Tugas Hukum dan Etika Bisnis Ferly Gita
Nama
: Ferly Gita Pratama
NIM
: 20142411160
Mata Kuliah : Hukum dan Etika Bisnis
Nama Dosen : Agus Ariesta
Kelas
: Stie Negara
1. Perlindungan konsumen
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan
terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda
harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.
UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak
untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau
dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan
perlindungan adalah:
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1),
Pasal 27 , dan Pasal 33.
Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3821
Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian
Sengketa
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001
Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag
Prop/Kab/Kota
Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/
12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
A. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelakku Usaha
1. Konsumen
a. Hak-hak konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan
kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa
bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya
tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu.
Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya.
Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya
telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai
berikut :
o Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
o Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
o Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
o Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
o Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
o Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
o Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
o Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
o Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang
dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban
dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha
merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk
dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh
pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan
secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis
KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini
terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha
dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga
diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang
melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.
b. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, kewajiban konsumen adalah :
o Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
o Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
o Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
o Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2. Pelaku Usaha
a. Hak Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban.
Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
o Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
o Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik.
o Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen.
o Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
o Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Kewajiban Pelaku Usaha
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan,
pemakaian
diperdagangkan;
dan
pemanfaatan
barang
dan/atau
jasa
yang
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha
bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban
konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha
selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan
iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
B. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal
8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8).
Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16).
Larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17).
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU
PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang :
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut;
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu;
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label.
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
10.
Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di
bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak
jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan
Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad
baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui
label, etiket maupun iklan harus dipenuhi. Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan
larangan sebagai berikut:
o Ayat (2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas,
dan tercemar
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
o Ayat (3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang
rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat,
bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut
diartikan sebagai berikut:
o Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
o Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang
sempurna.
o Bekas: sudah pernah dipakai.
o Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya
rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut
masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada
awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu
dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi. Ketentuan terakhir
dari pasal ini adalah: Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan
dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan
oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan
melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal
28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang
dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku
usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal
22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung
jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
o Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
o Cacat barang timbul pada kemudian hari.
o Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
o kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
o Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu
yang diperjanjikan
D. Sanksi Bagi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
- Pengembalian uang atau
- Penggantian barang atau
- Perawatan kesehatan, dan/atau
- Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal
19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
- Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10,
- 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
- Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12,
- 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
*Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan
Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.
* Hukuman tambahan , antara lain :
· Pengumuman keputusan Hakim
· Pencabuttan izin usaha.
· Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
· Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
· Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat
CONTOH KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN:
Kasus 1:
Seorang pedagang daging giling terbukti menjual daging celeng yang disamarkan
sebagai daging sapi. Daging giling itu biasa digunakan untuk bahan baku bakso. "Sudah
diperiksa di laboratorium, hasilnya memang benar itu daging celeng," kata Kepala Seksi
Pengawasan dan Pengendalian Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Barat,
Pangihutan Manurung, Senin, 5 Mei 2014.
Menurut Pangihutan, instansinya mendapat laporan tentang penjualan daging celeng
di di Jalan Pekojan III Tambora, Jakarta Barat. Penjualnya bernama bernama Sutiman Wasis
Utomo, 55 tahun. "Laporannya pekan lalu, dan langsung kami tindaklanjuti," kata Pangihutan.
Sutiman selama ini dikenal sebagai pengusaha rumahan yang menjual bakso olahan
untuk penjual bakso keliling. Sehari setelah laporan masuk, seorang pegawai Suku Dinas
Peternakan membeli bakso tersebut dan memeriksanya di laboratorium. Hasil pemeriksaan
menyatakan daging bakso itu mengandung daging babi hutan atau celeng.
Kepada para anggota tim pengawasan dari Suku Dinas Peternakan, Sutiman
mengaku membeli daging tersebut dari seorang lelaki bernama John, yang berdomisili di
Cengkareng, Jakarta Barat. Anggota tim saat ini sedang melacak arus distribusi bakso olahan
Sutiman.
Menurut Pangihutan, daging celeng yang dijual Sutiman tak melalui pengawasan
oleh Suku Dinas Peternakan. Celeng tersebut diburu di berbagai daerah di Pulau Jawa dan
langsung dipasarkan secara terselubung. "Tak ada jaminan daging yang dipasarkan itu sehat
dan layak dikonsumsi," katanya.
Atas perbuatan tersebut, Dinas Peternakan melaporkan Sutiman ke Polsek
Penjaringan. Dia dijerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen. Sutiman dianggap menipu konsumen karena tak menyebutkan bahan baku
sebenarnya dan mengabaikan standar kesehatan. "Dia melanggar karena tak melewati proses
pengawasan dengan menggunakan babi dari rumah potong dan berterus terang kepada
pembeli," kata Pangihutan.
Kasus 2:
Kasus Susu Formula
Di Indonesia, nasib perlindungan konsumen masih berjalan tertatih-tatih. Hal-hal
menyangkut kepentingan konsumen memang masih sangat miskin perhatian. Setelah setahun
menunggu, Kementerian Kesehatan akhirnya mengumumkan hasil survei 47 merek susu
formula bayi untuk usia 0-6 bulan. Hasil survei menyimpulkan, tidak ditemukan bakteri
Enterobacter sakazakii.
Hasil ini berbeda dengan temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang
menyebutkan, 22,73% susu formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15
sampel) yang dipasarkan April hingga Juni 2006 terkontaminasi Enterobacter sakazakii.
Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut, yang jelas, kasus susu
formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut perlindungan konsumen. Ini
membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan (hukum) konsumen rupanya memang
masih miskin perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran konsumen dalam pembangunan
ekonomi.
PENYELESAIAN:
Kasus 1:
Dapat kita lihat di kasus ini terjadi dimana penjual daging ini tidak mengatakan
kepada konsumennya bahwa daging yang dia buat menjadi bakso itu adalah daging celeng.
Kita harus ketahui bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa. Dan konsumen akan sangat dirugikan
sekali bila mereka mengetahui bahwa daging yang dibelinya itu tidak sesuai dengan
kemasannya yang tertulis daging sapi.
Dan sebagai pelaku usaha seharusnya penjual daging ini memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang yang dijualnya. Pelaku telah melakukan
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dimana ketidaksesuaiaannya isi barang dengan
label kemasannya yang dituliskan daging sapi padahal didalamnya daging celeng.
Seperti yang dikatakan berita diatas, pelaku terjerat Pasal 62 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pasa ini berisikan bahwa :
1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f
dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Kasus 2:
Agar tidak terulang lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen, maka
kita sebagai konsumen harus lebih teliti dalam memilih atau memakai barang/jasa yang
ditawarkan, seperti:
1. Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk.
2. Teliti sebelum membeli (Baca keterangan label yang ada).
3. Biasakan belanja sesuai rencana.
4. Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan,
keselamatan,kenyamanan dan kesehatan.
5. Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.
6. Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa.
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen
http://ekoprabowoo.blogspot.co.id/2015/06/kasus-perlindungan-konsumen-uu-no-8.html
http://lindamaya.blogspot.com/2013/07/contoh-kasus-perlindungan-konsumen.html
http://www.investor.co.id/home/kasus-susu-formula-dan-perlindungan-konsumen/15923
2. HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual)
Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan suatu hukum
atau peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Menurut UU
yang telah disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 21 Maret 1997, HaKI adalah hak-hak secara
hukum yang berhubungan dengan permasalahan hasil penemuan dan kreativitas seseorang
atau beberapa orang yang berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam
bidang komersial (commercial reputation) dan tindakan / jasa dalam bidang komersial
(goodwill).
Dengan begitu obyek utama dari HaKI adalah karya, ciptaan, hasil buah pikiran,
atau intelektualita manusia. Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual
tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the
Human Mind) (WIPO, 1988:3). Setiap manusia memiliki memiliki hak untuk melindungi atas
karya hasil cipta, rasa dan karsa setiap individu maupun kelompok.
Kita perlu memahami HAKI untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya daya
kreasi dan inovasi intelektual sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh setiap manusia, siapa
saja yang ingin maju sebagai faktor pembentuk kemampuan daya saing dalam penciptaan
Inovasi-inovasi yang kreatif.
Prinsip-prinsip Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
Prinsip-prinsip Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) adalah sebagai berikut :
Prinsip Ekonomi
Dalam prinsip ekonomi, hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif dari daya pikir manusia
yang memiliki manfaat serta nilai ekonomi yang akan member keuntungan kepada pemilik
hak cipta.
Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan merupakan suatu perlindungan hukum bagi pemilik suatu hasil dari
kemampuan intelektual, sehingga memiliki kekuasaan dalam penggunaan hak atas kekayaan
intelektual terhadap karyanya.
Prinsip Kebudayaan
Prinsip kebudayaan merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan, sastra dan seni guna
meningkatkan taraf kehidupan serta akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, bangsa
dan Negara.
Prinsip Sosial
Prinsip sosial mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara, sehingga hak yang telah
diberikan oleh hukum atas suatu karya merupakan satu kesatuan yang diberikan perlindungan
berdasarkan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat/ lingkungan.
Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Dalam penetapan HaKI tentu berdasarkan hukum-hukum yang sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Dasar-dasar hukum tersebut antara lain adalah :
Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the
World Trade Organization (WTO)
Undang-undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek
Undang-undang Nomor 13/1997 tentang Hak Paten
Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the
Protection of
Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual
Property Organization
Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the
Protection of
Literary and Artistic Works
Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut maka Hak atas Kekayaan Intelektual
(HaKI) dapat dilaksanakan. Maka setiap individu/kelompok/organisasi yang memiliki hak
atas pemikiran-pemikiran kreatif mereka atas suatu karya atau produk dapat diperoleh dengan
mendaftarkannya ke pihak yang melaksanakan, dalam hal ini merupakan tugas dari
Direktorat Jenderal Hak-hak Atas Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Perundangundangan Republik Indonesia.
Klasifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI)
Secara umum Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terbagi dalam dua kategori,
yaitu :
1.
Hak Cipta
2.
Hak Kekayaan Industri, yang meliputi :
Hak Paten
Hak Merek
Hak Desain Industri
Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Hak Rahasia Dagang
Hak Indikasi
Hak Cipta
Hak Cipta adalah Hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan ciptaannya atau
memperbanyak ciptaannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19/2002 Pasal 1 ayat 1
mengenai Hak Cipta :
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak cipta termasuk kedalam benda immateriil, yang dimaksud dengan hak milik immateriil
adalah hak milik yang objek haknya adalah benda tidak berwujud (benda tidak bertubuh).
Sehingga dalam hal ini bukan fisik suatu benda atau barang yang di hak ciptakan, namun apa
yang terkandung di dalamnya yang memiliki hak cipta. Contoh dari hak cipta tersebut adalah
hak cipta dalam penerbitan buku berjudul “Manusia Setengah Salmon”. Dalam hak cipta,
bukan bukunya yang diberikan hak cipta, namun Judul serta isi didalam buku tersebutlah yang
di hak ciptakan oleh penulis maupun penerbit buku tersebut. Dengan begitu yang menjadi
objek dalam hak cipta merupakan ciptaan sang pencipta yaitu setiap hasil karya dalam bentuk
yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Dasar
hukum Undang-undang yang mengatur hak cipta antara lain :
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982
Nomor 15)
UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun
1997 Nomor 29)
Hak Kekayaan Industri
Hak kekayaan industri adalah hak yang mengatur segala sesuatu milik
perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum. Hak kekayaan industri sangat
penting untuk didaftarkan oleh perusahaan-perusahaan karena hal ini sangat berguna untuk
melindungi kegiatan industri perusahaan dari hal-hal yang sifatnya menghancurkan seperti
plagiatisme. Dengan di legalkan suatu industri dengan produk yang dihasilkan dengan begitu
industri lain tidak bisa semudahnya untuk membuat produk yang sejenis/ benar-benar mirip
dengan mudah. Dalam hak kekayaan industri salah satunya meliputi hak paten dan hak merek.
Hak Paten
Menurut Undang-undang Nomor 14/2001 pasal 1 ayat 1, Hak Paten adalah hak
eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil penemuannya di bidang
teknologi, yang untuk selama waktu tertentu dalam melaksanakan sendiri penemuannya
tersebut atau dengan membuat persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Paten
hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di
bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah
tertentu di bidang teknologi, hal yang
dimaksud berupa proses, hasil produksi,
penyempurnaan dan pengembangan proses, serta penyempurnaan dan pengembangan hasil
produksi.
Perlindungan hak paten dapat diberikan untuk jangka waktu 20 tahun terhitung
dari filling date. Undang-undang yang mengatur hak paten antara lain :
UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109).
Hak Merek
Berdasarkan Undang-undang Nomor 15/2001 pasal 1 ayat 1, hak merek adalah
tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek merupakan tanda yang digunakan untuk
membedakan produk/jasa tertentu dengan produk/jasa yang sejenis sehingga memiliki nilai
jual dari pemberian merek tersebut. Dengan adanya pembeda dalam setiap produk/jasa sejenis
yang ditawarkan, maka para costumer tentu dapat memilih produk.jasa merek apa yang akan
digunakan sesuai dengan kualitas dari masing-masing produk/jasa tersebut. Merek memiliki
beberapa istilah, antara lain :
Merek Dagang
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
Merek Jasa
Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan
jasa-jasa sejenis lainnya.
Merek Kolektif
Merek Kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik
yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara
bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
Selain itu terdapat pula hak atas merek, yaitu hak khusus yang diberikan negara
kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu,
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya. Dengan terdaftarnya suatu
merek, maka sudah dipatenkan bahwa nama merek yang sama dari produk/jasa lain tidak
dapat digunakan dan harus mengganti nama mereknya. Bagi pelanggaran pasal 1 tersebut,
maka pemilik merek dapat mengajukan gugatan kepada pelanggar melalui Badan Hukum atas
penggunaan nama merek yang memiliki kesamaan tanpa izin, gugatan dapat berupa ganti rugi
dan penghentian pemakaian nama tersebut.
Selain itu pelanggaran juga dapat berujung pada pidana yang tertuang pada bab V
pasal 12, yaitu setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang
sama secara keseluruhan dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain,
untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan diperdagangkan, dipidana penjara paling
lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,Oleh karena itu, ada baiknya jika merek suatu barang/jasa untuk di hak patenkan
sehingga pemilik ide atau pemikiran inovasi mengenai suatu hasil penentuan dan kreatifitas
dalam pemberian nama merek suatu produk/jasa untuk dihargai dengan semestinya dengan
memberikan hak merek kepada pemilik baik individu maupun kelompok organisasi
(perusahaan/industri) agar dapat tetap melaksanakan kegiatan-kegiatan perekonomiannya
dengan tanpa ada rasa was-was terhadap pencurian nama merek dagang/jasa tersebut.
Undang-undang yang mengatur mengenai hak merek antara lain :
UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992
Nomor 81)
UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang
Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001
Nomor 110)
Dalam pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa HaKI adalah bagian penting
dalam penghargaan dalam suatu karya dalam ilmu pengetahuan, sastra maupun seni dengan
menghargai hasil karya pencipta inovasi-inovasi tersebut agar dapat diterima dan tidak
dijadikan suatu hal untuk menjatuhkan hasil karya seseorang serta berguna dalam
pembentukan citra dalam suatu perusahaan atau industri dalam melaksanakan kegiatan
perekonomian.
CONTOH KASUS HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual):
Kasus 1:
MA Tolak Gugatan Bajaj ke Honda Soal Hak Paten
Bajaj mengklaim teknologi dua busi satu silinder adalah miliknya.
VIVAnews – Mahkamah Agung (MA) hari ini telah memutuskan perkara
perseteruan antara produsen sepeda motor Bajaj dan Honda terkait hak paten penggunaan dua
busi dalam satu silinder pada mesin sepeda motor. Hasilnya, gugatan hukum Bajaj ke Honda
soal sengketa itu ditolak.
MA “Menolak permohonan kasasi Bajaj Auto Limited,” begitu bunyi pengumuman
panitera MA, Kamis 30 Agustus 2012. Ini terkait vonis yang diputuskan di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat pada 15 Agustus 2012 lalu oleh Ketua Majelis Hakim Agung, Muhammad
Taufik, serta Hakim Anggota Djafni Djamal dan Takdir Rahmadi.
MA, dalam amarnya, memutuskan Honda sebagai perusahaan yang pertama kali
mematenkan penggunaan dua busi dalam satu silinder pada mesin sepeda motor masa kini.
Perkara hak paten yang terdaftar dengan nomor 802 K/PDT.SUS/2011 itu terkait
paten penggunaan mesin motor yang menggunakan ystem mesin dua busi dalam satu silinder
pada mesin sepeda motor. Bajaj, perusahaan asal India, mengklaim penggunaan dua busi
dalam satu silinder pada produk mereka itu merupakan ystem pertama yang digunakan di
dunia.
Argumen Honda
Namun, sebagai perusahaan sepeda motor dan mobil ternama di dunia asal Jepang,
Honda membantah klaim Bajaj. Berdasarkan versi Ditjen HAKI, ystem itu telah dipatenkan
atas nama Honda Giken Kogyo Kabushiki Kaisha di Amerika Serikat pada 1985.
Lantas, oleh Honda didaftarkan di Indonesia pada 28 April 2006. Penemu ystem itu dalam hak
paten yang sudah didaftarkan Honda atas nama Minoru Matsuda.
Namun dalih ini dimentahkan oleh Bajaj. Satu silinder, menurut perusahaan itu,
jelas berbeda dengan dua silinder. Klaim Bajaj bahwa untuk konfigurasi busi memang masih
kemungkinan ada klaim yang baru, terutama dalam silinder dengan karakter lain.
Klaim baru yang dimaksud adalah ukuran ruang yang kecil di mana harus ada busi
dengan jumlah yang sama. Hal di atas adalah baru sebab penempatannya pada satu mesin V
(double silinder) dan lainnya adalah satu silinder.
Terlambat Sehari
Putusan kasasi MA kian menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam sidangnya, majelis PN Jakpus menolak gugatan Bajaj tersebut. Alasannya, Bajaj
terlambat satu hari mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat dari batas maksimal tiga bulan
setelah mengajukan gugatan ke keputusan Komisi Banding Merek.
Majelis PN Jakpus bahkan tidak berani menilai, siapa yang pertama kali
mematenkan dua busi dalam satu silinder pada mesin sepeda motor modern. Ketika
dikonformasi, PT Bajaj Auto Indonesia dan PT Astra-Honda Motor enggan berkomentar. “Itu
urusan Bajaj Auto Limited India. Kami tak yst komentar,” kata Marketing dan PR Manager
PT Bajaj Auto Indonesia, Rizal Tandju, melalui pesan singkat. Demikian juga dengan
perwakilan Honda di Indonesia. Public Relation Manager PT Astra Honda Motor, Ahmad
Muhibbuddin, juga mengaku itu urusan Honda Jepang. “Bukan Astra Honda Motor,” katanya.
(ren)
Kasus 2:
Kasus Merek Marlboro Cleartaste, Philip Morris Kalah Lawan Japan Tobacco
Jakarta - Upaya perusahaan rokok asal Amerika Serikat (AS) Philip Morris untuk
membatalkan merek rokok Clear milik Japan Tobacco gagal. Sebab kantor hukum SKC Law
tidak sah secara hukum untuk mewakili Philip.
"Majelis memutuskan gugatan tidak dapat diterima," kata ketua majelis hakim
Lidya Sasando saat membacakan putusan, di Pengadilan Negeri Jakarat Pusat (PN Jakpus), Jl
Gajah Mada, Jakarta, Selasa (11/2/2014).
Hakim berpendapat jika SCK Law dianggap tidak dapat mewakili Managing
Director Philip Morris sebagai pihak penggugat. Saat dimintai keterangan, kuasa hukum
Philip memilih tak memberikan statemen apa pun. Sementara itu kuasa hukum Japan Tobacco
diketahui tidak hadir.
Kasus ini berawal saat Japan Tobacco mendaftarkan merek Clear ke Ditjen HKI.
Philip Morris tak terima dengan merek tersebut karena dianggap sama dengan merek
produknya Marlboro Cleartaste. Atas hal itu, Philip Morris pun menggugat.
Marlboro merupakan merek rokok yang diproduksi oleh Philip Morris International,
perusahaan rokok nomor satu dunia. Merek rokok ini pertama kali ditampilkan pada tahun
1904.
PENYELESAIAN:
Kasus 1:
Dari contoh kasus hak paten diatas bahwa sepeda motor Bajaj dan Honda terkait
hak paten penggunaan dua busi dalam satu silinder telah digunakan pada mesin sepeda motor
Bajaj. Perusahaan asal India, mengklaim penggunaan dua busi dalam satu silinder pada
produk mereka itu merupakan ystem pertama yang digunakan di dunia. Namum MA, dalam
amarnya memutuskan Honda sebagai perusahaan yang pertama kali mematenkan penggunaan
dua busi dalam satu silinder pada mesin sepeda motor masa kini. Akan tetapi dalih ini
dimentahkan oleh Bajaj. Satu silinder, menurut perusahaan itu, jelas berbeda dengan dua
silinder. Klaim Bajaj bahwa untuk konfigurasi busi memang masih kemungkinan ada klaim
yang baru, terutama dalam silinder dengan karakter lain. Karena terlambat sehari putusan
kasasi MA kian menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam sidangnya,
majelis PN Jakpus menolak gugatan Bajaj tersebut. Alasannya, Bajaj terlambat satu hari
mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat dari batas maksimal tiga bulan setelah mengajukan
gugatan ke keputusan Komisi Banding Merek.
Kasus 2:
Dari contoh kasus merek diatas bahwa upaya perusahaan rokok asal Amerika
Serikat (AS) Philip Morris untuk membatalkan merek rokok Clear milik Japan Tobacco gagal.
Sebab kantor hukum SKC Law tidak sah secara hukum untuk mewakili Philip. Kasus ini
berawal saat Japan Tobacco mendaftarkan merek Clear ke Ditjen HAKI. Philip Morris tak
terima dengan merek tersebut karena dianggap sama dengan merek produknya Marlboro
Cleartaste. Atas hal itu, Philip Morris pun menggugat. Pada akhirnya Marlboro merupakan
merek rokok yang diproduksi oleh Philip Morris International, perusahaan rokok nomor satu
dunia. Merek rokok ini pertama kali ditampilkan pada tahun 1904.
Sumber:
https://dhiasitsme.wordpress.com/2012/03/31/hak-atas-kekayaan-intelektual-haki/
http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/347543-soal-paten--ma-tolak-gugatan-bajaj-kehonda
http://news.detik.com/read/2014/02/11/191542/2493835/10/kasus-merek-marlboro-cleartastephilip-morris-kalah-lawan-japan-tobacco?nd771104bcj
http://id.wikipedia.org/wiki/Paten
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta
http://id.wikipedia.org/wiki/Merek
3. Persaingan Usaha Tidak Sehat
A. Pengertian Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Menurut UU No. 5 Tahun 1999, monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan
dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Menurut Sherman Act, ada beberapa hal yan berhubungan dengan proses
terjadinya monopoli secara ilmiah, yaitu:
1. Monopoli terjadi akibat dari suatu superrior skill, yang salah satunya dapat terwujud dari
pemberian hak paten secara eksklusif oleh negara, berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku kepada pelaku usaha tertentu atas hasil riset dan pengembangan
atas teknologi tertentu. Selain itu ada juga yang dikenal dengan istilah Trade Secret
(rahasia dagang), yang meskipun tidak memperoleh eksklusivitas pengakuan oleh negara,
namun dengan rahasia dagangnya mampu membuat produk yang superior.
2. Monopoli terjadi karena pemberian negara (Ketentuan pasal 33 (2) dan 33 (3) UUD 1945
yang dikutip kembali dalam pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999)
3. Monopoli yang terjadi akibat adanya historical accident, yaitu monopoli yang terjadi
karena tidak disengaja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan oleh
berbagai faktor terkait dimana monopoli tersebut terjadi. Dalam hal ini penilaian mengenai
pasar bersangkutan yang memungkinkan terjadinya monopoli menjadi sangat relevan.
Terdapat dua teori yang terdapat dalam hukum anti monopoli, yaitu:
1. Teori Perse, teori yang melarang monopoli an sich, tanpa melihat apakah ada ekses
negatifnya. Beberapa bentuk kartel, monopoli dan persaingan usaha tidak sehat harus
dianggap dengan sendirinya bertentangan dengan hukum. Titik beratnya adalah unsur
formal dari perbuatan tersebut.
2. Teori Rule of Reason, teori ini melarang kartel dan monopoli jika dapat dibuktikan bahwa
ada ekses negatifnya.
B.
Proses Monopolisasi
Ada beberapa argumen yang dapat dikemukakan sehubungan dengan proses
terjadinya monopoli secara ilmiah. Hal tersebut antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Monopoli terjadi akibat dari suatu superior skill, yang salah satunya dapat terwujud dari
peberian hak paten secara ekslusif oleh Negara.
2. Monopoli terjadi karena pemberian Negara. Di Negara kita hal ini sangat jelas dapat dilihat
dalam ketentuan pasal 33 (2) dan 33 (3) UUD 1945 yang dikutip kembali dalam pasal 51
UU No. 5 tahun 1999.
3. Monopoli yang terjadi akibat adanya historical accident, yaitu monopoli yang terjadi
karena tidak sengaja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan oleh
berbagai faktor terkait dimana proses monopoli itu terjadi.
Untuk menilai berlangsungnya suatu proses monopolisasi, sehingga dapat terjadi
suatu bentuk monopoli yang dilarang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Penentuan mengenai pasar bersangkutan (the relevant market)
Dalam UU No.5 Tahun 1999, pasar bersngkutan didefinisikan sebagai pasar yang
berkaitan dengan jangkuan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang atau
jasa yang sama atau subtitusi dari barang atau jasa tesebut.
Untuk menetukan relevansi atau kedudukan dari suatu pasar bersangkutan pada
umumnya orang mencoba mendekatinya melalui pendekatan sensifitas produk. Salah satu
yang dapat dipakai adalah pendekatan “elasticity of demand”. Untuk menilai relevansi
keterkaitanya
dengan
produk
competitor
deperkenalkan
konsep
“cross
elasticity
demand/CED” antara kedua produk yang saling dikaitkan.
Dalam hal ini terdapat beberapa hal yang dapat dianggap cukup relevan dan
berpengaruh yaitu:
a. Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan ptrhadap perilaku penting terhadap
usaha dan kinerja pasar antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan
keluar pasar,keragama produk, system distribusi dan penguasaan pangsa pasar.
b. Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalamkapasitasnya
sebagai pemasok atau pembeli barang atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan, antara
lain pencapaian laba, pertumbuhan aset, target penjualan dan metode persaingan yang
digunakan.
c. Pangsa pasar adalah presentase nilai jual dan beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai
oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kelender tertentu.
d. Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan jasa sesuai kesepakatan
antara pihak dalm pasar yang bersangkutan.
2. Penilaian terhadap keadaan pasar dan jumlah pelaku usaha.
Pelaku usaha dianggap menguasai pangsa pasar secara monopoli.jika ia mempunyai
pangsa pasar lebih dari 75%. UU No. 5 Tahun 1999 pasal 4 (2) menyatan bahwa “Pelaku
usaha patut diduga dan dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan
pemasaran barang atau jasa, jika 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku uasaha
menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu atau jenis barang atau jasa tertentu.
3. Ada tidaknya kehendak untuk melakukan monopoli oleh pelaku usaha tertentu.
Pada pasar bersangkutan yang sudah jenuh, kehendak untuk menjadi besar
terkadang dilaksanakan dengan cara yang tidak wajar dan tidakk sehat.
Monopoli dilarang karena mengandung beberapa efek negatif yang
merugikan,
yaitu:
a. Terjadi peningkatan suatu produk. Harga yang tinggi akan menyebabkan inflasi yang
merugikan masyarakat luas.
b. Adanya kekurangan (profil) diatas kewajaran yang normal, pelaku usaha akan menetapkan
harga agar meperoleh keuntungan yang sangat besar karena konsumen tidak ada pilihan
lain dan terpaksa membeli produk tersebut.
c. Terjadinya eksploitasi terhadap konsumen karena tidak adanya hak pilih konsumen atas
produk.
d. Terjadi ketidakekonomisan dan ketidakefisiensi yang akan dibebankan kepada konsumen
dalam menghasilkan suatu produk karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroprasi
pada average cost yang minimum.
e. Adanya entry barrier dimana perusahaan lain tidak dapat masuk kedalam bidang usaha
perusahaan monopoli.
f. Pendapatan tidak merata karena sumber dana dan modal tersedot kedalam perusahaan
monopoli.
C. Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Praktek monopoli adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan
atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum. Pada dasarnya, ada 4 unsur yang terdapat dalam praktek monopoli:
1. Adanya pemusatan kekuatan ekonomi
2. Pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau lebih pelaku usaha ekonomi
3. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
4. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut merugikan kepentingan umum.
Dalam UU No. 5 Tahun 1999 dijelaskan bahwa selama suatu pemusatan kekuatan
ekonomi tidak menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, maka hal itu tidak dapat
dikatakan telah terjadi suatu praktek monopoli, yang melanggar atau bertentangan dengan
undang-undang ini, meskipun monopoli itu sendiri secara nyata terjadi (dalam bentuk
penguasaan produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa tertentu). Jadi, sebenarnya
monopoli tidak dilarang, yang dilarang adalah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu prasyarat pokok dapat
dikatakan telah terjadi suatu pemusatan ekonomi adalah terjadinya penguasaan nyata dari
suatu pasar bersangkutan sehingga harga dari barang atu jasa yang diperdagangkan tidak lagi
menggikuti hukum ekonomi mengenai permintaan dan penjualan, melainkan semata-mata
ditentukan oleh satu atau lebih pelaku ekonomi yang menguasai pasar tersebut.
D. Perjanjian-Perjanjian yang Dilarang
Pengertian Perjanjian
Dalam UU, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih
pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama
apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Jika dibandingkan definisi UU dengan ketentuan
pasal 1313 KUHP, yang menjelaskan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dan sebagai
konsekuensinya perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tidak dapat ditarik
kembali oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, kecuali penarikan atau pencabutan
tersebut juga disepakati secara bersama oleh kedua belah pihak.
Sahnya Perjanjian
Ketentuan pasal 1320 KUHP mensyaratkan dipenuhinya 4 syarat untuk sah nya
suatu perjanjian:
1.
Adanya kesepakatan bebas dari para pihak yang berjanji
2.
Adanya kecakapan untuk bertindak dari para pihak yang berjanji
3.
Adanya suatu obyek yang diperjanjikan
4.
Bahwa perjanjian tersebut adalah sesuatu yang diperkenankan, baik oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk kebiasan dan kepatuhan
hukum, serta kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku pada waktu perjanjian tersebut
dibuat atau dilaksanakan
Dua persyaratan (pertama dan kedua) dalam ilmu hukum disebut dengan syarat
subyektif, karena kedua hal tersebut berhubungan langsung dengan subyek hukum yang
melakukan perbuatan hukum perjanjian tersebut. Selanjutnya dua persyaratan terakhir (ketiga
dan keempat) dalam ilmu hukum lebih dikenal dengan syarat obyektif.
Perjanjian yang Dilarang
Untuk mencegah terjadinya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, undangundang melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian tertentu dengan pelaku usaha
lainnya. Larangan tersebut merupakan larangan terhadap keabsahan obyek perjanjian. Dalam
undang-undang obyek perjanjian yang dilarang untuk dibuat antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha lainnya adalah sebagai berikut:
1. Melakukan penguasaan produksi atau pemasaran barang atau jasa yang dapat
mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 4 ayat (1))
2. Menetapkan harga tertentu atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen
atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama (pasal 5 ayat (1)), dengan
pengecualian:
a.
Perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan
b.
Perjanjian yang didasarkan UU yang berlaku (pasal 5 ayat (2))
3. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang
berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama
(pasal 6)
4. Menetapkan harga dibawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat (pasal 7)
5. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang atau jasa tidak akan menjual
atau memasok kembali barang dan jasa yang telah diterima (pasal 8)
6. Perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap
suatu barang dan jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat (pasal 9)
7. Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama,
baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri (pasal 10 ayat (1))
8. Perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan jasa dari pelaku usaha lain, yang
mengakibatkan:
a. Kerugian atau dapat diduga menerbitkan kerugian bagi pelaku usaha lain
b. Pembatasan bagi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang atau jasa
dari pasar bersangkutan (pasal 10 ayat (2))
9. Perjanjian yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan pemasaran
suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat (pasal 11)
10.Perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar (pasal 12)
11.Perjanjian yang bertujuan untuk bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan
pasokan barang atau jasa tertentu (pasal 13 ayat (1))
12.Perjanjian yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat (pasal 14)
13.Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa hanya
akan memasok atau tidak memasok kem
: Ferly Gita Pratama
NIM
: 20142411160
Mata Kuliah : Hukum dan Etika Bisnis
Nama Dosen : Agus Ariesta
Kelas
: Stie Negara
1. Perlindungan konsumen
Perlindungan konsumen adalah perangkat hukum yang diciptakan untuk melindungi dan
terpenuhinya hak konsumen. Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda
harga sebagai tanda pemberitahuan kepada konsumen.
UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak
untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau
dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi,
ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan
perlindungan adalah:
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1),
Pasal 27 , dan Pasal 33.
Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik
Indonesia No. 3821
Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian
Sengketa
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001
Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag
Prop/Kab/Kota
Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/
12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
A. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelakku Usaha
1. Konsumen
a. Hak-hak konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan
kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa
bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya
tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu.
Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya.
Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya
telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen sebagai
berikut :
o Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
o Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
o Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
o Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
o Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
o Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
o Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
o Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
o Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak konsumen yang
dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban
dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha
merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada juga hak untuk
dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh
pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan
secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis
KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini
terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha
dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga
diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang
melindungi konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.
b. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, kewajiban konsumen adalah :
o Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
o Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
o Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
o Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2. Pelaku Usaha
a. Hak Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban.
Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
o Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
o Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik.
o Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen.
o Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
o Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Kewajiban Pelaku Usaha
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan.
Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang
dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan,
pemakaian
diperdagangkan;
dan
pemanfaatan
barang
dan/atau
jasa
yang
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha
bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah
kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban
konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha
selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan
iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
B. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal
8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8).
Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16).
Larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17).
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU
PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang :
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut;
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu;
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label.
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
10.
Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di
bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak
jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan
Daerah. Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad
baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui
label, etiket maupun iklan harus dipenuhi. Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan
larangan sebagai berikut:
o Ayat (2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas,
dan tercemar
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
o Ayat (3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang
rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat,
bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah tersebut
diartikan sebagai berikut:
o Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
o Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang
sempurna.
o Bekas: sudah pernah dipakai.
o Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya
rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut
masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada
awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu
dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi. Ketentuan terakhir
dari pasal ini adalah: Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan
dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan
oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan
melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal
28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang
dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku
usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal
22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung
jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :
o Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
o Cacat barang timbul pada kemudian hari.
o Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
o kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
o Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu
yang diperjanjikan
D. Sanksi Bagi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
- Pengembalian uang atau
- Penggantian barang atau
- Perawatan kesehatan, dan/atau
- Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal
19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
- Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10,
- 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
- Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12,
- 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
*Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan
Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.
* Hukuman tambahan , antara lain :
· Pengumuman keputusan Hakim
· Pencabuttan izin usaha.
· Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
· Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
· Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat
CONTOH KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN:
Kasus 1:
Seorang pedagang daging giling terbukti menjual daging celeng yang disamarkan
sebagai daging sapi. Daging giling itu biasa digunakan untuk bahan baku bakso. "Sudah
diperiksa di laboratorium, hasilnya memang benar itu daging celeng," kata Kepala Seksi
Pengawasan dan Pengendalian Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Jakarta Barat,
Pangihutan Manurung, Senin, 5 Mei 2014.
Menurut Pangihutan, instansinya mendapat laporan tentang penjualan daging celeng
di di Jalan Pekojan III Tambora, Jakarta Barat. Penjualnya bernama bernama Sutiman Wasis
Utomo, 55 tahun. "Laporannya pekan lalu, dan langsung kami tindaklanjuti," kata Pangihutan.
Sutiman selama ini dikenal sebagai pengusaha rumahan yang menjual bakso olahan
untuk penjual bakso keliling. Sehari setelah laporan masuk, seorang pegawai Suku Dinas
Peternakan membeli bakso tersebut dan memeriksanya di laboratorium. Hasil pemeriksaan
menyatakan daging bakso itu mengandung daging babi hutan atau celeng.
Kepada para anggota tim pengawasan dari Suku Dinas Peternakan, Sutiman
mengaku membeli daging tersebut dari seorang lelaki bernama John, yang berdomisili di
Cengkareng, Jakarta Barat. Anggota tim saat ini sedang melacak arus distribusi bakso olahan
Sutiman.
Menurut Pangihutan, daging celeng yang dijual Sutiman tak melalui pengawasan
oleh Suku Dinas Peternakan. Celeng tersebut diburu di berbagai daerah di Pulau Jawa dan
langsung dipasarkan secara terselubung. "Tak ada jaminan daging yang dipasarkan itu sehat
dan layak dikonsumsi," katanya.
Atas perbuatan tersebut, Dinas Peternakan melaporkan Sutiman ke Polsek
Penjaringan. Dia dijerat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen. Sutiman dianggap menipu konsumen karena tak menyebutkan bahan baku
sebenarnya dan mengabaikan standar kesehatan. "Dia melanggar karena tak melewati proses
pengawasan dengan menggunakan babi dari rumah potong dan berterus terang kepada
pembeli," kata Pangihutan.
Kasus 2:
Kasus Susu Formula
Di Indonesia, nasib perlindungan konsumen masih berjalan tertatih-tatih. Hal-hal
menyangkut kepentingan konsumen memang masih sangat miskin perhatian. Setelah setahun
menunggu, Kementerian Kesehatan akhirnya mengumumkan hasil survei 47 merek susu
formula bayi untuk usia 0-6 bulan. Hasil survei menyimpulkan, tidak ditemukan bakteri
Enterobacter sakazakii.
Hasil ini berbeda dengan temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang
menyebutkan, 22,73% susu formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15
sampel) yang dipasarkan April hingga Juni 2006 terkontaminasi Enterobacter sakazakii.
Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut, yang jelas, kasus susu
formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut perlindungan konsumen. Ini
membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan (hukum) konsumen rupanya memang
masih miskin perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran konsumen dalam pembangunan
ekonomi.
PENYELESAIAN:
Kasus 1:
Dapat kita lihat di kasus ini terjadi dimana penjual daging ini tidak mengatakan
kepada konsumennya bahwa daging yang dia buat menjadi bakso itu adalah daging celeng.
Kita harus ketahui bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa. Dan konsumen akan sangat dirugikan
sekali bila mereka mengetahui bahwa daging yang dibelinya itu tidak sesuai dengan
kemasannya yang tertulis daging sapi.
Dan sebagai pelaku usaha seharusnya penjual daging ini memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi barang yang dijualnya. Pelaku telah melakukan
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dimana ketidaksesuaiaannya isi barang dengan
label kemasannya yang dituliskan daging sapi padahal didalamnya daging celeng.
Seperti yang dikatakan berita diatas, pelaku terjerat Pasal 62 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pasa ini berisikan bahwa :
1. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf
c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
2. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f
dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Kasus 2:
Agar tidak terulang lagi kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen, maka
kita sebagai konsumen harus lebih teliti dalam memilih atau memakai barang/jasa yang
ditawarkan, seperti:
1. Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk.
2. Teliti sebelum membeli (Baca keterangan label yang ada).
3. Biasakan belanja sesuai rencana.
4. Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan,
keselamatan,kenyamanan dan kesehatan.
5. Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.
6. Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa.
Sumber:
https://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen
http://ekoprabowoo.blogspot.co.id/2015/06/kasus-perlindungan-konsumen-uu-no-8.html
http://lindamaya.blogspot.com/2013/07/contoh-kasus-perlindungan-konsumen.html
http://www.investor.co.id/home/kasus-susu-formula-dan-perlindungan-konsumen/15923
2. HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual)
Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan suatu hukum
atau peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Menurut UU
yang telah disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 21 Maret 1997, HaKI adalah hak-hak secara
hukum yang berhubungan dengan permasalahan hasil penemuan dan kreativitas seseorang
atau beberapa orang yang berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam
bidang komersial (commercial reputation) dan tindakan / jasa dalam bidang komersial
(goodwill).
Dengan begitu obyek utama dari HaKI adalah karya, ciptaan, hasil buah pikiran,
atau intelektualita manusia. Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual
tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the
Human Mind) (WIPO, 1988:3). Setiap manusia memiliki memiliki hak untuk melindungi atas
karya hasil cipta, rasa dan karsa setiap individu maupun kelompok.
Kita perlu memahami HAKI untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya daya
kreasi dan inovasi intelektual sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh setiap manusia, siapa
saja yang ingin maju sebagai faktor pembentuk kemampuan daya saing dalam penciptaan
Inovasi-inovasi yang kreatif.
Prinsip-prinsip Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
Prinsip-prinsip Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) adalah sebagai berikut :
Prinsip Ekonomi
Dalam prinsip ekonomi, hak intelektual berasal dari kegiatan kreatif dari daya pikir manusia
yang memiliki manfaat serta nilai ekonomi yang akan member keuntungan kepada pemilik
hak cipta.
Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan merupakan suatu perlindungan hukum bagi pemilik suatu hasil dari
kemampuan intelektual, sehingga memiliki kekuasaan dalam penggunaan hak atas kekayaan
intelektual terhadap karyanya.
Prinsip Kebudayaan
Prinsip kebudayaan merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan, sastra dan seni guna
meningkatkan taraf kehidupan serta akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, bangsa
dan Negara.
Prinsip Sosial
Prinsip sosial mengatur kepentingan manusia sebagai warga Negara, sehingga hak yang telah
diberikan oleh hukum atas suatu karya merupakan satu kesatuan yang diberikan perlindungan
berdasarkan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat/ lingkungan.
Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Dalam penetapan HaKI tentu berdasarkan hukum-hukum yang sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Dasar-dasar hukum tersebut antara lain adalah :
Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the
World Trade Organization (WTO)
Undang-undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek
Undang-undang Nomor 13/1997 tentang Hak Paten
Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the
Protection of
Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual
Property Organization
Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the
Protection of
Literary and Artistic Works
Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut maka Hak atas Kekayaan Intelektual
(HaKI) dapat dilaksanakan. Maka setiap individu/kelompok/organisasi yang memiliki hak
atas pemikiran-pemikiran kreatif mereka atas suatu karya atau produk dapat diperoleh dengan
mendaftarkannya ke pihak yang melaksanakan, dalam hal ini merupakan tugas dari
Direktorat Jenderal Hak-hak Atas Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Perundangundangan Republik Indonesia.
Klasifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI)
Secara umum Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terbagi dalam dua kategori,
yaitu :
1.
Hak Cipta
2.
Hak Kekayaan Industri, yang meliputi :
Hak Paten
Hak Merek
Hak Desain Industri
Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Hak Rahasia Dagang
Hak Indikasi
Hak Cipta
Hak Cipta adalah Hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan ciptaannya atau
memperbanyak ciptaannya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19/2002 Pasal 1 ayat 1
mengenai Hak Cipta :
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak cipta termasuk kedalam benda immateriil, yang dimaksud dengan hak milik immateriil
adalah hak milik yang objek haknya adalah benda tidak berwujud (benda tidak bertubuh).
Sehingga dalam hal ini bukan fisik suatu benda atau barang yang di hak ciptakan, namun apa
yang terkandung di dalamnya yang memiliki hak cipta. Contoh dari hak cipta tersebut adalah
hak cipta dalam penerbitan buku berjudul “Manusia Setengah Salmon”. Dalam hak cipta,
bukan bukunya yang diberikan hak cipta, namun Judul serta isi didalam buku tersebutlah yang
di hak ciptakan oleh penulis maupun penerbit buku tersebut. Dengan begitu yang menjadi
objek dalam hak cipta merupakan ciptaan sang pencipta yaitu setiap hasil karya dalam bentuk
yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Dasar
hukum Undang-undang yang mengatur hak cipta antara lain :
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982
Nomor 15)
UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun
1997 Nomor 29)
Hak Kekayaan Industri
Hak kekayaan industri adalah hak yang mengatur segala sesuatu milik
perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum. Hak kekayaan industri sangat
penting untuk didaftarkan oleh perusahaan-perusahaan karena hal ini sangat berguna untuk
melindungi kegiatan industri perusahaan dari hal-hal yang sifatnya menghancurkan seperti
plagiatisme. Dengan di legalkan suatu industri dengan produk yang dihasilkan dengan begitu
industri lain tidak bisa semudahnya untuk membuat produk yang sejenis/ benar-benar mirip
dengan mudah. Dalam hak kekayaan industri salah satunya meliputi hak paten dan hak merek.
Hak Paten
Menurut Undang-undang Nomor 14/2001 pasal 1 ayat 1, Hak Paten adalah hak
eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil penemuannya di bidang
teknologi, yang untuk selama waktu tertentu dalam melaksanakan sendiri penemuannya
tersebut atau dengan membuat persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Paten
hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di
bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah
tertentu di bidang teknologi, hal yang
dimaksud berupa proses, hasil produksi,
penyempurnaan dan pengembangan proses, serta penyempurnaan dan pengembangan hasil
produksi.
Perlindungan hak paten dapat diberikan untuk jangka waktu 20 tahun terhitung
dari filling date. Undang-undang yang mengatur hak paten antara lain :
UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
(Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
UU Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109).
Hak Merek
Berdasarkan Undang-undang Nomor 15/2001 pasal 1 ayat 1, hak merek adalah
tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
kegiatan perdagangan barang atau jasa. Merek merupakan tanda yang digunakan untuk
membedakan produk/jasa tertentu dengan produk/jasa yang sejenis sehingga memiliki nilai
jual dari pemberian merek tersebut. Dengan adanya pembeda dalam setiap produk/jasa sejenis
yang ditawarkan, maka para costumer tentu dapat memilih produk.jasa merek apa yang akan
digunakan sesuai dengan kualitas dari masing-masing produk/jasa tersebut. Merek memiliki
beberapa istilah, antara lain :
Merek Dagang
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
Merek Jasa
Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan
jasa-jasa sejenis lainnya.
Merek Kolektif
Merek Kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik
yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara
bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis lainnya.
Selain itu terdapat pula hak atas merek, yaitu hak khusus yang diberikan negara
kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu,
menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya. Dengan terdaftarnya suatu
merek, maka sudah dipatenkan bahwa nama merek yang sama dari produk/jasa lain tidak
dapat digunakan dan harus mengganti nama mereknya. Bagi pelanggaran pasal 1 tersebut,
maka pemilik merek dapat mengajukan gugatan kepada pelanggar melalui Badan Hukum atas
penggunaan nama merek yang memiliki kesamaan tanpa izin, gugatan dapat berupa ganti rugi
dan penghentian pemakaian nama tersebut.
Selain itu pelanggaran juga dapat berujung pada pidana yang tertuang pada bab V
pasal 12, yaitu setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang
sama secara keseluruhan dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain,
untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan diperdagangkan, dipidana penjara paling
lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,Oleh karena itu, ada baiknya jika merek suatu barang/jasa untuk di hak patenkan
sehingga pemilik ide atau pemikiran inovasi mengenai suatu hasil penentuan dan kreatifitas
dalam pemberian nama merek suatu produk/jasa untuk dihargai dengan semestinya dengan
memberikan hak merek kepada pemilik baik individu maupun kelompok organisasi
(perusahaan/industri) agar dapat tetap melaksanakan kegiatan-kegiatan perekonomiannya
dengan tanpa ada rasa was-was terhadap pencurian nama merek dagang/jasa tersebut.
Undang-undang yang mengatur mengenai hak merek antara lain :
UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992
Nomor 81)
UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang
Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001
Nomor 110)
Dalam pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa HaKI adalah bagian penting
dalam penghargaan dalam suatu karya dalam ilmu pengetahuan, sastra maupun seni dengan
menghargai hasil karya pencipta inovasi-inovasi tersebut agar dapat diterima dan tidak
dijadikan suatu hal untuk menjatuhkan hasil karya seseorang serta berguna dalam
pembentukan citra dalam suatu perusahaan atau industri dalam melaksanakan kegiatan
perekonomian.
CONTOH KASUS HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual):
Kasus 1:
MA Tolak Gugatan Bajaj ke Honda Soal Hak Paten
Bajaj mengklaim teknologi dua busi satu silinder adalah miliknya.
VIVAnews – Mahkamah Agung (MA) hari ini telah memutuskan perkara
perseteruan antara produsen sepeda motor Bajaj dan Honda terkait hak paten penggunaan dua
busi dalam satu silinder pada mesin sepeda motor. Hasilnya, gugatan hukum Bajaj ke Honda
soal sengketa itu ditolak.
MA “Menolak permohonan kasasi Bajaj Auto Limited,” begitu bunyi pengumuman
panitera MA, Kamis 30 Agustus 2012. Ini terkait vonis yang diputuskan di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat pada 15 Agustus 2012 lalu oleh Ketua Majelis Hakim Agung, Muhammad
Taufik, serta Hakim Anggota Djafni Djamal dan Takdir Rahmadi.
MA, dalam amarnya, memutuskan Honda sebagai perusahaan yang pertama kali
mematenkan penggunaan dua busi dalam satu silinder pada mesin sepeda motor masa kini.
Perkara hak paten yang terdaftar dengan nomor 802 K/PDT.SUS/2011 itu terkait
paten penggunaan mesin motor yang menggunakan ystem mesin dua busi dalam satu silinder
pada mesin sepeda motor. Bajaj, perusahaan asal India, mengklaim penggunaan dua busi
dalam satu silinder pada produk mereka itu merupakan ystem pertama yang digunakan di
dunia.
Argumen Honda
Namun, sebagai perusahaan sepeda motor dan mobil ternama di dunia asal Jepang,
Honda membantah klaim Bajaj. Berdasarkan versi Ditjen HAKI, ystem itu telah dipatenkan
atas nama Honda Giken Kogyo Kabushiki Kaisha di Amerika Serikat pada 1985.
Lantas, oleh Honda didaftarkan di Indonesia pada 28 April 2006. Penemu ystem itu dalam hak
paten yang sudah didaftarkan Honda atas nama Minoru Matsuda.
Namun dalih ini dimentahkan oleh Bajaj. Satu silinder, menurut perusahaan itu,
jelas berbeda dengan dua silinder. Klaim Bajaj bahwa untuk konfigurasi busi memang masih
kemungkinan ada klaim yang baru, terutama dalam silinder dengan karakter lain.
Klaim baru yang dimaksud adalah ukuran ruang yang kecil di mana harus ada busi
dengan jumlah yang sama. Hal di atas adalah baru sebab penempatannya pada satu mesin V
(double silinder) dan lainnya adalah satu silinder.
Terlambat Sehari
Putusan kasasi MA kian menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam sidangnya, majelis PN Jakpus menolak gugatan Bajaj tersebut. Alasannya, Bajaj
terlambat satu hari mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat dari batas maksimal tiga bulan
setelah mengajukan gugatan ke keputusan Komisi Banding Merek.
Majelis PN Jakpus bahkan tidak berani menilai, siapa yang pertama kali
mematenkan dua busi dalam satu silinder pada mesin sepeda motor modern. Ketika
dikonformasi, PT Bajaj Auto Indonesia dan PT Astra-Honda Motor enggan berkomentar. “Itu
urusan Bajaj Auto Limited India. Kami tak yst komentar,” kata Marketing dan PR Manager
PT Bajaj Auto Indonesia, Rizal Tandju, melalui pesan singkat. Demikian juga dengan
perwakilan Honda di Indonesia. Public Relation Manager PT Astra Honda Motor, Ahmad
Muhibbuddin, juga mengaku itu urusan Honda Jepang. “Bukan Astra Honda Motor,” katanya.
(ren)
Kasus 2:
Kasus Merek Marlboro Cleartaste, Philip Morris Kalah Lawan Japan Tobacco
Jakarta - Upaya perusahaan rokok asal Amerika Serikat (AS) Philip Morris untuk
membatalkan merek rokok Clear milik Japan Tobacco gagal. Sebab kantor hukum SKC Law
tidak sah secara hukum untuk mewakili Philip.
"Majelis memutuskan gugatan tidak dapat diterima," kata ketua majelis hakim
Lidya Sasando saat membacakan putusan, di Pengadilan Negeri Jakarat Pusat (PN Jakpus), Jl
Gajah Mada, Jakarta, Selasa (11/2/2014).
Hakim berpendapat jika SCK Law dianggap tidak dapat mewakili Managing
Director Philip Morris sebagai pihak penggugat. Saat dimintai keterangan, kuasa hukum
Philip memilih tak memberikan statemen apa pun. Sementara itu kuasa hukum Japan Tobacco
diketahui tidak hadir.
Kasus ini berawal saat Japan Tobacco mendaftarkan merek Clear ke Ditjen HKI.
Philip Morris tak terima dengan merek tersebut karena dianggap sama dengan merek
produknya Marlboro Cleartaste. Atas hal itu, Philip Morris pun menggugat.
Marlboro merupakan merek rokok yang diproduksi oleh Philip Morris International,
perusahaan rokok nomor satu dunia. Merek rokok ini pertama kali ditampilkan pada tahun
1904.
PENYELESAIAN:
Kasus 1:
Dari contoh kasus hak paten diatas bahwa sepeda motor Bajaj dan Honda terkait
hak paten penggunaan dua busi dalam satu silinder telah digunakan pada mesin sepeda motor
Bajaj. Perusahaan asal India, mengklaim penggunaan dua busi dalam satu silinder pada
produk mereka itu merupakan ystem pertama yang digunakan di dunia. Namum MA, dalam
amarnya memutuskan Honda sebagai perusahaan yang pertama kali mematenkan penggunaan
dua busi dalam satu silinder pada mesin sepeda motor masa kini. Akan tetapi dalih ini
dimentahkan oleh Bajaj. Satu silinder, menurut perusahaan itu, jelas berbeda dengan dua
silinder. Klaim Bajaj bahwa untuk konfigurasi busi memang masih kemungkinan ada klaim
yang baru, terutama dalam silinder dengan karakter lain. Karena terlambat sehari putusan
kasasi MA kian menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam sidangnya,
majelis PN Jakpus menolak gugatan Bajaj tersebut. Alasannya, Bajaj terlambat satu hari
mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat dari batas maksimal tiga bulan setelah mengajukan
gugatan ke keputusan Komisi Banding Merek.
Kasus 2:
Dari contoh kasus merek diatas bahwa upaya perusahaan rokok asal Amerika
Serikat (AS) Philip Morris untuk membatalkan merek rokok Clear milik Japan Tobacco gagal.
Sebab kantor hukum SKC Law tidak sah secara hukum untuk mewakili Philip. Kasus ini
berawal saat Japan Tobacco mendaftarkan merek Clear ke Ditjen HAKI. Philip Morris tak
terima dengan merek tersebut karena dianggap sama dengan merek produknya Marlboro
Cleartaste. Atas hal itu, Philip Morris pun menggugat. Pada akhirnya Marlboro merupakan
merek rokok yang diproduksi oleh Philip Morris International, perusahaan rokok nomor satu
dunia. Merek rokok ini pertama kali ditampilkan pada tahun 1904.
Sumber:
https://dhiasitsme.wordpress.com/2012/03/31/hak-atas-kekayaan-intelektual-haki/
http://otomotif.news.viva.co.id/news/read/347543-soal-paten--ma-tolak-gugatan-bajaj-kehonda
http://news.detik.com/read/2014/02/11/191542/2493835/10/kasus-merek-marlboro-cleartastephilip-morris-kalah-lawan-japan-tobacco?nd771104bcj
http://id.wikipedia.org/wiki/Paten
http://id.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta
http://id.wikipedia.org/wiki/Merek
3. Persaingan Usaha Tidak Sehat
A. Pengertian Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Menurut UU No. 5 Tahun 1999, monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan
dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
Menurut Sherman Act, ada beberapa hal yan berhubungan dengan proses
terjadinya monopoli secara ilmiah, yaitu:
1. Monopoli terjadi akibat dari suatu superrior skill, yang salah satunya dapat terwujud dari
pemberian hak paten secara eksklusif oleh negara, berdasarkan pada peraturan perundangundangan yang berlaku kepada pelaku usaha tertentu atas hasil riset dan pengembangan
atas teknologi tertentu. Selain itu ada juga yang dikenal dengan istilah Trade Secret
(rahasia dagang), yang meskipun tidak memperoleh eksklusivitas pengakuan oleh negara,
namun dengan rahasia dagangnya mampu membuat produk yang superior.
2. Monopoli terjadi karena pemberian negara (Ketentuan pasal 33 (2) dan 33 (3) UUD 1945
yang dikutip kembali dalam pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999)
3. Monopoli yang terjadi akibat adanya historical accident, yaitu monopoli yang terjadi
karena tidak disengaja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan oleh
berbagai faktor terkait dimana monopoli tersebut terjadi. Dalam hal ini penilaian mengenai
pasar bersangkutan yang memungkinkan terjadinya monopoli menjadi sangat relevan.
Terdapat dua teori yang terdapat dalam hukum anti monopoli, yaitu:
1. Teori Perse, teori yang melarang monopoli an sich, tanpa melihat apakah ada ekses
negatifnya. Beberapa bentuk kartel, monopoli dan persaingan usaha tidak sehat harus
dianggap dengan sendirinya bertentangan dengan hukum. Titik beratnya adalah unsur
formal dari perbuatan tersebut.
2. Teori Rule of Reason, teori ini melarang kartel dan monopoli jika dapat dibuktikan bahwa
ada ekses negatifnya.
B.
Proses Monopolisasi
Ada beberapa argumen yang dapat dikemukakan sehubungan dengan proses
terjadinya monopoli secara ilmiah. Hal tersebut antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Monopoli terjadi akibat dari suatu superior skill, yang salah satunya dapat terwujud dari
peberian hak paten secara ekslusif oleh Negara.
2. Monopoli terjadi karena pemberian Negara. Di Negara kita hal ini sangat jelas dapat dilihat
dalam ketentuan pasal 33 (2) dan 33 (3) UUD 1945 yang dikutip kembali dalam pasal 51
UU No. 5 tahun 1999.
3. Monopoli yang terjadi akibat adanya historical accident, yaitu monopoli yang terjadi
karena tidak sengaja, dan berlangsung karena proses alamiah, yang ditentukan oleh
berbagai faktor terkait dimana proses monopoli itu terjadi.
Untuk menilai berlangsungnya suatu proses monopolisasi, sehingga dapat terjadi
suatu bentuk monopoli yang dilarang ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Penentuan mengenai pasar bersangkutan (the relevant market)
Dalam UU No.5 Tahun 1999, pasar bersngkutan didefinisikan sebagai pasar yang
berkaitan dengan jangkuan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang atau
jasa yang sama atau subtitusi dari barang atau jasa tesebut.
Untuk menetukan relevansi atau kedudukan dari suatu pasar bersangkutan pada
umumnya orang mencoba mendekatinya melalui pendekatan sensifitas produk. Salah satu
yang dapat dipakai adalah pendekatan “elasticity of demand”. Untuk menilai relevansi
keterkaitanya
dengan
produk
competitor
deperkenalkan
konsep
“cross
elasticity
demand/CED” antara kedua produk yang saling dikaitkan.
Dalam hal ini terdapat beberapa hal yang dapat dianggap cukup relevan dan
berpengaruh yaitu:
a. Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan ptrhadap perilaku penting terhadap
usaha dan kinerja pasar antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan
keluar pasar,keragama produk, system distribusi dan penguasaan pangsa pasar.
b. Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalamkapasitasnya
sebagai pemasok atau pembeli barang atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan, antara
lain pencapaian laba, pertumbuhan aset, target penjualan dan metode persaingan yang
digunakan.
c. Pangsa pasar adalah presentase nilai jual dan beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai
oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kelender tertentu.
d. Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan jasa sesuai kesepakatan
antara pihak dalm pasar yang bersangkutan.
2. Penilaian terhadap keadaan pasar dan jumlah pelaku usaha.
Pelaku usaha dianggap menguasai pangsa pasar secara monopoli.jika ia mempunyai
pangsa pasar lebih dari 75%. UU No. 5 Tahun 1999 pasal 4 (2) menyatan bahwa “Pelaku
usaha patut diduga dan dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan
pemasaran barang atau jasa, jika 2 atau 3 pelaku usaha atau kelompok pelaku uasaha
menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu atau jenis barang atau jasa tertentu.
3. Ada tidaknya kehendak untuk melakukan monopoli oleh pelaku usaha tertentu.
Pada pasar bersangkutan yang sudah jenuh, kehendak untuk menjadi besar
terkadang dilaksanakan dengan cara yang tidak wajar dan tidakk sehat.
Monopoli dilarang karena mengandung beberapa efek negatif yang
merugikan,
yaitu:
a. Terjadi peningkatan suatu produk. Harga yang tinggi akan menyebabkan inflasi yang
merugikan masyarakat luas.
b. Adanya kekurangan (profil) diatas kewajaran yang normal, pelaku usaha akan menetapkan
harga agar meperoleh keuntungan yang sangat besar karena konsumen tidak ada pilihan
lain dan terpaksa membeli produk tersebut.
c. Terjadinya eksploitasi terhadap konsumen karena tidak adanya hak pilih konsumen atas
produk.
d. Terjadi ketidakekonomisan dan ketidakefisiensi yang akan dibebankan kepada konsumen
dalam menghasilkan suatu produk karena perusahaan monopoli cenderung tidak beroprasi
pada average cost yang minimum.
e. Adanya entry barrier dimana perusahaan lain tidak dapat masuk kedalam bidang usaha
perusahaan monopoli.
f. Pendapatan tidak merata karena sumber dana dan modal tersedot kedalam perusahaan
monopoli.
C. Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Praktek monopoli adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih
pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan
atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum. Pada dasarnya, ada 4 unsur yang terdapat dalam praktek monopoli:
1. Adanya pemusatan kekuatan ekonomi
2. Pemusatan kekuatan tersebut berada pada satu atau lebih pelaku usaha ekonomi
3. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut menimbulkan persaingan usaha tidak sehat
4. Pemusatan kekuatan ekonomi tersebut merugikan kepentingan umum.
Dalam UU No. 5 Tahun 1999 dijelaskan bahwa selama suatu pemusatan kekuatan
ekonomi tidak menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat, maka hal itu tidak dapat
dikatakan telah terjadi suatu praktek monopoli, yang melanggar atau bertentangan dengan
undang-undang ini, meskipun monopoli itu sendiri secara nyata terjadi (dalam bentuk
penguasaan produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa tertentu). Jadi, sebenarnya
monopoli tidak dilarang, yang dilarang adalah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu prasyarat pokok dapat
dikatakan telah terjadi suatu pemusatan ekonomi adalah terjadinya penguasaan nyata dari
suatu pasar bersangkutan sehingga harga dari barang atu jasa yang diperdagangkan tidak lagi
menggikuti hukum ekonomi mengenai permintaan dan penjualan, melainkan semata-mata
ditentukan oleh satu atau lebih pelaku ekonomi yang menguasai pasar tersebut.
D. Perjanjian-Perjanjian yang Dilarang
Pengertian Perjanjian
Dalam UU, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih
pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama
apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Jika dibandingkan definisi UU dengan ketentuan
pasal 1313 KUHP, yang menjelaskan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dan sebagai
konsekuensinya perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tidak dapat ditarik
kembali oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut, kecuali penarikan atau pencabutan
tersebut juga disepakati secara bersama oleh kedua belah pihak.
Sahnya Perjanjian
Ketentuan pasal 1320 KUHP mensyaratkan dipenuhinya 4 syarat untuk sah nya
suatu perjanjian:
1.
Adanya kesepakatan bebas dari para pihak yang berjanji
2.
Adanya kecakapan untuk bertindak dari para pihak yang berjanji
3.
Adanya suatu obyek yang diperjanjikan
4.
Bahwa perjanjian tersebut adalah sesuatu yang diperkenankan, baik oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk kebiasan dan kepatuhan
hukum, serta kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku pada waktu perjanjian tersebut
dibuat atau dilaksanakan
Dua persyaratan (pertama dan kedua) dalam ilmu hukum disebut dengan syarat
subyektif, karena kedua hal tersebut berhubungan langsung dengan subyek hukum yang
melakukan perbuatan hukum perjanjian tersebut. Selanjutnya dua persyaratan terakhir (ketiga
dan keempat) dalam ilmu hukum lebih dikenal dengan syarat obyektif.
Perjanjian yang Dilarang
Untuk mencegah terjadinya monopoli atau persaingan usaha tidak sehat, undangundang melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian tertentu dengan pelaku usaha
lainnya. Larangan tersebut merupakan larangan terhadap keabsahan obyek perjanjian. Dalam
undang-undang obyek perjanjian yang dilarang untuk dibuat antara pelaku usaha dengan
pelaku usaha lainnya adalah sebagai berikut:
1. Melakukan penguasaan produksi atau pemasaran barang atau jasa yang dapat
mengakibatkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat (pasal 4 ayat (1))
2. Menetapkan harga tertentu atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen
atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama (pasal 5 ayat (1)), dengan
pengecualian:
a.
Perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan
b.
Perjanjian yang didasarkan UU yang berlaku (pasal 5 ayat (2))
3. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang
berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama
(pasal 6)
4. Menetapkan harga dibawah pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha
tidak sehat (pasal 7)
5. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang atau jasa tidak akan menjual
atau memasok kembali barang dan jasa yang telah diterima (pasal 8)
6. Perjanjian yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap
suatu barang dan jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat (pasal 9)
7. Perjanjian yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama,
baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri (pasal 10 ayat (1))
8. Perjanjian untuk menolak menjual setiap barang dan jasa dari pelaku usaha lain, yang
mengakibatkan:
a. Kerugian atau dapat diduga menerbitkan kerugian bagi pelaku usaha lain
b. Pembatasan bagi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang atau jasa
dari pasar bersangkutan (pasal 10 ayat (2))
9. Perjanjian yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan pemasaran
suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat (pasal 11)
10.Perjanjian untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau
perseroan yang lebih besar (pasal 12)
11.Perjanjian yang bertujuan untuk bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan
pasokan barang atau jasa tertentu (pasal 13 ayat (1))
12.Perjanjian yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat (pasal 14)
13.Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang atau jasa hanya
akan memasok atau tidak memasok kem