Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas keuangan
MENDORONG TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS
DANA KAMPANYE MELALUI PEMBATASAN TRANSAKSI
KEUANGAN TUNAI*
Oleh. Refki Saputra1
o ey as the other’s ilk of politics ,
Jesse Unruh - a leading Californian politician of the 6 ’s
ABSTRAK
ransparansi dan Akuntabilitas dana kampanye sangat erat kaitannya dengan wacana
mewujudkan pemilihan umum (pemilu) yang adil dan demokratis. Beberapa studi telah
menunjukkan bahwa peserta pemilu di Indonesia semakin tidak transparan dan tidak
akuntabel tentang pendanaan kampanyenya. Dalam pemilu 2004 dan 2009, partai politik masih
menerima dana kampanye dari sumber yang tidak jelas identitasnya dan tidak jujur pada saat
pelaporan kepada publik dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini sangat mungkin karena
aktivitas pendanaan kampanye masih penuh dengan transaksi keuangan yang dilakukan secara
tunai atau dengan kata lain, tidak melalui instrumen perbankan. Kondisi seperti itu, peserta
pemilu dapat dengan mudah mendapatkan dana dari non-kader perseoranagn atau korporasi
melebihi jumlah yang dibatasi oleh undang-undang. Hal ini bahkan lebih mengkhawatirkan jika
uang yang masuk ke peserta pemilu adalah hasil kejahatan. Dengan demikian, pilihan untuk
mengurangi bahkan melarang transaksi tunai dalam pendanaan kampanye sangat relevan
untuk diimplementasikan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menutupi kelemahan dari
aturan-aturan hukum yang ada dan juga untuk mendorong peserta pemilu lebih transparan dan
akuntabel dalam pendanaan kampanyenya.
T
Kata kunci: dana kampanye partai politik, transaksi tunai, menyamarkan
*
1
Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Pemilu dan Demokrasi #6 Tahun 2013 yang diterbitkan oleh Perkumpulan Pemilu
dan Demokrasi (Perludem).
Penulis adalah Peneliti Indonesian Legal Roundtable dan saat ini tengah menempuh pendidikan Magister Ilmu
Hukum di Universitas Indonesia.
pg. 1
A. Pendahuluan
Awal tahun 2013, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Lutfi Hasan Ishaq ditangkap oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap kuota impor daging sapi. Lutfi yang
menjabat sebagai presiden partai, diduga mempengaruhi kebijakan kuota impor daging sapi di
Kementerian Pertanian yang notabene dipimpin oleh kader PKS, Siswono. Dalam dakwaan Jaksa
Penuntut Umum yang dibacakan di depan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta (24/6/13),
disebutkan bahwa Luthfi pernah berkonsolidasi membahas rencana perolehan dana Rp 2 triliun
dalam rangka pemenuhan target PKS pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 (Kompas.com,
24/6/13). Terlepas benar tidaknya dakwaan jaksa, modus perburuan rente oknum politisi di
DPR RI dengan memanfaatkan jabatannya merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Namun
memang perlu ditelisik lebih jauh, apakah selain untuk kepentingan pribadi, keuntungan yang
didapat secara illegal tersebut hanya dinikmati sendiri atau memang untuk menyokong
pendanaan partai politik, seperti untuk kebutuhan dana kampanye.
Dalam era politik modern, uang memainkan peranan utama dalam kontestasi politik.
Sebagaimana salah satu kutipan terkenal dari seorang pemimpin politik di California tahun
1960an, Jesse Unruh ya g e yataka
o ey as the other’s ilk of politics (Nassmacher,
2003 : 5). Pengalaman pemilu tahun 2004 dan 2009 paling tidak menguatkan tesis demikian,
dimana partai yang paling banyak menggelontorkan belanja kampanye ternyata keluar sebagai
peraih kursi terbanyak. Tahun 2004, Golkar keluar menjadi pemenang pemilu dengan total
belanja kampanye sebesar Rp. 112,8 miliar. Sementara, tahun 2009 Demokrat mesti merogoh
kocek sampai Rp. 235,1 miliar untuk memenangkan pemilu, ketimbang Golkar yang hanya
mengeluarkan Rp. 145 miliar saat itu. Selain itu, belanja kampanye yang besar juga
membuahkan hasil positif bagi perolehan kursi bagi partai baru. Seperti yang dilakukan oleh
Partai Gerindra dengan membelanjakan dana lebih dari Rp. 300 miliar berhasil meraup 4,6 juta
suara dan 26 kursi DPR, lebih banyak 8 kursi dari Partai Hanura sesama partai baru di tahun
2009 (Supriyanto dan Wulandari, 2013:170). Belanja pemilu presiden (pilpres) juga tak kalah
hebatnya. Tahun 2009, pasangan SBY-Boediono adalah pasangan calon yang paling besar dana
kampanyenya, yakni sekitar Rp. 232 miliar, disusul Megawati-Prabowo (Rp. 260 miliar), dan
Jusuf Kalla-Wiranto (Rp. 83 miliar). Hal ini tentu akan bertambah banyak lagi jika kita merinci
belanja partai politik pada saat pemilu kepala daerah di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam ketentuan perundang-undangan, setiap partai politik diwajibkan menyediakan rekening
khusus dana kampanye2. Rekening khusus dan kampanye ini terpisah dengan Rekening partai
2
Rekening khusus dana kampanye hanya diwajibkan bagi partai politik peserta pemilu. Ketentuan ini dapat dibaca
dalam Penjelasan Pasal 13 Huruf j UU No. 2 Tahun 2008 jo UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
pg. 2
digunakan untuk pembiayaan rutin partai (political party finance), sedangkan reking khusus
dana kampanye digunakan untuk pembiayaan kampanye partai (campaign finance). Pasal 134
UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg) mewajibkan partai politik
peserta pemilu legislatif sesuai tingkatan memberikan laporan awal dana kampanye pemilu dan
rekening khusus dana kampanye pemilu kepada KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/kota.
Hal demikian juga diatur dalam Pemilu Presiden, dimana UU No. 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), dimana Pasangan calon diharuskan
mendaftarkan rekening khusus dana kampanye kepada KPU paling lama 7 hari setelah
penetapan peserta pemilu presiden oleh KPU (Pasal 98 Ayat 2).
Namun praktiknya, pada
Tabel 1. Perhitungan Belanja Iklan Partai Politik Pada Pemilu Tahun 2009
saat pelaksanaan pemilu,
banyak
partai
politik
BELANJA AKTUAL
BELANJA IKLAN
peserta pemilu yang tidak
PARTAI
SELISIH
IKLAN
YANG DILAPORKAN
melaporkan rekening awal
Golkar
Rp. 277.291.000.000 Rp. 105.727.996.650
Rp. 171.563.003.350
dana kampanyenya ke KPU.
Rp. 151.175.000.000 Rp. 86.998.699.150
Rp. 64.176.300.840
Kalaupun
dilaporkan, Gerindra
rekening dana kampanye PDIP
Rp. 102.892.000.000 Rp. 25.542.433.102
Rp. 77.349.566.898
tersebut akhirnya hanya Hanura
Rp. 44.795.000.000 Rp. 6.615.080.000
Rp. 38.179.920.000
menjadi pajangan saja.
Demokrat
Rp. 214.438.000.000 Rp. 139.127.528.740
Rp. 75.310.471.260
Banyak juga rekening dana
kampanye partai politik dan
Sumber: ICW, 2009
calon anggota DPD yang
jumlah uangnya tidak berubah (Supriyanto dan Wulandari, 2013 : 187-188). Hal serupa juga
ditunjukkan oleh hasil temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang dana kampanye
pemilu tahun 2009, dimana terdapat lima partai politik peserta pemilu yang tidak jujur dalam
melaporkan dana kampanyenya ke auditor. Hasil temuan tersebut menjabarkan selisih antara
belanja aktual partai politik di media cetak dan televisi yang melebihi dana kampanye yang
dilaporkan. Partai Golkar menempati urutan pertama yang selisih belanja kampanye aktual
dengan yang dilaporkan sangat signifikan, yakni senilai Rp. 171 miliar. Kemudian disusul
dengan PDIP (Rp. 77 miliar), Partai Demokrat (Rp. 75 miliar), Partai Gerindra (Rp. 64 miliar), dan
Partai Hanura (Rp. 38 miliar). Hal demikian menandakan, partai politik cenderung tidak
transparan dan akuntabel dalam pengelolaan dana kampanye untuk aktivitas politiknya.
Sumbangan dari perorangan non-kader dan badan usaha merupakan sumber dana yang paling
dominan diterima oleh partai politik. Semenjak dihapuskannya ketentuan bagi partai politik
pg. 3
untuk melaporkan keuangan partai setiap setahun sekali ke KPU, kondisi keuangan partai politik
(secara formal) tidak bisa diketahui, karena partai politik tidak pernah mempublikasikan laporan
keuangannya. Oleh karena itu, hampir tidak dapat dipastikan, siapa penyumbang yang nonkader ataupun dari perusahaan mana, dan juga berapa besar sumbangan yang diberikan.
Modus yang paling marak dilakukan adalah sumbangan yang diberikan secara langsung kepada
pengurus partai politik yang menduduki jabatan eksekutif, tetapi penyumbang tidak mau
menyebutkan identitas. Biasanya sumbangan tersebut diatasnamakan pengurus partai politik
yang tidak dibatasi jumlahnya, atau disalurkan secara diam-diam ke partai politik yang mana
sumbangan tersebut tidak tercatat alam buku kas penerimaan partai politik (Veri Junaidi, dkk,
2011 : 96-98).
Ketidaktransparan pendanaan partai politik tersebut ternyata sudah menjadi kultur sebagian
besar partai politik yang ada di parlemen. Hal ini dapat diketahui dengan menyimak survey
Tingkat Transparansi Pendanaan Partai Politik Di Tingkat Dewan Pimpinan Pimpinan Pusat
Partai Politik yang dilansir oleh Transparency International Indonesia tahun 2013
menyimpulkan bahwa rata-rata partai politik belum transparan. Dimana dari 9 (sembilan) partai
politik di DPR yang disurvey, hanya 5 partai yang sangat koperatif, yakni Gerindra, PAN, PDIP,
PKB, dan Hanura. Sementara, 1 partai koperatif (PPP), 2 partai kurang koperatif (PKS dan
Demokrat), dan 1 partai tidak kooperatif (Golkar). Hal yang paling krusial misalnya tampak
pada penilaian terkait dengan tingkat transparansi indentitas penyumbang dan besar
sumbangan dari perorangan bukan anggota partai politik dan dari perusahaan yang tidak
sampai 50% (Tranparency International Indonesia, 2013).
Kelemahan aturan merupakan masalah yang paling mendasar untuk mewujudkan tranparansi
dan akuntabilitas pendanaan kampanye partai politik. Khusus yang berkenaan dengan
ketentuan larangan yang masih terbilang sangat normatif dan tidak operasional. Misalnya
seperti larangan menerima dana dari pihak tertentu tanpa identitas yang jelas dan sumbangan
melebihi batas yang ditentukan. Ketentuan tersebut tidak dilengkapi dengan aturan lanjutan
perihal bagaimana sebaiknya dana yang disumbangkan ke partai politik tersebut dibayarkan.
Tentu hal ini merupakan celah (loop holes) yang cukup besar yang bisa dimanfaatkan oleh
partai politik untuk melakukan penyimpangan dalam pengelolaan dana kampanye politiknya.
Misalnya, uang yang diperuntukkan untuk dana kampanye, kemudian diterima oleh partai
politik atau tim sukses kampanye calon legislatif atau eksekutif dalam bentuk tunai (cash).
Sebagaimana sifat uang yang tergolong sebagai aset tidak bernama (anonymous asset), maka
dana yang diterima secara tunai tidak akan tercatat dalam sistem keuangan dan lebih jauh lagi
dana tersebut tidak akan terhitung sebagai pendapatan dana kampanye. Dalam UU Pilpres
mencantumkan larangan pasangan calon presiden dan wakil presiden menerima dana hasil
pg. 4
kejahatan atau tindak pidana3 yang mengikuti aturan-aturan dalam rezim anti pencucian uang.
Namun, sama halnya dengan yang dihadapi dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi dan
pencucian uang, aturan tersebut tidak akan berbuat banyak apabila transaksi keuangan
dilakukan secara tunai.
Tulisan singkat ini hendak menganalisis penggunaan transaksi keuangan tunai dalam aktivitas
pendanaan kampanye pemilu partai politik dan pemilu presiden dan wakil presiden
(selanjutnya kampanye politik). Hal ini ditengarai sebagai salah satu problem aktual dalam
mewujudkan pemilu yang adil dan demokratis. Pada dasarnya problem tersebut sangat erat
kaitannya dengan masalah yang dialami dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi dan
pencucian uang. Marakanya transaksi keuangan dalam bentuk tunai ditengah-tengah
masyarakat menjadi peluang untuk menyuburkan kejahatan keuangan tersebut. Dalam konteks
yang demikian, pelaksanaan pemilu bisa saja menjadi salah satu tempat tujuan untuk
menyamarkan harta hasil tindak pidana (criminal proceeds). Pada titik yang paling ekstrim,
sumber daya politik bisa jadi kemudian dikerahkan dalam mencari keuntungan illegal untuk
pembiayaan kampanye politik.
B. Kerentanan Transaksi Keuangan Tunai
1. Korupsi, Pencucian Uang dan Pendanaan Kampanye Secara Tunai
Penggunaan uang tunai dalam jumlah besar untuk tujuan pencucian uang bukan merupakan
fenomena baru lagi. Hanya saja, perhatian organisasi internasional terhadap pencucian uang
tunai tersebut baru muncul pada paruh kedua tahun 1990-an, pada saat dimana
penyelundupan uang tunai melintasi batas negara semakin meningkat. (Savona, Decarli and
Vertori, 2003 : 35). Dalam laporan Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering
Tahun 2000-2001, menjelaskan bahwa fenomena meningkatnya penggunaan uang tunai dalam
jumlah besar ditengah berkembangnya alat pembayaran non-tunai melalui perbankan adalah
karena porsi tersebesar dari hasil tindak pidana adalah uang tunai (FATF, 2001 : 16).
Kondisi demikian juga terjadi di Indonesia. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi dan
Keuangan (PPATK) menemukan fakta bahwa saat ini terdapat peningkatan kebiasaan transaksi
tunai/non-bank sebagian masyarakat dalam aktivitas keuangannya. Menurut PPATK, transaksi
pemindahan dana yang umumnya dilakukan secara non-tunai, baik transfer dana antar-bank
atau antar-penyelenggara, transfer dana, maupun pemindahbukuan antar rekening di suatu
bank, mulai bergeser menuju transaksi dalam bentuk tunai. Tercatat hingga Desember 2012,
3
Pasal 103 Ayat (1) Huruf c UU No. 42 Tahun 2008
pg. 5
Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT)4 berjumlah 12.365.555 laporan. Transaksi keuangan
tunai tersebut menunjukkan peningkatan tiap tahunnya. Hal ini berbanding lurus dengan
maraknya kasus-kasus korupsi dan pencucian uang yang terkungkap menggunakan uang tunai
oleh penegak hukum. Seperti kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan, Suap di Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (kemenakertrans), penemua save deposit box Gayus Tambunan, dan
Dhana Widyatmika dan masih banyak lagi. Berangkat dari hal demikian, dapat dipahami bahwa
besarnya peredaran uang dalam bentuk tunai inilah yang kemudian menjadi salah satu modus
kegiatan korupsi dan pencucian uang. Hal tersebut dilakukan karena aliran dana tunai tersebut
sulit untuk dilacak darimana uang tersebut berasal dan ke mana alirannya, karena tidak tercatat
secara resmi melalui sistem keuangan.
Tabel 2. Jumlah Laporan Transaksi Tunai (PPATK)
4
Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) merupakan laporan yang harus diberikan oleh Penyedia Jasa Keuangan
(PJK) atau Penyedia barang dan/atau jasa terhadap transaksi tunai yang dilakukan oleh pengguna jasa paling
sedikit Rp. 500 juta satu kali transaksi maupun beberapa kali dalam satu hari kerja. Lebih jauh lihat Pasal 23 dan
Pasal 27 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
pg. 6
Kasus korupsi dalam bentuk suap hampir dapat dipastikan dilakukan dengan menggunakan
uang tunai. Uang tunai selain mudah digunakan, juga akan mempersulit penegak hukum untuk
membuktikan siapa pemberi dan penerima suap tersebut. Suap dalam pengadaan barang
dan/atau jasa merupakan fee atau kick back kepada pejabat publik karena berhasil
memenangkan pihak tertentu sebagai pelaksana pengadaann barang dan/jasa. Uang suap
tersebut biasanya langsung diantar ke penerima suap seperti yang dialami oleh I Nyoman
Suisna dan Dadong Ibarelawan saat ditanggap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di
Kantor Kemenakertrans dengan barang bukti berupa uang suap sejumlah Rp. 1,5 miliar
dibungkus dalam kardus durian. Adapula uang suap yang terlebih dahulu ditransfer ke tempat
penukaran uang (money changer) dan kemudian diambil dalam bentuk tunai, seperti yang
dilakukan oleh Bulyan Royan (Anggota Komisi IX DPR RI Periode 2004 – 2009) dalam kasus suap
pengadaan kapal patrol Dirjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan tahun 2008.
Sementara dalam kasus-kasus pencucian uang, pelaku mencuci uang pada dasarnya bertujuan
untuk memutus hubungan (nexus) antara (a) pelaku dengan hasil kejahatan; (b) kejahatan
dengan hasil kejahatan; dan (c) pelaku, kejahatan dan akses terhadap hasil kejahatan. Dengan
kata lain, mekanisme pencucian uang biasa dilakukan oleh pelaku tindak pidana asal (misalnya
korupsi) yang ingin memisahkan diri dari setiap bukti dan harta hasil perolehan kejahatan yang
bisa memberatkannya, tetapi pada saat yang sama pelaku ingin tetap mempertahankan kontrol
dan akses kepada harta hasil kejahatannya (Paku Utama, 2013 : 124). Maka untuk memutus
hubungan antara pelaku, kejahatan dan aset hasil kejahatan yang paling mudah adalah dengan
menggunakan aset yang tidak atau tanpa nama (anonymous asset) dalam aktivitas bertransaksi.
Bentuk daripada aset tanpa nama yang paling sempurna adalah uang tunai. Selain itu, juga
termasuk didalamnya adalah perhiasan, logam mulia, dan beberapa sistem pembayaran
elektronik seperti e-money. Dalam kasus-kasus konkrit, pelaku korupsi misalnya mengaburkan
harta hasil korupsi dengan membeli barang-barang konsumsi dengan uang tunai seperti
kendaraan, properti, dan menukarkannya dengan aset tanpa nama lainnya. Dengan
menggunakan metode tersebut, penegak hukum akan kesulitan untuk mendeteksi dan
membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Dalam kasus suap yang melibatkan pegawai pajak golongan III A, Gayus Tambunan, uang tunai
hasil tindak pidana tersebut kemudian disimpan dalam save deposit box (SDB) dan juga
dikonversi kedalam mata uang asing dan instrument investasi. Dalam pengungkapan kasus
tersebut, polri menyita sejumlah harta Gayus di SDB Bank Mandiri Cabang Kelapa Gading
berupa uang tunai senilai Rp 925 juta, US$ 3,5 juta, US$ 659.800 dan 9.000.680 dolar
Singapura. Kemudian juga didapati 31 batang logam mulia masing-masing sebesar 100 gram.
Sebagai ilustrasi juga dapat dicermati dugaan rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh Jenderal
(Pol) Djoko Susilo yang kini tengah duduk di kursi pesakitan dalam perkara korupsi simulator
pg. 7
kemudi korlantas polri. Dalam dakwaan jaksa penuntut umum dan juga keterangan saksi-saksi
yang dihadirkan, terungkap bahwa Djoko menyamarkan aset hasil kejahantannya dengan
membeli properti, lahan dan SPBU yang pada umumnya dilakukan melalui transaksi tunai dan
menggunakan nama orang lain. Kemudian, untuk mengakali pajak, aset yang dibelipun
dikurangi nilai jualnya dalam akte jual-beli dari nilai transaksi sebenarnya. Hal ini tentunya
hanya bisa dilakukan dengan menggunakan transaksi tunai yang tidak tercatat dalam sistem
keuangan.
Adapaun terkait dengan pendanaan kampanye politik, pengguaan uang tunai dalam bentuk
sumbangan yang diberikan untuk dana kampanye marak sekali terjadi. Hal ini paling tidak dapat
dijelaskan ketika rekening dana kampanye yang dilaporkan ke KPU beberapa partai politik
ternyata saldo awalnya tidak berubah disaat akhir masa kampanye. Tidaklah mungkin partai
politik tidak mengeluarkan dana kampanye sepeserpun mengingat jika dibandingkan kebutuhan
operasional partai politik, jumlah dana kampanye setiap kali pemilu jauh lebih besar
(Supriyanto dan Wulandari, 2012 : 34). Kemudian juga, sulitnya mengetahui informasi tentang
siapa dan berapa besar sumbangan yang diberikan kepada partai politik atau pasangan calon
dalam pemilu presiden.
Undang-undang mengatur batasan jumlah sumbangan dari perseorangan non-kader dan dari
dunia usaha atau korporasi, sementara untuk kader partai politik tidak dibatasi.5 Sedangkan
kebutuhan logistik untuk dana kampanye amatlah besar dan seringkali dianggap sebagai faktor
penentu kemenangan elektoral. Dalam kondisi pragmatisme partai saat ini, sudah menjadi
rahasia umum jika pihak luar partai politik (perseorangan dan/atau dunia usaha) begitu royal
mendonasikan harta mereka ke partai politik. Mengingat penentu kebijakan publik pada
dasarnya diempu oleh anggota partai politik yang duduk dikursi-kursi pemerintahan, sangat
u gki jika do asi dari ereka bertujua u tuk
e beli kebijaka dari anggota partai.
Pakem yang berlaku disebagian besar partai politik jika ketersediaan uang memainakan
peranan yang cukup besar dalam meraup suara dalam pemilu. Adanya celah (gap) antara
batasan sumbangan dari pihak luar partai politik, iuran anggota partai yang tidak signifikan
5
Besaran sumbangan politik yang diperbolehkan dapat ditemukan dalam UU No. 2 Tahun 2008 jo. UU No. 2
Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol); UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD (UU Pileg); dan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres); dan UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda). Terhadap pembiayaan rutin partai politik, UU
Parpol menentukan sumbangan perseoranagn non-kader paling banyak adalah Rp. 1 miliar dan untuk dunia
usaha atau korporasi paling banyak Rp. 7,5 miliar (Pasal 35 ayat 1). Sementara, untuk sumbangan dana
kampanye pemilu legislatif, sumbangan perseorangan non-kader dan dunia usaha masing-masing paling banyak
Rp. 1 miliar dan Rp. 7,5 miliar (Pasal 131 UU Pileg); untuk dana Kampanye pemilu presiden dan wakil presiden,
Rp. 1 miliar dan Rp. 5 miliar (Pasal 96 UU Pilpres); dan untuk pilkada Rp. 50 juta dan Rp. 350 juta.
pg. 8
dengan keinginan yang besar bagi pihak tertentu untuk menyumbang ke partai politik,
mendorong partai politik untuk menggunakan segala cara untuk menggalang dana politik.
Salah satu cara agar dapat mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya tanpa harus mengikuti
batasan-batasan dan pelaporan yang disyaratkan oleh undang-undang adalah dengan
menerima sumbangan dalam bentuk uang tunai. Hal ini dilakukan karena uang yang diterima
secara tunai atau tidak melalui mekanisme perbankan tidak akan masuk ke rekening dana
kampanye yang harus dilaporkan ke KPU. Artinya, uang yang diterima partai atau tim sukses
tidak tercatat sebagai pemasukan dana kampanye. Penyumbang dari luar partai politik bisa
memberikan donasi melebihi dari yang ditentukan oleh undang-undang dengan
memberikannya melalui anggota partai politik, dimana seolah-olah yang menyumbang adalah
anggota partai bukan dari luar partai. Sumbangan untuk dana kampanye bisa langsung
dibelanjakan tanpa perlu dicatatkan sebagai dana kampanye.
Praktik demikian sangat dimungkinkan masuknya dana yang berasal dari tindak pidana tertentu
masuk ke partai politik. Boleh jadi, partai politik kemudian memang menargetkan pencarian
dana untuk keperluan politik dari dana-dana yang tidak halal. Hal demikian yang sebenarnya
dapat dilihat dari persepktif pencucian uang. Dimana, pelaku pencuci uang selalu ingin
memutus hubungan antara keberadaannya dengan kejahatannya dan hasil tindak pidana,
namun disisi lain tetap mempertahankan kontrol terhadap akses dari harta tersebut. Seorang
pelaku pencuci uang membeli aset atas nama istri, saudara atau orang lain yang bisa ia
kendalikan, semata-mata hanya untuk memastikan bahwa harta hasil tindak pidana yang ia
samarkan tidak beralih ke pihak manapun, namun tetap menjadi miliknya. Sama halnya dengan
dana kampanye yang diperoleh dari seseorang yang mempunyai tujuan tertentu terhadap
partai politik, itu semata-mata hanya memastikan jika partai politik atau pasangan calon yang ia
danai akan dapat memberikan keuntungan dengan kebijakan-kebijkan yang menguntungkan
bagi dirinya kelak jika terpilih.
Kasus korupsi terkait de ga obral izi tambang dan perkebunan yang melibatkan kepala
daerah incumbent menjadi pelajaran yang nyata terkait dengan pendanaan kampanye dengan
urang haram. Jamak diketahui jika menjelang pemilihan umum kepala daerah (pilkada), tren
pemberian izin usaha pertambangan dan perkebunan meningkat drastis. Hasil penelitian
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bengkulu tahun 2009 – 2010, yakni pada saat pemilu dan
pilkada Provinsi Bengkulu digelar, diterbitkan izin usaha pertambangan dan perkebunan bagi 42
perusahaan yang mengakibatkan perusahaan menguasai lahan 75.703 hektar (Kompas,
18/4/12). Kondisi ini misalnya dapat dicermati dalam kasus korupsi yang melibatkan Bupati
Buol, Sulawesi Tengah, Amran Batalipu dan pengusaha perkebunan Hartati Murdaya. Dalam
pg. 9
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) Jakarta yang dibacakan pada tanggal 4
Februari 2013, Hartati terbukti menerima suap kepada Amran sejumlah Rp. 3 miliar untuk
mengurus HGU terhadap lahan atas nama perusahaan yang ia pimpin yang belum memiliki HGU
(Viva.co.id, 4/2/13). Uang suap yang diterima Amran secara tunai tersebut adalah cara yang
paling marak dilakukan seorang calon incumbent dalam menggalang dana politik untuk
memenangkan pilkada.
2. Membatasi Transaksi Tunai
Uang meruapakan alasan utama bagi mayoritas pelaku kejahatan melakukan kejahatan atau
perbuatan illegal, dimana uang tercemar tersebut tidak akan benar-benar dapat dinikmati
sebelum asal-asulnya dikaburkan atau sama sekali dihilangkan (Lilley, 2006: xii). Kelemahan dari
prinsip mengikuti aliran uang (follow the money) dalam penegakan hukum tindak pidana
pencucian uang adalah apabila instrumen yang digunakan adalah uang tunai. Penggunaan uang
tunai dalam transaksi keuangan dari orang perorang secara langsung, otomatis akan memutus
nexus antara pelaku kejahatan dengan tindak pidana dan aset kejahatan. Dengan demikian,
tujuan menyamarkan atau menghilangkan asal usul harta hasil kejahatan secara sempurna
dapat dilakukan.
Beberapa negara sudah mengambil antisipasi dengan memberlakukan pembatasan terhadap
transaksi keuangan tunai dalam batasan tertentu. Beberapa diantaranya adalah Austria,
Finlandia, Jerman, Irlandia, Luxemburg, Portugal, Spanyol, Swedia, Inggris, Italia, Meksiko,
Perancis, Belgia, Armenia, Bulgaria, dan Ukraina. Secara umum transaksi tunai dalam jumlah
tertentu yang dilarang adalam pembayaran tunai antarindividu, penukaran valuta asing secara
tunai, dan pembelian barang dan/jasa. Kemudian terdapat juga pengecualian atau kondisikondisi tertentu di mana aturan pembatasan tersebut tidak diterapkan. Negara yang melarang
transaksi tunai dalam jumlah tertentu antar individu antara lain adalah Italia (minimal EUR
1.000 atau Rp. 13 Juta) dan Armenia (Minimal AMD 3 Juta atau Rp. 69 juta). Transaksi yang
dilarang bail dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam waktu yang cukup
dekat dengan jumlah sebagaimana dimaksud. Sementara itu, hampir sebagian besar negaranegara tersebut melarang transaksi tunai dalam pembelian barang-barang mewah seperti
mobil dan properti (Gunawan, dkk, 2013 : 58 – 62).
Di Indonesia sebenarnya pernah memiliki aturan hukum yang membatasi transaksi keuangan
tunai dalam jumlah tertentu pada awal-awal kemerdekaan, yakni Undang-undang Nomor 10
Tahun 1946 tentang Pembawaan Uang Dari Satu Ke Lain Daerah dan Undang-undang Nomor
32 Tahun 1948 tentang Peredaran Uang dengan Perantaraan Bank. Dalam ketentuan UU No.
pg. 10
10 Tahun 1946 diatur mengenai pelarangan terhadap pembawaan uang tunai melebihi f. 1.000
(seribu rupiah) ke daerah lain di Jawa dan Madura. Sedangkan UU No. 32 Tahun 1948, melarang
seseorang untuk melakukan pembayaran secara tunai dalam nominal uang yang melebihi R.
25.000,-. Pembayaran demikian harus melalui perantara (melalui lembaga bank). Selain
melarang pembayaran uang tunai dalam jumlah besar, undang-undang ini juga melarang
penyimpanan uang tunai oleh seseorang yang tidak kurang dari R. 100.000,- dan pemindahan
uang tunai ke daerah lain sebesar R. 25.000,- secara tunai. Adapun tujuan pembentukan
undang-undang ini adalah untuk menyehatkan peredaran uang ditengah-tengah masyarakat
kala itu. Sebegitu pentingnya esensi aturan tersebut, bagi setiap pelanggar akan dikenakan
hukuman berupa denda sebesar R. 1.000.000,- atau pidana penjara selama-lamanya 1 tahun.
Dengan kata lain, pelanggaran terhadap norma ini sudah diklasifikasikan sebagai suatu
kejahatan.
Saat ini, PPATK telah memformulasikan usulan materi pembatasan transaksi tunai berdasarkan
pengalamannya menangani tindak pidana pidana pencucian uang. Usulan tersebut sempat
didorong untuk dimasukan menjadi salah satu materi muatan dalam RUU Transfer Dana (UU
No. 3 Tahun 2011), namun kemudian ditolak oleh Komisi XI DPR RI. Wakil Ketua Komisi XI DPR
dari Fraksi Golkar Harry Azhar Azis mengatakan, jika pembatasan minimal transaksi tunai
diterapkan maka akan menghambat masyarakat bertransaksi dan akan menghalangi proses
transaksi, jadi menurutnya tidak perlu ada pembatasan (Gunawan, dkk, Ibid., 77 -76).
Setelah beberapa kali pembahasan, adapun usulan PPATK terkait materi pembatasan transaksi tunai
yang sudah direvisi adalah sebagai berikut:
a. ”Setiap transaksi setoran tunai untuk rekening simpanan suatu pihak dengan jumlah atau lebih besar
dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) wajib ditolak atau wajib dilakukan secara
pemindahbukuan”.
Keterangan: Apabila transaksi di atas dilakukan oleh bukan nasabah bank yang bersangkutan, maka
penyetor tunai dapat membuka rekening simpanan di bank tersebut atau dapat menggunakan
rekening di bank lainnya atas nama penyetor untuk kemudian mentransfer ke rekening bank pihak
yang dituju. Di beberapa bank asing hal ini sudah diterapkan.
b. “Setiap transaksi transfer dana yang sumber dananya berasal dari setoran tunai dengan jumlah atau
lebih besar dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) wajib ditolak atau wajib dilakukan secara
pemindahbukuan atau transfer”.
Keterangan: Setiap transaksi transfer dana yang sumber dananya berasal dari setoran tunai yg
dilakukan oleh bukan nasabah bank yang bersangkutan (sebagai walk in customer), maka penyetor
tunai dapat membuka rekening simpanan di bank tersebut atau dapat menggunakan rekening di
bank lainnya atas nama penyetor untuk kemudian mentransfer ke rekening bank pihak yang dituju.
c. “Setiap transaksi transfer dana setara atau melebihi Rp. 100.000.000,00 yang sumber dananya berasal
pg. 11
dari penarikan secara tunai wajib ditolak atau wajib dilakukan secara pemindahbukuan atau
transfer.”
d. ”Setiap transaksi transfer dana yang ditujukan untuk diterima secara tunai oleh Penerima yang bukan
nasabah Bank Penerima tidak boleh melebihi dari Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”
Keterangan: Transaksi dilakukan melebihi Rp. 100.000.000, maka penerima transfer harus membuka
rekening simpanan di bank penerima tersebut terlebih dahulu.
e. ”Setiap transaksi tarik tunai atas beban rekening simpanan suatu pihak yang bukan merupakan
rekening penarik dana tunai tersebut tidak boleh melebihi dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah)”.
Keterangan: Pengaturan ini mendorong penarik dana untuk melakukan transaksi transfer dana atau
pemindahbukuan untuk untung rekening penarik dana tersebut. Transaksi ini misalnya penarikan cek
atas beban rekening pihak ketiga secara tunai (Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, 2012
: 27 – 28).
Walaupun demikian, wacana pembatasan transaksi tunai kemudian diformalkan dalam dalam
instrument kebijakan, yakni melalui Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
(Stranas PPK) Baik Jangka Panjang (2012–2025) dan Jangka Menengah (2012–2014), yang diatur
lebih lanjut dalam Perpres No. 55 Tahun 2012. Mengenai pembatasan nilai transaksi tunai
tersebut ditempatkan pada kategori strategi jangka menengah (2012–2014). Dari situ dapat kita
nilai bahwa, wacana tersebut sudah menjadi prioritas agenda pemerintah dalam hal
pencegahan dan pemberantasan tidak pidana korupsi yang harus tuntas sebelum tahun 2015.
Belakangan, pembahasan RUU Pembatasan transaksi tunai tengah digodok oleh tim dibawah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Walaupun mendapat tantangan dari masyarakat,
dunia usaha maupun perbankan terkait kesiapan infrastruktur, namun RUU ini sangat realistis
untuk ditepakan dengan beberapa pengecualian tertentu seperti yang dipraktikan oleh berapa
negara yang sudah menerapkan pembatasan. Mengingat upaya penegakan hukum tidak serta
merta akan menurunkan tingkat kejahatan, maka harus ada upaya yang strategis untuk
mempersempit ruang gerak para penjahat-penjahat kerah putih tersebut.
C. Mendanai Kampanye Politik via Non-Tunai
1. Pilihan Mekanisme
Akuntabilitas pendanaan kampanye politik dapat terselenggara apabila arus masuk dan
keluarnya dana tersebut dapat dipertangungjawabkan. Pada sisi pemasukan, harus dapat
dijelaskan sumber dan besaran dana yang didonasikan kepada partai. Sementara untuk
pengeluaran, harus jelas untuk apa dana tersebut digunakan. Problem akuntabilitas dana
kampanye salah satunya adalah terkait dengan ketidakjelasan identitas penyumbang dan
besaran sumbangan yang diberikan. Supriyanto dan Wulandari (2013) menjelaskan bahwa, baik
pg. 12
dalam pemilu presiden tahun 2004 dan 2009 masih ditemukan penyumbang dana kampanye
yang tidak jelas identitasnya. Mulai dari tidak mencantumkan KTP dan NPWP, juga ditemui ada
penyumbang yang dinilai secara ekonomi tidak layak menyumbang, dengan kata lain namanya
hanya digunakan sebagai daftar penyumbang. Adapun perbandingan sumbangan dana
kampanye pemilu presiden tahun 2004 dan 2009 yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
penyumbangnya adalah sebagai berikut:
PEMILU PRESIDEN 2004
Pasangan Calon
Total Sumbangan Tidak
Jelas Identitasnnya
PEMILU PRESIDEN 2009
Pasangan Calon
Total Sumbangan Tidak
Jelas Identitasnnya
Mega – Hasyim
Rp. 990 juta
SBY - Boediono
Rp. 30, 9 miliar
SBY – Kalla
Rp. 194 juta
JK – Wiranto
Rp. 1,2 miliar
Megawati –
Rp. 8,1 miliar
Prabowo
Kelemahan undang-undang juga tidak diatur secara tegas terhadap semua sumbangan danya
kampanye politik harus masuk ke rekening khusus dana kampanye. Akibatnya, penyumbang
bisa saja mendonasikan uangnya (biasanya secara tunai) ke partai politik atau pasangan calon
presiden dan wakil presiden untuk dibelanjakan langsung, tanpa dicatatkan dalam arus kas
dana kampanye. Donasi juga bisa diberikan langsung ke calon legislatif untuk dibelanjakan
langsung mengingat sistem pemilu kita yang juga dilakukan melalui sistem pemilihan langsung
dengan suara terbanyak.
Selian itu, hal krusial lainnya juga terkait dengan tidak adanya batasan terhadap sumbangan
kader partai politik untuk dana kampanye. Berapapun jumlahnya anggota partai politik bisa
menyumbang kepada partai politik untuk biaya kampanye. Hal ini, selain akan membuat
kebijakan-kebijakan strategis partai politik akan dikuasai oleh kader-kader yang bermodal besar
(oligarki partai) dan juga bisa dimanfaatkan oleh penyumbang non-kader untuk mendanai
kampanye melalui kader partai, seolah-olah uang tersebut berasal dari si kader. Hal ini sangat
rentan bagai partai politik dan pasangan calon presiden dan wakil presiden mendapatkan dana
kampanye dari hasil tindak pidana, karena penerima uang hasil kejahatan sudah termasuk
pecuci uang pasif, sepanjang ia mengetahui atau patut menduga uang tersebut hasil tindak
pidana.
Pada dasarnya untuk mengurangi penggunaan uang tunai dalam aktivitas apapun, termasuk
pendanaan kampanye politik, paling tidak dapat dilakukan dengan membatasi transaksi tarik
pg. 13
tunai pada bank. Walaupun tidak akan menghilangkan secara keselutuhan transaksi tunai
dalam skala besar misalnya dalam bisnis narkoba, namun paling tidak jumlah uang yang beredar
apabila transaksi tarik tunai dibatasi tentu akan jauh berkurang. Sebagai ilustrasi, penggunaan
uang tunai tahun pada kuartal pertama tahun 2011 menurut data yang dihimpum oleh Bank
Indonesia adalah sekitar Rp. 336,65 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan
dengan jumlah transaksi non-tunai pada kuartal yang sama, yakni hanya Rp. 31 triliun
(Gunawan, dkk, 2013: 3). Besarnya nilai transaksi tunai di Indonesia tersebut tentu sangat
potensial dimanfaatkan oleh partai politik dan pasangan calon presiden untuk mendanai
kampanye politik mereka untuk menghindar dari kewajiban-kewajiban akuntablitas dana
kampanye yang sudah ada dalam peraturan perundang-undangan.
Gambar 1. Skema Transaksi Pada Bank
BANK A
1
NASABAH
BANK A
BANK B
2
.
NASABAH
BANK B
Transaksi keuangan tunai yang paling rawan digunakan untuk tindakan illegal adalah transaksi
dari orang per orang (misalnya suap) atau dari bank (penyedia jasa keuangan) ke nasabah
melalui tarik tunai. Uang yang diambil melalui bank melalui traik tunai tidak akan terlacak oleh
PPATK karena sudah keluar dari sistem keuangan. Dalam diagram 1. diatas dapat dilihat
transaksi antara Nasabah Bank A dengan Bank A (nomor 1) dan antara Nasabah Bank B dengan
Bank B (nomor 2) menunjukkan transaksi yang sudah keluar dari sistem keuangan. Uang yang
ada pada Nasabah Bank A bisa saja kemudian ditransaksikan kepada Nasabah Bank B secara
langsung untuk kepentingan illegal tanpa diketahui oleh PPATK. Dalam skenario pendanaan
kampanye politik, dapat dikondisikan Nasabah Bank A sebagai donator, dan Nasabah Bank B
sebagai Bendahara Partai, Kader partai atau caleg juga tim sukses pasangan calon presiden dan
wakil presiden. Apabila transaksi tarik tunai dalam jumlah besar dikurangi atau dibatasi, maka
pg. 14
otomatis akan menurunkan resiko pendanaan kampanye politik dengan uang tunai, karena
jumlah uang tunai yang sudah berkurang.
Saat ini, RUU Pembatasan transaksi keuangan tunai masih dalam tahap pembahasan naskah
akademik oleh pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, aturan pembatasan transksi tunai dalam
bentuk undang-undang tidak akan mungkin dapat dilaksanakan dalam waktu dekat. Namun,
upaya membatasi transaksi tunai bukan hal yang mustahil untuk diberlakukan segera menjelang
pemilu tahun 2014. Adapun pilihan untuk mengurangi penggunaan transaksi tunai dalam
pendanaan kampanye politik adalah: Pertama. Melalui pembatasan nilai tarik tunai pada bankbank yang ada dibawah pengawasan Bank Indonesia (BI). Sebagai regulator sistem pembayaran,
BI dapat menerbitkan instrumen hukum untuk mengatur batasan transaksi tunai yang
dibolehkan oleh suatu bank. Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI), BI dapat melarang
transaksi tarik tunai dalam jumlah tertentu, misalnya paling sedikit Rp. 500 juta. Dengan
demikian, nasabah akan didorong untuk menggunakan aktivitas perbankan dalam transaksi
dalam skala besar. Hal ini bertitik tolak pada pemikiran bahwa uang tunai yang digunakan
dalam beberapa kasus korupsi, terutama suap adalah bersumber dari tarik tunai. Berbeda
halnya dengan uang tunai dari hasil bisnis narkotika, dimana uang tunai berasal dari hasil
penjualan yang memang dilakukan secara tunai oleh Bandar ke pengedar lalu ke konsumen.
Apabila kemudian, nasabah tidak dapat menarik tunai uangnya dalam jumlah besar dalam satu
kali transaksi atau beberapa kali dalam waktu yang berdekatan, maka dampaknya akan sangat
signifikan mengurangi peredaran uang tunai di masyarakat. Hal ini tentu akan berpengaruh
terhadap sumbangan dana kampanye politik yang selama ini dilakukan secara tunai berapapun
jumlahnya. Jika transaksi dilakukan secara non-tunai, tentu dapat dilacak identitas penyumbang
dan besaran nilai sumbangan dari catatan transaksi yang dilakukan.
Kedua. Cara lain yang dapat dilakukan adalah melalui kebijakan oleh penyelenggara pemilu,
yang dalam hal ini dilaksanakan oleh KPU. Dalam menjalankan kewenangan, KPU dapat
menerbitkan peraturan-peraturan teknis untuk memperlancar kerja-kerja fungsionalnya. Dalam
konteks pendanaan partai politik, KPU dapat menerbitkan peraturan yang mengatur tata cara
pemberian sumbangan dana kampanye kepada partai politik dan pasangan calon presiden dan
wakil presiden. Materi pengaturan dapat berupa larangan pendanaan kepada partai politik
untuk menerima sumbangan, baik dari kader ataupun dari non kader secara tunai. Semua
sumbangan harus dilakukan secara non-tunai atau melalui transfer dana ke rekening khusus
dana kampanye yang dilaporka ke KPU. Sumbangan yang diberikan diluar dari rekening yang
pg. 15
dilaporkan harus dianggap sebagai pelanggaran kampanye sebagaimana bentuk-bentuk
pelanggaran kampanye lainnya.
Kemudian untuk menjamin penegakannya, larangan tersebut tentu harus diberi sanksi bagi
peserta pemilu yang kemudian kedapatan menerima sumbangan dalam bentuk tunai. KPU bisa
menegenakan sanksi dengan merampas uang sumbangan yang diterima peserta pemilu untuk
disetor ke kas negara atau bentuk sanksi administratif lainnya. Aturan mengenai pembayaran
uang ke kas negara tersebut juga harus jelas mekanismenya. Jangan seperti pengalaman pemilu
tahun 2004 dan 2009, dimana KPU tidak bisa memastikan penyetoran uang illegal 6 yang masuk
ke rekening dana kamapanye peserta pemilu karena alasan belum ada aturan yang
mengaturnya (Supriyanto dan Wulandari, 2013: 135). Sanksi tersebut juga harus dibarengi oleh
sanksi terhadap sumbangan non-tunai yang tidak melalui rekening dana kampanye yang
dilaporkan. Seperti sumbangan yang diberikan ke rekening kader partai politik atau caleg yang
kemudian digunakan langsung untuk biaya kampanye.
2. Pengawasan
Untuk menjamin tegaknya peraturan yang dibuat, diperlukan pengawasan yang konsisten dan
berkesinambungan. Pengawasan yang baik dalam penyelenggaran pemilu minimal
terkonsolidasinya fungsi penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), menjaring kerjasama
dengan lembaga lain, baik penegak hukum maupun instansi terkait, juga memperbesar
kesempatan peran serta masyarakat untuk memantau jalannya pemilu.
Dalam hal belum dibatasinya transaksi tunai dalam jumlah tertentu, tentu pengawasan harus
lebih maksimal karena masyarakat masih bebas bertransaksi secara tunai berapapun
jumlahnya. Peran Badan Pengawas Pemilu (bawaslu) tentunya menjadi sangat sentral
mengingat pendanaan kampanye merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas
pelaksanaan kampanye pemilu. Bawaslu dapat secara aktif mengawasi peserta pemilu yang
menerima dana kampanye secara tunai. Selain itu juga harus aktif merespon laporan dari
masyarakat terkait dugaan pelanggaran transaksi tunai yang dilakukan oleh peserta pemilu.
Selain itu, penting untuk melibatkan PPATK yang memilki kewenangan dalam memantau
aktivitas transaksi keuangan. Terkait dengan transaksi tunai, berdasarkan ketentuan UU No. 8
Tahun 2010, pihak penyedia jasa keuangan (misalnya bank) berkewajiban melaporkan setiap
6
Ilegal maksudnya disini adalah dana kampanye yang berasal dari sumbangan perseorangan non-kader dan dari
badan usaha yang melebihi batas nominal yang ditentukan oleh undang-undang dan yang tidak jelas identitas
dan besaran sumbangannya.
pg. 16
transaksi keuangan tunai (tarik maupun setor tunai) dalam jumlah paling sedikit Rp. 500 juta
kepada PPATK. Berdasarkan data yang dimiliki PPATK, KPU dapat memantau aktivitas tranasksi
tunai dari kader partai yang diduga menarik uang tunai terkait dengan pendanaan kampanye.
Syaratnya, setiap nama-nama caleg, tim sukses beserta nomor rekeningnya harus diserahkan ke
PPATK untuk mempermudah pemantauan aktivitas transaksi. Jika kemudian didapati kalkulasi
biaya kampanye yang melebihi dana kampanye yang terdapat dalam rekening khusus dana
kampanye, hal tersebut sudah pasti tergolong suatu pelanggaran karena dapat dipastikan dana
yang dipakai untuk belanja kampanye tersebut berasal dari transaksi tunai.
D. Penutup
Maraknya transaksi keuangan tunai ditengah-tengah masyarakat berkorelasi dengan tingginya
angka korupsi dan pencucian uang di Indonesia. Hal ini dikarenakan sifat dari uang tunai yang
tergolong aset yang tidak bernama (anonymous asset) seringkali digunakan dalam tindak
pidana karena akan menyulitkan penegak hukum untuk melakukan pelacakan terhadap pelaku
tindak pidana tersebut. Karakteristik tindak piana pencucian uang adalah dengan mengaburkan
bahkan memutus hubungan antara pelaku tindak pidana asal (predicate crime) dengan
kejahatan dan/atau aset hasil kejahatan, namun tetap memastikan kontrol atas akses kepada
aset tersebut. Hal ini dapat diasosiasikan dengan pendanaan partai politik yang dilakukan
secara tunai karena selain untuk menyamarkan identitas penyumbang agar dapat
mendonasikan sumbangan kepada partai politik dalam jumlah yang tidak terbatas, dengan
demikian para donator dapat mengotrol kebijakan partai sesuai dengan besaran sumbangan
yang diberikan.
Hal ini harus dicegah dengan membatasi atau bahkan melarang partai politik menerima
sumbangan secara tunai dari donator. Saat ini karena belum ada ketentuan yang mengatur
peihal pembatasan transaksi tunai, maka dapat diambil kebijakan oleh penyelanggara pemilu
untuk mengaturnya pada batas-batas tertentu. Agar kebijakan tersebut dapat berjalan tentu
harus didukung dengan penegakan hukum yang tegas dan juga kerjasama dengan instansi
terkait, baik sesame penyelengara pemilu, penegak hukum bahkan institusi lain yang terkait.
Namun memang upaya mendorong transaksi non-tunai dalam pendanaan partai politik bukan
tanpa titik lemah. Sebelum ketentuan tentang pembatasan transksi tunai berlaku secara umum,
baik melalui undang-undang dan minimal melalui PBI, potensi transksi tunai masih saja cukup
besar dilakukan dalam setiap pendanaan kampanye. Begitupun sumbangan non-tunai yang
diberikan melalui rekening personal kader partai politik, tim sukses maupun simpatisan yang
kemudian dapat digunakan untuk biaya kampanye tanpa tercatat sebagai sumbangan dana
pg. 17
kampanye. Pengawasan terhadap auditor yang dapat saja main mata dengan peserta pemilu
harus semaksimal mungkin diupayakan dengan memperketat seleksi auditor dan juga kebijakan
administratif dalam kotrak antara KPU dengan auditor apabila ditemukan pelanggaran. Karena
penyimpangan yang dilakukan auditor harus dianggap sebagai perbuatan auditor tidak
memenuhi kotrak perjanjian (wanprestasi).
-o0o-
pg. 18
Daftar Pustaka
Buku, Jurnal dan Laporan
Andri Gunawan, Erwin Natosmal Oemar, dan Refki Saputra, 2013, Membatasi Transaksi Tunai;
Peluang dan Tantangan, Indonesian Legal Roundtable, Jakarta.
Didik Supriyanto dan Lia Wulandari, 2013, Basa-Basi Dana Kampanye; Pengabaian Prinsip
Transparansi dan Akuntabilitas Peserta Pemilu, Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi,
Jakarta.
Ernesto U. Savona, Silvia Decarli, Barbara Vertori, 2003, Use of Cash Payments For Money
Laundering Purposes: Comparative Study Into the Current Legislative Control On
Large-Scale Cash Payments Within The UE Member States And An Analysis Of The
Use Of Such Payments For Money Laundering Purposes, European Commision and
Transcrime, Universita degli Studi di Trento.
Financial Action Task Force on Money Laundering; Annual Report 2000 – 2001, France.
Ibrahim Z. Fahmi Badoh dan Abdulah Dahlan, 2010, Korupsi Pemilu di Indonesia, Indonesia
Corruption Watch, Jakarta.
Kajian Pembatasan Transaksi Tunai, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik
Indonesia, 2012, Jakarta.
Karl-Heinz Nassmacher, 2003, Introduction: Political Parties, Funding and Democracy In Funding
of Political Parties and Election Campaigns; Handbook Series, International Institute
for Democracy and Electoral Assistance, Sweden.
Laporan Hasil Pengukuran Tingkat Transparansi Pendanaan Partai Politik Di Tingkat Dewan
Pimpinan Pusat 2013, Tranparency International Indonesia, Jakarta.
Paku Utama, 2013, Upaya Mengembalikan Aset Hasil Korupsi : Memahami Seluk Beluk
Pemahamannya, Tidak diterbitkan.
Peter Lilley, 2006, Dirty Dealing; The Untold Truth About Global Money Laundering,
International Crime And Terrorism, Kogan Page, London and Philadelphia.
Veri Junaidi, dkk, 2011, Anomali Keuangan Partai Politik; Pengaturan dan Praktek, Kemitraan
Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, Jakarta.
Website dan media cetak
Akhir Perjalanan Hartati Murdaya; Gara-gara uang Rp3 miliar. Terbukti menyuap http://
fokus.news.viva.co.id/news/read/387661-akhir-perjalanan-hartati-murdaya, diakses
pada tanggal 19 Juli 2013
Kumpulkan Rp 2 Triliun untuk PKS, Luthfi Disebut Kawal Proyek , http:// asio al.ko pas.
com/read/2013/06/24/1912078/Kumpulkan.Rp.2.Triliun.untuk.PKS.Luthfi.Disebut.K
awal.Proyek, diakses pada tanggal 7 Juli 2013.
pg. 19
Pilkada Jadi Ajang Obral Perizinan , KOMPA“
April
.
Peraturan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1946 tentang Pembawaan Uang Dari Satu Ke Lain Daerah.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1948 tentang Peredaran Uang dengan Perantaraan Bank.
Refki Saputra, Menyelesaikan Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Andalas pada
tahun 2010. Semasa mahasiswa bergabung dengan Lembaga Advokasi Mahasiswa dan
Pengkajian Kemasyarakatan Fakultas Hukum Universitas Andalas (LAM&PK FHUA), dan
Himpunan Mahasiswa Pidana FHUA. Sempat juga menjadi asisten peneliti di Pusat Studi
Konstitusi (PUSaKO) FHUA. Saat ini berkegiatan Indonesian Legal Roundtable sebagai peneliti.
Dapat dihubungi melalui email: [email protected]
pg. 20
DANA KAMPANYE MELALUI PEMBATASAN TRANSAKSI
KEUANGAN TUNAI*
Oleh. Refki Saputra1
o ey as the other’s ilk of politics ,
Jesse Unruh - a leading Californian politician of the 6 ’s
ABSTRAK
ransparansi dan Akuntabilitas dana kampanye sangat erat kaitannya dengan wacana
mewujudkan pemilihan umum (pemilu) yang adil dan demokratis. Beberapa studi telah
menunjukkan bahwa peserta pemilu di Indonesia semakin tidak transparan dan tidak
akuntabel tentang pendanaan kampanyenya. Dalam pemilu 2004 dan 2009, partai politik masih
menerima dana kampanye dari sumber yang tidak jelas identitasnya dan tidak jujur pada saat
pelaporan kepada publik dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini sangat mungkin karena
aktivitas pendanaan kampanye masih penuh dengan transaksi keuangan yang dilakukan secara
tunai atau dengan kata lain, tidak melalui instrumen perbankan. Kondisi seperti itu, peserta
pemilu dapat dengan mudah mendapatkan dana dari non-kader perseoranagn atau korporasi
melebihi jumlah yang dibatasi oleh undang-undang. Hal ini bahkan lebih mengkhawatirkan jika
uang yang masuk ke peserta pemilu adalah hasil kejahatan. Dengan demikian, pilihan untuk
mengurangi bahkan melarang transaksi tunai dalam pendanaan kampanye sangat relevan
untuk diimplementasikan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menutupi kelemahan dari
aturan-aturan hukum yang ada dan juga untuk mendorong peserta pemilu lebih transparan dan
akuntabel dalam pendanaan kampanyenya.
T
Kata kunci: dana kampanye partai politik, transaksi tunai, menyamarkan
*
1
Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Pemilu dan Demokrasi #6 Tahun 2013 yang diterbitkan oleh Perkumpulan Pemilu
dan Demokrasi (Perludem).
Penulis adalah Peneliti Indonesian Legal Roundtable dan saat ini tengah menempuh pendidikan Magister Ilmu
Hukum di Universitas Indonesia.
pg. 1
A. Pendahuluan
Awal tahun 2013, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Lutfi Hasan Ishaq ditangkap oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap kuota impor daging sapi. Lutfi yang
menjabat sebagai presiden partai, diduga mempengaruhi kebijakan kuota impor daging sapi di
Kementerian Pertanian yang notabene dipimpin oleh kader PKS, Siswono. Dalam dakwaan Jaksa
Penuntut Umum yang dibacakan di depan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta (24/6/13),
disebutkan bahwa Luthfi pernah berkonsolidasi membahas rencana perolehan dana Rp 2 triliun
dalam rangka pemenuhan target PKS pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 (Kompas.com,
24/6/13). Terlepas benar tidaknya dakwaan jaksa, modus perburuan rente oknum politisi di
DPR RI dengan memanfaatkan jabatannya merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Namun
memang perlu ditelisik lebih jauh, apakah selain untuk kepentingan pribadi, keuntungan yang
didapat secara illegal tersebut hanya dinikmati sendiri atau memang untuk menyokong
pendanaan partai politik, seperti untuk kebutuhan dana kampanye.
Dalam era politik modern, uang memainkan peranan utama dalam kontestasi politik.
Sebagaimana salah satu kutipan terkenal dari seorang pemimpin politik di California tahun
1960an, Jesse Unruh ya g e yataka
o ey as the other’s ilk of politics (Nassmacher,
2003 : 5). Pengalaman pemilu tahun 2004 dan 2009 paling tidak menguatkan tesis demikian,
dimana partai yang paling banyak menggelontorkan belanja kampanye ternyata keluar sebagai
peraih kursi terbanyak. Tahun 2004, Golkar keluar menjadi pemenang pemilu dengan total
belanja kampanye sebesar Rp. 112,8 miliar. Sementara, tahun 2009 Demokrat mesti merogoh
kocek sampai Rp. 235,1 miliar untuk memenangkan pemilu, ketimbang Golkar yang hanya
mengeluarkan Rp. 145 miliar saat itu. Selain itu, belanja kampanye yang besar juga
membuahkan hasil positif bagi perolehan kursi bagi partai baru. Seperti yang dilakukan oleh
Partai Gerindra dengan membelanjakan dana lebih dari Rp. 300 miliar berhasil meraup 4,6 juta
suara dan 26 kursi DPR, lebih banyak 8 kursi dari Partai Hanura sesama partai baru di tahun
2009 (Supriyanto dan Wulandari, 2013:170). Belanja pemilu presiden (pilpres) juga tak kalah
hebatnya. Tahun 2009, pasangan SBY-Boediono adalah pasangan calon yang paling besar dana
kampanyenya, yakni sekitar Rp. 232 miliar, disusul Megawati-Prabowo (Rp. 260 miliar), dan
Jusuf Kalla-Wiranto (Rp. 83 miliar). Hal ini tentu akan bertambah banyak lagi jika kita merinci
belanja partai politik pada saat pemilu kepala daerah di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam ketentuan perundang-undangan, setiap partai politik diwajibkan menyediakan rekening
khusus dana kampanye2. Rekening khusus dan kampanye ini terpisah dengan Rekening partai
2
Rekening khusus dana kampanye hanya diwajibkan bagi partai politik peserta pemilu. Ketentuan ini dapat dibaca
dalam Penjelasan Pasal 13 Huruf j UU No. 2 Tahun 2008 jo UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
pg. 2
digunakan untuk pembiayaan rutin partai (political party finance), sedangkan reking khusus
dana kampanye digunakan untuk pembiayaan kampanye partai (campaign finance). Pasal 134
UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg) mewajibkan partai politik
peserta pemilu legislatif sesuai tingkatan memberikan laporan awal dana kampanye pemilu dan
rekening khusus dana kampanye pemilu kepada KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/kota.
Hal demikian juga diatur dalam Pemilu Presiden, dimana UU No. 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres), dimana Pasangan calon diharuskan
mendaftarkan rekening khusus dana kampanye kepada KPU paling lama 7 hari setelah
penetapan peserta pemilu presiden oleh KPU (Pasal 98 Ayat 2).
Namun praktiknya, pada
Tabel 1. Perhitungan Belanja Iklan Partai Politik Pada Pemilu Tahun 2009
saat pelaksanaan pemilu,
banyak
partai
politik
BELANJA AKTUAL
BELANJA IKLAN
peserta pemilu yang tidak
PARTAI
SELISIH
IKLAN
YANG DILAPORKAN
melaporkan rekening awal
Golkar
Rp. 277.291.000.000 Rp. 105.727.996.650
Rp. 171.563.003.350
dana kampanyenya ke KPU.
Rp. 151.175.000.000 Rp. 86.998.699.150
Rp. 64.176.300.840
Kalaupun
dilaporkan, Gerindra
rekening dana kampanye PDIP
Rp. 102.892.000.000 Rp. 25.542.433.102
Rp. 77.349.566.898
tersebut akhirnya hanya Hanura
Rp. 44.795.000.000 Rp. 6.615.080.000
Rp. 38.179.920.000
menjadi pajangan saja.
Demokrat
Rp. 214.438.000.000 Rp. 139.127.528.740
Rp. 75.310.471.260
Banyak juga rekening dana
kampanye partai politik dan
Sumber: ICW, 2009
calon anggota DPD yang
jumlah uangnya tidak berubah (Supriyanto dan Wulandari, 2013 : 187-188). Hal serupa juga
ditunjukkan oleh hasil temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang dana kampanye
pemilu tahun 2009, dimana terdapat lima partai politik peserta pemilu yang tidak jujur dalam
melaporkan dana kampanyenya ke auditor. Hasil temuan tersebut menjabarkan selisih antara
belanja aktual partai politik di media cetak dan televisi yang melebihi dana kampanye yang
dilaporkan. Partai Golkar menempati urutan pertama yang selisih belanja kampanye aktual
dengan yang dilaporkan sangat signifikan, yakni senilai Rp. 171 miliar. Kemudian disusul
dengan PDIP (Rp. 77 miliar), Partai Demokrat (Rp. 75 miliar), Partai Gerindra (Rp. 64 miliar), dan
Partai Hanura (Rp. 38 miliar). Hal demikian menandakan, partai politik cenderung tidak
transparan dan akuntabel dalam pengelolaan dana kampanye untuk aktivitas politiknya.
Sumbangan dari perorangan non-kader dan badan usaha merupakan sumber dana yang paling
dominan diterima oleh partai politik. Semenjak dihapuskannya ketentuan bagi partai politik
pg. 3
untuk melaporkan keuangan partai setiap setahun sekali ke KPU, kondisi keuangan partai politik
(secara formal) tidak bisa diketahui, karena partai politik tidak pernah mempublikasikan laporan
keuangannya. Oleh karena itu, hampir tidak dapat dipastikan, siapa penyumbang yang nonkader ataupun dari perusahaan mana, dan juga berapa besar sumbangan yang diberikan.
Modus yang paling marak dilakukan adalah sumbangan yang diberikan secara langsung kepada
pengurus partai politik yang menduduki jabatan eksekutif, tetapi penyumbang tidak mau
menyebutkan identitas. Biasanya sumbangan tersebut diatasnamakan pengurus partai politik
yang tidak dibatasi jumlahnya, atau disalurkan secara diam-diam ke partai politik yang mana
sumbangan tersebut tidak tercatat alam buku kas penerimaan partai politik (Veri Junaidi, dkk,
2011 : 96-98).
Ketidaktransparan pendanaan partai politik tersebut ternyata sudah menjadi kultur sebagian
besar partai politik yang ada di parlemen. Hal ini dapat diketahui dengan menyimak survey
Tingkat Transparansi Pendanaan Partai Politik Di Tingkat Dewan Pimpinan Pimpinan Pusat
Partai Politik yang dilansir oleh Transparency International Indonesia tahun 2013
menyimpulkan bahwa rata-rata partai politik belum transparan. Dimana dari 9 (sembilan) partai
politik di DPR yang disurvey, hanya 5 partai yang sangat koperatif, yakni Gerindra, PAN, PDIP,
PKB, dan Hanura. Sementara, 1 partai koperatif (PPP), 2 partai kurang koperatif (PKS dan
Demokrat), dan 1 partai tidak kooperatif (Golkar). Hal yang paling krusial misalnya tampak
pada penilaian terkait dengan tingkat transparansi indentitas penyumbang dan besar
sumbangan dari perorangan bukan anggota partai politik dan dari perusahaan yang tidak
sampai 50% (Tranparency International Indonesia, 2013).
Kelemahan aturan merupakan masalah yang paling mendasar untuk mewujudkan tranparansi
dan akuntabilitas pendanaan kampanye partai politik. Khusus yang berkenaan dengan
ketentuan larangan yang masih terbilang sangat normatif dan tidak operasional. Misalnya
seperti larangan menerima dana dari pihak tertentu tanpa identitas yang jelas dan sumbangan
melebihi batas yang ditentukan. Ketentuan tersebut tidak dilengkapi dengan aturan lanjutan
perihal bagaimana sebaiknya dana yang disumbangkan ke partai politik tersebut dibayarkan.
Tentu hal ini merupakan celah (loop holes) yang cukup besar yang bisa dimanfaatkan oleh
partai politik untuk melakukan penyimpangan dalam pengelolaan dana kampanye politiknya.
Misalnya, uang yang diperuntukkan untuk dana kampanye, kemudian diterima oleh partai
politik atau tim sukses kampanye calon legislatif atau eksekutif dalam bentuk tunai (cash).
Sebagaimana sifat uang yang tergolong sebagai aset tidak bernama (anonymous asset), maka
dana yang diterima secara tunai tidak akan tercatat dalam sistem keuangan dan lebih jauh lagi
dana tersebut tidak akan terhitung sebagai pendapatan dana kampanye. Dalam UU Pilpres
mencantumkan larangan pasangan calon presiden dan wakil presiden menerima dana hasil
pg. 4
kejahatan atau tindak pidana3 yang mengikuti aturan-aturan dalam rezim anti pencucian uang.
Namun, sama halnya dengan yang dihadapi dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi dan
pencucian uang, aturan tersebut tidak akan berbuat banyak apabila transaksi keuangan
dilakukan secara tunai.
Tulisan singkat ini hendak menganalisis penggunaan transaksi keuangan tunai dalam aktivitas
pendanaan kampanye pemilu partai politik dan pemilu presiden dan wakil presiden
(selanjutnya kampanye politik). Hal ini ditengarai sebagai salah satu problem aktual dalam
mewujudkan pemilu yang adil dan demokratis. Pada dasarnya problem tersebut sangat erat
kaitannya dengan masalah yang dialami dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi dan
pencucian uang. Marakanya transaksi keuangan dalam bentuk tunai ditengah-tengah
masyarakat menjadi peluang untuk menyuburkan kejahatan keuangan tersebut. Dalam konteks
yang demikian, pelaksanaan pemilu bisa saja menjadi salah satu tempat tujuan untuk
menyamarkan harta hasil tindak pidana (criminal proceeds). Pada titik yang paling ekstrim,
sumber daya politik bisa jadi kemudian dikerahkan dalam mencari keuntungan illegal untuk
pembiayaan kampanye politik.
B. Kerentanan Transaksi Keuangan Tunai
1. Korupsi, Pencucian Uang dan Pendanaan Kampanye Secara Tunai
Penggunaan uang tunai dalam jumlah besar untuk tujuan pencucian uang bukan merupakan
fenomena baru lagi. Hanya saja, perhatian organisasi internasional terhadap pencucian uang
tunai tersebut baru muncul pada paruh kedua tahun 1990-an, pada saat dimana
penyelundupan uang tunai melintasi batas negara semakin meningkat. (Savona, Decarli and
Vertori, 2003 : 35). Dalam laporan Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering
Tahun 2000-2001, menjelaskan bahwa fenomena meningkatnya penggunaan uang tunai dalam
jumlah besar ditengah berkembangnya alat pembayaran non-tunai melalui perbankan adalah
karena porsi tersebesar dari hasil tindak pidana adalah uang tunai (FATF, 2001 : 16).
Kondisi demikian juga terjadi di Indonesia. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi dan
Keuangan (PPATK) menemukan fakta bahwa saat ini terdapat peningkatan kebiasaan transaksi
tunai/non-bank sebagian masyarakat dalam aktivitas keuangannya. Menurut PPATK, transaksi
pemindahan dana yang umumnya dilakukan secara non-tunai, baik transfer dana antar-bank
atau antar-penyelenggara, transfer dana, maupun pemindahbukuan antar rekening di suatu
bank, mulai bergeser menuju transaksi dalam bentuk tunai. Tercatat hingga Desember 2012,
3
Pasal 103 Ayat (1) Huruf c UU No. 42 Tahun 2008
pg. 5
Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT)4 berjumlah 12.365.555 laporan. Transaksi keuangan
tunai tersebut menunjukkan peningkatan tiap tahunnya. Hal ini berbanding lurus dengan
maraknya kasus-kasus korupsi dan pencucian uang yang terkungkap menggunakan uang tunai
oleh penegak hukum. Seperti kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan, Suap di Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (kemenakertrans), penemua save deposit box Gayus Tambunan, dan
Dhana Widyatmika dan masih banyak lagi. Berangkat dari hal demikian, dapat dipahami bahwa
besarnya peredaran uang dalam bentuk tunai inilah yang kemudian menjadi salah satu modus
kegiatan korupsi dan pencucian uang. Hal tersebut dilakukan karena aliran dana tunai tersebut
sulit untuk dilacak darimana uang tersebut berasal dan ke mana alirannya, karena tidak tercatat
secara resmi melalui sistem keuangan.
Tabel 2. Jumlah Laporan Transaksi Tunai (PPATK)
4
Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) merupakan laporan yang harus diberikan oleh Penyedia Jasa Keuangan
(PJK) atau Penyedia barang dan/atau jasa terhadap transaksi tunai yang dilakukan oleh pengguna jasa paling
sedikit Rp. 500 juta satu kali transaksi maupun beberapa kali dalam satu hari kerja. Lebih jauh lihat Pasal 23 dan
Pasal 27 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
pg. 6
Kasus korupsi dalam bentuk suap hampir dapat dipastikan dilakukan dengan menggunakan
uang tunai. Uang tunai selain mudah digunakan, juga akan mempersulit penegak hukum untuk
membuktikan siapa pemberi dan penerima suap tersebut. Suap dalam pengadaan barang
dan/atau jasa merupakan fee atau kick back kepada pejabat publik karena berhasil
memenangkan pihak tertentu sebagai pelaksana pengadaann barang dan/jasa. Uang suap
tersebut biasanya langsung diantar ke penerima suap seperti yang dialami oleh I Nyoman
Suisna dan Dadong Ibarelawan saat ditanggap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di
Kantor Kemenakertrans dengan barang bukti berupa uang suap sejumlah Rp. 1,5 miliar
dibungkus dalam kardus durian. Adapula uang suap yang terlebih dahulu ditransfer ke tempat
penukaran uang (money changer) dan kemudian diambil dalam bentuk tunai, seperti yang
dilakukan oleh Bulyan Royan (Anggota Komisi IX DPR RI Periode 2004 – 2009) dalam kasus suap
pengadaan kapal patrol Dirjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan tahun 2008.
Sementara dalam kasus-kasus pencucian uang, pelaku mencuci uang pada dasarnya bertujuan
untuk memutus hubungan (nexus) antara (a) pelaku dengan hasil kejahatan; (b) kejahatan
dengan hasil kejahatan; dan (c) pelaku, kejahatan dan akses terhadap hasil kejahatan. Dengan
kata lain, mekanisme pencucian uang biasa dilakukan oleh pelaku tindak pidana asal (misalnya
korupsi) yang ingin memisahkan diri dari setiap bukti dan harta hasil perolehan kejahatan yang
bisa memberatkannya, tetapi pada saat yang sama pelaku ingin tetap mempertahankan kontrol
dan akses kepada harta hasil kejahatannya (Paku Utama, 2013 : 124). Maka untuk memutus
hubungan antara pelaku, kejahatan dan aset hasil kejahatan yang paling mudah adalah dengan
menggunakan aset yang tidak atau tanpa nama (anonymous asset) dalam aktivitas bertransaksi.
Bentuk daripada aset tanpa nama yang paling sempurna adalah uang tunai. Selain itu, juga
termasuk didalamnya adalah perhiasan, logam mulia, dan beberapa sistem pembayaran
elektronik seperti e-money. Dalam kasus-kasus konkrit, pelaku korupsi misalnya mengaburkan
harta hasil korupsi dengan membeli barang-barang konsumsi dengan uang tunai seperti
kendaraan, properti, dan menukarkannya dengan aset tanpa nama lainnya. Dengan
menggunakan metode tersebut, penegak hukum akan kesulitan untuk mendeteksi dan
membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Dalam kasus suap yang melibatkan pegawai pajak golongan III A, Gayus Tambunan, uang tunai
hasil tindak pidana tersebut kemudian disimpan dalam save deposit box (SDB) dan juga
dikonversi kedalam mata uang asing dan instrument investasi. Dalam pengungkapan kasus
tersebut, polri menyita sejumlah harta Gayus di SDB Bank Mandiri Cabang Kelapa Gading
berupa uang tunai senilai Rp 925 juta, US$ 3,5 juta, US$ 659.800 dan 9.000.680 dolar
Singapura. Kemudian juga didapati 31 batang logam mulia masing-masing sebesar 100 gram.
Sebagai ilustrasi juga dapat dicermati dugaan rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh Jenderal
(Pol) Djoko Susilo yang kini tengah duduk di kursi pesakitan dalam perkara korupsi simulator
pg. 7
kemudi korlantas polri. Dalam dakwaan jaksa penuntut umum dan juga keterangan saksi-saksi
yang dihadirkan, terungkap bahwa Djoko menyamarkan aset hasil kejahantannya dengan
membeli properti, lahan dan SPBU yang pada umumnya dilakukan melalui transaksi tunai dan
menggunakan nama orang lain. Kemudian, untuk mengakali pajak, aset yang dibelipun
dikurangi nilai jualnya dalam akte jual-beli dari nilai transaksi sebenarnya. Hal ini tentunya
hanya bisa dilakukan dengan menggunakan transaksi tunai yang tidak tercatat dalam sistem
keuangan.
Adapaun terkait dengan pendanaan kampanye politik, pengguaan uang tunai dalam bentuk
sumbangan yang diberikan untuk dana kampanye marak sekali terjadi. Hal ini paling tidak dapat
dijelaskan ketika rekening dana kampanye yang dilaporkan ke KPU beberapa partai politik
ternyata saldo awalnya tidak berubah disaat akhir masa kampanye. Tidaklah mungkin partai
politik tidak mengeluarkan dana kampanye sepeserpun mengingat jika dibandingkan kebutuhan
operasional partai politik, jumlah dana kampanye setiap kali pemilu jauh lebih besar
(Supriyanto dan Wulandari, 2012 : 34). Kemudian juga, sulitnya mengetahui informasi tentang
siapa dan berapa besar sumbangan yang diberikan kepada partai politik atau pasangan calon
dalam pemilu presiden.
Undang-undang mengatur batasan jumlah sumbangan dari perseorangan non-kader dan dari
dunia usaha atau korporasi, sementara untuk kader partai politik tidak dibatasi.5 Sedangkan
kebutuhan logistik untuk dana kampanye amatlah besar dan seringkali dianggap sebagai faktor
penentu kemenangan elektoral. Dalam kondisi pragmatisme partai saat ini, sudah menjadi
rahasia umum jika pihak luar partai politik (perseorangan dan/atau dunia usaha) begitu royal
mendonasikan harta mereka ke partai politik. Mengingat penentu kebijakan publik pada
dasarnya diempu oleh anggota partai politik yang duduk dikursi-kursi pemerintahan, sangat
u gki jika do asi dari ereka bertujua u tuk
e beli kebijaka dari anggota partai.
Pakem yang berlaku disebagian besar partai politik jika ketersediaan uang memainakan
peranan yang cukup besar dalam meraup suara dalam pemilu. Adanya celah (gap) antara
batasan sumbangan dari pihak luar partai politik, iuran anggota partai yang tidak signifikan
5
Besaran sumbangan politik yang diperbolehkan dapat ditemukan dalam UU No. 2 Tahun 2008 jo. UU No. 2
Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol); UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD (UU Pileg); dan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres); dan UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda). Terhadap pembiayaan rutin partai politik, UU
Parpol menentukan sumbangan perseoranagn non-kader paling banyak adalah Rp. 1 miliar dan untuk dunia
usaha atau korporasi paling banyak Rp. 7,5 miliar (Pasal 35 ayat 1). Sementara, untuk sumbangan dana
kampanye pemilu legislatif, sumbangan perseorangan non-kader dan dunia usaha masing-masing paling banyak
Rp. 1 miliar dan Rp. 7,5 miliar (Pasal 131 UU Pileg); untuk dana Kampanye pemilu presiden dan wakil presiden,
Rp. 1 miliar dan Rp. 5 miliar (Pasal 96 UU Pilpres); dan untuk pilkada Rp. 50 juta dan Rp. 350 juta.
pg. 8
dengan keinginan yang besar bagi pihak tertentu untuk menyumbang ke partai politik,
mendorong partai politik untuk menggunakan segala cara untuk menggalang dana politik.
Salah satu cara agar dapat mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya tanpa harus mengikuti
batasan-batasan dan pelaporan yang disyaratkan oleh undang-undang adalah dengan
menerima sumbangan dalam bentuk uang tunai. Hal ini dilakukan karena uang yang diterima
secara tunai atau tidak melalui mekanisme perbankan tidak akan masuk ke rekening dana
kampanye yang harus dilaporkan ke KPU. Artinya, uang yang diterima partai atau tim sukses
tidak tercatat sebagai pemasukan dana kampanye. Penyumbang dari luar partai politik bisa
memberikan donasi melebihi dari yang ditentukan oleh undang-undang dengan
memberikannya melalui anggota partai politik, dimana seolah-olah yang menyumbang adalah
anggota partai bukan dari luar partai. Sumbangan untuk dana kampanye bisa langsung
dibelanjakan tanpa perlu dicatatkan sebagai dana kampanye.
Praktik demikian sangat dimungkinkan masuknya dana yang berasal dari tindak pidana tertentu
masuk ke partai politik. Boleh jadi, partai politik kemudian memang menargetkan pencarian
dana untuk keperluan politik dari dana-dana yang tidak halal. Hal demikian yang sebenarnya
dapat dilihat dari persepktif pencucian uang. Dimana, pelaku pencuci uang selalu ingin
memutus hubungan antara keberadaannya dengan kejahatannya dan hasil tindak pidana,
namun disisi lain tetap mempertahankan kontrol terhadap akses dari harta tersebut. Seorang
pelaku pencuci uang membeli aset atas nama istri, saudara atau orang lain yang bisa ia
kendalikan, semata-mata hanya untuk memastikan bahwa harta hasil tindak pidana yang ia
samarkan tidak beralih ke pihak manapun, namun tetap menjadi miliknya. Sama halnya dengan
dana kampanye yang diperoleh dari seseorang yang mempunyai tujuan tertentu terhadap
partai politik, itu semata-mata hanya memastikan jika partai politik atau pasangan calon yang ia
danai akan dapat memberikan keuntungan dengan kebijakan-kebijkan yang menguntungkan
bagi dirinya kelak jika terpilih.
Kasus korupsi terkait de ga obral izi tambang dan perkebunan yang melibatkan kepala
daerah incumbent menjadi pelajaran yang nyata terkait dengan pendanaan kampanye dengan
urang haram. Jamak diketahui jika menjelang pemilihan umum kepala daerah (pilkada), tren
pemberian izin usaha pertambangan dan perkebunan meningkat drastis. Hasil penelitian
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bengkulu tahun 2009 – 2010, yakni pada saat pemilu dan
pilkada Provinsi Bengkulu digelar, diterbitkan izin usaha pertambangan dan perkebunan bagi 42
perusahaan yang mengakibatkan perusahaan menguasai lahan 75.703 hektar (Kompas,
18/4/12). Kondisi ini misalnya dapat dicermati dalam kasus korupsi yang melibatkan Bupati
Buol, Sulawesi Tengah, Amran Batalipu dan pengusaha perkebunan Hartati Murdaya. Dalam
pg. 9
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor) Jakarta yang dibacakan pada tanggal 4
Februari 2013, Hartati terbukti menerima suap kepada Amran sejumlah Rp. 3 miliar untuk
mengurus HGU terhadap lahan atas nama perusahaan yang ia pimpin yang belum memiliki HGU
(Viva.co.id, 4/2/13). Uang suap yang diterima Amran secara tunai tersebut adalah cara yang
paling marak dilakukan seorang calon incumbent dalam menggalang dana politik untuk
memenangkan pilkada.
2. Membatasi Transaksi Tunai
Uang meruapakan alasan utama bagi mayoritas pelaku kejahatan melakukan kejahatan atau
perbuatan illegal, dimana uang tercemar tersebut tidak akan benar-benar dapat dinikmati
sebelum asal-asulnya dikaburkan atau sama sekali dihilangkan (Lilley, 2006: xii). Kelemahan dari
prinsip mengikuti aliran uang (follow the money) dalam penegakan hukum tindak pidana
pencucian uang adalah apabila instrumen yang digunakan adalah uang tunai. Penggunaan uang
tunai dalam transaksi keuangan dari orang perorang secara langsung, otomatis akan memutus
nexus antara pelaku kejahatan dengan tindak pidana dan aset kejahatan. Dengan demikian,
tujuan menyamarkan atau menghilangkan asal usul harta hasil kejahatan secara sempurna
dapat dilakukan.
Beberapa negara sudah mengambil antisipasi dengan memberlakukan pembatasan terhadap
transaksi keuangan tunai dalam batasan tertentu. Beberapa diantaranya adalah Austria,
Finlandia, Jerman, Irlandia, Luxemburg, Portugal, Spanyol, Swedia, Inggris, Italia, Meksiko,
Perancis, Belgia, Armenia, Bulgaria, dan Ukraina. Secara umum transaksi tunai dalam jumlah
tertentu yang dilarang adalam pembayaran tunai antarindividu, penukaran valuta asing secara
tunai, dan pembelian barang dan/jasa. Kemudian terdapat juga pengecualian atau kondisikondisi tertentu di mana aturan pembatasan tersebut tidak diterapkan. Negara yang melarang
transaksi tunai dalam jumlah tertentu antar individu antara lain adalah Italia (minimal EUR
1.000 atau Rp. 13 Juta) dan Armenia (Minimal AMD 3 Juta atau Rp. 69 juta). Transaksi yang
dilarang bail dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam waktu yang cukup
dekat dengan jumlah sebagaimana dimaksud. Sementara itu, hampir sebagian besar negaranegara tersebut melarang transaksi tunai dalam pembelian barang-barang mewah seperti
mobil dan properti (Gunawan, dkk, 2013 : 58 – 62).
Di Indonesia sebenarnya pernah memiliki aturan hukum yang membatasi transaksi keuangan
tunai dalam jumlah tertentu pada awal-awal kemerdekaan, yakni Undang-undang Nomor 10
Tahun 1946 tentang Pembawaan Uang Dari Satu Ke Lain Daerah dan Undang-undang Nomor
32 Tahun 1948 tentang Peredaran Uang dengan Perantaraan Bank. Dalam ketentuan UU No.
pg. 10
10 Tahun 1946 diatur mengenai pelarangan terhadap pembawaan uang tunai melebihi f. 1.000
(seribu rupiah) ke daerah lain di Jawa dan Madura. Sedangkan UU No. 32 Tahun 1948, melarang
seseorang untuk melakukan pembayaran secara tunai dalam nominal uang yang melebihi R.
25.000,-. Pembayaran demikian harus melalui perantara (melalui lembaga bank). Selain
melarang pembayaran uang tunai dalam jumlah besar, undang-undang ini juga melarang
penyimpanan uang tunai oleh seseorang yang tidak kurang dari R. 100.000,- dan pemindahan
uang tunai ke daerah lain sebesar R. 25.000,- secara tunai. Adapun tujuan pembentukan
undang-undang ini adalah untuk menyehatkan peredaran uang ditengah-tengah masyarakat
kala itu. Sebegitu pentingnya esensi aturan tersebut, bagi setiap pelanggar akan dikenakan
hukuman berupa denda sebesar R. 1.000.000,- atau pidana penjara selama-lamanya 1 tahun.
Dengan kata lain, pelanggaran terhadap norma ini sudah diklasifikasikan sebagai suatu
kejahatan.
Saat ini, PPATK telah memformulasikan usulan materi pembatasan transaksi tunai berdasarkan
pengalamannya menangani tindak pidana pidana pencucian uang. Usulan tersebut sempat
didorong untuk dimasukan menjadi salah satu materi muatan dalam RUU Transfer Dana (UU
No. 3 Tahun 2011), namun kemudian ditolak oleh Komisi XI DPR RI. Wakil Ketua Komisi XI DPR
dari Fraksi Golkar Harry Azhar Azis mengatakan, jika pembatasan minimal transaksi tunai
diterapkan maka akan menghambat masyarakat bertransaksi dan akan menghalangi proses
transaksi, jadi menurutnya tidak perlu ada pembatasan (Gunawan, dkk, Ibid., 77 -76).
Setelah beberapa kali pembahasan, adapun usulan PPATK terkait materi pembatasan transaksi tunai
yang sudah direvisi adalah sebagai berikut:
a. ”Setiap transaksi setoran tunai untuk rekening simpanan suatu pihak dengan jumlah atau lebih besar
dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) wajib ditolak atau wajib dilakukan secara
pemindahbukuan”.
Keterangan: Apabila transaksi di atas dilakukan oleh bukan nasabah bank yang bersangkutan, maka
penyetor tunai dapat membuka rekening simpanan di bank tersebut atau dapat menggunakan
rekening di bank lainnya atas nama penyetor untuk kemudian mentransfer ke rekening bank pihak
yang dituju. Di beberapa bank asing hal ini sudah diterapkan.
b. “Setiap transaksi transfer dana yang sumber dananya berasal dari setoran tunai dengan jumlah atau
lebih besar dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) wajib ditolak atau wajib dilakukan secara
pemindahbukuan atau transfer”.
Keterangan: Setiap transaksi transfer dana yang sumber dananya berasal dari setoran tunai yg
dilakukan oleh bukan nasabah bank yang bersangkutan (sebagai walk in customer), maka penyetor
tunai dapat membuka rekening simpanan di bank tersebut atau dapat menggunakan rekening di
bank lainnya atas nama penyetor untuk kemudian mentransfer ke rekening bank pihak yang dituju.
c. “Setiap transaksi transfer dana setara atau melebihi Rp. 100.000.000,00 yang sumber dananya berasal
pg. 11
dari penarikan secara tunai wajib ditolak atau wajib dilakukan secara pemindahbukuan atau
transfer.”
d. ”Setiap transaksi transfer dana yang ditujukan untuk diterima secara tunai oleh Penerima yang bukan
nasabah Bank Penerima tidak boleh melebihi dari Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”
Keterangan: Transaksi dilakukan melebihi Rp. 100.000.000, maka penerima transfer harus membuka
rekening simpanan di bank penerima tersebut terlebih dahulu.
e. ”Setiap transaksi tarik tunai atas beban rekening simpanan suatu pihak yang bukan merupakan
rekening penarik dana tunai tersebut tidak boleh melebihi dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah)”.
Keterangan: Pengaturan ini mendorong penarik dana untuk melakukan transaksi transfer dana atau
pemindahbukuan untuk untung rekening penarik dana tersebut. Transaksi ini misalnya penarikan cek
atas beban rekening pihak ketiga secara tunai (Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, 2012
: 27 – 28).
Walaupun demikian, wacana pembatasan transaksi tunai kemudian diformalkan dalam dalam
instrument kebijakan, yakni melalui Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
(Stranas PPK) Baik Jangka Panjang (2012–2025) dan Jangka Menengah (2012–2014), yang diatur
lebih lanjut dalam Perpres No. 55 Tahun 2012. Mengenai pembatasan nilai transaksi tunai
tersebut ditempatkan pada kategori strategi jangka menengah (2012–2014). Dari situ dapat kita
nilai bahwa, wacana tersebut sudah menjadi prioritas agenda pemerintah dalam hal
pencegahan dan pemberantasan tidak pidana korupsi yang harus tuntas sebelum tahun 2015.
Belakangan, pembahasan RUU Pembatasan transaksi tunai tengah digodok oleh tim dibawah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Walaupun mendapat tantangan dari masyarakat,
dunia usaha maupun perbankan terkait kesiapan infrastruktur, namun RUU ini sangat realistis
untuk ditepakan dengan beberapa pengecualian tertentu seperti yang dipraktikan oleh berapa
negara yang sudah menerapkan pembatasan. Mengingat upaya penegakan hukum tidak serta
merta akan menurunkan tingkat kejahatan, maka harus ada upaya yang strategis untuk
mempersempit ruang gerak para penjahat-penjahat kerah putih tersebut.
C. Mendanai Kampanye Politik via Non-Tunai
1. Pilihan Mekanisme
Akuntabilitas pendanaan kampanye politik dapat terselenggara apabila arus masuk dan
keluarnya dana tersebut dapat dipertangungjawabkan. Pada sisi pemasukan, harus dapat
dijelaskan sumber dan besaran dana yang didonasikan kepada partai. Sementara untuk
pengeluaran, harus jelas untuk apa dana tersebut digunakan. Problem akuntabilitas dana
kampanye salah satunya adalah terkait dengan ketidakjelasan identitas penyumbang dan
besaran sumbangan yang diberikan. Supriyanto dan Wulandari (2013) menjelaskan bahwa, baik
pg. 12
dalam pemilu presiden tahun 2004 dan 2009 masih ditemukan penyumbang dana kampanye
yang tidak jelas identitasnya. Mulai dari tidak mencantumkan KTP dan NPWP, juga ditemui ada
penyumbang yang dinilai secara ekonomi tidak layak menyumbang, dengan kata lain namanya
hanya digunakan sebagai daftar penyumbang. Adapun perbandingan sumbangan dana
kampanye pemilu presiden tahun 2004 dan 2009 yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
penyumbangnya adalah sebagai berikut:
PEMILU PRESIDEN 2004
Pasangan Calon
Total Sumbangan Tidak
Jelas Identitasnnya
PEMILU PRESIDEN 2009
Pasangan Calon
Total Sumbangan Tidak
Jelas Identitasnnya
Mega – Hasyim
Rp. 990 juta
SBY - Boediono
Rp. 30, 9 miliar
SBY – Kalla
Rp. 194 juta
JK – Wiranto
Rp. 1,2 miliar
Megawati –
Rp. 8,1 miliar
Prabowo
Kelemahan undang-undang juga tidak diatur secara tegas terhadap semua sumbangan danya
kampanye politik harus masuk ke rekening khusus dana kampanye. Akibatnya, penyumbang
bisa saja mendonasikan uangnya (biasanya secara tunai) ke partai politik atau pasangan calon
presiden dan wakil presiden untuk dibelanjakan langsung, tanpa dicatatkan dalam arus kas
dana kampanye. Donasi juga bisa diberikan langsung ke calon legislatif untuk dibelanjakan
langsung mengingat sistem pemilu kita yang juga dilakukan melalui sistem pemilihan langsung
dengan suara terbanyak.
Selian itu, hal krusial lainnya juga terkait dengan tidak adanya batasan terhadap sumbangan
kader partai politik untuk dana kampanye. Berapapun jumlahnya anggota partai politik bisa
menyumbang kepada partai politik untuk biaya kampanye. Hal ini, selain akan membuat
kebijakan-kebijakan strategis partai politik akan dikuasai oleh kader-kader yang bermodal besar
(oligarki partai) dan juga bisa dimanfaatkan oleh penyumbang non-kader untuk mendanai
kampanye melalui kader partai, seolah-olah uang tersebut berasal dari si kader. Hal ini sangat
rentan bagai partai politik dan pasangan calon presiden dan wakil presiden mendapatkan dana
kampanye dari hasil tindak pidana, karena penerima uang hasil kejahatan sudah termasuk
pecuci uang pasif, sepanjang ia mengetahui atau patut menduga uang tersebut hasil tindak
pidana.
Pada dasarnya untuk mengurangi penggunaan uang tunai dalam aktivitas apapun, termasuk
pendanaan kampanye politik, paling tidak dapat dilakukan dengan membatasi transaksi tarik
pg. 13
tunai pada bank. Walaupun tidak akan menghilangkan secara keselutuhan transaksi tunai
dalam skala besar misalnya dalam bisnis narkoba, namun paling tidak jumlah uang yang beredar
apabila transaksi tarik tunai dibatasi tentu akan jauh berkurang. Sebagai ilustrasi, penggunaan
uang tunai tahun pada kuartal pertama tahun 2011 menurut data yang dihimpum oleh Bank
Indonesia adalah sekitar Rp. 336,65 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih besar dibandingkan
dengan jumlah transaksi non-tunai pada kuartal yang sama, yakni hanya Rp. 31 triliun
(Gunawan, dkk, 2013: 3). Besarnya nilai transaksi tunai di Indonesia tersebut tentu sangat
potensial dimanfaatkan oleh partai politik dan pasangan calon presiden untuk mendanai
kampanye politik mereka untuk menghindar dari kewajiban-kewajiban akuntablitas dana
kampanye yang sudah ada dalam peraturan perundang-undangan.
Gambar 1. Skema Transaksi Pada Bank
BANK A
1
NASABAH
BANK A
BANK B
2
.
NASABAH
BANK B
Transaksi keuangan tunai yang paling rawan digunakan untuk tindakan illegal adalah transaksi
dari orang per orang (misalnya suap) atau dari bank (penyedia jasa keuangan) ke nasabah
melalui tarik tunai. Uang yang diambil melalui bank melalui traik tunai tidak akan terlacak oleh
PPATK karena sudah keluar dari sistem keuangan. Dalam diagram 1. diatas dapat dilihat
transaksi antara Nasabah Bank A dengan Bank A (nomor 1) dan antara Nasabah Bank B dengan
Bank B (nomor 2) menunjukkan transaksi yang sudah keluar dari sistem keuangan. Uang yang
ada pada Nasabah Bank A bisa saja kemudian ditransaksikan kepada Nasabah Bank B secara
langsung untuk kepentingan illegal tanpa diketahui oleh PPATK. Dalam skenario pendanaan
kampanye politik, dapat dikondisikan Nasabah Bank A sebagai donator, dan Nasabah Bank B
sebagai Bendahara Partai, Kader partai atau caleg juga tim sukses pasangan calon presiden dan
wakil presiden. Apabila transaksi tarik tunai dalam jumlah besar dikurangi atau dibatasi, maka
pg. 14
otomatis akan menurunkan resiko pendanaan kampanye politik dengan uang tunai, karena
jumlah uang tunai yang sudah berkurang.
Saat ini, RUU Pembatasan transaksi keuangan tunai masih dalam tahap pembahasan naskah
akademik oleh pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, aturan pembatasan transksi tunai dalam
bentuk undang-undang tidak akan mungkin dapat dilaksanakan dalam waktu dekat. Namun,
upaya membatasi transaksi tunai bukan hal yang mustahil untuk diberlakukan segera menjelang
pemilu tahun 2014. Adapun pilihan untuk mengurangi penggunaan transaksi tunai dalam
pendanaan kampanye politik adalah: Pertama. Melalui pembatasan nilai tarik tunai pada bankbank yang ada dibawah pengawasan Bank Indonesia (BI). Sebagai regulator sistem pembayaran,
BI dapat menerbitkan instrumen hukum untuk mengatur batasan transaksi tunai yang
dibolehkan oleh suatu bank. Melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI), BI dapat melarang
transaksi tarik tunai dalam jumlah tertentu, misalnya paling sedikit Rp. 500 juta. Dengan
demikian, nasabah akan didorong untuk menggunakan aktivitas perbankan dalam transaksi
dalam skala besar. Hal ini bertitik tolak pada pemikiran bahwa uang tunai yang digunakan
dalam beberapa kasus korupsi, terutama suap adalah bersumber dari tarik tunai. Berbeda
halnya dengan uang tunai dari hasil bisnis narkotika, dimana uang tunai berasal dari hasil
penjualan yang memang dilakukan secara tunai oleh Bandar ke pengedar lalu ke konsumen.
Apabila kemudian, nasabah tidak dapat menarik tunai uangnya dalam jumlah besar dalam satu
kali transaksi atau beberapa kali dalam waktu yang berdekatan, maka dampaknya akan sangat
signifikan mengurangi peredaran uang tunai di masyarakat. Hal ini tentu akan berpengaruh
terhadap sumbangan dana kampanye politik yang selama ini dilakukan secara tunai berapapun
jumlahnya. Jika transaksi dilakukan secara non-tunai, tentu dapat dilacak identitas penyumbang
dan besaran nilai sumbangan dari catatan transaksi yang dilakukan.
Kedua. Cara lain yang dapat dilakukan adalah melalui kebijakan oleh penyelenggara pemilu,
yang dalam hal ini dilaksanakan oleh KPU. Dalam menjalankan kewenangan, KPU dapat
menerbitkan peraturan-peraturan teknis untuk memperlancar kerja-kerja fungsionalnya. Dalam
konteks pendanaan partai politik, KPU dapat menerbitkan peraturan yang mengatur tata cara
pemberian sumbangan dana kampanye kepada partai politik dan pasangan calon presiden dan
wakil presiden. Materi pengaturan dapat berupa larangan pendanaan kepada partai politik
untuk menerima sumbangan, baik dari kader ataupun dari non kader secara tunai. Semua
sumbangan harus dilakukan secara non-tunai atau melalui transfer dana ke rekening khusus
dana kampanye yang dilaporka ke KPU. Sumbangan yang diberikan diluar dari rekening yang
pg. 15
dilaporkan harus dianggap sebagai pelanggaran kampanye sebagaimana bentuk-bentuk
pelanggaran kampanye lainnya.
Kemudian untuk menjamin penegakannya, larangan tersebut tentu harus diberi sanksi bagi
peserta pemilu yang kemudian kedapatan menerima sumbangan dalam bentuk tunai. KPU bisa
menegenakan sanksi dengan merampas uang sumbangan yang diterima peserta pemilu untuk
disetor ke kas negara atau bentuk sanksi administratif lainnya. Aturan mengenai pembayaran
uang ke kas negara tersebut juga harus jelas mekanismenya. Jangan seperti pengalaman pemilu
tahun 2004 dan 2009, dimana KPU tidak bisa memastikan penyetoran uang illegal 6 yang masuk
ke rekening dana kamapanye peserta pemilu karena alasan belum ada aturan yang
mengaturnya (Supriyanto dan Wulandari, 2013: 135). Sanksi tersebut juga harus dibarengi oleh
sanksi terhadap sumbangan non-tunai yang tidak melalui rekening dana kampanye yang
dilaporkan. Seperti sumbangan yang diberikan ke rekening kader partai politik atau caleg yang
kemudian digunakan langsung untuk biaya kampanye.
2. Pengawasan
Untuk menjamin tegaknya peraturan yang dibuat, diperlukan pengawasan yang konsisten dan
berkesinambungan. Pengawasan yang baik dalam penyelenggaran pemilu minimal
terkonsolidasinya fungsi penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), menjaring kerjasama
dengan lembaga lain, baik penegak hukum maupun instansi terkait, juga memperbesar
kesempatan peran serta masyarakat untuk memantau jalannya pemilu.
Dalam hal belum dibatasinya transaksi tunai dalam jumlah tertentu, tentu pengawasan harus
lebih maksimal karena masyarakat masih bebas bertransaksi secara tunai berapapun
jumlahnya. Peran Badan Pengawas Pemilu (bawaslu) tentunya menjadi sangat sentral
mengingat pendanaan kampanye merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aktivitas
pelaksanaan kampanye pemilu. Bawaslu dapat secara aktif mengawasi peserta pemilu yang
menerima dana kampanye secara tunai. Selain itu juga harus aktif merespon laporan dari
masyarakat terkait dugaan pelanggaran transaksi tunai yang dilakukan oleh peserta pemilu.
Selain itu, penting untuk melibatkan PPATK yang memilki kewenangan dalam memantau
aktivitas transaksi keuangan. Terkait dengan transaksi tunai, berdasarkan ketentuan UU No. 8
Tahun 2010, pihak penyedia jasa keuangan (misalnya bank) berkewajiban melaporkan setiap
6
Ilegal maksudnya disini adalah dana kampanye yang berasal dari sumbangan perseorangan non-kader dan dari
badan usaha yang melebihi batas nominal yang ditentukan oleh undang-undang dan yang tidak jelas identitas
dan besaran sumbangannya.
pg. 16
transaksi keuangan tunai (tarik maupun setor tunai) dalam jumlah paling sedikit Rp. 500 juta
kepada PPATK. Berdasarkan data yang dimiliki PPATK, KPU dapat memantau aktivitas tranasksi
tunai dari kader partai yang diduga menarik uang tunai terkait dengan pendanaan kampanye.
Syaratnya, setiap nama-nama caleg, tim sukses beserta nomor rekeningnya harus diserahkan ke
PPATK untuk mempermudah pemantauan aktivitas transaksi. Jika kemudian didapati kalkulasi
biaya kampanye yang melebihi dana kampanye yang terdapat dalam rekening khusus dana
kampanye, hal tersebut sudah pasti tergolong suatu pelanggaran karena dapat dipastikan dana
yang dipakai untuk belanja kampanye tersebut berasal dari transaksi tunai.
D. Penutup
Maraknya transaksi keuangan tunai ditengah-tengah masyarakat berkorelasi dengan tingginya
angka korupsi dan pencucian uang di Indonesia. Hal ini dikarenakan sifat dari uang tunai yang
tergolong aset yang tidak bernama (anonymous asset) seringkali digunakan dalam tindak
pidana karena akan menyulitkan penegak hukum untuk melakukan pelacakan terhadap pelaku
tindak pidana tersebut. Karakteristik tindak piana pencucian uang adalah dengan mengaburkan
bahkan memutus hubungan antara pelaku tindak pidana asal (predicate crime) dengan
kejahatan dan/atau aset hasil kejahatan, namun tetap memastikan kontrol atas akses kepada
aset tersebut. Hal ini dapat diasosiasikan dengan pendanaan partai politik yang dilakukan
secara tunai karena selain untuk menyamarkan identitas penyumbang agar dapat
mendonasikan sumbangan kepada partai politik dalam jumlah yang tidak terbatas, dengan
demikian para donator dapat mengotrol kebijakan partai sesuai dengan besaran sumbangan
yang diberikan.
Hal ini harus dicegah dengan membatasi atau bahkan melarang partai politik menerima
sumbangan secara tunai dari donator. Saat ini karena belum ada ketentuan yang mengatur
peihal pembatasan transaksi tunai, maka dapat diambil kebijakan oleh penyelanggara pemilu
untuk mengaturnya pada batas-batas tertentu. Agar kebijakan tersebut dapat berjalan tentu
harus didukung dengan penegakan hukum yang tegas dan juga kerjasama dengan instansi
terkait, baik sesame penyelengara pemilu, penegak hukum bahkan institusi lain yang terkait.
Namun memang upaya mendorong transaksi non-tunai dalam pendanaan partai politik bukan
tanpa titik lemah. Sebelum ketentuan tentang pembatasan transksi tunai berlaku secara umum,
baik melalui undang-undang dan minimal melalui PBI, potensi transksi tunai masih saja cukup
besar dilakukan dalam setiap pendanaan kampanye. Begitupun sumbangan non-tunai yang
diberikan melalui rekening personal kader partai politik, tim sukses maupun simpatisan yang
kemudian dapat digunakan untuk biaya kampanye tanpa tercatat sebagai sumbangan dana
pg. 17
kampanye. Pengawasan terhadap auditor yang dapat saja main mata dengan peserta pemilu
harus semaksimal mungkin diupayakan dengan memperketat seleksi auditor dan juga kebijakan
administratif dalam kotrak antara KPU dengan auditor apabila ditemukan pelanggaran. Karena
penyimpangan yang dilakukan auditor harus dianggap sebagai perbuatan auditor tidak
memenuhi kotrak perjanjian (wanprestasi).
-o0o-
pg. 18
Daftar Pustaka
Buku, Jurnal dan Laporan
Andri Gunawan, Erwin Natosmal Oemar, dan Refki Saputra, 2013, Membatasi Transaksi Tunai;
Peluang dan Tantangan, Indonesian Legal Roundtable, Jakarta.
Didik Supriyanto dan Lia Wulandari, 2013, Basa-Basi Dana Kampanye; Pengabaian Prinsip
Transparansi dan Akuntabilitas Peserta Pemilu, Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi,
Jakarta.
Ernesto U. Savona, Silvia Decarli, Barbara Vertori, 2003, Use of Cash Payments For Money
Laundering Purposes: Comparative Study Into the Current Legislative Control On
Large-Scale Cash Payments Within The UE Member States And An Analysis Of The
Use Of Such Payments For Money Laundering Purposes, European Commision and
Transcrime, Universita degli Studi di Trento.
Financial Action Task Force on Money Laundering; Annual Report 2000 – 2001, France.
Ibrahim Z. Fahmi Badoh dan Abdulah Dahlan, 2010, Korupsi Pemilu di Indonesia, Indonesia
Corruption Watch, Jakarta.
Kajian Pembatasan Transaksi Tunai, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik
Indonesia, 2012, Jakarta.
Karl-Heinz Nassmacher, 2003, Introduction: Political Parties, Funding and Democracy In Funding
of Political Parties and Election Campaigns; Handbook Series, International Institute
for Democracy and Electoral Assistance, Sweden.
Laporan Hasil Pengukuran Tingkat Transparansi Pendanaan Partai Politik Di Tingkat Dewan
Pimpinan Pusat 2013, Tranparency International Indonesia, Jakarta.
Paku Utama, 2013, Upaya Mengembalikan Aset Hasil Korupsi : Memahami Seluk Beluk
Pemahamannya, Tidak diterbitkan.
Peter Lilley, 2006, Dirty Dealing; The Untold Truth About Global Money Laundering,
International Crime And Terrorism, Kogan Page, London and Philadelphia.
Veri Junaidi, dkk, 2011, Anomali Keuangan Partai Politik; Pengaturan dan Praktek, Kemitraan
Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, Jakarta.
Website dan media cetak
Akhir Perjalanan Hartati Murdaya; Gara-gara uang Rp3 miliar. Terbukti menyuap http://
fokus.news.viva.co.id/news/read/387661-akhir-perjalanan-hartati-murdaya, diakses
pada tanggal 19 Juli 2013
Kumpulkan Rp 2 Triliun untuk PKS, Luthfi Disebut Kawal Proyek , http:// asio al.ko pas.
com/read/2013/06/24/1912078/Kumpulkan.Rp.2.Triliun.untuk.PKS.Luthfi.Disebut.K
awal.Proyek, diakses pada tanggal 7 Juli 2013.
pg. 19
Pilkada Jadi Ajang Obral Perizinan , KOMPA“
April
.
Peraturan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1946 tentang Pembawaan Uang Dari Satu Ke Lain Daerah.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 1948 tentang Peredaran Uang dengan Perantaraan Bank.
Refki Saputra, Menyelesaikan Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Andalas pada
tahun 2010. Semasa mahasiswa bergabung dengan Lembaga Advokasi Mahasiswa dan
Pengkajian Kemasyarakatan Fakultas Hukum Universitas Andalas (LAM&PK FHUA), dan
Himpunan Mahasiswa Pidana FHUA. Sempat juga menjadi asisten peneliti di Pusat Studi
Konstitusi (PUSaKO) FHUA. Saat ini berkegiatan Indonesian Legal Roundtable sebagai peneliti.
Dapat dihubungi melalui email: [email protected]
pg. 20