TAFSIR KALIMAT TAUHID DALAM AL QURAN : STUDI TAFSIR MAFATIH AL GHAIB KARYA FAKHRUDDIN AL RAZI.

(1)

Tafsir Kalimat Tauhid dalam al-Qur’an

(StudiTafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhrudin al-Razi)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Tafsir Hadis Pada Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel

Oleh : Didik Purnomo NIM. F05212080

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Tesis ini berusaha mendeskripsikan langkah-langkah Fakhruddin al-Ra>zi> menafsirkan ayat-ayat Tauhid dalam tafsirnya Mafa>tih} al-Ghaib, yang difokuskan pada kajian kalimat tauhid dalamtafsi>r Mafa>tih} al-GhaibkaryaFakhruddi>n al-Ra>zi>.

Imam al-Ra>zi> adalah ulama tafsir yang memiliki aneka ragam keahlian, diantaranya ilmu bahasa, ilmu sain, ilmu filsafat, ilmu tafsir dan ilmu Tauhid. Beragam kitab dan tulisan-tulisan yang membicarakan imam al-Ra>zi> dari sisi keahliannya, sehingga ranah keilmuan kajian semakin tergeliat untuk diteruskan kajian-kajian dari sisi yang berbeda.

Tesis ini berusaha menyentuh ranah keahlian yang dimiliki oleh imam al-Ra>zi> dari sis kehlian Tauhidnya. Maka salah satu cara untuk dapat mengetahui beliau mendiskripsikan ayat-ayat tauhid dalam tafsirnya itu menjadi kajian pada kesempatan kali ini. Sehingga harapan selanjutnya dapat diketahui dengan nyata nuansa aliran tauhid yang digunakan oleh imam al-Ra>zi> pada tafsirnya.

Dalam menjelaskan kalimat La>Ila>ha Illa Huwadalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 163, Imam al-Ra>zi>mencoba mengilustrasikan, ketika kita berkata “tidak ada orang di rumah” berarti kita meniadakan esensinya. Ketika esensinya tidak ada, maka semua bagiannya juga tidak ada. Seandainya salah satu bagianya ada, berarti esensinya ada. Sebab setiap bagiannya mencakup esensi tersebut. Jika esensinya ada, itu bertent angan dengan peniadaaan esensi. Jadi ungkapan, “Tidak ada orang dirumah” berarti peniadaan secara total. Atau pengesaan secara total. Yaitu Tiada Tuhan selain Allah swt memberikan makna pengesaan secara total.

Menurut Imam al-Ra>zi>, lafadz Illa disini diasumsikan bermakna Ghair (selain). Alasanya, kalau lafadz Illa diartikan sebagai pengecualian, maka kalimat La> Ila>ha Illalla>h tidak murni sebagai kalimat Tauhid. Sebab, asumsi kalimat tersebut menjadi La> Ila>ha yustathna ‘anhum A llah, Tiada tuhan terkecuali dari mereka (tuhan-tuhan itu) Allah, artinya semua tuhan dinafikan, sementara Allah swt sebagai pengecualian. Jadi kalau lafadz Illadiartikan sebagai pengecualian, maka ungkapan La>Ila>ha Illalla>h bukan tauhid yang murni. Karena para ulama sepakat bahwa kalimat tersebut berisi tauhid murni. Maka menurut Imam al-Ra>zi> lafadzIllaharus diartikan dengan Ghair (selain).

Dan masih banyak lagi beberapa penafsiran kalimat tauhid yang dilakukan oleh imam al-Ra>zi> dengan langkah-langkah yang hampir menyerupai dilkukan beberapa ulama Sunni.


(7)

viii   

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN KEASLIAN... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI... iii

TRANSLITERASI... iv

ABSTRAK... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 5

C. Rumusan Masalah... 6

D. Tujuan Penelitian... 6

E. Manfaat Penelitian... 7

F. Penelitian Terdahulu... 7

G. Metode Penelitian... 12

H. Sisitematika Pembahasan... 13

BAB II : RIWAYAT HIDUP DAN FAKHRUDIN AL-RAZI TAFSIRNYA A. Biografi Fakhruddin al-Ra>zi> ... 15

B. Sekilah Perjalanan Penulisan Tafsi>r Mafa<tih} al-Ghaib 21


(8)

ix   

Tafsi>r Mafa<tih} al-Ghaib...

26

1. Sistematika Penulisan... 26

2. Langkah-langkah Tafsir... 29

3. Corak Tafsir... .... 33

4. Sumber-sumber Tafsir... 43

5. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir... 43

BAB III: ANALISA AYAT-AYAT TAUHID DALAM TAFSIR AL-RA>ZI> A. Tauhid dan macam-macamnya... 47

1. Sekilas Perjalanan Ilmu Tauhid... 50

2. Ilmu Tauhid... 57

3. Bagian-bagian Ilmu Tauhid... 58

B. Kajian ayat-ayat Tauhid... 60

1. Tafsir Ayat Wah}da>niyah Allah (Esa)... 60

2. Tafsir Ayat Wuju>dAllah (keberadaan Allah) 72

C. Langkah-langkah al-Ra>zi> dalam menafsirkan ayat-ayat Tauhid... ... 83

BAB IV: PENUTUP A. Kesimpulan... 87

B. Saran dan harapan penulis... 90


(9)

x   


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Allah s.w.t menurunkan al-Qur’an ke bumi melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw sebagai mu’jizat terbesar yang dihadiahkan kepada manusia. Selama beliau hidup keterangan yang terkandung dalam teks al-Qur’an beliau sampaikan kepada para sahabat, baik dari bentuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh sahabat, maupun dalam bentuk peristiwa-peristiwa yang terjadi disekeliling bangsa Arab. Akan tetapi tidak seluruh teks al-Qur’an yang memuat syariat Islam diterangkan oleh Rasul, terkadang pula teks al-Qur’an dapat difahami oleh para sahabat umumnya, mereka mampu memahami arti teks al-Qur’an sesuai kemampuanya masing-masing.1

Selanjutnya berjalannya keadaan dan waktu yang dilalui oleh al-Qur’an, mulai dipriode para sahabat, tabi’in dan seterusnya, maka lahirlah sebuah keterangan (tafsir) dari teks al-Qur’an yang dibawakan oleh ulama atau para cendikiawan tafsir sebagai bentuk respond terhadap kecintaanya terhadap al-Qur’an dan keilmuan. mereka menyumbangkan tenaga dan kemampuanya untuk mengkaji dan memberikan keterangan mengenai al-Qur’an.

Aktivitas yang menandai geliat intelektual dan dinamika pemikiran perkembangan islam adalah kata tafsir, bentuk masdar dari kata fassara yang

1


(11)

berarti menguraikan menjelaskan segala bentuk sesuatu yang terkandung dalam al-Qur’an. Dalam pengertian yang lebih luas dialog antara teks al-Qur’an dengan pengetahuan manusia dan problematika kehidupan disetiap genarasi ke generasi selanjutnya membuat penafsiran terhadap teks al-Qur’an memperkaya pengetahuan Islam. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya karya-karya tafsir dengan kecendrungannya masing-masing.

Secara garis besar method penafsiran al-Qur’an dari segi sumbernya terbagi menjadi dua jenis, yaitu : pertama, al-Tafsi>r bil al-ma’thu>r (tafsir dengan menggunakan riwayah). Kedua,al-Tafsi>r bi al-Ra’y (tafsir dengan menggunakan nalar akal manusia). Ada pula tafsir dengan mengkolaborasikan keduanya, dengan istilah kontemporer disebut al-Tafsir bil Taufiqi.2

Dari jenis tafsir tersebut kecendrungan dan aliran setiap tafsirpun cukup beragam. Secara umum hal tersebut dilatar belakangi oleh wawasan setiap penafsir dan juga situasi social, politik dan budaya ketika itu. Di antara keragaman kecendrungan tersebut antara lain : corak sufistik, corak fikh, corak bahasa, corak filosofy, corak akidah dan sebagainya.

ImamFakhrudi>n al-Ra>zi>yang mempunyai kitab tafsir yang bernamaMafa>tih{ al-Ghaib, salah satu penafsir yang mempunyai kemampuan luas dalam berbagai disiplin keilmuan, mulai dari kecendrungan filosofy, sufi, ilmiyah hingga aqidah yang mewarnai tafsirnya. sehingga banyak para cendikiawan pada era baru ini tertarik untuk mengkajinya. Diantaranya penulis sendiri pada kali ini tertarik

2


(12)

untuk mengkaji lebih dalam lagi tafsirMafa>tih{al-Ghaibdari aspek kecendrungan aqidahnya (tauhid).

Seperti dalam kitab ‘Aja>ib al-Qura>n karya Imam Fakhrudi>n al-Ra>zi>, bahwa beliau pernah mengatakan bahwa Allah s.w.t mewajibkan pengetahuan Tauhid lebih utama dari pada pengetahuan cabang.3 pengetahuan tentangwuju>d al-s}a>ni’ lebih didahulukan dari pada lainya menjadi suatu alasan lahirnya keyakinan dalam hati yang nantinya menjadi landasan utama mendorong untuk melakukan amal perbuatan dari nilai-nilai ajaran islam yang biasa disebut sebagai pengetahauan syariat islam, Seperti yang tersirat pada surah Muhammad ayat 19.

                        

Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.

Berangkat dari ayat diatas sangat menarik sekali kajian tentang tauhid diperdalam melalui ayat-ayat Tauhid, terlebih lagi pada ruang lingkup tafsir Mafa>tih}al-Ghaib, karena melihat Imam Razi yang memiliki pengetahuan dalam dibidang aqidah.

Seperti dalam surah al-Baqarah ayat 163 yang mempunyai isyarat petunjuk terbentuknya konsepal-W ah}daniyahke esaan Tuhan.

3


(13)

               

Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

Ada beberapa ayat yang memberikan spirit mengarah pada keesaan Tuhan, bahwa yang dimanakan Tuhan harus Esa (tunggal) dan tidak bisa menjadi dua, ia akan tunggal sifatnya, dzatnya dan perbuatanya. Allah s.w.t esa dalam dzatnya, mustahil bagi dzatNya tercampur dan dicampuri dengan sesuatu apapun itu, tidak mungkin menyerupai dan diserupai oleh hal apapun, Dia Tuhan yang esa dzatNya tidak tersusun dari apapun, keberadan wujudNya tidak tersusun dari dzat-dzat apapun itu, Imam Razi juga menambah pula dengan dalil al-Qur’an surat al-Anbiya ayat 22 :















Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah Rusak binasa. Maka Maha suci Allah yang mempunyai ’Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.

Jika Tuhan tersusun dari beberapa dzat maka akan rusak sifat Tuhan dan perbuatanNya, dan yang terjadi Tuhan telah membutuhkan dzat lainNya untuk terbentuk wujudNya.4 Hal ini senada yang diungkapkan oleh Imam Ghazali sebagai ulama yang mewakili dari kelompok sunni.5

Maka dalam tesis ini adalah suatu kajian tafsir kalimat tauhid dalam al-Qur’an yang membahas tentang tema keasaan Tuhan, diambil dari tafsir mafa>tih}

4

Abdul Aziz Haji,Tafsi>r aya>t al-‘A qi>dah(Kairo : da>r al-s}a>bu>ni) 506.

5


(14)

al-Ghaib karya Fakhrudin al-Ra>zi>. Sehingga dari kajian tafsir kalimat tauhid tersebut dapat diketahui bagaimana method al-Ra>zi menafsirkan ayat-ayat tauhid pada karyanya

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari Latar Belakang Masalah di atas maka terdapat sebuah kajian yang sangat menarik untuk ditelili dan dikaji, yaitu tentang studi tafsir kalimat Tauhid dalam al-Qur’an dalam prespektif Fakhr Ra>zi>melalui karyanya yaitu Tafsir Mafa>tih}al-Ghaib. Menarik karena tidak hanya kecendrungan falsafi dan ilmi yang muncul pada tafsirnya melainkan kecendrungan aqidah juga menjadi bagian karakter tafsir Mafa>tih}al-Ghaib. Melalui ayat-ayat Tauhid yang terdapat pada tafsirnya maka akan muncul sebuah metode penafsiran ayat-ayat tauhid yang nantinya menjadi bahan kajian pada kesempatan kali ini. Identifikasi yang penting dalam pembahasan ini adalah mengkaji ayat-ayat Tauhid yang terdapat pada Tafsir Mafa>tih{al-Ghaib, sehingga dari cara tersebut akan dapat diketahui proses cara penafsiran Fakhr Ra>zi>dalam ayat-ayat tauhid pada karyanya.

Agar kajian dan penelitian ini terlihat mendalam dan agar juga lebih fokus, maka perlu ada pembatasan-pembatasan tentang masalah yang akan dikaji. Maka, kajian dalam pembahasan ini akan dibatasi dengan kalimat Tauhid, dalam hal ini ayat-ayat yang memberikan makna ketauhidtan yang dipakai oleh Fakhr Ra>zi>dalam kitab tafsirnya yang sudah dikumpulkan oleh A bdul A zizi Hajiyi melalui karya bukunya yang berjudul: Tafsi>r ayat al-‘A qidah>, dan juga dalam kitab ‘A ja>ib al-Qur>ankarya Fakh Ra>zi>.


(15)

Pembahasan kalimat Tauhid (ayat-ayat Tauhid) masih memiliki porsi yang luas, karena pengertian Tauhid sendiri tidak hanya terpaku pada pembahasan Iman pada Satu Tuhan, Sifat-sfiat Tuhan, melainkan lebih dari itu pembahasanya, untuk itu agar kajian ini terfocus pada pembahasan yang dimaksud pada tesis ini maka ayat-ayat Tauhid yang menjadi sebuah kajian yaitu seputar ayat-ayat TauhidUlu>hiyah.

C. Rumusan Masalah

Dari kajian ini penulis membuat dua rumusan masalah yaitu :

1. Bagaimana Fakhr Ra>zi> menafsirkan ayat-ayat tauhid dalam kitab Mafa>tih}al-Ghaib ?

2. Apa methode Fakhr Ra>zi>dalam menafsirkan ayat-ayat tauhid dalam tafsirnya ?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui secara mendalam bagaimana Fakhr Ra>zi>menganalisa ayat-ayat tauhid dalam kitabMafa>tih}al-Ghaib.

2. Untuk mendeskripsikan bagiamana metode Fakhr Ra>zi>menerangkan ayat-ayat Tauhid dalam kitabnyaMafa>tih}al-Ghaib.

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini mempunyai manfaat bagi kepentingan akademis sebagai penambahan informasi dan


(16)

khazanah studi Tafsir al-Qur’an, khususnya Tafsir Mafa>tih} al-Ghaib. Karena dengan mengetahui hasil penelitan ini bisa memberikan pintu pada kajian keilmuan dalam studi tematik.

Disamping itu, kajian ini juga diharapkan mempunyai arti kemasyarakatan, khususnya bagi umat islam. dalam pada itu hasil penelitian ini diharapkan membantu usaha-usaha peningkatan, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai ajaran islam, khususnya berkaitan dengan peningkatan keimanan bagi umat islam.

F. Penelitian Terdahulu

Pada penelitihan yang terdahuluA bdul A zizi Hajiyimelalui karya bukunya yang berjudul: Tafsi>r ayat al-‘A qidah>, dalam kitab ini, ayat-ayat yang berkaitan dengan Akidah atau tauhid beliau kelompokan secara graduasi, mulai dari cara al-Qur’an mengajak untuk ber tauhid, pembahasan bab-bab akidah hingga menampilkan beberapa tafsir yang bercorak akidah. Diantaranya tafsir Mafa>tih} al-Ghaib karya Fakhr Ra>zi>, metode Razi dalam menafsirkan ayat-ayat akidah dikemas begitu luas dalam kitab tersebut, dengan memakai pendekatan perbandingan dengan ulama mutakallimin dan lainya. Kitab tersebut mampu memberikan kesimpulan yang memuaskan pada tema tersebut.

Tidak hanya itu, ‘A ja>ib al-Qur>an karya Fakh Razi yang diulas oleh al-Shaikh Khalil Ibrahim, kitab tersebut awalnya memberikan inspirasi pada kajian ini, karena kitab tersebut membahas kalimat La>ilahailla>A llah, kajian tentang kalimat tauhid yaituLa>ilahailla>A llah.


(17)

Allah berfirman.6

ْﻢَﻠْﻋ ﺎَﻓ

ﻻ ِإ

ُﱠﷲ

Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain A llah...”

Menurut al-Ra>zi>, lafal La>ilahailla> A llah, disebut sebagai kalimat Tauhid, karena menunjukan peniadaan sekutu Allah secara mutlak. Dikatakan secara mutlak karena Allah berfirman.7

ِإَو

ٌﺪ ِﺣ اَو

ﻻ ِإ

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Y ang Maha Esa; tidak adaTuhan melainkan Dia Y ang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”

Mungkin ada dugaan dalam pikiran seseorang bahwa Tuhan kami (agama Islam) satu, sementara diluar sana berbeda dengan Tuhan kami jumlahnya. Menurut al-Ra>zi> dugaan semacam ini dapat dilenyapkan dan dibantah melalui makna kalimat tauhid secara mutlak, yaitu Allah.8

ُﱠﷲ

ي ِﺬﱠﻟا

ﻻ ِإ

ُﻦ َﻤ ْﺣ ﱠﺮﻟا

"Dialah A llah yang Tiada Tuhan selain Dia, Y ang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Y ang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang."

Dalam menjelaskan ayat La>Ila>ha Illa Huwa tersebut, Imam al-Ra>zi> menggambarkan, ketika kita berkata “ tidak ada orang di rumah” berarti kita

6

Al-Qur’an Surah Muhammad ayat 19.

7

Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 163.

8


(18)

meniadakan esensinya. Ketika esensinya tidak ada, maka semua bagiannya juga tidak ada. Seandainya salah satu bagianya ada, berarti esensinya ada. Sebab setiap bagiannya mencakup esensi tersebut. Jika esensinya ada, itu bertent angan dengan peniadaaan esensi. Jadi ungkapan, “Tidak ada orang dirumah” berarti peniadaan secara total. Atau pengesaan secara total. Yaitu Tiada Tuhan selain Allah memberikan makna pengesaan secara total.9

Menurut Imam al-Ra>zi>, lafadz Illa disini diasumsikan bermakna Ghair (selain). Alasanya, kalau lafadz Illa diartikan sebagai pengecualian, maka kalimat La> Ila>ha Illalla>h tidak murni sebagai kalimat Tauhid. Sebab, asumsi kalimat tersebut menjadi La> Ila>ha yustathna ‘anhum A llah, Tiada tuhan terkecuali dari mereka (tuhan-tuhan itu) Allah, artinya semua tuhan dinafikan, sementara Allah sebagai pengecualian. Jadi kalau lafadz Illa diartikan sebagai pengecualian, maka ungkapan La>Ila>ha Illalla>h bukan tauhid yang murni. Karena para ulama sepakat bahwa kalimat tersebut berisi tauhid murni. Maka menurut Imam al-Ra>zi> lafadz Illa harus diartikan dengan Ghair.10

Selain merupakan kalimat Tauhid, lafadzLa>ilahailla> A llah juga berfungsi sebagai nafi (peniadaan) dan Ithbat (penetapan). Dalam hal ini “penafian” lebih didahulukan daripada “penetapan” wujud Allah. Alasan yang dikemukaan oleh imam al-Razi adalah :

9

Al-Razi,‘A jaib al-Qur’an(Bairut: dar al-Fikr) 1992. 8

10


(19)

Pertama, meniadakan sifat Tuhan dari selain-Nya dan kemudian diikuti dengan menetapkan sifat tersebut untuk-Nya lebih kuat daripada langsung menetapkan tanpa meniadakan selain-Nya.

Kedua,La>ilahailla> A llahberfungsi mengeluarkan segala sesuatu selain Allah dari kalbu. Sehingga tatkala kalbu telah kosong dari yang selain Allah, lalu terlintas di dalamnya kekuasaan Allah, cahayanya akan bersinar terang dan kekuasaan-Nya akan tampak secara sempurna.

Ketiga, penafian yang diperoleh melalui lafadz La> (tiada) berkedudukan seperti T}aharah (bersuci). Sementara penetapan wujud dengan lafadz Illa (selain) berkedudukan seperti T}aharah dalam shalat. Jadi La>ila>ha harus lebih didahulukan dari pada Illalla>h.11

Dengan demikian, lafadzLa>ilahailla> A llah tersebut merupakan perkara pokok(us}ul) di dalam agama Islam. Dengan memahami hakikat kalimat tauhid tersebut, berarti sebagai Muslim, telah mengesakan Allah secara total. Karena sumber pokoknya adalah Ketauhidan, maka tak aneh jika kemudian lafadzLa>ilahailla> A llah> juga menempati posisi istimewa. Seorang Muslim yang menyatakan keyakinannya hanya pada Allah semata, maka harus menafikan ilah-ilahyang lain sembari meneguhkan keyakinan bahwa hanya ada satuilah, yaitu Allah SWT.

11


(20)

Namun pembahasan dalam kitab tersebut lebih dekat pada pembahasan tasawuf ataupun nasihat untuk beribadah. Seperti dalam bab pertama dan kedua pembahasan tentang rahasia kalimat La>ilahailla> A llahmempunyai faidah sebagai kalimat penyucian jiwa dari sifat sombong, pamrih dan lainya serta ia juga sebagai kalimat wasilah menuju pertaubat dan H}usnud}an.

Adapun pada kajian ini yaitu suatu penelitihan pada ayat-ayat Tauhid dalam Tafsir al-Qur’an Mafa>tih}al-Ghaib karya Fakhr al-Ra>zi>. Kajian ini berupaya untuk mengungkapkan metode Fakhr al-Ra>zi> melalui ayat-ayat al-Qur’an dalam mengungkapkan pengetahuan Tauhid, sehingga dapat muncul sebuah konsep tauhid dari Tafsir tersebut. Akan tetapi dalam penelitihan ini tidak cukup hanya dengan menggunakan Tafsir Mafa>tih} al-Ghaib saja, melainkan didukung oleh beberapa kitab yang memuat informasi kesana, sehingga penelitian ini dapat memberikan pengetahuan seutuhnya dalam kajian ayat-ayat Tauhid prespektif Fakhr al-Ra>zi>.

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan Library Research dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teori penelitian kepustakaan (Library Research). Untuk itu sumber-sumber data yang digunakan adalah berasal dari data-data yang tertulis di buku, majalah, jurnal atau sumber tertulis yang


(21)

lain, dari internet, misalnya. Sumber-sumber data tersebut dikelompokan pada dua kategori:

a. Data Primer

Yang dimaksud dengan data primer adalah sumber pokok yang menjadi titik pusat pembahasan penelitihan ini yaitu Tafsir Mafa>tih}al-Ghaib karya Imam Fakhr al-Ra>z}i>. Data Primer tersebut akan menjadi acuan utama dalam kajian tesis ini.

b. Data Sekunder

Untuk memperdalam dan mempertajam analisa, maka dipergunakan kitab-kitab lainya sebagai data sekunder. Diantaranya seperti tafsir Ja>mi’I al-Baya>n ‘A n Ta’wi>l al-Qur’a>n karya Ibn Jari<r al-T}abari, Tafsir Juz ‘A mma karya Muhammad ‘Abduh, Tafsir al-Mana>rkarya Rasyid Ridha, Muh}a>sin al-Ta’wi>l karya Jamaludin al-Qasimi, Tafsir al-Kasha>f karya Zamakhsari. Muhidin al-Sofi, Muh}azara>t fi> al-‘A qi>dah al-Isla>miyah. Muhammad bin Abi ‘Izu, Sharh al-‘A qidah al-T}ah}awiyah. Dan tidak hanya itu melainkan kitab-kitab lainya yang akan menjadi tambahan perbandingan dalam kajian ini.

2. Analilis Data

Dalam penelitian data ini, penulis menggunakan pendekatan metode analisi isi (content analisys) yaitu upaya mendeskripsikan isi data-data yang telah dikumpulkan untuk ditarik sebuah kesimpulan agar


(22)

menemukan karakteristik pesan yang secara obyektif dan sistematis di dalamnya.12 Data-data yang ada dalam sumber data, akan dianalisis secara terus menerus sampai akhir, mulai dari data primer hingga skunder untuk menemukan pemahaman tentang pola-pola dan model dari suatu masalah yang diteliti berdasarkan berbagai informasi yang berkaitan dengan masalah tersebut, sesuai dengan jenis penelitiannya ini, yaitu deskriptif-kualitatif.

Beberapa ayat yang berkaitan dengan kajian ini yaitu ayat-ayat Tauhid dalam kitab Tafsir Mafa>tih}u al-Ghaib akan menjadi obyek penelitian, sehingga dari sana dapat diketahui cara Fakhr Ra>zi>berbicara tentang Tauhid yang pada akhirnya dapat diketahui proses terwujudnya konsep Tauhid dalam Tafsir Mafa>tih}u al-Ghaib.

H. Sistematika Pembahasan

Dalam penulisan penelitian masalah ini, penulis menggunakan Sistematika Pembahasan yang terbagi menjadi lima bab dengan perincian sebagai berikut:

Bab Petama, Pendahuluan yang meliputi Latar belakang Masalah, Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penelitian Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

12

Eriyanto,A nalisis isi Pengantar Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group). Edisi ke- 2 2013, 32.


(23)

Bab Kedua, membahas tentang Riwayat hidup Fakhr Ra>zi>yang meliputi latar belakang, riwayat perjalanan akademik, Methode Tafsirnya, karya-karyanya.

Bab Ketiga, menjelaskan tafsir ayat-ayat Tauhid dalam Tafsir Mafa> tih}al-Ghaib, meliputi cara Fakhr Ra>zi>menjelaskan ayat-ayat tersebut dan tema-tema Tauhid


(24)

BAB II

RIWAYAT HIDUP DAN TAFSIR FAKHRUDI>N AL-RA<ZI<

A. Biografi ImamAl-Ra>zi>

Nama lengkap beliau adalah Muhammad ibn ‘Umar Ibn al-H}usayn

Ibn al-H}asan Ibn ‘Ali al-Taymiy al-Bakriy al-T}abrasta>ni, yang dalam

literatur keilmuan klasik kita kenal dengan nama Fakhruddīn A l-Ra>zi>.

Beliau dilahirkan di Ray, yaitu sebuah kota yang terletak disebelah tenggara Teheran Iran pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 H/1149 M. Beliau wafat pada bulan syawal, 606 H/1209 M. Tentang perawakannya ia berbadan tegak, berjanggut lebat, memiliki suara yang keras dan juga bersikap sopan

santun. Beliau mempunyai beberapa nama panggilan seperti A bu>‘A bdillah,

A bu>Ma’ali,A bu al-Fādil, danIbnu Khatib al-Ray.1

Beberapa gelar itu diberikan disebabkan karena pengetahuaannya yang luas, maka beliau mendapat berbagai gelar seperti:Khatib

al-Ray,Imām,Syaikhu Islām dan Fakhruddīn. Beliau mendapat julukanKhatib

al-Ray karena beliau adalah ulama terkemuka di kota Ray. Dia dijulukiImām

karena menguasai ilmu fiqih dan ushul fiqih. Beliau dipanggil sebagaiSyaikh al- Islām karena penguasaaan keilmuannya yang tinggi. Dan di dalam bidang tarfsir beliau lebih di kenal dengan nama Fakhruddīn A l-Rāzi>. Sejak kecil

Imām Fakhruddīn A l-Rāzi>sudah di didik oleh ayahnya sendiri, Syaikh

1

Muh{ammad h}usain Al-Dhahabi>,A l-Tafsīr wa al-Mufassirūn, vol 1. (Darul hadīs kairo, 2005). 248.


(25)

D}iyauddīn, ulama terkemuka pada masanya yang berjuluk khatib Al-Ray. Beliau adalah seorang tokoh, ulama dan pemikir yang dikagumi oleh masyarakat Ray. Disitulah Al-Rāzi>berkembang menjadi manusia saleh dan pencinta ilmu. Setelah beliau belajar pada ayahnya barulah beliau melakukan perjalanan keberbagai kota seperti Khurasan dimana disana banyak ulama besar yang berasal dari negri itu,‘Abdullah bin mubārak, Imām Bukhāri, Imām

Tirmiż i dan ulama besar lainnya. Dari Khurasan atau lebih dikenal lagi

dengan Bukhara, beliau melanjutkan perjalanannya ke Irak, terus ke Syam. Namun lebih banyak waktunya digunakan di Khawarzimi untuk belajar memperbanyak ilmunya, kemudian terakhir beliau berangkat ke kota Hera>t di daerah Afganistan untuk belajar mengajar.2

Kesungguha Al-Rāzi>dalam menggali berbagai macam ilmu sudah tampak ketika ia masi muda. Disebutkan bahwa beliau telah dapat menghafal kitab Syāmil karya Al-Juāinī, Al-Mustasyfa’ karya Al-Ghazāli dan kitab

Al-Mu’tamadkarya tokoh ternama kaum mu’tazilah aliran Baṣrah.3

Selain sebagai seorang mufassir, beliau juga seorang pakar Fiqih dan Ushul fiqih. Ilmu kalam, Ilmu Kedokteran dan Filsafat. Mengenai bidang ilmu-ilmu tersebut ia telah menulis beberapa kitab terkait ilmu tersebut, dan menjadi rujukan banyak ulama-ulama sesudahnya. Beliau sangat unggul

2

Sya’bān Muḥammad Isma’īl,Uṡul A l-Fiqh : T arīkhuhū wa Rijāluhū, (Mekah : Dār As-Salām, 1998), 238. Muhammad Ibrahim ‘Abdu al-Rahman, Manhaj al-Fakhr al-Ra>zi> fi> al-Tafsi>r,(Kairo: dar al-Handa>siyah 2001), 15.

3


(26)

dalam berbagai disiplin ilmu. Sehingga banyak orang-orang yang datang dari belahan penjuru negeri, untuk meneguk sebagian dari keluasan ilmu beliau.4

Meski pernah menulis karya tafsir yang sangat terkenal, Al-Rāzi>lebih dikenal sebagai ahli fiqih dan filosof. Beberapa karya di bidang filsafatnya ialah Sharh al-Isharah, yang berisi komentarnya mengenai kitab Al-Isyarah

wa Al-Tanbihat karya Ibnu Sina. Sedangkan di bidang ushul fiqh karya

besarnya berjudul Al-Maul fi ‘Ilmi Al-Uṣ ul, yang merangkum empat kitab besar dalam madzhabSyafi’idan pendapat para ahli ilmu kalam.

Dimasa tuanya, Al-Rāzi>menetap di Herat, Afghanistan. Di tempat itu ia membangun masjid, mengajar dan menulis beberapa kitab hingga ajal menjemput beliau pada tahun 606 H/1209 M. Di kota Herat itu pula jenazah tokoh yang telah menulis tak kurang dari 81 judul kitab itu dimakamkan.

1. Guru-guru beliau

Perjalanan panjangnya ke beberapa daerah tersebut memungkinkannya untuk menemui beberapa ulama yang kemudian dijadikan guru dalam berbagai disiplin ilmu, utamanya dalam bidang tafsir. Diantara beberapa ulama yang kemudian menjadi gurunya yaitu :

a. Salmān ibn Nas}i}r ibn Imrān ibn Muh{ammad ibn Isma’īl ibn Isha>q ibn

Zaid ibn Ziyād ibn Maimun ibn Mahran, A bu A l-Qasi>m al-A ns}ari, salah seorang muridimām al-Haramain.

4

Muhammad Ibrahim‘Abdu al-Rahman,Manhaj al-Fakhr al-Ra>zi> fi> al-T afsi>r,(Kairo: dar al-Handa>siyah 2001), 24.


(27)

b. ‘A bd Mālik bin ‘A bdullah ibn Y usuf ibn’ A bdullah ibn Y usuf ibn

Muhammad, yang terkenal dengan nama Imām A l-Haramain iyauddin A bu A l-Ma’ali l-Juwaini.

c. Ibrahīm ibn Muh{ammad ibn Ibrah}im ibn Mahran, A l-Imām Ruknuddīn A bu Ish}ak A l-Isfirayani, seorang pakar teologi dan hukum islam dari Khurasan.

d. A bu usain Muh}ammad ibn Muh}amad ibn A bdurrah{ān ibn A s-Sa’īd A l-Bahīli.

e. ‘A li ibn Isma’īl ibn Ish{aq ibn Sālim ibn Isma’īl ibn ‘A bdullah ibn Musa ibn Bilāl ibn A bu Bard ibn A bu Musa, seorang teolog yang terkenal dengan namaA s-Syaikh A buḤ asan A l-A sy’ari A l-Bas}ri.

f. Muh{ammad ibn ‘A bdul W ahhāb ibn Salām A bu ‘A li A l-Jubbā’i,

seorang tokoh teolog mu’tazilah.

g. A l-Ḥ asān ibn Mas’ūd ibn Muh}ammad abu Muh{ammad al-Bagāwi.

Dari tokoh ini, Fakhruddīn A l-Rāzi mendalami filsafat, disamping

dari guru lainnya, terutamaMajduddīn al-Jilli.

h. A l-Ḥ usain ibn Muh}ammad ibn A h}mad al-Qaḍi, A bu ‘A li al-Maruzī. i. ‘A bdullah ibn A h{mād ibn’ A bdulāh al-Maruzī, A bu Bakār al-Qaffāl

as-Shagīr.

j. Muh{ammadibn Aḥmād ibn ‘A bdullāh.

k. Ibrahīm ibnAḥmād A bu Isḥ āq al-Maruzī.


(28)

m. ‘Usmān ibn Sa’īd ibn Baṣr A bu Qasīm A nmati Bagdādi al-Aḥwāl.

n. Muh}ammadibn Idrīs ibn al-‘A bbās ibn ‘Usmān ibn al-Syafī’i ibn

as-Sayb ibn ‘Ubaid ibn A bu Y azīd ibn Hasyīm ibn ‘A bdul Muṭṭalib kakek Rasulullah SAW.5

2. Murid-murid beliau

Beliau memiliki murid yang banyak dari setiap penjuru, namun yang dianggap paling populer adalah:

a. A bd al-Hamīd ibn ‘Isa ibn Umrawiyah ibn Y usuf ibn Khalīl ibn A bdullāh, ibn Yūsuf. Ia adalah seorang ulama ahli fiqh dan teologi Islam (Mutakallimin). Nama kebesarannya adalah A l-‘A llāmah Syamsuddīnatau Abu Muḥammad Muḥammad al-Khasrusḥ āhi. b. Zaki ibn Ḥ āsan ibn ‘Umar, yang terkenal dengan nama A bu Aḥmad

al-Biliqāni. Ia adalah seorang ahli fiqh, teolog, ahli ushul dan muhaqqīq (ahli manuskrip).

c. Ibrahīm ibn ‘A bdul W ahhāb ibn ‘A li, nama sebutan lainnya adalah Imaduddīn A bu Ma’āliatauA l-A nṣarīal-Khuzrajīal-Zanjanī.

d. Ibrahīm ibn Muh{ammad al-Sulamīal- Magrabīadalah seorang hakim yang terkenal diwilayah pinggiran Mesir.

e. Aḥmād ibn Khālil ibn Sa’ādah ibn Ja’fār ibn Isa al-Mihlabi. Ia adalah ketua hakim yang terkenal dengan nama Syamsuddīn A bu al-‘A bbāsataual-Khubi.6

5

Muhammad Ibrahim ‘Abdu al-Rahman, Manhaj al-Fakhr al-Ra>zi> fi> al-T afsi>r,(Kairo: dar al-Handa>siyah 2001) 18. Abdul Qadir Atha,A l-imam, (Kairo, 1998), 329.


(29)

6

3. Karya-karya beliau

Dilihat dari karya yang dihasilkan, Fakhruddin A l-Razi>adalah seorang ulama yang sangat produktif dan memiliki wawasan yang luas, tidak hanya terbatas pada bidang hukum dan metodologinya, tetapi juga dalam bidang filsafat, teologi (ilmu kalam), tafsir al-Qur’an, tasawwuf, mantiq dan bahasa Arab. Diantara karya yang dimaksud adalah:

a. A l-Tafsīr al-Kabīr: Mafātih al-Ghaib. b. Tafsīr al-Fatīh}ah.

c. A ln-Tafsīr al-Shagīr: A srār al-Tanzīl wa A nwār al-Ta’wīl. d. Nihāyat al-‘Uqūl.

e. A l-Maṣul fi Ilm Uṣul al-Fiqh. f. A l-Mabāhit al-Masraqiyah. g. Lubāb al-Isharāt.

h. A l-Maṭālib al-‘A liyah fi ilm al-Kalām. i. A l-Ma’ālim fi Uṡul al-Fiqh.

j. A l-Ma’ālim fi Uṡul al-Dīn. k. Tanbīh al-isharah fi al-Uṣul. l. A l-arba’īn fi Uṡul al-Dīn. m. Sirāj al-Qulūb.

n. Zubdāt al-A fkār wa ‘Umdāt al-Naż ār. o. Sharh al-Isharat.

p. Manāqib al-Imām al-Syafi’i

6


(30)

7

q. Tafsīr A smaillāh al-Husnā7

B. Sekilas Sejarah Penulisan Tafsir Mafa>ti>h} al-Ghaib

Nama lengkapnya Muhammad ibn ‘Umar Ibn al-H}usayn Ibn al-H}asan

Ibn ‘Ali al-Taymiy al-Bakriy al-T}abrasta>ni. Secara keseluruhan, komposisi

Tafsir al-Fakhruddi>n al-Ra>zi> atau al-Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>ti>h} al-Ghaib

karya al-Ima>m Muh{ammad al-Ra>zi> Fakhruddi>n ibn al-‘Alla>mah D}iya>’uddi>n

‘Umar yang terkenal dengan panggilan Khat}ib al-Ray (544-604 H.) adalah

terdiri dari 17 jilid atau 33 juz yang diterbitkan oleh “ Hay’ah al-Buh}uth wa

al-Dira>sa>t Da>r Fikr “. Tahun 1414 H./1992 M. Dengan kata pengantar

al-Syaikh Khalil Muh}yi al-Di>n al-Mays sebagai direktur al-Azhar.8

Khusus untuk jilid 17 atau juz 33, hanya berisi indek yang di susun

oleh Muh}ammad ‘Abd al-Rah{i>m dan diterbitkan tahun 1415 H./1995 M.

Dengan cangkupan 13 indek, yaitu :

a. Indeks tentang tema-tema pokok dalam setiap juznya (Fihrs Mawd}u>’at

Tafsi>r al-Fakhr al-Ra>zi> Murattabah H}asb Wuru>diha> fi> al-Ajza>’)

b. Indek tentang ayat-ayat Hukum.

c. Indeks tentang tema-tema ayat al-Qur’an berdasarkan urutan huruf-huruf asing atau kata jadinya.

7

Fakhruddīn Al-Rāzi,A l-A rbain fi uṣul A d-Dīn, ( Kairo : Dār Al-Jīl, 2004), 5.

8

Muhammad Ibrahim ‘Abdu al-Rahman, Manhaj al-Fakhr al-Ra>zi> fi> al-T afsi>r,(Kairo: dar al-Handa>siyah 2001) 78. Aswadi, “Konsep Shifa>’ Dalam T afsir Mafa>ti>h{ al-Ghaib Karya Fakhruddi>n al-Ra>zi>” (Desertasi—UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 2007), 60.


(31)

8

d. Indek tentang etnis/suku, masyarakat, bangsa, agama, madzab, aliran maupun kepercayaan.

e. Indek yang berkaitan dengan Tempat, Negara dan kejadiannya. f. Indek tentang kita-kitab atau refrensi.

g. Indek berdasarkan jenis makanan, minuman, obat, rempah dan tumbuh-tumbuhan.

h. Indek berdasarkan kelompok hewan, serangga, hama dan ikan. i. Indek yang berkaitan dengan tambang, intan, logam dan permata. j. Indek tentang Hadis-hadis.

k. Indek tentang Syi’r

l. Indek nama-nama Populer.9

Al-Dhahabi> dalam karyanya al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n

menyimpulkan bahwa Tafsir Mafa>ti>h} al-Ghaib secara keseluruhannya tidak

ditulis oleh al-Ra>zi>. Menurutnya, penulis al-Ra>zi> hanya berakhir pada

al-Qur’an Surah al-Anbiya<’ kemudian disempurnakan oleh generasi berikutnya

yang bernama Shiha>buddi>n al-Khuwaini>, namun dalam penyempurnaanya itu

juga belum sampai tuntas, sehingga dilanjutkan oleh generasi berikutnya yang

bernama Najmuddi>n al-Qamu>li> hingga selesai secara keseluruhan.10

Disamping itu, al-Dhahabi>juga menunjukan alasan melalui bukti dan

temuan dalam syarah Kasyf al-Z}unun karya Sayyid Murtad{a> yang menunjukan

bahwa al-Ra>zi> menulis tafsirnya hanya sampai pada Surah al-Anbiya>’. Lebih

9

Aswadi, “Konsep Shifa>’ Dalam Tafsir Mafa>ti>h{ al-Ghaib Karya Fakhruddi>n al-Ra>zi>” (Desertasi—UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 2007), 67.

10


(32)

9

lanjut, al-Dhahabi>menunjukan sebuah teks atau redaksi dalam tafsir Mafa>tih} al-Ghaib ketika menjelaskan al-Qur’an Surah al-Waqi’ah ayat 24, Allah swt berfirman :

Yang dijadikan sebagai bukti bahwa al-Ra>zi> memang tidak menyelesaikan

tafsirnya.11 Redaksi maupun pernyataan yang dimaksudkannya ialah sebagai

berikut.

:

: :

:

.

١ ٢

Tidak hanya al-Dhahabi>yang berpendapat bahwa Imam al-Ra>zi> tidak

menyelesaikan karyanya keseluruhan, bahkan pada catatan kaki dalam kitab

al-Tafsi>r al-Kabi<r Lil al-Ima<m al-Fakhr al-Ra>zi> cetakan ke-4 yang telah di

tah}qi>q oleh penerbitnya yaitu Da>r Ih}ya> al-Tura>th al-‘Arabi>, juga memberikan

catatan sama seperti yang di ungkapkan oleh al-Dhahabi>. Adapaun catatanya

yaitu :

11

Muh{ammad h}usain Al-Dhahabi>,A t-Tafsīr wal Mufassirūn,vol 1, 51.

12


(33)

10

.

١ ٣

Pada statemen ini dapat dirasakan bahwa ulasan pada penafsiran surah al-Wa>qi’ah ayat 24 di permasalah pertama di tafsir al-Ra>zi> adalah

akhir dari karangan imam al-Ra>zi>, melainkan salah satu dari murid beliau

yang meneruskan karya gurunya selepas wafatnya imam al-Ra>zi>.

Di sisi yang lain pula. Abdurrah}man menegaskan apa yang pernah

diragukan oleh sejumlah ulama terdahulu atas hal ini, bahwa keraguan atas

penulisan Tafsir Mafa>ti>h} al-Ghaib oleh al-Ra>zi> adalah sikap terburu-buru

dalam memberikan kesimpulan, kerena mereka tidak melakukan pembacaan

secara keseluruhan atas Tafsir Mafa>ti>h} al-Ghaib, sehingga

kesimpulan-kesimpulan dari hasil reduksi sebagian teks Tafsir yang muncul dipermukaan

berlalu-lalang masih bersifat mubham, sangat kabur dan tidak jelas.14

Beberapa contoh yang dapat dijadikan sebagai bukti bahwa tafsir

Mafa>ti>h{ al-Ghaib mulai awal hingga akhirnya adalah karya al-Ra>zi> yang

sekaligus dapat menghilangkan keraguan bagi orang-orang yang tidak

mengakui keseluruhan tafsir Mafa>ti>h}al-Ghaib sebagai karya al-Ra>zi>. Berikut

ini dikutipkan beberapa bukti yang dimaksudkan oleh Abdurrah}man.

13

Fakhruddin Ar-Rāzi,Tafsīr A l-kabīr,jilid 29, 398.

14

Muhammad Ibrahim ‘Abdu al-Rahman,Manhaj al-Fakhr al-Ra>zi> fi> al-T afsi>r,(Kairo: dar al-Handa>siyah 2001) 85.


(34)

11

:

                                               ١ ٥

:

:

:

:

)

(

.

.

.

Saya dapat memberikan contoh sebagaimana yang dikemukakan al-Ra>zi> ketika menafsirkan Firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat

15


(35)

12

198 (Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia rezki hasil perniagaan dari Tuhanmu. Maka apabila kami telah bertolak dari ‘Arafah. Berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar

termasuk orang-orang yang sesat). Menurut al-Ra>zi>, diantara meraka ada

yang berpendapat bahwa yang dimaksudkannya ialah hari raya kurban.

Dan yang “kelima” adalah “al-Mashu>d” sebagaimana tersebut dalam

al-Qur’an Surah al-Buru>j ayat 3 (dan yang menyaksikan dan yang

disaksikan). Nama-nama demikian telah kami jelaskan pada aya-ayat yang dimaksud. Kemudian Abdurrahman telah merujuk pada penafsiran

ayat ini, ternyata al-Ra>zi> telah memenuhi apa yang dijanjikan. Pernyataan

tersebut dapat menghilangkan tuduhan al-Ra>zi> tidak menyempurnakan

tafsirnya, atau tafsir al-Ra>zi> hanya sampai pada Surah al-Anbiya>’ (21)

maupun lainya.16

Oleh karena itu menurut Abdurrahman dapat disimpulkan bahwa

esensi dan keberadaan Tafsir Mafa>ti>h} al-Ghaib, mulai awal hingga akhir

secara keseluruhannya adalah karya al-Ra>zi> dan bukan karya orang lain

maupun karya generasi berikutnya.

C. Penulisan dan Metode Tafsir Mafa>ti>h} al-Ghaib 1. Sistematika penulisan Tafsir al-Ra>zi>

Tafsir Mafa<ti>h} al-Ghaib karya al-Ra<zi> adalah sebuah tafsir yang

mempunyai peringkat penulisan setelah ilmu kalam dan filsafat.17

16

Muhammad Ibrahim ‘Abdu al-Rahman,Manhaj al-Fakhr al-Ra>zi> fi> al-T afsi>r,(Kairo: dar al-Handa>siyah 2001) 88.

17


(36)

13

Sebuah karya tentang tafsir al-Qur’an yang berjudul Mafa>ti>h{ al-Ghaib (Pembukan Kegaiban). Judul tafsir ini dapat dikatakan wujud inspirasi dari firman Allah swt :











Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering,

melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)".18

Bentuk penafsir karya al-Ra>zi> ini lebih cendrung pada masalah

filsafat, oleh karena itu, didalamnya mengandung berbagai pendapat ahli hikmah dan filsafat. Dengan demikian, pembahasan di dalamnya akan dijumpai muatan keagungan ilmu, keluasan pikiran dan kemulyaan

kepribadian al-Ra>zi>. Disamping itu, tampak pula dalam pembahasannya

mencakup tokoh-tokoh dalam bidang tafsir, seperti : Ibnu ‘Abbas,

Qata>dah, al-Suda>, Sa’id ibn Zubary. Dari aspek kebahasaan juga memuat

tokoh-tokoh seperti al-Asmu’iy, Abu< ‘Ubaydah, dan dari kalangan ulama

seperti al-Zuja>j, al-Farra> dan al-Mubarrad. Al-Ra>zi> selai mengemukakan

18

Muhammad Ibrahim ‘Abdu al-Rahman,Manhaj al-Fakhr al-Ra>zi> fi> al-T afsi>r,(Kairo: dar al-Handa>siyah 2001) 10 . Al-Qur’an, Surah al-An’am ayat 59.


(37)

14

pemikiran Mu’tazilah, ia juga mengkritiknya, sekalipun tidak tampak dengan jelas tentang penolakan secara keseluruhannya. Tetapi yang jelas

tafsir al-Ra>zi< sarat dengan berbagai disiplin keilmuan disandarkan pada

kerangka pemikiran filsafat.19

Namun dalam berbagai literatur keislaman Tafsir al-Ra>zi> telah

dinyatakan sebagai salah satu bentuk tafsir bi al-Ra’yi.20 Bahkan di sisi

lain karya ini justru dikatakan sebagai salah satu diantara berbagai tafsir

bi al-Ra’yi dan juga bi al-Ma’thur.21

Ketika melakukan pembacaan terhadap teks tafsir al-Ra>zi> tersebut

maka akan merasakan kesamaan methode dengan tafsir bi al-Ma’thur lainnya, akan tetapi beliau berusaha untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an

dengan cahaya pengetahuan filsafat yang semakna dengan visi kenabian.22

Upaya al-Ra>zi> terhadap hasil karyanya tesebut merupakan suatu

apresiasi yang mendalam terhadap pembelajaran al-Qur’an, ia secara konstan mengingatkan dan mengajarkan kepada orang-orang islam bahwa mereka harus mengkaji al-Qur’an secara mendalam dan mengamalkanya. Disamping itu, mereka juga harus tetap mapan dengan doktrin-doktrin mengenai wujud Tuhan dan beberapa atribut pada teori-teori tentang wujud yang merupakan obyek utama dikalangan filsafat.

19

‘Abdu al-H}ali>m Mah}mu>d,Mana>hij al-Mufasiri>n, (Kairo: Maktabah al-I>ma>n, cet II 2003) 117. Lihat Muh{ammad h}usain Al-Dhahabi>,A t-Tafsīr wal Mufassirūn,vol 1, 69.

20

Abdu al-H}ali>m Mah}mu>d,Mana>hij al-Mufasiri>n,119.

21

Muh{ammad h}usain Al-Dhahabi>,A t-Tafsīr wal Mufassirūn,vol 1, 78.

22


(38)

15

Sistematika Tafsir al-Ra>zi> pada penyajian awalnya ia menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian mengemukakan penafsirannya dengan menunjukkan beberapa permasalahnnya. Beberapa masalah tersebut kemudian diuraikan sesuai dengan porsi masalahnya masing-masing. Di beberapa celah pembahasan masing-masingnya itu, disajikan pula tentang

aspek-aspek yang terkait dengan tafsir, seperti bahasa, us}u>l, fiqh, Qira>’ah,

Asba>b al-Nuzu>l yang terkadang disertakan dengan sanad dan tanpa sanad

hadis, kemudian dipaparkan beberapa syi’ir dalam beberapa kesempatan ketika memberikan argumentasi kebahasaan, balaghah maupun lainya.

Argumentasi al-Ra>zi> dalam penafsirannya yang terkait dengan hadis

relatif sangat sedikit, bahkan sedikit pula mengenai pembahasan yang

terkait dengan persolan fiqh yang menjadi perbincangan para ulama.23

2. Metode Tafsir Mafa>ti>h} al-Ghaib

Tafsir al-Ra>zi> yang berjudul Mafa>ti>h}al-Gaib atau Tafsir al-Kabi>r mendapatkan popularitas yang luas di kalangan ahli ilmu karena pembahasan-pembahasannya yang mengalir dalam berbagai bidang ilmu. Karena itu Muh}ammad Qa>sim berkata, Fakhruddin al-Ra>zi> telah menghimpun di dalam kitabnya ini setiap yang Ghari>b.24 Demikianlah, wawasan al-Ima>m telah terpengaruh oleh Imam-imam pada masanya, seperti al-Gaza>li>y, al-Juwainiy> dan al-Baqillani>y. wawasannya yang luas

23

Abdu al-H}ali>m Mah}mu>d,Mana>hij al-Mufasiri>n,140. Lihat Muhammad Ibrahim ‘Abdu al-Rahman,Manhaj al-Fakhr al-Ra>zi> fi> al-Tafsi>r, 93.

24


(39)

16

tampak di dalam kitab tafsirnya.25 Metode yang ditempuh oleh Beliau adalah sebagai berikut:

1) Memulai menyebutkanmuna>sabat antar ayat dan antar surat. Umumnya beliau menyebutkan lebih banyak mengenai munasabah antar ayat dan surat, di samping menyebutkanasbab an-Nuzu>lbila ada.26

2) Menafsirkan ayat atau beberapa ayat dengan menyebutkan segi bahasa,I’rab, balagahdan masalah-masalahfiqh, menguraikan secara panjang lebar ayat-ayat akidah untuk berdalil atas keesaan Allah dan qudrah-Nya, sambil menunjukkan kedalaman kebijaksanaan-Nya dan keindahan ciptaan-Nya dari sela-sela ayat-ayat kauniyyah.27

3) Banyak berkonsentrasi untuk membela akidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, melancarkan perlawanan sengit dalam berbagai kesempatan terhadap para Ahli bid’ah dan penyimpang akidah.28 4) Banyak mengemukakan ilmu-ilmu fisika, elsakta, dan astronomi,

masalah-masalah yang kurang mendasar, banyak penggalian hukum, yang sebagian besarnya tidak begitu dibutuhkan di dalam ilmu tafsir. Abu Hayyan pernah berkata dalam al-Bah}r al-Muh}i>t}, didalam tafsirnya ia menghimpun banyak hal secara panjang lebar

25

Abdu al-‘Azi>zi> Ha>ji>, ,Tafsi>r a>ya>t al-‘A qi>dah. (Kairo : dar al-S}a>bu>ni, 2003, volII) 490.

26

Muh{ammad h}usain Al-Dhahabi>,A l-Tafsīr wa al-Mufassirūn,vol 1, 85.

27

Abdu al-H}ali>m Mah}mu>d,Mana>hij al-Mufasiri>n,132.

28

Ibid,. 139. LihatMuhammad Ibrahim ‘Abdu al-Rahman,Manhaj al-Fakhr al-Ra>zi> fi> al-T afsi>r,


(40)

17

yang tidak diperlukan dalam ilmu tafsir. Sehingga sebagian ulama berkata, di dalamnya ada segala sesuatu, kecuali tafsir.29

5) Kalau ia menemui sebuah ayat hukum, maka ia selalu menyebutkan semua mazhab fuqaha. Akan tetapi, ia lebih cenderung kepada mazhab Syafi’i> yang merupakan pegangannya dalam ibadah dan muamalat.30

6) Al-Ra>zi> menambahkan dari apa-apa yang telah disebutkan di atas banyak masalah tentang ilmuUs}ul, Balagah, Nahwudan yang lainnya, sekalipun masalah ini dibahas tidak secara panjang lebar sebagaimana halnya pembahasan ilmu biologi, matematika dan filsafat.31

7) Menggunakan metode tanya jawab dalam menjelaskan berbagai macam persoalan yang ada dalam tiap-tiap surah. Dan memunculkan berbagai macam persoalan pada tiap-tiap pembahasan. Dapat dilihat contoh pada halaman yang lain.32

Tafsir Mafa>tih} al-Ghaib ini disusun oleh al-Ra>zi> secara berurutan,

ayat demi ayat dan surat demi surat. Semuanya sesuai dengan urutan yang

ada di dalam mushaf, dimulai dari penafsiran terhadap surat al-Fa>tih}ah,

al-Baqarah sampai al-Na>s.Disamping itu pula di dalam kitab Mafa>tih} al-Ghaib ini terdapat berbagai pembahasan mulai kebahasaan, sastra, fikih, ilmu kalam, filsafat, ilmu eksakta, fisika, falak dan lainnya. Maka

29

Abdu al-H}ali>m Mah}mu>d,Mana>hij al-Mufasiri>n,140.

30

Ibid,.143.

31

Ibid,.146

32


(41)

18

wajarlah jika tafsir Mafa>tih} al-Ghaib ini dikategorikan kedalam kitab tafsir yang sangat luas penjelasannya dan terperinci. Karena tafsir Mafa>ti>h} al-Ghaib ini termasuk katagori tafsir dengan methodetah}li>liy.

Penafsiran tah}liliy adalah methode penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan cara menjelaskan ayat-ayat al-Quran dalam berbagai aspek, serta menjelaskan maksud yang terkandung di dalamnya. sehingga kegiatan mufassir menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat, makna lafal tertentu, susunan kalimat, persesuaian kalimat satu dengan kalimat lain, asbabun nuzul, nasikh mansukh, yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan.33

Berikutnya methode ini juga mengemukakan korelasi (munasabah) baik antar ayat maupun surat, menjelaskan latar belakang turunnya surat (asbabun nuzul nya), menganalisis kosa kata dan lafadz dalam konteks bahasa Arab, menyajikan kandungan ayat secara global, menjelaskan hukum yang dapat dipetik dari ayat, lalu menerangkan ma’na dan tujuan syara’ yang terkandung dalam ayat. Untuk corak tafsir ilmu dan sosial kemasyarakatan, teologi biasanya penulis memperkuat argumentasinya

dengan mengutip pendapat para ilmuwan dan teori ilmiah kontemporer.34

33

Muh}ammad H}usain al-Dhahabi>,Buh}u>th fi>‘Ulu>m al-Tafsi>r, Kairo: Dar al-H}adith, 2005. 74.

34

Abdu al-Rah}man al-‘Ak,Us{u>l al-Tafsi>r wa Qawa>’iduhu, Bairut: da>r al-Nafa>is, cet ke 5, 2007,


(42)

19

3. Corak Tafsir al-Ra>zi>

Tafsir al-Ra>zi> diwarnai dengan corak teologis-filosofis. Ayat-ayat yang bernuansa teologis ia gunakan visi kalam Asy’ari.

Contohnya yaitu :

:

{

} :

:

:

.

:

:

.

:

.


(43)

20

:

.

.

Pada pembahasan Surah T}aha ayat 5 yang menjelaskan tentang pengetahuan akidah. Pada tafsir al-Ra>zi> mengawali pada permasalahan pertama dengan corak kebahasaan. Ini yang menjadi cari khas al-Ra>zi> dalam karyanya yaitu tafsir Mafa>ti>h}al-Ghaib. Menurut beliau al-Ra>zi> lafadz al-Rah}ma>ni jika akhir hurufnya di berbentuk Majru>r ( dikasroh), maka faidah yang muncul terhadap lafadz tersebut menunjukan pensifatan terhadap obyek, yaitu yang maha pemurah. Namun pada kenyataanya al-Rah}manu dalam surah T}aha ayat 5 lafadz tersebut di Marfu>’ (di dhommah), maka menurut al-Ra>zi> faidahnya tidak hanya digunakan sebagai pensifatan yang maha pemurah saja, tapi lebih dari itu ia sebagai bentuk lafadz memuja dan memuji serta wujud memulyakan.

Berikutnya pada permasalahan yang ke dua pada tafsir Mafa>ti>h al-Ghaib pada pembahasan surah T}aha ayat 5 ini berkaitan dengan isi kandungan ayat tersebut yaitu tentang akidah. Menurut beliau al-Ra>zi>jika ayat tersebut difahami

35


(44)

21

secara dhohir teks lafadz bahwa dzat Allah maha pemurah sedang duduk berada di al-‘Arsh-Nya. sungguh pemahaman seperti ini sangat bertentangan sekali dengan doktrin-doktrin ash’ari dan sangat tidak mungkin (Mushtah}il).

Yang pertama. Allah swt adalah dzat maha pemurah, keberadaanya tidak membutuhkan tempat apapun bentuknya, baik kursi, singggah-sana ataupun al-‘Arsh. Untuk menciptakan makhluk-makhluknya, Allah swt tidak membutuhkan tempat untuk menciptakanya. Bahkan Dia adalah maha kaya segala-galanya.

Yang kedua. Jika Allah swt bertempat dan duduk di kusi al-‘Arsh, maka ada bagian yang digunakan untuk menempati-Nya harus utuh berbentuk yang pastinya terdiri dari beberapa hal (Murakkab). Namun sesuatu hal yang tersusun dan terdiri dari sesuatu adalah hal yang baru dan tercipta, sedangkan Allah swt Mushtah}il terhadap itu.

Yang ketiga. Jika sesuatu obyek menempati diatas tempat duduk, pasti ia memiliki hukum Mutamakkinan, yaitu berpindah, bergerak dari waktu awal ke waktu berikutnya, dan ini adalah ciri dari sifat perbuatan dan gerak bentuk baru. Sedangkan bagi Allah swt yang memiliki sifat al-Qadi>m dan Qiya>mu binafsihi,

sangat tidak mungkin dimiliki oleh Allah swt sifat Mutamakkinan.

Hal inipun juga senada dengan apa yang diutarakan oleh Prof. T}aha al-Dasu>qi> H}ubaishi> yang menungkil dari pemikiran imam al-Ghazali, bahwa Allah swt jauh dari sifat al-Jihah(arah). Dia tidak menempati arah timur, barat, utara, selatan, atas dan bawah. Karena sesuatu yang membutuhkan arah maka sesuatu


(45)

22

tersebut hal yang baru, hal yang membutuhkan. Sedangkan Allah swt jauh dari itu semua.36

Selanjutnya corak tafsir Mafa>ti>h} al-Ghaib yang mempunyai nuansa kebahasaan, yaitu :

:

:

:

:

:

» :

«

:

» :

«

»

«

:

]

:

[

:

...

36

T}aha al- Dasu>qi (A l-Ja>nib al-Ila>hi> fi> fikr al-Ima>m al-Ghaza>li ‘A rd}un wa Tah}li>lun. Kairo: al Azhar Publisher, 2007,84.


(46)

23

:

/

.

:

٣ ٧

.

Dari contoh diatas Tafsir Al-Rāzi>berangkat dari lafadz yang

mempunyai arti keraguan namun lebih dari itu maknanya, seakan mempunyai makna “buruk sangka”. Untuk memperjelas pendapat beliau, selanjutnya Al-Rāzi>menampilkan hadis Nabi saw sebagai penambahan informasi untuk mempertegas arti lafadzLa>raiba, yaitu :

“Tinggalkan sesuatu yang membuatmu buruk sangka beralih kepada sesuatu yang tidak membuatmu buruk sangka.” Dari sini lafadz raib mempunyai arti yaitu Buruk sangka.

Namun tidak cukup sampai sejauh ini saja Al-Rāzi>memberikan keterangan maknanya. maka diadakanlah pula perbandingan makna dari lafadz tersebut dengan menampilkan surah al-Thur ayat 30 .

37


(47)

24

“Kamitunggu-tunggu kecelakaan menimpanya”.

Lafadz raib pada kesempatan ini mempunyai makna musibah. Yaitu masa yang ditunggu datangnya musibah atau celaka yang menimpanya.

Pada berikutnya Al-Rāzi>memasukkan pendapatnya sendiri terhadap lafadz raib pasca ia melakukan proses analisa sumber refrensi dan perbandiangan. Selanjutnya beliau memberikan kesimpulan bahwa maksud

dari kalimat yaitu menghilangkan suatu keadaan tidak cocok

yang disebabkan oleh keraguan dari arah manapun. Yaitu bahwa Al-Qur’an Al-Karim tidak ada keraguan apapun dalam kebenarannya, baik dari sisi teks lafadznya maupun isinya yang murni dari Allah swt.

Inilah salah satu bukti contoh sederhana tafsir Al-Rāzi> yang

mempunyai nuansa penafsiran berdasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran terhadap tuntutan kaidah bahasa Arab dan kesusatraan serta ilmu pengetahuan. Tidak cukup seperti itu, bahkan dalam caranya beliau mengadakan perbandingan dengan sumber yang lainya atau pendapat ulama

sebagai cara ijtihad beliau dalam tafsirbil Ra’yi.38

Selanjutnya pada persoalan fiqh. Tafsir Mafa>ti>h al-Ghaib juga

mempunyai corak hukum-hukum islam. Berikut ini contoh tafsir al-Ghaib yang mempunyai corak Fiqh.

Allah swt berfirmah :

38


(48)

25

:

؟ ةﻼ ﺼ ﻟا ﺔ ﺤ ﺼ ﻟ ًﺎط ﺮ ﺷ

:

:

:

.

ةﻼ ﺼ ﻟا

.

:

:

.

:

.

.

39


(49)

26

:

}

:

) {

:

٦

:

{

} {

}

(

{

} :

:

)

٥

{

}

(

ﻰ ﻟﺎﻌ ﺗ ﷲ

/

:

.

} :

{

مﺎﻌ ﻟاو ، ﺺ ﻨﻟا مﻮ ﻤ ﻌ ﺑ ﺔ ﻣ ﺪﻘﻤ ﻟا

.

ِﺔ

:


(50)

27

.

:

. ِن آْﺮ ُﻘْﻟا ِﺔ َﻟ َ

ﻻ َﺪِﺑ ِءﻮ ُﺿ ُﻮ

٤ ٠

Pada bagian ini, Imam al-Ra>zi> masih menggunakan logikanya dalam pembahasan ayat-ayat fiqh. Contoh diantaranya terkait pada ayat tentang tata cara berwudhu, sebelumnya ia menyoal terlebih dahulu. apakah ayat tersebut menunjukan hukum bahwa berwudhu adalah syarat sahnya sholat ?.

Al-Ra>zi> mempunyai dua pendapat dalam hal ini. Yang pertama. Menurut al-Ra>zi> bahwa syarat sah untuk dapat melaksanakan sholat yaitu bersuci dengan air. Akan tetapi bersuci dengan air bukanlah satu-satunya cara untuk dapat melaksanakan sahnya sholat, melainkan bertayamum juga dapat dilakukan pada waktu tertentu.

Yang kedua. Al-Ra>zi> berpendapat bahwa melalui surah al-Ma>idah ayat 6, Allah swt memerintahkan orang islam untuk melaksanakan sholat dengan cara berwudhu terlebih dahulu. Jika ada seseorang hendak melaksanakan sholat tanpa berwudhu, maka sesungguhnya ia telah meninggalkan perintah Allah swt, dan seseorang yang meninggalkan perinta dari Allah swt ia akan mendapatkan siksa dari-Nya.

Berikutnya al-Ra>zi> mencoba mengelaborasikan antara pendapat ulama dalam permasalahan tersebut. Dalam hal ini al-Ra>zi> menampilkan

40


(51)

28

pendapat Imam Shafi’i dan Imam Abu> H}ani>fah. Dari argumentasi kedua

ulama ini, al-Ra>zi> terlihat cendrung memilih kepada pendapat yang

mempunyai seperangkat argumentasi yang ilmiah.

Imam Shafi’i berpendapat bahwa menghadirkan niat dalam berwudhu adalah syarat wajib melengkapi rukun wudhu. Alasan Imam Shafi’i bahwa wudhu untuk melaksanakan sholat adalah perkara yang telah diwajibkan oleh

Allah swt melalui surah al-Ma>idah ayat 6 ini, dengan indikasi lafadz yaitu

Faghsilu>dan W amsah}u>, kalimat perintah ini yang memberikan suatu kesimpulan hukum wajib untuk berwudhu dalam melaksanakan sholat. Sedangkan segala sesuatu yang mempunyai hukum wajib harus mewujudkan tindakan niat didalamnya, seperti yang Allah swt utarakan dalam surah al-Baiyinah ayat 5, Allah swt berfirman :



















































٤ ١

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.

41


(52)

29

Surah al-Baiyinah inilah yang dianggap oleh imam Shafi’i mempunyai hukum, bahwa segala perintah dari Allah swt harus dilaksanakan dengan keikhlasan untuk agama, dan keikhlasan yaitu niat karena Allah swt.

Adapun pendapat Imam Abu> H}ani>fah yaitu, bahwa Niat bukanlah

suatu syarat sah untuk bisa mengerjakan wudhu. Karena Allah swt melalui

surah Al-Ma>idah ayat 6, bahwa Allah swt hanya mewajibakan untuk

membasuh 4 anggota wudhu saja, tanpa niat didalamnya. Jika perkara niat

adalah menjadi hal yang wajib maka harus ada tambahan teks berupa Naskh,

sedangkan menaskh al-Qur’an dengan qiyas dan hadis ahad hukumnya tidak boleh dan tidak bisa.

4. Sumber-sumber Tafsir al-Ra>zi>

Tafsir al-Ra>zi> memuat pandangan-pandangan para mufassir, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu al-Kalabi>, Muja>hid, Qatadah, al-Suddi>, dan Sa’id bin Jubair. Dan dalam bidang bahasa, al-Ra>zi> menukil pendapat dari perawi-perawi besar, seperti Ashamiy, Abu Ubaidah, dan dari golongan ulama seperti al-Farra, al-Ajjaj, dan al-Mubarrid. Sedangkan dalam bidang tafsir beliau menukil pendapat Muqatil bin Sulaiman Marwaziy, Abu Ishak Tsa’labiy, Abu Hasan ‘Ali bin Ahmad Wahidi, Ibnu Qutaibah, Muhammad bin Jarir al-Thabari>, Abu Bakar al-Baqillani>, Ibnu Furak (guru al-Ra>zi>), al-Qaffal al-Syasyi al-kabir, dan Ibnu Urfah.42

Adapun Ulama Mu’tazilah yang dinukil pendapatnya oleh al-Ra>zi>, diantaranya Abu Muslim al-Isfahaniy, al-Qadiy ‘Abd al-Jabba>r,

al-42


(53)

30

Zamakhsyari. Adapun pandangan al-Zamakhsyari, al-Ra>zi> menukilnya dalam rangka menolaknya dan membatalkan kehujjahannya. Pendapat-pendapat para ulama tersebut memperkaya kitab tafsir al-Ra>zi>.

2. Kelebihan dan Kekurangan

Ada beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh tafsir Al-Rāzi>yang ditemukan bagi yang meneliti tafsir ini, antara lain sebagai berikut:

1. Mengutamakan tentang munasabah surat-surah Al-Quran dan ayat-ayatnya satu sama lain sehingga beliau menjelaskan hikmah-hikmah yang terdapat dalam urutan Al-Quran dan ayat dengan keilmuan yang berkembang.43

2. Membubuhkan banyak pendapat para ahli, baik ahli falsafah, ahli ilmu kalam, ahli fikhi dan lain-lain.44

3. Kalau beliau menemui ayat hukum, maka beliau selalu menyebutkan semua madzhab fuqaha. Akan tetapi, ia lebih cenderung kepada madzhab

Syafī’iyang merupakan pegangannya dalam ibadah dan mu’amalat.45

4. Al-Rāzi>menambahkan dari apa yang telah disebutkan di atas, dengan masalah tentang ilmu ushul, balaghah, nahwu dan yang lainnya, sekalipun masalah ini dibahas tidak secara panjang lebar.46

5. Beliau melengkapi tafsirnya dengan menjelaskan Asbab al-Nuzul.47

43

Muh}ammad Qa>sim,Dira>sa>t Fi> Mana>hij al-Mufassiri>n, Muqarrar bi Ja>miah al-Azhat, tth. 74. 44

Ibid,.

45

Ibid,.

46

Ibid,.

47


(54)

31

Adapun kekurangan yang terdapat dalam tafsir Al-Rāzi>, ada beberapa pandangan Ulama mengenai hal ini, antara lain:

1. Al-Dhahabi menukil dari perkataan Abu Hayan (w. 988H/1580 M) beliau

berkata: “Dalam tafsir Al-Kabīr, Al-Rāzi>telah mengumpulkan berbagai hal yang tidak mempunyai kaitan dengan masalah penafsiran ayat

Al-Quran,” lebih tegas lagi, sebagian ulama ada yang mengatakan: “ Segala

hal dapat ditemukan dalam kitab Tafsīr Kabīr, kecuali penafsiran

Al-Quran,”48

2. Manna’A l-Qaṭṭan mengemukakan bahwa: “Ilmu aqliyah mendominasi isi

kitab Tafsīr Al-Kabīr, sehingga bisa dikatakan bahwa kitab tafsir ini telah keluar dari ruh tafsir Al-Quran,”49

3. Prof. Qurai Syihab menukil dari Syekh Rāsyid Riḍa (w. 1935 M) beliau berkata: “Al-Rāzi>adalah orang ahli tafsir yang sangat sedikit mengetahui

tentang sunnah,”50

4. Husain al-Dhahabi menukil dari Ibnu Ḥ ajārAl-‘Asqalāni(w. 852 H/1448 M) didalam kitab lisān Al-Mizān mengemukakan bahwa saya membaca dalam ikṡir fil ilmi at-Tafsīr yang disusun oleh At-Tūfi, ia mengatakan bahwa banyak kekurangan yang ditemukan alam kitabTafsīr Al-Kabīr,51

Diantara beberapa kritikan yang menghujat metode yang dipakaiImām A l-Rāzi>, sebenarnya beliau beralasan bahwa, yang dilakukan itu lebi baik dari pada penafsiran Al-Quran dengan hanya berkutat pada pembahasan gramatika

48

Husai Al-Dhahabi>,A t-T afsīr wal Mufassirūn, 296.

49

Manna’ Al-Qaṭṭan,Maba>h}ṡfil ‘ulum A l-Qurān, (Riyad, 1973 ) 288.

50

Quraish Syihab,Rasionalitas A l-Quran, (Jakarta: Pustaka Hidayat, 1994) 136.

51


(55)

32

dan sastra suatu ayat.52 Para penafsir perlu mengungkapakan segala rahasia yang dikandung Al-Quran melalui ilmu pengetahuan yang telah dikuasai, dengan demikian akan tampak kekuasaan Allah dan mukjizat Al-Quran dalam bidang ilmu pengetahuan disamping hanya bidang tata bahasa dan sastra saja.

Apalagi kalau hanya berkutat pada masalah fiqhiyah saja, maka akan terkesan seakan-akan Al-Quran hanya sebagai sumber hukum saja, padahal Al-Quran itu. Disamping sebagai sumber hukum, ia juga merupakan sumber segala macam ilmu pengetahuan lainnya. Para ahli tafsir seharusnya menggali beberapa ilmu pengetahuan yang dikandung Quran, karna ayat-ayat Al-Quran banyak bercerita tentang rahasia alam, manusia, berbagai cabang ilmu pengetahuan, dan anjuran untuk mengkaji itu semua, jumlahnya lebih banyak kalau dibandingkan dengan ayat-ayat ahkam yang berjumlah tidak lebih dari 200 ayat saja.

52


(56)

BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah menelaah kajian kalimat Tauhid dalam tafsir Mafa>tih} al-Ghaib karya fakhruddin al-Ra>zi>, maka selanjutnya dapat disimpulkan kajian ini dalam beberapa hal, diantaranya yaitu:

1. Imam al-Ra>zi>adalah ulama tafsir yang mempunyai keahlian disiplin ilmu pengetahuan, baik ilmu filsafat, ilmu sains, ilmu tafsir dan ilmu tauhid. Ketika al-Ra>zi> mulai menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan kalimat tauhid, karakter beliau dalam menafsirkan berangkat dari bahasa tidak ketinggalan untuk mengawali itu semua. Seperti yang beliau tafsirkan pada al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 163.

Al-Ra>zi> menejalaskan bahwa lafadz ٌﺪ ِﺣ اَو pada ayat tersebut memiliki dua makna dalam pengucapan manusia. Yang pertama lafadz yang memeiliki makna kalimat isim (benda), dan yang kedua lafadz yang memiliki makna sifat.

Ketika lafadz tersebut dijadikan sebagai kata benda, maka yang terjadi adalah nama bilangan, seperti angka satu (1 ) dua (2) dan seterusnya. Akan tetapi jika lafdz tersebut dijadikan kata sifat maka


(57)

yang terjadi yaitu pensifat-an terhadap obyek tersebut, seperti saya berjalan dengan seorang laki-laki, maksudnya seorang diri saja.

Dan ketika pengertian ini dinisbatkan kepada Allah swt boleh saja memakai keduanya. Yaitu yang pertama apabila bermakna sebagai kata sifat maka seperti Allah ‘al-Qa>dir, Allah al-‘A >lim, (Allah maha Kuasa, Allah maha Mengetahui. Dan yang kedua apabila digunakan sebagai makna kalimat isim (benda), yang mempunyai arti bilangan, maka bilangan ini yang menjadi kalimat penguat dan penegas obyek tersebut, seperti , Tuhan satu, Tuhan tunggal dan Tuhan Esa. 2. Selanjutnya methode al-Ra>zi> dalam mendiskripsikan pengetahuan

tauhid yang terkandung pada ayat al-Qur’an, terlihat jelas bahwa cara yang digunakan oleh beliau seperti pada umumnya ulama mutakallim sunni dari jumhur ulama yang pada umumnya menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan hadis, dengan pendapat sahabat serta pendapat salafu salih. Hal itu terlihat jelas ketika al-Ra>zi> berbicara tentang sifat Allah swt yang Maha Esa.

Bahwa Allah satu (esa) dhatnya tidak tersusun dari kumpulan hal-hal banyak. Jika hal itu sampai terjadi, maka dhat tersebut menerima partikel-partikel kecil untuk membentuk keberadaan dirinya untuk berada, dan itu mustahil bagi Allah. Karena dzat Allah tidak terbilang, tidak terbagi dan tidak pula tersusun. Maksud disini yang hendak disampaikan oleh al-Ra>zi>, bahwa sifat Esa itu bukanlah dzat, atau


(58)

sesuatu zat yang lain. melainkan Ia (esa) melekat pada dzat sejak azali.

Bahwa wujud ke-esa-an Allah tidak berhubungan dengan dzat-dzat lainya. Jika hal tersebut sampai terjadi maka yang terjadi yaitu pencampuran dengan dzat-dzat lainya, dan dzat Allah mustahil bisa bercampur dan dicampur dengan lainya. Hal ini ditekannya pula oleh al-Ra>zi> dalam surah al-Anbiya ayat 22 .

3. Ketika pembahasan beralih pada sifat Allah swt yaitu Ada (wujud), maka al-Ra>zi> sering kali menekan pada daya berfikir dan olah otak manusia. Karena untuk dapat menemukan bahwa sifat Allah swt maha Ada itu nyata, maka obyek keberadaan alam semesta, alam sekitar serta proses sitem lingkungan kehidupan yang tiap waktu bergulir harus diperhatikan dan difikirkan, karena jalan kesanalah yang akan memberikan pengetahuan lebih atas keagungan Allah swt. Hal itu seperti yang al-Ra>zi> tafsirkan pada al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 21 dan 22.

Allah swt menciptakan bumi sebagai hamparan manusia, langit sebagai atap, Allah swt menurunkan hujan agar dapat membasai bumi yang akhirnya akan tumbuh kemanfaatan berupa biji-bijian dan buah-buahan. Hal semacam itu imam al-Ra>zi>tekankan kepada seluruh umat Islam agar memperhatikan proses kejadian lingkungan hidup ini, sebagai bukti wujud Allah swt maha Esa dan Kuasa.


(59)

B. SARAN-SARAN

Setelah penulis memaparkan kajian tafsir kalimat tauhid dalam tafsir Mafa>ti>h al-Ghaib karya Fakhruddin al-Ra<zi>, selanjutnya penulis akan memberikan sarab sebagai berikut:

1. Penulis hanya mengkaji bagian terkecil tauhid tema al-Illa>hiya<t pada tafsir Mafa<tih} al-Ghaib karya Fakhruddin al-Ra>zi>, jauh dari kesempurnaan kajian ini dan masih banyak perlu pengembangan kajian lebih mendalam, oleh karena itu penulis mengharpakan ada penelitian atau kajian lain yang mengkaji ayat-ayat tauhid dalam al-Qur’an prespektif tafsir Mafa>ti>h al-Ghaib.

2. Kajian ini masih bersifat deskriftif tanpa ada komperatif dari kalangan para ulama tafsir lainya, untuk itu penulis berharap kedepanya ada kajian yang berupaya memadukan kajian tafsir ayat tauhif versi al-Ra>zi> dengan ulama tafsir lainya. Sehingga nantinya dapat diketahui methode al-Ra>zi> dari sudut luar.

3. Begitu pentingnya pengetahuan Tauhid yang disampaikan al-Ra<zi> pada kitabnya di Bab awal yaitu ‘A ja<ib al-Qur’an, bahkan jauh lebih penting daripada pengetahuan (furu’) cabang dari ilmu agama Islam, al-Ra>zi> mewajibkan untuk dipelejari lebih dahulu dari ilmu-ilmu lainya, karena pengetahuan tauhid akan mengantarkan kepada kesadaran diri untuk mengenal kepada Allah swt, oleh karena itu penulis berharap porsi pembahasan ilmu Tauhid dikalangan cendikiawan modern abad saat ini dapat memberikan perhatiannya


(60)

besar untuk mengkaji ilmu tauhid, demi terwujudnya konsep-konsep tauhid lainya yang bermanfaat pada karakter remaja saat ini.


(1)

sesuatu zat yang lain. melainkan Ia (esa) melekat pada dzat sejak azali.

Bahwa wujud ke-esa-an Allah tidak berhubungan dengan dzat-dzat lainya. Jika hal tersebut sampai terjadi maka yang terjadi yaitu pencampuran dengan dzat-dzat lainya, dan dzat Allah mustahil bisa bercampur dan dicampur dengan lainya. Hal ini ditekannya pula oleh al-Ra>zi> dalam surah al-Anbiya ayat 22 .

3. Ketika pembahasan beralih pada sifat Allah swt yaitu Ada (wujud),

maka al-Ra>zi> sering kali menekan pada daya berfikir dan olah otak manusia. Karena untuk dapat menemukan bahwa sifat Allah swt maha Ada itu nyata, maka obyek keberadaan alam semesta, alam sekitar serta proses sitem lingkungan kehidupan yang tiap waktu bergulir harus diperhatikan dan difikirkan, karena jalan kesanalah yang akan memberikan pengetahuan lebih atas keagungan Allah swt. Hal itu seperti yang al-Ra>zi> tafsirkan pada al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 21 dan 22.

Allah swt menciptakan bumi sebagai hamparan manusia, langit sebagai atap, Allah swt menurunkan hujan agar dapat membasai bumi yang akhirnya akan tumbuh kemanfaatan berupa biji-bijian dan buah-buahan. Hal semacam itu imam al-Ra>zi>tekankan kepada seluruh umat Islam agar memperhatikan proses kejadian lingkungan hidup ini, sebagai bukti wujud Allah swt maha Esa dan Kuasa.


(2)

B. SARAN-SARAN

Setelah penulis memaparkan kajian tafsir kalimat tauhid dalam tafsir Mafa>ti>h al-Ghaib karya Fakhruddin al-Ra<zi>, selanjutnya penulis akan memberikan sarab sebagai berikut:

1. Penulis hanya mengkaji bagian terkecil tauhid tema al-Illa>hiya<t pada tafsir Mafa<tih} al-Ghaib karya Fakhruddin al-Ra>zi>, jauh dari kesempurnaan kajian ini dan masih banyak perlu pengembangan kajian lebih mendalam, oleh karena itu penulis mengharpakan ada penelitian atau kajian lain yang mengkaji ayat-ayat tauhid dalam al-Qur’an prespektif tafsir Mafa>ti>h al-Ghaib.

2. Kajian ini masih bersifat deskriftif tanpa ada komperatif dari kalangan para ulama tafsir lainya, untuk itu penulis berharap kedepanya ada kajian yang berupaya memadukan kajian tafsir ayat tauhif versi al-Ra>zi> dengan ulama tafsir lainya. Sehingga nantinya dapat diketahui methode al-Ra>zi> dari sudut luar.

3. Begitu pentingnya pengetahuan Tauhid yang disampaikan al-Ra<zi> pada kitabnya di Bab awal yaitu ‘A ja<ib al-Qur’an, bahkan jauh lebih penting daripada pengetahuan (furu’) cabang dari ilmu agama Islam, al-Ra>zi> mewajibkan untuk dipelejari lebih dahulu dari ilmu-ilmu lainya, karena pengetahuan tauhid akan mengantarkan kepada kesadaran diri untuk mengenal kepada Allah swt, oleh karena itu penulis berharap porsi pembahasan ilmu Tauhid dikalangan cendikiawan modern abad saat ini dapat memberikan perhatiannya


(3)

besar untuk mengkaji ilmu tauhid, demi terwujudnya konsep-konsep tauhid lainya yang bermanfaat pada karakter remaja saat ini.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

---, al-Nubuwwa>t wa al-Sam’iya>t min Maba>h}ith Ilm al-Kala<m, Kairo : Maktabah

al-Ja>mi’ah al-Azhar, 2010 M

---,Tafsi>r al-Kabi>r. Bairut : dar–Ih}ya> al-Tura>s

‘Ima>rah, Muhammad,Rasa>il al-‘A dl wa al-Tauh}i>d, Kairo: Dar al-Sh}uru>q, 1988.

Anwar, Rosihon,Ilmu Tafsir.Bandung: Pustaka Setia, t.t.

Ashqar (Al), ‘Umar Sulaima>n,al-‘A qi>dah Fillah. Kuait : Maktabah al-Falah,1984.

Aswadi, “Konsep Shifa>’ Dalam Tafsir Mafa>ti>h{ al-Ghaib Karya Fakhruddi>n al-Ra>zi>

(Desertasi—UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta 2007),

Badawi (Al), Abdul al-Rahman, al-Madha>hib al-Islma>miyah. Bairut : Dar al-Ilmi lil

Mala>yi>n.1983.

Baqi’ (Al),‘Abdul, Muhammad Fu’ad, al-Mu’jam al-Mfahras li al-fa>z{ al-Qur’an. Bairut : dar

al-Fikr, 1992.

Dasu>qi (Al), T}aha }, A l-Ja>nib al-Ila>hi> fi> fikr al-Ima>m al-Ghaza>li ‘A rd}un wa Tah}li>lun. Kairo:

al-Azhar Publisher, 2007.

wudi (Al),Kasyīf al-Zuhūn, Madinah: 1999.


(5)

Dimasyqi (Al), Ali bin Ali bin Muhammad bin Abi ‘Izu,Sharh al-‘A qidah al-T}ah}awiyah. Riyad

: dar ‘A>lim al-Kutub, 1997.

Eriyanto, Analisis isi Pengantar Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Edisi ke- 2 2013.

H}a>ji>,Abdul al-‘Azizi>,Tafsi>r a>ya>t al-‘A qi>dah. Kairo : dar al-S}a>bu>ni, 2003.

asān, Siddiq,A bjad A l-‘Ulum, Kairo 1989.

Isma’īl, Sha’bān Muammad, , Uul A l-Fiqh Tarīkhuhū wa Rijāluhū, Mekah : Dār As-Salām,

1998.

Jauhari, Muhammad Rabi’, al-Khari>dah al-Bahiyah fi > al-‘A qidah al-Isla>miyah. Kairo:

Maktabah al-Ja>mi’ah al-Azhar, 2010.

Jurja>ni, al-Ta’rifa>t, Kairo: Maktabah al-Qur’a>n, 2003.

Juwaini > (Al), Abdullah bin Yusuf>, al-Sha>mil fi> Us}u>l al-Di>n, Bairu: dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,

1999.

Ka>fi>ji (Al), Sulaima>n, al-Taisi>r fi> Qawa>’idi ‘Ilmi al-Tafsi>r, Bairut: Da>r al-Qalam, cet ke 1 1990. Mah}mu>d, ‘Abdu al-H}ali>m,Mana>hij al-Mufasiri>n, Kairo: Maktabah al-I>ma>n, cet II 2003.

Masir (Al), Sayid Ahmad,‘Ilm al-Tauhid. Kairo : Private Publisher, 1999.

Namīr (Al), Abd Mu’im,Ilmu A l-Tafsīr. Kairo dar kutub al-Miri,1985.

Qa>sim, Muh}ammad, Dira>sa>t Fi> Mana>hij al-Mufassiri>n, Muqarrar bi Ja>miah al-Azhat, tth. Qaṭṭan (Al),Manna’,Maba>h} fi> ‘ulu>m A l-Qurān, (Riyad, 1973 ) 288.


(6)

Rah}man (al), Abdu al-‘Ak, Us{u>l al-Tafsi>r wa Qawa>’iduhu, Bairut: da>r al-Nafa>is, cet ke 5, 2007. Rahma>n (Al),‘Abdul, Muhammad Ibra>him, Manhaj Fakhr al-Ra>zi al-Tafsi>r bayna Mana>hij

Mu’as}iriyyah. Madinah : Hafiz} al-Badriy, tt.

Shafi (Al), Muhidin, Muh}azara>t fi> al-‘A qi>dah al-Isla>miyah. Kairo : Maktabah al-Ja>mi’ah

al-Azhar, 2010 M

Shafi’I, Mahmud,al-Madkhal ila dira>sat ‘Ilm al-Kala>m. Kairo : Maktabah wahbah1991 M.

Shaikh (Al), ‘Abdul Rahman Husin,Fath}ul al-Maji>d Sharh} kita>b al-Tauhid. Bairut : dar al-Fikr ,

1992.

Shaltu<t, Muhammad, ‘Aqidah wa Shari’ah, Kairo: da>r al-Shuru>q, cet ke 19, 2007. Syihab, Quraish,Rasionalitas A l-Quran, Jakarta: Pustaka Hidayat, 1994.

Tim jurusan Aqidah dan Fisafa, Dira>sa>t fi> al-‘Aqi>dah al-Isla>miyyah, Private Publiher al-Azhar, 2008.