Perkembangan Peraturan dan Peradilan Dal

Perkembangan Peraturan dan Peradilan Dalam Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Oleh:
Respati Nadia Putri
110620170034

Dosen:
Prof. Dr. H. Rukmana Amanwinata, S.H., M.H.
Dr. Hernadi Affandi, S.H., LL.M.

Diajukan Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Mata Kuliah
Politik Hukum

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG
2017

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ................................................................................................ i
PERNYATAAN ......................................................................................... ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 1
BAB II TINJAUAN MENGENAI

TINDAK PIDANA KORUPSI

DAN PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI
INDONESIA
A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Korupsi ....... …………………….3
1. Pengertian Korupsi …………………………………………….4
2. Subjek Korupsi ………………………………………………...4
3. Faktor Penyebab Korupsi ……………………………………...5
B. Tinjauan Tentang Peraturan Korupsi di Indonesia............................ 6
1. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 …6

2. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 …….7
3. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ………………………8
C. Tinjauan Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 10
1. Pembentukan Pengadilan Tipikor dan Kedudukannya ................10
2. Peradilan In Absentia dalam Tindak Pidana Korupsi ...................11

i

ii

BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………….. 13
B. Rekomendasi................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 14

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa tugas ini dibuat oleh saya sendiri tanpa bekerja sama
dengan pihak lain. Adapun sumber kutipan dan referensi yang digunakan dalam tugas ini telah

kami cantumkan sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah di Universitas Padjadjaran.
Apabila pernyataan ini terbukti sebaliknya saya bersedia menerima sanksi akademik yang
berlaku di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Bandung, 23 November 2017

( Respati Nadia Putri )

iii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Politik hukum yaitu sebagai aktivitas memilik dan cara yang hendak dipakai untuk
mencapai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. 1 Politik
hukum juga dapat diartikan sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang
hukum yang akan, sedang dan telah berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara
yang dicita-citakan.2 Politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan yang harus diadakan
dalam hukum yang sekarang berlaku menjadi sesuai dengan kenyataan sosial, selain itu
untuk menjauhkan tatanan hukum dari kenyataan sosial dalam hal politik hukum menjadi alat

dalam ruling class yang hendak menjajah tanpa memperhatikan kenyataan sosial itu.3 Setiap
negara pasti memiliki tujuan negara yang dicita-citakan, maka setiap negara memiliki politik
hukum nasional.
Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara negara (Republik
Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara (Republik Indonesia)
yang dicita-citakan. Agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu: 4
1. Masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak;
2. Penyelenggaraan negara pembentuk kajian dasar tersebut;
Bermanfaat untuk memahami faktor-faktor yang mempengruhi karakteristik politik
hukum nasional. Faktor-faktor tersebut meliputi:5
a. Sejarah;
b. Geografi;
c. Tradisi lokal;
d. Kostelasi sosial-politik;
1

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991. hlm 352
Imam Syaukani & A.Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
hlm 58

3
Abdul Latif & Hasbi Ali, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. hlm 21
4
Op.Cit, Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari. hlm 58
5
Ibid. hlm 113
2

1

2

e. Ekonomi;
f. Agama.
3. Materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang dan telah berlaku;
4. Proses pembentukan hukum; dan
5. Tujuan politik hukum nasional.
Tujuan politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita
Negara Republik Indonesia.
Lembaga yang dapat melakukan kewenangan dalam menentukan politik hukum nasional

dengan merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang telah mengalami
amandemen sebanyak empat kali yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). MPR berwenang untuk melakukan penetapan atau perubahan
terhadap UUD, hal ini merupakan politik hukum, yang mana segala bentuk perubahan dan
penetapan yang dilakukan merupakan salah satu kebijaksanaan dasar dari penyelenggara
negara dan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan negara.6 DPR dapat merumuskan
politik hukum dalam bentuk undang-undang karena kedudukannya sebagai lembaga
legislatif.7
Sumber hukum pidana dalam kodifikasi yaitu ketentuan yang tercantum dalam pasalpasal dalam KUHP, sedangkan hukum pidana yang bersumber pada peraturan perundangundangan diluar KUHP dapat disebut tindak pidana khusus.8 Korupsi merupakan tindak
pidana khusus (white collar crime) yang merusak

pembangunan dan pemenuhan

kesejahteraan sebuah negara, yang berawal dari tindakan individu karena ketamakan
personal, kini berkembang menjadi tindakan terorganisir dan terstruktur secara komunal
yang merusak tatanan hukum, politik, sosial, ekonomi, dan budaya bangsa. Diperlukan suatu
sistem hukum yang konkrit dalam mengatasi pemasalahan korupsi di Indonesia, baik dari
undang-undang formil maupun materiil, lembaga untuk menangani korupsi dan peradilan
yang khusus pula untuk memberikan vonis terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
B. Identifikasi Masalah

1. Bagaimanakah perkembangan peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana
korupsi?
6

Ibid. hlm 115
Ibid. hlm 118
8
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Alumni, 2008. hlm 1
7

3

2. Bagaimanakah perkembangan sistem peradilan dalam mengatasi perkara tindak pidana
korupsi?

BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENGADILAN
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
A. Pengertian, Subjek Korupsi dan Faktor Penyebab Korupsi
Korupsi berasal dari kata Latin corruption atau corruptu, dalam bahasa Inggris dan

Prancis corruption, dan dalam bahasa Belanda korruptie. Menurut Waterbury, korupsi
terbagi dalam dua definisi yang beda yakni korupsi dalam arti hukum dan korupsi
berdasarkan norma. Korupsi dalam arti hukum adalah tingkah laku mengurus kepentingan
sendiri dengan merugikan orang lain dilakukan oleh pejabat pemerintah yang melanggar
batas-batas hukum, sedangkan korupsi menurut norma yaitu korup atau tidaknya pejabat
ditentukan berdasarkan pandangan masyarakat berdasarkan norma yang berlaku pada
masyarakat tersebut.9
Berdasarkan hukum positif di Indonesia, substansi korupsi terlihat dari pasal tentang
kejahatan terkait jabatan dalam KUHP akan tetapi tidak menjelaskan dan menyatakan
korupsi sebagai suatu tindak kejahatan. Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) adalah setiap orang perseorangan atau
korporasi secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri atau orang lain
atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Subjek Dalam Korupsi
Berdasarkan definisi tindak pidana korupsi di atas dapat disimpulkan subjek dalam delik
tindak pidana korupsi yaitu orang perseorangan (dalam Pasal 1 UU Tipikor menunjuk
kepada Pegawai Negeri) dan Korporasi. Pegawai Negeri yang dimaksud oleh undangundang ini meliputi orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah atau menerima gaji atau upah dari suatu badan/badan hukum yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan
modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.10 Pasal 1 ayat (2) UU

“Tipikor yang dimaksud dalam Pegawai Negeri adalah:
1. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;
9

Oce Madril & Hasrul Halili, Pengertian Korupsi dalam Hukum Anti Korupsi, Bandung: USAID, 2011. hlm 17
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2007. hlm 81
10

4

5

2. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
3. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
4. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah; atau
5. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal
atau fasilitas dari negara atau masyarakat.”
Pejabat Administrasi Negara merupakan penyalahgunaan wewenang yang dikategorikan

sebagai tindak pidana korupsi apabila suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan dalam
hal tertentu yang belum ada peraturan yang mengaturnya atau adanya aturan yang mengatur
namun samar sehingga diperlukan kebebasan menilai dari Pejabat Administrasi Negara dan
tindakan tersebut menyimpang dari yang seharusnya dilakukan dengan sengaja sehingga
memenuhi ketentuan melakukan suatu tindak pidana korupsi dengan batasan:11
1. Diskresi yang digunakan menyimpang dari tujuan peraturan yang mendasari
kewenangan pejabat administrasi negara; dan
2. Diskresi yang digunakan dimaksudkan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi sehingga dapat merugikan keuangan atau perekonomian
negara.
Pasal 1 ayat (1) UU Tipikor menjelaskan korporasi adalah kumpulan orang atau kekayaan
yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Pemidanaan
terhadap korporasi hendaknya memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan
usaha melalui kebijakan pengurus dan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak
menghapus kesalahan perorangan.12
3. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
Pelaksanaan

Tindak


Pidana

Korupsi

tidak

terlepas

dari

faktor-faktor

yang

memperngaruhinya, adapun faktor-faktor tersebut:13
1. Lemahnya pendidikan agama dan etika;
2. Kolonialisme. Suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan
yang diperlukan untuk membentuk korupsi;
3. Kemiskinan dan keserakahan;
11

Yopie Morya Immanuel Patiro, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana Korupsi , Bandung: Keni Media,
2011. hlm 194
12
Muladi, Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Dalam Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
19997, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Volume IV Nomor 1, 1998. hlm 9
13
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. hlm 11

6

4. Tidak ada sanksi yang keras;
5. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi;
6. Struktur pemerintahan;
7. Perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
B. Peraturan Perundang-undangan tentang Tindak Pidana Korupsi
1. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
Pemerintah membentuk hukum positif guna menangani perkara korupsi telah dilakukan
dari beberapa masa perubahan peraturan peundang-undangan. Korupsi pada awalnya diatur
dalam Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957 yang berlaku untuk daerah kekuasaan
Angkatan Darat.14

Peraturan ini berisi tentang pembentukan badan yang berwenang

mewakili negara untuk menggugat secara perdata orang-orang yang dituduh melakukan
perbuatan korupsi yang bersifat keperdataan ke Pengadilan Tinggi, dan munculnya lembaga
Pemilik Harta Benda (PHB) untuk menyita harta benda yang dianggap hasil korupsi sambil
menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.15 Peraturan tersebut diimplementasikan dalam
peraturan pelaksana pada Peraturan Pemerintah Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat
Nomor PRT/PEPERPU/031.1958 dan Peraturan Penguasaan Perang Pusat Kepala Staf
Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/1/7.1958 tanggal 17 April 1958.
Undang-Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1961, sebagai konsekuensi bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat
tentang pemberantasan korupsi itu bersifat darurat, temporer, yang berlandaskan kepada
Undang-Undang Keadaan Bahaya, dicabut karena keadaan sudah menjadi normal.16
Perubahan yang ada dalam undang-undang tersebut yaitu pada Pasal 1 ayat (1) sub b, kata
“perbuatan” diubah menjadi “tindakan” karena undang-undang ini memakai istilah “tindak
pidana korupsi”. Pada sub c ditambahkan Pasal 415-417, 423, 425, dan 435 KUHP (pasalpasal tersebut merupakan ketentuan yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan). Pasal-

14

Op.Cit. Evi Hartanti. hlm 22
Ibid. hlm 22
16
Op.Cit. Oce Madril & Hasrul Halili. hlm 18
15

7

pasal tersebut tidak dimasukan ke dalam peraturan sebelumnya padahal penggelapan dalam
jabatan merupakan salah satu bentuk korupsi disamping suap menyuap.17
2. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971
Pada tahun 1971 lahir Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dalam undang-undang ini terdapat beberapa jenis tindak pidana
korupsi:18
a. Barang siapa dengan melawann hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain, atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau
patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
b. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
c. Barang siapa yang melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 209,210,387,388,
415-420, 423, dan 435 KUHP;
d. Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud
dalam Pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan atau suatu wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu;
e. Barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang
tersebut dalam Pasal 418-420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut
kepada yang berwajib;
f. Barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak
pidana tersebut diatas.

17
18

Op.Cit. Andi Hamzah. hlm 42
Op.Cit. Oce Madril & Hasrul. hlm 19

8

Perumusan tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini mengalami kemajuan dibanding
peraturan sebelumnya. Adapun kemajuan tersebut meliputi:19
a. Perumusan tindak pidana korupsi dengan unsur melawan hukum, sedangkan perturan
terdahulu dirumuskan dengan unsur dengan atau karena melakukan suatu tindak
kejahatan atau pelanggaran.;
b. Bentuk delik korupsi merupakan delik formil, artinya delik korupsi memiliki unsurunsur, bentuk, dan akibat perbuatan dari tidak disyaratkan untuk selesainya delik,
sedangkan dalam peraturan terdahulu merumuskan delik korupsi sebagai delik
materiil;
c. Perluasan bentuk tindak pidana korupsi berupa percobaan dan pemufakatan
melakukan tindak pidana korupsi sudah dikualifikasikan sebagai tindak pidana
korupsi.
Undang-undang ini tidak sesuai dengan perkembangan kejahatan tindak pidana korupsi pada
tahun 1999.
3. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001
Pasca gerakan reformasi, disahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah mengalami perubahan dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kedua undang-undang ini masih
berlaku hingga sekarang. Aspek pembaharuan yang dapat diposisikan sebagai karakteristik
yuridis yang melekat dalam UU Tipikor, yaitu:20
a. Rumusan secara eksplisit tentang tindak pidana korupsi sebagai delik formil, sehingga
dengan demikian setiap pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan
penuntutan pidana terhadap terdakwa;
b. Diterapkannya konsep ajaran melawan hukum materil dalam fungsinya secara positif;
19
20

Op.Cit. Evi Hartanti. hlm 24-25
Op.Cit. Oce Madril & Hasrul. hlm 20

9

c. Adanya pengaturan tentang korporasi sebagai subjek hukum selain perorangan;
d. Adanya pengaturan tentang wilayah berlakunya atau yurisdiksi kriminal yang dapat
diberlakukan ke luar batas teritorial Indonesia;
e. Adanya pengaturan tentang sistem pembalikan pembutian terbatas atau berimbang;
f. Adanya pengaturan tentang ancaman pidana dengan sistem minimun khusus
disamping ancaman maksimum;
g. Adanya ancaman pidana mati sebagai unsur pemberat;
h. Adanya pengaturan tentang penyidikan gabungan dalam perkara tindak pidana korupsi
yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi Jaksa Agung;
i. Adanya pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia bank yang lebih luas yang
diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa yang dapat dilanjutkan
dengan penyitaan;
j. Adanya pengaturan tentang peran serta masyarakat sebagai sarana kontrol sosial yang
dipertegas dan diperluas, sehingga perlindungan hukum terhadap saksi pelapor lebih
optimal dan efektif;
k. Adanya pengaturan yang mengamanatkan kepada pembuat undang-undang untuk
membentuk sebuah komisi pemberantasan tindak pidana korupsi yang independen;
l. Adanya pengakuan secara eksplisit yang menyebutkan korupsi sebagai tindak pidana
luar biasa (extra ordinary crime) yang tindak kejahatannya harus diberantas secara
luar biasa;
m. Dirumuskan gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi;
n. Penganutan sistem pembalikan beban pembuktian secara terbatas;

10

o. Perluasan sumber alat bukti petunjuk yang diperoleh dari informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik.
Secara keseluruhan telah menggambarkan adanya pembaharuan hukum pidana dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. Undang-undang tersebut dapat terlihat bahwa
pembetuk undang-undang secara sistematis merumuskan tentang tindak pidana korupsi.
C. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
1. Pembentukan Pengadilan Tipikor dan Kedudukannya
Pengadilan Tipikor diatur dalam Bab Ketentuan Peralihan Undang-Undang nomor 46
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor), terbitnya
undang-undang ini karena dicabutnya Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU KPK) oleh putusan MK nomor
12-16-19/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, putusan itu muncul dikarenakan Pasal
53 UU KPK bertentangan dengan konstitusi yang mana pengadilan Tipikor yang
kewenangannya terbatas pada perkara korupsi yang penuntutannya dilakukan oleh KPK
menimbulkan dualisme penanganan perkara korupsi yang mana perkara Tipikor yang
penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan tetap diadili di pengadilan biasa, juga pengaturan
mengenai pengadilan Tipikor seharusnya diatur tersendiri, hal ini melihat pada Pasal 24
ayat (5) UUD.21
Perbedaan pengaturan pengadilan Tipikor dalam UU Pengadilan Tipikor dengan UU
KPK tidaklah banyak. Perbedaan yang mencolok yaitu perbedaan jumlah pasal yang
mengaturnya, kewenangan (diperluas dalam UU Pengadilan Tipikor), serta syarat
pemberhentian hakim ad hoc. Kewenanga Pengadilan Tipikor awalnya hanya dibatasi pada
perkara korupsi, sekarang sedikit diperluas pada perkara pencucian uang yang terbatas pada
pencucian uang yang tindak pidananya berasal dari tindak pidana korupsi.22
Pasal 35 menyatakan bahwa Pengadilan Tipikor dibentuk disetiap Pengadilan Negeri
ibukota provinsi dengan kewenangan seluruh daerah hukum masing-masing, pengadilan ini

21

Toetik Rahayuningsih & Indra Wahyuni, Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Anti
Korupsi. hlm 411
22
Ibid. hlm 412

11

dibentuk paling lambat dua tahun, sebelum terbentuk pengadilan Tipikor, pengadilan negeri
berwenang menangani perkara korupsi yang menjadi kewenangan relatifnya. Salah satu
amanat UU Pengadilan Tipikor yaitu pembentukan pengadilan Tipikor di setiap ibu kota
provinsi, hingga kini masih sedikit daerah yang memiliki Pengadilan Tipikor.23 Pengadilan
Tipikor merupakan pengadilan satu-satunya yang memiliki kewenangan untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus tipikor sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Tipikor. Pengajuan
perkara Tipikor diajukan ke Pengadilan Tipikor yang mana dalam proses penyidikan,
penyelidikan, dan proses peradilan dihadiri oleh tersangka atau terdakwa.
2. Peradilan In Absentia dalam Tindak Pidana Korupsi
Peradilan In Absentia adalah proses peradilan yang dilakukan tanpa dihadiri oleh
terdakwa sendiri, dari sejak pemeriksaan sampai dijatuhkan hukuman oleh pengadilan.
Peradilan In Absentia merupakan upaya untuk mengadili seseorang dan menghukumnya
tanpa dihadiri terdakwa, hal ini dilakukan dalam suatu keadaan yang khusus atau
mendesak.24 Peradilan In Absentia bertujuan untuk menyelamatkan keuangan negara dan
menanggulangi kerugian negara yang timbul dari tindak pidana tersebut. Peradilan In
Absentia diatur secara implisit dalam Pasal 213 dan 214 KUHAP dalam perkara lalu lintas
jalan yaitu dengan terdakwa dan kuasanya tidak hadir pemeriksaan perkara tetap
dilanjutkan. Tujuan ketentuan ini untuk mempercepat penyelesaian perkara karena dalam
perkara lalu lintas diterapkan prinsip peradilan cepat, 25 selain di KUHAP ada ketentuan
yang mengizinkan dilakukan Peradilan In Absentia yaitu dalam Undang-undang Tindak
Pidana Ekonomi, dan Undang-undang nomor 7/Drt/1955 tentang pengusutan, penuntutan,
Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, UU Tipikor, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.26 Peradilan In Absentia dapat dilakukan
jika memenuhi unsur-unsur:27
1. Terdakwa tinggal atau bepergian ke luar negeri;
2. Adanya usaha terdakwa melakukan tindakan pembangkangan;
23

Ibid. hlm 413
Ibid. hlm 427
25
Ibid. hlm 428
26
Adi Condro&Diana Kusumasari, Peradilan In Absentia, , [18/11/2017]
27
Op.Cit., Toetik Rahayuningsih & Indra Wahyuni. hlm 428
24

12

3. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir pada sidang tanpa
alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
Mekanisme Peradilan In Absentia dalam UU Tipikor merupakan kemajuan untuk penegak
hukum terhadap pelaku tipikor dan dapat menghilangkan imunitas yang dimiliki terdakwa
dengan melarikan diri ke luar negeri. Peradilan In Absentia telah digunakan dalam
menangani kasus Bank Century dan Korupsi dana BLBI.
Banyak pendapat bahwa Peradian In Absentia ini melanggar Hak Asasi Manusia
tersangka atau terdakwa yang prinsipnya kehadiran terdakwa merupakan Hak Asasi untuk
membela diri dan mempertahankan kebebasan atau kehormatannya.28 Peradian In Absentia
dalam perkara tindak perkara korupsi tidak melanggar hak terdakwa karena terdakwa
diberi kesempatan disetiap tahap

baik penyelidikan, penyidikan, maupun persidangan

hanya saja tersangka atau terdakwa itu tidak menggunakan hak-haknya.29

28

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. hlm 56
29
Riswal Saputra, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dan
Relevansinya dengan Hak-Hak Terdakwa, , [17/11/2017]

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peraturan perundang-undangan tentang Tipikor secara keseluruhan telah menggambarkan
adanya pembaharuan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Undang-undang tersebut dapat terlihat bahwa pembetuk undang-undang secara sistematis
merumuskan tentang tindak pidana korupsi.
2. Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan satu-satunya yang memiliki kewenangan untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus tipikor. Pengajuan perkara Tipikor diajukan ke
Pengadilan Tipikor yang mana dalam proses penyidikan, penyelidikan, dan proses
peradilan dihadiri oleh tersangka atau terdakwa. Pada perkembangannya muncul
Peradilan In Absentia yang mana proses peradilan dilakukan tanpa dihadiri oleh terdakwa
sendiri, dari sejak pemeriksaan sampai dijatuhkan hukuman oleh pengadilan.
B. Rekomendasi
1. Adanya pengaturan tambahan mengenai peradilan In Absentia dalam UU Tipikor atau
dibentuk dalam undang-undang tersendiri sebagai undang-undang materiil secara konkrit
untuk menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan pemberantasan Tipikor.
2. Adanya pengaturan mengenai hukum acara peradilan In Absentia diharapkan tidak akan
sulit mengumpulkan alat bukti dan melaksanakan penyitaan.

13

Daftar Pustaka
A. Buku
Abdul Latif & Hasbi Ali, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT.
Alumni, 2008
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Imam Syaukani & A.Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006
Oce Madril & Hasrul Halili, Pengertian Korupsi dalam Hukum Anti Korupsi,
Bandung:USAID,2011
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991
Toetik Rahayuningsih & Indra Wahyuni, Hukum Acara Tindak Pidana Korupsi
dalam Hukum Anti Korupsi.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
Yopie Morya Immanuel Patiro, Diskresi Pejabat Publik dan Tindak Pidana
Korupsi , Bandung: Keni Media, 2011
C. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-empat
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi

14

15

D. Sumber Lain
Adi

Condro & Diana Kusumasari,


Peradilan

In

Absentia,

Muladi, Prinsip-prinsip Dasar Hukum Pidana Dalam Kaitannya dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 19997, Jurnal Hukum Pidana dan
Kriminologi, Volume IV Nomor 1, 1998.
Riswal Saputra, Pelaksanaan Peradilan In Absentia dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi dan Relevansinya dengan Hak-Hak Terdakwa,