Pengertian dan Hakikat Jujur Menurut Isl

Pengertian dan Hakikat Jujur Menurut Islam
Jujur dapat pula diartikan kehati-hatian diri seseorang dalam memegang amanah yang telah
dipercayakan oleh orang lain kepada dirinya. Karena salah satu sifat terpenting yang harus
dimiliki bagi orang yang akan diberi amanah adalah orang-orang yang memiliki kejujuran.
Karena kejujuran merupakan sifat luhur yang harus dimiliki manusia. Orang yang memiliki
kepribadian yang jujur, masuk dalam kategori orang yang pantas diberi amanah karena orang
semacam ini memegang teguh terhadap setiap apa yang ia yakini dan menjalankan segala
sesuatu dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.

Karena orang yang jujur umumnya akan bertanggung jawab penuh akan segala yang
diberikan atau dibebankan kepadanya maka pasti ia akan berusaha sekuat tenaga untuk
menjalankan kewajibannya tersebut dengan sungguh-sungguh. Selain itu orang yang dalam
lubuk hatinya mengalir darah kejujuran maka ia tidak akan sanggup menyakiti atau melukai
perasaan orang lain. Dan karena itulah orang semacam ini pantas diberi amanah, dengan
kejujurannya ia tidak akan sanggup mengecewakan orang yang telah memberinya amanah
tentukan bukan amanah yang menyesatkan.

Pengertian dan Hakikat Jujur Menurut Islam
Kejujuran adalah perhiasan orang berbudi mulia dan orang yang berilmu. Oleh sebab itu,
sifat jujur sangat dianjurkan untuk dimiliki setiap umat Rasulullah saw. Hal ini sesuai dengan
firman Allah:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya.” (Q.S. an-Nisa: 58).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul-Nya dan
janganlah kamu menghianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
mengetahui.” (Q.S. al-Anfal: 27).
Dari dua ayat tersebut didapat pemahaman bahwa manusia, selain dapat berlaku tidak jujur
terhadap dirinya dan orang lain, adakalanya berlaku tidak jujur juga kepada Allah dan RasulNya. Maksud dari ketidakjujuran kepada Allah dan Rasul-Nya adalah tidak memenuhi
perintah mereka. Dengan demikian, sudah jelas bahwa kejujuran dalam memelihara amanah
merupakan salah satu perintah Allah dan dipandang sebagai salah satu kebajikan bagi orang
yang beriman.
Orang yang mempunyai sifat jujur akan dikagumi dan dihormati banyak orang. Karena orang
yang jujur selalu dipercaya orang untuk mengerjakan suatu yang penting. Hal ini disebabkan
orang yang memberi kepercayaan tersebut akan merasa aman dan tenang.
Jujur adalah sikap yang tidak mudah untuk dilakukan jika hati tidak benar-benar bersih.
Namun sayangnya sifat yang luhur ini belakangan sangat jarang kita temui, kejujuran

sekarang ini menjadi barang langka. Saat ini kita membutuhkan teladan yang jujur, teladan
yang bisa diberi amanah umat dan menjalankan amanah yang diberikan dengan jujur dan
sebaik-baiknya. Dan teladan yang paling baik, yang patut dicontoh kejujurannya adalah
manusia paling utama yaitu Rasulullah saw. Kejujuran adalah perhiasan Rasulullah saw. dan

orang-orang yang berilmu
Dalil Kejujuran Dalam Islam

“Hendaklah kamu selalu berbuat jujur, sebab kejujuran membimbing ke arah kebajikan, dan
kebajikan membimbing ke arah surga. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat jujur dan
bersungguh-sungguh dalam melakukan kejujuran sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai
orang jujur. Dan hindarilah perbuatan dusta. Sebab dusta membimbing ke arah kejelekan.
Dan kejelekan membimbing ke arah neraka. Tiada henti-hentinya seseorang berbuat dusta
dan bersungguh-sungguh dalam melakukan dusta sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai
pendusta.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain, Ali bin Abi Thalib berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya di surga ada kamar-kamar yang terlihat bagian luarnya dari dalamnya, dan
bagian dalamnya dari luarnya.” Kemudian seorang dusun berdiri dan berkata, “Ya Rasulallah,
bagi siapakah kamar-kamar itu?” Rasulullah Saw. menjawab: “Bagi orang yang baik tutur
katanya dan suka memberi makan kepada orang lain, terus berpuasa serta shalat di waktu
malam ketika orang-orang sedang tidur.” (H.R. Tirmidzi)
Berbicara kejujuran (dalam bahasa arab disebut sebagai Ash-Shidqun), kejujuran terbagi
menjadi 5 macam, yaitu:
1. Shidq Al-Qalbi (jujur dalam berniat).
Hati adalah poros anggota badan. Hati adalah barometer kehidupan. Hati adalah sumber dari

seluruh gerak langkah manusia. Jika hatinya bersih, maka seluruh perilakunya akan
mendatangkan manfaat. Tapi jika hatinya keruh, maka seluruh perilakunya akan
mendatangkan bencana. Rasulullah Saw. bersabda, “Ingatlah, dalam tubuh itu ada segumpal
daging. Bila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh. Dan bila ia rusak, rusaklah ia seluruhnya.
Itulah qalbu (hati).” (H.R. Bukhari).
Itulah hati dan kejujuran yang tertanam dalam hati akan membuahkan ketentraman,
sebagaimana firman-Nya,
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Q.S. Ar-Ra’d
[13]: 28)
2. Shidq Al-Hadits (jujur saat berucap).
Jujur saat berkata adalah harga yang begitu mahal untuk mencapai kepercayaan orang lain.
Orang yang dalam hidupnya selalu berkata jujur, maka dirinya akan dipercaya seumur hidup.
Tetapi sebaliknya, jika sekali dusta, maka tak akan ada orang yang percaya padanya. Orang
yang selalu berkata jujur, bukan hanya akan dihormati oleh manusia, tetapi juga akan
dihormati oleh Allah Swt. sebagaimana firman-Nya,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan
yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah
mendapat kemenangan yang besar.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 70-71)


Hidup dalam naungan kejujuran akan terasa nikmat dibandingkan hidup penuh dengan dusta.
Rasulullah Saw. bahkan mengkatagorikan munafik kepada orang-orang yang selalu berkata
dusta, sebagaimana sabdanya, “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; bila berucap dusta,
kala berjanji ingkar dan saat dipercaya khianat.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
3. Shidq Al-‘Amal (jujur kala berbuat).
Amal adalah hal terpenting untuk meraih posisi yang paling mulia di surga. Oleh karena itu,
kita harus selalu mengikhlaskan setiap amal yang kita lakukan. Dalam berdakwah pun, kita
harus menyesuaikan antara ungkapan yang kita sampaikan kepada umat dengan amal yang
kita perbuat. Jangan sampai yang kita sampaikan kepada umat tidak sesuai dengan amal yang
kita lakukan sebab Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang banyak berbicara tetapi
sedikit beramal.
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?
Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu
kerjakan.” (Q.S. Ash-Shaff [61]: 2-3)
Jadi, yang harus kita lakukan adalah banyak bicara dan juga beramal agar kita bisa meraih
kenikmatan surga.
4. Shidq Al-Wa’d (jujur bila berjanji).
Janji membuat diri kita selalu berharap. Janji yang benar membuat kita bahagia. Janji palsu
membuat kita selalu was-was. Maka janganlah memperbanyak janji (namun tidak ditepati)

karena Allah Swt. sangat membenci orang-orang yang selalu mengingkari janji sebagaimana
dalam firman-Nya,
[Image: 16_91.png]
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Q.S. An-Nahl [16]: 91)
“…Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
(Q.S. Al-Israa [17]: 34)
5. Shidq Al-Haal (jujur dalam kenyataan).
Orang mukmin hidupnya selalu berada di atas kenyataan. Dia tidak akan menampilkan
sesuatu yang bukan dirinya. Dia tidak pernah memaksa orang lain untuk masuk ke dalam
jiwanya. Dengan kata lain, seorang mukmin tidak hidup berada di bawah bayang-bayang
orang lain. Artinya, kita harus hidup sesuai dengan keadaan diri kita sendiri. Dengan bahasa
yang sederhana, Rasulullah Saw. mengingatkan kita dengan ungkapan, “Orang yang merasa
kenyang dengan apa yang tidak diterimanya sama seperti orang memakai dua pakaian palsu.”
(H.R. Muslim). Dari ungkapan ini, Rasulullah Saw. menganjurkan kepada umatnya untuk
selalu hidup di atas kenyataan dan bukan hidup dalam dunia yang semu.
Tanamkan Sifat Jujur Dalam Kehidupan
Allah s.w.t telah memerintahkan kepada semua hambanya supaya menanam sifat jujur di

dalam diri masing-masing dengan menjadikan Rasulullah s.a.w sebagai “role model”.
Seperti mana yang kita sedia maklum, para nabi dan rasul sentiasa berlaku jujur dan berkata
benar sesuai dengan tugas mereka untuk menyampaikan dakwah kepada seluruh umat
manusia.

Bersifat jujur kepada Allah dan rasul merupakan perkara yang paling utama untuk
memperoleh keberkatan hidup di dunia dan akhirat. Jujur kepada Allah dan Rasul bermaksud
mereka beriman kepada Allah dan Rasul dengan sebenar-benar iman.Segala amal kebajikan
dan ibadah mereka adalah ikhlas kerana Allah Taala. Orang yang jujur kepada Allah dan
rasul lazimnya berasa malu untuk meninggalkan perintah Allah serta melakukan
kemungkaran.
Seperti sabda Rasulullah s.a.w yang bermaksud : “Hendaklah kamu beribadah kepada Allah
seolah-olah kamu melihatnya. Dan ingatlah sekiranya kamu tidak melihatnya, Dia pasti
melihat kamu.” (Riwayat Muslim)
Seterusnya, kita haruslah bersikap jujur kepada diri kita sendiri. Sama ada kita sedar atau
tidak, melaksanakan perintah Allah seperti solat, menutup aurat, berpuasa dan sebagainya
lebih mudah dilaksanakan berbanding bersikap jujur.
Kadangkala kita berasa amat sukar untuk mengakui kesalahan yang telah kita lakukan lebihlebih lagi jika pengakuan tersebut akan mengakibatkan hukuman yang berat.
Kita juga sering mendengar orang di sekeliling kita berkata, manusia mungkin mampu
membohongi orang lain,tetapi mereka tidak mampu untuk membohongi diri sendiri.

Sesungguhnya Allah s.w.t telah menciptakan semua anggota badan kita untuk berlaku jujur
kecuali lidah. Ketahuilah bahawa lidah itu lebih tajam dari mata pedang. Oleh yang demikian
kita haruslah mendidik lidah kita supaya sentiasa berkata benar.
Menurut Ustaz Muneer Mohamed Farid al-Hafiz yang merupakan seorang peguam yang
berpengalaman luas dalam mengendalikan kes-kes di mahkamah, ketika saksi menjawab
pertanyaan peguam, jawapan tersebut bukan dinilai melalui percakapan semata-mata. Gerakgeri badan, tangan, kaki dan pandangan mata turut diambil kira. Kebiasaannya, saksi yang
berbohong akan berasa kurang senang ketika menjawab soalan yang diajukan kepada mereka.
Di mahkamah dunia, mungkin kita boleh bercakap bohong atau menghafal skrip jawapan
untuk menegakkan benang yang basah menggunakan lidah. Namun, tidak semua jawapan
akan “dipersetujui” oleh anggota badan kita yang lain.
Tetapi di mahkamah Mahsyar kelak, bukan lidah kita yang akan menjawab segala persoalan
yang diajukan. Bahkan semua anggota tangan dan kaki yang akan mengambil alih tugas
menjawab semua soalan.
Allah s.w.t telah berfirman di dalam surah Yasin ayat 65 yang bermaksud: “Maka pada hari
ini kami tutupkan mulut mereka, dan memberi peluang kepada tangan-tangan mereka
memberitahu kami kesalahan masing-masing, dan kaki mereka pula menjadi saksi terhadap
apa yang telah mereka usahakan.”
Kemudian, kita mesti bersikap jujur kepada orang lain. Kejujuran memainkan peranan yang
amat besar dalam pembangunan umat dan kebahagiaan sesebuah masyarakat. Cuba anda
bayangkan jika kita berhadapan dengan orang-orang yang tidak jujur, apabila melakukan urus

niaga kita ditipu, apabila bejanji acap kali dimungkiri dan apabila diamanahkan dengan
sesuatu pasti dikhianati.

4- ‫باب الصدق‬
Bab Tentang Kejujuran
‫ { يا أيها الذين آمنوا اتقوا ا‬: ‫ا تعالى‬
‫ قال ا‬.
} ‫ وكونوا مع الصادقين‬،‫ا‬
. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan
hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar”Attaubah Ayat 119″
‫ { فلو صدقوا ا‬:‫ وقال تعالى‬.
} ‫ا لكان خيرا لهم‬
Tetapi jika mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang
demikian itu lebih baik bagi mereka” Muhammad ayat 21″
‫وأما احأاديث‬:
‫س ُعو ٍد رضي ا‬
54- ‫ق يل ْه ِدي إِللى ا ْلبِ ِر لوإِنا ا ْلبِ ار‬
‫ص ْد ل‬
ْ ‫ علن ا ْب ِن لم‬: ‫فلاحل او ُل‬
‫ « إِنا ال ا‬: ‫سلام قال‬

‫صلّى اُ لعلل ْي ِه و ل‬
‫ا عنه عن النابِ اي ل‬
‫ق لأتاى يُكت للب ِع ْن لد ا‬
، ‫الفجو لر يل ْه ِدي إِللى الناا ِر‬
‫ب يل ْه ِدي إِللى‬
‫ لوإِنا ال ار ُج لل‬، ‫الجنا ِة‬
‫الفجو ِر لوإِنا‬
ُ ‫ليص ُد‬
ْ
ُ
ُ
‫ وإِنا ا ْل لك ِذ ل‬، ً ‫صدِيقا‬
‫يل ْه ِدي إِللى ل‬
ِ ِ‫ا‬
‫ا‬
‫ا‬
ْ
‫ل‬
‫ق عليه‬
ٌ ‫ب لأتاى يُكت للب ِعن لد اِ كلذابا ً » متف‬

ُ ‫ لوإِنا ال ار ُج لل ليل ْك ِذ‬.

Pertama: Dari Ibnu Mas’ud ‫ رضي ا عنه‬dari Nabi ‫صلی ا عليه وسلم‬, sabdanya:
“Sesungguhnya Kejujuran itu menunjukkan kepada kebaikan dan
sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan ke syurga dan sesungguhnya
seseorang selalu berbuat jujur sehingga dicatatlah di sisi Allah sebagai
seorang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada
Kejahatan dan sesungguhnya Kejahatan itu menunjukkan kepada
neraka dan sesungguhnya seseorang yang selalu berdusta maka
dicatatlah di sisi Allah sebagai seorang yang pendusta.” (Muttafaq
‘alaih)

‫ قلا لل أفِ ْظتُ ِمنْ رسو ِل ا‬، ‫اُ لع ْنهما‬
‫ضي ا‬
55- ‫صلّى اُ لعلل ْي ِه‬
‫ا ل‬
ٍ ِ‫ علنْ أبي ُم لح ام ٍد ا ْل لحس ِن ْب ِن لعلِ ِي ْب ِن أبي طلال‬: ‫الثااني‬
‫ لر ل‬، ‫ب‬
ٌ
ٌ

ُ
ْ
ٌ
‫صحيح‬
‫أديث‬
: ‫ب ِريبة » رواه التِ ْرمذي وقال‬
‫ فلإِنا‬، ‫ « لد ْع ما يل ِريبُكل إِللى لما ل يلريبُ لك‬: ‫سلام‬
‫الص ْد ل‬
ٌ
ِ
‫ لوال لك ِذ ل‬،‫ق طمأنينلة‬
‫و ل‬.
‫ وا ْع ِد ْل إِلى لما ل تلشُكُ فيه‬، ‫ ا ْت ُركْ ما تلشُكُ في ِألِه‬: ُ‫ لو لم ْعناه‬، ‫وض ِمها‬
‫ « ي ِريبُكل » ُه لو‬: ُ‫ قل ْولُه‬.
‫بفتح الياء ل‬
ِ
Kedua: Dari Abu Muhammad Al Hasan Bin Ali ‫ رضي ا عنه‬, Ia Berkata
Aku menghafal hadits dari Nabi ‫صلی ا عليه وسلم‬, Yaitu: “Tinggalkanlah
olehmu apa saja yang kamu ragukan dan beralihlah kepada yang tidak
kamu ragukan,Sesungguhnya Kejujuran itu ketenangan dan Kedustaan
itu kebimbangan”Hadits Shohih Riwayat Tirmidzi
Sabda Nabi ‫ صلی ا عليه وسلم‬Yuriibuka, boleh dengan difathahkan ya’nya
dan boleh pula didhamahnya, artinya: “Tinggalkanlah olehmu apa saja
yang engkau ragukan kepada yang tidak ada keragu-raguan padanya.”
‫رضي ا‬
ُ ‫الثا‬
56- ‫ فلما لذا‬: ‫ قلا لل ِهر ْق ُل‬، ‫ص ِة ِهر ْق ُل‬
.‫ب‬
‫ في أديثِه الطاوي ِل في قِ ا‬. ‫ا عنه‬
ُ ‫ عنْ أبي‬: ‫الث‬
‫س ْفيانل ل‬
ٍ ‫ص ْخ ِر ْب ِن لأر‬
‫ل‬
‫ يقول « ا ْعبُدُوا ا‬: ُ‫ قُ ْلت‬: ‫س ْفيلانل‬
ً ‫ش ْيئا‬
‫ال لو ْأ لدهُ ل تُش ِر ُكوا بِ ِه ل‬
ُ ‫سلام قلا لل ألبُو‬
‫صلّى اُ لعلل ْي ِه و ل‬
‫يلأْ ُم ُر ُك ْم ي ْعني النابِ اي ل‬
، ‫ق عليه‬
‫صلة ِا‬
ٌ ‫ متف‬. » ‫صلل ِة‬
ِ ‫ وال‬، ‫اف‬
ِ
‫ ويلأْ ُمرنلا بال ا‬، ‫وا ْت ُر ُكوا ما يلقُو ُل آبا ُؤ ُك ْم‬.
ِ ‫ وا ْلعفل‬، ‫دق‬
ِ ‫والص‬
Ketiga: Dari Abu Sufyan bin Shakhr bin Harb ‫ رضي ا عنه‬dalam
Hadisnya yang panjang dalam menguraikan ceritera Raja Heraclius.
Heracliusberkata: “Maka apakah yang diperintah olehnya?” Yang
dimaksud ialah oleh Nabi ‫ صلی ا عليه وسلم‬Abu Sufyan berkata: “Saya lalu
menjawab: “Ia berkata: “Sembahlah akan Allah yang Maha Esa, jangan
menyekutukan sesuatu denganNya dan tinggalkanlah ajaran-ajaran
nenek-moyangmu ” Ia juga menyuruh supaya kami melakukan shalat,
bersikap jujur, Pemaaf serta menyambung tali silaturahmi” (Muttafaq
‘alaih)
‫ رضي ا‬، ‫ي‬
57- ‫ ألن‬، ‫ا عنه‬
ٌ ‫ لو ُه لو بد ِر‬، ‫ف‬
‫ ل‬، ‫ أبي ا ْلولِي ِد‬: ‫ و ِقي لل‬، ‫ أبي سعي ٍد‬: ‫ وقِي لل‬، ‫ت‬
ٍ ‫س ْه ِل ْب ِن ُأن ْي‬
ٍ ِ‫ علنْ أبي ثلاب‬: ‫ال ارابِ ُع‬
‫ْق بللاغهُ ا‬
» ‫ش ِه‬
ِ ‫ تعاللى ال‬، ‫ا‬
‫ « لمنْ ل‬: ‫سلام قال‬
‫صلّى اُ لعلل ْي ِه و ل‬
‫النب اي ل‬
ِ ‫ وإِنْ لماتل لعللى فِرا‬، ‫اُ لمنلا ِز لل الشُهدلاء‬
ِ ِ‫ش لهادلا ب‬
‫سأ ل لل ا ل‬
ٍ ‫صد‬
‫ رواه مسلم‬.
Keempat: Dari Abu Tsabit, dalam suatu riwayat lain disebut-kan Abu
Said dan dalam riwayat lain pula disebutkan Abulwalid, yaitu Sahl bin
Hunaif ‫رضي ا عنه‬, dan dia pernah ikut peperangan Badar, bahwasanya
Nabi ‫ صلی ا عليه وسلم‬bersabda:
“Barangsiapa yang dengan jujur memohonkan kepada Allah Ta’ala
supaya dimatikan syahid , maka Allah akan menempatkan orang itu ke
derajat orang-orang yang mati syahid, sekalipun ia mati di atas tempat
tidurnya.” (Riwayat Muslim)

‫ قال رسو ُل ا‬: ‫اُ عنه قال‬
‫ علنْ أبي هُر ْيرا رضي ا‬: ‫س‬
58- ُ‫ « غزا نلبِ ٌي ِمنل احل ْنبِيا ِء صلوات‬:‫سلام‬
ُ ‫الخا ِم‬
‫صلّى اُ لعلل ْي ِه و ل‬
‫ا ل‬
‫ل‬
‫ا‬
‫ ول ألأ ٌد بنلى بيُوتا ً ل ْمل‬، ‫ لوه لُو يُ ِري ُد ألن يل ْبنِ لي بِ لها لولل اما يل ْب ِن بِها‬.‫ض لع ا ْم لرأل ٍا‬
‫ل‬
‫ل‬
ْ ُ‫ ل يتْب ْعني لر ُج ٌل مل لك ب‬: ‫لقو ِم ِه‬
ْ ‫ا وسلة ُمهُ علي ِه ْم فقلا لل‬
، ‫عص ِر أل ْو قلريبا ً ِمنْ ذل لك‬
ْ ‫ ول أل لأ ٌد ا‬، ‫سقوفل لها‬
ْ ‫ فلغزلا فلدنلا ِمنل ا ْلقل ْري ِة صلةال ا ْل‬. ‫أول لدهلا‬
ُ ‫يرفلع‬
ٍ ‫شتلرى لغنلما ً أل ْو لخللفلا‬
ْ ‫ت وهُو يل ْنتلظ ُر‬
‫ فل ُحبستْ لأتاى فلت للح ا‬، ‫س لها عللينا‬
‫ فلجا لءتْ يل ْعنِي‬، ‫ فل لج لم لع ا ْل لغنلائِم‬، ‫اُ عل ْي ِه‬
ْ ‫اأب‬
ْ ‫ الله ام‬، ‫ إِنا ِك لمأ ُموراٌ وألنا مأ ُمو ٌر‬: ‫فلقلال للشامس‬
‫ل‬
ْ
، ‫ فِي ُكم ال ُغلو ُل‬: ‫ فلِزقتْ ي ُد لر ُج ٍل بِي ِد ِه فقلا لل‬، ‫رج ٌل‬
ُ ‫ فليبايعنِي منْ ُك ِل قبِيلل ٍة‬،ً‫ إِنا فِي ُك ْم ُغلُول‬:‫ فقال‬، ‫ار لتلأ ُكل لها فللل ْم ت ْطع ْم لها‬
‫النا ل‬
ْ
ْ
‫ا‬
ْ
‫ل‬
‫ل‬
‫ل‬
ْ
ُ
ُ
‫ل‬
‫ل‬
‫ل‬
ُ
‫ضعها‬
ُ ‫ فلزقتْ ي ُد‬، ‫فليبايعنِي قبيلتُك‬
‫ فو ل‬، ‫ب‬
ِ ‫س ِمث ِل لرأس بلق لر ٍا ِمنْ الذه‬
ٍ ‫ فجاءوا ب لرأ‬، ‫ فِيك ُم الغلو ُل‬: ‫رجل ْي ِن أو ثلةث ٍة بِيل ِد ِه فقا لل‬
‫ ثُ ام أل لأ ال ا‬، ‫ فل ْم تلحل ا ْل لغنلائِ ُم حأ ٍد قلبللنلا‬، ‫ فل لجا لءت الناا ُر فلأ ل لكللتها‬.
‫ق عليه‬
ٌ ‫ضعفلنلا وعجزنلا فأألاها لنلا » متف‬
‫اُ للنا ال لغنلائِ لم ل اما رألى ل‬
« ‫ و ِهي النااقلةُ الحام ُل‬، ‫ ج ْم ُع لخلِفل ٍة‬: ‫اللةا‬
‫ الخلفاتُ » بفتح الخا ِء المعجمة وكس ِر‬.
ِ
“Ada seorang Nabi dari golongan beberapa Nabi shalawatullahi wa
salamuhu ‘alaihim berperang, kemudian ia berkata kepada kaumnya:
“Jangan mengikuti peperanganku ini seorang lelaki yang baru kawin
dan masih belum tidur dengannya, jangan pula mengikuti peperangan
ini seorang yang membangun rumah dan belum lagi mengangkat
atapnya (belum selesai ), jangan pula seseorang yang membeli kambing
atau unta yang sedang bunting tua yang ia menantikan kelahiran anakanak ternaknya.
Nabi itu lalu berperang, kemudian mendekati sesuatu desa pada waktu
shalat Asar atau sudah dekat dengan itu, kemudian ia berkata kepada
matahari: “Sesungguhnya engkau ” hai matahari ” adalah diperintahkan
yakni berjalan mengikuti perintah Rob dan sayapun juga diperintahkan
yakni berperang inipun mengikuti perintah Rob. Ya Allah, tahanlah
jalan matahari itu di atas kita.” Kemudian matahari itu tertahan
jalannya sehingga Allah memberikan kemenangan kepada Nabi
tersebut. Beliau mengumpulkan banyak harta rampasan. Kemudian
datanglah, yang dimaksud datang adalah api, untuk makan harta
rampasan tadi, tetapi ia tidak suka memakannya. Nabi itu berkata:
“Sesungguhnya di kalangan engkau semua itu ada yang
menyembunyikan harta rampasan, maka dari itu hendaklah berbai’at
padaku dengan jalan berjabatan tangan dari setiap kabilah seseorang
lelaki. Lalu ada seorang lelaki yang menempel tangannya itu dengan
tangan Nabi tersebut. Nabi itu lalu berkata lagi: “Sesungguhnya di
kalangan kabilah-mu itu ada yang menyembunyikan harta rampasan.
Oleh sebab itu hendaklah seluruh orang dari kabilahmu itu memberikan
pembai’atan padaku.” Selanjutnya ada dua atau tiga orang yang
tangannya itu lekat dengan tangan Nabi itu, lalu beliau berkata pula:
“Di kalanganmu semua itu ada yang menyembunyikan harta rampasan.”
Mereka lalu mendatangkan sebuah kepala sebesar kepala lembu yang
terbuat dari emas – dan inilah benda yang disembunyikan, lalu
diletakkanlah benda tersebut, kemudian datanglah api terus
memakannya – semua harta rampasan. Oleh sebab itu memang tidak
halallah harta-harta rampasan itu untuk siapapun ummat sebelum kita,
kemudian Allah menghalalkannya untuk kita harta-harta rampasan
tersebut, di kala Allah mengetahui betapa lemahnya kita semua. Oleh
sebab itu lalu Allah menghalalkannya untuk kita.” (Muttafaq ‘alaih)

‫ قال رسو ُل ا‬: ‫ قال‬، ‫اُ عنه‬
‫رض لي ا‬
59- ‫ « ا ْلبيِ لعان‬: ‫سلام‬
‫ عن أبي خال ٍد‬: ‫س‬
ُ ‫السا ِد‬
‫صلّى اُ لعلل ْي ِه و ل‬
‫ا ل‬
ِ . ‫أكيم ب ِن أزل ٍاا‬
ِ
‫ل‬
ُ
‫ل‬
‫ق عليه‬
ٌ ‫ وإِن لكتلما وكذبلا ُم ِحقلتْ بركة ب ْي ِع ِهما » متف‬، ‫ فإِن صدقا وبيانا ب ُو ِرك ل ُهما في بلي ْع ِهما‬، ‫ بال ِخيا ِر ما لم يلتف ارقا‬.
Keenam: Dari Abu Khalid yaitu Hakim bin Hizam ‫رضي ا عنه‬, ia masuk
Islam pada waktu pembebasan Makkah, sedang ayahnya adalah
termasuk golongan tokoh Quraisy, baik di masa Jahiliyah ataupun di
masa Islam, katanya: “Rasulullah ‫ صلی ا عليه وسلم‬bersabda:
“Dua orang yang berjual-beli itu berhak memilih sebelum berpisah.
Apabila keduanya itu bersikap jujur dan menerangkan cacat-cacatnya,
maka diberi berkah jual-beli keduanya, tetapi jikalau keduanya itu
menyembunyikan cacat-cacatnya dan sama-sama berdusta, maka jualbeli itu tidak membawa berkah” (Muttafaq ‘alaih)