Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konservasi Berbasis Kearifan Lokal: studi kasus Sasi di Kabupaten Raja Ampat T2 422012103 BAB II
II.
TinjauanPustaka
A. Definisi Sasi
Sasi
merupakan
bentuk
aturan
pengelolan
sumberdaya alam berbasis masyarakat yang telah
dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Maluku. Sasi
merupakan kearifan tradisional yang hadir dalam sosok
peraturan adat yang mempertahankan nilai-nilai lama
dalam menjaga kelestarian lingkungan yang sudah
berkembang sejak abad XVII. Istilah sasi berasal dari
kata sanksi (witness) mengandung pengertian tentang
larangan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu tanpa
izin
dalam
jangka
waktu
tertentu,
yang
secara
ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey dan
Zerner 1992), sedangkan menurut Kissya (1993) sasi
adalah larangan untuk mengambil hasil sumberdaya
alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga
mutu dan populasi sumberdaya hayati.
“Sasi regulations prohibit the premature harvesting
of forest and marine products, but are also applied on
social behavior” (Kissya, 1994; Zerner 1994; BendaBeckmann, et al. 1995; Nikijuluw, 1995; Mantjoro,
1996).
Sasi
mengacu
pada
sistem
tradisional
pengelolaan sumber daya alam dan termasuk larangan
pada panen sumber daya di darat dan di laut. Sasi laut
(marine
sasi)
menjelaskan
spesifik
aturan
dan
peraturan yang mengatur akses ke daerah perikanan,
6
alat tangkap, spesies target, dan waktu dan lokasi
panen. Menurut Pasalbessy dan Tjiptabudy hukum sasi
laut yaitu: Seperangkat sistem hukum yang memuat
aturan-aturan hukum mengenai tata cara pengelolaan
dan pemanfaatan fungsi lingkungan laut dan pesisir
bagi kepentingan anak-anak negeri atau masyarakat
adat
pesisir
beserta
kelembagaan
hukum
yang
mendukungnya.
Sasi sebenarnya tidak tergolong kepada katagori
kata yang mempunyai watak larangan atau suruhan
yang bersifat langgeng dan menetap, namun istilah
tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang
temporal
(Fadlun,
2006).
Dengan
demikian
sasi
memiliki dimensi temporal dan lambang (atribut) yang
bersama-sama
Menurut
membuat
Pattinama
institusi
dan
sasi
Pattipelohy
mengikat.
(2003),
sasi
merupakan tradisi masyarakat yang memiliki nilai
hukum yang substantif yaitu larangan untuk tidak
mengambil hasil laut maupun hasil hutan sampai pada
waktu tertentu. Sasi dapat memiliki nilai hukum,
karena memiliki norma dan aturan yang berhubungan
dengan cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat yang
memuat unsur etika dan norma. Nilai-nilai hukum
yang substansial dalam sistem sasi sebagai inti dari
hukum adat tersebut adalah; (a) penggunaan hak
seseorang
secara
tepat
menurut
7
waktu
yang
ditentukan; (b) mencegah timbulnya sengketa antara
sesama negeri; (c) pemeliharaan dan pelestarian alam
demi
peningkatan
kesejahteraan
bersama;
(d)
kewajiban untuk memanjakan hasil laut dan darat; dan
(e) mengurangi timbulnya kejahatan berupa pencurian
sumberdaya alam.
B. Sejarah Sasi
Menurut sejarahnya sasi di Maluku telah ada
sejak
dahulu
kala
(sejak
nenek
moyang)
dan
merupakan komitmen bersama antara tokoh adat dan
tokoh masyarakat. Hal ini didasarkan atas kesadaran
bahwa tanpa lingkungan mereka tidak dapat hidup
dengan layak, sehingga sasi harus dipertahankan dari
generasi ke generasi berikutnya. Dalam pemeliharaan
sumberdaya alam terdapat aturan-aturan yang berlaku
baik secara tertulis maupun tidak tertulis, yang dikenal
dengan “Hukum Sasi”. Hukum sasi adalah suatu
sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan
keharusan untuk mengambil potensi sumberdaya alam
untuk
jangka
waktu
tertentu
(Pattinama
dan
Pattipelohy, 2003).
Sasi
merupakan
suatu
larangan
untuk
mengambil atau merusak sumberdaya alam tertentu
untuk jangka waktu tertentu pula demi menjaga
kelestarian hasil. Aturan pada sasi yaitu tanaman
8
hanya dapat dipanen atau diambil hasilnya pada waktu
yang ditentukan. Biasanya waktu sasi berkisar 3
sampai 6 bulan sesuai jenisnya. Sasi awalnya dikenal
dengan Sasi Negeri, karena pengaturannya diserahkan
pada negeri. Cara pelaksanaannya adalah para tua-tua
adat
berkumpul
dan
menjalankan
ritual
adatnya
terhadap tanaman yang disasi. Sedangkan sasi yang
dilakukan dewasa ini dikenal dengan Sasi Gereja,
karena pengaturannya diserahkan kepada gereja. Cara
pelaksanaannya adalah tanaman yang akan disasi
didoakan di dalam gereja (Lelloltery, et al., 2013).
Sasi diberlakukan karena sumberdaya alam di
pulau-pulau
kecil
sangat
terbatas,
sementara
kebutuhan anggota masyarakat terus meningkat. Jadi
dapat dikatakan bahwa antara jumlah penduduk
dengan ketersediaan sumberdaya alam tidak seimbang,
sehingga lahirlah pemikiran bahwa sumberdaya alam
yang terbatas tersebut harus dikelola secara arif dan
bijaksana demi kepentingan bersama. Tujuan utama
menata sasi adalah untuk menjaga keseimbangan
antara
alam,
manusia
dan
dunia
spiritual,
dan
pelanggaran atas pelaksanaan sasi akan memperoleh
sanksi
berdasarka
dunia
spiritual
dan
sanksi
masyarakat (Lakollo, 1998).
Ketentuan hukum adat tentang sasi memuat tiga
hal,
Pertama;
sasi
memuat
9
unsur
larangan
memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu
untuk memberi kesempatam kepada flora dan fauna
untuk memperbaharui dirinya, memelihara mutu dan
memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut;
Kedua,
ketentuan
sasi
tidak
hanya
mencakup
lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial dan
lingkungan buatan manusia; Ketiga, ketentuan sasi ini
ditentukan oleh masyarakat pendiri dari bawah, atas
prakarsa masyarakat sendiri (Kissya, 1993).
Kondisi tangkap-lebih, praktek perikanan yang
bersifat merusak dan pengembangan kawasan pesisir
yang terjadi dalam kurun waktu 20-30 tahun terakhir
berkontribusi terhadap penurunan kualitas terumbu
karang dan populasi ikan. Populasi jenis-jenis ikan
yang bernilai ekonomis penting telah sangat berkurang
di beberapa lokasi, dan kerusakan habitat akibat
penangkapan dengan menggunakan bahan peledak
menyebabkan pemulihan habitat sulit dilakukan dan
memakan
waktu
yang
lama.
Dengan
demikian
konservasi berbasis kearifan lokal seperti sasi sangat
penting
diterapkan
demi
menjaga
kelestarian
sumberdaya alam di bumi Raja Ampat.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
bentuk konservasi kearifan lokal yang dilakukan oleh
masyarakat Raja Ampat, serta untuk mengetahui
10
peranan sasi sebagai konservasi kearifan lokal terhadap
lingkungan di Kabupaten Raja Ampat.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini
adalah untuk memperoleh informasi tentang upaya
perlindungan dan pelestarian berbasis kearifan lokal
serta
memperoleh
informasi
tentang
peranan
konservasi kearifan lokal terhadap lingkungan.
C. Sasi
sebagai
Pengelolaan
Tradisional
Sumber
Daya Alam
Kearifan
tradisional
merupakan
salah
satu
budaya yang ada di masyarakat (tradisional) dan secara
turun-temurun dilaksanakan oleh masyarakat yang
bersangkutan. Kearifan tradisional tersebut umumnya
berisi ajaran untuk memelihara dan memanfaatkan
sumberdaya alam (hutan, tanah, dan air) secara
berkelanjutan. Subak di Bali dan Sasi di Maluku
merupakan contoh kearifan tradisional yang masih
dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan mampu
memelihara
sumberdaya
alam
sehingga
dapat
memberikan penghidupan untuk masyarakat setempat
secara berkelanjutan (Pawarti et al. 2012). Dari sisi
lingkungan hidup keberadaan kearifan lokal sangat
menguntungkan karena secara langsung ataupun tidak
langsung
sangat
membantu
11
dalam
memelihara
lingkungan
serta
mencegah
terjadinya
kerusakan
lingkungan (Lampe, 2006 dalam Pawarti et al., 2012).
Pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal
telah
dikenal
membudaya
dan
dilakukan
oleh
masyarakat secara turun-temurun. Masyarakat Maluku
secara tradisional memiliki berbagai cara pengelolaan
lingkungan hidup dalam mengantisipasi penurunan
kualitas
sumberdaya
tersebut
merupakan
alam.
suatu
Bentuk
kekuatan
pengelolaan
yang
dapat
diandalkan dan berkesinambungan dalam memberikan
perlindungan bagi keanekaragaman hayati baik flora
maupun
fauna,
memberikan
produktivitas
secara
berkelanjutan, dan melibatkan peran serta masyarakat
yang
menjadi
pengelolaan
pelaku
dalam
sumberdaya
alam.
perlindungan
Salah
satu
dan
upaya
konservasi yang dapat dilakukan yaitu dengan menjaga
dan memperkuat pola-pola pemanfaatan sumberdaya
alam secara tradisional. Bentuk-bentuk konservasi
tradisional yang dilakukan di antaranya: Sasi, Salele,
Krois,
Tempat
pengelolaan
Pamali,
lahan
Negeri
yang
Lama
dikenal
serta
dengan
pola
Dusung
(Lelloltery et al., 2007).
Menurut Kissya (1993), sasi pada hakekatnya
merupakan suatu upaya untuk memelihara tatakrama
hidup
bermasyarakat,
termasuk
upaya
ke
arah
pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil
12
sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga atau
penduduk setempat.
Jika
kita
pengelolaan
bandingkan
sumberdaya
praktek
laut
modern,
sasi
dengan
maka
sasi
merupakan kombinasi dari seasonal prohibition, limiting
entry (pembatasan jumlah nelayan atau unit teknologi
penangkapan), gear restriction (larangan terhadap jenis
teknologi penangkapan tertentu) dan quota (batasan
terhadap
jumlah
aturan-aturan
hasil
tersebut
mengurangi
tekanan
sedemikian
rupa
tangkapan).
biasanya
terhadap
sehingga
Keseluruhan
diadakan
untuk
sumberdaya
sustainability
laut
dari
sumberdaya bisa dipertahankan. Namun demikian,
dalam praktek-praktek pengelolaan modern, seringkali
aturan-aturan tersebut diciptakan, diaplikasikan dan
dievaluasi oleh pemerintah saja tanpa melibatkan
stakeholder
lain.
Aplikasi
aturan-aturan
tersebut
seringkali mengalami berbagai masalah baik karena
keterbatasan
pemerintah
untuk
membuat
dan
mengawasi implementasinya, maupun karena resistensi
dari stakeholder lain (Adhuri, 2002).
13
TinjauanPustaka
A. Definisi Sasi
Sasi
merupakan
bentuk
aturan
pengelolan
sumberdaya alam berbasis masyarakat yang telah
dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Maluku. Sasi
merupakan kearifan tradisional yang hadir dalam sosok
peraturan adat yang mempertahankan nilai-nilai lama
dalam menjaga kelestarian lingkungan yang sudah
berkembang sejak abad XVII. Istilah sasi berasal dari
kata sanksi (witness) mengandung pengertian tentang
larangan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu tanpa
izin
dalam
jangka
waktu
tertentu,
yang
secara
ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey dan
Zerner 1992), sedangkan menurut Kissya (1993) sasi
adalah larangan untuk mengambil hasil sumberdaya
alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga
mutu dan populasi sumberdaya hayati.
“Sasi regulations prohibit the premature harvesting
of forest and marine products, but are also applied on
social behavior” (Kissya, 1994; Zerner 1994; BendaBeckmann, et al. 1995; Nikijuluw, 1995; Mantjoro,
1996).
Sasi
mengacu
pada
sistem
tradisional
pengelolaan sumber daya alam dan termasuk larangan
pada panen sumber daya di darat dan di laut. Sasi laut
(marine
sasi)
menjelaskan
spesifik
aturan
dan
peraturan yang mengatur akses ke daerah perikanan,
6
alat tangkap, spesies target, dan waktu dan lokasi
panen. Menurut Pasalbessy dan Tjiptabudy hukum sasi
laut yaitu: Seperangkat sistem hukum yang memuat
aturan-aturan hukum mengenai tata cara pengelolaan
dan pemanfaatan fungsi lingkungan laut dan pesisir
bagi kepentingan anak-anak negeri atau masyarakat
adat
pesisir
beserta
kelembagaan
hukum
yang
mendukungnya.
Sasi sebenarnya tidak tergolong kepada katagori
kata yang mempunyai watak larangan atau suruhan
yang bersifat langgeng dan menetap, namun istilah
tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang
temporal
(Fadlun,
2006).
Dengan
demikian
sasi
memiliki dimensi temporal dan lambang (atribut) yang
bersama-sama
Menurut
membuat
Pattinama
institusi
dan
sasi
Pattipelohy
mengikat.
(2003),
sasi
merupakan tradisi masyarakat yang memiliki nilai
hukum yang substantif yaitu larangan untuk tidak
mengambil hasil laut maupun hasil hutan sampai pada
waktu tertentu. Sasi dapat memiliki nilai hukum,
karena memiliki norma dan aturan yang berhubungan
dengan cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat yang
memuat unsur etika dan norma. Nilai-nilai hukum
yang substansial dalam sistem sasi sebagai inti dari
hukum adat tersebut adalah; (a) penggunaan hak
seseorang
secara
tepat
menurut
7
waktu
yang
ditentukan; (b) mencegah timbulnya sengketa antara
sesama negeri; (c) pemeliharaan dan pelestarian alam
demi
peningkatan
kesejahteraan
bersama;
(d)
kewajiban untuk memanjakan hasil laut dan darat; dan
(e) mengurangi timbulnya kejahatan berupa pencurian
sumberdaya alam.
B. Sejarah Sasi
Menurut sejarahnya sasi di Maluku telah ada
sejak
dahulu
kala
(sejak
nenek
moyang)
dan
merupakan komitmen bersama antara tokoh adat dan
tokoh masyarakat. Hal ini didasarkan atas kesadaran
bahwa tanpa lingkungan mereka tidak dapat hidup
dengan layak, sehingga sasi harus dipertahankan dari
generasi ke generasi berikutnya. Dalam pemeliharaan
sumberdaya alam terdapat aturan-aturan yang berlaku
baik secara tertulis maupun tidak tertulis, yang dikenal
dengan “Hukum Sasi”. Hukum sasi adalah suatu
sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan
keharusan untuk mengambil potensi sumberdaya alam
untuk
jangka
waktu
tertentu
(Pattinama
dan
Pattipelohy, 2003).
Sasi
merupakan
suatu
larangan
untuk
mengambil atau merusak sumberdaya alam tertentu
untuk jangka waktu tertentu pula demi menjaga
kelestarian hasil. Aturan pada sasi yaitu tanaman
8
hanya dapat dipanen atau diambil hasilnya pada waktu
yang ditentukan. Biasanya waktu sasi berkisar 3
sampai 6 bulan sesuai jenisnya. Sasi awalnya dikenal
dengan Sasi Negeri, karena pengaturannya diserahkan
pada negeri. Cara pelaksanaannya adalah para tua-tua
adat
berkumpul
dan
menjalankan
ritual
adatnya
terhadap tanaman yang disasi. Sedangkan sasi yang
dilakukan dewasa ini dikenal dengan Sasi Gereja,
karena pengaturannya diserahkan kepada gereja. Cara
pelaksanaannya adalah tanaman yang akan disasi
didoakan di dalam gereja (Lelloltery, et al., 2013).
Sasi diberlakukan karena sumberdaya alam di
pulau-pulau
kecil
sangat
terbatas,
sementara
kebutuhan anggota masyarakat terus meningkat. Jadi
dapat dikatakan bahwa antara jumlah penduduk
dengan ketersediaan sumberdaya alam tidak seimbang,
sehingga lahirlah pemikiran bahwa sumberdaya alam
yang terbatas tersebut harus dikelola secara arif dan
bijaksana demi kepentingan bersama. Tujuan utama
menata sasi adalah untuk menjaga keseimbangan
antara
alam,
manusia
dan
dunia
spiritual,
dan
pelanggaran atas pelaksanaan sasi akan memperoleh
sanksi
berdasarka
dunia
spiritual
dan
sanksi
masyarakat (Lakollo, 1998).
Ketentuan hukum adat tentang sasi memuat tiga
hal,
Pertama;
sasi
memuat
9
unsur
larangan
memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu
untuk memberi kesempatam kepada flora dan fauna
untuk memperbaharui dirinya, memelihara mutu dan
memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut;
Kedua,
ketentuan
sasi
tidak
hanya
mencakup
lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial dan
lingkungan buatan manusia; Ketiga, ketentuan sasi ini
ditentukan oleh masyarakat pendiri dari bawah, atas
prakarsa masyarakat sendiri (Kissya, 1993).
Kondisi tangkap-lebih, praktek perikanan yang
bersifat merusak dan pengembangan kawasan pesisir
yang terjadi dalam kurun waktu 20-30 tahun terakhir
berkontribusi terhadap penurunan kualitas terumbu
karang dan populasi ikan. Populasi jenis-jenis ikan
yang bernilai ekonomis penting telah sangat berkurang
di beberapa lokasi, dan kerusakan habitat akibat
penangkapan dengan menggunakan bahan peledak
menyebabkan pemulihan habitat sulit dilakukan dan
memakan
waktu
yang
lama.
Dengan
demikian
konservasi berbasis kearifan lokal seperti sasi sangat
penting
diterapkan
demi
menjaga
kelestarian
sumberdaya alam di bumi Raja Ampat.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui
bentuk konservasi kearifan lokal yang dilakukan oleh
masyarakat Raja Ampat, serta untuk mengetahui
10
peranan sasi sebagai konservasi kearifan lokal terhadap
lingkungan di Kabupaten Raja Ampat.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini
adalah untuk memperoleh informasi tentang upaya
perlindungan dan pelestarian berbasis kearifan lokal
serta
memperoleh
informasi
tentang
peranan
konservasi kearifan lokal terhadap lingkungan.
C. Sasi
sebagai
Pengelolaan
Tradisional
Sumber
Daya Alam
Kearifan
tradisional
merupakan
salah
satu
budaya yang ada di masyarakat (tradisional) dan secara
turun-temurun dilaksanakan oleh masyarakat yang
bersangkutan. Kearifan tradisional tersebut umumnya
berisi ajaran untuk memelihara dan memanfaatkan
sumberdaya alam (hutan, tanah, dan air) secara
berkelanjutan. Subak di Bali dan Sasi di Maluku
merupakan contoh kearifan tradisional yang masih
dilaksanakan oleh masyarakat setempat dan mampu
memelihara
sumberdaya
alam
sehingga
dapat
memberikan penghidupan untuk masyarakat setempat
secara berkelanjutan (Pawarti et al. 2012). Dari sisi
lingkungan hidup keberadaan kearifan lokal sangat
menguntungkan karena secara langsung ataupun tidak
langsung
sangat
membantu
11
dalam
memelihara
lingkungan
serta
mencegah
terjadinya
kerusakan
lingkungan (Lampe, 2006 dalam Pawarti et al., 2012).
Pengelolaan lingkungan berbasis kearifan lokal
telah
dikenal
membudaya
dan
dilakukan
oleh
masyarakat secara turun-temurun. Masyarakat Maluku
secara tradisional memiliki berbagai cara pengelolaan
lingkungan hidup dalam mengantisipasi penurunan
kualitas
sumberdaya
tersebut
merupakan
alam.
suatu
Bentuk
kekuatan
pengelolaan
yang
dapat
diandalkan dan berkesinambungan dalam memberikan
perlindungan bagi keanekaragaman hayati baik flora
maupun
fauna,
memberikan
produktivitas
secara
berkelanjutan, dan melibatkan peran serta masyarakat
yang
menjadi
pengelolaan
pelaku
dalam
sumberdaya
alam.
perlindungan
Salah
satu
dan
upaya
konservasi yang dapat dilakukan yaitu dengan menjaga
dan memperkuat pola-pola pemanfaatan sumberdaya
alam secara tradisional. Bentuk-bentuk konservasi
tradisional yang dilakukan di antaranya: Sasi, Salele,
Krois,
Tempat
pengelolaan
Pamali,
lahan
Negeri
yang
Lama
dikenal
serta
dengan
pola
Dusung
(Lelloltery et al., 2007).
Menurut Kissya (1993), sasi pada hakekatnya
merupakan suatu upaya untuk memelihara tatakrama
hidup
bermasyarakat,
termasuk
upaya
ke
arah
pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil
12
sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga atau
penduduk setempat.
Jika
kita
pengelolaan
bandingkan
sumberdaya
praktek
laut
modern,
sasi
dengan
maka
sasi
merupakan kombinasi dari seasonal prohibition, limiting
entry (pembatasan jumlah nelayan atau unit teknologi
penangkapan), gear restriction (larangan terhadap jenis
teknologi penangkapan tertentu) dan quota (batasan
terhadap
jumlah
aturan-aturan
hasil
tersebut
mengurangi
tekanan
sedemikian
rupa
tangkapan).
biasanya
terhadap
sehingga
Keseluruhan
diadakan
untuk
sumberdaya
sustainability
laut
dari
sumberdaya bisa dipertahankan. Namun demikian,
dalam praktek-praktek pengelolaan modern, seringkali
aturan-aturan tersebut diciptakan, diaplikasikan dan
dievaluasi oleh pemerintah saja tanpa melibatkan
stakeholder
lain.
Aplikasi
aturan-aturan
tersebut
seringkali mengalami berbagai masalah baik karena
keterbatasan
pemerintah
untuk
membuat
dan
mengawasi implementasinya, maupun karena resistensi
dari stakeholder lain (Adhuri, 2002).
13