Kehendak Allah perspektif Fakhruddin al-Razy dan Zamakhshary; tinjauan komparatif dalam Tafsir Mafatihul Ghaib dan al-Kashf.

KEHENDAK ALLAH
PERSPEKTIF FAKHRUDDI>N AL-RAr Mafan al-Ra>zy ......................... 56
B. Kehendak Allah Perspektif Zamakhs}hary ................................... 60
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 70
B. Saran .............................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbedaan penafsiran cenderung tidak pernah terjadi pada masa penurunan
al-Quran. Hal ini dikarenakan Nabi Saw. Menjadi otoritas tunggal penafsiran alQuran.1 Ibnu Khaldun menjelaskan:
Nabi muhammad SAW. Merupakan seorang penjelas/penafsir (almubayin) Nabi Muhammad SAW. Menjelaskan ayat-ayat yang masih
bersifat umum (mujmal), memilih antara ayat yang menghapus (nasihk)
dan ayat yang dihapus (mansukh) mengajarkannya kepada para sahabat
sehingga mereka mengetahuinya, dan mengetahui sebab-sebab turunnya
ayat beserta konteksnya (asbabun an-nuzul).2
Dengan status semacam ini, setiap interpretasi Nabi Saw. tidak lain adalah

acuan otoritatif yang memiliki nillai kebenarannya tersendiri. Jikapun para
sahabat menafsirkan suatu ayat, Nabi Saw. selalu berperan dalam memverifikasi
keabsahan tafsirnya. Dengan demikian, dinamika tafsir hanya berputar pada
otoritas Nabi Saw. namun setelah Nabi Saw, otoritas penafsiran menyebar pada
sosok sahabt. Pada titik inilah piranti tafsir tidak hanya berpijak pada al-Quran
dan Sunnah. Penafsiran sudah melibatkan piranti lain, seperti syair Jahili,
Israiliyat, hingga penalaran murni (al-Ra’yu), sehingga perbedaan menjadi suatu
keniscayaan historis tersendiri.

Fahmi Farid Purnama, “Struktur Nalar Teologi Islam Perspektif Josef Van Ess; Analisa atas
Orisinilitas dan Keterpengaruhan Nalar kalam”, dalam Jurnal Studi Islam dan Sosial, Vol. 13
(Surabaya: 2015), 197
2
„Abd-alRahman Ibn Khaldun, al-muqaddimah, Editor „Abd al-Salamal-Saddadi, (al-Dar alBaida, 2005),Cet . I, Vol. V, 196.
1

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


2

Gholdziher mengasumsikan Nabi Muhammad Saw. bukan lah seorang
teoritikus teologi.3 Benih-benih proses epistemifikasi teologi Islam justru bermula
setelah wafatnya Nabi Saw. yang dipicu oleh konflik politik terkait suksesi
kepemimpinannya (khilafah). Konsentlasi politik yang dipicu permasalahan
khilafah ini bahkan semakin memanas pasca terbunuhnya Khalifah Utsman ibn
„Affan ra, kemudian memuncak pada mas kepemimpinan „Ali Abi Thalib ra yang
terabadikan dalam peristiwa al-Tahkim (arbitrase). Dengan demikian, perbedaan
sikap politik diasumsikan menjadi pemicu awal kemunculan berbagai sekte Islam,
seperti Khawarij, Syia‟ah, dan Sunni.4
Allah mempunyai sifat wajib, yaitu (iradah)5 yang merupakan sifat
kesempurnaan Allah seperti sifat-sifat lainnya. Sifat iradah juga berfungsi sebagai
penentu suatu pekerjaan yang dilakukan sekarang atau nanti dalam pertimbangan
yang sama. Sifat iradah juga dibatasi bukan hanya sunnah saja, tetapi oleh sunnah
Allah secara umum6. Kata sunnah Allah sering dipakai oleh Muhammad Abduh7.
Adanya perbedaan pendapat aliran-aliran ilmu kalam mengenai kekuatan
akal, fungsi wahyu, kebebasan atau kehendak manusia telah memunculkan pula
perbedaan tentang kehendak mutlak Tuhan.
Pangkal persoalan kehendak Tuhan adalah keberadaan Tuhan sebagai

pencipta alam semesta. Oleh karenanya, Tuhan haruslah mengatasi segala hal
yang ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu. Ia adalah eksistensi
3

Ignaz Ghodziher, Itroduction to Islamic Theology and Law, Alih Bahasa Inggris oleh Andras dan
Ruth Hamori (New Jersey: Princention University Press, 1981), 67.
4
Abduh Faragh, Ma’ali al-Fikr al-Falsafi Fi al-‘Usur al-Wasati (Cairo: Maktabah al-Angeole alMiriyah, 1969), cet. I, 49.
5
Kehendak Mutlak Tuhan
6
Putra Eka, Restorasi Teologi. (Bandung: Nuasa Aulia),20
7
Tafsir Al-Manar. 190

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas karena tidak ada

eksistensi yang lain yang melampaui dan mengatasi eksistensi-Nya8.
Dalam islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran
yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisionil, dan ada pula yang mempunyai
sifat antara liberal dan tradisionil. Hal ini mungkin ada hikmahnya. Bagi orang
yang bersifat tradisionil mungkin lebih sesuai dengan jiwanya teologi tradisionil,
sedangkan orang yang bersifat liberal dalam pemikirannya lebih dapat menerima
ajaran-ajaran teologi liberal.9
Kedua corak teologi ini, liberal dan tradisional, tidak bertentangan dengan
ajaran-ajaran dasar Islam. Dengan demikian orang yang memilih mana saja dari
aliran-aliran itu sebagai ideologi yang dianutnya, tidak lah pula menyebabkan ia
menjadi keluar dari Islam.
Dalam agama Kristen teologi tidak hanya memberikan suatu pemahaman
suatu pertahanan rasional untuk suatu keyakinan, tetapi juga ia juga berusaha
memberikan suatu „pintu masuk‟ realitas tertinggi bagi kehidupan spirit (jiwa)
seperti yang ditemukan dalam teologi mistik Dionysius the Areopagite atau,
dalam kontek Protestan dalam theologica Germanica Martin Luther. Hal yang
seperti ini tidak terjadi dalam Islam, di mana kalam, yang secara literal berarti
“kata,” telah berkembang menjadi “ilmu yang menunjang tanggung jawab
kepercayaan-kepercayaan agama yang mapan secara kokoh, memberi bukti dan
menghalau keraguan” ekspresi-ekspresi spiritual dan intelektual yang terdalam

Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (jakarta, UI Press:2006),
70
9
Harun Nasution,Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah analisa dan perbandingan, (Jakarta;
Penerbit Universitas Indonesia UI Press, 1996), hal 78
8

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

pada Islam tidak bisa di temukan dalam karya-karya kalam. Walaupun demikian
ilmu ini adalah penting untuk memahami aspek-aspek khusus pemikiran Islam,
dan harus menjadi sesuatu yang diperhatikan dalam setiap karya yang keliatannya
ditujukan bagi maniestasi-manifestasi spiritual Islam10.
Memang Ilmu Kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal
pada masa Rasulullah saw, maupun pada masa sahabat Nabi. Setelah Islam
tersebar luas di negeri-negeri diluar jazirah Arab, dan muncullah berbagai aliran
faham, teruma yang banyak membicarakan masalah metafisika atau masalah
abstrak, maka muncullah Ilmu Kalam ini, baik sebagai doktrin yang berisfat

apologis11(berisikan pembelaan) meupun karena terpengaruh oleh faham lain atau
karena sebab-sebab dari dalam Islam sendiri.
Salah satu problematka teologi (Ilmu Kalam) yang sampai sekarang masih
perlu untuk diteliti dan dikembangkan adalah persoalan Kehendak. Kehendak atau
yang dalam bahasa ara disebut dengan Sya a merupakan masalah pelik dan
mendasar, bahkan bisa mempengaruhi keimanan seseorang kepada Allah Swt. jika
tidak dipaham sesuai dengan tujuan menurut syariat Islam.
Dalam kehidupan kaum muslimin, di mana sejarah mencatat bahwa kaum
muslimin sepeninggal Rasulullah SAW. Setelah terbagi kepada beberapa aliran
dalam bidang Teologi yang semulanya hanya dilatar belakangi oleh persoalan
politik, seperti : Jabariyah, Qadariyah, Mu‟tazilah, Asy‟ariyah dan Maturidiyah.
Masing-masing aliran berbeda pendapat dalam mengemukakan konsep mereka
dalam bidang teologi, di samping disebabkan karena mamang munculnya
10

Seyyed Hosssein Nasr, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis, (Yoyakarta; CIIS
(Centere For International Islamic Studies, 1996),
11
Lorens Bagus,Kamus Filsafat, (jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 67


digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

perbedaan itu terkait langsung dengan perbedaan kecenderungan, tingkat
pengetahuan dan pengalaman, juga disebabkan karena di antara dasar-dasar
agama, baik yang terdapat dalam al-Qur‟an maupun hadis Nabi memberikan
peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan peluang untuk
munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan interpretasi, khususnya dalam
lapangan teologi seperti masalah sifat-sifat Tuhan, perbuatan manusia dan
perbuatan Tuhan, keadilan, kehendak muthlak Tuhan,
Sebuah karya tafsir tidak dapat terlepas dari pengaruh seorang mufasir.
Para mufasir yang memiliki latar belakang yang berbeda sangat menentukan hasil
penafsirannya. Latar belakang adanya perbedaan tersebut mendorong untuk
diadakannya penelitian tentang faktor yang mempengarui pemaknaan kata
kehendak. Penelitian dilakukan pada tiga karya tafsir, yaitu: Mafatihul Ghaib
karya Fahruddin ar-Arazi, Tafsir al-Kasf, karya Zamaksari.
Ketiga latar belakang yang berbeda serta bentuk dan pendekatan
penafsiran yang berbeda diharapkan dapat mewakili keseluruhan hasil penafsiran
terhadap kata Sya a dalam hidayah dan kata-kata yang seakar dengannya. Akibat

keragaman penafsiran yang dimunculkan tersebut dapat ditemukan kemungkinankemungkinan makna kata Sya a dan lebih beragam dan luas. Pemaknaan secara
luas dan sempit memiliki implikasi yang berbeda terhadap keyakinan dan amalan
umat Islam terhadap Islam yang dipahami mereka. Pemahaman dan keyakinan
tersebut mendasari penilaian dan perlakuan mereka terhadap orang lain di luar
pemahaman dan keyakinan yang diakui mereka.
B. Identifikasi Masalah

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

Usaha untuk memahami kata Sya a dan kata-kata yang seakar dengannya
dapat ditinjau dari berbagai aspek. Penelitian dapat dilakukan melalui:
1. Faktor yang mempengaruhi terhadap dua mufassir.
2. Konsep Kehendak dalam al-Quran menurut Tafsi>r Mafatihul Ghaib dan

Tafsi>r al-Kasyf
3. Di dalam al-Qur‟an terdapat 36 kata Sya a bergandeng dengan hidayah yang
membahas


tentang kehendak Allah. Mengingat

permasalahan

yang

teridentifikasi serta untuk efisiensi waktu dan tenaga, maka dalam kajian ini
akan ada pembatasan masalah. Pembatasan masalah dilakukan agar kajian ini
dapat memenuhi target dengan hasil yang maksimal. Pembatasan masalah
yang dimaksud, yaitu akan difokuskan pada konsep kehendak Allah serta
orang yang di beri hidayah dalam Surat An fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n karya Jala>lu ad-Di>n as-Suyu>t}i>,
4) Islam and Modernism: A Study of The Modern Reform Movement Inaugurated
by Muhamamd Abduh karya Charles C. Adams.

5) Qur’anic Society karya M. Ali Nurdin.
6) Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab.
7) Tafsir al-Azhar karya Hamka.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


14

8) Metode Penelitian al-Qur’an dan Tafsir karya Abdul Mustaqim.
9) Metodologi Penelitian al-Qur’an karya Nashruddin Baidan.
Sumber Data Sekunder, bersumber dari penelitian berupa buku,
skripsi dan jurnal yang disusun untuk menghadirkan berbagai cara pandang
dalam melihat masalah yang hendak diteliti.
H. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan hasil penelitian, dibutuhkan sebuah sistematika agar
pembahasan menjadi sistematis dan tidak keluar dari fokus pembahasan.
Penelitian terbagi menjadi lima bab, yaitu sebagai berikut:
Sistematika pembahasan pada skripsi ini terdiri dari lima bab yang
masing-masing menempatkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu
kesatuan yang berhubungan sehingga tidak dapat dipisahkan.
Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi: Latar Belakang
Masalah, Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Kegunaan

Penelitian,


Telaah

Pustaka,

Metode

Penelitian,

Sistematika

Pembahasan. Dalam bab pendahuluan ini tampak penggambaran isi skripsi secara
keseluruhan namun dalam satu kesatuan yang ringkas dan padat guna menjadi
pedoman bab kedua, ketiga, keempat dan kelima.
Bab kedua berisi tinjauan umum kehendak Allah, yang terdiri dari
definisi kehendak Allah, kehendak Allah tentang hidayah, kehendak Allah
perspektif Sunni, kehendak Allah perspektif muktazilah. Dan berisi tentang
biografi tafsir Mafatihul Ghaib (Fakhrudin al-Razi) dan biografi tafsir al-Kasyf
(Zamakhsyari) meliputi, riwayat hidup, pengembaraan intelektual baik di bidang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

akademik, sosial, politik maupun keagamaan dan beberapa karya keduanya yang
fenomenal yang dijadikan bahan rujukan dalam pendidikan khusunya di bidang
keagamaan. Karya tafsir Fakhruddin al-Razi ialah Tafsi>r Mafatihul Ghaib. Karya
tafsir Zamakhsyari adalah Tafsi>r al-Kasyf.
Bab ketiga berisi penafsiran Sya a dalam surat al-An‟am ayat 149
dalam Tafsi>r Mafatihul Ghaib. Karya Fakhruddin al-Razi dan Tafsi>r al-Kasyf
karya Zamakhsyari meliputi ayat-ayat tentang Sya a (kehendak), mufradat ayat,
munasabah dan penafsiran kata Sya a dalam Tafsi>r al-Kasyf.

Tafsi>r Mafatihul Ghaib
Bab keempat berisi tentang analisis persamaan dan perbedaan
penafsiran ayat-ayat Sya a (kehendak) dalam tafsir Tafsi>r al-Kasyf. dan Mafatihul

Ghaib Dalam hal ini nantinya akan difokuskan pada metode dan faktor eksternal
yang mempengarui perbedaan antara kedua mufasir, khususnya masalah
kehendak.
Bab kelima berisi penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEHENDAK
A. Pengertian Kehendak
Secara etimologi Kata Sy>a a bermakna kehendak1. Secara terminologi
adalah suatu konsep tentang rencana Tuhan yang terjadi terhadap seluruh
makhluk ciptaannya, seperti manusia, malaikat, jin, maupun benda seluruhnya2.
Sesungguhnya kehendak Allah swt. adalah asal mula terjadinya atau
timbulnya segala sesuatu. Sayyid Quthb bahwa orang muslim meyakini bahwa
tidak ada keharusan dan tuntunan di dunia ini selain masyi>ah (kehendak) Allah
ta’ala. Apa yang dikehendakinya pasti akan terjadi, dan apa yang tidak di
kehendakinya pasti tidak akan terjadi3.
Yang demikian itu merupakan universalitas tauhid yang tidak mungkin
berdiri kecuali bersandar pada-Nya. Adapun kehendak Allah berkaitan dengan
perbuatan manusia juga tidak lepas dari hal di atas, yaitu kehendak manusia
tergantung kehendak Allah4.
Ayat al-Quran banyak menyebutkan hakikat tersebut. Allah
berfirman. berikut ini,

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
1496
1

Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (jakarta, UI Press:2006),
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, terj. As‟ad Yasin dkk (Jakarta: Gema Insani Press,
2004), 124.

2
3

16
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

               
5

          

Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan tentang sesuatu, sesungguhnya aku
akan mengerjakan ini esok pagi, kecuali dengan menyebut insyaAllah6. Dan
segera ingatlah kepada rabbbmu jika engkau lupa, lalu katakanlah, mudahmudahan rabbku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat
kebenarannya dari pada ini.7
Maksud dari firman Allah di atas adalah, siapa saja yang berencana
melakukan sesuatu esok hari, maka janganlah ia hanya mengandalkan
keinginannya saja tanpa bersandar kepada kekuatan dan izin dari sisi Allah.
Sebab, semua tidak dapat berbuat sesuatu apapun jika tidak dikehendaki oleh
Allah. Oleh karena itu, setiap harus mengerti bahwa segala sesuatu yang di
kehendakinya sangat erat hubungannya dengan petunjuk Allah, sehubungan
dengan masalah ini, Rasulullah saw. pernah mengajarkan kepada kita, seperti
yang di sebutkan dalam sabda berikut ini, ‚Abu hurairah ra. menuturkan,

sulaiman bin daud as. pernah mengatakan, ‚pada malam ini aku akan menggauli
100 orang istriku, agar setiap orang diantara mereka melahirkan seorang anak
yang dapat berperang di jalan Allah.‛ Malaikatpun berujar kepada belia, ‚

5

Al-Qur’a>n, 18: 23-24

6

Menurut riwayat, ada beberapa orang quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad saw.
tentang roh, kisah Ashabul Kahfi (penghuni gua) dan kisah dzulkarnain? Lalu beliau
menjawab, datanglah esok pagi kepadaku agar aku ceritakan. Dan beliau tidak
mengucapkan InsyaAllah (jika Allah menghendaki). Sampai esok harinya wahyu
terlambat datang untuk menceritakan hal-hal yang beliau janjikan tersebut, dan nabi tidak
dapat menjawab pertanyaan sesuai jani yang telah beliau ucap kemarin. Maka turunlah
ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada nabi, bahwa Allah mengingatkan pula bila
mana nabi lupa menyebut Insya-Allah haruslah segera menyebutkannya.
7

Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjmahnya. Juz 14 (Bandung: PT. Syaamil
Cipta Media. 2006) Hal, 345

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

katakanlah InsyaAllah.‛ Akan tetapi, nabi sulaiman tidak mengatakannya karena
beilau terlupa. Maka beliau menggauli 100 orang istri beliau satu persatu pada
malam itu, akan tetapi tidak seorang pun dari istri beliau yang berhasil
melahirkan keturunan, kecuali seorang istri yang melahirkan seorang anak dalam
kondisi cacat. Nabi saw. pun mengatakan, ‚andaikata (sulaiman) mengucapakan
kalimat insyaAllah, maka apa yang iya rencanakan (kehendaki) akan terpenuhi8.
Penjelasan dari hadis tersebut adalah, hendaknya setiap orang yang
bersungguh- sungguh ingin melakukan sesuatu, maka selayaknya ia menyadarkan
keinginannya hanya kepada Allah. Semata. Karena, ia tidak bisa melakukan
segala sesuatu jika tidak dikehendaki Allah.apabila keinginan seseorang tidak
mendapat izin dari Allah maka keinginan tersebut tidak akan pernah terwujud
sedikitpun, meski yang dikehendakinya itu sangatlalah mudah dalam pandangan
manusia.
Allah telah menciptakan dan mengatur alam semesta dan semua makhluk
yang berada di dalamnya, tentu saja Dia pula yang memiliki kehendak dan
kekuasaan yang mengatasi kehendak dan kekuasaan makhluknya. Akan tetapi,
apakah kehendak dan kekuasaan Allah tersebut bersifat mutlak ataukah terbatas,
para ulama kalam berbeda pendapat dalam menghadapinya9.

8

Diriwayatkan oleh bukhari, pada pembahasan mengenai al-Nikah, hadis no 119. Juga
pada bahasan seputar al-Jihad, hadist nomer 23. Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad
bin Hanbal dalam al-Musnad, jilid 2, hadis nomer 229, 275, dan 506.
9
A Hanafiy, Pengantar Teologi Islam. (Jakarta: Bulan Bintang 1987.) hal 78

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat dalam aliran-aliran
teologi Islam, terdapat pula mengenai kekuasaan dan kehendak mutlak Allah.
Bagi aliran ynag berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang besar, kekuasaan
Allah pada hakikatnya tidaklah bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. Adapun
aliran yang berbeda pendapat sebaliknya berpendapat bahwa kekuasaan dan
kehendak Allah tetap bersifat mutlak10.
B. Kehendak Allah dalam Pandangan Muktazilah dan Sunni
1. Muktazilah
Mu‟tazilah mengatakan bahwa Allah memiliki kehendak dan
kekuasaan yang terbatas meskipun yang membatasinya adalah kehendak Nya
sendiri11. Menurut Mu‟tazilah, yang membatasi kehendak dan kekuasaan Allah
itu adalah Kebebasan yang telah diberikan kepada Nya kepada manusia untuk
memilih dan melakukan perbuatannya, Sunnah Nya dalam mengatur alam
semesta dan makhluk Nya, Norma keadilan, Kewajiban yang telah
ditetapkannya atas dirinya terhadap manusia12.
Oleh sebab itu dalam pandangan Mu‟tazilah, kekuasaan dan kehendak
mutlak Allah berlaku dalam jalur hukum‑hukum yang tersebar di tengah alam
semesta. Itulah sebabnya kemutlakan kehendak Allah menjadi terbatas, Mereka
berkeyakinan, bahwa Allah telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan
bagi manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.

10

Ibid hal 79

11

al-Zamakhshary, al-Kashsha>f, juz 3, hal 234

Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (jakarta, UI Press:2006),
70

12

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

Dengan demikian aliran Mu‟tazilah memandang, bahwa yang
menciptakan perbuatan adalah manusia sendiri. Tidak ada hubungannya
dengan kehendak Allah, bahkan Allah menciptakan manusia sekaligus
menciptakan kemampuan dan kehendak pada diri manusia13.
Mu‟tazilah menguatkan pendapat mereka berdasarkan dalil aqli dan
naqli. Secara aqli mereka menyatakan bahwa seandainya manusia tidak diberi
potensi oleh Allah, maka ia tidak akan dibebani kewajiban. Sedangkan secara
naqli mereka menguatkan dengan beberapa ayat Al‑Quran14.

             

           

      

29. Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Allahmu; Maka
barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami
Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka
akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek”15
Kebebasan manusia yang diberikan Allah baru bermakna kalau Allah
membatasi kekuasaan dan kehendak mutlakNya16. Demikian pula keadilan
Allah membuat Allah sendiri terikat pada norma‑norma keadilan yang bila

13
14
15

al-Juwaini, Manhaj al-Zamakhshary, 40.
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 13.

Al-Qur‟an dan terjemahannya, (al-Kahfi):29.

Abd-alRahman Ibn Khaldun, al-muqaddimah, Editor „Abd al-Salamal-Saddadi, (al-Dar alBaida, 2005),Cet . I, Vol. V, 196.

16

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

dilanggar membuat Allah bersifat tidak adil atau dhalim. Dengan demikian
dalam pandangan Mu‟tazilah Allah tidaklah memperlakukan kehendak dan
kekuasaanNya secara mutlak, tetapi sudah terbatas.
Jadi ketidak mutlakan kehendak Allah itu disebab‑kan oleh kebebasan
yang diberikan Allah kepada manusia, keadilan Allah sendiri dan adanya
kewajiban‑kewajiban Allah kepada manusia serta adanya hukum alam atau
sunnahtullah.
Jadi aliran ini berpendapat, bahwa kekuasaan Allah sebenarnya tidak
mutlak lagi. Karena telah dibatasi oleh kebebasan yang telah diberikan Allah
kepada manusia dalam menentukan kekuasaan dan perbuatan17.

2. Sunni
Asy‟ariyyah mengatakan bahwa Allah memiliki kehendak yang
mutlak. Karena itu, Dia dapat berbuat apa saja terhadap makhluk Nya sesuai
dengan kehendak nya tanpa ada yang membatasi dan melarangnya. Bahkan dia
dapat saja memberikan hidayah dan menyesatkan hamba-hambanya secara
paksa, memasukkan orang-orang kafir dan jahat ke dalam surga. Di pihak lain,
Salafiyyah dan Maturidiyyah khususnya Samarkand,meski mengakui bahwa
Allah mempunyai kekuasaan dan kehendak yang mutlak, mereka juga
mengakui bahwa Allah tidaklah berlaku sewenang-wenang terhadap hambahambanya18.

17

Harun Nasution,Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah analisa dan perbandingan, (Jakarta;
Penerbit Universitas Indonesia UI Press, 1996), hal 78
18
Fakhruddi>n al-Ra>zy, Mafa>tih al-Ghayb, juz 3 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), 38

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

Berpijak pada paham Jabariyah dan penggunaan akal yang tidak
begitu besar maka Asy‟ariyah berpendapat, bahwa Allah mempunyai kehendak
mutlak. Kehendak Allah baik berupa hidayat dan kesesatan, kenikmatan dan
kesengsaraan, pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang maksiat, perbuatan
shalah wa al‑ashlah, pengutusan rasul dan pengukuhannya dengan mu‟jizat,
semuanya itu berasal dari ketentuan Allah. Dialah yang menentukannya. Jika
dikehendaki-Nya, ia akan terjadi. Dan jika tidak maka tidak akan terjadi. Tidak
ada sesuatu yang wajib dan/atau mahal.
Berbicara Maturidiyah Bukha