Efek Pemberian Serbuk Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) terhadap Motilitas dan Abnormalitas Spermatozoa Mencit

Efek Pemberian Serbuk Pasak Bumi (Eurycoma longifolia)

159

Efek Pemberian Serbuk Pasak Bumi (Eurycoma longifolia)
terhadap Motilitas dan Abnormalitas Spermatozoa Mencit
(Mus musculus)
Effect of Pasak Bumi (Euricoma longifolia) Powder on Sperm Motility and
Abnormality in Mice (Mus musculus)
Dina Fatmawati 1, Tyas Rini Saraswati2, dan Mohamad Anwar Djaelani 2
ABSTRACT
Background: Pasak Bumi has been traditionally used as aphrodisiac. This research was conducted to observe
the effect of powdered pasak bumi at various doses on motility and abnormality of mice spermatozoa.
Design and Methods: This experimental study was complete randomized design. We uses four doses of
pasak bumi powder i.e 700 mg/kgBB, 1400 mg/kgBB and 2800 mg/kgBB. Parameters in this study were
motility and abnormality of spermatozoa (%) and reproduction organ weight (g). Spermatozoa abnormatilty
was observed by sperm smear method, while motility was observed as Ellyzar (1999) method. The results
were analyzed with ANOVA with 95% in significantly.
Results: The result showed difference in motility, abnormality of spermatozoa and reproductive organ among
the treated group although statistically not significant (p > 0.05).
Conclusion: The pasak bumi treatment at the dose of 700 mg/kgBB and 2800 mg/kgBB have not increase

the motility and decrease the abnormality of mice spermatozoa yet, (Sains Medika, 1 (2) : 159-167).
Key words: abnormality, motility, pasak bumi (Eurycoma longifolia), spermatozoa, testosteron

ABSTRAK
Latar belakang: Pasak bumi (Eurycoma longifolia) telah lama digunakan sebagai bahan baku campuran
dalam produksi jamu tradisional penambah gairah seksual. Penelitian ini bertujuan mengetahui
pengaruh pemberian serbuk pasak bumi dengan berbagai dosis yang berbeda terhadap motilitas dan
abnormalitas spermatozoa pada mencit.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap. Dosis yang digunakan yaitu
700 mg/kgBB, 1400 mg/kgBB dan 2800 mg/kgBB. Parameter pada penelitian ini meliputi motilitas dan
abnormalitas spermatozoa yang dinyatakan dalam prosentase dan bobot organ reproduksi yang
dinyatakan dalam gram. Pengamatan terhadap abnormalitas dilakukan dengan menggunakan metode
apus semen, sedangkan motilitas dilakukan dengan menggunakan metode Ellyzar (1999). Hasil yang
diperoleh dianalisa dengan menggunakan ANOVA dengan taraf signifikasi 95%.
Hasil: Hasil analisa data menunjukkan perbedaan tidak nyata terhadap motilitas, abnormalitas
spermatozoa, dan bobot organ reproduksi untuk tiap kelompok perlakuan (p>0,05).
Kesimpulan: Pemberian pasak bumi dengan menggunakan dosis 700 mg/kgBB sampai 2800 mg/kgBB
belum dapat meningkatkan motilitas maupun menurunkan abnormalitas spermatozoa pada mencit,
(Sains Medika, 1 (2) : 159-167).
Kata kunci : Abnormalitas, motilitas, pasak bumi (Eurycoma longifolia), spermatozoa, testosteron


PENDAHULUAN
Penggunaan pasak bumi (Eurycoma longifolia) sebagai bahan baku campuran
dalam produksi jamu tradisional penambah gairah seksual sekarang ini banyak dijumpai
1

Bagian Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang

2

Bagian Biologi Struktur dan Fungsi Hewan Fakultas MIPA Universitas Diponegoro Semarang,
(diena_home@yahoo.co.id).

160

Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

(Ruslina, 1999). Tanaman ini mempunyai beberapa kandungan senyawa kimia aktif berupa
saponin yang berkhasiat dalam meningkatkan nafsu makan, golongan sterol dan
isoprenoid yang berperan dalam biosintesis hormon testosteron. Berbagai mineral (Fe,

Co, Mg, dan Zn) yang terkandung pada tanaman ini berperan sebagai kofaktor enzim
yang terlibat dalam pembentukan hormon-hormon androgen dan maturasi spermatozoa
(Purwatyastuti, 1995; Anonim, 1999). Selama maturasi spermatozoa terjadi peningkatan
motilitas dan perubahan morfologi dari spermatozoa. Proses maturasi ini terjadi pada
epididimis di bawah pengaruh hormon testosteron.
Pasak bumi (Eurycoma longifolia) merupakan tanaman asli hutan Indonesia yang
khasiatnya telah terbukti dalam meningkatkan libido. Ang dan Lee (2002) menyatakan
bahwa penggunaan pasak bumi dengan dosis 400 mg/kgBB dan 800 mg/kgBB dapat
meningkatkan libido pada tikus jantan dimana peningkatan libido tersebut terkait dengan
peningkatan kadar testosteron.
Sejauh ini pasak bumi dapat meningkatkan libido, namun belum diketahui
efektifitas kerja dari kandungan aktif pasak bumi terhadap peningkatan kualitas
spermatozoa yang menjadi salah satu faktor penting untuk menilai tingkat kesuburan
pada pria. Penentuan kualitas spermatozoa meliputi motilitas dan abnormalitas
spermatozoa. Berdasarkan informasi tersebut maka perlu dilakukan penelitian mengenai
pengaruh penggunaan serbuk pasak bumi terhadap motilitas dan abnormalitas
spermatozoa sebagai bagian dalam penentuan kualitas spermatozoa. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pemberian serbuk pasak bumi sebagai
salah satu bahan pemacu reproduksi terhadap peningkatan motilitas maupun penurunan
abnormalitas spermatozoa mencit jantan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi

informasi kepada masyarakat mengenai manfaat pemberian serbuk pasak bumi terhadap
peningkatan motilitas maupun penurunan abnormalitas spermatozoa, sehingga dapat
dijadikan sebagai salah satu bahan untuk mengatasi gangguan kesuburan pada pria.
Kandungan senyawa aktif dari pasak bumi termasuk diantaranya berupa
isoprenoid, sterol, dan berbagai mineral yang berperan dalam pembentukan testosteron
melalui peningkatan biosintesis kolesterol, dimana testosteron berperan dalam proses
maturasi spermatozoa. Berdasarkan informasi tentang khasiat serbuk pasak bumi
terhadap peningkatan testosteron tersebut, maka dapat diajukan suatu hipotesis bahwa

Efek Pemberian Serbuk Pasak Bumi (Eurycoma longifolia)

161

pemberian pasak bumi dengan dosis 700 mg/kgBB, 1400mg/kgBB, dan 2800mg/kgBB
dapat meningkatkan kualitas spermatozoa yang diamati melalui peningkatan prosentase
motilitas dan penurunan persentase abnormalitas spermatozoa pada mencit jantan.

METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan metode eksperimental secara in vivo, kondisi lingkungan
diatur sedemikian rupa sehingga stabil dan homogen. Rancangan penelitian yang

digunakan adalah post test only control group design dengan 24 ekor sampel mencit
berumur 35 hari yang dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan. Masing-masing kelompok
terdiri dari 6 ekor tikus. Perlakuan pertama (P0) sebagai kontrol diberi aquadest 1 ml,
perlakuan kedua (P1) diberi larutan serbuk pasak bumi dosis 700 mg/kgBB, perlakuan
ketiga (P2) diberi larutan serbuk pasak bumi dosis 1400 mg/kgBB dan perlakuan keempat
(P3) diberi larutan serbuk pasak bumi dosis 2800 mg/ kgBB.
Serbuk pasak bumi sebanyak 56 mg dicampurkan dengan 100 ml aquades,
kemudian dididihkan. Setelah agak dingin larutan disaring dengan menggunakan kertas
saring. Hasil yang diperoleh merupakan larutan serbuk pasak bumi dengan dosis 2800
mg/kgBB, selanjutnya diencerkan dengan perbandingan volume 1:1 untuk menghasilkan
larutan serbuk pasak bumi dengan dosis 1400 mg/ kgBB. Dosis 700 mg/ kgBB diperoleh
dari hasil pengenceran larutan serbuk pasak bumi dosis 1400 mg/kgBB dengan
perbandingan volume 1:1.
Mencit ditempatkan pada kandang individual dan diaklimasi selama dua minggu
untuk membiasakan mencit hidup dalam lingkungan dan perlakuan baru, serta untuk
membatasi pengaruh lingkungan dalam percobaan. Setiap hari mencit diberi makan dan
minum secukupnya (ad libitum) disertai dengan pengamatan umum dimana mencit yang
tampak sakit tidak diikutsertakan dalam penelitian. Tanda-tanda mencit sakit adalah
berkurangnya aktivitas, lebih banyak diam, dan bulu-bulunya banyak yang berdiri
(Satayavivad et al., 1998).

Larutan diberikan secara oral kepada mencit jantan dengan frekuensi pemberian
1 kali dalam sehari selama 48 hari sesuai dengan kelompok perlakuan. Pemberian
perlakuan dilakukan secara oral dengan menggunakan jarum gavage/ acufirm (blunt
type needle) setiap hari pukul 4 sore. Pada akhir perlakuan, dilakukan dislokasi leher

162

Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

selanjutnya organ reproduksi berupa testis dan epididimis sampai vas deferent diisolasi
dan ditimbang.

Penghitungan motilitas spermatozoa
Ellyzar (1999) mengemukakan cara perhitungan motilitas spermatozoa yang
dilakukan dengan menggunakan hemositometer, yaitu: sediaan semen diambil melalui
pengurutan dari bagian epididimis cauda sampai batas ampula dengan menggunakan
pinset secara searah. Semen berupa spermatozoa dan sekret vas deferens ditampung
dalam gelas arloji yang telah diisi dengan larutan NaCl 0,9% sebanyak 0,25 ml serta
diaduk agar homogen. Setelah homogen sampel dihisap dengan pipet Thoma leukosit
sampai batas skala 1 kemudian dilakukan pengenceran sebanyak 10 kali dengan cara

menambahkan larutan pengencer berupa NaCl 0,9% maupun larutan George sampai
skala 11, lalu dilakukan penggojokan dengan hati-hati, namun cukup cepat dengan cara
membuat angka 8 selama 3-5 menit. Setelah itu semen yang telah diencerkan tadi
diteteskan diatas gelas obyek penghitung dan dihitung jumlah spermatozoa yang mati
maupun yang bergerak ditempat.
Persentase motilitas spermatozoa =
Σ Spermatozoa pada larutan George — Σ spermatozoa pada NaCl 0,9% x 100%
Σ spermatozoa pada larutan George

Pengamatan abnormalitas spermatozoa
Pengamatan abnormalitas spermatozoa dilakukan dengan cara membuat preparat
apus dari sampel semen yang telah homogen menggunakan pewarna giemsa 3 % (Ellyzar,
1999), dimana spermatozoa yang normal mempunyai kepala berbentuk kait, leher tidak
melipat, dan ekor yang Iurus panjang, sedangkan bentuk spermatozoa yang lainnya
digolongkan abnormalitas spermatozoa (Rugh, 1968).

Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisa normalitas dan homogenitasnya. Hasil analisa
data pada penelitian ini menujukkan data terdistribusi normal dan mempunyai varian
yang homogen, setelah itu data diuji beda dengan analisa sidik ragam (ANOVA)


Efek Pemberian Serbuk Pasak Bumi (Eurycoma longifolia)

163

berdasarkan rancangan acak lengkap, selanjutnya jika terdapat beda nyata akan
dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan pada taraf signifikansi 95% (Santoso, 2003).

HASIL
Data motilitas dan abnormalitas spermatozoa yang dinyatakan dalam prosentase
merupakan parameter utama, sedangkan parameter pendukung berupa bobot testis, dan
hobot saluran reproduksi (epididimis sampai vasa deferensia) yang dinyatakan dalam
gram. Hasil analisa data terhadap motilitas dan abnormalitas spermatozoa mencit
dengan menggunakan ANOVA pada taraf signifikansi 95% menunjukkan bahwa pemberian
serbuk pasak bumi dengan dosis 700 mg/ kgBB, 1400 mg/kgBB, dan 2800 mg/kgBB tidak
mempengaruhi motilitas, abnormalitas spermatozoa, bobot testis, dan bobot saluran
reproduksi, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1.

Hasil analisa data motilitas, abnormalitas spermatozoa, bobot testis, dan

bobot saluran reproduksi menggunakan Anova pada taraf signifikansi 95%

Keterangan: Data merupakan rata-rata ± standar deviasi dengan n = 6 untuk tiap kelompok. Huruf yang
sama dalam satu kolom yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (p>0,05)

PEMBAHASAN
Ang dan Lee (2002) melaporkan bahwa pemberian pasak bumi dengan dosis 400
mg/kgBB dapat meningkatkan libido tikus jantan, namun hasil analisis terhadap motilitas
dan abnormalitas spermatozoa menunjukkan bahwa pemberian pasak bumi tidak
berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan motilitas maupun penurunan
abnormalitas spermatozoa pada mencit. Hal ini diduga karena frekuensi lama pemberian
yang kurang lama, sehingga pemberian pasak bumi dengan dosis 400 mg/kgBB sampai
2.800 mg/kgBB belum efektif dalam meningkatkan biosintesis testosteron pada mencit.
Pasak bumi berperan dalam meningkatkan motilitas maupun penurunan

164

Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

abnormalitas spermatozoa melalui peningkatan testosteron. Testosteron berperan dalam

proses transport ion yang diperlukan untuk mencegah keadaan hipoosmotik dalam duktus
epididimis, sehingga abnormalitas spermatozoa dapat berkurang. Disamping itu
testosteron juga berperan dalam meningkatkan sintesis dan sekresi protein, serta enzim
yang diperlukan untuk motilitas spermatozoa (Jones dan Dott dalam Nita, 1998).
Biosintesis testosteron yang belum meningkat, menyebabkan efektifitas kerja testosteron
terhadap organ target berkurang, sehingga mengakibatkan perbedaan tidak nyata antar
kelompok perlakuan. Purwantyastuti (1995) menyatakan bahwa testosteron merupakan
salah satu jenis androgen yang penting untuk mengontrol fertilitas jantan. Bila terjadi
hambatan baik pada biosintesis maupun transport menuju sel target, maka akan
mempengaruhi kualitas spermatozoa.
Efektifitas kerja testosteron juga dipengaruhi oleh kadar SHBG (Sex Hormone
Binding Globulin). SHBG berfungsi mempertahankan keseimbangan dan disosiasi
testosteron dalam sirkulasi sel target. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutyarso (2003)
bahwa perbedaan efektifitas kerja testosteron dalam sel germinal maupun sel target
lain sangat tergantung pada kadar, struktur molekul, dan kemampuan ikatan SHBG,
dimana biosintesis SHBG terkait dengan umur dan kadar SHBG berkorelasi positif dengan
jumlah dan kualitas spermatozoa. Rendahnya SHBG diduga herhubungan dengan
mekanisme umpan balik negatif terhadap produksi testosteron. Granner (2000)
menyatakan bahwa testosteron terikat dengan afinitas tinggi pada SHBG sehingga
perubahan kadar SHBG mengakibatkan perubahan besar pada kadar testosteron bebas.

Sutyarso (2003) menambahkan bahwa rendahnya SHBG menyebabkan peningkatan
testosteron bebas, sehingga efek umpan halik negatif ke hipofisis menjadi efektif. Efek ini
berpengaruh menekan hormon gonadotropin dan sintesis serta sekresi testosteron
sehingga secara tidak langsung mengakibatkan motilitas dan abnormalitas spermatozoa
menurun.
Pada penelitian ini bentuk abnormalitas spermatozoa yang banyak ditemukan
berupa spermatozoa dengan tetes sitoplasma (sitoplasmic droplet) dan ekor bergulung.
Hal ini diduga akibat menurunnya sintesis dan sekresi protein spesifik dan gangguan
terhadap transport ion, karena berkurangnya efektifitas kerja dari testosteron. Testosteron
dalam epididimis berperan dalam menstimulasi sintesis dan sekresi protein spesifik

Efek Pemberian Serbuk Pasak Bumi (Eurycoma longifolia)

165

dan enzim salah satunya berupa fosfatase (Dellman dan Brown, 1999). Dalam epididimis
terjadi perubahan morfologi spermatozoa yang meliputi penghilangan tetes sitoplasma
melalui pinositosis (Dellman dan Brown, 1999). Ganong (1997) menyatakan bahwa protein
merupakan induser terjadinya pinositosis sehingga gangguan terhadap sintesis maupun
sekresi protein tersebut akan mengakibatkan menurunnya kemampuan pinositosis pada
sel epitel epididimis. Transport ion diperlukan untuk menjaga keseimbangan osmotik
dalam duktus epididimis. Gangguan terhadap transport ion akan mengakibatkan keadaan
hipoosmotik dalam duktus epididimis, sehingga mengakibatkan abnormalitas
spermatozoa berupa spermatozoa dengan ekor bergulung. Fosfatase berperan dalam
proses pengubahan ATP (Adenosin Triposfat) menjadi ADP (Adenosin Diposfat) yang
menghasilkan energi, apabila kadar fosfatase berkurang dalam epididimis akan
mengakibatkan gangguan terhadap produksi energi untuk yang secara tidak langsung
akan mempengaruhi motilitas (WHO, 1994; Mayes, 2000).
Dampak anabolik dari peningkatan biosintesis testosteron akibat dari pemberian
pasak bumi dapat diamati melalui peningkatan bobot organ reproduksi, dimana
testosteron akan berikatan dengan reseptor di sitoplasma. Kompleks reseptor-testosteron
ini akan mengalami modifikasi dan translokasi ke dalam nukleus dan berikatan dengan
tempat ikatan spesifik (specific binding protein) pada kromosom. Hal ini menyebabkan
aktifitas RNA (Ribo Nucleic Acid) polimerase meningkat diikuti peningkatan sintesis RNA
spesifik dan selanjutnya terjadi peningkatan sintesis protein (Purwaningtyas, 1995).
Bobot testis dan saluran reproduksi antar kelompok perlakuan dengan dosis 700
mg/kgBB, 1.400 mg/kgBB, dan 2.800 mg/kgBB tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Hasil ini mendukung hasil perhitungan motilitas dan abnormalitas
spermatozoa dimana perubahan bobot organ reproduksi terkait dengan fungsi fisiologis
dari organ tersebut. Peningkatan bobot testis terkait dengan peningkatan kadar testosteron
yang berperan dalam spermatogenesis. Testosteron berpengaruh langsung terhadap
perkembangan dan fungsi testis. Purwantyastuti (1995) menyatakan bahwa pemberian
androgen dengan dosis rendah mengakibatkan atropi testis dan penurunan fungsi testis,
karena menghambat sekresi gonadotropin, sehingga testosteron yang dihasilkan
berkurang.
Epididimis merupakan salah satu organ reproduksi yang berperan dalam proses
pematangan spermatozoa, yang meliputi perubahan morfologi dan peningkatan motilitas.

166

Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009

Peningkatan bobot epididimis terkait dengan peran fisiologisnya dalam hal tersebut.
Sutyarso (2003) menyatakan bahwa pematangan untuk menghasilkan spermatozoa yang
fungsional terjadi dalam epididimis, sedangkan fungsi epididimis sangat tergantung
pada testosteron. Apabila kadar androgen pada epididimis rendah akibat dari penurunan
SHBG, maka akan mempengaruhi fungsi epididimis. Keadaan tersebut menyebabkan
kualitas spermatozoa menurun.

KESIMPULAN
Penggunaan serbuk pasak bumi sampai dengan dosis 2.800 mg/kgBB belum
mampu meningkatkan kualitas spermatozoa mencit, yang diamati melalui motilitas dan
abnormalitas spermatozoa (Mus musculus) jantan.

SARAN
Perlu dilakukan penelitian Iebih lanjut mengenai pengaruh pasak bumi dengan
dosis dan lama waktu yang berbeda terhadap kualitas spermatozoa disertai dengan uji
toksikologisnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ang, H.H., and K.L. Lee, 2002, Effect of Eurycoma longifolia on Libido in Middle Aged Male
Rats, J. Basic C/in Physio/ Pharmacol, 13(3): 249-54.
Anonim, 1999, Pasak Bumi Tumbuhan Obat yang Terancam Kelestariannya, Duta Rimba
No. 225/XXIV: 44-45.
Dellman, D.H., dan E.M. Brown, 1999, Buku Teks Histologi Veteriner H, Edisi kedua.
Terjemahan: R. Hartono, Penerbit UI Press, Jakarta.
Ellyzar, L.M.A., 1999, Pengaruh Pemberian Ekstrak Rimpang Jahe Zingiber officinale Roscoe
Terhadap Motilitas, Keabnormalitasan, serta Jumlah Fetus Mencit Mus muculus.
DEXA ME, 3(12) Juli-September 1999.
Ganong, W.F., 1997, Review of Medical Physiology, Lange publishing, California, pp. 322.
Granner, D.K., 2000, Hormones of the Gonads in Harpers Biochemistry 25th ed., Lange Medical
Publishing, New York, pp 594-599.
Mayes, P.A., 2000, Glycolysis and The Oxydation of Pyruvate in Harper’s Biochemistry 25th ed
2000, Lange Medical Publishing, New York pp 190-194.
Purwantyastuti, A., 1995, Androgen, Anti Androgen, Anabolik Steroid dalam Farmakologi
dan Tempi, Edisi keempat. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI: 456-459.

Efek Pemberian Serbuk Pasak Bumi (Eurycoma longifolia)

167

Nita, S., 1998, Pengaruh Mangostin Terhadap Kualitas Sperma Epididimis Cauda Tikus
Wistar Jantan, Tesis, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Rugh, R., 1968, The Mouse its Reproduction and Development, Burgess Publising Co.
Minneapolis, pp 1:7-8:10:17:21-24.
Ruslina, S., 1999, Mengapa Jamu Fokus ke Seks?, Majalah SWA Swadaya.
Santoso, A., 2003, Rancangan Percobaan, Teori & Aplikasi, Edisi ketiga, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Satayavivad, J., S. Noppamas, S. Aimon, and T. Yodhathai, 1998, Toxicological and
Antimalarial Activity of Eurycomalactone and Eurycoma longifolia Jack Extracts
in Mice; Thai Journal of Phytopharmacy, Vol 5(2): 14-27.
Sutyarso, 2003, Protein Pengikat Hormon Seks/ Sex Hormone Binding Globulin (SHBG)
Sebagai Parameter Evaluasi Klinik Laki-laki Infertil, Majalah Kedokteran Indonesia
(The Journal of The Indonesian Medical Assosiation), Vol : 53(1), Januari 2003.
WHO, 1994, Practical Laboratory Andrology, Oxford University Press, New York.