Gili Trawangan Penduduk Pribumi vs. Para

Gili Trawangan: Penduduk Pribumi vs. Para Turis
Himawan Pradipta

Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui
atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam cara yang dapat
diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu
fenomena material: dia tidak berdiri atas benda-benda, manusia, tingkah laku atau
emosi-emosi.
-

Ward Goodenough dalam Culture, Language, and Society

Gili Trawangan, yang merupakan satu dari berbagai “surga dunia” di Indonesia dan
merupakan satu dari berbagai destinasi pariwisata orang domestik maupun luar negeri,
ternyata memiliki berbagai polemik yang kebanyakan orang luput. Satu dari berbagai
polemik yang teridentifikasi adalah masalah keberadaan dan kebertahanan masyarakat
pribumi pulau yang terletak tidak jauh dari daratan Lombok ini. Isu eksistensi para
penduduknya menjadi menarik mengingat kebanyakan pengunjung di Pulau Gili Trawangan
adalah orang asing, sehingga para penduduknya harus serta merta menyesuaikan diri dengan
hal itu. Dari penampilan yang berbeda, kapital yang berbeda, hingga bahasa yang juga
berbeda. Semua perbedaan itu kemudian mendorong penduduk pribuminya untuk persisten

terhadap tiga hal: diversitas budaya, pluralisme, dan keberagaman gaya hidup.
Berbicara tentang diversitas budaya berarti berbicara tentang kebertahanan. Sebuah
kelompok masyarakat tertentu yang berasal dari budaya dan latar belakang tertentu dituntut
untuk bisa bertahan terhadap “invensi” atau “emosi-emosi” kelompok sosial yang lain. Hal
ini dilakukan supaya kuasa yang dimiliki masyarakat pribuminya bisa dilanggengkan dengan
cara menangkis serbuan-serbuan nilai yang entah menyimpang atau sejalan dari kelompok
lain tersebut. Dalam budaya Amerika Serikat, misalnya, orang-orang Amerika melihat dunia

mereka sebagai sebuah hal yang “ada hanya sekali seumur hidup.” Dengan kata lain, mereka
cenderung memiliki kebiasaan menikmati hidup dengan cara mereka sendiri, satu dari
berbagai caranya adalah dengan mengadakan pesta setiap akhir pekan. Hal ini mereka
lakukan sebagai sebuah bentuk selebrasi dari kepenatan yang mereka alami sehari-hari, entah
itu di sekolah, kampus, atau lingkungan kerja. Pandangan “menikmati hidup” ini kemudian
menjadi sebuah perilaku yang berkelanjutan dan diglorifikasi sebagai gaya hidup mereka
yang dianggap ideal dalam etiket sosial.
Sama halnya dengan diversitas budaya, pluralisme memainkan peranan penting dalam
arena “adu kuasa” yang, dalam konteks ini, berfokus pada penduduk pribumi Gili Trawangan
dan turis. Perbedaan beragama dalam sebuah kelompok sosial tertentu berpotensi menyetir
pola pikir, tindak-tanduk, dan bahkan kepercayaan seseorang atau kelompok lain. Para turis
yang datang ke Gili Trawangan mungkin memiliki agamanya masing-masing. Secara tidak

langsung, mereka sedang melakukan “penyerbuan” terhadap budaya timur yang, menurut M.
Moenandar Soelaiman dalam bukunya Ilmu Budaya Dasar, dianggap “agamis” atau “Godoriented.” Masyarakat pribuminya, di lain sisi, kemudian harus melakukan pemertahanan diri
dengan, misalnya, menghentikan seluruh aktivitas “duniawi” ketika adzan maghrib
berkumandang. Para turis mau tidak mau untuk tunduk pada pemberhentian aktivitas duniawi
tadi seperti musik atau kegiatan lain yang sedang berlangsung, mengingat mereka menilai
bahwa perlakuan tersebut merupakan sebuah hukum yang lumrah.
Lebihnya lagi, satu hal yang perlu digarisbawahi oleh penduduk pribumi Gili
Trawangan adalah bagaimana mereka mengatasi paradoks keberagaman gaya hidup (lifestyle)
para turis yang datang. Kebanyakan orang Amerika, misalnya, memiliki kebiasaan untuk
mengekspos bagian-bagian tubuh mereka di tempat umum tanpa perlu merasa dihujat.
Kebiasaan tersebut kemudian mereka bawa ke manapun mereka pergi. Mereka bisa saja tidak
sadar bahwa lingkungan di mana dia berada tidak menerima kebiasaan tersebut oleh orangorang secara general. Beberapa ada yang menganggap hal itu lumrah, beberapa yang lain
menganggap amoral. Di Gili Trawangan, hal ini menjadi paradoks. Di satu sisi, mereka
menganggap hal itu berterima (commonplace), di sisi lain, bisa saja mereka diam-diam
mencemooh kebiasaan itu. Namun, apa yang mereka bisa lakukan? Tentu saja, satu dari
berbagai cara untuk bertahan adalah dengan mengatasi paradoks tersebut—yaitu dengan
menanamkan apa yang disebut dengan rasionalisasi atau pembenaran ke dalam benak
mereka. Ironisnya, mereka secara sadar berkutat dengan ketaksaan emosi yang terjadi dalam

diri mereka sendiri. Lagipula, apa pilihan yang mereka punya untuk tidak membenarkan

kebiasaan itu?
Tiga hal yang saya bahas dalam konteks kebertahanan masyarakat Gili Trawangan
terhadap invensi dari luar menimbulkan beberapa pertanyaan: apakah penduduk pribumi
menjadi korban pariwisata? Siapa sebetulnya yang “menyerang” dan menjadi korban? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya akan mengulas kembali terlebih dahulu apa
yang diklaim oleh Ward Goodenough terkait masalah kebudayaan suatu masyarakat. Ia
berargumen bahwa kebudayaan suatu masyarakat harus memiliki “segala sesuatu” yang
dinilai berterima oleh anggota masyarakat yang lain sehingga tiap-tiap anggota bisa
“berperilaku dan diterima” sesuai dengan nilai-nilai berlaku (Goodenough, 197:167). Klaim
ini menimbulkan adanya represi sosial, di mana paradigma suatu kelompok tertentu “diseret”
secara paksa kepada pola pikir baru yang kepadanya mereka harus patuh. Untuk mengatakan
bahwa mereka adalah korbannya akan menjadi terlalu gegabah. Mengapa demikian? Jika
ditilik lagi, terdapat perbauran subjek dan objek dalam konteks ini. Gili Trawangan yang
dianggap sebagai objek wisata para turis memiliki ketertarikannya tersendiri, entah itu pesona
alamnya sendiri, kulinernya, atau cuaca hangatnya yang menenteramkan. Bermacam
ketertarikan tersebut yang akhirnya menciptakan atraksi bagi para turis untuk datang ke sana.
Dengan kata lain, Gili Trawangan, yang sejauh ini kita tau sebagai objek wisata, bergeser
posisinya menjadi subjek, mengingat keberadaannya mampu “menyetir” sudut pandang
orang-orang Asing bahwa, misalnya, Indonesia adalah negeri yang cantik.
Namun demikian, untuk mengatakan bahwa para turis sebagai “penyerang” juga akan

menjadi naif, mengingat dalam kegiatan pariwisata ada yang disebut sebagai enklave dan
ekslusive. Konsep ini menjelaskan bahwa pengembang (developer) suatu daerah, baik itu
swasta maupun negeri, berhak “memindahkan latar belakang sosiokultural yang dimiliki
daerah lain ke daerah yang dijadikan objek pengembangan.” Dalam kasus tulisan ini, Gili
Trawangan disulap menjadi daratan yang familiar di mata orang asing tetapi tidak di mata
pribumi. Berbagai hotel, motel, kafe, restoran, dan diskotik dibangun secara masif yang
memberikan kesan “asing”. Hal ini secara implisit mengindikasikan bahwa sebetulnya orang
pribumi itu sendiri yang membuka lebar-lebar peluang untuk orang asing melakukan
penyerbuan tadi, sehingga sedemikian rupa orang asing menjadi target pemasarannya, yang
darinya kehidupan orang-orang pribumi bisa tetap bertahan.

Dengan begitu, permasalahan yang timbul antara pemertahanan orang-orang pribumi
Gili Trawangan akan budaya dan keberlangsungannya dengan penyerbuan orang asing
menjadi semakin menarik untuk dibahas. Dari poin-poin yang sudah saya utarakan
sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pulau Gili Trawangan merupakan sebuah aset
berharga Indonesia yang masih menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan manapun yang
berasal dari manapun. Meskipun demikian, polemik terselubung yang banyak orang tidak
sadari adalah bahwa para penduduk pribumi sana mau tidak mau harus beradaptasi
sedemikian rupa dengan lingkungannya supaya, seperti kata Goodenough, bisa “diterima”
oleh anggota masyarakat yang lain. Tidak hanya itu, mereka juga harus menyesuaikan diri

dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi. Namun, kita juga tidak boleh
kemudian terlena terhadap fakta bahwa bahasa berfungsi hanya sebagai alat komunikasi,
tetapi kita harus melihatnya sebagai sebuah media untuk membuat identitas diri dan memberi
batasan akan bagaimana kita bisa menilai diri sendiri.
Seiring berjalannya waktu, kita tidak bisa menutup mata bahwa orang-orang di Gili
Trawangan, yang harus terus berkutat dalam “serbuan” budaya orang lain, akan kehilangan
budayanya karena dalam kesehariannya karakter mereka dibangun oleh budaya asing.
Apakah kemudian mereka menjadi korban ini semua? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Ya
karena mereka tidak memiliki daya tawar (bargaining power) yang cukup kuat untuk
bersaing dalam ranah sosiokulturalnya; hal ini bisa dilihat dari riwayat pendidikan mereka
dan mata pencaharian mereka. Tidak, sementara itu, karena mereka terlanjur berbaur dengan
ikatan konvensi tertentu yang berlaku, sehingga pada akhirnya mereka tak punya pilihan
selain melakukan rasionalisasi akan budaya asing. Kalau tidak, kemungkinan mereka untuk
bertahan menjadi langka. Dengan demikian, meskipun Gili Trawangan masih menjadi salah
satu primadona di Indonesia dalam hal keindahan alamnya, isu-isu terkait sosial, geografis,
dan kultural di sana juga akan tetap bertahan.

Daftar Pustaka
Goodenough, Ward. 1971. Culture, Language, and Society. McCaleb Module in
Anthropology. Reading, Mass: Addison-Wesley.

Soelaiman, M. Munandar. 2005. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar. Bandung: Reflika
Aditama.