2016 06 15 05 10 03 MEMPERKUAT KETERWAKILAN PEREMPUAN DI PARLEMEN SBEW

(1)

MEMPERKUAT KETERWAKILAN

POLITIK PEREMPUAN

Sri Budi Eko Wardani

(PUSAT KAJIAN POLITIK DIP FISIP

UI)

15 Juni 2016


(2)

Sejumlah Pertanyaan

Kritis

Apa capaian keterwakilan

politik perempuan sejak

diterapkan kebijakan afirmatif

pada Pemilu 2004?

Sudah sampai manakah

keterwakilan politik

perempuan?

Kemana arah keterwakilan


(3)

DESAIN KEBIJAKAN AFIRMATIF

DALAM KERANGKA REGULASI (2008)

REGULASI PARTAI POLITIK:

UU Partai Politik • Syarat pendaftaran

partai menyertakan 30% perempuan

dalam kepengurusan pusat

• Kepengurusan harian di berbagai tingkatan memuat 30%

perempuan

• Rekrutmen caleg wajib memuat 30% perempuan

• Rekrutmen calon kepala daerah memperhatikan keterwakilan perempuan

AD/ART Partai Politik • Mengatur kuota

internal partai dalam rekrutmen perempuan

REGULASI PEMILU: • Sistem proporsional

(memilih calon)

• Pencalonan

perempuan 30% wajib di setiap dapil

• Sanksi bagi partai yang tidak memenuhi pencalonan 30%

perempuan

• Parliamentary

Threshold untuk kursi DPR dan DPRD

• Pada Daftar Calon di tiap dapil, masing-masing nomor urut 1, 2, dan 3 terdapat 30% perempuan

• KPU dan KPUD wajib mengumumkan

persentase keterwakilan

perempuan di tiap dapil

REGULASI DPR, DPD, DPRD: • Komposisi

pimpinan DPR, DPD, dan DPRD memperhatikan keterwakilan perempuan • Komposisi pimpinan alat kelengkapan DPR, DPD, dan DPRD

memperhatikan keterwakilan perempuan

• Pengarusutamaa n gender dalam Tata Tertib dan Kode Etik

Anggota DPR, DPD, dan DPRD


(4)

Catatan Advokasi

Regulasi

Desain kebijakan afirmatif dalam kerangka regulasi tersebut

sebagian besar berhasil diperjuangkan dan masuk dalam UU Pemilu

(No. 10 tahun 2008 dan UU No. 8 tahun 2012).

Kebijakan afirmatif dalam UU Pemilu kemudian diperkuat dalam

PKPU yang memastikan Daftar Calon Tetap di tiap dapil memuat

30% perempuan dan penempatannya sekurang-kurangnya 1

perempuan tiap 3 nama calon.

Dalam UU Partai Politik, kepengurusan memuat 30% perempuan

yang diwajibkan di tingkat nasional untuk verifikasi pendaftaran

partai dan peserta pemilu.

Tetapi belum semua partai politik peserta pemilu yang mengatur

afirmatif dalam AD/ART-nya.

Kepemimpinan perempuan di parlemen masih rendah karena

sangat tergantung pada keputusan partai politik mengajukan

perempuan parlemen sebagai pimpinan di parlemen.


(5)

DESAIN MEMPERKUAT

AFIRMATIF DALAM KERANGKA

NON REGULASI (2008)

Mengidentifikasi perempuan untuk berminat terjun ke

dunia politik, dan memperkuat kapasitas mereka

menyangkut politik elektoral (diaspora aktivis ke politik).

Membangun sinergitas tiga pihak di nasional dan lokal:

gerakan perempuan – perempuan parlemen – perempuan

partai, untuk membangun kapasitas legislasi dan

memperkuat hubungan perempuan parlemen dengan

konstituen.

Mempersiapkan kapasitas kader perempuan di partai

agar mampu menduduki kepengurusan harian partai di

berbagai tingkatan.

Memberikan asistensi pada pengurus partai di tingkat


(6)

APA YANG TELAH

DICAPAI?

CAPAIAN JUMLAH

Keterpilihan perempuan di DPR meningkat

dalam 3 kali pemilu dan stagnan pemilu

terakhir (1999 – 2014): dari 9%, naik 12%, naik

18%, tetap 18%.

Keterpilihan di rata-rata tingkat daerah

(provinsi dan kab/kota) menunjukkan tren

kenaikan. Bahkan di sejumlah DPRD kab/kota,

ada yang telah mencapai diatas 30%

keterwakilan perempuan pada Pemilu 2009 dan

Pemilu 2014.


(7)

Perempuan di Legislatif

Tren keterpilihan perempuan di lembaga legislatif saat ini

cenderung stagnan jika dibandingkan Pemilu 2009.

Satu-satunya yang mengalami kenaikan yaitu jumlah

perempuan di tingkatan

DPRD Kab/Kota

yang pada

pemilu 2009 keterpilihannya hanya 12%, meningkat

menjadi 14% pada hasil Pemilu 2014.

18%

17%

DPR RI

Pem ilu 2

009 Pem

ilu 2 014

28.80%

25.80%

DPD RI

16.00%

14.62%

DPRD Provinsi

12%

14%


(8)

Perbandingan Kursi Partai Politik

dan Calon Perempuan Terpilih

Pemilu 2009 dan 2014

No .

Partai Politik

Pemilu 2009 Pemilu 2014

Total Kursi Perempu an Total Kursi Perempu an Perubahan Kursi Perempuan

1 PDIP 94 17

(18,1%) 109

21(19,27% )

Naik 5 kursi

2 Golkar 106 18

(16,9%) 91

16(17,58% )

Turun 2 kursi

3 Gerindra 26 4 (15,4) 73 11

(15,07%)

Naik 7 kursi

4 Demokrat 149 35

(23,5%) 61

13 (21,31%)

Turun 22 kursi 5 PAN 46 7 (15%) 49 9 (18,37%) Naik 2 kursi

6 PKB 28 7 (25%) 47 10

(21,28%)

Naik 3 kursi 7 PKS 57 3 (5,3%) 40 1 (2,50%) Turun 2 kursi

8 PPP 38 5 (13,2%) 39 10

(25,64%)

Naik 5 kursi

9 Nasdem - - 35 4 (11,43%)


(9)

Keterpilihan Perempuan

Masih Rendah

Kategori

Keterpilihan

Perempuan

DPR

(n:

560)

DPRD

Provinsi

(n: 33)

DPRD

Kab/Kota

(n: 475)**

Rendah Sekali

(0-9%)

 

6 (18%)

160 (34%)

Rendah

(10-19%)

17%

19 (58%) 199 (42%)

Sedang

(20-29%)

 

7 (21%)

92 (19%)

Tinggi (>30%)

 

1 (3%)

25 (5%)


(10)

Melampaui

hambatan

domestik

Masuk ke

ranah

publik dan

ranah

politik

(caleg,

pengurus

partai)

Berjejaring,

berkontesta

si, agregasi

dukungan,

memahami

sistem

pemilu,

cara hitung

suara,

berkampan

ye, dsb.

Dua kali pemilu dengan sistem proporsional

terbuka memberikan pengalaman berpolitik

dan kesempatan luas bagi perempuan untuk

memahami politik elektoral

Namun catatan pentingnya adalah capaian

itu merupakan proses pendidikan politik

yang sejatinya TIDAK DIRANCANG secara


(11)

Potensi Diaspora Politik

Partai politik harus menjalankan kebijakan afirmatif maka partai harus

menyiapkan kader perempuan untuk menyusun Daftar Calon di tiap dapil sesuai ketentuan UU agar tidak terancam sanksi tidak bisa ikut pemilu di dapil.

Dalam sistem proporsional terbuka dan multipartai, strategi partai adalah

mencalonkan kader yang peluang menangnya tinggi – bisa kader yang punya uang, punya massa, punya jejaring keluarga. Maka pencalonan perempuan dilihat oleh partai dalam kerangka potensi untuk menang. Hal ini

membuat perempuan memiliki daya tawar dalam pencalonan, dan

berkontribusi memberikan suara untuk perolehan kursi partai. Daya

tawar itu digunakan oleh perempuan yang memiliki jaringan hubungan dengan elit politik dan ekonomi; dan juga oleh perempuan yang memiliki basis massa di akar rumput.

Potensi diaspora gerakan masyarakat sipil ke dalam politik melalui partai politik

terfasilitasi melalui kebijakan afirmatif perempuan dan sistem proporsional terbuka. Walau dapat dikatakan hal itu terjadi secara tidak dirancang sebelumnya.


(12)

Kolaborasi dan Perluasan

Terjadi

kolaborasi dan sinergitas 3 pihak (gerakan

perempuan- perempuan parlemen – perempuan

partai) untuk mendorong lahirnya produk legislasi (UU

dan Perda) sensitif gender.

Perluasan wacana politik elektoral yang

berdimensi gender.

Hal ini dapat dilihat pada

perkembangan kebijakan afirmatif yang tidak hanya

mengatur kontestasi pemilu (afirmasi pencalonan)

tetapi juga aspek lain seperti rekrutmen anggota

lembaga penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu), dan

lembaga quasi negara lainnya. Kondisi tersebut

membuka akses bagi perempuan dan diterimanya


(13)

Sudah sampai manakah

keterwakilan politik perempuan?

Sebagian besar (42%) daerah masih berada dalam kategori

rendah keterwakilan perempuan (0-19%).

Masih signifikan jumlah regulasi di daerah (perda, peraturan

kepala daerah) yang mendiskriminasi hak perempuan.

Jumlah perempuan aktivis yang berhasil masuk parlemen

masih sangat sedikit (potensi diaspora melemah), gerakan

perempuan masih cenderung terkotak-kotak, dan jejaring

gerakan perempuan nasional dan daerah cenderung lemah.

Kebijakan afirmatif lebih banyak ditangkap oleh perempuan

sebagai

peluang untuk merebut jabatan-jabatan

politik, belum dipahami sebagai ruang untuk

mengoreksi ketimpangan gender dan relasi kuasa

berbasis gender

.


(14)

Kemana arah keterwakilan

perempuan ke depan?

Tantangan situasi saat ini (titik berangkat setelah 4

kali pemilu):

Politik representasi perempuan dihadapkan pada

lingkungan

yang tidak kondusif

karena sistem politik di dalamnya penuh

dengan praktik oligarki, sehingga cita-cita untuk mengoreksi

ketimpangan gender justru membuat kehadiran perempuan di

ranah politik terkooptasi dan menjadi perpanjangan tangan

oligarki.

Di tengah kondisi demikian, politik representasi perempuan

yang semula bergerak hanya di arena elektoral dengan

mengusung ide kesetaraan, saat ini telah meluas menjadi

tuntutan untuk keadilan. Situasi ini mendorong partisipasi politik

warga menjadi lebih luas, beragam, cair, dan melingkupi banyak

isu yang tidak hanya terbatas pada momen pemilu semata.

Gerakan

perempuan

kembali

dihadapkan

pada

pertarungan regulasi sementara aspek non regulasi

yang menjadi prasyarat belum berubah secara

signifikan sehingga pertarungan regulasi menjadi

pertaruhan yang harus (kembali) diselamatkan.


(15)

USULAN PETA JALAN

MEMPERKUAT

KETERWAKILAN POLITIK

PEREMPUAN

UU PEMILU

Mempertahankan sistem

proporsional terbuka.

Pencalonan oleh partai politik

harus mengutamakan

keragaman basis rekrutmen di

dalam partai (sayap partai,

lama keanggotaan, akses bagi

kelompok marjinal).

Pencalonan minimal 30% dalam

Daftar Calon, dan perempuan

pada nomor urut 1 di

sekurang-kurangnya 30% dapil DPR,

DPRD provinsi, dan DPRD

kab/kota.

NON REGULASI

Memperluas basis gerakan

pada kelompok-kelompok

lain seperti buruh,

disabilitas, dan komunitas

adat.

Menghadirkan kepentingan

perempuan dalam sinergi

aktor elektoral dan

non-elektoral melalui berbagai

forum seperti blok politik,

serikat-serikat, forum


(16)

Relevansi Nomor Urut dengan

Keterpilihan Calon

64.96%

19.34%

6.39% 4.38%

1.46% 3.47%

62.14%

16.96%

4.46% 4.64% 3.75% 6.96%

Pemilu 2009 Pemilu 2014

Calon dengan nomor urut 1 masih mendominasi

keterpilihan sebagai anggota legislatif. Data hasil Pemilu 2009 dan 2014 menunjukkan keterpilihan di nomor 1 berada pada besaran 60%


(17)

PETA JALAN

17

HULU

HILIR

Demokratisasi dan akuntabilitas partai politik.

• Kontestasi politik berbasis platform partai dalam siklus elektoral (pra – pemilu – pasca). • Pendidikan pemilih hingga ke

desa.

• Sistem pemilu proporsional terbuka dengan perbaikan

kesetaraan dan keadilan politik. • Pemilu nasional dan pemilu

daerah dengan jeda 3 tahun. • Diaspora politik gerakan

masyarakat sipil untuk perbaikan kaderisasi dan representasi

politik.

Penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu yang

Sistem perwakilan politik

di parlemen yang efektif

berbasis platform partai.

Pengarusutamaan gender

dalam fungsi legislasi,

anggaran, dan

pengawasan.

Pelembagaan partai

politik berbasis platform,

konstituensi, akuntabel,

transparan, dan

berjenjang lokal-nasional.

Sistem penegakan hukum

pemilu yang efektif dan

terpadu.


(1)

Kolaborasi dan Perluasan

Terjadi

kolaborasi dan sinergitas 3 pihak (gerakan

perempuan- perempuan parlemen – perempuan

partai) untuk mendorong lahirnya produk legislasi (UU

dan Perda) sensitif gender.

Perluasan wacana politik elektoral yang

berdimensi gender.

Hal ini dapat dilihat pada

perkembangan kebijakan afirmatif yang tidak hanya

mengatur kontestasi pemilu (afirmasi pencalonan)

tetapi juga aspek lain seperti rekrutmen anggota

lembaga penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu), dan

lembaga quasi negara lainnya. Kondisi tersebut

membuka akses bagi perempuan dan diterimanya

wacana-wacana gender di ruang publik

.


(2)

Sudah sampai manakah

keterwakilan politik perempuan?

• Sebagian besar (42%) daerah masih berada dalam kategori

rendah keterwakilan perempuan (0-19%).

• Masih signifikan jumlah regulasi di daerah (perda, peraturan kepala daerah) yang mendiskriminasi hak perempuan.

• Jumlah perempuan aktivis yang berhasil masuk parlemen masih sangat sedikit (potensi diaspora melemah), gerakan perempuan masih cenderung terkotak-kotak, dan jejaring gerakan perempuan nasional dan daerah cenderung lemah.

• Kebijakan afirmatif lebih banyak ditangkap oleh perempuan sebagai peluang untuk merebut jabatan-jabatan politik, belum dipahami sebagai ruang untuk mengoreksi ketimpangan gender dan relasi kuasa berbasis gender.


(3)

Kemana arah keterwakilan

perempuan ke depan?

Tantangan situasi saat ini (titik berangkat setelah 4 kali pemilu):

• Politik representasi perempuan dihadapkan pada lingkungan yang tidak kondusif karena sistem politik di dalamnya penuh dengan praktik oligarki, sehingga cita-cita untuk mengoreksi ketimpangan gender justru membuat kehadiran perempuan di ranah politik terkooptasi dan menjadi perpanjangan tangan oligarki.

• Di tengah kondisi demikian, politik representasi perempuan yang semula bergerak hanya di arena elektoral dengan

mengusung ide kesetaraan, saat ini telah meluas menjadi

tuntutan untuk keadilan. Situasi ini mendorong partisipasi politik warga menjadi lebih luas, beragam, cair, dan melingkupi banyak isu yang tidak hanya terbatas pada momen pemilu semata.

Gerakan perempuan kembali dihadapkan pada pertarungan regulasi sementara aspek non regulasi yang menjadi prasyarat belum berubah secara


(4)

USULAN PETA JALAN

MEMPERKUAT

KETERWAKILAN POLITIK

PEREMPUAN

UU PEMILU

Mempertahankan sistem

proporsional terbuka.

• Pencalonan oleh partai politik harus mengutamakan

keragaman basis rekrutmen di dalam partai (sayap partai, lama keanggotaan, akses bagi kelompok marjinal).

Pencalonan minimal 30% dalam

Daftar Calon, dan perempuan pada nomor urut 1 di sekurang-kurangnya 30% dapil DPR,

DPRD provinsi, dan DPRD kab/kota.

NON REGULASI

Memperluas basis gerakan

pada kelompok-kelompok lain seperti buruh,

disabilitas, dan komunitas adat.

Menghadirkan kepentingan

perempuan dalam sinergi aktor elektoral dan non-elektoral melalui berbagai forum seperti blok politik, serikat-serikat, forum


(5)

Relevansi Nomor Urut dengan

Keterpilihan Calon

64.96%

19.34%

6.39% 4.38%

1.46% 3.47%

62.14%

16.96%

4.46% 4.64% 3.75% 6.96%

Pemilu 2009 Pemilu 2014

Calon dengan nomor urut 1 masih mendominasi

keterpilihan sebagai anggota legislatif. Data hasil Pemilu 2009 dan 2014 menunjukkan keterpilihan di nomor 1 berada pada besaran 60%


(6)

PETA JALAN

17

HULU

HILIR

Demokratisasi dan akuntabilitas partai politik.

• Kontestasi politik berbasis platform partai dalam siklus elektoral (pra – pemilu – pasca). • Pendidikan pemilih hingga ke

desa.

• Sistem pemilu proporsional terbuka dengan perbaikan

kesetaraan dan keadilan politik. • Pemilu nasional dan pemilu

daerah dengan jeda 3 tahun. • Diaspora politik gerakan

masyarakat sipil untuk perbaikan kaderisasi dan representasi

politik.

Penguatan kelembagaan

penyelenggara pemilu yang mandiri dan profesional.

• Sistem perwakilan politik di parlemen yang efektif berbasis platform partai.

• Pengarusutamaan gender

dalam fungsi legislasi, anggaran, dan

pengawasan.

• Pelembagaan partai

politik berbasis platform, konstituensi, akuntabel, transparan, dan

berjenjang lokal-nasional.

• Sistem penegakan hukum

pemilu yang efektif dan terpadu.