Ebook format pdf Penulis: Pandir Kelana

Pandir Kelana

IBU SINDER, wanita dengan latar belakang didikan dan asuhan tradisional Ningrat-Jawa, dihadapkan pada tantangan zaman yang berubah-ubah dengan cepatnya. Mampukah wanita itu mengatasinya, tanpa harus mengorbankan hakikat jatidirinya? Novel Ibu Sinder ini yang akan memberikan jawabannya.

Digubah-tulis dalam bahasa sederhana yang lancar, para pembaca diajak untuk ikut menghayati suasana perikehidupan di zaman Penjajahan Belanda, zaman Pendudukan Balatentara Jepang, dan zaman Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

Ciri khas novel-novel Pandir Kelana ialah, yang satu berkait dengan yang lain. Pelaku-pelaku pendamping dalam novel Ibu Sinder ini, tampil sebagai pelaku Ciri khas novel-novel Pandir Kelana ialah, yang satu berkait dengan yang lain. Pelaku-pelaku pendamping dalam novel Ibu Sinder ini, tampil sebagai pelaku

Pandir Kelana juga menulis novel dengan latar belakang fakta sejarah, bukan legenda, seperti Tusuk Sanggul Pudak Wangi, yang menggambarkan lahirnya Kerajaan Majapahit di tahun 1293.

Mudah-mudahan, para pembaca masih akan dapat menikmati bacaan-bacaan kultural-eduka-tif selanjutnya, melalui pena Pandir Kelana.

WARUNG CLIMEN

Tidak jauh dari Pasanggrahan Ambarukmo, di tepi jalan raya antara Yogya dan Sala, berdiri sebuah bangunan rumah setengah batu yang tampaknya masih agak baru, dihuni oleh seorang wanita berusia lewat setengah abad. Bagian depan rumah yang berbentuk Joglo itu sudah diubah menjadi sebuah warung sederhana, lengkap dengan papan nama berhuruf Jawa berbunyi "Warung Climen", yang artinya warung sederhana. Keistimewaan warung itu adalah hidangan opor bebeknya. Orang yang semula apriori menolak daging bebek, setelah mencoba opor bebek "Warung Climen", berubahlah seleranya. Ia menjadi penggemar masakan daging bebek.

Letak rumah kediaman yang telah menjadi restoran kecil itu memang agak menyendiri, jauh dari tetangga dan tidak terlalu dekat dengan jalan raya. Halamannya luas, disediakan untuk tempat parkir kendaraan. Perabot-perabot warung seperti meja, kursi, lincak, tempat sendok-garpu, tempat abu rokok, semuanya terbuat dari bahan bambu tutul. Ruangan tampak bersih, terawat, Letak rumah kediaman yang telah menjadi restoran kecil itu memang agak menyendiri, jauh dari tetangga dan tidak terlalu dekat dengan jalan raya. Halamannya luas, disediakan untuk tempat parkir kendaraan. Perabot-perabot warung seperti meja, kursi, lincak, tempat sendok-garpu, tempat abu rokok, semuanya terbuat dari bahan bambu tutul. Ruangan tampak bersih, terawat,

Tidak hanya hidangan masakannya saja yang menjadi buah bibir, tapi si pemilik warung pun mengundang perhatian orang. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab "Warung Climen" oleh penduduk desa dan kampung di sekitarnya diberi julukan "Warung Ndoro Ayu". Karena salah dengar, tersebar luas menjadi "Warung Ayu". Orang lalu mengira pemiliknya seorang wanita muda yang cantik menggiurkan.

Munculnya seorang wanita usia senja misterius di tempat itu sendiri, sudah menimbulkan tanda tanya. Kabut teka-teki menyelubungi kehadirannya. Siapa sebenarnya wanita itu? Pribadinya memang sangat menarik. Setua itu ia masih tampak cekatan, langsing berisi, dan atraktif. Ia selalu mengaku sebagai orang desa biasa, tapi wajah cantik, mata membelalak dengan sorotnya yang berwibawa itu, sulit menyembunyikan asal-usulnya. Tingkah laku dan sikapnya tak ubahnya seperti kebanyakan pemilik warung —sopan-santun, grapyak (ramah tamah), andap-asor (merendah) —namun, wibawa yang memancar dari Wajah yang menarik itu memaksa orang untuk menaruh hormat kepadanya.

Berbagai cerita dan kisah bermunculan. Ada yang berkata bahwa wanita itu masih kerabat Keraton. Ada juga desas-desus, bahwa ia janda seorang bupati daerah pesisiran. Lain orang, lain ceritanya. Namun pemilik "Warung Climen" itu membiarkan saja cerita khayal bertebaran, sebab hal itu malah meningkatkan jumlah pengunjung yang berdatangan. Bahkan akhirnya pemilik warung itu menerima panggilannya yang tetap. Ia terkenal sebagai Ibu Climen.

Pagi itu Ibu Climen sedang menikmati pemandangan indah di belakang rumahnya. Di kejauhan, kebiru-biruan, berdiri megah Gunung Merapi, gagah, perkasa, penuh misteri. Asap tebal menjulang tinggi keluar dari puncaknya Pagi itu Ibu Climen sedang menikmati pemandangan indah di belakang rumahnya. Di kejauhan, kebiru-biruan, berdiri megah Gunung Merapi, gagah, perkasa, penuh misteri. Asap tebal menjulang tinggi keluar dari puncaknya

MADUGONDO

Bersandar pada tongkat kayu kesayangannya, seorang laki-laki berkulit putih, berambut pirang, tubuh tinggi, kokoh, kekar, berdiri mematung melepaskan pandangannya jauh ke ufuk timur. Bulan berbentuk sabit yang sedang diamatinya, sudah agak tinggi letaknya di atas cakrawala. Angin kumbang meniup-niup berputar-putar, menggerak-gerakkan lautan daun kecoklat- coklatan, tanaman tebu yang hampir siap tebang. Tinggi di udara sekelompok burung bangau santai terbang menyongsong kehadiran sang bulan, seolah- olah mereka belum sadar, bahwa malam telah tiba. Bintang-bintang berkedip- kedip berhamburan di angkasa raya. "Indah, misterius, Insulinde, mijn tweede Vader-land (Indonesia, tanah airku yang kedua)," gumam laki-laki itu.

Sekonyong-konyong tanpa disadarinya, gambaran peristiwa besar yang sedang berlangsung di dunia Barat begitu saja mendesak penampilan keindahan alam yang sedang dikaguminya itu. Terbayang-bayang di hadapannya topan peperangan yang sedang menyapu bumi Eropa. Bohemia dan Moravia begitu cepatnya jatuh dalam kekuasaan Jerman Nazi. Sementara itu Polandia sedang mati-matian bertempur menghadapi Divisi-divisi Lapis Baja Adolf Hitler di front barat dan Divisi-divisi Artileri Joseph Sta-lin di front timur. Sebenarnya nasib Polandia sudah dapat diramalkan sebelumnya. Negeri yang patriotik itu akan bertekuk lutut dalam beberapa hari saja.

"Blitzkrieg, blitzkrieg... Quo Vadis, Europa (Perang kilat, perang kilat... akan ke mana Eropa)?" desahnya.

Van Hoogendorp, begitu nama orang itu, tergugah dari lamunannya ketika mendengar teguran, "Apa yang sedang kaupikirkan, Pap?"

Menoleh, melihat anak tunggalnya yang bernama Ivonne, Van Hoogendorp menjawab, "Kau, Ivo? Indie (Indonesia) begitu indah, ya?"

Lalu ajak Ivonne, "Mari, Pap, pulang. Makan malam sudah siap."

"Mari, mari," tanggap ayahnya.

Melewati jalan inspeksi di tengah-tengah tanaman tebu, ayah dan anak santai berjalan menuju sebuah bangunan besar —megah dan anggun. Rumah kediaman resmi Administrator Perkebunan dan Pabrik Gula Madugondo. Rumah besar itu terletak tepat di tengah-tengah kota

Perang kilat, perang kilat... akan ke mana Eropa? Indonesia kecil yang juga bernama Madugondo. Lahan perkebunan itu merupakan bagian dari Tanah Partikelir, Particuliere Landerij Gondo Arum, milik sebuah perusahaan Belanda, CV. Gebroeders van Zanten.

Memasuki halaman luas berkerikil halus, diayomi oleh sepasang pohon regenboom (pohon trembesi) besar dan rindang, lima ekor anjing Dalmatia menyongsong kedatangan Jonkheer dan Freule van Hoogendorp. Anjing- anjing itu melonjak-lonjak kegirangan, seperti majikan-majikannya itu baru kembali dari suatu perjalanan yang jauh saja.

"Bimo, kom, kom, Bimo! Jangan nakal, ya!" tegur insinyur pertanian lulusan Wageningen itu sambil membelai kepala anjing yang terbesar di antara anjing-anjing yang lain.

Sesudah lulus dari Landbouwkundige Hoge-school —Sekolah Tinggi Pertanian di Negeri Belanda, Hendrik van Hoogendorp yang berdarah biru itu langsung mengabdikan dirinya pada perkebunan gula. Berpindah-pindah dari pabrik gula yang satu ke pabrik gula yang lain. Administrator itu masih baru di Madugondo.

Nyonya Van Hoogendorp sudah menunggu kedatangan suaminya di pendapa rumah yang berlantaikan marmer Carara, putih bersih mengkilat, dengan saka-saka guru yang bergaya Yunani —mengenakan gaun panjang berwarna ungu muda. Dia seorang wanita Belanda-Indo, berwajah cantik, atraktif, namun memberikan kesan agak tinggi hati. Kalau sang suami pandai menyesuaikan diri dengan tradisi dan adat-istiadat lingkungannya, sebaliknya istrinya yang berdarah campuran Belanda-Jawa itu malah bertingkah laku kebelanda-belandaan yang berlebihan. Logat, lafal, gaya bahasanya meniru- niru ucapan Belanda totok yang baru saja menginjakkan kakinya di bumi Nederlands-Indie (Hindia-Belanda).

Tabiat dan penampilan anak tunggalnya, Ivonne, lebih dekat pada ayahnya. Ivonne seorang mahasiswi menjelang tingkat Semi-Arts (Drs. Med) pada Geneeskundige Hogeschool —Sekolah Tinggi Kedokteran—di Batavia. Ia seorang wanita yang tergolong tinggi menurut ukuran manusia Jawa, tapi pendek menurut ukuran orang Belanda. Wajannya suatu perpaduan wajah Ayah dan Ibu: manis, menawan, tidak cebleh (hambar), putih-kuning langsat.

Dengan langkah-langkahnya yang mantap tegap, Van Hoogendorp menaiki tangga pendapa, melepaskan anaknya dari rangkulannya, menggandeng istrinya, dan perlahan-lahan berjalan lewat ruang tengah gedung yang lebar- memanjang, menuju beranda belakang rumah. Ivonne membuntutinya. Lima anjing yang terlatih dan berdisiplin itu berhenti di tangga pendapa yang paling atas, duduk berjajar menghadap halaman dan sabar menunggu sampai majikan-majikannya muncul kembali di pendapa.

Di beranda belakang itu lazimnya keluarga Van Hoogendorp bersantap malam. Dua orang pelayan berseragam putih-putih dengan serbet lebar- panjang di pundak masing-masing membantu majikan-majikannya menempati kursinya. Wajah-wajah datar tanpa senyum, kaku, beku, melayani keluarga administrator makan malam mengelilingi sebuah meja bundar penuh dengan berbagai macam hidangan rijsttafel (hidangan Indonesia) — yang terlalu banyak porsi dan jenisnya untuk dapat dihabiskan oleh tiga orang.

Memang, dua kali dalam seminggu keluarga Van Hoogendorp bersantap malam masakan Jawa. Fien van Hoogendorp yang kebelanda-belandaan itu sangat menyukai sambal bajak —bahkan ketika makan roti pun, kadang- kadang sambal bajak dinikmatinya sebagai beleg (lapis).

Angin sejuk sepoi-sepoi mengembus-embus lewat beranda belakang yang terbuka itu, ikut meningkatkan selera makan ketiga anak-beranak itu.

Malam itu, ketiganya agak kurang bergairah untuk berbincang-bincang. Selesai makan, Van Hoogendorp langsung menuju ruang kerjanya yang sekaligus berfungsi sebagai kamar tidur juga. Di sudut ruangan, tersembunyi di belakang penyekat kayu berukir, terdapat sebuah dipan panjang dan lemari pakaian. Di atas dipan itulah kadang-kadang Van Hoogendorp tertidur, bila ia sampai larut malam membaca surat-surat atau buku bacaan.

Tak lama kemudian administrator itu memasuki pendapa lewat pintu penghubung, hanya dalam pakaian piyama. Ia langsung duduk di kursi goyang di sudut pendapa itu, setelah lebih dulu mematikan lampu-lampu di sekitarnya dengan maksud agar dirinya tidak terlihat oleh orang-orang yang lewat di jalan. Anak tunggalnya muncul, mengenakan celana panjang gaya Marlene Dietrich, lalu duduk di atas lantai menemani ayahnya.

Melihat ayahnya mengepul-ngepulkan asap cerutunya, Ivonne menyeletuk, "Apa yang sedang Papi risaukan?"

"Aku kurang mengerti, mengapa Inggris dan Prancis begitu lamban bereaksi. Apa mereka begitu tolol untuk tidak mengetahui apa yang tersembunyi di dalam benak si Adolf itu. Jelas Hitler bermaksud untuk menguasai seluruh daratan Eropa."

"Ooooo, itu yang mengganggumu, Pap. Apa itu akan berarti bahwa Perang Dunia II akan meletus, Pap?" Ivonne menanggapi.

"Itulah yang kucemaskan. Dan jangan lupa, Japan (Jepang) pasti tak akan tinggal diam," jawab Van Hoogendorp.

"Apa Holland dapat mempertahankan neutra-liteit-nya, Pap?" tanya Ivonne.

"Kali ini sulit. Eropa memang urusan kawan-kawan di Holland, tapi kalau menyangkut Nederlands-Indie, kita akan terlibat langsung."

"Kalau begitu Papi juga memperhitungkan kemungkinan Japan bergerak ke Selatan. Apa Japan begitu kuatnya untuk mampu mencapai Pulau Jawa, Pap?" Ivonne bertanya.

"Entahlah, tapi Indie satu-satunya wilayah yang kaya minyak. Bahan itu sangat diperlukan oleh si mata sipit. Sudahlah! Laat de boel maar waaien, de wereld blijft toch steeds draaien —biarlah berantakan, dunia akan tetap berputar," gumam Van Hoogendorp.

"Falsafah siapa itu, Pap?" cepat Ivonne bertanya.

"Don Quixote," jawab Van Hoogendorp sambil tertawa. Ivonne ikut tertawa terbahak-bahak.

Tiba-tiba perhatian ayah dan anak itu beralih ke dua orang yang sedang lewat di jalan besar. Tampaknya sejoli suami-istri —seorang laki-laki bertubuh kokoh, atletis, dan seorang wanita langsing, padat berisi, mengenakan kain kebaya.

Begitu lepas pandang Van Hoogendorp menyeletuk, "Suprapto, sinder (pengawas kebun) Jawa. Baik kerjanya. Cantik istrinya."

"Aha, Papi memuji-muji nyonya yang lewat itu. Kalau aku lebih tertarik pada yang laki-laki. Posturnya mengesankan. Jarang ada orang Jawa yang setinggi dan segagah dia."

"Kata orang, anak tunggalnya hampir jadi insinyur. Sudah tingkat lima di Bandung."

"Ziet hij er goed uit (Apa dia tampan), Pap?"

"Mana aku tahu, aku belum pernah melihatnya. Tanyakan saja pada orangtuanya," kata ayahnya.

"Ah, liburan yang akan datang pasti dia akan pulang," gumam Ivonne. Tapi belum lagi sempat menanggapi gumam anaknya, Fien van Hoogendorp muncul di hadapan mereka.

"Gezzzellig, gezzzelig (Asyik, asyik), apa yang kalian bicarakan?"

"Perkembangan daratan Eropa, Mam. Papi sangat mengkhawatirkannya."

Fien yang mengenakan sarung kawung dan baju putih berenda itu tampak jauh lebih muda daripada usianya yang sebenarnya. Tak ubahnya seperti kakak-beradik saja dengan Ivonne.

"Ah, laat de boel maar waaien, de keuken blijft toch steeds dampen. Biarlah berantakan, dapur tetap mengepul."

Agak terkejut mendengar ucapan ibunya itu Ivonne bertanya, "Mam, kata-kata siapa itu?"

Sambil tersenyum ibunya menjawab, "Don Quixote van Hoogendorp."

Suami-istri dan anak tertawa terbahak-bahak dalam paduan. Fien van Hoogendorp lalu menggabungkan diri duduk menempati kursi goyang di samping suaminya. Malam itu keluarga Van Hoogendorp berbincang-bincang, lagi-lagi tentang Hitler dengan Mein Kampf (Perjuanganku)-nya.

"Nationaal Socialisten Bond —Himpunan Nasional-Sosialis—atau NSB di Holland sangat pro-Nazi. Mereka musuh dalam selimut. Di Madugondo juga ada simpatisan-simpatisan NSB. Die klootzakken (Bangsat-bangsat itu)."

"Nou zzzeg, de Jonkheer begini te vloeken (Haa, Jonkheer mengumpat)."

"Maaf, masih banyak surat-surat yang belum sempat kubaca tadi siang." Van Hoogendorp berdiri lalu melangkah menuju ruang kerjanya.

Sambil menggandeng ibunya, Ivonne masuk rumah. Tak lama kemudian seorang petugas jaga berseragam kelabu memakai striwel (pembalut kaki) tanpa sepatu, membawa pergi anjing-anjing. Di kejauhan terdengar bunyi suara kokokbeluk —burung hantu—berulang-ulang.

Pagi hari yang cerah. Seorang wanita Jawa berusia lewat empat puluhan, mengenakan kain kebaya dari bahan lurik hijau gadung santai berjalan melewati kediaman resmi Administrator yang oleh penduduk diberi nama

Statiran atau Besaran. Wanita itu baru saja pulang dari rumah istri teman sekerja suaminya, Sinder Sugondo.

Sugondo baru di Madugondo, sinder pindahan dari Perkebunan Gula, Sragi, dekat Pekalongan. Orang Jawa kedua yang mencapai tingkat sinder di Madugondo.

Di tengah jalan menuju rumahnya, wanita itu berpapasan dengan beberapa nyonya Belanda-Indo, istri-istri sinder dan masinis. Sambil tertawa-tawa kecil nyonya-nyonya itu menyapa wanita yang berjalan menunduk itu dengan kata-kata dalam bahasa Belanda yang melanggar segala aturan gramatika. Kata salah seorang nyonya, "Morgen, Mevrouw, jij morgen halen mijn was yaa (Selamat pagi, Nyonya, besok kauambil cucianku yaa)."

Wanita Jawa yang memang tidak paham bahasa Belanda itu hanya mengangguk saja membalas sapa nyonya-nyonya Indo itu, tapi ia dapat merasakan bahwa dirinya sedang menjadi sasaran ejekan. Perlakuan semacam itu tidaklah baru terjadi pagi itu saja. Sikap wanita-wanita Indo itu memang sopan, tapi kata-kata yang terlontar tidaklah sesuai dengan sikap sopan mereka.

Setiba di rumah kembali, istri Sinder Suprapto yang di Madugondo terkenal dengan panggilan Ibu Sinder itu menyentakkan diri duduk di atas kursi rotan di sudut ruang tamu. Biasanya ia acuh tak acuh saja terhadap ejekan istri-istri kawan sekerja suaminya, tapi entah mengapa kejadian pagi itu sangat menyentuh martabatnya sebagai seorang istri sinder. Masih terbayang-bayang di hadapannya wajah-wajah dengan senyum palsu, sopan santun yang dibuat-buat, dan lontaran kata-kata hinaan yang tidak dipahaminya.

"Mengapa mereka begitu gairah untuk menghina orang? Apa sebenarnya yang tersembunyi di belakang sikap mereka itu? Irikah mereka terhadap kedudukan suamiku, atau tidak relakah mereka ada seorang Jawa yang "Mengapa mereka begitu gairah untuk menghina orang? Apa sebenarnya yang tersembunyi di belakang sikap mereka itu? Irikah mereka terhadap kedudukan suamiku, atau tidak relakah mereka ada seorang Jawa yang

Lamunan Ibu Sinder meluncur mundur puluhan tahun ke belakang. Ia seperti sedang berdiri di tepi jalan, memandang pagar tembok setinggi tiga insan bersusun. Melihat pintu gerbang, gapura-regol lebar, bermahkotakan relief denawa-raksasa, menyeringai mempertontonkan gigi-gigi taringnya yang sebesar buah pisang. Mata menonjol bak buah kelapa gading. Dua buah daun pintu kokoh kuat dari kayu jati tua, yang sudah puluhan tahun tahan guyuran air hujan dan terik panasnya sinar matahari.

Ibu Sinder seperti melihat dirinya sendiri melangkah lewat pintu gerbang yang lebar itu. Dua kereta berkuda dapat lewat berdampingan. Terbelalak mata dibuatnya begitu berhadapan dengan sebuah bangunan rumah berbentuk joglo —besar, megah, berwibawa—dikitari oleh halaman-halaman luas, tanah keras ditaburi butir-butir pasir halus, tapi tidak berdebu. Pohon- pohon sawo kecik berjajar-jajar, menambah semarak lingkungan pendapa terbuka, dengan tempat saka-guru-nya terbuat dari kayu nangka mulus tanpa cacat. Atap sirap kayu ulin, berlantai batu semen yang digarap rapi, teliti, rata-rata air.

Dua perangkat gamelan menghias pendapa itu. Seperangkat di sebelah barat dan yang lain di sebelah timur. Kyai Kumbang Mara dan Nyai Laras Maya. Kumbang Mara bunyi suaranya mantap, anggun; sedangkan Nyai Laras Maya, bening, genit. Bangunan rumah itu sendiri dikenal dengan nama "Dalem Kusumojaten", kediaman Bendoro Raden Mas Kusumojati, pujangga kebudayaan Keraton.

Ibu Sinder melihat dirinya kembali sebagai anak kecil yang bernama Raden Ajeng Winarti, mengenakan kain parang rusak, telanjang dada, berlari-lari Ibu Sinder melihat dirinya kembali sebagai anak kecil yang bernama Raden Ajeng Winarti, mengenakan kain parang rusak, telanjang dada, berlari-lari

BRM. Kusumojati bukannya seorang bangsawan yang sudah merasa puas dengan keempat istrinya. Di luar dinding Kusumojaten ia masih memiliki kekasih-kekasih, silih berganti. Masyarakat tidak mempersoalkannya. Wajar- wajar saja bagi seorang bangsawan terhormat waktu itu untuk punya "simpanan" di mana-mana.

Tabiat dan kebiasaan Winarti dan Winarsih bertolak belakang satu dengan lainnya. Winarsih anak yang sulit dikendalikan. Jiwa bebasnya tidak mau tunduk kepada segala tradisi dan aturan adat yang dirasakannya sebagai perintang kebebasannya. Winarsih dipondokkan pada Controleur —Pejabat Pamong Praja Belanda — Hartman, sahabat karib BRM. Kusumojati, Keluarga Hartman yang kebetulan tidak mempunyai anak itu sangat tertarik oleh kelincahan, keterbukaan, dan kebebasan Winarsih —tingkah laku yang kurang berkenan di Dalem Kusumo-jaten. Namun, berkat asuhan Hartman, Winarsih bisa berkembang menjadi anak gadis yang tertib dan cerdas. Dengan mudahnya ia menyelesaikan pendidikan dasarnya pada Europese Lagere School, sekolah rendah yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda. Tiga tahun kemudian ia memperoleh diploma Sekolah Menengah, MULO. Tingkat pendidikan yang cukup tinggi bagi seorang wanita waktu itu.

Winarti tetap tinggal di Dalem Kusumojaten dan memperoleh pendidikan seperti anak-anak gadis kerabat Keraton lainnya. Di samping pendidikan formal gaya Keraton, ia beruntung diasuh secara khusus oleh ayah-ibu dan bibi-bibinya. Winarti anak gadis yang serba ingin tahu, cerdas otak dan Winarti tetap tinggal di Dalem Kusumojaten dan memperoleh pendidikan seperti anak-anak gadis kerabat Keraton lainnya. Di samping pendidikan formal gaya Keraton, ia beruntung diasuh secara khusus oleh ayah-ibu dan bibi-bibinya. Winarti anak gadis yang serba ingin tahu, cerdas otak dan

Namun di atas segala itu. Bibi Dumilah-lah yang membentuk watak dan kepribadiannya. Melatih olah pikir dan memperluas cakrawala angan-angan dan jangkauan pengetahuannya sampai melintasi batas tembok-tembok tinggi Kusumojaten. Buku-buku tulisan tangan berhuruf Jawa yang ditekuninya di bawah bimbingan Dumilah, mengantar angan-angannya menjelajahi dunia di luar tembok Dalem Kusumojaten. Kisah dan cerita tentang Wong Agung Menak, Amir Ambyah, membawanya ke negeri Arab sebelum zaman Nabi. Lewat kisah-kisah Abu Nawas dan Harun Al Rasyid ia menjelajahi Negeri Baghdad. Serat Sejarah Nabi-Nabi membawanya ke alam Timur Tengah dan Negeri Rum.

Pertumbuhan dan perkembangan tanah leluhurnya dipelajarinya lewat serat- serat Babad, antara lain Babad Tanah Jawi. Namun sebenarnya yang membentuk watak dan kepribadiannya ialah dunia pewayangan. Dengan ketekunan yang mengagumkan diejanya berulang-ulang Serat Kisah Ramayana dan Mahabharata. Tokoh-tokoh wayang itu hidup dalam angan- angannya, tabiat dan perangainya, kekuatan dan kelemahannya. Intisari dari tiap-tiap lakon diolahnya bersama Bibi Dumilah.

Seperti halnya gadis-gadis lain menjelang masa remaja, Winarti pun wajib menjalani masa pingitan. Masa yang oleh kebanyakan gadis dianggap sebagai "hukuman" belaka, tapi bagi Winarti masa itu lewat tanpa dirasakannya sebagai pembatasan kebebasannya. Masa itu dimanfaatkannya untuk lebih mendalami segala sesuatu yang diterimanya dari pengasuh-pengasuhnya, terutama didikan dan ajaran yang diterimanya dari Bibi Dumilah. Kadang- Seperti halnya gadis-gadis lain menjelang masa remaja, Winarti pun wajib menjalani masa pingitan. Masa yang oleh kebanyakan gadis dianggap sebagai "hukuman" belaka, tapi bagi Winarti masa itu lewat tanpa dirasakannya sebagai pembatasan kebebasannya. Masa itu dimanfaatkannya untuk lebih mendalami segala sesuatu yang diterimanya dari pengasuh-pengasuhnya, terutama didikan dan ajaran yang diterimanya dari Bibi Dumilah. Kadang-

Sambil tersenyum, Ibu Sinder ingat kembali pada masa-masa sewaktu ia mendapat lamaran dari seorang jejaka yang belum pernah dijumpainya. Dengan terus terang ayahnya mengatakan padanya, bahwa jejaka itu bukannya jejaka yang murni. Ia pernah memiliki istri-selir, tapi tidak memiliki anak, dan sebelum "jejaka" datang melamar, istri-selirnya itu sudah diceraikannya. Hal itu pun tidak mengejutkan Winarti, sebab dalam lingkungan kerabat Keraton masalah seperti itu bukanlah hal yang luar biasa. Apalagi sang pelamar telah berjanji tidak akan memelihara istri-selir lagi. Mula-mula kepada Winarti diperlihatkan potret orang yang melamarnya. Begitu Winarti melihat potret itu ia merasa bahwa dialah bakal suaminya. Dan pada waktu calon suaminya itu berkunjung ke Dalem Kusumojaten, Winarti mendapat kesempatan untuk mengintip. Begitulah ia melihat "jejaka" itu, ia semakin yakin bahwa pria itulah yang akan didampinginya dalam kehidupannya.

Tersenyum-senyum geli Ibu Sinder terkenang akan peristiwa yang pada mulanya tidak dimengertinya. Pada suatu sore hari, ia diajak ayahnya pesiar berkendaraan kereta yang ditarik oleh empat kuda sama warna. Begitu mendekati Taman Sriwedari, kusir diperintahkan oleh ayahnya untuk memperlamban laju kuda-kudanya. Semula ia tidak mengerti mengapa. Baru kemudian setelah nikah ia diberitahu oleh suaminya, bahwa pada saat itu suaminya nongkrong di tepi jalan menontoni Winarti. Tanya Winarti kepada suaminya, "Apa kesanmu saat itu, Pak?"

"Sungguh mati, kukira Dewi Supraba turun dari kayangan," jawab Suprapto.

"Heh, dasar!" Ibu Sinder menanggapi pujian suaminya.

"Win, waktu kau mengintip dan melihat aku, apa kesanmu?" Suprapto balik bertanya.

"Rasa-rasanya seperti Betara Yamadipati keluar dari Kawah Candradimuka untuk mencabut nyawaku." Ibu Sinder lalu bangkit, lari, dikejar-kejar suaminya.

Hilang senyum pada wajahnya, kini Ibu Sinder mengangguk-angguk mengenang petuah-petuah Bibi Dumilah sebelum ia meninggalkan Dalem Kusumojaten, diboyong oleh suaminya. Mengiang di telinganya kata-kata, "Ndoro Ajeng, bercerminlah pada Ibu Bendoro selalu. Ibundalah yang mengayomi Dalem Kusumojaten. Bibi-Bibi Ndoro Ajeng sebagai maru-nya diperlakukan sebagai saudara kandung sendiri. Terbukti di dunia yang nyata ini ada wanita yang seperti Wara Sembadra, Ibunda. Ia selalu berlaku adil, tidak membeda-bedakan maru-nya yang satu dengan maru-nya yang lain. Sebaliknya bibi-bibimu mencintainya dengan tulus ikhlas. Ngger, kaulah yang tetap tinggal di Kusumojaten. Winarsih pulang waktu libur saja. Tanpa terkecuali bibi-bibimu mendapat kesempatan yang sama untuk dapat mengasihimu.

"Nduk, kau sudah memiliki bekal cukup untuk mendampingi suamimu dan kau juga sudah cukup matang untuk mampu mengatasi segala sesuatu yang bisa timbul dalam kehidupan perkawinan. Ketahuilah, Jeng, suamimu adalah seorang laki-laki yang mampu menumbuhkan gejolak batin pada kaum Hawa. Ndoro Ajeng beruntung menjadi pilihannya. Tapi sebaliknya, kegagahan suami juga bisa membawa beban yang berat untuk diemban, bisa terjadi hal- hal yang Ndoro Ajeng tidak inginkan. Lihatlah Ayahanda. Tabahlah dan terimalah kenyataan hidup sebagaimana adanya dan bijaksanalah. "Maaf, Ngger, aku pernah menanyakan tentang bakal perjalanan hidupmu di kelak kemudian hari kepada seorang tua. Kehidupanmu akan penuh suka, tapi juga tidak luput dari duka. Kau ber-Wuku Sinto. Ingatlah selalu, Jeng, "Nduk, kau sudah memiliki bekal cukup untuk mendampingi suamimu dan kau juga sudah cukup matang untuk mampu mengatasi segala sesuatu yang bisa timbul dalam kehidupan perkawinan. Ketahuilah, Jeng, suamimu adalah seorang laki-laki yang mampu menumbuhkan gejolak batin pada kaum Hawa. Ndoro Ajeng beruntung menjadi pilihannya. Tapi sebaliknya, kegagahan suami juga bisa membawa beban yang berat untuk diemban, bisa terjadi hal- hal yang Ndoro Ajeng tidak inginkan. Lihatlah Ayahanda. Tabahlah dan terimalah kenyataan hidup sebagaimana adanya dan bijaksanalah. "Maaf, Ngger, aku pernah menanyakan tentang bakal perjalanan hidupmu di kelak kemudian hari kepada seorang tua. Kehidupanmu akan penuh suka, tapi juga tidak luput dari duka. Kau ber-Wuku Sinto. Ingatlah selalu, Jeng,

Ibu Sinder yang semula seolah-olah hendak memberontak terhadap perlakuan istri-istri rekan-rekan suaminya, kini sadar, bahwa ia harus tetap tabah menghadapi segala duka dalam kehidupannya. Semula ada perasaan iri kepada adiknya, Winarsih, yang mengenyam pendidikan Belanda, dan bisa cas-cis-cus berbahasa Belanda, tapi keirian itu kini lenyap. Ia merasa menyesal dan sambil mencucurkan air mata Ibu Sinder bergumam, "Ya Allah, ampunilah hamba-hambaMu. Mereka sedang alpa dan tidak sadar akan perbuatannya. Ya Allah, jauhkanlah hambaMu ini dari rasa dendam dan amarah. Amin." Hatinya kembali tenang, pikirannya kembali jernih dan wajahnya kembali cerah.

Tiba-tiba Ibu Sinder dikejutkan oleh bel sepeda yang nyaring berbunyi dan disusul dengan suara, "Surat, Ndoro Ayu"

Ia bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menyongsong kedatangan pengantar pos. Pengantar pos itu menyerahkan sebuah sampul surat kepada Ibu Sinder.

'Terima kasih. Pak," kata Ibu Sinder.

"Monggo," jawab Pak Pos sambil menaiki kembali sepedanya.

Masih tetap berdiri di muka pintu Ibu Sinder mengamati surat yang ditujukan kepadanya. Surat dari anaknya, Suhono. Langsung sampul surat disobeknya dan dibacanya surat yang berbahasa dan berhuruf Jawa itu.

"Sembah sungkem mugi katur Ibu/Bapak.

Dengan sengaja berita gembira ini tidak Ananda sampaikan lewat telegram. Ananda khawatir kalau hanya akan mengejutkan Ibu dan Bapak saja. Atas ridho Tuhan Yang Mahamurah dan atas doa restu Ibu dan Bapak, Ananda telah lulus ujian dengan predikat cum laude. Kini Ananda menyandang gelar insinyur sudah. Ananda belum bisa lekas pulang, karena masih banyak urusan yang harus diselesaikan di Betawi. Tak lain, Ananda mohon doa restu. Salam Ananda untuk Mandor Darmin. Namung semanten atur kulo. Nuwun.

Putro tresno

Ir. Suhono."

Ibu Sinder lalu duduk kembali di tempat semula. Surat itu dibacanya berulang-ulang. Ia belum bisa percaya bahwa anak tunggalnya itu sudah menyandang gelar insinyur. Mata berkaca-kaca, air mata gembira dan bahagia meleleh-leleh lewat pipi-pipinya. Wanita berwajah tenang dan tajam itu bergumam, "Ya Allah, segala puji bagiMu, ya Allah. Matur sewu nuwun."

Ketika sadar diri kembali, tanpa pikir panjang. Ibu Sinder lari ke luar rumah, mencari suaminya yang sedang bekerja di kebun. Ia belum tahu dengan tepat di mana suaminya berada, tapi ia tahu bagian kebun mana yang dipertanggungjawabkan kepada suaminya itu. Ia ingin sesegera mungkin menyampaikan berita gembira itu kepada suaminya.

Menyelusuri jalur kereta api, pengangkut tebu. Ibu Sinder berlari-lari menuju kebun Sinder Suprapto. Di tengah jalan tali-temali sandalnya lepas. Ia berjalan terus tanpa alas kaki.

Pekerja-pekerja kebun yang melihat Ibu Sinder berlari-lari itu berhenti bekerja sejenak. Terheran-heran mereka, bercampur rasa cemas. Celetuk seorang pekerja, "Ada apa Ndoro Ayu itu berlari-lari?"

Lalu seorang mandor lari mencegatnya sambil menegur keras-keras, "Ada apa, Ndoro?"

Terengah-engah Ibu Sinder menjawab, "Ah, tidak ada apa-apa. Di mana kira- kira Ndoro Sinder berada sekarang ini?"

'Terus saja, Ndoro, di sana... lha itu apa dresin (kereta inspeksi kebun yang didayung oleh dua orang)-nya. Itu, Ndoro," jawab Mandor Darmin.

Di kejauhan tampak sebuah dresin sedang melaju mendekat. Ibu Sinder mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil melambai-lambaikan surat yang dipegangnya erat-erat.

Di bangku dresin itu duduk Sinder Suprapto, berpakaian seragam lapangan berwarna kelabu. Sinder yang bertubuh kokoh kuat, tinggi, dan berkumis tebal, melihat istrinya berdiri di tengah jalur rel sambil melambai-lambaikan sesuatu, bergumam, "Astaga, ada apa? Tak pernah Ndoro Ayu menyusul sejauh ini. Ayo cepat, cepat!"

Pendayung dresin Parjo dan Paimo mengerahkan segala kekuatannya untuk mempercepat laju dresin. Begitu dresin berhenti, Suprapto meloncat dan cepat menghampiri istrinya sambil bertanya, "Ada apa. Bu?"

Terbata-bata Ibu Sinder menjawab, "Hono... Hono, Paaak."

Sinder Suprapto semakin menjadi cemas. Disambarnya surat yang masih dalam genggaman tangan Ibu Sinder, dan segera dibacanya. Setelah diketahuinya bahwa surat itu berisi berita menyenangkan, Suprapto lalu membacanya dengan suara keras-keras, berulang-ulang.

Yakin sepenuhnya bahwa anaknya memang sudah menyandang gelar insinyur, sinder itu berjingkrak-jingkrak kegirangan sambil berkata, "Hono lulus... Lulus! Dia insinyur sekarang... Insinyur! He, kemari semuanya!"

Sinder Suprapto memanggil pekerja-pekerja-nya. Berbondong-bondong anak buahnya mendekat.

"Ada apa, Ndoro?" tanya Mandor Durasim.

"Anakmu, Sim, anakmu, Suhonoooo... insinyur sekarang... Insinyur, Sim!"

Mendengar jawaban sindernya itu Darmin-lah (Baca : Suro Buldog, Orang Buangan Tanah Merah, Pandir Kelana) yang paling terharu. Ia tak mampu menahan gejolak emosinya. Ia menangis sambil bergumam, "Den Hono... insinyur.... Ndoro Sinyur seperti Tuan Besar Statir." Darmin tak mampu berkata-kata lagi. Ia mengenal Suhono sejak insinyur muda itu masih remaja tanggung.

Pekerja-pekerja lainnya hanya mengangguk-angguk saja. Mereka tak tahu apa itu insinyur, tapi setelah Mandor Durasim menyalami Sinder

Suprapto dan istrinya, mereka ikut-ikutan menyalami majikannya.

"Ndoro, Den Hono bisa jadi Tuan Besar Statir nantinya," celetuk Darmin setelah mampu menguasai emosinya.

Suprapto tahu bahwa mandornya itu tak tahu beda insinyur pertanian dan insinyur sipil, tapi untuk tidak mengecewakan anak buahnya itu Suprapto menjawab, 'Tentu, tentu, Min."

"Wah, bakal ada kenduri nih," celetuk Durasim.

Sambil tertawa bangga Sinder Suprapto menjawab, "Tentuuuuu. Jangan khawatir. Ndoro Ayu yang berkidung nanti."

Kemudian kepada pendayung-pendayung dresin Suprapto memerintahkan agar mengantar istrinya pulang. Sinder Prapto kembali bekerja memeriksa tanaman-tanaman yang harus bersih dari daun-daun kering yang rontok.

Malamnya, sambil tiduran, suami-istri itu masih saja membicarakan keberhasilan anaknya. "Anakku insinyur, anakku Suhono," gumam Sinder Suprapto.

Dengan cepat Ibu Sinder menanggapi, "Apa? Anakmu, Pak? Anakku! Aku yang melahirkan. Kalau Suhono sedang rewel, bandel, Bapak selalu bilang, itu anakmu dihajar. Tetapi kalau Suhono sedang mujur, kau selalu bilang... anakku, anakku.... Heh, enak."

Suprapto tertawa sambil mendekap istrinya. Katanya, "Win, kau masih tetap cantik dan menggairahkan seperti seperempat abad yang lalu." Dekapan semakin ketat.

"Heh, Sinder bandel... bandel... ban... ban..." tanggap Ibu Sinder.

Terdengar di kejauhan, sepasang kucing mengeong-ngeong seperti sedang berkelahi saja.

Pagi itu Sinder Suprapto sedang memberikan petunjuk kepada mandor- mandornya, "Kebun harus terus diawasi, sekalipun daun-daun kering sudah dibersihkan. Bahaya kebakaran masih tetap ada. Udara begitu panas akhir- akhir ini. Jangan sampai ada pekerja melempar puntung rokok sembarangan. Sepele saja tampaknya, tapi bisa besar akibatnya."

Anak buah Sinder Suprapto tidak hanya segan terhadap majikannya itu, tapi mereka juga menghormati dan menyayanginya. Sinder Suprapto merupakan kebanggaan pekerja-pekerja-nya. Orang Jawa, Inlander, yang mencapai pangkat sinder. Suprapto terkenal keras orangnya, disiplin, tapi ia memperlakukan pekerja-pekerjanya dengan baik dan adil. Tak segan-segan sinder itu membela hak-hak anak buahnya. Adalah hal yang biasa bila Sinder Suprapto suami-istri berkunjung ke rumah pekerjanya untuk melihat-lihat kehidupan mereka.

Pekerja-pekerja selalu membanding-bandingkan pimpinan mereka satu dengan lainnya. Sinder-sinder Indo-Belanda itu sama kerasnya dengan Sinder Suprapto, tapi sombong-sombong dan lagi sering mengumpat-umpat kasar menyakitkan hati. Sementara Sinder Sugondo yang juga orang Jawa itu masih baru di Madugondo. Pekerja-pekerja masih belum berani menilai.

Kebetulan pada saat Sinder Suprapto memberikan petunjuk-petunjuk kepada anak buahnya, di kejauhan ia melihat Sinder Dirk Baumann sedang marah- marah. Kebun kuasa Sinder Suprapto berbatasan dengan kebun Sinder Baumann yang Indo-Belanda itu. Tampak berdiri di hadapan Baumann Mandor Durahman, orang Madura. Suprapto tahu betul sifat Durahman. Lekas naik pitam bila ia diperlakukan tidak adil, apalagi kalau ia dihina. Rupa- rupanya Baumann dan Durahman sedang bertengkar mulut. Cepat Suprapto mendekati. Ia masih sempat mendengar umpatan Sinder Baumann. "Bangsat Inlander, babi kau!"

Durahman tampak menjadi marah. Mukanya merah. Tangannya gemetar memegang-megang, goloknya. Melihat kemungkinan yang bisa terjadi, Sinder Suprapto berteriak, "Durahman?! Awas!"

Mandor Durahman terkejut ada orang yang memanggilnya. Ia menengok ke arah datangnya suara, dan segera melihat Sinder Suprapto, yang tinggi, Mandor Durahman terkejut ada orang yang memanggilnya. Ia menengok ke arah datangnya suara, dan segera melihat Sinder Suprapto, yang tinggi,

Suprapto mendekat, lalu kepada Dirk Baumann ia bertanya, "Ada apa, Dirk, kau mengumpat-umpat?"

"Bukan urusanmu, Suprapto. Kau tak berhak turut campur. Durahman mandorku, bukan mandormu," jawab Dirk Baumann.

Dengan tenang Suprapto menanggapi. "Memang Durahman mandormu. Kau mengumpatnya itu hakmu. Umpatan kasarmu itu yang tak bisa diterima mandormu."

"Kausangka aku takut, Suprapto?! Kausangka aku akan menyerahkan kepalaku begitu saja pada Inlander Madura itu. Salah terka kau, Suprapto. Tinjuku akan lebih dulu menyumbat mulut Inlander kerbau itu."

Sinder Suprapto kehilangan pengamatan dirinya mendengar kata-kata Baumann. "Hati-hati dengan kata-katamu, Dirk. Aku juga Inlander. Jangan gampang menghina kau." Jawaban Dirk Baumann semakin menyakitkan hati. Katanya, "Kau sendiri yang harus jaga mulut, Suprapto. Kalau kau ingin membela die vuile Madurees (orang madura busuk), silakan. Ini Indische Jongen (anak Indo) dari Meester Cornelis."

"Ini de vuile Javaan (orang jawa busuk) dari Banyumas. Kalau mau coba, silakan Belanda singkong," potong Sinder Suprapto.

Mendengar ucapan Belanda singkong itu Dirk Baumann naik pitam. Langsung saja tinju kanan Baumann meluncur ke arah rahang Suprapto. Suprapto hanya memalingkan kepalanya saja dan sebelum Baumann sempat menyarangkan tinju kirinya pada hidung Suprapto, sepatu kebun Suprapto sudah lebih dulu bersarang pada perut Baumann. Baumann mengaduh, Mendengar ucapan Belanda singkong itu Dirk Baumann naik pitam. Langsung saja tinju kanan Baumann meluncur ke arah rahang Suprapto. Suprapto hanya memalingkan kepalanya saja dan sebelum Baumann sempat menyarangkan tinju kirinya pada hidung Suprapto, sepatu kebun Suprapto sudah lebih dulu bersarang pada perut Baumann. Baumann mengaduh,

Kepada Mandor Durahman, Suprapto lalu memerintahkan, "Dur, pergi kau. Lekas kembali kerja! Ini bukan urusanmu lagi."

Mandor Durahman, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, meninggalkan tempat itu.

Perkelahian itu disaksikan oleh pekerja-pekerja Baumann dan Suprapto. Mereka menyaksikan bahwa Baumann-lah yang menyerang lebih dulu tapi mereka tidak dapat memahami pertengkaran mulut antara Baumann dan Suprapto yang diucapkan dalam bahasa Belanda itu. Kemudian mereka melihat Sinder Suprapto dengan tenang meninggalkan tempat itu, sedangkan Baumann masih saja menyeringai berguling-guling.

Sore hari Suprapto dipanggil Van Hoogendorp. Rupa-rupanya Baumann langsung melaporkan kejadian itu kepada administratornya. Sinder Suprapto sendiri tidak terlalu terkejut atas panggilan itu. Ia tahu bahwa ia akan diadili.

Sinder Suprapto menghadap administratornya di ruang kerjanya. Begitu masuk, Van Hoogendorp menyambutnya dengan kata-kata, "Silakan duduk Meneer Suprapto."

Dengan panggilan "Meneer" itu Suprapto tahu bahwa Tuan Besar Statir itu tidak sedang berbaik hati. Lazimnya ia dipanggil dengan kata "Sinder" saja. Setelah dipersilakan duduk, Sinder Suprapto lalu menempati kursi di hadapan meja kerja Van Hoogendorp. Van Hoogendorp membuka kotak cerutu lalu berkata, "Kau suka cerutu, Suprapto?"

"Maaf, Tuan, aku tidak merokok."

Van Hoogendorp menyalakan cerutunya, menyedot-nyedotnya lalu mengepulkan asapnya ke arah langit-langit. Ia membuka percakapan dengan berkata, "Meneer Suprapto, apa benar kau tadi siang berkelahi dengan Sinder Baumann?"

"Betul, Tuan Administrator," jawab Suprapto. "Ia menghina bangsaku dengan kata-kata Inlander kerbau. Kata-kata yang tak pantas diucapkan oleh seorang sinder, Tuan..."

Belum lagi sempat melanjutkan penjelasannya, Van Hoogendorp memotong, "Pantaskah seorang sinder berkelahi, Meneer Suprapto?"

Jawab Suprapto tidak langsung, "Aku tidak berkeberatan kalau hanya kata 'Inlander' yang digunakan —sekalipun secara pribadi aku menolaknya, tapi itu kata resmi bagi bangsa Jawa seperti aku ini. Tambahan kata-kata 'babi' dan 'kerbau' itu yang tak dapat kuterima, sekalipun kata-kata itu dilontarkan kepada seorang mandor. Dan lagi bukan aku yang memulai, Tuan. Sinder Baumann yang lebih dulu menyerang. Terpaksa aku bela diri, Tuan."

Van Hoogendorp mengangguk-angguk, mengembuskan asap cerutu kuat- kuat lalu berkata, “Tapi Mandor Durahman bukan anak buahmu, Sinder. Durahman orangnya Sinder Baumann. Kau tidak punya hak mencampuri urusan Sinder lain."

'Tuan benar, aku memang tak punya hak. Semula aku hanya hendak mencegah terjadinya perkelahian antara sinder dan mandor. Kalau itu terjadi akan merendahkan martabat sinder. Tuan."

“Tapi apa yang terjadi, Sinder? Perkelahian antara sinder dengan sinder. Notabene di hadapan pekerja-pekerja kebun. Itu lebih vataal (parah) Meneer Suprapto."

"Benar, Tuan Administrator, tapi kalau Baumann menampar pipi kiriku apa aku harus mengantarkan pipiku yang kanan, Tuan?"

Mendengar jawaban Suprapto itu Van Hoogendorp menahan-nahan senyum. Ia lalu'berkata, "Sudah, sudah, kali ini kau kuberikan peringatan lisan. Belum secara tertulis. Jangan kauulang perbuatanmu itu. Mengerti?"

"Terima kasih, Tuan Administrator," jawab Suprapto.

"Durahman akan kupecat. Bayangkan, Sinder, seandainya kau tidak menengahinya, apa yang bakal terjadi?" lanjut Van Hoogendorp.

"Kukira tidak akan sejauh itu, Tuan. Aku yakin Durahman tidak akan menggunakan goloknya, Tuan. Sinder Baumann yang menghinanya, Tuan. Jonkheer paham tentang sifat-sifat orang Madura. Orang Madura tidak suka dihina, Tuan."

"Kau tak perlu menggurui, Sinder! Apa pun alasannya, Durahman harus mendapat hukuman."

Sinder Suprapto segera melihat adanya peluang untuk meringankan hukuman Mandor Durahman. Majikannya sudah melunak pendiriannya. "Jonkheer, aku mohon agar Durahman dipindahkan ke kebunku saja. Kujamin ia tak akan berbuat gegabah lagi. Durahman kerjanya baik, Tuan, dan lagi ia satu-satunya Sinder Suprapto segera melihat adanya peluang untuk meringankan hukuman Mandor Durahman. Majikannya sudah melunak pendiriannya. "Jonkheer, aku mohon agar Durahman dipindahkan ke kebunku saja. Kujamin ia tak akan berbuat gegabah lagi. Durahman kerjanya baik, Tuan, dan lagi ia satu-satunya

Lama Van Hoogendorp diam, kemudian ia berkata, "Baik, Sinder Durahman kutempatkan di kebunmu. Menggantikan Mandor Jasmin yang meninggal, tapi hukuman tetap kujatuhkan. Gajinya kupotong separuhnya, selama setahun."

"Hukuman yang cukup adil, Jonkheer," Sinder Suprapto menanggapi.

Dengan nada marah Van Hoogendorp membentak, "Aku tidak minta pendapatmu, Sinder!"

Suprapto menunduk, diam. Pikirnya, "Aku lebih baik diam sekarang. Apa yang kuinginkan sudah tercapai."

Van Hoogendorp lalu mengalihkan pembicaraan ke soal lain. "Anakmu baik- baik saja, Sinder? Siapa namanya?"

"Dapat kulaporkan, Jonkheer, anakku Suhono baru saja lulus dari Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik), Tuan."

Nada kata-kata Van Hoogendorp semakin menjadi akrab. Katanya, "Aha, itu berita gembira. Gefeliciteerd —aku mengucapkan selamat— Sinder. Harus dirayakan."

Van Hoogendorp bangkit dari tempat duduknya, mendekati meja kecil di sudut ruangan lalu menuangkan anggur Bourbon dalam dua gelas anggur kristal. Ia mendekati sindernya sambil bergurau, "Aku tak peduli kau minum apa tidak, tapi kalau kau menolak ajakanku sekarang ini, kaulah yang akan kupecat."

Suprapto berdiri, menerima gelas dari tangan majikannya sambil berkata, "Ajakan Jonkheer bagiku merupakan perintah yang menyenangkan, Tuan."

Van Hoogendorp mengangkat gelas tinggi-tinggi lalu berkata, "Untuk Ingenieur Suhono."

Suprapto mengangguk hormat sambil berkata, "Suatu kehormatan bagiku, Jonkheer."

Administrator dan Sinder perlahan-lahan meneguk minumannya. Dalam hati kecilnya Suprapto tersenyum. Ia tahu betul bahwa majikannya itu paling suka dipanggil "Jonkheer". "Apa boleh buat, sedikit menjilat tak apa. Durahman selamat. Itu yang penting," gumamnya dalam hati.

Lalu Van Hoogendorp membunyikan bel tiga kali. Seorang pelayan muncul. "Nyonya Besar diminta datang ya."

Pelayan yang berpakaian putih bersih itu menghilang dan tak lama kemudian terdengar suara genit, "Wat is 'm aan de hand, Herik? —Apa yang sedang terjadi, Henk?"

Van Hoogendorp menyongsong kedatangan istrinya, menggandengnya lalu berkata, "Ada berita besar, Fien. Suhono, anak Sinder Suprapto, lulus. Ia menyandang titel ingenieur sekarang."

"Oyaaa, gefeliciteerd, Sinder," kata Fien van Hoogendorp sambil mengulurkan tangannya. Dengan hormatnya Suprapto mengangguk dan menjabat tangan istri administrator itu. Suprapto merasa tangan-tangannya ditekan-tekan. Ia tetap menunduk. Kata Fien lebih lanjut, "Perlu dipestakan. Bagaimana, Henk? Meneer Suprapto, Ivonne anakku juga baru saja lulus Semi-Arts. Telegram baru kuterima beberapa hari yang lalu."

"Atas nama keluargaku aku pun mengucapkan selamat, Nyonya... Jonkheer, gefeliciteerd." Sekali lagi Suprapto menjabat tangan administrator dan istrinya. Lagi-lagi Suprapto merasakan pijatan tangan Fien van Hoogendorp.

"Ajak anakmu kemari kalau dia pulang dan jangan terkejut kalau ada undangan pesta," kata Van Hoogendorp. Suprapto mengangguk sambil berkata, "Suatu kehormatan, Jonkheer."

"Nou, Sinder, kupikir sudah cukup. Sekretaris akan menyelesaikan kepindahan Durahman," kata Van Hoogendorp.

Suprapto menghabiskan minuman anggur, minta diri kepada suami-istri Van Hoogendorp lalu meninggalkan kediaman resmi administrator itu. Ia langsung pulang. Pikirannya tidak hanya tertuju pada anaknya, Suhono, tapi juga pada... Fien van Hoogendorp.

Begitu tiba di rumah, langsung Ibu Sinder bertanya, "Bagaimana hasilnya. Pak?"

"Mari duduk-duduk dulu. Bu. Tidak apa-apa kok." Mereka berdua lalu duduk di ruang makan. Suprapto melanjutkan, "Tidak apa-apa. Bu. Durahman dipindah ke kebunku. Dihukum memang, tapi cukup ringan. Gajinya dipotong separuh untuk setahun."

Ibu Sinder sebenarnya sangat mencemaskan suaminya. Ia tahu suaminya bisa keras kepala. "Alhamdulillah! Bapak sendiri bagaimana?"

Sambil tersenyum Suprapto menjawab, "Aku hanya mendapat peringatan lisan. Tuan Statir malah menanyakan Suhono. Suasana berubah jadi akrab, bahkan Nyonya Statir ikut hadir dalam pembicaraan. Ivon, anak Tuan Statir, juga baru lulus Semi-Arts, hampir dokter. Akan diadakan pesta untuk anakku Suhono dan Ivon."

"Apa Pak, anakmu? Anakku! Aku yang mengandungnya. Aku yang melahirkan. Bapak kan tak berbuat apa-apa," gurau Ibu Sinder. "Betul, betul, tapi tanpa aku mana kau bisa mengandung," balas Suprapto, sambil tertawa terbahak-bahak. Ibu Sinder hanya tersenyum. "Aku akan memberitahu Durahman nanti," lanjut Sinder Suprapto.

Sesudah mandi dan makan malam Sinder Suprapto meninggalkan rumah. Pergi ke rumah Mandor Durahman.

Di sudut halaman belakang gedung Besaran itu berdiri agak menyendiri sebuah bangunan kecil seperti sebuah pavilyun. Bangunan itu masih baru, khusus disediakan bagi Fien van Hoogendorp. Di dalam bangunan itu Fien menekuni hobinya, melukis. Fien bertemu dengan Henk van Hoogendorp waktu ia masih mahasiswi pada Academie Voor Beeldende Kunsten (Akademi Seni Rupa) Negeri Belanda.

Kegemarannya melukis masih dipertahankan, sekalipun Fien sudah menjadi Nyonya Besar. Bangunan itu merupakan dunia Fien sendiri. Jarang-jarang suaminya mengganggunya bila istrinya sedang berada di sanggar lukisnya. Baru kalau Fien mengundangnya untuk mengagumi lukisan yang sudah selesai, suaminya datang menjenguknya.