IRE Yogyakarta | Flamma Reviewe Edisi 46 : Aset Agraria untuk Kesejahteraan Desa

Pengantar Redaksi
Redaksi
Penanggung jawab/Pemimpin Umum
Sunaji Zamroni
Wakil Pemimpin Umum
Sg.Yulianto
Pemimpin Redaksi
Titok Hariyanto
Wakil Pemimpin Redaksi
Machmud NA
Redaktur Pelaksana
Hesti Rinandari
Reviewer
Suharko
Editor
Anang Zakaria
Penulis
Fajar Sudarwo, Rajif Dri Angga, Sg. Yulianto,
Krisdyatmiko, Sunaji Zamroni,
Nurma Fitrianingrum, Ema Yulianti
Setting dan layout

Ipank Suparmo
Distribusi
Riana Dhaniati
Ema Yulianti
Keuangan
Rika Sri Wardani
Mulyanti Eka Wahyuni
Triyanto
Pembantu Umum
Tri Yuwono
Riyanto

Alamat Redaksi
INSTITUTE FOR RESEARCH
AND EMPOWERMENT

Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 9,5 Dusun
Tegalrejo RT 01/RW 09 Desa Sariharjo,
Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta 55581

Telp. 0274-867686, 7482091
email: ofice@ireyogya.org
website: www.ireyogya.org

Pertanyaan atau informasi bisa
disampaikan melalui email kami di
oice@ireyogya.org

Aset Agraria untuk
Kesejahteraan Desa

J

ika kita menelusuri jejak-jejak pembangunan di Indonesia, akan terlihat
dengan jelas bahwa selama ini program-program pembangunan yang
diusung pemerintah cenderung meminggirkan desa. Bahkan dalam
banyak kasus desa kerap menjadi korban pembangunan. Demi mengejar angka
pertumbuhan ekonomi lahan pertanian di desa sekarang ini banyak yang telah
berubah menjadi pabrik, kawasan industri, mall, hotel, terminal, ruko, dll., yang
prosesnya selalu menggusur mata pencaharian peduduk desa.

Akibatnya, desa yang dulu adalah kawasan yang menjanjikan kesejahteraan
bagi warganya lambat laun menjadi semakin merosot nilai ekonominya dan
tidak lagi menjadi tempat yang menjanjikan bagi masa depan mereka yang
membutuhkan pekerjaan layak. Sektor pertanian yang dulu menjadi andalan
penduduk desa mengalami kemerosotan sangat tajam sehingga tidak bernilai
lagi. Akhirnya, kemiskinan menjadi problem akut yang menjangkiti desa. Involusi
yang terjadi di sektor pertanian itulah yang selama ini ditengarai sebagai sebab
terjadinya kemiskinan di pedesaan.
Secara umum kondisi seperti itulah yang pada akhirnya memaksa orang
desa hijrah ke kota-kota besar demi untuk mendapatkan remah-remah kue
pembangunan. Pilihan tersebut tentu bukan tanpa resiko. Rendahnya tingkat
pendidikan, minimnya ketrampilan dan pengalaman kerja di sektor-sektor yang
tersedia di kota membuat mereka pada akhirnya tidak bisa menempati posisi
pekerjaan menengah ke atas. Kebanyakan mereka akhirnya menjadi buruh-buruh
industri, buruh bangunan, pelayan toko, restoran, juru parkir, pedagang kaki
lima, dan pekerjaan-pekerjaan di sektor informal lainnya.
Meskipun sebenarnya mereka tidak bisa beranjak dari problem kemiskinan,
namun setidaknya di kota peluang untuk mendapatan pekerjaan jauh lebih baik
daripada ketika mereka berada di desa.
Upaya untuk menjadikan desa sebagai sentral aktivitas ekonomi sudah

pernah dilakukan oleh pemerintah daerah dan provinsi. Salah satunya adalah
gerakan bali ndeso mbangun ndeso (pulang ke desa membangun desa) yang
pernah dicanangkan pemerintah Jawa Tengah di era kepemimpinan Bibit Waluyo.
Secara konsep, program tersebut seperti memberikan harapan. Namun faktanya
sulit mengajak orang desa yang sudah terlanjur pindah ke kota kembali ke
desa. Selama orang desa tidak memiliki aset produksi untuk meningkatkan
kesejahteraan, ajakan tersebut mustahil disambut dengan suka cita.
Mensejahterakan desa adalah soal bagaimana aset desa dikembalikan lagi
pengelolaannya kepada orang-orang desa. Mustahil desa bisa keluar dari derita
kemiskinan jika aset yang ada di desa masih dikuasai oleh orang-orang dari luar
desa. Dengan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa peluang untuk mengembalikan
pengelolaan aset desa kepada desa, sangat terbuka.

DAFTAR ISI

ARTIKEL LEPAS

ARTIKEL UTAMA
Reforma Agraria dan UU Desa ....
Peka Lingkungan Mengelola

Aset Desa ................................
Mewujudkan Tata Ruang yang
Partisipatif dan Inklusif ..............

2
4
6

Petani Perempuan Tersingkir
Teknologi .................................
Menghidupkan kembali
Demokrasi Lokal .......................
Musdes Tanpa Musyawarah
Hanya Akomodir Aspirasi
Elite Desa ................................

8
10

14


RESENSI BUKU
Suara Dari Desa Menuju
Revitalisasi PKK .......................

16

ARTIKEL UTAMA

Reforma Agraria
dan UU Desa
Rajif DA
Peneliti IRE

K

onflik penguasaan sumber
agraria terus berlanjut. Data
Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA) menunjukkan dalam kurun

waktu sebelas tahun terakhir (20042015) terjadi 1.772 kasus dengan
luas wilayah 6.942.381 hektar dan
melibatkan 1.085.817 keluarga. Jika
dirata-rata maka ada satu konlik tiap
dua hari di Indonesia.
Sementara negara belum memiliki
desain pembaruan (reforma) agraria,
inisiatif lokal yang mengubah
ketimpangan penguasaan lahan
bermunculan di negeri ini. Bentuknya
pendudukan (okupasi), penggarapan
(kultivasi), dan perebutan kembali
(reclaiming) lahan sebagai basis
produksi petani (agrarian reform by
leverage).
Sejatinya, negara perlu memfasilitasi reforma agraria dari bawah
itu. Implementasi Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2016 tentang Desa
bisa menjadi peluang petani mendapat
keadilan atas penguasaan sumber

agraria di desa. Tulisan ini berusaha
memotret sejauh mana langkah
reforma agraria dari bawah bertautan
dengan peran institusi desa yang
menguat pasca implementasi UU Desa.

Tuntutan Demi Tuntutan
Reforma Agraria Dari Bawah
Ada banyak kisah sukses perjuangan
organisasi petani lokal dalam menuntut
akses sumber agraria. Baru-baru ini
petani penggarap lahan bekas Hak
Guna Usaha (HGU) Perkebunan
Tratak Kabupaten Batang, Jawa

2

FLAMMA Review

Edisi 46


Tengah memperoleh hak kepemilikan
tanah 79,84 hektar melalui kebijakan
redistribusi. 425 kepala keluarga
Desa Tumbrep Kecamatan Bandar
memperoleh sertiikat hak milik setelah
19 tahun berjuang menggarap lahan.
Meski demikian, keberhasilan itu
masih jauh dari ideal. Rata-rata tiap
petani menerima lahan kurang dari
dua hektar, di bawah syarat minimal
ketentuan UU Pokok Agraria. Selain
itu, petani juga dilarang menjual atau
menyewakan tanah hasil redistribusi
hingga 10 tahun mendatang.
Cerita tentang redistribusi lahan
juga terjadi di Jawa Barat. Petani
Badega Kabupaten Garut menerima
383 hektar setelah 33 tahun
menggarap lahan di bawah ancaman

dan tanpa ketidakpastian (Kompas
2016).
Adapun di Jawa Timur, petani
Dusun Kulonbambang Desa
Sumberurip Kecamatan Doko, Blitar
menerima 255 hektar lahan eks PT.
Sari Bumi Kawi. Sebelumnya, petani
menggarap lahan itu selama 12 tahun,
sejak hak guna usaha perusahaan
perkebunan itu berakhir pada 1998.
Kini di lahan itu petani menanam
cengkeh. Kaum muda dan komunitas
perempuan juga berhasil mendirikan
pembangkit listrik tenaga mikrohidro
dan mengembangkan credit union.
Di Blitar, cerita redistribusi lahan
bekas perkebunan juga terjadi di
Kecamatan Gandusari. Petani Desa
Gadungan yang tergabung dalam
Paguyuban Petani Kelud Makmur kini

sedang menanti kebijakan redistribusi
dari pemerintah atas 150 hektar

April 2016

lahan bekas PT. Rotorejo Kruwuk.
Keberhasilan tuntutan dari bawah itu
sangat dipengaruhi oleh kebijakan
negara.
Peluang petani tunakisma dan
buruh tani untuk memiliki lahan
sebenarnya terbuka lebar dengan
adanya Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 2011 tentang Penertiban
Ta n a h Te r l a n t a r. Ta n a h y a n g
diidentiikasi sebagai tanah terlantar
dapat diberikan pada masyarakat.
Regulasi tersebut semestinya menjadi
bagian dari politik pertanahan untuk
mendorong terbukanya asset reform
bagi petani tak bertanah.
Di sejumlah daerah, petani tak
bertanah menduduki dan menggarap
lahan bekas perkebunan yang telah
habis masa hak gunanya. Gerakan
petani ini biasanya bersifat sporadis,
diorganisasi oleh komunitas dan
lembaga non-pemerintah, serta
biasanya berada di luar pemerintahan
desa. Kebanyakan pemerintah desa
justru mengambil posisi berhadapan
dengan masyarakat, alih-alih
memediasi dan mencarikan alternatif
penyelesaian. Tak dapat dipungkiri,
sejak era kolonial mereka menjadi
kepanjangtanganan birokrasi pribumi
untuk memastikan ekstraksi sumber
daya desa. Termasuk menyediakan
tanah bagi pengoperasian modal
perkebunan.
Kita tak bisa menutup mata pada
persoalan ketidakberpihakan elit desa
ini. Namun implementasi UU Desa yang
baru dua tahun berselang semestinya
menjadi ruang eksperimentasi bagi
agenda reforma agraria dari bawah
yang menyasar pengelolaan aset dan

ARTIKEL UTAMA

manfaatnya bagi masyarakat. Kalau
demikian, bagaimana hal itu bekerja?

Dorongan UU Desa

dalam bentuk Badan Usaha Milik Desa
(Bumdes) maupun lembaga ekonomi
lokal lainnya menjadi penting untuk
menopang keberlanjutannya.
Ketiga, pemerintah desa perlu
memperkuat organisasi tani. Sebagai
bagian dari lembaga kemasyarakatan
desa, organisasi tani berperan
mendemokratisasikan desa. Organisasi
tani di desa mesti terlibat dalam
proses politik seperti musyawarah
dan perebutan ruang demokrasi di
desa. Di samping itu, perlu dipikirkan
penguatan simpul modal sosial dan
ikatan solidaritas yang telah terbangun.
Tak bisa dipungkiri, salah satu
keberhasilan gerakan petani menuntut
reforma tanah adalah pengorganisasian
petani yang kuat dan pendampingan
oleh lembaga non-pemerintah di
tingkat lokal. Kolektivitas perjuangan
yang terbentuk perlu disemai terus
menerus meski tuntutan asset reform
tercapai. Aktivitas yang mengarah
pada access reform seperti pelatihan
dan pengembangan usaha produktif
perlu terus diwadahi dan digerakkan,
baik oleh organisasi tani maupun
pemerintah desa.

RAJIF DA/IRE

Pengorganisasian petani dalam
gerakan reforma agraria biasanya
bertumpu pada solidaritas dan modal
sosial komunitas berdasarkan tujuan
bersama. Organisasi petani memang
harus mampu meningkatkan posisi
tawar saat berhadapan dengan negara
dan perusahaan melalui kekuatan
ekonomi dan politiknya (Powelson &
Stock, 1990:4).
Tapi ketika perjuangan mereka
tercapai dan redistribusi berhasil,
ikatan sosial di antara mereka
melemah. Masing-masing individu
memfokuskan diri pada sumber
penghidupan baru. Berikutnya, aset
rentan lepas dan kuasa modal masuk
kembali. Lazim terjadi di mana-mana,
tak berselang lama lahan yang dikuasai
dari kebijakan redistribusi kembali ke
tangan pihak lain.
UU Desa sebenarnya menempatkan
institusi desa berperan lebih strategis.
Pertama, UU Desa memberikan
kepastian bagi desa untuk mengelola
asetnya. Penataan aset bukan sekadar
kerja teknis-administratif. Rumitnya

mengelola aset di desa berkaitan
dengan kepentingan ekonomi politik di
dalamnya, baik yang melibatkan aktor
intra maupun supra desa. Pengakuan
kuasa desa atas aset mesti dibarengi
dengan penataan relasi struktural atas
sumber daya, terutama sumber agraria
di desa. Cek kosong yang diberikan
UU Desa harus diisi dengan langkah
strategis pembaruan agraria agar desa
berdaulat atas asetnya.
Kedua, desa perlu menyiapkan
desain dan strategi pengembangan
ekonomi pertanian berbasis aset
lahan redistribusi. Lahan tersebut
dikembangkan menjadi aset yang
produktif dan memberikan manfaat
bagi perekonomian warga. Lepasnya
lahan paska redistribusi banyak
terjadi karena disinsentif petani
dalam pemanfaatan lahan dan
tekanan ekonomi. Pemerintah desa
perlu mencari solusi alternatif agar
lahan itu menjadi basis produksi
pertanian, infrastruktur pengolahan,
dan membuka pasar bagi produk
yang dihasilkan. Ini semua perlu
dukungan kebijakan yang berpihak
pada petani -yang marjinal sekalipundari pemerintah pusat dan kabupaten.
Kelembagaan ekonomi lokal baik

FLAMMA Review

Edisi 46

April 2016

3

ARTIKEL UTAMA

Peka Lingkungan
Mengelola Aset Desa
Sg. Yulianto
Peneliti IRE

Area Persawahan di Desa Nglanggeran
Gunungkidul

U

ndang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa mendorong
perubahan mendasar pada tata
kelola desa. Desa memiliki kewenangan
besar mengurus dirinya sendiri. Salah
satunya, kewenangan dalam mengelola
aset-aset yang dimiliki, baik sumber
daya alam, manusia, dan lainnya. Hal
itu untuk mewujudkan kesejahteraan,
kemandirian, dan kedaulatan desa.
Namun selama dua tahun implementasi
UU Desa, belum banyak desa mampu
menangkap peluang itu dengan baik.
Beberapa kasus yang dialami desadesa di Kalimantan dapat menjadi
contoh. Desa Kerta Buana Kecamatan
Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai
Kartanegara misalnya, lahan sawahnya
semakin habis karena terkonversi
menjadi areal tambang batu bara.
Lahan pertanian yang tinggal 80 hektar
itu telah dikelilingi konsesi tambang.
Wilayah bagian timur dan selatan desa
telah menjadi konsesi tambang aktif.
Sementara wilayah barat dan utara
desa jadi rusak, sebagai lahan kritis
paska penambangan dan tak bisa

4

FLAMMA Review

Edisi 46

diolah jadi sumber penghidupan bagi
warga (Greenpeace Indonesia, 2016).
Kasus serupa juga terjadi di Desa
Tanjung Benanak dan Lampisi, dua
desa di Kecamatan Merlung Kabupaten
Tanjung Jabung Barat, Jambi. Karena
alih fungsi lahan menjadi kebun sawit,
warga justru menghadapi banyak
kesulitan hidup. Lahan yang mulanya
subur menghasilkan bahan pangan
dan menjaga kelangsungan sumber
air bersih sepanjang tahun, kini
menjadi kebun sawit yang manfaatnya
dinikmati orang luar -investors (para
pemodal). Akibatnya warga harus
mendatangkan bahan pangan dari luar
dan menghadapi krisis air pada musim
kemarau. Penderitaan yang tak pernah
terjadi sebelum ada alih fungsi lahan
(Kompas, 16/03/2016).
Ironi yang mudah ditemukan
di banyak desa di Nusantara ini
memberikan pelajaran berharga.
Desa tidak sepatutnya menyerahkan
hak pengelolaan aset pada pihak
luar begitu saja. Terutama pada
para pemodal yang cenderung

April 2016

mementingkan keuntungan ekonomi
semata tanpa memedulikan dampak
ekologis. Sedangkan porsi manfaat
yang diperoleh desa dan warganya
-sebagai pemilik- biasanya jauh lebih
kecil. Pada banyak kasus bahkan
merugikan. Umumnya, keuntungan
yang mereka dapatkan tak sebanding
dengan penderitaan akibat kerusakan
ekologis yang ditimbulkan, baik jangka
pendek maupun panjang.
Sementara itu, praktik sebaliknya,
banyak contoh desa berhasil
mengelola asetnya secara mandiri
dan berkelanjutan. Desa Nglanggeran
Ke c a m a t a n Pa t u k K a b u p a t e n
Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta misalnya. Warga desa tak
menjual kekayaan alam berupa “gunung
batu” secara isik material. Mereka
menjual dalam bentuk “eksotisme”
bongkahan batu raksasa yang menurut
Santosa (2015) merupakan volcanic
neck dan dike (inti gunung api) sisa
zaman tersier kala miosen. Usaha
itu sudah terbukti meningkatkan
kesejahteraan desa secara signiikan.

FOTO FOTO DOK IRE

ARTIKEL UTAMA

Pada tahun 2015, Nglanggeran
dikunjungi 25.5917 wisatawan
(domestik dan mancanegara) dengan
devisa lebih dari Rp 1,5 miliar untuk
desa dan Rp 369 juta retribusi untuk
Pemerintah Kabupaten Gunungkidul
(Handoko, 2016).
Karena yang dijual Nglanggeran
adalah keindahan, desa itu mudah
menjaga kelestarian sumber daya
alam. Ini akan berbeda jika mereka
menjual kekayaan alam dalam
bentuk pecahan batu sebagai bahan
bangunan, peralatan masak, atau
produk seni seperti patung dan hiasan
rumah. Model eksploitasi seperti itu
tidak menjamin kelestarian sumber
daya alam. Hasilnya pun belum tentu
sebanyak keuntungan paket wisata.
Model serupa bisa kita temukan di
Desa Wulungsari Kecamatan Selomerto
Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah.
Desa yang mengandalkan sektor
pertanian ini berhasil mengelola
sumber air bersih Teluk Sewu Sampang.
Mata air tersebut dimanfaatkan
untuk mencukupi kebutuhan warga
desa, baik untuk air minum maupun
irigasi. Mata air itu tak pernah kering
meski kemarau dan terbukti menjadi
penghidupan warga.
Bukan tanpa godaan. Investor dari
luar berkali-kali datang ke Wulungsari.
Mereka berniat menanamkan
modal untuk mengelola sumber air
dan mendirikan bisnis air mineral
kemasan. Namun pihak desa didukung
warga selalu menolak tawaran yang
menjanjikan keuntungan instan itu.
Mereka bersiteguh untuk menjaga
warisan leluhur agar tidak dikuasai
pemodal dan tetap dikuasai desa dan
warga (Irwan, 2015). Model ini tentu
saja juga berkelanjutan dan jauh lebih
bermanfaat bagi warga desa dibanding
jika pengelolaan sumber air bersih itu
diserahkan pada investor.
Pengelolaan aset desa yang ramah
lingkungan dan berbasis komunitas
bisa mendorong terwujudnya desa
sebagai sumber penghidupan bagi
warga. Desa menjadi mandiri bak
magnet yang mencegah urbanisasi dan
menarik kembali warga yang merantau

di kota. Contoh dua desa di atas sudah
membuktikan prinsip itu.
Praktik buruk dan baik dapat
menjadi pembelajaran bagi desadesa yang sebenarnya mempunyai
aset potensial tapi belum
mendayagunakannya secara inovatif.
Sesuai dengan spirit pembaruan UU
Desa, peluang desa mandiri dan
sejahtera berdasarkan kreativitas
dalam memanfaatkan asetnya
sangat terbuka. Situasi zaman juga
sudah menghendakinya. Di tengah
makin masifnya kerusakan ekologis,
pembaruan tata kelola sumber daya
desa menjadi tak terhindarkan.
Tantangannya, tidak semua aparatur
desa dan warga peka dan berkomitmen
pada pelestarian sumber daya alam.
Banyak mereka belum memahami isu
kelestarian lingkungan. Sebagian lagi
malah bersikap pragmatis. Mereka
mengutamakan keuntungan ekonomi
jangka pendek dalam memanfaatkan
sumber daya alam. Terbukti tak sedikit
kasus aset desa justru ditambang
sembarangan oleh warga sendiri.
Keterbatasan pengetahuan, kelemahan
kontrol supra desa, dan ketiadaan
sumber penghidupan alternatif
membuat mereka pragmatis.
Karenanya, perlu peran banyak
pihak untuk membantu desa dalam

mengubah mindset (pola pikir) warga.
Selain dukungan regulasi yang relevan,
warga desa juga perlu meningkatkan
kapasitas di bidang pengembangan
ekonomi ramah lingkungan, berbasis
komunitas, dan pendayagunaan aset.
Pemerintah supra desa, akademisi,
masyarakat sipil, dan pihak swasta
semestinya membantu desa
meningkatkan kemampuan di bidang
ekonomi lokal sehingga melahirkan
pejuang desa (individual champion).
Selain itu, kelembagaan demokrasi
seperti diatur dalam UU Desa,
misalnya Musyawarah Desa (Musdes),
harus dijalankan sebagaimana
esensinya. Forum tertinggi dalam
pengambilan keputusan strategis
di level desa itu harus mampu
menjamin aspirasi seluruh elemen
desa, termasuk kelompok rentan.
Musdes harus mampu mencegah
pembajakan kepentingan bersama oleh
segelintir elit desa dan para pemburu
rente yang merugikan desa. Dengan
begitu, pemanfaatan aset desa benarbenar mendorong kesejahteraan,
kemandirian, dan kedaulatan desa.
Dengan cara itu sumber penghidupan
di desa tercapai. Bukan malah
dibajak kelompok tertentu yang dapat
mendatangkan bencana ekologis bagi
desa.

FLAMMA Review

Edisi 46

April 2016

5

ARTIKEL UTAMA

Tata Ruang yang
Partisipatif dan
Inklusif
Krisdyatmiko
Peneliti IRE

L

ahan merupakan jaminan
kesejahteraan bagi masyarakat
d e s a , b a i k ke s e j a h t e r a a n
material maupun non-material.
Lahan menjadi sumber penghidupan
masyarakat desa melaui usaha di
bidang pertanian, peterrnakan, UMKM
dan usaha lain yang memanfaatkan
tanah sebagai modalnya. Nilai sosial
tanah menyebabkan sistem produksi
di desa mengutamakan kerja kolektif
antarwarga sehingga sebidang tanah
bisa membawa kesejahteraan bagi
banyak keluarga.
Tetapi, lahan di pedesaan terus
menerus mengalami tekanan akibat
pertumbuhan alami penduduk dan
perkembangan kota. Tekanan kota
inilah yang paling dahsyat mengubah
tata ruang desa. Perkembangan kota
berakibat pada pergeseran fungsifungsi kekotaan ke daerah pinggiran
kota (urban fringe) yang ditandai
dengan perembetan kenampakan
isik kota ke arah luar (urban sprawl).
Akibat lanjutannya, masyarakat
pedesaan mengalami tekanan sosialbudaya atas masuknya budaya, pola
relasi, pola produksi ala kota ke desa.
Ketidaksiapan menerima perubahan
akan menimbulkan permasalahan
sosial di desa.
Secara ekonomis, alih fungsi lahan
berdampak pada hilangnya sumbersumber pendapatan bagi warga,
khususnya para petani, di daerah
urban fringe dan pedesaan. Daya
tarik gaya hidup kota bisa berakibat
para petani berpikiran pragmatis
dengan berani menjual lahannya untuk

6

FLAMMA Review

Edisi 46

dibelikan barang-barang yang menjadi
ciri masyarakat modern. Di sisi lain,
mereka tidak siap masuk ke sektor
non-pertanian sehingga lambat laun
terjadi proses pemiskinan karena tidak
mampu mengakses sumber-sumber
produksi sebagai basis penghasilan
keluarga.
Perencanaan tata ruang merupakan
hal yang mendesak untuk mencegah permasalahan tersebut
semakin berlarut-larut dan meluas.
Meskipun saat ini telah ada UU
Desa, perbincangan tentang tata
ruang desa masih sangat terbatas.
Pembahasan pengembangan desa
banyak berkaitan dengan tata kelola
pemerintahan, pembangunan, dan
keuangan desa. Padahal, tata ruang
desa sudah selayaknya menjadi bagian
dalam pembangunan desa. Dengan
kata lain, menyusun perencanaan
pembangunan desa tidak boleh terlepas
dari perencanaan tata ruang desa,
pemanfaatan lahan yang ditujukan
untuk menjamin kesejahteraan warga
desa.
Hirarkhi kebijakan penataan ruang
dapat ditelusuri dari tingkat pusat,
provinsi, kabupaten dan kecamatan.
Di tingkat pusat, terdapat UU Nomor
26 tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (UUPR). Dalam UU ini
dijelaskan hirarkhi perencanaan tata
ruang sejak nasional sampai dengan
kabupaten/kota. Rencana Tata Ruang
Wilayah tingkat nasional dijadikan
pedoman penataan ruang wilayah
provinsi, yang selanjutnya dijadikan
pedoman bagi penataan ruang wilayah

April 2016

kabupaten/kota.
Seperti diatur dalam UUPR,
penataan ruang terdiri dari tiga
kegiatan: perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penyusunan
rencana tata ruang merupakan upaya
menentukan arah pengembangan
wilayah serta mengendalikan
pemanfaatan untuk dapat digunakan
sebagai dasar pemanfaatan ruang dan
mampu mengakomodasi perkembangan
masyarakat.
Di tingkat provinsi, sebagai contoh
di DIY, telah memiliki Peraturan Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 2 Tahun 2010 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Tahun 2009 - 2029. Perlindungan
fungsi ruang merupakan salah satu
tujuan RTRW DIY untuk mengatur
pola pemanfaatan ruang agar dapat
mewujudkan kesejahteraan warga
secara berkelanjutan.
RT R W d i t i n g k a t p r o v i n s i
ditindaklanjuti oleh masing-masing
kabupaten/kota dengan menyusun
RTRW kabupaten/kota. Sebagai
contoh, Kabupaten Sleman, memiliki
Perda Kabupaten Sleman Nomor
12 tahun 2012 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Sleman Tahun 2011 - 2031. Sleman
merupakan wilayah yang sangat pesat
alih fungsi lahannya akibat tekanan
perkembangan Kota Yogyakarta.
Dalam durasi tahun 2000 - 2012,
lahan sawah di Sleman telah berkurang
636 Ha, atau 53 Ha per tahun.

IRE/IPANK

ARTIKEL UTAMA

Alih fungsi lahan per tanian
tidak hanya terjadi di Sleman,
tetapi telah menjadi permasalahan
tingkat nasional. Data BPS mencatat
alih fungsi lahan pertanian untuk
kepentingan lainnya selama 2002 2010 rata-rata 56.000 - 60.000 Ha
per tahun. Kondisi ini yang menjadi
landasan pemerintah menyusun
Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2009 Tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan. Salah
satu alasan keberadaan UU ini bahwa
makin meningkatnya pertambahan
penduduk ser ta perkembangan
ekonomi dan industri mengakibatkan
terjadinya degradasi, alih fungsi, dan
fragmentasi lahan pertanian pangan,
sehingga mengancam daya dukung
wilayah secara nasional dalam
menjaga kemandirian, ketahanan, dan
kedaulatan pangan. Di DIY, UU No.
41/2009 telah ditindaklanjuti dengan
pengesahan Perda Nomor 10 tahun
2011 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Regulasi tentang tata ruang telah
ada di tingkat pusat, provinsi dan
kabupaten. Bagaimana dengan desa?
Desa belum menempatkan tata
ruang sebagai bagian penting dalam
pengelolaannnya. Bahkan, desa masih
menjadi obyek dalam penyusunan tata
ruang, mengikuti RTRW kabupaten.
Par tisipasi desa dalam proses
penyusunan RTRW masih sangat
rendah.
Pa d a u m u m n y a , B a p p e d a
merupakan organ kabupaten yang
menjadi penyusun RTRW, bermitra

dengan konsultan dalam menjaring
aspirasi masyarakat. Mitra ini melakukan kajian secara akademis, menyusun draf RTRW dan melakukan
pembahasan dengan Bappeda. Setelah dibahas, draf RTRW ini disusun
menjadi Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda) yang diserahkan ke DPRD
untuk dibahas. DPRD membentuk
Panitia Khusus (Pansus) yang ditugasi
untuk membahas Raperda RTRW.
Pansus melakukan pencermatan
dan pembahasan dengan melibatkan
berbagai pihak, salah satunya lakukan
public hearing dengan LSM dan
organisasi masyarakat sipil lainnya.
Proses tersebut seolah-olah bersifat
bottom up, namun sebenarnya
keterlibatan desa dan masyarakat
masih sangat terbatas. Keterbatasan ini
terjadi dalam dua aspek: pertama, mitra
Bappeda yang melakukan penelitian di
desa hanya melibatkan pemerintahan
desa sebagai sumber informasi
untuk menggali data. Pembahasan
lebih lanjut hasil penelitian sampai
perumusan Raperda RTRW hanya
dilakukan oleh mitra dengan Bappeda,
desa tidak lagi dilibatkan. Draf RTRW/
Raperda tersebut memang dibahas di
desa, tetapi forum pembahasan lebih
bersifat sosialisasi dengan durasi waktu
pembahasan yang minimalis.
Kedua, warga desa tidak
memperoleh ruang partisipasi dalam
penyusunan RTRW. Padahal, mereka
memiliki pengetahuan lokal tentang
tata ruang desa yang telah dipelihara
secara turun temurun. Pengetahuan
lokal ini lambat laun menghilang karena

regulasi di berbagai tingkatan tidak
mewadahinya. Di sisi lain, tekanan
pertumbuhan kota yang merembet ke
desa, mengakibatkan warga berpikiran
pragmatis dengan memandang tanah
sebagai komoditas ekonomi. Bagi
petani misalnya, menjual sawah
dipandang lebih menguntungkan
daripada mengusahakannya dengan
hasil yang tidak bisa mencukupi
kebutuhan keluarga. Ancaman
terhadap keberlangsungan hidup
dalam jangka panjang tertutup oleh
kesejahteraan semu sesaat dari uang
hasil penjualan sawah.
RTRW Desa merupakan kebutuhan
yang mendesak untuk diwujudkan
sebagai salah satu dokumen strategis di
desa. RTRW akan mampu melindungi
warga desa dari kehilangan asetnya,
sekaligus sebagai alat negosiasi agar
desa tidak lagi menjadi obyek penataan
ruang oleh supra desa. Payung regulasi
secara nasional telah ada dalam UU
Desa dan UU Penataan Ruang. UUPR
sebagai RTRW tingkat nasional
mengamanatkan untuk dijadikan
pedoman penataan ruang wilayah
provinsi dan kabupaten/kota. Sebagai
pedoman, proses penyusunannya
harus dimulai dari bawah sehingga
tata ruang di Indonesia dimulai dari
desa. Banyak pihak dengan beraneka
kepentingan yang ada di desa. Aspirasi
mereka harus diakomodasi, dengan
prioritas pada keberlanjutan lingkungan
dan perlindungan terhadap kelompok
marginal. Proses yang partisipatif dan
memperhatikan kepentingan berbagai
pihak (inklusif) merupakan keharusan
dalam penataan ruang.

FLAMMA Review

Edisi 46

April 2016

7

ARTIKEL LEPAS

Tersisih Karena
Teknologi
Nurma Fitrianingrum
Peneliti IRE

8

FLAMMA Review

Edisi 46

Badan Pusat Statistik mencatat 31,7
persen warga Indonesia adalah petani.
23,16 persennya (7,43 juta orang)
adalah perempuan.
Perempuan berperan penting dalam
produksi pertanian. Bahkan lebih besar
dibanding laki-laki. Contohnya dalam
proses tanam padi (tandur), perempuan
bekerja lebih lama. Demikian juga
saat panen tiba, kaum perempuan
masih terlibat memetik, memisahkan
bulir padi (ngiles), menjemur, dan
menggiling padi.
Sayangnya, Revolusi Hijau yang
dimulai sejak 1970 mengubah
segalanya. Kaum perempuan terus
tersingkir dari produksi. Pembagian
kerja antara laki-laki dan perempuan
di bidang pertanian berubah. Tatanan
sosial dan ekonomi petani desa pun
berubah.

April 2016

Pemerintah Abaikan Peran
Perempuan
Di Indonesia, rezim Orde Baru
memperkenalkan agenda Revolusi
Hijau seperti modernisasi mesin
pembajak sawah, penggiling padi, dan
obat penangkal hama secara masif.
Tanpa sadar, kehadiran teknologi
baru itu menggeser kaum perempuan
di bidang pertanian. Dengan alasan
lebih praktis, proses menumbuk padi
diganti dengan mesin penggiling.
Semula kaum perempuanlah yang
bertugas menumbuk padi. Akibatnya,
mereka kehilangan 12 jam kerja dan
sumber penghasilan (Citation Aho 79\|
1033).
Teknologi pertanian memang
membuat produksi semakin efektif.
Proses kerja berlangsung lebih cepat.
Tapi dampaknya, produktivitas
perempuan merosot. Istiqomah,
seorang guru SD di Kubu Raya,
Kalimantan Barat yang juga mengolah
sawah di lahan transmigrasi,
mengatakan mesin penanam padi
yang dibawa Presiden Joko Widodo
beberapa tahun lalu telah mengubah
tatanan produksi petani di daerahnya.
“Ibu-ibu di sini mengeluh,” katanya.
Dulu, lanjut dia, kaum perempuan
bisa mendapat penghasilan tambahan
Rp 150 ribu per hari dari menjadi
buruh tanam padi. Selain pulang
membawa uang, mereka juga berhak
atas seperlima hingga seperenam dari
hasil produksi ketika ikut ngiles padi.
“Sekarang pakai mesin tidak dapat
penghasilan lagi.”

IRE/IPANK

D

ua puluh tahun lalu di sebuah
desa di Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta, musim
panen padi adalah waktu menggembirakan. Setelah memetik padi di
sawah, kaum perempuan berkumpul di
satu rumah. Tua dan muda bersamasama. Mereka ngiles padi beramairamai sampai malam. Bahkan tak
jarang hingga dini hari.
Semua itu berubah sejak sepuluh
tahun lalu. Proses panen dilakukan
sendiri oleh pemilik sawah dengan
bantuan segelintir buruh. Selebihnya
mesin bekerja. Tak ada lagi kisah kaum
perempuan menyambut musin panen
padi.
Ini ironi. Sebagai negara dengan
mayoritas penduduk petani, peran
kaum perempuan Indonesia di bidang
pertanian terus tersingkir. Pada 2013,

ARTIKEL LEPAS

Teknologi yang ada pun dianggap
tak ramah perempuan. Mesin pertanian
terlanjur identik dengan maskulinitas.
Traktor dan mesin lainnya menjadi
kekuasaan laki-laki. Jarang sekali kaum
perempuan mengoperasikan mesin
penanam dan penggiling padi. Mereka
cenderung dipersepsikan sebagai kaum
yang lemah secara isik sehingga tak
layak mengoperasikannya.
Jika ada perempuan yang bertahan,
biasanya mereka hanya mengerjakan
tugas pelengkap. Misalnya menyiangi
rumput dan memetik padi dengan
alat sederhana (ani-ani). Waktu kerja
mereka mungkin lebih lama dibanding
laki-laki. Tapi ketimpangan akses
terhadap teknologi mengakibatkan
perempuan kehilangan kontrol
terhadap hasil pertanian (Citation Aho
79\|1033).



Semestinya,
p e m e r i n t a h
mempertimbangkan
aksesibilitas
perempuan sebelum
mengadopsi dan
mendistribusikan
teknologi pertanian
secara massal.

Dampak berikutnya, perempuan
kian terdomestiikasi. Tergusur oleh
mesin dan kehilangan penghasilan,
perempuan pun kembali ke ranah
kerja domestik. Mereka menyibukkan
diri dengan pekerjaan rumah tangga.
Ujungnya, mereka kehilangan peluang
bersosialisasi.
Modernisasi teknologi tak peduli
dengan keadilan gender dalam
dunia pertanian. Pemerintah tak
memiliki perhatian serius meski
fenomena itu terjadi sejak puluhan
tahun lalu. Semestinya, pemerintah
mempertimbangkan aksesibilitas
perempuan sebelum mengadopsi dan
mendistribusikan teknologi pertanian
secara massal. Negara bisa menyusun
regulasi agar teknologi pertanian
menjadi ramah bagi perempuan. Bukan
semata eisiensi produksi.

FLAMMA Review

Edisi 46

April 2016

9

ARTIKEL LEPAS

Menghidupkan
kembali
Demokrasi Lokal
Sunaji Zamroni

U

ndang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa
membawa angin segar dalam
kehidupan masyarakat desa. Puluhan
tahun menjadi korban kebrutalan
sistem negara kini posisi desa lebih
mulia. Melalui undang-undang itu
negara mengakui kedudukan desa
berdasarkan asal-usul dan berhak
memiliki wewenang lokal. Perubahan
revolusioner ini membawa harapan
pada masa depan desa yang kuat,
mandiri, dan demokratis.
Ironisnya, korporasi negara pada
era sebelumnya telah merontokkan
sistem di desa secara sempurna
(Zakaria, 2000; Antlov, 2003;
Mas’oed, 2003). Tapi UU Desa
menyediakan panduan pemulihan.

10 FLAMMA Review

Edisi 46

Sebelum memperbincangkan peta jalan
(road map) pemulihan, mari mengenali
perubahan mendasar tentang desa
dalam regulasi baru ini.
Pertama, kedudukan desa. Jika
sebelumnya desa hanya “pesuruh”
pemerintah kabupaten atau kota kini
negara mengakui dan menghormatinya
sebagai komunitas asli. Kedudukannya
tak lagi bergantung dari “budi baik”
sang bupati atau walikota.
Kedua, kewenangan desa. Pada
masa lalu desa tak berdaya dalan
relasi supra desa. Tapi kini dan
masa mendatang desa menjadi lebih
mandiri. Kewenangan berdasarkan
hak asal usul dan lokal menjadi
demarkasi kekuasaan desa mengurus
pemerintahan, pembangunan, sosial

April 2016

masyarakat, dan pemberdayaan
masyarakat.
Ketiga, demokrasi desa. Pengakuan
dan penghormatan negara atas desa
bukan sekadar pada aspek sejarah,
organisasi, dan kemampuannya.
Negara sekaligus mengakui dan
menghormati tata nilai yang menjadi
jati diri masyarakat desa (tata krama,
tata susila, dan tata cara). Sejatinya
tatanan itu merupakan nilai demokrasi
paling asli di tingkat lokal.
Istilah lokal dalam pengertian
institusi, merujuk pada Uphoff (1986),
dapat dipahami dalam tiga level, yaitu
localities, communities, dan groups.
Ketiganya merupakan sekumpulan
masyarakat yang memiliki ciri saling
berinteraksi atau berkomunikasi.
Dengan demikian, demokrasi lokal
bisa dimaknai sebagai tata nilai yang
mengakar kuat di masyarakat yang
saling berinteraksi atau berkomunikasi.
Ciri masyarakat seperti ini masih ada
di desa. Sehingga Musyawarah Desa
(Musdes) yang diamanatkan UU Desa
adalah pemadatan demokrasi lokal.
Bukan demokrasi impor.
Keempat, pembangunan desa. Desa
kini menjadi subyek pembangunan.
Mantra desa membangun adalah
pembalikan atas perlakuan negara
yang selama ini menempatkannya
sebagai pasar dan proyek supra desa.
Satu desa satu perencanaan. Artinya,
siapa pun pihak di luar desa harus
menghormati dan mematuhi dokumen
perencanaan desa.

IRE/IPANK

Peneliti IRE

IRE/IPANK

ARTIKEL LEPAS

Kelima, keuangan dan aset desa.
UU Desa mengamanatkan pendekatan
satu pintu anggaran (consolidated
budget) untuk mengganti banyak pintu
anggaran (fragmented budget). Uang
yang masuk ke desa terkonsolidasi
melalui Dana Desa (APBN), Alokasi
Dana Desa (APBD kabupaten/kota),
bantuan keuangan (APBD propinsi
dan kabupaten/kota), serta bagi hasil
pajak dan retribusi (APBD kabupaten/
kota). Proyek-proyek pemerintah pusat
dan daerah tak bisa lagi menyelonong
sembarangan ke desa. Selain itu, aset
desa harus diinventarisir menjadi
hak milik desa dan menjadi modal
kemandirian desa.
Keenam, ekonomi desa. UU Desa
ingin menghadirkan struktur negara
yang berpihak pada perekonomian
rakyat. Ketika uang dan aset menjadi
otoritas desa maka ekonomi yang tidak
ramah pada rakyat harus dihindari dan
diabaikan.
Enam aspek fundamental di atas
menjadi fokus utama pengaturan UU
Desa. Tapi ihwal demokrasi desa adalah
mandat paling revolusioner. Pasal 54
dengan tegas menempatkan Musdes
sebagai forum permusyawaratan
tertinggi bagi pembahasan masalah
strategis desa.
Musdes wujud dari konsep
demokrasi permusyawaratan
(deliberative democracy). Model
demokrasi ini memiliki akar kuat
dalam kehidupan masyarakat desa di
Indonesia. Terbukti masyarakat lokal
telah mempraktikkannya sejak lama.
Mereka melembagakan tatanan yang
lahir dari proses dialog itu dalam tiga
bentuk; tata krama (fatsoen), tata
susila (etika), dan tata cara (rule of
law).
Mungkin saat itu moyang
masyarakat lokal belum mengenal
baik terminologi demokrasi. Tapi
esensi ketiga tatanan itu sangat
mencerminkan nilai demokrasi.
Tata krama terwujud dalam budaya
toleransi, keterbukaan, kesetaraan,
mutual trust, tanggung jawab,
kepedulian, dan kompetensi politik.
Artinya, mereka telah mewariskan

demokrasi pada tingkat kultural.
Pada tingkat prosedural pun moyang
mereka telah melembagakan tata
cara mengambil keputusan, memilih
pemimpin, dan mengartikulasikan
kepentingan masyarakat (IRE, 2003).

Peta Jalan
Gagasan menghidupkan kembali
demokrasi lokal yang berwatak
deliberatif dan bersendikan tradisi
komunitarian relevan pada saat
ini. Institute for Research and
Empowerment (IRE) Yogyakarta
merupakan komunitas yang pernah
mengusung gagasan itu pada awal
era tahun 2000. Kala itu, transisi
demokrasi sedang bergelora di republik
ini. Lalu kini UU Desa menghadirkan
momentum untuk memunculkan
gagasan itu kembali.
Dalam diskursus demokrasi, model
demokrasi deliberatif masuk dalam
kategori demokrasi komunitarian
(IRE, 2003). Demokrasi komunitarian
menjadi kritik atas hegemoni
demokrasi liberal yang menyeragamkan
demokrasi prosedural ke penjuru dunia.
Kaum komunitarian mengkritik nalar
individualisme yang menjadi pijakan
masyarakat liberal. Mereka meyakini

demokrasi adalah seni bergaul yang
ditempuh secara bersama dalam satu
ikatan kolektif.
Penganut demokrasi komunitarian
Barber (1983) dan Walzer (1984)
melontarkan kritik bahwa watak
individualisme yang diusung
kaum liberal cenderung merusak
kewarganegaraan. Bahkan watak itu
tak mampu menjamin kebebasan
dan kesetaraan dalam kehidupan
sosial. Kaum komunitarian percaya
warga selalu terikat dalam kolektivitas
komunitas. Maka nalar komunitarian
pun tak sepakat dengan demokrasi
perwakilan. Demokrasi ala kaum
liberal itu hanya akan mengasingkan
partisipasi warga dan menyisihkan
hak dasar mereka. Di sinilah urgensi
mengembangkan demokrasi deliberatif
(UU Desa menyebutnya sebagai
Musdes) menemukan relevansinya.
Regulasi sebelumnya, UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, menyediakan roadmap
demokrasi perwakilan di desa.
Bentuknya, Badan Permusyawaratan
Desa (BPD). Institusi itu menjadi
tumpuan politik representatif dan
demokrasi perwakilan di desa. UU
Desa mempertahankan kedudukan

FLAMMA Review

Edisi 46

April 2016

11

BPD. Tapi mandat utamanya untuk
melembagakan model demokrasi
deliberatif bagi penentuan isu strategis
di desa.
Ada tujuh isu strategis yang harus
diputuskan dengan model demokrasi
deliberatif. (a) Penataan desa, (b)
perencanaan desa, (c) kerja sama desa,
(d) rencana investasi yang masuk ke
desa, (e) pembentukan Badan Usaha
Milik Desa, (f) penambahan dan
pelepasan aset desa, serta (g) kejadian
luar biasa. Selain itu, demokrasi
deliberatif ala Musdes ini juga harus
diterapkan untuk memutuskan
kewenangan, perencanaan, dan
anggaran desa.
Uraian di atas menunjukkan
relevansi konteks kesejarahan
masyarakat lokal dengan model
demokrasi deliberatif kehendak
UU Desa. Masalahnya, demokrasi
semacam ini tak tersemai lagi di lahan
subur. Demokrasi di desa kini dihuni
kaum elit yang -sangat mungkin-

12 FLAMMA Review

Edisi 46

hegemonik, dominan, manipulatif, dan
anti demokrasi. Di sisi lain, demokrasi
perwakilan dan prosedural justru
menuai banyak bermasalah. Selain
tak sesuai dengan mandat UU Desa,
demokrasi model ini terbukti gagal
lantaran dibajak elit politik. Maka
ketika demokrasi deliberatif ala Musdes
bisa dikelola dengan baik, bangsa ini
akan berprestasi melahirkan arus
balik demokrasi. Demokrasi lokal pun
bisa menjadi koreksi atas demokrasi
liberal yang gagal mengantarkan
kesejahteraan bagi masyarakat desa.
Ada dua rumusan pertanyaan untuk
menjawab tantangan itu. Apakah
demokrasi deliberatif ala Musdes bisa
terwujud secara ideal dan mampu
mengantarkan kesejahteraan? Kalau
pun bisa, bagaimana peta jalannya?
Berpijak pada dua pertanyaan
itu agenda menghidupkan kembali
demokrasi lokal melalui Musdes
menjadi penting dan menarik.
Harapannya, gagasan itu bisa

April 2016

berkontribusi untuk melembagakan
prosedur dan kultur demokrasi
deliberatif menuju desa yang kuat,
maju, mandiri, dan demokratis. Tekad
ini akan tercapai melalui beberapa
perubahan dan kegiatan yang relevan
dengan kebutuhan.
Pertama, perubahan pada diri
warga dan masyarakat desa. Perubahan
ini akan tercapai ketika warga memiliki
pengetahuan, keterampilan, dan
komitmen mengembangkan demokrasi
deliberatif. Karena merekalah aktor
utama sistem demokrasi ini. Mereka
harus mulai mempraktikkan sikap
saling menghargai dan mendengarkan
orang lain, baik di dalam rumah
tangga maupun forum warga. Kegiatan
peningkatan kapasitas, pendampingan,
pertukaran pengalaman, dan jambore
warga juga bisa menjadi pilihan untuk
memperkuat pengetahuan warga.
Kedua, perubahan dalam diri
pemerintahan desa. Pembajakan
Musdes oleh elit desa hanya bisa

IRE/IPANK

ARTIKEL LEPAS

ARTIKEL LEPAS

dikikis dengan mengubah watak
dan karakter mereka. Maka elit
pemerintahan desa wajib memahami
nilai demokrasi deliberatif secara utuh.
Mereka harus memiliki pengetahuan,
keterampilan, dan komitmen yang
memadai tentang demokrasi dan
Musdes. Di antara caranya adalah
menyediakan pendampingan bagi
elit untuk menjadi pemimpin dan
perangkat desa yang mau menghargai
dan mendengar aspirasi warga.
Ketiga, perubahan dalam ruang
deliberasi dan partisipasi desa. Musdes
sebagai ruang deliberatif tertinggi
di desa menjadi gerbang utama
perumusan kebijakan strategis. Ketika
warga yang aktif tidak terkonsolidasi
dengan baik, ruang deliberatif itu
sangat mungkin berlangsung formalprosedural dan manipulatif. Elit desa

selalu mencari celah untuk memuaskan
kepentingannya meski mereka telah
diedukasi tentang demokrasi. Karena
itu desa harus memiliki forum warga,
komite warga, atau apapun namanya.
Yang jelas, kelompok itu berfungsi
sebagai ruang ekspresi warga dalam
ikatan kolektif berbasis wilayah, sektor,
dan profesi. Hanya dengan organisasi
masyarakat sipil inilah Musdes yang
berwatak demokrasi deliberatif tetap
terjaga dan terawat.
S e r a n g k a i a n ke g i a t a n y a n g
bisa mewujudkannya adalah
pengorganisasian warga, gelar
seni budaya warga desa, advokasi
bertema strategis desa, dan lainnya.
Berdasarkan nalar Pasal 54 UU Desa,
bagan alur berikut bisa memberi
gambaran bagi desa ketika menghadapi
isu strategis berupa rencana investasi.

Bagan di atas memperlihatkan
penyusunan kebijakan investasi di
desa melalui Musdes. Ruang deliberasi
bisa berkembang di Musdes. Bias
dan kemungkinan pembajakan oleh
elit, juga permainan ekonomi politik,
bisa diantisipasi melalui forum warga
berdaya serta kehadiran aktor Musdes
yang terdidik tentang demokrasi desa.
Rute demokrasi lokal di Musdes

terlembaga dengan menghidupkan
kembali tata nilai yang selama ini
hidup di masyarakat desa. Artinya,
mekanisme dan praktik demokrasi
di Musdes sebaiknya dibangun
dari pengalaman masyarakat dalam
berinteraksi dan menjalin relasi antar
mereka. Bukan sebaliknya, Musdes
berjalan dengan cara demokrasi yang
bersumber dari luar tradisi.



Apakah demo­
krasi deliberatif
ala Musdes bisa
ter wujud secara
ideal dan mampu
mengantarkan
kesejahteraan?

FLAMMA Review

Edisi 46

April 2016

13

ARTIKEL LEPAS

Dampak Musdes
Tanpa Musyawarah
Fajar Sudarwo
Peneliti IRE

14 FLAMMA Review

Edisi 46

menyampaikan aspirasi, kebutuhan,
dan kepentingannya. Tradisi itu
berlangsung sejak lama. Bahkan
kalangan lembaga swadaya
masyarakat telah mengaktualisasikan
metode ini sejak tahun 1980an.
Ada empat fungsi utama
musyawarah dalam tradisi masya­
rakat desa. Yang pertama sebagai
metode untuk saling bertukar
pendapat, pikiran, dan rasa dalam
proses pemecahan masalah. Kedua,
musyawarah juga menjadi alat
untuk mengambil keputusan tentang

April 2016

kebutuhan hidup bersama.
Fungsi musyawarah yang ketiga
adalah wujud kedaulatan rakyat.
Karena posisinya sebagai manifestasi
kedaulatan maka musyawarah
merupakan ajang bagi warga untuk
mempertahankan sikap, pikiran, dan
perilaku dalam pengelolaan potensi
di lingkungan mereka.
Terakhir, musyawarah adalah
falsafah negara. Ini jelas tercantum
dalam sila keempat Pancasila
“Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam

ILUSTRASI DOK IRE

M

usyawarah Desa masih
menjadi alat untuk melegiti­
masi kepentingan elit desa.
Rembug kurang dialogis dan
tidak partisipatif. Kepala desa dan
sekretarisnya berpidato, peserta
sedikit berbasa­basi menanggapi, lalu
musyawarah rampung. Akibatnya,
kepentingan masyarakat terabaikan.
Kelompok paling rentan menjadi
korban musyawarah salah kaprah
ini perempuan dan anak miskin
serta warga berkebutuhan khusus.
Kebutuhan dan kepentingan
mereka tak terakomodir dalam
hasil Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa dan Musdes.
Pengalaman diskusi dengan
pamong Desa Karangwuni
Kecamatan Wates (12 Mei 2016) dan
Desa Jatimulyo Kecamatan Girimulyo
(15 Mei 2016), keduanya di Kabu­
paten Kulonprogo, menunjukkan
Musdes kurang memprioritaskan
pembangunan desa yang bermanfaat
bagi kelompok marjinal. Sebaliknya,
Musdes justru menjadi alat untuk
melegitimasi kepentingan elit
desa. Contohnya pembangunan
jalan beraspal. Program ini hanya
membawa keuntungan bagi pemilik
kendaraan bermotor dan pengusaha
transportasi.
Jika menilik tradisi warga
pedesaan, musyawarah adalah
alat bagi kelompok marjinal untuk

IRE/IPANK

ARTIKEL LEPAS

permusyawaratan/perwakilan”.
Kata “permusyawaratan” terang
mengungkapkan ihwal musyawarah.
Menurut Panduan Pendidikan
Musyawarah (Dikmus) Bina Desa
Tahun 1982, musyawarah (dialogue
of life) dan karya bersama (gotong
royong) adalah nilai manusiawi
yang sejak lama ada dan mengakar
kuat pada masyarakat Indonesia,
khususnya di pedesaan. Mereka
menggunakan musyawarah untuk
mengambil keputusan. Karenanya,
musyawarah adalah akar kehidupan
demokrasi.
Bina Desa adalah lembaga
swadaya masyarakat di Indonesia.
Mereka telah menggelar pendidikan
musyawarah sejak tahun 1980an.
Lembaga ini mengembangkan model
pendidikan yang dibangun di atas
pondasi nilai yang ada di masyarakat.
Pendidikan itu juga dibangun
berdasar pengalaman kehidupan
kaum marjinal. Tujuannya agar
musyawarah tidak “direbut” kaum elit
untuk melegitimasi kepentingannya
dalam proses pengambilan keputusan
di desa.

Bina Desa melihat musyawarah
sebagai model pendidikan alternatif
bagi kaum marjinal. Metodenya
dialogis, tujuannya menumbuhkan
sikap kritis, transformatif, dan
demokratis. Model ini efektif bagi
pendidikan politik rakyat yang
membebaskan.
Selain itu, pendidikan musyawarah
ini juga bisa memperkuat posisi kaum
marjinal pada beberapa aspek.
Penguatan kesadaran transformatif,
organisasi, jaringan kerjasama,
ekonomi, dan advokasi. Kelima aspek
itu berkelindan saling berhubungan.
Undang­Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa telah
menyediakan jalan lapang bagi
kaum marjinal untuk menyuarakan
kepentingannya. Posisi itu diperkuat
oleh Peraturan Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi tentang Pedoman Tata
Tertib dan Mekanisme Pengambilan
Musyawarah Desa. Tapi sekali lagi,
tanpa musyawarah yang sebenar­
benarnya musyawarah, Musdes
hanya jadi stempel kekuasaan elit
desa.



Jika menilik tradisi
warga pedesaan,
musyawarah adalah
alat bagi kelompok
marjinal untuk
menyampaikan
aspirasi, kebutuhan,
dan kepentingannya.

FLAMMA Review

Edisi 46

April 2016

15

RESENSI BUKU

Suara Dari Desa
Menuju Revitalisasi PKK

Judul Buku: Suara Dari Desa Menuju
Revitalisasi PKK
Penulis
: Ani W Soetjipto &
Shelly Adelina
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : Pertama, Maret 2013
Tebal
: xliv + 222hlm,
14 x 20,3 cm

“P

KK selama ini lebih banyak
diidentikkan dengan
gerakan ibu­ibu bentukan
Orde Baru untuk mengekalkan
ideologi patriarki dengan mereduksi
peran perempuan hanya dalam ranah
domestik.”
Kalimat yang lugas dan tepat
untuk menggambarkan organi­
sasi perempuan, Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga, itu ter­
pampang di laman Marjin Kiri,
penerbit kritis dan independen yang
berkantor di Tangerang Selatan.
Pada satu masa ketika Presiden
Soeharto berkuasa PKK memang
berjaya. Tapi kini setelah rezim Orde
Baru tumbang pamor PKK terus
memudar. Meski dianggap sebagai
penopang patriarkisme dan corong
pemerintah, sejatinya organisasi

16 FLAMMA Review

Edisi 46

ini berpeluang besar dalam pem­
berdayaan perempuan di seluruh
penjuru negeri. “Kedekatannya
dengan negara harus diakui telah
memberi PKK jangkauan yang
begitu luas dan masif hingga ke
pelosok desa yang paling terpencil
di Indonesia.”

Kuncinya? Revitalisasi.
Revitalisasi merupakan proses
menghidupkan kembali berbagai
program dan kegiatan. Seperti
organisasi lainnya, PKK juga perlu
merevitalisasi dirinya, baik dari sisi
kelembagaan, kepemimpinan, dan
organisasi.
Secara umum, organisasi
ini memiliki perhatian pada dua
persoalan perempuan; praktis dan
strategis. Masalah praktis terkait

April 2016

pemenuhan kebutuhan jangka
pendek dan kebutuhan sehari­hari
semisal sandang, pangan, dan papan.
Adapun persoalan strategisnya
sebagai penggerak kegiatan
sosial dan ekonomi masyarakat
yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan keluarga.
Kedua penulis buku ini, Ani
W Soetjipto dan Shelly Adelina,
melakukan penelitian di empat
kabupaten (Garut, Wonosobo,
Sleman, dan Gunungkidul) untuk
melihat relasi organisasi perempuan
dengan isu gender di tingkat
desa. Mereka menganalisa posisi
organisasi perempuan, signiikansi
gerakannya, hubungan antar
organisasi, dan dampaknya pada
kaum perempuan. Hasilnya, masing­
masing perempuan di tiap daerah

RESENSI BUKU

memiliki persoalan berbeda.
Di Garut misalnya, Pos Pelayanan
Keluarga Berencana­Kesehatan
Terpadu (Posyandu) yang semestinya
dimotori PKK justru tak terjadi.
Padahal angka kematian ibu tinggi.
PKK juga tak merespon positif ketika
kaum ibu memprotes tingginya biaya
pengurusan akta kelahiran (Rp 300
ribu) bagi anak mereka.
Proses pemberdayaan kaum
perempuan di Garut juga lemah.
Terbukti kabupaten ini menjadi salah
satu daerah penyumbang angka
buruh migran terbesar di Indonesia.
Banyak perempuannya pergi ke
luar negeri dan rawan menjadi
korban perdagangan manusia.
PKK, organisasi bentukan negara
dan memiliki mandat menjalankan
program pemerintah, semestinya bisa
menjembatani pemecahan masalah
itu.
Buku ini juga menampilkan
kesejahteraan kader PKK yang
masih rendah. Sebagai ujung tombak

program pemerintah, banyak kader
PKK bekerja tanpa honor, kepastian
jam kerja, serta perlindungan
asuransi. Padahal tak jarang mereka
bekerja melayani masyarakat dengan
mempertaruhkan keselamatan diri.
Toh, mereka dengan sukarela bekerja
keras tanpa pamrih.
Menariknya, kondisi itu meng­
akibatkan tak banyak perem­
puan berpendidikan tinggi tertarik
bergabung dalam tim penggerak
PKK. Seorang narasumber bernama
Ika, seperti tertulis pada halaman 152,
mengatakan tidak mudah menarik
perempuan berpendidikan menjadi
penggerak PKK. Salah satu faktor
utamanya adalah persoalan honor.
Mereka kerap menanggung kerugian
finansial gara­gara mengeluarkan
uang pribadi untuk membiayai
organisasi.
Kedua peneliti menawarkan
perubahan fundamental bagi PKK.
Karena kenyataannya, PKK hanya
bertumpu pada 10 program pokok

dan tak mampu merespon isu gender
secara maksimal. Saat