Standar Nasional Indonesia kayu

PENGANTAR

Standar Legalitas Kayu, Mengapa Diperlukan?

Kayu hasil hutan—maupun bukan hutan—Indonesia memang merupakan komoditas
yang menarik. Sudah sejak lama kayu menjadi penopang ekonomi nasional. Sejak
Indonesia memulai pembangunan ekonomi berbasis pertumbuhan di akhir era
1960an, hutan dan kayu menjadi salah satu bahan bakar utama. Bahkan pada
periode awal pembangunan Orde Baru, saat minyak belum menjadi penopang
utama, ekspor kayu hasil hutan Indonesia menjadi tumpuan sumber devisa
Indonesia. Ketika minyak dunia harganya turun, pemerintah juga menoleh ke kayu.
Puncak “prestasi” diraih di era 1990an awal hingga tahun 2000an awal. Saat itu
hasil hutan Indonesia, utamanya plywood, merajai pasar dunia. Saat itu hasil kayu
dan produk kayu lain seperti moulding, panel kayu, plywood, dan berbagai produk
lain menjadi penyumbang utama devisa Indonesia.
Sayangnya, pada masa itu juga pemerolehan kayu dari hutan Indonesia tidak
sepenuhnya dilakukan dengan cara-cara “baik dan benar”. Konsep-konsep
silvikultur yang bagus melandasi berbagai peraturan ternyata tidak benar-benar
dilaksanakan di lapangan. Akibatnya hutan Indonesia mengalami dua masalah
besar yaitu penebangan berlebih (over harvesting) dan pembalakan illegal (illegal
logging). Masyarakat Indonesia dan dunia menyadari hal ini ketika berbagai dampak

sudah muncul. Masyarakat Indonesia tiba-tiba dikejutkan oleh banjir di kawasan
yang selama ini bebas banjir, juga kekeringan yang berkepanjangan serta berbagai
gangguan iklim mikro. Masyarakat juga dikejutkan dengan berbagai laporan tentang
punahnya berbagai species endemik Indonesia. Orangutan kehilangan rumahnya,
harimau semakin punah, burung-burung kian langka dan seterusnya. Lebih buruk
lagi, masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup pada hutan juga terganggu
perikehidupannya. Ada 20-30 juta orang yang kehidupannya (secara subsisten)
tergantung pada hutan. Mereka adalah yang tinggal di dalam hutan dan di tepi
hutan. Sebagian dari mereka adalah masyarakat adat, sebagian lagi adalah
masyarakat campuran namun hidupnya tergantung dari keberadaan hutan.
Mengapa pembalakan liar dan penebangan berlebih terjadi? Ada beberapa alasan
tentang hal ini. Pertama, kebutuhan kayu untuk industri di Indonesia jauh melebihi
kemampuan regenerasi alamiah yang lestari. Jumlah jatah tebang tahunan (annual
allowable cut) yang didasarkan pada rencana tebang yang disetujui oleh pemerintah
ternyata jauh di bawah kebutuhan industri. Permintaan berlebih di dalam negeri ini
diperburuk dengan munculnya kebutuhan internasional yang juga kian meningkat.
Larangan ekspor kayu bulat (logs) yang diberlakukan sejak tahun 1985 sebenarnya
diniatkan agar industri dalam negeri bisa mengolah kayu-kayu bulat itu sebelum
dieskpor ke luar negeri. Sayangnya, industri dalam negeri yang terus merasa diri
sebagai industri bayi (infant industry) dan tergantung terus pada proteksi akhirnya

tidak bisa berkompetisi dengan industri sejenis di luar negeri. Industri kehutanan luar

negeri setelah era 1990-an memiliki efisiensi yang lebih baik dan karenanya mampu
membeli log Indonesia dengan harga yang lebih tinggi. Hal ini kemudian mendorong
terjadinya penyelundupan kayu bulat. Hal ini merupakan salah satu penyebab
terjadinya pembalakan liar.
Faktor lain yang juga mendorong penebangan berlebih dan pembalakan liar adalah
munculnya ketidakjelasan dalam penegakkan hukum di Indonesia. Ketidakjelasan ini
berada di beberapa tingkatan. Tingkatan pertama adalah pada peraturan yang
sering kali tidak konsisten satu sama lain. Contoh inkonsistensi ini adalah pada
munculnya ijin pengelolaan hutan 100 hektar oleh Bupati. Bupati pernahmemiliki
kewenangan untuk mengeluarkan ijin semacam ini yang kemudian dicabut oleh
Menteri Kehutanan. Pencabutan ini tidak serta merta menghentikan pemberian ijin
oleh Bupati, karena oleh gelombang otonomisasi daerah, Bupati “terlanjur” memiliki
kewenangan yang tidak dengan mudah bisa dibatalkan oleh Menteri. Selain
inkosistensi, peraturan-peraturan di bidang kehutanan juga banyak yang tidak jelas
atau tidak relevan dengan kenyataan di lapangan. Peraturan mengenai SKSHH
yang terlalu umum dan sumir, membuat pelaksanaannya di lapangan menyulitkan.
Masyarakat yang memiliki sebatang dua batang pohon jati juga harus sibuk mencari
SKSHH agar ketika ia mengangkut kayu itu di jalan tidak ditangkap polisi. Demikian

halnya dengan hutan rakyat yang secara kontinyu harus menjual kayunya.
Peraturan yang memiliki wilayah abu-abu yang luas, ditambah dengan melekatnya
korupsi pada proses pemberian pengesahan kayu membuat para pembeli—
terutama di luar negeri—mulai meragukan keabsahan kayu yang berasal dari hutan
Indonesia. Keraguan para pembeli internasional ini, terlepas apakah itu bermula dari
persaingan dagang negara penjual kayu lain, tidak mungkin bisa muncul dan
menguat bila tidak bertumpu pada alasan-alasan yang memang dapat dimengerti.
Kelemahan sistem, korupsi, ketidakjelasan standar legalitas proses pengesahan
kayu telah menyumbang pada menguatnya keraguan para pembeli itu.
Keraguan pembeli ini berdampak pada menurunnya permintaan produksi Indonesia.
Indoensia tidak lagi mendominasi pasar kayu lapis dunia, kendati semua pihak tahu
bahwa kualitas produk kayulapis Indonesia adalah yang terbaik. Hal yang sama
terjadi untuk produk kayu lainnya. Permintaan penurunan ini mau tidak mau
memaksa industri kehutanan Indonesia untuk menekan harga. Tekanan konsumen
direfleksikan dengan penekanan biaya produksi. Sayangnya, hal ini tidak sejalan
dengan situasi dalam negeri. Perekonomian yang belum pulih masih menyisakan
suku bunga yang amat tinggi, demikian juga perubahan pemegang kekuasaan
menyisakan munculnya “biaya lain” yang kian lama kian membesar. Demokratisasi,
desentralisasi dan dissolusi kekuasaan pemerintah pusat yang tidak diikuti dengan
tegaknya aturan hukum, membuat munculnya patronase politik ekonomi baru. Hal

ini menumbuhkan ruang-ruang baru untuk KKN. Ekonomi biaya tinggi menjadi kian
meninggi karena alasan-alasan itu.
Ekonomi biaya tinggi yang bermula dari ketidakjelasan aturan sering diikuti oleh
munculnya pasar gelap. Itu juga yang terjadi dalam industri kehutanan Indonesia.
Kayu bulat dilarang diekspor, sementara harga di luar negeri begitu baik, maka
insentif untuk menyelundupkan tinggi. Lebih mudah dari penyelundupan adalah
pencurian kayu Indonesia untuk diakukan sebagai kayu produksi negara lain.
Kesulitan untuk memperoleh ijin dan hak pengelolaan yang sah, atau banyaknya
rantai birokrasi dan tingginya biaya transaksi, mendorong munculnya kegiatan ilegal.

Situasi ini berjalan terus dan kian hari kian meningkat. Praktik pembalakan liar dan
perdagangan ilegal hasil hutan sampai pada klimaks yang menimbulkan kesulitan di
banyak tempat. Negara kehilangan revenue sebesar 60 miliar dolar setahun, banjir
terjadi di mana-mana, industri legal terjepit oleh perilaku pihak ilegal, dan
seterusnya. Semua pihak sudah tidak tahan dengan kegiatan ilegal di bidang
kehutanan.
MoU Indonesia-UK
Dalam konteks kebutuhan untuk mengatasi pembalakan liar itulah maka pada 13
April 2002, pemerintah Indonesia dan Inggris menandatangani memorandum
kesepahaman dalam pengatasan pembalakan liar. Dalam butir-butir rencana

kegiatan yang ditandantangani tanggal 9 Agustus tahun yang sama tertuang
rencana untuk mengembangkan standar legalitas kayu Indonesia.
Bermula dari MoU inilah maka berbagai kegiatan untuk menyusun standar legalitas
kayu Indonesia dilakukan. Proses-proses penyusunan berlangsung melalui banyak
tahap, dan melibatkan banyak pihak. Pada tahap awal penyusunan standar satu tim
konsultan berkerja mengembangkan standar yang kemudian diujicobakan di
Kalimantan Timur. Sebelum dan sesudah ujicoba itu konsultasi publik dilakukan.
Pada konsultasi publik di Bogor pada tanggal 30 Mei 2005, para pihak mengusulkan
agar proses pelembagaan dan pengembangan standar lebih lanjut dilakukan
dengan lebih memberi ruang dan peran bagi para pihak.
Proses-proses yang berjalan berikutnya melibatkan para pihak, dan berujung pada
terbentuknya Panitia Pengarah Nasional harmonisasi standar legalitas kayu, dan
sebuah tim yang melakukan pekerjaan itu. Tim ini lazim disebut sebagai Tim Kecil.
Tim Kecil telah berhasil melakukan harmonisasi, uji coba, dan mengusulkan sistem
kelembagaan untuk menjalankan standar yang telah diharmonisasikan itu.
Standar yang dihasilkan itu diharapkan bisa memberi kepastian bagi para pelaku
usaha dan penegak hukum. Standar yang diharapkan akan menjadi “satu-satunya”
standar yang berlaku di Indonesia diharapkan memberi kepastian bagi semua pihak:
pembeli, pemilik industri, pengusaha dan masyarakat. Kepastian ini akan
menghilangkan wilayah abu-abu yang terbukti telah memunculkan ekonomi biaya

tinggi dan justru mendorong munculnya pembalakan liar.
Kepastian tentang standar legalitas dan penegakkan akan memungkinkan para
pengusaha untuk bisa terbebas dari berbagai biaya yang tidak perlu. Mungkin
pembebasan total dari biaya-biaya siluman itu memerlukan waktu. Tidak segera
setelah standar ini diberlakukan, maka seluruh biaya siluman itu akan sirna. Namun
ada beberapa alasan yang mendasari argumen bahwa lambat laun biaya siluman ini
akan terkikis. Pertama, standar yang dihasilkan dari proses ini memiliki kelengkapan
dan kejelasan yang meniadakan ruang abu-abu. Akan semakin sulit bagi pihakpihak yang ingin mengambil keuntungan ditengah ketidaksempurnaan standar,
karena standar yang baru ini telah memperkecil ruang ketidaksempurnaan itu.
Alasan kedua, standar ini dihasilkan melalui proses yang melibatkan para pihak.
Kepemilikan standar ini bukan berada di tangan satu pihak saja, tapi merupakan
milik semua pihak. Karena itu pelaksanaan verifikasi yang akan dilakukan atasnya

akan senantiasa diawasi dan diperhatikan oleh para pihak tersebut. Kenyataan ini
akan menyulitkan pihak-pihak tertentu yang menginginkan pelaksanaan verifikasi
dengan menggunakan standar legalitas hasil harmonisasi ini dilakukan tidak
sungguh-sungguh.
Alasan ketiga, dalam tatanan kelembagaan yang diusulkan akan ada pengawasan
(monitoring) secara terus menerus dari masyarakat sipil terhadap pelaksanaan
verifikasi legalitas dengan menggunakan standar hasil harmonisasi ini. Bila

ditemukan adanya penyimpangan, manipulasi atau penyalahgunaan dalam proses
verifikasi, maka jaringan masyarakat sipil akan memiliki saluran bagi umpan balik
yang akan diberikannya. Pengabaian akan umpan balik ini akan berdampak serius
bagi kredibilitas dan keberlangsungan usaha perkayuan di Indonesia.
Ketiga alasan di atas akan memberi harapan besar akan terciptanya kepastian
dalam verifikasi legalitas kayu di Indonesia. Dampaknya, biaya siluman bisa ditekan
dan efisiensi produksi bisa ditingkatkan. Selain itu, dengan diberlakukannya sistem
verifikasi yang baik, kredibilitas kayu Indonesia di mata dunia akan meningkat. Hal
ini akan memulihkan kepercayaan pembeli. Besar kemungkinan hal ini akan
meningkatkan kembali permintaan pasar atas produk kayu Indonesia.
Kendati permintaan pasar meningkat, namun kemungkinan untuk terjadinya
penebangan berlebih bisa dihindari karena standar ini juga mengharuskan ditaatinya
aturan jatah tebangan. Memang aturan ini tidak secara serta-merta akan setara
dengan tuntutan pengelolaan hutan lestari yang diamanatkan oleh sertifikasi
pengelolaan hutan lestari sukarela. Namun dalam batas yang cukup luas, standar ini
memberi fondasi dan dasar-dasar aturan yang mendorong kian dekatnya
pemanfaatan hutan pada kelestarian dan kian jauh dari tebang berlebih. Di sisi lain,
pemanfaatan hutan yang tidak berbasis unit pengelolaan akan dilakukan secara
benar-benar memperhatikan tata aturan yang berlaku dan dengan memperhatikan
kepentingan berbagai pihak. Dengan cara demikian ancaman penebangan berlebih

bisa diperkecil atau ditiadakan sama sekali. Perhatian kepada kelestarian ini akan
menjamin terjaganya fungsi ekologis dan sosial hutan. Secara ekonomis aturan ini
akan memberi koreksi pada fungsi produksi yang berdampak pada pengurangan
volume produksi.

MC

MC’’

P’’
p
p’

MC’

q
q

Tanpa standar legalitas


q’‘

q’

Dengan standar legalitas hasil
harmonisasi

Ilustrasi grafik di atas menunjukkan skenario pergeseran produksi kayu yang terjadi
setelah standar legalitas ini diterapkan. Grafik 1 menunjukkan keadaan ketika
produksi saat ini. Ketika standar ini diterapkan, biaya produksi akan menurun karena
berbagai biaya siluman bisa ditekan. Karena penurunan biaya itu grafik suplai
(ditentukan oleh biaya marginal bergerak dari MC ke MC’. Namun karena adanya
koreksi akibat biaya ekologis dan sosial, biaya kembali meningkat menjadi MC’’.
Pada saat biaya menjadi MC’ produksi akan ada di q’ di mana q’>q. Ketika standar
legalitas diterapkan dan MC menjadi MC’, kepercayaan pembeli terhadap produk
Indonesia meningkat, sehingga kurva permintaan akan berubah dari d menjadi d’.
Sehingga ketika faktor sosial dan ekologis mengkoreksi biaya dari MC’ menjadi MC’’
ekuilibrium baru terjadi pada perpotongan MC’’ dan d’, dengan hasil berupa titik
produksi pada q’’ dan harga p’’. Angka ini merupakan harga yang lebih baik dari
harga harga p maupun p’, dengan jumlah produksi q’’ dimana q