CARUT-MARUT SEJARAH SASTRA INDONESIA

CARUT-MARUT SEJARAH SASTRA INDONESIA
Maman S. Mahayana
Sastra tidaklah lahir dari sebuah kekosongan. Ia mengada setelah melewati proses yang rumit
yang berkaitan dengan persoalan sosio-budaya, politik, ekonomi, bahkan juga ideology dan
agama. Jadi, ketika karya sastra terbit, beredar, dan kemudian dibaca masyarakat, di belakang itu
ia sesungguhnya menyimpan sejarahnya sendiri. Ada kontekstualitas antara teks dan berbagai
persoalan yang melatarbelakanginya. Maka, ketika kita coba mengungkapkan problem yang
melatarbelakanginya itu, tidak terhindarkan, kita terpaksa mencantelkan teks itu dengan
konteksnya, dengan persoalan yang berada di luar teks. Di situlah akan terungkap, betapa karya
sastra dilahirkan tidak semata-mata mengada lantaran telah terjadi proses kreatif pengarangnya,
melainkan juga karena faktor lain di luar itu yang justru menyimpan problem sosio-kultural,
politik, ekonomi dan ideologi.
Faktor di belakangnya itu, mungkin lantaran ada serangkaian kegelisahan dalam diri pengarang
atas problem sosio-kultural, dan di depannya ada pamrih, tujuan yang hendak dicapai, pretensi
dan misi yang ingin disampaikan atau harapan-harapan ideal yang mungkin bersifat visioner.
Sastra terlahir lewat proses yang rumit itu. Di dalamnya terlibat pihak lain. Ada perjalanan
panjang yang berliku, melelahkan, dan membawa garis nasibnya sendiri. Dalam hal ini,
pengarang tidak berdiri sendirian di sana. Jika ada pengarang yang menulis, menerbitkan,
membaca, dan mengritiknya sendiri, maka karyanya itu tidak punya fungsi social apa pun.
Dalam kehidupan modern, sastra senantiasa berurusan dengan banyak pihak. Nasib karya itu
sering kali sangat ditentukan oleh masyarakat pembaca. Kadangkala tindakan masyarakat itu tak

proporsional, dan mengukur karya sastra lewat sudut pandang etika, moral, ideology atau agama.
Jika sudah begitu, sastra tak lagi ditempatkan di dalam wilayah estetika, melainkan merembet
menjadi persoalan di luar sastra.
Demikianlah, proses penerbitan karya sastra tak terhindarkan, akan melibatkan banyak pihak.
Maka di dalamnya bakal muncul berbagai masalah, baik yang menyangkut ihwal kesastraan,
maupun berbagai hal lain yang justru berada di luar teks.
***
Sistem penerbitan yang awal dalam kesusastraan Indonesia modern memperlihatkan betapa
pengaruh kekuasaan pemerintah Belanda begitu dominan dalam menentukan arah perjalanan
kesusastraan bangsa ini. Jika dikatakan, sejarah selalu berpihak pada penguasa, maka itulah yang
terjadi dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Riwayat perjalanannya penuh dengan
pemanipulasian, perekayasaan, penenggelaman, dan penyesatan. Tetapi lantaran sejarah milik
penguasa, bahkan penguasa itu juga sengaja menciptakan sejarahnya sendiri, maka yang
kemudian bergulir adalah sebuah mainstream yang menyimpan kepentingan politik penguasa.
***
Sistem penerbitan di Indonesia ditandai dengan datangnya mesin cetak yang dibawa dari Belanda
oleh para misionaris gereja tahun 1624. Tetapi, tiadanya tenaga ahli yang dapat menjalankan

mesin itu, menyebabkan tak ada kegiatan apa pun berkenaan dengan percetakan. Pada tahun
1659, Cornelis Pijl memrakarsai percetakan dengan memroduksi Tijtboek, semacam almanak.

Setelah itu, kembali kegiatan percetakan menghadapi tidur panjang. Menurut catatan J.A. van der
Chijs (1875), produk pertama percetakan terjadi ketika disepakati perjanjian damai antara
Laksamana Cornelis Speelman dan Sultan Hasanuddin, 15 Maret 1668 yang kemudian
menghasilkan naskah Perjanjian Bongaya. Sejak itulah VOC (Verenigde Nederlandsche
Geoctroyeerde Oost—Indische Compagnie) mulai memerkenalkan hasil-hasil cetakannya berupa
kontrak dan dokumen perjanjian dagang.
Selama hampir empat dasawarsa, perkembangan percetakan masih seputar mencetak dokumendokumen resmi, meski pernah pula ada usaha untuk mencetak kamus Latin—Belanda—Melayu
sebagaimana yang dilakukan mantan pendeta Andreas Lambertus Loderus (1699). Menyadari
makin banyaknya dokumen yang harus dicetak, pemerintah kemudian mendatangkan dua mesin
cetak dari Belanda tahun 1718. Pemerintah sendiri menangani cetakan dokumen-dokumen resmi,
sedangkan cetakan lain diserahkan pada percetakan swasta. Percetakan pemerintah pun mulai
mencetak berita-berita dalam bentuk laporan berkala, ringkasan surat-surat resmi yang dianggap
penting, dan maklumat atau pengumuman pemerintah. Percetakan swasta juga mulai melakukan
hal yang sama. Bahkan dalam bertita berkala itu, disertakan jadwal pemberangkatan dan
kedatangan kapal, daftar harga komoditas pertanian sampai ke pengumuman lelang berikut daftar
harga barang. Iklan pada akhirnya menjadi bagian penting dari cetakan berkala itu. Cetakan
berkala itulah yang kelak menjadi cikal-bakal lahirnya suratkabar.
Percatakan swasta kemudian mengembangkannya dengan menerbitkan suratkabar (courant).
Awal tahun 1800-an, beberapa suratkabar berbahasa Belanda umumnya terbit dalam usia yang
pendek. Problem utamanya tidak lain menyangkut biaya dan minimnya jumlah pelanggan. Dari

situ, mulai dipikirkan sasaran pembaca potensial, yaitu masyarakat non-Belanda yang bisa
membaca. Bahasa Jawa kemudian menjadi pilihan. Lahirlah Bromartani, suratkabar mingguan
berbahasa Jawa pertama yang terbit 25 Januari 1855. Pada saat yang sama terbit pula suratkabar
Poespitamantjawarna, juga berbahasa Jawa.
Kedua suratkabar itu pada awalnya terbit dan beredar di lingkungan keraton Surakarta dan
kemudian Yogyakarta. Salah satu tujuannya adalah menyediakan bacaan berbahasa Jawa untuk
mereka yang pernah belajar bahasa Jawa di Instituut voor de Javaansche Taal (Lembaga Bahasa
Jawa) (1833—1843). Belakangan, penyebarannya sampai juga ke Jawa Timur. Penerbit E. Fuhri
di Surabaya kemudian coba menerbitkan suratkabar dalam bahasa Melayu mengingat masyarakat
yang bisa membaca dalam bahasa Melayu jauh lebih luas dibandingkan bahasa Jawa. Tebitlah di
Surabaya Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, 5 Januari 1856. Itulah suratkabar pertama dalam bahasa
Melayu.
Pada dasawarsa itu, beberapa suratkabar berbahasa Melayu bermunculan. Sebutlah beberapa di
antaranya, bulanan Bintang Oetara (Rotterdam, 5 Februari 1856), Soerat Chabar Betawi
(Batavia, 3 April 1858), mingguan Selompret Melayoe (Semarang, 3 Februari 1860), suratkabar
Bientang Timoor (Surabaya, 10 Mei 1862), dan mingguan, Biang-Lala (Batavia, 11 September
1867).

Apa maknanya penerbitan surat-suratkabar itu dalam konteks penerbitan buku-buku sastra?
Bagaimana peranan yang dimainkan golongan peranakan Tionghoa dalam menyikapi perubahan

yang terjadi pada zamannya? Bagaimana pula hubungannya dengan pemunculan sastrawan
peranakan Tionghoa yang sesungguhnya merupakan perintis perjalanan kesusastraan Indonesia
modern. Ada beberapa faktor yang mendukung munculnya golongan peranakan Tionghoa dalam
kehidupan kemasyarakatan di Hindia Belanda pada masa itu.
Pertama, terbitnya sejumlah berita berkala, suratkabar, dan mingguan berbahasa Melayu yang
memuat iklan, jelas sangat penting bagi golongan peranakan Tionghoa yang sebagian besar
bekerja sebagai pedagang. Mereka sangat berkepentingan mencermati daftar harga komoditas,
barang-barang lelang, jadwal kedatangan dan pemberangkatan, dan berita-berita lain yang
berhubungan dengan mutasi dan pengangkatan pejabat pemerintah, dalam kaitannya untuk
memperlancar usaha dagang mereka.
Kedua, untuk dapat mengikuti dan membaca suratkabar atau berita berkala dalam bahasa Melayu
itu, tentu saja mereka dituntut untuk bisa membaca (dalam bahasa Melayu). Pada mulanya, tidak
sedikit di antara para pedagang Tionghoa ini yang membayar seseorang untuk membacakan
berita-berita suratkabar itu. Dari sana, timbul kesadaran, bahwa anak-anak mereka harus bisa
berbahasa Melayu agar mereka tidak perlu lagi menyewa orang untuk membacakan berita-berita
itu. Maka, ketika sekolah-sekolah belum leluasa dapat dimasuki oleh anak-anak keluarga
golongan peranakan Tionghoa ini, di antara mereka –terutama keluarga kaya—kemudian
mengundang seseorang untuk memberikan pelajaran kepada anak-anak mereka (semacam les
privat).
Mengenai hal tersebut, J.E. Albrecht (1881) sebagaimana yang dikutip Claudine Salmon (1985)

mengungkapkan bahwa bahasa Cina, selain tidak begitu dikuasai dengan baik oleh keluarga
peranakan Tionghoa di Jawa, juga tidak banyak manfaatnya dalam hubungan sosial mereka.
Oleh karena itu, banyak di antara keluarga peranakan Tionghoa ini yang mengirimkan anakanaknya ke sekolah Eropa atau pribumi atau mengundang seorang guru. “… Anak-anak lainnya
diajar di rumah oleh orang Eropa atau Cina, agar dapat menulis bahasa Melayu dalam huruf
Latin dan kemudian menggunakan bahasa ini dalam surat-menyurat.”
Ketiga, dibukanya sekolah-sekolah untuk golongan peranakan Tionghoa ini juga memberi
peluang mereka dapat belajar bahasa Belanda dan bahasa Melayu mengingat kedua bahasa itu
dijadikan sebagai bahasa pengantar di sekolah. Maka, mulailah generasi baru golongan
peranakan Tionghoa ini tampil sebagai golongan yang menguasai bahasa Belanda dan bahasa
Melayu. Kees Groeneboer (1995) menyebutkan bahwa antara tahun 1823—1900 jumlah
peranakan Tionghoa yang bersekolah, baik yang bersekolah di sekolah Raja (Eropa), sekolah
Cina, dan sekolah pribumi, jauh lebih banyak dibandingkan dengan anak-anak pribumi. Kondisi
ini tentu saja berpengaruh bagi kehidupan sosial ekonomi pada masa-masa berikutnya.
Tambahan lagi, adanya perubahan kebijakan kolonial yang dijalankan pemerintah Belanda,
dalam kenyataannya lebih banyak menguntungkan golongan peranakan (Indo—Belanda, Indo
Eropa dan Tionghoa) dibandingkan golongan pribumi. Dengan demikian, posisi pribumi pada
masa itu tetap sebagai golongan yang peranan sosialnya berada di bawah golongan peranakan.

Keempat, derasnya usaha untuk mengganti huruf Arab—Melayu dengan huruf Latin dalam
bahasa Melayu, memungkinkan penyebaran bahasa Melayu lebih luas dapat diterima.

Pertimbangannya, bahwa pemakaian huruf Pegon (Arab—Melayu) dalam bahasa Melayu di
sekolah-sekolah menyulitkan orang untuk memelajarinya. Padahal, bahasa Melayu dijadikan
sebagai bahasa pengantar. Dengan demikian, untuk memudahkan orang belajar bahasa Melayu,
salah satu langkah yang penting dilakukan adalah mengganti huruf Pegon itu dengan huruf Latin.
Kelima, penguasaan bahasa Melayu bagi golongan peranakan Tionghoa ini juga secara tidak
langsung menuntut ketersediaan bahan bacaan berbahasa Melayu. Oleh karena itu, ketika
bermunculan penerbitan suratkabar, majalah, dan buku-buku berbahasa Melayu, golongan
peranakan Tionghoa ini seperti memperoleh saluran yang baik dalam usaha mempermahir
penguasaan bahasa Melayu mereka. Di samping itu, kehausan mereka akan kisah-kisah dari
tanah leluhurnya, ditanggapi oleh para penerbit itu dengan menerjemahkan cerita-cerita asli
Cina. Dengan demikian, kelompok pembaca golongan peranakan Tionghoa ini jauh lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok pembaca pribumi bahkan juga Belanda.
Kelima faktor inilah yang mendorong berlahirannya surat-surat kabar, majalah dan penerbit yang
dikelola golongan peranakan Tionghoa. Dari sana pula embrio bermunculannya para pengarang
Tionghoa. Dan itu terjadi justru sebelum Balai Pustaka berdiri (1908, 1917). Sangat wajar jika
kemudian Dr. D.A. Rinkes, direktur Balai Pustaka ketika itu, mengatakan bahwa buku-buku
terbitan di luar Balai Pustaka sebagai “Bacaan Liar” yang dibawa oleh “Saudagar kitab yang
kurang suci hatinya.” Jadi, bagaimana mungkin kita menafikan keberadaan sastrawan peranakan
Tionghoa dalam sastra Indonesia jika kenyataannya mereka justru yang mendahului sastrawan
Balai Pustaka? Bahkan, salah satu alas an pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka, justru

kjarena keberadaan penerbit-penerbit swasta itu. Oleh karena itu –meski begitu terlambat, kinilah
saatnya kita mengembalikan sejarah sastra Indonesia ke jalan yang benar, tanpa manipulasi,
tanpa penggelapan, tanpa penyesatan!
***
Ketika penerbit-penerbit partikulir menawarkan majalah dan suratkabar yang diikuti pula dengan
penerbitan sejumlah karya sastra (novel), pihak kolonial Belanda menyadari betul, bahwa di
belakang penerbitan itu, niscaya ada ideologi diselusupkan atau setidak-tidaknya harus dicurigai
demikian. Maka, dalam pandangan pemerintah kolonial, penerbit-penerbit partikulir itu harus
dianggap dan dicurigai dapat membahayakan kelangsungan kekuasaannya di tanah jajahan.
Dengan demikian, dapat pula berpengaruh pada usaha bangsa Belanda dalam membangun citra
dan reputasinya sebagai bangsa beradab yang hendak mengangkat bangsa pribumi dari
keterbelakangan. Citra sebagai Sang Juru Selamat dapat tercemari oleh bacaan-bacaan yang
dibawa oleh “Saudagar kitab yang kurang suci hatinya” itu. Muncullah cap “bacaan liar” yang
sengaja dilekatkan pada buku-buku terbitan pihak partikulir itu. Itulah latar belakang pendirian
Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche
School en Volkslectuur) tahun 1908, dan tahun 1917 berganti menjadi Kantor Bacaan Rakyat
(Kantoor voor de Volkslectuur). Belakangan lembaga ini lebih dikenal dengan nama Balai
Pustaka.
Demikian, sejak awalnya sistem penerbitan, baik penerbitan suratkabar dan majalah, maupun
buku-buku sastra (bahkan juga kemudian buku-buku pelajaran sekolah dan buku pengetahuan


lain), waktu itu sudah sangat dikuasai pihak pemerintah kolonial Belanda. Dominasi pemerintah
kolonial yang telah berhasil memasuki berbagai bidang kehidupan itu, dengan sendirinya
berhasil pula menanamkan basis politik dan ideologi. Secara politik, pemerintah kolonial
memperoleh dukungan dalam menjalankan kekuasaannya di tanah jajahan, dan secara ideologi
berhasil menciptakan citranya, tidak hanya sebagai “Dewa Penolong”, tetapi juga sebagai bangsa
yang maju dan berkebudayaan tinggi. Belanda menjadi simbol dunia modern lengkap dengan
segala macam superioritasnya.
Perkembangan sistem penerbitan ini ternyata sejalan dengan politik Pemerintah Kerajaan di
Belanda tentang gagasan asosiasi yang hendak menempatkan penguasa kolonial sebagai
“pembimbing” proses pembelandaan di wilayah jajahan. Dengan begitu, penciptaan citra (image)
menjadi sangat penting. Dalam hal inilah peranan aktif Balai Pustaka dalam membangun citra
positif bangsa Belanda di mata bangsa pribumi berhasil dengan sangat meyakinkan. Akibatnya,
sampai kini kita –sadar atau tidak—disodori sebuah peta sejarah perjalanan kesusastraan
(penerbitan) Indonesia yang penuh cacat dan sangat ideologis. Jadi, beberapa faktor berikut
inilah yang menjadi penyebab perjalanan kesusastraan Indonesia berkembang mengikuti ideologi
kolonial.
Pertama, pendirian Balai Pustaka telah menafikan keberadaan karya-karya terbitan swasta yang
secara sepihak ditudinglecehkan sebagai “bacaan liar”. Karya-karya sastra yang dipublikasikan
lewat suratkabar dan majalah, dianggap tidak ada. Pandangan ini kemudian dikukuhkan melalui

pembelajaran di sekolah berikut buku-buku pelajarannya.
Kedua, pemberlakuan sensor melalui Nota Rinkes menyebabkan buku-buku terbitan Balai
Pustaka, khasnya novel-novel Indonesia sebelum perang, cenderung menampilkan tokoh-tokoh
yang terkesan karikaturis. Perhatikanlah apa yang dikatakan Dr. D.A.R. Rinkes:
Dalam masa 25 tahun yang baru lalu ini politik pengajaran Pemerintah itu amat berubah. Dahulu
yang diutamakan hanya akan mengadakan pegawai yang agak pandai untuk jabatan negeri,
sekarang pengajaran rendah itu terutama untuk memajukan kecerdasan rakyat.
Tetapi, pelajaran itu belum cukup.Tambahan lagi harus pula dicegah, janganlah hendaknya
kepandaian membaca dan kepandaian berfikir yang dibangkitkan itu menjadikan hal yang kurang
baik …
Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya kalau orang-orang yang telah tahu
membaca itu mendapat kitab-kitab dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orangorang yang bermaksud hendak mengharu.
Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran membaca itu serta untuk menyambung
pengajaran itu, maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang
kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia
sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan hal yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah
dan ketentraman negeri.”
Ketiga, jaringan distribusi buku dan penyebaran perpustakaan keliling memperkuat keberadaan
dan sekaligus pengaruh buku-buku terbitan Balai Pustaka.
Keempat, penetapan bahasa Melayu yang sesuai dengan ejaan van Ophuijsen, tidak

memungkinkan munculnya warna lokal dan istilah-istilah non-Melayu. Bahasa percakapan
diubah sedemikian rupa menjadi bahasa formal, menjadi bahasa buku sesuai dengan kaidah.

Kelima, penetapan bahasa Melayu mendorong munculnya sastrawan-sastrawan yang menguasai
bahasa Melayu. Sangat kebetulan mereka datang dari Sumatera. Maka, sastrawan yang berasal
dari Sumatera itulah yang kemudian mendominasi peta kesusastraan Indonesia.
***
Ketika Jepang datang, Maret 1942, menggantikan pemerintahan kolonial Belanda, bahasa
Melayu tetap menjadi pilihan utama. Bahkan, pemerintah Jepang juga membentuk Komisi Istilah
yang bertugas mengganti sejumlah istilah dari bahasa Belanda dan bahasa Inggris ke dalam
bahasa Melayu. Oleh karena itu, pada zaman Jepang peranan mereka yang menguasai bahasa
Melayu menjadi lebih penting lagi dibandingkan zaman sebelumnya.
Selain itu, pemerintah pendudukan Jepang sangat menyadari pentingnya membangun sebuah
citra yang baik tentang kedatangan mereka ke Asia Tenggara, khasnya ke Indonesia. Untuk
menarik simpatik bangsa Indonesia serta memperoleh dukungan dalam perangnya melawan
Sekutu, Jepang secara serius membawa rombongan propaganda (Sendenhan) untuk menjalankan
misi tersebut. Maka, pada bulan Agustus 1942, pemerintah pendudukan Jepang mendirikan
sebuah departemen yang independen yang disebut Sendenbu yang terdiri atas tiga seksi, yaitu (1)
Seksi Administrasi, (2) Seksi Berita dan Pers, dan (3) Seksi Propaganda. Untuk mendukung
tugas-tugas Sendenbu, pemerintah pendudukan Jepang kemudian mendirikan Kantor Pusat

Kebudayaan (Keimin Bunka Syidosyo). Tiga tugas penting yang menjadi tanggung jawab
lembaga ini adalah (1) mempromosikan kesenian tradisional Indonesia, (2) mendidik dan melatih
seniman-seniman Indonesia, dan (3) memperkenalkan dan menyebarkan kebudayaan Jepang.
Mengenai lembaga ini, A. Teeuw mengungkapkan:
Pemerintahan itu mendirikan sebuah Pusat Kebudayaan, Keimin Bunka Syidosyo yang
digunakan untuk mengorganisasi sekalian seniman Indonesia. Melalui Pusat ini dikenakan
penyaringan yang amat ketat, yaitu penyaringan yang bukan saja melarang segala sesuatu yang
dianggap bermusuhan atau berbahaya terhadap perjuangan Jepang, tetapi juga menuntut hasil
kesusastraan yang mendorong cita-cita peperangan Jepang yang dengan pintar sekali
diperkenalkan dengan nama Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Raja. Tidak lama
kemudian sebagian besar bangsa Indonesia mulai insyaf bukan saja akan kekosongan cogankata
itu, tetapi juga akan bahaya besar yang timbul dari kesusastraan yang secara berterus-terang
tunduk kepada cita-cita politik. Jumlah para pengarang Indonesia yang bergiat menghasilkan
(kata mencipta agak terlalu muluk) kesusastraan jenis ini amat kecil, dan hasil tulisan mereka
merupakan hasil yang paling buruk.
Sesungguhnya tidak semua karya yang terbit pada zaman Jepang “merupakan hasil yang paling
buruk”. Meski begitu, dalam konteks sistem penerbitan, masa itu pemerintah memang menguasai
hampir semua media massa, termasuk juga Balai Pustaka yang berada di bawah Pusat
Kebudayaan (Keimin Bunka Syidosyo). Bidang sastra dan kebudayaan, ditangani secara sangat
serius. Berbagai lomba dan sayembara penulisan puisi, cerpen, dan naskah drama, dengan tematema tertentu, kerap juga diselenggarakan.
Sebagai pihak yang menguasai sistem penerbitan, pemerintah tidak hanya melakukan sensor atas
buku-buku yang akan diterbitkan, tetapi juga melakukan sejumlah perubahan atau revisi yang

disesuaikan dengan semangat propaganda pemerintah. Perhatikan kutipan berikut yang
menunjukkan peran penerbit dalam mengubahsuai unsur intrinsik karya bersangkutan.
PANDOE PARTIWI
Sandiwara dalam 5 babak
(Sandiwara jang mendapat hadiah pertama dalam sajembara “Asia Raja—Djawa Shimbun”)
Oleh Merayu Sukma (Diperbaiki oleh Poesat Keboedajaan, Bagian Kesoesasteraan)
Para Pelakoe:
Dainip Djaja ………………………………….. Pahlawan Budiman
Pandoe Setiawan ……………………………… Temannja
Partiwi ………………………………………… Bekerja diroemah Dainip Djaja
Nadarlan ……………………………………… Orang kaja jang kejam
Priajiwati ……………………………………… Bekas toenangan Pandoe Setiawan, dan
perempoean Nadarlan
Doea orang polisi
Beberapa orang tetangga.
Begitulah, ketika sistem penerbitan berada di bawah dominasi kekuasaan pemerintah dan bukubuku yang diterbitkannya kemudian dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaannya,
kita akan menjumpai sejumlah usaha sistematik dalam membangun sebuah citra tertentu yang
berkaitan dengan ideologi penguasa. Itulah yang terjadi dalam sistem penerbitan di Indonesia
sebelum merdeka. Berbeda dengan pemerintah kolonial Belanda yang berhasil menanamkan
ideologi melalui usahanya membangun citra sebagai bangsa yang maju dan berbudaya tinggi,
pemerintah pendudukan Jepang justru gagal menciptakan citra positif kekuasaannya di tanah
jajahan, semata-mata lebih disebabkan oleh waktu yang terlalu singkat dalam membangun usaha
itu. Dalam hal ini, pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah pendudukan Jepang, telah secara
sadar memanfaatkan lembaga penerbitan (: Balai Pustaka) sebagai salah satu alat untuk
membangun ideologi. Dengan demikian, sistem penerbitan sesungguhnya tidak terlepas dari
persoalan ideologi. Lalu bagaimana pula dengan sistem penerbitan (buku-buku sastra) selepas
Indonesia merdeka?
***
Selepas Indonesia merdeka, status Balai Pustaka tetap sebagai lembaga penerbitan milik
pemerintah. Meskipun demikian, dihilangkannya lembaga sensor telah membawa perubahan
yang sangat signifikan dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini, Balai Pustaka
tidak lagi menjadi alat propaganda pemerintah. Perhatikan kutipan berikut ini:
Dan sedjak tanggal 1 Mei 1948 itu Balai Pustaka sudah memasuki suatu djaman jang baru pula,
baru sama sekali.
Balai Pustaka dengan tepat dan sadar ditudjukan kearah kedudukan jang sewadjarnja harus
diduduki oleh Balai Pustaka sebagai suatu badan pembangun kebudajaan.
Tjara kerdjanja buat sementara ini ialah:
Menjusul kembali kekurangan jang timbul dimasa 6 tahun jang lalu (mengulang mentjetak bukubuku jang masih baik untuk masjarakat kita sekarang);
Memperkenalkan kesusasteraan dunia jang terpilih kepada masjarakat Indonesia;

Menjadjikan berbagai-bagai pendapat dan pendirian tentang kebudajaan dari ahli-ahli dalam dan
luar negeri;
Menerbitkan hasil kesusasteraan pudjangga dan ahli pikir Indonesia;
Mengusahakan batjaan untuk anak-anak, pemuda dan untuk orang dewasa jang baru pandai
membatja (hasil pemberantasan buta huruf)
Sejak awal berdirinya, pemakaian bahasa Melayu diberlakukan Balai Pustaka secara ketat.
Unsur-unsur bahasa daerah dibersihkan. Unsur bahasa daerah, khasnya bahasa Sunda dan Jawa,
sejak tahun 1948, justru dibiarkan. Maka, kita akan melihat, begitu banyak unsur bahasa Sunda
dan Jawa dalam novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja dan Keluarga Gerilya karya
Pramoedya Ananta Toer. Demikian juga dengan persoalan yang menyangkut tema cerita. Jika
sebelum merdeka Balai Pustaka berusaha untuk tidak menerbitkan novel-novel yang mengangkat
tema keagamaan, pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah, dan masalah lain
yang mungkin dianggap sensitif, maka selepas merdeka tema-tema cerita yang seperti itu –
kecuali yang berbau cabul, justru bermunculan.
Munculnya para pengarang non-Sumatera secara langsung memudarkan dominasi pengarang
Sumatera dalam peta kesusastraan Indonesia. Bersamaan dengan itu, beberapa penerbit swasta
yang juga menerbitkan karya sastra, telah menempatkan Balai Pustaka tak lagi menjadi satusatunya penerbit yang berpengaruh. Sejumlah majalah dan suratkabar yang juga memuat cerpen,
puisi, dan drama, ikut pula berpengaruh pada mulai pudarnya dominasi Balai Pustaka. Mediamedia massa itu telah menjadi media alternatif bagi publikasi karya sastra. Keadaan inilah yang
memungkinkan perjalanan kesusastraan Indonesia tidak lagi ditentukan Balai Pustaka. Sejak saat
itulah sistem penerbitan kesusastraan Indonesia tidak lagi didominasi oleh satu penerbit: Balai
Pustaka. Itulah periode yang menandai berakhirnya pengaruh Balai Pustaka dalam peta
perjalanan kesusastraan Indonesia.
***
Memasuki masa pemerintahan Orde Baru, pelarangan terhadap buku-buku karya sastrawan
Lekra mengisyaratkan ideologi yang hendak dipancangkan pemerintah. Sastrawan Lekra atau
mereka yang dituding terlibat PKI bersama karyanya diperlakukan sama: dilarang. Jadi, jika
pemerintah kolonial Belanda khawatir akan masuknya pengaruh bacaan yang dikeluarkan
“Saudagar yang kurang suci hatinya”, maka pemerintah Orde Baru dihantui ketakutan lahirnya
kembali komunisme di Indonesia.
Dalam wilayah yang lain, munculnya cerpen karya Kipanjikusmin yang berjudul “Langit Makin
Mendung” di majalah Sastra, Agustus 1968, memunculkan bentuk represi yang lain lagi.
Lantaran cerpen ini dianggap telah menghina Nabi Muhammad, dan dengan begitu, sekaligus
juga berarti melecehkan agama Islam, reaksi keras pun datang dari umat Islam. Pada tanggal 22
Oktober 1968, Kipanjikusmin menyatakan mencabut cerpennya itu. Tetapi persoalannya tidaklah
berhenti sampai di situ. H.B. Jassin, selaku penanggung jawab majalah itu diminta
mempertanggungjawabkannya. Paus Sastra itupun diadili di pengadilan.
Kedua peristiwa itu –pelarangan sastrawan Lekra berikut karyanya—dan reaksi keras umat Islam
terhadap cerpen “Langit Makin Mendung”, tentu saja ikut mempengaruhi sistem penerbitan
karya sastra. Dengan semangat menghindari masalah sara (suku, agama, ras, dan antargolongan),

sejumlah penerbit –di luar Balai Pustaka yang sudah tak begitu signifikan lagi pengaruhnya—
berusaha menjalankan fungsinya sejalan dengan semangat itu.
***
Kini, rezim Orde Baru telah tumbang. Dunia penerbitan berkembang begitu pesat. Sistem
penerbitan pun ikut pula tubuh secara menakjubkan. Kini, ketika setiap orang dapat menerbitkan
karyanya, ketika begitu banyak majalah dan suratkabar ikut menyemarakkan publikasi karya
sastra, ketika itulah keberagaman sastra Indonesia seperti memasuki wilayah yang begitu luas.
Akan sia-sia pula usaha sebuah penerbit menanamkan dominasinya. Kini, di berbagai daerah
bermunculan pula sejumlah penerbit. Penerbitan ini belum termasuk karya-karya yang datang
dari berbagai komunitas sastra. Kondisi ini, di satu pihak, ikut menyemarakkan konstelasi
kesusastraan Indonesia, dan di lain pihak, makin menyulitkan usaha memetakan kesusastraan
Indonesia secara lengkap dan menyeluruh. Jakarta yang selama ini sering dipandang sebagai
pusat kesusastraan Indonesia, kini tidak lagi demikian.
Usaha melakukan pemetaan sastra Indonesia sekarang ini tak dapat lagi diwakili oleh buku-buku
sastra yang hanya terbit di Jakarta. Ada panorama dan fenomena lain di luar itu yang justru
sering merepresentasikan kegelisahan kultural etnis dan ideologis. Jadi, sejalan dengan semangat
otonomi daerah, peta sastra Indonesia, perlu segera dirumuskan lagi. Tak terhindarkan,
bagaimana sistem penerbitan sastra Indonesia di berbagai daerah, menjadi sesuatu yang mutlak
perlu. Tentu saja penerbitan majalah dan suratkabar yang setiap minggu menyediakan rubrik
sastra, juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Majalah dan suratkabar itulah yang menjadi bagian
penting dari sistem reproduksi karya sastra (Indonesia).
Demikianlah, mengabaikan sistem penerbitan sastra yang muncul di berbagai daerah, sama
halnya dengan melihat kesusastraan Indonesia dari lubang kunci. Ada banyak hal yang tak
terungkapkan. Niscaya bakal banyak pula yang tercecer. Begitu juga melihat kesusastraan
Indonesia dengan menutup mata atas peranan majalah dan suratkabar, seperti kita sedang melihat
gadis cantik bugil, tanpa pinggul dan payudara. Dengan demikian, perbincangan sistem
penerbitan sastra Indonesia mestinya ditempatkan, tidak hanya sekadar untuk melihat perjalanan
sejarah, peta, dan konstelasi kesusastraan Indonesia, tetapi juga mengungkapkan problem
kultural dan ideologis yang (mungkin) berada di balik sistem penerbitan itu sendiri. Dalam hal
itulah pentingnya perbincangan sistem penerbitan sastra Indonesia. Dengan itu, terbuka peluang
untuk merevisi sejarah sastra Indonesia dan membuat peta baru konstelasi kesastraan Indonesia
mutakhir yang melibatkan penerbitan sastra di berbagai daerah dan karya-karya yang dimuat di
majalah dan suratkabar di seluruh Indonesia. Sebuah pekerjaan raksasa yang suka atau tidak,
harus dilakukan jika kita hendak melihat potret kesusastraan Indonesia secara lengkap dan
menyeluruh.
——————–
Penerbitan dan percetakan milik orang non-Belanda, mula dilakukan golongan peranakan
Tionghoa. Sejak 1883, beberapa dari mereka yang punya modal lalu membuka usaha penerbitan
dan percetakan, seperti Kho Bie & Co., Tjoei Toei Yang, Firma Sie Dhian Ho. Penerbit dan
percetakan inilah yang banyak menerbitkan buku terjemahan –termasuk buku sastra dan cerita
silat Cina—karya para pengarang peranakan Tionghoa. Periksa Claudine Salmon, Sastra Cina
Peranakan dalam Bahasa Melayu (Jakarta: Balai Pustaka, 1985).

Pada tahun 1906 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan aturan baru tentang percetakan dan
penerbitan. Dinyatakan dalam peraturan itu, bahwa setiap penerbit wajib menyerahkan
sedikitnya tiga eksemplar contoh cetakannya kepada negara. Penyerahan itu dilakukan dalam
jangka waktu 24 jam setelah diedarkan. Uang jaminan yang dalam peraturan preventif (1856)
sebesar 2000 sampai 5000 gulden, kini dihapuskan. Peraturan seperti ini merupakan bentuk
pengawasan terhadap setiap penerbit dan hasil terbitan.
Pada bulan Desember 1936, misalnya, pegawai redaksi bersama bagian Taman Pustaka
diperintahkan berkeliling pulau Jawa untuk memeriksa penerbit-penerbit di daerah, sekalian
dengan memeriksa buku-buku terbitannya. Sampai tahun 1938, terkumpul sekitar 650 buku
terbitan penerbit partikulir.
Ini merupakan salah satu bagian dari pernyataan Dr. D.A. Rinkes yang memperlihatkan
usahanya menciptakan citra negatif terhadap penerbit swasta (partikulir). Lihat Bureau voor de
Volkslectuur: The Bureau of Popular Literature of Netherlands India (1930?), hlm. 8 et seqq.
Pada tanggal 22 November 1809 Gubernur Jenderal Daendels membentuk Percetakan Negeri
(Landsdrukkerij) yang merupakan gabungan percetakan swasta dan percetakan milik negara.
Beberapa percetakan milik perseorangan (Belanda atau Indo-Belanda) dan kaum missionaris,
tidak berkembang karena adanya berbagai pembatasan yang dilakukan pihak pemerintah. Sampai
berdirinya Balai Pustaka (1908; 1917), keberadaan penerbit partikulir sebenarnya sudah tidak
dapat lagi menyaingi penerbit negara. Pertama, penerbit atau percetakan negara mempunyai alat
produksi dan sistem distribusi yang jauh lebih baik dibandingkan dengan penerbit partukulir.
Kedua, berbagai pembatasan, peraturan, bahkan tekanan, diberlakukan hanya untuk penerbit
partikulir. Dengan begitu, penerbit Balai Pustaka praktis tidak mempunyai saingan berarti dari
penerbit swasta, baik dalam soal modal usaha, peralatan, hasil cetakan, sampai ke soal distribusi
ke sekolah-sekolah. Sampai tahun 1941, misalnya, sekitar 1400-an taman bacaan partikulir –di
luar taman bacaan yang didirikan pemerintah—yang berlangganan buku-buku terbitan Balai
Pustaka. Pada tahun 1930, jumlah peminjam buku Balai Pustaka telah mencapai 2.700.000.
Itulah hasil distribusi yang baik sampai ke sekolah-sekolah desa.
Mengenai riwayat Balai Pustaka, periksa Apakah Balai Pustaka? Pengantar bagi Lid-Lid
Congres Bestuur Boemipoetera jang ke-III waktu mengoendjoengi Balai Poestaka (1930); K. St.
Pamuntjak, Balai Pustaka Sewadjarnja 1908–1942, Djakarta: (?), 1948.
Maman S. Mahayana, “Tafsir Baru Sitti Nurbaya dan Novel Balai Pustaka Pramerdeka,“
Kompas, 15 September 1991.
K. St. Pamuntjak, Balai Pustaka Sewadjarnya, (1948), hlm. 5–6.
Pada dasawarsa tahun 1930-an di Medan bermunculan pula usaha penerbitan. Salah satu buku
terbitan Medan yang kemudian begitu terkenal di beberapa kota besar di Pulau Jawa adalah
roman detektif karangan Yusuf Sou’yb yang menampilkan tokoh utamanya Elang Emas. Dalam
buku Pokok dan Tokoh, Dr. R. Roolvink menyebut buku sejenis itu sebagai Roman Picisan
(stuiversroman). Disebut sebagai roman picisan mengingat harga buku itu sangat murah dengan
kualitas kertas dan cetakan yang buruk. Tetapi tidak semua buku terbitan Medan berkualitas
demikian. Hasil-hasil sayembara menulis roman yang diselenggarakan penerbit-penerbit Medan

yang kemudian diterbitkan, relatif berkualitas baik. Salah satu novel karangan Hamka yang
terkenal, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, misalnya, pertama kali muncul berupa cerita
bersambung majalah Pedoman Masjarakat dan kemudian diterbitkan oleh salah satu penerbit
Medan. Sejauh ini, tak ada buku sejarah kesusastraan Indonesia yang pernah menyinggung bukubuku sastra terbitan Medan.
Tarik-menarik mengenai pemakaian bahasa Melayu dan bahasa Belanda sebagai pelajaran di
sekolah sudah terjadi sejak abad ke-16. Mengingat pemberian bahasa Belanda di sekolah
dianggap akan lebih banyak mengeluarkan biaya, maka diputuskan bahasa Melayu sebagai
pelajaran wajib di sekolah. Diperlukan sejumlah buku pelajaran sebagai bahan ajar di sekolah.
Untuk memudahkan pelajaran dan sebagai usaha penyeragaman ejaan bahasa Melayu,
digunakanlah pedoman Ejaan van Ophuijsen (1901). Ejaan inilah yang kemudian juga dipakai
secara taat asas oleh redaktur Balai Pustaka. Lihat Maman S. Mahayana, “Perkembangan Bahasa
Indonesia—Melayu di Indonesia dalam Konteks Sistem Pendidikan,” Seminar Internasional
Bahasa dan Sastra Indonesia/Melayu, Bogor: Universitas Pakuan, 14—16 September 2002.
Balai Pustaka pada zaman Jepang berada di bawah lembaga ini (Keimin Bunka Syidosyo).
A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1. Ende: Nusa Indah, 1978), hlm. 150. Saya sengaja mengutip
pandangan Teeuw yang menurut hemat saya dapat dikategorikan sebagai pandangan Belanda
atas pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia. Kalimat terakhir yang dikatakannya: Jumlah
para pengarang Indonesia yang bergiat menghasilkan (kata mencipta agak terlalu muluk)
kesusastraan jenis ini amat kecil, dan hasil tulisan mereka merupakan hasil yang paling buruk…
tentu saja tidak sepenuhnya benar. Tetapi pandangan Teeuw inilah yang kemudian banyak
dikutip pengamat sastra Indonesia dan kemudian menyebar memasuki lembaran-lembaran buku
pelajaran sastra di sekolah. Dalam kasus ini, kesusastraan Indonesia digiring untuk masuk
kembali ke dalam mainstream kolonial Belanda. Beberapa tokoh lain yang juga orientasinya ke
Belanda, ikut pula mengukuhkan pandangan A. Teeuw ini.
Sebagai contoh, novel Nusa Penida karya Andjar Asmara ini pertama kali dimuat sebagai cerita
bersambung Asia Raja, 30 Juni 1942 sampai 14 September 1942. Setelah difilmkan, novel ini
kemudian disandiwarakan yang pementasannya bersamaan dengan pemutaran filmnya. Sama
sekali tak ada unsur propaganda dalam novel ini. Iklan pementasan sandiwara Nusa Penida yang
dimuat harian Asia Raja selama seminggu beturut-turut memperlihatkan antusiasme masyarakat
ketika itu. Beberapa cerpen Muhammad Dimyati, Rosihan Anwar, Aoh Hadimadja atau
Mariamin malah relatif bagus jika dilihat dari ukuran sastra pada masa itu. Bahwa pandangan
Teeuw dalam hal ini keliru, menunjukkan perlunya kita tak secara bulat-mentah menerima
pendapat siapa pun.
Dimuat majalah Keboedajaan Timoer, No. 3, Th. 2, 1945.
Adanya perubahan itu dinyatakan pula dalam ulasan mengenai drama itu. Di bagian akhir
ulasannya dikatakan: “Karangan ini disana-sini perloe kami oebah, dalam oesaha kami hendak
mendaki jang kami terangkan diatas tadi. Kesalahan-kesalahan jang bersangkoetan dengan
teknik dan komposisinja telah kami keloearkan sedapat-dapat kami. Segala peroebahan ini kami
lakoekan dengan mengingat tjara penoelis mengarang, bagaimana djalan pikirannja, agar soepaja

djangan sampai meroesakkan soeasana jang ditjita oleh penoelis. Sesoedah diadakan peroebahan
itoe dapatlah kiranja dimainkan.”
K. St. Pamuntjak, Balai Pustaka Sewadjarnya, (1948), hlm. 33.
Balai Pustaka di bawah pengawasan pemerintah kolonial Belanda memang bersikap netral
terhadap persoalan agama, pandangan politik, dan karya yang dianggap “cabul”. Artinya, karya
yang mengangkat persoalan itu tidak akan diterbitkan Balai Pustaka. Lihat A. Teeuw, Sastra
Baru Indonesia 1, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hlm. 32. Lihat juga syarat-syarat sayembara
mengarang yang diselenggarakan Balai Pustaka (Pedoman Pembatja, No. 6, Februari 1937)
Novel Atheis yang mengangkat tema keagamaan, Aki karya Idrus yang secara metaforis hendak
mempertanyakan kepercayaan manusia mengenai ajal dan kematian, Keluarga Gerilya atau Jalan
Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis yang menampilkan beberapa tokoh Belanda yang busuk,
niscaya tidak mungkin dapat diterbitkan Balai Pustaka ketika lembaga itu di bawah pengawasan
pemerintah Belanda. Contoh yang baik mengenai kasus ini terjadi pada novel Belenggu karya
Armijn Pane yang ditolak Balai Pustaka, tetapi kemudian diterbitkan oleh penerbit Dian Rakyat,
milik Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam konteks sistem penerbitan sastra, tampak bahwa
persoalan ideologis sering ikut mempengaruhi keberadaan sebuah teks.
Mengenai sistem penerbitan kesusastraan Indonesia –khususnya yang terjadi dalam dasawarsa
tahun 1950-an, periksa Maman S. Mahayana, Akar Melayu, Magelang: Indonesia Tera, 2001.
Beberapa kasus kecil mengenai persoalan tersebut, dapat disebutkan di sini, antara lain,
penggantian nama Kartasuwiryo –tokoh Darul Islam—dalam novel Kubah karya Ahmad Tohari;
reaksi beberapa orang Minang terhadap novel Warisan karya Chairul Harun; pelarangan pentas
terhadap Rendra dan beberapa penyair lain yang dianggap tidak sejalan dengan politik
pemerintah; penahanan Leon Agusta (21 Januari –20 Juli 1970) yang dianggap telah melakukan
permusuhan terhadap golongan Islam; penghilangan beberapa bagian novel Jantera Bianglala
karya Ahmad Tohari; keberatan salah satu penerbit di Jakarta untuk menerbitkan novel Para
Priyayi karya Umar Kayam; pelarangan pentas Marsinah Menggugat; penculikan penyair Wiji
Thukul, dan tentu saja masih banyak kasus serupa yang memperlihatkan represi pemerintah Orde
Baru.
Di luar penerbit yang berada di kota-kota besar di pulau Jawa, seperti Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, Surabaya, yang relatif gencar menerbitkan buku sastra, Pekanbaru, Bali, Lampung,
dan Makasar, juga cukup gencar menerbitkan buku-buku sastra.
Kesemarakan penerbitan buku-buku sastra itu tidak hanya ditandai dengan munculnya sejumlah
nama baru yang mengusung karya dengan tema yang lebih beragam, tetapi juga ditandai dengan
keberanian untuk mengungkapkan secara enteng, ringan, tanpa beban, sesuatu yang dulu justru
dianggap tabu. Periksa misalnya antologi cerpen Jenar Maesa Ayu dan Hudan Hidayat.
Beberapa penerbit buku sastra di Jakarta dapat disebutkan, di antaranya, Balai Pustaka, Pustaka
Jaya, Djambatan, Gramedia, Grasindo, Kompas, Kepustakaan Populer Gramedia, Yayasan Obor
Indonesia, Horison, Pustaka Sinar Harapan, Hasta Mitra, Grafiti Pers dan penerbit baru Creative
Writing Institute (CWI) dan Pena Gaia Klasik. Penerbit di luar Jakarta yang juga gencar
menerbitkan buku sastra, antara lain, Indonesia Tera (Magelang), Bentang Budaya, Gama Media,

Galang Press, AKY Press, Jendela, Yayasan Kesejahteraan Fatayat, Yayasan Aksara Indonesia
(Yogyakarta) Mizan, Syaamil Cipta Media, (Bandung), Yayasan Pusaka Riau (Pekan Baru),
Yayasan Citra Budaya Indonesia (Padang). Kemajuan teknologi di bidang grafika
memungkinkan “siapa pun” dapat menerbitkan buku. Dua novel Dewi Lestari, Supernova dan
Akar diterbitkan sendiri (Truedee Books). Itulah yang terjadi dalam sistem penerbitan sastra
Indonesia sekarang: semarak dan sangat beragam.
Filed under: Edisi Khusus, Esai
©2008-2011. Sastra-Indonesia.com. By PUstakapuJAngga.com. All rights Reserved