Praktik Hukuman Mati dan Jaminan Perlind

Praktik Hukuman Mati dan Jaminan Perlindungan HakHak Asasi Fundamental di Indonesia: Mengungkap Sistem
Pemidanaan yang Dipaksakan di Indonesia
Puri Kencana Putri1
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
I. Pendahuluan
Pada sesi ke-tiga puluh yang diselenggarakan oleh Dewan Hak Asasi Manusia dari
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations of Human Rights Council) yang
diselenggarakan pada bulan September 2015 tema hukuman mati telah mendapatkan
perhatian yang amat luas dari negara-negara anggota Dewan HAM PBB.2 Secara
khusus, Dewan HAM PBB memberikan mandat kepada Sekretaris Umum PBB untuk
mengangkat tema hukuman mati pada laporan 5 tahunan (quinquennial report) di
Majelis Umum PBB. Laporan tersebut diharapkan mampu memberikan potret besar
terhadap kesadaran global yang idealnya mampu mengatakan bahwa praktik hukuman
mati adalah praktik usang dan cenderung dijauhi oleh negara-negara modern, yang
menjunjung tinggi akuntabilitas, penegakan hukum dan HAM. Dari data yang
diketahui, setidaknya terdapat 160 negara yang telah mengabolisi praktik hukuman
mati dari sistem hukum positif yang mereka miliki, termasuk bagi negara-negara yang
telah menggunakan pendekatan moratorium hukuman mati. Angka ini dapat
dipandang progresif, mengingat ketika digelontorkan wacana abolisi hukuman mati
ditahun 1948, hanya sekitar 48 negara yang memiliki komitmen.3
Namun demikian meskipun terdapat tren progresif global dari negara-negara untuk

menjauhkan diri dari praktik hukuman mati polemik klasik kerap muncul khususnya
ketika masih banyak negara yang memutuskan menggunakan pendekatan hukuman
1 Puri Kencana Putri adalah Wakil Koordinator Bidang Strategi dan Mobilisasi dari Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Ia menghabiskan studi Hukum HAM
internasional di UN Mandated University for Peace, Costa Rica dan Ilmu Politik di Ateneo de Manila
University (2013-2014).
2 Sebagai sebuah sistem di dalam PBB, Dewan HAM memiliki pertemuan rutin yang diselenggarakan
setiap tahun yang dikenal dengan istilah sesi (session). Untuk setiap tahunnya, Dewan HAM
menyelenggarakan tidak kurang dari 3 kali sesi reguler, dengan total keseluruhan 10 pekan. Jamaknya
mereka sesi yang melibatkan seluruh anggota Dewan HAM PBB akan diselenggarakan pada bulan
Maret (selama 4 pekan), Juni (3 pekan) dan September (3 pekan). Selain itu, Dewan HAM PBB juga
mampu menyelenggarakan sebuah sesi khusus (special session) jika terdapat 1/3 dari keseluruhan suara
para anggota Dewan HAM PBB yang memutuskan untuk menggelar suatu pertemuan dalam
merespons situasi pelanggaran HAM dan kedaruratan lainnya. Lihat: OHCHR. Human Rights Council
on
Session.
Penjelasan
dapat
diakses
di:

http://www.ohchr.org/EN/HRBodies/HRC/Pages/Sessions.aspx. Diakses pada tanggal 1 November
2015.
3 Dari resolusi Majelis Umum PBB yang terakhir dilakukan pada tanggal 18 Desember 2014m
terdapat dukungan yang meningkat untuk memperkuat komitmen global moratorium, dengan angka
mencapai 117 suara mendukung moratorium, 38 menentang dan 34 lainnya abstain. Indonesia tercatat
sudah 2 putaran memilih abstain termasuk ditahun 2014. Dalam semester I ditahun 2015, setidaknya 3
negara yakni Fiji, Suriname dan Madagaskar telah menghapus vonis hukuman mati dari tata pidana
hukum domestiknya. Tidak ketinggalan negara bagian Nebraska di Amerika Serikat telah menjadi
negara bagian ke-19 yang menghapus hukuman mati terhitung sejak tanggal 27 Mei 2015. Lebih lanjut
lihat: http://www.un.org/en/ga/search/view_doc.asp?symbol=A/69/PV.73. Diakses pada tanggal 1
November 2015.

1

mati dalam sistem hukum pidana nasional; termasuk negara-negara yang masih
mempercayai bahwa praktik ini mampu efektif memberikan efek jera pada tindak
pidana narkotika. Bagi mereka yang meyakini pula bahwa praktik hukuman mati juga
amat terkait dengan opini kolektif yang kerap disandingkan dengan tingkat kepuasan
kolektif dan ‘rasa keadilan’ publik terhadap praktik kejahatan yang telah terjadi. 4 Pada
konteks masih diterapkannya praktik hukuman mati di Indonesia, dinamika HAM dan

segenap kewajiban yang diberikan kepada negara menjadi menarik untuk diperiksa
secara seksama, khususnya ketika standar HAM dapat direalisasikan dengan beberapa
ukuran berikut: Pertama, tren global dalam mengevaluasi kembali praktik hukuman
mati. Kedua, komitmen Pemerintah Indonesia pada sejumlah instrumen hukum HAM
internasional. Ketiga, kapasitas dari standar hukum nasional yang mampu melindungi
hak-hak asasi setiap individu tanpa diskriminatif dan menjauhi pemidanaan yang
dipaksakan. Ketiga ukuran di atas kiranya mampu memberikan semacam ilustrasi dan
catatan evaluatif kepada Pemerintah Indonesia terkait dengan komitmennya dalam
menggunakan standar penegakan hukum nasional.
Dari perkembangan terbaru pada sektor penegakan hukum dan jaminan perlindungan
HAM di Indonesia, konteks praktik hukuman mati telah digunakan untuk ‘mengelola’
suatu sentimen yang kontraproduktif dengan komitmen Pemerintah Indonesia pada
beberapa tahun terakhir untuk menghentikan sementara (de facto moratorium) atas
penerapan hukuman mati. ‘Mengelola’ sentimen tersebut kemudian amat lekat dengan
agenda terbaru dari Pemerintah Indonesia di era Joko Widodo untuk memerangi
kejahatan narkotika dengan pendekatan absolutisme: menggunakan kembali hukuman
mati untuk menghadirkan efek jera atas perdagangan narkotika di Indonesia.
Empat belas orang telah dieksekusi mati selama tidak kurang dari 1 semester diawal
tahun 2015. Dari 14 orang tersebut, mayoritas terpidana yang dieksekusi mati adalah
warga asing yang telah mendekam di lembaga pemasyarakatan tidak kurang dari 1

dekade. Dua gelombang eksekusi mati yang kembali digunakan oleh Pemerintah
Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari sumber data yang telah digunakan oleh
Pemerintah dalam membenarkan praktik hukuman mati sebagai alat untuk mencegah
‘kedaruratan negara pada isu kejahatan narkotika’ di Indonesia. Adalah laporan yang
dikeluarkan oleh Badan Narkotika Nasional Indonesia (BNN) telah diggunakan suatu
standar metodologi yang diragukan validitasnya telah dijadikan dasar untuk
memprioritaskan eksekusi hukuman mati sebagai langkah penegakan hukum yang
didukung oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Laporan yang dikeluarkan ditahun 2013 berjudul Jurnal Data: Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba menyatakan bahwa
2,6% dari total populasi di Indonesia atau sekitar tidak kurang dari 4.5 juta warga
Indonesia telah menggunakan narkotika dan zat-zat terlarang.5 Baik eksekusi maupun
4 Penjelasan ini banyak dibahas oleh peneliti Lowy Institute for International Policy Dr. Dave McRae
dalam tulisannya yang berjudul A key domino? Indonesia’s death penalty policies. Dr. Dave McRae
membuat analisa mengenai persepsi publik Indonesia atas isu hukuman mati. Hasil laporan riset dapat
diakses di: http://www.lowyinstitute.org/files/mcrae_a_key_domino_web-1.pdf. Diakses pada 21
November 2015.
5 Penulis mendapatkan dokumen dari Claudia Stoicescu (peneliti Universitas Oxford yang mendalami
kajian harm reduction dan drugs policy, termasuk untuk konteks Indonesia) melalui korespondensi
email per tanggal 10 Maret 2015. Badan Narkotika Nasional. 2014. Jurnal Data: Pencegahan dan

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (P4GN) Tahun 2013. Jurnal sendiri dapat
diakses
oleh
publik
di:

2

validitas dari laporan BNN mendapat penentangan luar biasa dari banyak pihak di
dalam maupun di luar Indonesia. Akademisi dan masyarakat sipil –salah satunya
adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)- telah
banyak mengeluarkan pernyataan, reaksi dan usulan strategis kepada negara untuk
tidak menempuh praktik hukuman mati dengan mengedepankan praktik-praktik
terbaik dalam mencegah dan mengintervensi praktik perdagangan obat-obatan
terlarang.
Naskah kajian ini akan memeriksa secara seksama kesenjangan perspektif yang telah
digunakan kembali oleh pemerintah untuk tetap mempertahankan reproduksi
argumentasi dan praktik hukum positif atas hukuman mati di Indonesia. Selain itu,
tulisan ini juga akan diperkaya dengan beberapa data otentik yang dimiliki oleh
KontraS –tempat di mana penulis bekerja- terkait dengan kejanggalan-kejanggalan

penegakan hukum yang telah ditempuh baik sebelum dan sesudah eksekusi hukuman
mati dilakukan. Tulisan ini akan dilengkapi dengan catatan 2 gelombang eksekusi di
awal tahun 2015, termasuk bentuk pelanggaran terhadap komitmen Pemerintah
Indonesia atas sejumlah instrumen hukum HAM internasional yang telah diadopsi
menjadi bagian dari tata sistem hukum nasional. Analisa dokumen, literatur dan hasil
advokasi KontraS akan menjadi metode yang digunakan dalam mengolah tulisan ini.
II. Mengukur keabsahan hukuman mati di Indonesia: Dilema standar ganda
atas pemidanaan hukuman mati yang dipaksakan
Pada tanggal 4 Maret 2015, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia
menyatakan sebuah pendapat resmi pada Diskusi Panel Tingkat Tinggi Dewan HAM
PBB (UN Human Rights Council biennial high-level panel discussion) dengan topik
‘on the question of dan the death penalty’ sebagai berikut:6
Kami memercayai bahwa negara-negara yang masih
menerapkan praktik hukuman mati harus mampu
memberikan batasan yang ketat, secara hati-hati dalam
menjatuhkan vonis hukuman mati [...] Indonesia meyakinkan
bahwa menjunjung tinggi proses hukum yang ketat telah
dilakukan dalam praktik penerapan hukuman mati.
Pernyataan di atas juga harus diperiksa dengan upaya terdahulu yang telah ditempuh
oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dengan memberikan suara

http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/post/2014/08/19/Jurnal_Data_P4GN_2013_Edisi_2014_Oke.pdf.
Diakses pada 21 November 2015.
6 Pernyataan ini telah disampaikan oleh Dicky Komar, Direktur untuk Urusan HAM dan Kemanusiaan
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dalam High Level Panel Discussion on the Question of
the Death Penalty ‘Regional Efforts Aiming at the Abolition of the Death Penalty and Challenges
Faced in that Regard’ at the 28th Session of Human Rights Council di Jenewa 4 Maret 2015.
Pernyataan sendiri bisa dilihat di: http://www.mission-indonesia.org/article/516/statement-by-thedelegation-of-the-republic-of-indonesia----high-level-panel-discussion-on-the-question-of-the-deathpenalty----regional-efforts-aiming-at-the-abolition-of-the-death-penalty-and-challenges-faced-in-thatregard----at-the-28th-session-of-the-human-rights-council. Namun menariknya pernyataan ini juga bisa
dikaitkan dengan pernyataan yang disampaikan oleh delegasi Indonesia melalui Panel Discussion on
the Impact of World Drug Problem on the Enjoyment of Human Rights di Jenewa 28 September 2015
yang masih menggunakan logika temuan BNN. Pernyataan sendiri bisa dilihat di: http://missionindonesia.org/article/582/panel-discussion-on-the-impact-of-the-world-drug-problem-on-theenjoyment-of-human-rights. Kedua artikel diakses pada 21 November 2015.

3

‘abstain’ pada Sidang Ke-67 Majelis Umum PBB ditahun 2012 untuk sebuah resolusi
yang menyerukan kepada seluruh negara anggota PBB dalam meneguhkan semangat
moratorium eksekusi hukuman mati sebagai langkah progresif sebelum melakukan
abolisi hukuman mati secara global. Pilihan abstain ini merupakan sebuah pilihan
politik luar negara hak asasi yang amat maju dilakukan oleh Pemerintah Indonesia,
mengingat dalam banyak putaran resolusi di tingkat PBB, Kementerian Luar Negeri
kerap masih bertumpu pada pilihan ‘menentang’ dan tidak banyak mengambil sikap

proaktif dalam agenda moratorium gobal.
Pilihan ‘abstain’ nampaknya sinergis dengan beberapa langkah pemidanaan yang
diambil oleh Pemerintah Indonesia saat itu, seperti keputusan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dalam memberikan grasi untuk mengganti hukuman mati yang
telah divonis kepada beberapa nama terpidana mati seperti Deni Setia Maharwan dan
Meirika Franola menjadi hukuman seumur hidup.7 Mahkamah Agung Indonesia juga
memberikan suatu pandangan maju dalam mengurangi vonis mati terhadap terpidana
Hengky Gunawan menjadi 15 tahun dengan memberikan pertimbangan yang
berangkat dari standar hukum HAM internasional yang telah diadopsi di dalam sistem
hukum positif di Indonesia dan dasar-dasar konstitusi 1945 yang menjamin adanya
perlindungan hak atas hidup.8
Modalitas lainnya yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia adalah konsistensi yang
diberikan untuk mengambil tindakan dalam merespons rencana eksekuti mati
terhadap sejumlah tenaga kerja Indonesia di beberapa negara yang masih
menggunakan hukuman mati. Langkah proaktif ini bisa dilihat ketika pemerintahan di
bawah Susilo Bambang Yudhoyono ditahun 2011 membentuk suatu unit taktis untuk
memberikan bantuan pendampingan hukum.9 Setidaknya sepanjang tahun 2011
hingga 2014 terdapat 240 warga negara Indonesia yang diganjar vonis hukuman mati
telah diringankan vonisnya dan termasuk 46 warga Indonesia lainnya ditahun 2014. 10
Menarik untuk diperhatikan tren eksekusi mati sepanjang masa pemerintahan di

Indonesia pasca Orde Baru tumbang ditahun 1998. Diketahui bahwa sepanjang
rentang tahun 1999 hingga 2014 setidaknya terdapat 27 orang telah dieksekusi mati.
Di antara rentang tahun 1999 hingga 2012 moratorium de facto diterapkan, namun
ditahun 2013 (masa pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono) terdapat 5 eksekusi
dilakukan di rentang bulan yang berdekatan.11
Dalam konteks Indonesia, dilema penerapan hukuman mati memang membangun
ketegangan tersendiri khususnya antara dimensi politik, hukum, perlindungan HAM
7 Lihat: The Jakarta Post. 2012. Who deserves clemency. Artikel dapat diakses di:
http://www.thejakartapost.com/news/2012/11/19/who-deserves-clemency.html. Diakses pada 26
Oktober 2015.
8 Lihat: Tribunnews. 2012. Terpidana mati Hengky Gunawan tidak dihukum mati, ini jawaban MA.
Artikel dapat diakses di: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt508543e6aaaca/pembatalanhukuman-mati-hengky-bukan-semata-ham. Diakses pada 26 Oktober 2015.
9 Lihat: The Jakarta Post. 2011. Migrant worker taskforce to focus on TKI on death row. Artikel dapat
diakses di: http://www.thejakartapost.com/news/2011/07/07/migrant-worker-taskforce-focus-tki-deathrow.html. Diakses pada 26 Oktober 2015.
10 Lihat: The Jakarta Post. 2015. 279 migrant workers face death penalty abroad. Artikel dapat
diakses
di:
http://www.thejakartapost.com/news/2015/04/19/279-indonesian-migrant-workersthreatened-face-death-penalty.html. Diakses pada 26 Oktober 2015.
11 Lihat: KontraS. 2015. Deathlog in Indonesia updated 2015. Dokumen dapat diakses di:
http://kontras.org/data/deathlog_updated_2015.pdf. Diakses pada 26 Oktober 2015.


4

dan belakangan terkait dengan isu kemajuan pembangunan dan maupun dukungan
investasi yang belakangan menjadi perhatian dari Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan. 12 Lebih spesifik lagi, tahun 2015 juga
turut memberikan corak yang khas dari eksekusi-eksekusi mati sebelumnya. Corak
kekhasan ini amat terkait dengan tumpang tindih tafsir proses hukum yang bisa
digunakan oleh para terpidana hukuman mati. Elaborasi berikut akan memperjelas
tantangan mengurai atau bahkan mempromosikan agenda hukuman mati di Indonesia.
Pertama, pada sejarah hukum modern di Indonesia, pasca 1945 vonis hukuman mati
telah digunakan pada sejumlah tindak pidana kejahatan, namun secara tren vonis ini
jamaknya diterapkan pada kejahatan pembunuhan berencana, tindak pidana narkotika
dan tindak pidana terorisme.13 Namun tren ini kemudian sedikit berubah pasca Orde
Baru jatuh ditahun 1998. Ada pengarusutamaan HAM yang begitu kuat melalui
amandemen konstitusi Undang-Undang Dasar untuk memasukkan konsiderasi hak
atas hidup (Pasal 28A, 28I), maupun yang secara terang dicantumkan di dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 4).
Pemerintah Indonesia secara mantap mulai mengikatkan diri pada sejumlah instrumen
hukum HAM internasional guna tunduk pada aturan yang mengikat (legally binding)

dari sejumlah aturan seperti yang dipromosikan melalui Kovenan Internasional HakHak Sipil dan Politik (Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2005); di mana instrumen ini secara tegas menjamin adanya
perlindungan mutlak untuk hak atas hidup (bagian dari hak yang tidak bisa dikurangi
12 Pernyataan sepihak yang dikeluarkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan Luhut Panjaitan banyak dikutip oleh media Australia. Meskipun tidak ada elaborasi
pernyataan lebih lanjut yang disampaikan oleh kementerian-kementerian bidang terkait. Bahkan
beberapa sanggahan dari pejabat negara muncul untuk menyanggah pernyataan Luhut. SBS. 2015.
Indonesia
announces
moratorium
executions.
Artikel
dapat
diakses
di:
http://www.sbs.com.au/news/article/2015/11/19/indonesia-announces-moratorium-executions. Artikel
diakses pada 22 November 2015.
13 Sejumlah pasal yang mengatur tentang hukuman mati tersebar di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang masih digunakan secara actual di Indonesia. Pasal-pasal tersebut
mengatur dari tindak pidana pembunuhan berencana hingga kejahatan politik, seperti yang diatur di
dalam Pasal 104 perihal makar dengan maksud untuk membunuh atau merampasa kemerdekaan, atau
meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah; Pasal 111 ayat 2 perihal perbuatan
permusuhan yang dilakukan atau ketika terjadinya perang; Pasal 124 ayat 3 perihal membantu musuh;
Pasal 127 perihal menjalankan tipu muslihat dalam penyerahan barang-barang keperluan Angkatan
Laut atau Angkatan Darat; Pasal 140 perihal makar terhadap nyawa atau kemerdekaan raja yang
memerintah atau kepala Negara sahabat; Pasal 340 perihal kesengajaan atau dengan rencana terlebih
dahulu untuk merampas nyawa orang lain; Pasal 365 ayat 4 perihal pencurian yang mengakibatkan
kematian; Pasal 368 ayat 2 perihal pemerasan yang dilakukan 2 orang atau lebih yang mengakibatkan
luka serius atau kemantian. KUHP bukanlah satu-satunya produk perundang-undangan yang masih
melegalisasikan vonis hukuman mati, terdapat tidak kurang 12 produk perundang-undangan yang
masih menyelipkan pidana hukuman mati yakni: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang
Darurat, Dekrit Presiden Nomor 5 Tahun 1959 tentang Kewenangan Kejaksaan Agung/Kejaksaan
Agung Militer dalam meningkatkan hukuman atas kejahatan yang membahayakan pasokan makanan
dan baju (Pasal 2), Peraturan Pemerintah Terkait dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1959
tentang meningkatkan hukuman atas kejahatan atas ekonomi, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976
tentang ratifikasi dan penambahan beberapa pasal dalam KUHP terkait pelaksanaan dan perluasan
Undang-Undang tentang kejahatan penerbangan dan maupun kejahatan terhadap fasilitas atau
infrastruktur penerbangan, Kitab Undnag-Undang Hukum Pidana Militer, Undang-Undang Nomor
1997 tentang obat-obatan psikotropika, Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia, Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

5

dalam keadaan apapun, non derogable rights), larangan untuk melakukan
pembunuhan di luar prosedur hukum dan secara progresif mendorong negara-negara
yang belum mengabolisi hukuman mati untuk membatasi penerapan hukuman secara
ketat dan terbatas pada kejahatan yang amat serius (the most serious crime) dan upaya
persuasif untuk mendorong negara-negara non-moratorium ini untuk secara bertahap
mengambil langkah maju dalam mempromosikan nilai-nilai moratorium dan abolisi
(Pasal 6 ayat 6 ICCPR).
Kedua, kita harus mengetahui bahwa si terpidana dapat didampingi oleh tim kuasa
hukum yang berbeda-beda di tiap proses hukum, mengingat terdapat kesulitan dan
tantangan untuk mendampingi atau bahkan seringnya para pengacara dan organisasi
pro bono yang bisa memberikan bantuan hukum baru mengetahui vonis dan situasi
yang mendesak lainnya dijelang eksekusi hukuman mati.14
Ketiga, vonis hukuman mati sejatinya terbuka untuk dijatuhkan pada semua tahap
peradilan hingga di tingkat Mahkamah Agung. Dalam situasi vonis yang masih
dijatuhkan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung, maka si terpidana berhak
untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung dan sekaligus
menggunakan hak terakhirnya untuk mendapatkan pengampunan (grasi) kepada
Presiden. Namun demikian ada perdebatan yang menguat belakangan ini tafsir
ambigu untuk menggunakan prosedur Peninjauan Kembali dan kemampuan presiden
dalam menggunakan hak prerogatif untuk memberikan dan/atau menolak grasi.
Pada ranah Peninjauan Kembali (PK) yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia
menganulir ketentuan dari PK yang mulanya hanya diperbolehkan kepada para
terpidana untuk mengajukan 1 kali prosedur PK ditahun 2013. Selang setahun –
tepatnya Desember 2014, Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia telah
mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) bernomor 7/2014 yang menegasikan
keputusan MK bahwa PK hanya boleh diajukan 1 kali dengan disertai bukti baru yang
memperkuat. Tentu saja pertentangan keputusan institusional di sektor hukum ini
memberikan hambatan yang signifikan kepada para terpidana untuk mencari keadilan
khususnya ketika diketahui dari pengalaman KontraS untuk mengadvokasi beberapa
terpidana, persidangan PK tidak menghambat proses eksekusi mati.15
Pada ranah grasi, eksekusi 2015 menyimpan pengalaman buruk dari keputusan
presiden yang menolak grasi untuk semua terpidana mati yang terlibat pada tindak
pidana narkotika. Jika kita meninjau Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang
Grasi diketahui bahwa individu terpidana hukuman mati dapat memohonkan grasi
kepada presiden setiap 2 tahun sekali apabila eksekusi belum dilakukan kepada
mereka. Namun ditahun 2010, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
mengesahkan satu produk baru yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang
14 Pengalaman ini sering dialami KontraS ketika melakukan pendampingi beberapa terpidana mati
seperti Ruben Pata Sambo, Yusman Telaumbanua hingga Rodridgo Gularte antara periode tahun 2013
hingga 2015.
15 Pernyataan ini dikuatkan oleh pernyataan Arsil Sukur (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan) yang menyatakan bahwa PK menurut landasan UU tidak bisa menunda
eksekusi mati, yang hanya bisa menunda eksekusi adalah persetujuan grasi dari presiden. Lihat: BBC.
2015. Upaya terakhir batalkan eksekusi, percuma? Artikel dapat diakses di:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/03/150311_percumakah_upaya_terakhir. Diakses
pada 19 November 2015.

6

perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, menyatakan bahwa
ada batasan 1 kali pengajuan grasi kepada presiden bagi para terpidana hukuman mati.
Pengajuan dilakukan dalam tempo 1 tahun dari tanggal vonis memiliki standar
‘kekuatan hukum tetap’ yang juga diberikan definisi di dalam UU No. 5/2010.16
Dalam standar grasi di Indonesia, merujuk Pasal 11 UU No. 22/2002 tentang Grasi
keputusan presiden idealnya diikuti dengan saran dan rekomendasi dari Mahkamah
Agung. Dari akses Keterbukaan Informasi Publik merujuk Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang menjamin hak
publik untuk tahu, KontraS mengetahui bahwa per Januari 2015 terdapat 17 (tujuh
belas) penolakan grasi yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.17 Mayoritas
penolakan dilakukan secara kolektif, ataupun memiliki tanggal yang berdekatan
antara satu penolakan dengan penolakan lainnya tanpa diikuti alasan yang kuat
mengapa keputusan penolakan grasi lebih diprioritaskan tanpa melihat praktik-praktik
sosial yang baik yang telah dilakukan oleh para narapidana mati di dalam lingkungan
lembaga pemasyarakatan.18
16 Lihat: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22/2002 tentang
Grasi. Dokumen dapat diakses di: http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2010_5.pdf. Diakses
pada 20 November 2015.
17 Surat KIP KontraS layangkan kepada Kementerian Hukum dan HAM Direktorat Lembaga
Pemasyarakatan Nomor PAS.7-PK.01.01.02-243 tertanggal 4 Februari 2015. Ke-17 nama tersebut
adalah termasuk gelombang pertama dan kedua eksekusi mati ditahun 2015; kecuali beberapa nama
berikut ini Syofial aka Iyen bin Azwar (WNI - pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan
matinya orang), Harun bin Ajis (WNI - pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya
orang), Sargawi aka Ali bin Sanusi (WNI - pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya
orang); termasuk juga di dalamnya nama Mary Jane Fiesta Veloso (warga negara Filipina) dan Serge
Atloui (warga negara Prancis).
18 Gugatan yang dilayangkan oleh beberapa individu dan organisasi masyarakat sipil yang bergerak
pada isu HAM seperti Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, Luthfi Sahputra, Haris Azhar, Imparsial
dan termasuk 2 nama terpidana hukuman mati yang berasal dari Australia Andrew Chan – Myuran
Sukumaran di Mahkamah Konstitusi per tanggal 1 Juni 2015 awalnya menggugat Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana yang telah diubah melalui UU No. 5/2010 tentang
Perubahan UU No. 22/2002 tentang Grasi; khususnya Pasal 11 ayat 1 dan 2. Pasal tersebut memberikan
ruang tafsir yang sederhana sehingga tidak memberikan bobot kewajiban kepada presiden sebagai
pengampu hak prerogatif untuk memberikan tafsir progresif atas penolakan grasi. Perbaikan grasi
dilakukan pada tanggal 3 Juni 2015 dengan nomor perkara 56/PUU-XII/2015. Bisa dilihat di:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=11013#.VlBbBGQrLow.
Untuk memperkaya ilustrasi gugatan ini setidaknya terdapat 3 upaya hukum yang ditempuh di jalur
Mahkamah Konstitusi: (1) gugatan yang dilayangkan untuk asas legalitas vonis hukuman mati dan
keterkaitannya dengan kejahatan narkotika (2007) – MK memutuskan bahwa kejahatan narkotika bisa
dikategorikan sebagai kejahatan yang paling serius. Pertimbangan MK atas hukuman mati untuk
menjadi vonis alternatif dipromosikan pada putusan ini; (2) aturan yang menggunakan regu tembak
untuk eksekusi hukuman mati dengan pertentangannya dengan tindak penyiksaan (2008) – MK
mengatakan bahwa rasa sakit yang mengikuti eksekusi dari regu tembak bukanlah bagian dari
penyiksaan, (3) duduk perkara ‘pencurian dengan kekerasan secara bersekutu yang mengakibatkan luka
berat atau mati’ merupakan bagian kejahatan paling serius sebagaimana yang dicantumkan di dalam
ICCPR (2012) – MK menyatakan bahwa vonis hukuman mati sesuai dengan perkara semacam ini di
Indonesia. Lebih lanjut lihat di: Cornel Law School. 2013. Death Penalty Database 2013:
http://www.deathpenaltyworldwide.org/country-search-post.cfm?country=Indonesia. Diakses pada 22
November 2015. Jika kita menilik Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana
yang telah diubah melalui UU No. 5/2010 tentang Perubahan UU No. 22/2002 tentang Grasi; Pasal 11
ayat 1 yang berbunyi bahwa presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah
memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan ayat 2 yang menerangkan bahwa keputusan
presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi; maka standar grasi di Indonesia masih amat
jauh dari standar-standar lain yang meliputi gagasan grasi sebagaimana yang telah dijamin di dalam
Pasal 6 ayat 4 dari Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR: Indonesia telah

7

Keempat, hampir mustahil untuk menemukan sumber informasi yang akurat untuk
mengetahui daftar terpidana hukuman mati di Indonesia. Namun demikian KontraS
terus melakukan pemantauan setiap tahunnya dari pemberitaan media massa yang
sedikit banyak memberikan data dan informasi atas nama-nama terpidana yang
divonis hukuman mati, termasuk eksekusi mati dan upaya hukum yang menyertainya.
Kejaksaan Agung sebagai eksekutor resmi juga tidak memiliki data valid yang bisa
digunakan untuk mengetahui bahkan lebih lanjut dapat digunakan untuk
mengadvokasi para terpidana mati.
Informasi lainnya adalah sulitnya mengakses dengan nama-nama terpidana yang telah
ditolak grasi oleh presiden. Oleh karena itu, UU KIP merupakan salah satu kanal yang
efektif untuk mendorong negara transparan atas praktik eksekusi di Indonesia. Meski
demikian tidak banyak yang mengetahui cara mengakses UU KIP, hal ini yang kerap
membuat organisasi pro bono yang mendampingi hukum harus banyak bekerja ekstra
untuk mendapatkan sumber-sumber informasi, fakta-fakta hukum yang akurat,
kredibel dan terpercaya guna memaksimalkan fungsi pendampingan hukum yang
semakin sesungguhnya dipertegas dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2011 tentang Organisasi Bantuan Hukum. Meskipun tentu saja tantangan-tantangan
dalam melakukan pendampingan hukum tetap ada, seperti ketidaktahuan para
terpidana dan keluarga atas adanya akses bantuan hukum ini, anggaran yang
minimalis, dan termasuk kemampuan dari organisasi bantuan hukum untuk
memberikan pendampingan berdasarkan kecakapan hukum dan menggunakan standar
HAM yang layak.19

meratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005) yang menjamin ketersediaan ruang
pengampunan kepada semua terpidana hukuman mati. Lebih lanjut, ruang pengampunan (baik yang
diakui dalam etimologi Bahasa Inggris sebagai clemency ataupun pardon) sebagaimana yang
dikembangkan di dalam sistem hukum modern di dunia khususnya yang terkait dengan penerapan
praktik hukuman mati, maka setiap terpidana yang telah divonis hukuman mati dan telah menggunakan
semua prosedur hukum untuk mengkomutasi vonis namun tidak mendapatkan perubahan memiliki hak
untuk menggunakan ‘akses’ terakhir melalui mekanisme clemency atau pardon yang dikeluarkan oleh
pihak eksekutif dalam hal ini presiden. Kekuatan untuk menggunakan clemency mulanya adalah bagian
dari keabsahan monarki untuk mengurangi dan/atau membatalkan hukuman. Namun dalam sejarah
politik modern dunia, baik clemency dan pardon telah dikembangkan sedemikian rupa dibanyak
konstitusi modern monarki maupun dasar hukum konstitusional republik. Dalam konteks Amerika
Serikat, clemency atas vonis hukuman mati adalah pengubahan vonis hukuman mati menjadi
pemenjaraan, sedangkan pardon atau bahkan ‘unconditional pardon’ bahwa si pengambil keputusan
tidak hanya membatalkan vonis eksekusi, namun juga memberikan pembebasan tak bersyarat dan
bahkan terkadang juga diikuti dengan penghapusan penuh atas kewajiban-kewajiban pidana yang
menyertainya. Lebih lanjut, pengembangan catatan ini bisa dilihat di: Austin Sarat. 2005. Mercy on
trial: What it means to stop an execution; dan Louis J. Palmer. 2001. Encyclopedia of Capital
Punishment in the United States, 110.
19 Dalam hasil pemantauan yang KontraS lakukan bersama dengan Australia Indonesia Partnership
for Justice (2015) diketahui bahwa sejak tahun 2014, Pemerintah Indonesia telah menyediakan dana
siap sebesar 50 trilyun rupiah untuk digunakan sebagai bagian dari akses bantuan hukum kepada tidak
kurang 310 organisasi bantuan hukum yang memiliki kecakapan yang berbeda-beda dalam melakukan
pendampingan hukum. Angka ini berbeda sedikit dari dana siap ditahun 2013 di mana diketahui
setidaknya pemerintah telah menyiapkan 40 trilyun rupiah namun hanya digunakan 1/3 dari jumlah
keseluruhan ketersediaan anggaran. Lebih lanjut lihat: KontraS. 2014. Bantuan hukum masih sulit
diakses: Hasil pemantauan di lima provinsi terkait pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2011 tentang Bantuan Hukum. Buku dapat diakses di: http://www.kontras.org/buku/Bantuan
%20Hukum%20Masih%20Sulit%20Diakses%20Email.pdf. Diakses pada 20 November 2015.

8

III. Menafsir praktik hukuman mati Indonesia pada standar hukum HAM
internasional
Pernyataan yang dikeluarkan oleh perwakilan Kementerian Luar Negeri pada High
Level Panel Discussion untuk isu hukuman mati di Jenewa, sebagaimana yang telah
dikutip di atas adalah bentuk klaim atas penghormatan standar hukum HAM
internasional dan harus dapat diuji dengan situasi penegakan hukum dan perlindungan
HAM di tingkat nasional. Dalam beberapa tahun terakhir ini KontraS, organisasi
tempat penulis bekerja, amat aktif untuk mengkampanyekan perlindungan hak atas
hidup dan mendorong negara untuk mengambil langkah resmi moratorium sebelum
memperkuat komitmen abolisi dengan mengamandemen semua produk hukum dan
perundang-undangan yang masih menyelipkan vonis pidana hukuman mati.
Bagian ini akan mengelaborasi secara rinci kejanggalan-kejanggalan hukum yang
telah terjadi dan digunakan untuk melegitimasi pemidanaan hukuman mati yang
dipaksakan. Pelanggaran atas sejumlah instrumen hukum nasional dan hukum HAM
internasional akan memperkaya ilustrasi. Penulis juga menggunakan banyak data
advokasi yang dimiliki KontraS untuk memperjelas kejanggalan-kejanggalan hukum
tersebut. Pada Pasal 14 dari ICCPR diatur perihal proses peradilan yang jujur dan
tidak memihak (fair trial). Pasal tersebut sedikit banyak mendorong agar negaranegara pihak dari Kovenan Internasional (baca: ICCPR) tunduk dan memenuhi segala
proses penyelidikan dan penyidikan yang bisa digunakan untuk mengukur sistem
peradilan yang jujur dan tidak memihak di Indonesia.
III.1 Akses bantuan hukum dan upaya untuk mengajukan banding
Sebelum tersedia UU No. 16/2011,20 beberapa produk hukum telah memberikan
jaminan atas ketersediaan akses bantuan hukum. Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dipasal 54 dan 55 secara terang menyatakan bahwa setiap
individu memiliki hak untuk mendapatkan pendampingan hukum untuk semua jenis
tindak pidana yang dilakukan. Khusus di Pasal 56 diterangkan lebih lanjut bahwa bagi
tersangka atau terdakwa yang diancam dengan vonis hukuman mati atau kurungan
penjara 15 tahun atau lebih dan tidak mampu untuk membayar kuasa hukum maka
para pejabat (disetiap proses pemeriksaan hukum) harus mampu menunjuk kuasa
hukum untuk mendampingi mereka.
Adapun KontraS telah menemukan sejumlah kejanggalan atas kegagalan negara
mengefektifkan fungsi pendampingan dan akses bantuan hukum sebagaimana yang
bisa terlihat dalam beberapa kasus berikut ini:
1. Jamiu Owolabi atau yang lebih dikenal oleh publik Indonesia sebagai Raheem
Agbaje Salami, ketika ditangkap pada 2 September 1998 membawa heroin
seberat 5,28kg. Diketahui bahwa ia tidak mendapatkan pendampingan hukum
hingga 15 Oktober 1998. Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhi vonis seumur
hidup pada medio April 1999 atas kejahatan tindak narkotika. Dari data yang
KontraS kumpulkan bahwa nyaris 17 tahun Owolabi tidak mendapatkan
pendampingan hukum yang layak pada setiap proses banding hingga tingkat
20 UU No. 16/2011 dipasal 4 dan 5 juga menyatakan bahwa bantuan hukum wajib diberikan kepada
siapa saja yang tidak mampu membayar proses pemeriksaan hukum di Indonesia. Lebih lanjut tentang
UU ini bisa dilihat di: http://www.bantuanhukum.or.id/web/uu-no-16-tahun-2011-tentang-bantuanhukum/. Diakses pada 21 November 2015.

9

kasasi karena ia tidak memiliki uang untuk membayar pengacara. Diketahui
juga ada kesalahan identitas yang dikekalkan dari tingkat penyelidikan,
penyidikan hingga eksekusi mati. Nama Raheem Agbaje Salami adalah nama
yang diberikan dari paspor curian oleh sindikat narkotika ketika melibatkan
Owolabi dalam rantai perdagangan manusia untuk kejahatan narkotika di
Indonesia. Sebelum eksekusi dilakukan pada 29 April 2015, Owolabi yang
akhirnya didampingi oleh pengacara Utomo Karim dipaksa untuk mengukur
baju eksekusi tanpa adanya pemberitahuan 3x24 jam kepada konsular ataupun
Kedutaan Besar Nigeria. Inkonsistensi Kejaksaan Agung sebagai prosekutor
yang menggunakan kewenangannya secara berlebihan, memberikan beban
mental sebelum tanggal eksekusi ditetapkan. Identitas yang tidak pernah
diungkam dari proses hukum dan penolakan grasi dengan catatan, “tidak ada
alasan untuk memberikan grasi kepada terpidana tersebut,” membuat tim
kuasa hukum menempuh beberapa mekanisme secara bersamaan yakni proses
PK untuk bukti baru identitas yang dipalsukan dan gugatan di tingkat
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk penolakan grasi. 21 Terdapat
pelanggaran serius atas Pasal 56 ayat 1 KUHAP yang seharusnya memberikan
beban kewajiban kepada Negara Republik Indonesia untuk menunjuk kuasa
hukum di semua tingkatan pemeriksaan hukum tanpa dibebankan pembiayaan
kepada si terpidana.
2. Ruben Pata Sambo dan Markus Pata Sambo (bapak dan anak) yang telah
didampingi KontraS sejak tahun 2013 terlibat pada kasus tuduhan
pembunuhan berencana terhadap 4 orang anggota keluarga ditahun 2005.
Sebelum didampingi KontraS, Pengadilan Negeri Makale telah menunjung
kuasa hukum pada tanggal 28 Maret 2006. Ada penundaan atas yang serius
atas akses bantuan hukum meskipun mereka tetap mendapatkan
pendampingan. Diketahui bahwa pada banding di tingkat Pengadilan Tinggi
dan kasasi di MA, kedua orang ini baru mengakui adanya tekanan fisik dan
mental selama masa tahanan polisi untuk mengakui tindak pembunuhan yang
mereka lakukan. Namun baik banding di tingkat pengadilan tinggi dan MA
tidak mempertimbangkan temuan fakta baru tersebut, maupun mendorong
untuk membuka penyelidikan independen atas dugaan yang telah
disampaikan.22 Saat ini Ruben dan Markus masih berada di lembaga
pemasyarakatan Lowokwaru Malang.
3. Zainal Abidin dituduh telah memiliki 58,7kg ganja, ia ditangkap pada 21
Desember 2000. Laporan Amnesty International mengutip bahwa dari isi
Berita Acara Perkara (BAP) Zainal Abidin diketahui bahwa ia telah memiliki
akses kuasa hukum. Namun dari pengacara yang mendampingi jelang eksekusi
diketahui bahwa Zainal Abidin baru mendapatkan tim kuasa hukum pasca 2
hari penangkapan dan BAP dibuat setelah terjadi pemukulan kepada Zainal
Abidin.23 Karena lemahnya akses hukum yang ia miliki, sejak vonis pertama di
Pengadilan Negeri Palembang Abidin telah dijatuhi hukuman 18 tahun
21 Lihat: BBC. 2015. Terpidana mati Nigeria ajukan PK, dengan bukti identitas palsu. Artikel dapat
diakses di: http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/03/150310_nigerian_execution_plan.
Diakses pada 20 November 2015.
22 KontraS secara khusus meminta kepolisian, Kejaksaan Agung, Mahkamah Konstitusi dan
Kementerian Hukum dan HAM untuk membuka peluang dan akses hukum mengingat indikasi yang
begitu atas dugaan rekayasa kasus dan pemidanaan yang dipaksakan dalam 2 kasus yang dialami
terpidana ini. Lihat: BBC. 2013. KontraS: Batalkan vonis mati Ruben. Artikel dapat diakses di:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/06/130619_kontras_kasus_hukumanmati_ruben.
Diakses pada 20 November 2015

10

kurungan penjara. Jaksa penuntut melakukan banding, di Pengadilan Tinggi
Palembang hingga kasasi di Mahkamah Agung Abidin akhirnya divonis
hukuman mati. KontraS mengetahui bahwa ada upaya PK yang dilakukan oleh
Abidin pada 2 Mei 2005 namun tidak mendapatkan respons jawaban. Setelah
diusut diketahui bahwa PK Abidin terselip selama 15 tahun di Pengadilan
Negeri Palembang. Namun PK segera diproses dan ditolak 2 hari sebelum
eksekusi yaitu ditanggal 27 April 2015 dengan nomor 65 PK/Pid.Sus/2015.
4. Pada kasus Yusman Telaumbanua dan Rusula Hia yang didampingi KontraS
diketahui bahwa sejak penangkapan dan penahanan 14 September 2012 (atas
dugaan kasus pembunuhan berencana dibulan April 2012 untuk 3 orang) oleh
Kepolisian Sektor (Polsek) Gunungsitoli keduanya baru mendapatkan akses
bantuan hukum yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri Gunungsitoli pada
tanggal 13 Januari 2013. Diketahui saat menyampaikan dakwaannya, jaksa
penuntut meminta vonis hukuman seumur hidup; namun tim kuasa hukum
justru meminta hukuman yang paling berat yakni hukuman mati. Meski kedua
terpidana telah memohon kepada majelis hakim untuk mendapatkan
keringanan vonis, mereka akhirnya tetap divonis mati. Diketahui bahwa kedua
terpidana ini memiliki kesulitan untuk memahami Bahasa Indonesia dan
minimnya pemahaman hukum ditambah dengan tidak diberitahukannya
adanya hak untuk melakukan upaya banding oleh pengacara sebelumnya,
sehingga mereka tidak pernah menggunakan proses banding.24
Diketahui bahwa hukuman mati sebagai satu wajah pemidanaan yang dipaksakan
kerap tidak memberikan akses dan bahkan hak bagi para tersangka, terdakwa hingga
terpidana untuk mendapatkan ruang bantuan hukum. Mengingat karakteristik vonis
yang berat yang akan dijatuhkan, namun juga kita mengetahui ada ruang koordinasi
yang begitu lemah untuk mendorong negara proaktif dalam memberikan akses
bantuan hukum secara cuma-cuma, khususnya kepada kelompok masyarakat yang
kurang mampu, dengan domisili yang begitu beragam –bahkan dalam pengalaman
pendampingan Yusman Telaumbanua dan Rusula Hia, Pengadilan Negeri
Gunungsitoli berada di wilayah yang amat jauh dari pusat informasi- disparitas
informasi menjadi begitu signifikan dan harus bisa dijawab oleh negara untuk
menghindari potensi tercerabutnya hak-hak fundamental secara sewenang-wenang
oleh sistem yang masih belum adil.
Pemerintah Indonesia dalam hal ini juga terikat pada aturan hukum HAM
internasional sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 14 ICCPR yang menegaskan
bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, termasuk
jaminan untuk mendapatkan waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan
pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri termasuk
bantuan hukum demi kepentingan keadilan dengan konsiderasi kemampuan ekonomi
terdakwa ; dalam hal ini bisa ditafsirkan sebagai akses dari bantuan hukum. 25 Hal ini
juga ditegaskan di dalam Komentar Umum yang dikeluarkan oleh Komite HAM PBB
23 Lihat: Amnesty International. 2015. Keadilan yang cacat: Peradilan yang tidak adil dan hukuman
mati di Indonesia. Hal. 27.
24 Dalam konteks Yusman Telaumbanua penting untuk memeriksa Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak PAsal 17 (1) (b) yang menyatakan bahwa, “setiap anak yang dirampas
kebebasannya berhak untuk mendapatkan bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap
tahapan
upaya
yang
berlaku.”
Undang-Undang
dapat
diakses
di:
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/17453/node/20/uu-no-23-tahun-2002-perlindungananak. Diakses pada 21 November 2005.

11

untuk hak mendapatkan persamaan dihadapan pengadilan dan akses atas peradilan
yang jujur dan tidak memihak.26
III.2 Hak untuk mendapatkan peradilan yang jujur dan tidak memihak
Telah disinggung sedikit di atas bahwa ada persoalan serius terkait dengan
pemenuhan hak untuk mendapatkan peradilan yang jujur dan tidak memihak dalam
konteks hukuman mati di Indonesia. ICCPR pada Pasal 9 ayat 3 yang menegaskan
bahwa bagi setiap individu yang ditangkap dan ditahan terkait dengan urusan pidana
maka harus diajukan ke mekanisme pengadilan untuk melindungi hak-haknya. Lebih
lanjut, Komite HAM memberikan tafsir atas kemampuan penangkapan dan penahanan
dari aparat hukum dengan mempertegas pengawasan dari mekanisme yudisial amat
diperlukan untuk mencegah terjadinya praduga bersalah atau terlanggarnya hak-hak
fundamental dari para tersangka –seperti hak untuk tidak disiksa atau bahkan hak atas
hidup.27 Dalam konteks ini, KontraS juga menemukan beberapa kejanggalan
fundamental yang muncul jelang dan selama proses persidangan dari beberapa
terpidana mati. Termasuk penundaan proses persidangan yang memakan waktu cukup
lama. Pengalaman ini muncul pada kasus Rodrigo Gularte, Ruben Pata Sambo dan
Markus, Mary Jane Fiesta Veloso, Jamiu Owolabi, hingga Yusman Telaumbanua.
Rata-rata jaksa penuntut di pengadilan negeri wilayah Tangerang, Makele, Sleman,
Surabaya hingga Gunungsitoli mengulur waktu antara rentang waktu dua hingga 5
bulan penambahan masa tahanan tanpa ada kepastian kapan sidang pertama akan
digelar.28
III. 3 Hak untuk tidak disiksa dan mendapatkan tindakan tidak manusiawi
lainnya
Hak untuk tidak disiksa atau mendapatkan perlakuan tidak manusiawi lainnya begitu
dekat dengan penggalian informasi yang dapat digunakan untuk memperberat vonis
hukuman mati. Dalam situasi ini kita harus mengetahui bahwa Pemerintah Indonesia
terikat dengan sejumlah instrumen hukum HAM internasional yang melarang
pendekatan penyiksaan sebagai bagian dari proses penyelidikan, penyidikan dan
upaya penggalian informasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT) dipasal 2 ayat 2
25 Lihat: Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. 1966. Dapat diakses di:
http://www.kontras.org/baru/Kovenan%20Sipol.pdf. Diakses pada 20 November 2015.
26 Lihat: Human Rights Committee. 2007. General Comment No. 32 of Article 14: Right to equality
before the court and tribunals and to fair trial. Para. 38. UN Doc CCPR/C/GC32. Dapat diakses di:
http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/treatybodyexternal/Download.aspx?symbolno=CCPR%2fC%2fGC
%2f32&Lang=en. Diakses pada 20 November 2015. Kewajiban negara untuk mencari kuasa hukum
yang kredibel dan memiliki kemampuan untuk memberikan pendampingan secara hukum untuk kasuskasus berdimensi hukuman mati juga telah disampaikan oleh Komite HAM PBB. Lihat: Human Rights
Committee. 1990. Pinto v. Trinidad and Tobago. UN Doc CCPR/C/39/D/232/1987. Para. 12.5.
Dokumen dapat diakses di: https://www1.umn.edu/humanrts/undocs/session39/232-1987.html. Diakses
pada 20 November 2015.
27 Lihat: Human Rights Committee. 2014. General Comment No. 35 of Article 9: Liberty or security
of
a
person.
Para.
33
UN
Doc
CCPR/C/GC/35.
Dapat
diakses
di:
http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/treatybodyexternal/Download.aspx?symbolno=CCPR%2fC%2fGC
%2f35&Lang=en. Diakses pada 20 November 2015.
28 Lihat: ICJR. 2015. Potret hukuman mati dalam peradilan pidana: Studi atas 42 putusan
pengadilan. Dapat diakses di: http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2015/04/Media-Briefing-PaperHukuman-Mati_Final.pdf. Diakses pada 21 November 2015.

12

memberikan perlindungan yang tegas atas larangan penyiksaan. Larangan ini juga
tersedia di dalam Pasal 5 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 7
ICCPR, Pasal 19dan 37(a) dari Konvensi tentang Hak Anak, dan Pasal 10 dari
Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota
Keluarganya.29
Jika kita melihat luasnya larangan untuk melakukan penyiksaan pada sejumlah
instrumen, kita juga harus mengetahui bahwa hak untuk tidak disiksa dalam keadaan
apapun termasuk untuk mendapatkan keterangan atas suatu tindak kejahatan juga
merupakan bagian dari hak yang tidak boleh dikurangi (non derogable rights)
sebagaimana yang dilindungi dalam pasal-pasal tersebut.30Keterangan yang
didapatkan dari pendekatan penyiksaan tidak boleh dijadikan bukti, dan segala bentuk
penyiksaan harus mendapatkan ruang penyelidikan independen, efektif dan imparsial;
agar si pelakunya bisa bertanggung jawab di meja persidangan dan korban
mendapatkan pemulihan hak-hak melalui pendekatan komprehensif.31
Dalam kasus yang dialami oleh Yusman Telaumbanua, KontraS menemukan dugaan
kuat bahwa BAP yang dilakukan oleh polisi juga menyertakan praktik penyiksaan dan
tindakan tidak manusiawi lainnya. KontraS sebagai bagian dari tim kuasa hukum telah
mengadukan aparat kepolisian terkait namun hingga kini belum ada penyelidikan
independen yang bisa digunakan untuk mengungkap praktik penyiksaan.32 Namun
dalam konteks Zainal Abidin yang telah dieksekusi mati pada 29 April 2015, temuan
penyiksaan dan intimidasi yang ia sampaikan melalui pledoi (No. 53K/Pid/2002)
menerangkan bahwa ia mengakui memberikan keterangan yang memberatkan vonis
mati agar penyiksaan dan intimidasi segera berakhir. Namun temuan ini tidak pernah
diselidiki lebih dalam sebelum eksekusi dilakukan.33 Dalam kasus Ruben dan Markus
Pata Sambo yang juga didampingi KontraS ada keterangan baru yang memperkuat
elemen penyiksaan ketika Ruben dan Markus kerap dipukul, ditelanjangi dan
ditendang oleh penyidik kepolisian di Kepolisian Resor Tana Toraja guna mengakui
29 Lihat: OHCHR. Indonesia: View of the ratification status by country or by treaty. Dapat diakses di:
http://tbinternet.ohchr.org/_layouts/TreatyBodyExternal/Treaty.aspx?CountryID=80&Lang=EN.
Diakses pada 21 November 2015.
30 Sifat tidak boleh dikurangi hak-hak asasi dalam keadaan apapun dan situasi apapun (baik di masa
damai ataupun di masa perang) juga bisa merujuk pada aturan jus cogens. Jus cogens adalah prinsipprinsip fundamental yang telah diatur di dalam norma hukum internasional guna melindungi hak-hak
fundamental. Pembatasan atas hak-hak yang masuk pada kategori jus cogens adalah dilarang. Untuk
definisi jus cogens lihat: https://www.law.cornell.edu/wex/jus_cogens. Sedangkan penjelasan lebih
lanjut mengenai prinsip non derogable rights dapat dilihat di: OHCHR. 2013 Core human rights in two
covenants. Publikasi dapat diakses di: http://nhri.ohchr.org/EN/IHRS/TreatyBodies/Page
%20Documents/Core%20Human%20Rights.pdf. Diakses pada 21 November 2015.
31 Komentar ini bisa dilacak dalam sejumlah instrumen hukum HAM internasional: CAT Pasal 12
hingga 15, ICCPR Pasal 2, 7 dan 14 (3), General Comment of the Human Rights Committee No. 31 on
the nature of general legal obligation imposed on state parties to the covenant [CCPR/C/21/Rev.1/add]
13, 2004 Para 15-16. Ruang pertanggungjawaban dan pemulihan hak-hak korban juga diatur di dalam
General Comment of the Human Rights Committee No. 32 on the right to equality before the courts
and tribunals and to fair trial.
32 Lihat: KontraS. 2015. Siaran pers: Update temuan terkait dugaan rekayasa kasus yang berujung
pada vonis mati terhadap Yusman Telaumbanua dan Rasula Hia. Dapat diakses di:
http://www.kontras.org/home/index.php?module=pers&id=2020. Menteri Hukum dan HAM Yasona
Laoly juga telah merespons baik temuan kasus ini, dengan menginstruksikan kepada Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Nusakambangan untuk memindahkan Yusman dan Rasula ke Lapas Tangerang.
Diakses pada 21 November 2015.
33 Lihat: ICJR. Op.cit. Hal. 15.

13

kejahatan yang tidak mereka lakukan dalam BAP. Hingga kini belum ada upaya
negara untuk mengusut praktik penyiksaan yang masih sering digunakan untuk
mempercepat proses penyidikan perkara dalam konteks hukuman mati.34
Ilustrasi kasus-kasus di atas menunjukkan adanya indikasi yang begitu kuat
diterapk