Pilkada dan Masa Depan Demokrasi

PILKADA DAN MASA DEPAN DEMOKRASI
Oleh:
Budi H. Wibowo
Pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
ternyata memunculkan persoalan jika dikaitkan dengan momentum
yang sebentar lagi akan digelar yaitu pemilihan umum kepala daerah
(Pilkada). UU ini sebetulnya merupakan revisi dari UU sebelumnya –
UU No. 22 Tahun 1999— namun, hasil amandemen tersebut tidak
cukup menjawab masalah yang tentu saja tidak sempat terpikirkan
atau sengaja tidak diperdebatkan ketika UU tersebut dirancang dan
ditetapkan.
Masalah yang timbul pasca penetapan UU Pemda sebagaimana yang
saat ini sedang diperkarakan oleh beberapa KPUD dan juga oleh
organisasi pemantau pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dijudicial review-kan. Beberapa pasal dalam UU Pemda menurut para
pemohon tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E
ayat (1), dan ayat (5) UUD 1945.
Pada dasarnya, UU Pemda merupakan penyempurnaan dari UU
sebelumnya. Akan tetapi, problem yang sama juga muncul seperti
pada saat UU No. 22/1999 ditetapkan. Dan masih terkait dengan
masalah-masalah administratif, politis, sosial, ekonomi, dan hukum.
Mengapa hal ini sampai bisa terulang kembali, padahal pembuatan

UU tersebut telah melibatkan banyak pihak. Bagaimana juga suasana
kebathinan para perumus UU Pemda ketika mereka merancang UU
dimaksud.
Namun, penulis tidak akan bermaksud lebih jauh menelusuri secara
kronologis pembuatan UU Pemda ini. Akan tetapi, penulis akan lebih
mengelaborasi keterkaitan antara keberadaan UU Pemda dengan
konstelasi politik daerah bilamana UU tersebut tetap dan tidak
mengalami perubahan.
Tidak sedikit pendapat dan argumentasi muncul menanggapi
keberadaan UU Pemda, khususnya terkait dengan pelaksanaan
pilkada. Proses pilkada di daerah-daerah yang rencanannya bakal
digelar pada bulan Juni 2005 tentu saja menyimpan segudang
harapan sekaligus potensi konflik.
Apalagi bila Pasal 57 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan bahwa
“pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan
oleh KPUD yang bertanggungjawab kepada DPRD”. Maka

kemungkinan upaya-upaya manipulasi, korupsi, kolusi dan nepotisme
mendapatkan peluang sangat besar di dalam pesta demokrasi lokal
tersebut.

Ada beberapa pertimbangan untuk mencermati terbukanya peluangpeluang terjadinya kemungkinan di atas secara besar-besaran pada
pelaksanaan pilkada jika berdasar UU Pemda yang ada saat ini. Yaitu
pertama, sebagai pelaksana pilkada ditunjuklah KPUD setempat untuk
mempersiapkan hal-hal mulai dari persiapan hingga penetapan kepala
daerah dan wakil kepala daerah menurut suara yang diperoleh.
Artinya, KPUD satu-satunya aktor yang memiliki kewenangan
tersebut. Sementara panwas hanya mengontrol saja, tidak lebih.
Kedua, KPUD bertanggungjawab kepada DPRD. Dalam hal ini DPRDlah yang memiliki kewenangan secara langsung maupun tidak
langsung melakukan kontrol sekaligus menilai pelaksanaan pilkada
oleh KPUD. Jika DPRD memperoleh hal-hal yang menyimpang maka
DPRD berhak untuk menegur KPUD. Atau sebaliknya, DPRD dan
KPUD memiliki peluang melakukan komitmen-komitmen tertentu
dalam meloloskan satu orang atau lebih calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah. Artinya, pilkada ini akan menjadi ladang jual-beli
yang dikomandoi oleh DPRD dan KPUD.
Ketiga, bila ada pembedaan bahwa KPUD bertanggungjawab secara
finansial kepada DPRD saja, maka itupun tidak menutup kemungkinan
terjadi manipulasi dan kemungkinan lainnya yang dapat menodai
pilkada jujur, adil, demokratis dan jauh dari korupsi. Di atas kertas
bisa saja itu dicantumkan, namun pada tataran teknis-operasional di

lapangan tentu tidak semudah apa yang diinginkan di atas kertas.
Tiga hal tersebut sebenarnya merupakan pandangan pesimistis
penulis pribadi, namun pandangan ini semakin pesimis ketika pada 11
Februari 2005 lalu PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
Di dalam PP tersebut pada bab III Pasal 4 ayat (4) menyatakan bahwa
KPUD bertanggungjawab kepada DPRD. Walhasil, meski pemerintah
telah mengeluarkan PP Pilkada tetapi isinya masih tidak berbeda jauh
dengan UU Pemda di mana pertanggunggjawaban KPUD adalah
kepada DPRD.
Selain itu, PP Pilkada juga masih terdapat banyak kekurangan. PP
tersebut belum mengatur secara eksplisit bagaimana penanganan
hukumnya (law enforcement) bila para calon kepala daerah itu

melakukan pelanggaran dalam hal mencuri start waktu kampanye. PP
ini hanya menyebutkan tidak boleh ada money politic, tidak boleh
mencuri start, pilkada harus berlangsung secara fair dan sebagainya.
Semangat yang diusung pemerintah melalui UU Pemda dapat

dipahami merupakan bagian dari pelaksanaan demokratisasi di
Indonesia. Perkembangan demokrasi khususnya di Indonesia sangat
lekat dengan proses politik. Secara umum penyelenggaraan Pilkada
langsung adalah gambaran dari perkembangan demokrasi di
Indonesia yang mengikut sertakan para peserta pemilu, tidak lain
yaitu partai politik. Karena calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah nantinya diusulkan dari partai politik.
Semangat berdemokrasi yang digambarkan melalui Pilkada ini oleh
banyak kalangan dinilai merupakan langkah tepat dari implementasi
mewujudkan negara demokrasi. Namun, jangan sampai semangat
tersebut menutup mata hingga merusak semangat itu.
Dengan biaya yang tidak sedikit tentunya pelaksanaan Pilkada
diharapkan dapat sesuai dengan keinginan masyarakat agar terpilih
pemimpin yang memahami rakyat. Apalagi Pilkada di tiap daerah
seluruh biayanya dialokasikan ke dalam APBD masing-masing.
Sehingga alokasi yang sedianya untuk pembangunan tersedot untuk
pelaksanaan Pilkada. Waktu empat bulan merupakan waktu yang
tidak panjang. Apalagi jika dihitung dari mulai persiapan sampai
pelaksanaan. Kesiapan teknis perangkat pelaksanaan Pilkada mutlak
sudah dipenuhi untuk mengantisipasi keterlambatan. Akan tetapi, hal

ini tidak kemudian menjadi alasan untuk memasakkan pelaksanaan
Pilkada.
Pemerintah dalam hal ini sudah semestinya bersifat lebih arif dalam
melihat
berbagai
perkembangan
perihal
Pilkada.
Tidaknya
masyarakat dalam negeri yang akan memonitor proses Pilkada,
masyarakat internasional pun tentunya mengambil bagian dalam
menilai demokratisasi di Indonesia. Karena pada akhirnya jika
demokrasi dipaksakan atas nama kepentingan sesaat, walhasil
demokrasi yang bakal lahir sangatlah prematur dan rawan dari konflik
kepentingan yang tidak bertanggungjawab.
Sekali lagi, sikap arif pemerintah dalam menyikapi masa depan
demokrasi di Indonesia sangat dibutuhkan. Apa yang telah dilakukan
pemerintah dengan mengeluarkan PP Pilkada patut dihargai, meski
membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan PP tersebut.
Mengutip tulisan Mendagri berjudul “Optimisme Menghadapi Pilkada

Langsung” –yang dimuat di salah satu media cetak— yang
mengutarakan lima alasan mengapa Pilkada harus tetap dilaksanakan.

Salah satu alasan yang disebutkan yaitu Pilkada langsung sebagai
sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education).
Dari tulisan Mendagri M. Ma’ruf tersebut mengisyaratkan niat baik
pemerintah melakukan pendidikan demokrasi kepada masyarakat.
Namun, niat baik ini belum selaras dengan PP yang dikeluarkan.
Bahwa pasal mengenai tanggungjawab pelaksanaan Pilkada (KPUD)
kepada DPRD seperti di sebutkan di atas sangat mungkin menjadi
ajang praktek korupsi, kolusi dan nepotisme gaya baru yang
bertentangan
dengan
kebijakan
Presiden
Yudhoyono
yang
menginginkan percepatan pemberantasan korupsi.
Mudah-mudahan cita-cita membentuk Indonesia sebagai negara
demokrasi sesuai amanat UUD 1945 dan the founding fathers kita

tidak tercerabut dari akarnya. (dimuat di Duta Masyarakat, Kamis, 3
Maret 2005).

Penulis adalah pemerhati masalah-masalah sosial dan politik tinggal
di Jakarta