Monograf Hukum Agraria Reforma Agraria Untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria.

Bab I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah dan
sumber daya alam di Indonesia, seakan-akan tidak pernah berakhir. Dari
waktu ke waktu permasalahan ini semakin meningkat baik dari sisi kuantitas
maupun dari sisi kualitasnya. Politik hukum penguasaan, pemilikan,
pengunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam pada rezim Orde
Baru lebih berorientasi pada bagaimana sumber daya alam dapat
menghasilkan devisa untuk membiayai kegiatan pembangunan, khususnya
pembangunan ekonomi. Posisi negara sebagai pemegang hak menguasai
atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 2 ayat
(1) UUPA, dimanfaatkan secara efektif oleh rezim Orde Baru untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa menyediakan bagi rakyat miskin
(petani subsistem, buruh dan penggarap, kaum miskin perkotaan dan
kelompok yang terpinggirkan lainnya), kesempatan untuk berpartisipasi
dalam menguasai, menggunakan, memiliki dan mengambil manfaat dari
tanah1 dan sumber daya alam.
Di era Reformasi, politik hukum dan kebijakan pengelolaan atas

pertanahan dan sumber daya alam Indonesia tidak mengalami perubahan
yang signifikan. Selain kasus-kasus lama yang kembali mencuat, timbul
juga kasus-kasus baru yang menimbulkan ketidak-adilan agraria. Misalnya
kasus Register 45 yang dikenal umum sebagai kasus Mesuji, karena kasus
tersebut terjadi di Kabupaten Mesuji Lampung. Kasus mana dimulai ketika
tahun 1991 Menteri Kehutanan memberikan Hak Pengusahaan Hutan
Tanaman Industri (HPHTI) kepada P.T. Silva Inhutani di Register 45 Way

1

Noer Fauzi Rachman, Landreform dari Masa ke Masa, Penerbit Tanah Air Beta, Yogyakarta,
2012: hlm. 84

1

Buaya seluas 32.600 ha. Tahun 1997, P.T. Silva Inhutani memperoleh izin
konsesi yang memperluas izinnya hingga 43.100 ha.
Data BPN (Badan Pertanahan Nasional) menunjukkan hingga tahun
2012, ada 4.005 kasus sengketa lahan di seluruh Indonesia. Jumlah ini
merupakan akumulasi dari konflik yang belasan tahun belum terselesaikan2.

Sementara itu, data KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) menunjukkan
bahwa sepanjang tahun 2011 terdapat 163 konflik agraria di Indonesia,
dengan jumlah rakyat yang menjadi korban tewas mencapai 22 orang, 34
orang yang tertembak, 279 orang yang ditahan dan 147 orang yang
mengalami penganiayaan. Angka ini naik dibandingkan tahun 2010 di mana
terdapat 106 konflik agraria dengan tiga orang meninggal. Dari 163 konflik
agraria sepanjang 2011, rinciannya 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus
di sektor kehutanan, 21 kasus di sektor infrastruktur, 8 kasus di sektor
pertambangan, dan satu kasus di wilayah tambak atau pesisir3.
Hasil monitoring dan kajian yang dilakukan oleh Sawit Watch (sebuah
Lembaga non Pemerintah yang bergerak di bidang perkebunan) pada tahun
2006, terhadap 100 konflik yang berbeda antara komunitas masyarakat
setempat (di lokasi perkebunan) dengan perusahaan minyak kelapa sawit se
Indonesia, menunjukkan bahwa penyebab utama dari timbulnya konflik
adalah adanya sengketa tanah, alokasi dari penati kecil, tindakan represif
aparat penegak hukum, upah yang rendah dan penetapan harga yang rendah
pula. Pada tahun 2004, yaitu sebelum berlakunya Undang-undang No. 18
tahun 2004 tentang Perkebunan, tercatat 143 kasus konflik yang terjadi di
sektor perkebunan. Namun, hingga tanhun 2006, jumlah konflik bertambah
menjadi lebih dari 500 kasus aktif terkait konflik yang berkaitan dengan

tanah masyarakat setempat yang diambil alih untuk perkebunan. Dengan
demikian, implementasi Undang-undang No. 18 tahun 2004 tentang
Perkebunan berkontribusi terhadap meningkatnya jumlah kasus tanah-tanah
perkebunan.
2
3

www.tempo.co, BPN Akui Ada Lebih dari 4.000 Konflik Tanah, didownload 25 September 2012
Oki Hajiansyah, Urgensi Reforma Agraria, www.kompasiana.com, didownload 10 Desember
2012

2