullah saw melarang sesuatu hal,
kemudian beliau melakukan sesuatu yang menyalahinya, maka perbuatan beliau itu
menjadi pentakhsis terhadap keumuman larangan dimaksud. Karena itu shalat beliau di
atas mimbar tidak bertentangan dengan posisi imam lebih tinggi dari pada posisi
makmum.
Pada dasarnya, dalam suatu shalat jama’ah hendaknya diusahakan agar letak imam
dan makmum berada dalam satu majlis yang rata. Tanpa ada suatu kepentingan imam

tidak boleh meletakkan diri di tempat yang tinggi. Hal ini dapat mengganggu asas
kebersamaan dan tidak timbul penghormatan terhadap imam secara berlebihan.
Menurut dhahir hadits riwayat ad Daraquthni, posisi imam lebih tinggi dari pada
posisi makmum tanpa suatu sebab, adalah dilarang, tetapi menurut bobot larangan itu

menunjukkan kepada tingkat hukum makruh saja; kemudian jika ada sesuatu kepentingan
sedemikian rupa hukumnya menjadi dibolehkan (mubah).
Kemakruhan posisi imam lebih tinggi dari pada posisi makmum dalam suatu majlis
shalat jama’ah tanpa suatu sebab/kepentingan dikuatkan oleh hadits Hamam mengenai
kasus Hudzaifah yang mengimami orang-orang di kota Madain di sebuah tempat itu.
Dari uraian di atas dapat di ambil dua buah kesimpulan, yaitu :
1. Dalam suatu shalat jama’ah sekiranya memungkinkan hendaknya posisi imam
sama tingginya dengan posisi makmum.
2. Hendaknya dihindarkan pelaksanaan shalat jama’ah dengan posisi imam lebih
tinggi dari
pada posisi makmum, kecuali keadaan tempat yang tidak
memungkinkan, semisal tempat terlalu sempit, peserta jama’ah banyak, maka
dalam kondisi seperti itu shalat jama’ah dipandang sah.
Pertanyaan 2
a. Mohon penjelasan terjemahan kata yujashshashu dalam hadits yang dimuat
dalam Buku Himpunan Putusan Tarjih Cetakan Ketiga halaman 253; apakah
menembok atau dikapur ?
b. Apa yang dimaksud dengan kalimat yubna ‘alaih dalam hadits tersebut ?
Bagaimana kejelasan hukumnya ?
Mulyono

Bekonang, Sukoharjo
Jawaban:
Untuk memudahkan penjelasan, kami tulis dengan lengkap hadits yang berhubungan
dengan persoalan di atas, yakni:

Artinya: “Dari Jabir, ia berkata: Nabi saw melarang orang menembok kuburan, duduk di
atasnya dan melarang mendirikan bangunan diatasnya”. (HR Ahmad, Muslim,
Abu Daud dan an Nasai).
a. Pada kamus al Munjid susunan Lumis Ma’luf halaman 89 diterangkan bahwa kata
al jashsha atau al jishsha berarti kapur yang terbuat dari batu kapur, yang
digunakan mencat rumah atau bangunan. Kata yujashshashu berarti mencat sesuatu
dengan kapur atau mengkapuri. Dalam memahami suatu kata atau kalimat kadangkadang orang memahaminya secara harfiah atau leterlek dan kadang-kadang orang
mengartikan sesuai dengan tujuan digunakan suatu kata dalam suatu kalimat. Hal ini
bias terjadi dalam memahami arti atau maksud suatu kata atau kalimat dalam suatu
bahasa pada umumnya, termasuk di dalam Bahasa Arab, asal sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dan rasa Bahasa dari suatu bahasa. Demikian pula halnya dengan
arti yujashshashu. Arti asalnya ialah mencat sesuatu dengan cat atau kapur. Tetapi
dapat pula diartikan dengan arti yang lain dengan menggunakan kaidah dalam Ilmu
Balaghah yang berbunyi: I’tibaaru maa yakuunu bi’tibaari maa kaana (memandang
atau menamai sesuatu yang ada pada saat kata itu diucapkan dengan pandangan atau

nama yang telah ada sebelumnya). Arti yujashshashu pada saat kata itu diucapkan
itu ialah mengapuri tembok atau mencat tembok dengan kapur. Sebelum dicat
tembok itu telah dibangun. Maka yang tampak pada waktu itu ialah mencat tembok
kuburan dengan kapur. Sedang yang telah ada sebelum tembok itu dicat ialah
melakukan pekerjaan menembok atau menembok. Bagi yang memandang dari segi
saat kata itu diucapkan mengartikan yujashshashu dengan mengapuri atau mencat
dengan kapur; sedang yang memandang dari segi apa yang terjadi sebelum pekerjaan
mencat, mengartikan yujashshashu dengan menembok. Kedua arti ini boleh dipakai.
b. Arti kalimat yubna ‘alaih secara harfiah ialah mendirikan bangunan di atas kuburan.
Kalimat di atas mempunyai pengertian yang umum, termasuk di dalamnya
membangun bangunan apa saja si atasnya, seperti rumah, tempat ibadah, tugu
peringatan, pondok dan sebagainya. Pengertian ini dikuatkan oleh hadits yang sama
menurut lafadz an Nasai:

Artinya: “ … membuat bangunan di atas kubur, menambahnya, menemboknya dan
menulisnya”.
Berkaitan dengan hukumnya di kalangan para ulama terdapat beberapa pendapat.
Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan pada hadits di atas hanyalah larangan
makruh, tidak haram. Hal ini berarti menurut mereka bahwa menembok kuburan,
duduk di atasnya dan mendirikan bangunan diatasnya hukumnya adalah makruh.

Sedang Ibnu Hazmin menetapkan hukumnya ialah haram. Menurut Ulama
Hanafiyah, haram hukumnya membuat tulisan di kuburan, kecuali jika dikhawatirkan

tidak diketahui lagi dimana kuburan itu berada, tanpa ada yang menunjukkannya.
Dengan demikian menurut mereka boleh membuat tulisan di kuburan, sekedar
sebagai tanda bahwa ditempat itu ada orang yang dikuburkan.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa boleh memberi tanda
dan membuat tulisan pada suatu kuburan, asal tidak berupa bangunan di atasnya dan
tulisan itu sekedar untuk mengetahui nama orang yang dikuburkan di tempat itu.
Untuk selanjutnya kami tuliskan hadits:

Artinya: “Karena hadits Muthalib Ibn Abdullah, katanya bahwa ketika Utsman Ibn
Mazh’un wafat, jenazahnya dibawa keluar dan dikubur, lalu Nabi saw
perintahkan kepada seorang laki-laki supaya mengambil batu, tetapi ia
tidak mengangkatnya, lalu Rasulullah saw mendekatinya dan
menyingsingkan kedua lengannya. Berkata Muthalib: Berkata seorang yang
mengkhabarkan kepadaku seolah-olah aku melihat kedua lengan Rasulullah
saw yang putih waktu disingsingkannya. Kemudian beliau saw mengangkat
batu itu dan meletakkan di arah kepalanya, dengan sabdanya: Aku memberi
tanda kubur saudaraku ini dan aku akan mengubur ahliku yang meninggal

disitu juga (HR Abu Daud).
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa meletakkan atau menanamkan batu atau
sesuatu di atas kuburan dibolehkan. Pada hadits tersebut tidak ditentukan berapa

banyak batu yang akan diletakkan. Tentu saja banyaknya itu sesuai dengan kepatutan
dan kebersihan kuburan. Besar dan banyaknya batu yang akan diletakkan yang paling
baik ialah sesuai dengan perbuatan Nabi saw. Dengan adanya tanda itu, para ahli
waris dapat menetapkan kuburan keluargnya yang meninggal kemudian hari. Bagi
penziarahpun dapat membedakan mana tempat yang ada kuburannya dan mana yang
tidak ada kuburanyya, sehingga mereka dapat menentukan dimana seharusnya duduk,
berjalan melintas dan sebagainya, sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw.

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 13 2002