I LAPORAN KASUS I Gangguan Asam Basa kar
I LAPORAN KASUS I
Gangguan Asam-Basa karena Hipernatremia pada Cedera Kepala
Acid-Base Disorder due to Hypernatremia in Head Injury
Yulius T
ABSTRACT
Head injury poten!ally endanger the pa!ent.
Incident in male is greater than in female. Brain damage that is caused by this incidence include primary and
secondary brain damage. Management of head injury in
ICU should include prevent another complica!on such as
hypernatremia caused by osmo!c over treatment. Hypernatremia could induce metabolic alkalosis and compensatory hypoven!la!on.
Keywords: Head injury, hypernatremia, metabolic alkalosis, compensatory hyperven!la!on.
ABSTRAK
Cedera kepala berpotensi untuk membahayakan
sang penderita. Cedera kepala lebih sering terjadi pada
laki-laki. Kerusakan otak yang terjadi bisa merupakan
kerusakan otak primer dan sekuder. Penatalaksanaan
cedera kepala di ICU dimaksudkan untuk mencegah komplikasi lain yang terjadi, termasuk kemungkinan hipernatremia yang terjadi saat dilakukan terapi osmo!k. Hipernatremia dapat menyebabkan alkalosis metabolik dan
hipoven!lasi kompesatori.
Kata kunci: Cedera kepala, hipernatremia, alkalosis metabolik, hipoven!lasi kompensasi.
PENDAHULUAN
Cedera Kepala
Se!ap tahun, insidens cedera kepala di Amerika
berkisar 1:1000 dengan kelompok usia ter!nggi 15-24
tahun dan diatas 75 tahun. Cedera kepala dua kali lipat
lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Hampir setengah kejadian cedera kepala terjadi karena kecelakaan sepeda motor, sepeda, dan pejalan kaki. Pada
kelompok usia lanjut atau yang sangat muda, cedera kepala umumnya terjadi akibat terjatuh. Angka mortalitas
cedera kepala pada 1992 sebesar 19,3 per seribu orang
per tahun. Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan akut
mencapai 9-10 milyar dolar per tahunnya.
Pada cedera kepala, kerusakan otak primer ja-
rang dapat dilakukan !ndakan apapun. Perawatan ICU ditujukan untuk mencegah dan meminimalisasi kerusakan
akibat cedera sekunder. Berbagai usaha dapat dilakukan,
baik farmakologik maupun nonfarmakologik. Tujuan perawatan ICU adalah untuk mengurangi morbiditas dan
memperbaiki hasil pengobatan (outcome).1
Patofisiologi
Trauma pada kepala dapat menimbulkan cedera
primer dan sekunder. Cedera primer merupakan kerusakan pada otak yang diakibatkan langsung oleh benturan pada kepala dan tekanan akselerasi-deselerasi
yang di!mbulkannya, sehingga menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan lesi intrakranial. Lesi intrakranial yang
terjadi dapat berupa cedera difus maupun cedera fokal
(kontusio serebri, hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma intra serebral, perdarahan subarakhnoid). Beberapa saat, jam, atau beberapa hari setelah
kejadian, dapat !mbul cedera sekunder, yang mungkin
merupakan penentu prognosis neurologik pasien. Cedera
sekunder terutama !mbul akibat hipoksia dan iskemia
serebral. Penyebabnya antara lain gangguan respirasi,
instabilitas kardiovaskular, peningkatan tekanan intrakranial (TIK), dan gangguan metabolik.1,2
Perdarahan Subarakhnoid Trauma!k
Perdarahan subarakhnoid trauma!k dihubungkan dengan robeknya pembuluh darah kecil yang melintas dalam
ruang subarakhnoid yang meregang saat fase akselerasi
atau deselerasi. Selain itu, terkumpulnya darah di ruang
subarakhnoid dapat disebabkan oleh darah akibat kontusio serebral dan perluasan perdarahan intraventrikel
ke ruang subarakhnoid. Akibat keadaan tersebut, dapat
terjadi kenaikan awal tekanan intrakranial yang dapat
mendeka! nilai tekanan diastolik. Kenaikan tekanan in-
Yulius T
Alumnus Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi
Konsultan Intensive Care, Jakarta
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.3 September 2010 • 34•
YULIUS T
trakranial (TIK) menyebabkan penurunan tekanan perfusi
ke otak secara mendadak sejalan dengan penurunan aliran darah ke otak.1,3
Perdarahan subarakhnoid trauma!k dapat menyebabkan
komplikasi berupa vasospasme, kejang, atau hidrosefalus.
Dalam 24 jam pertama, hidrosefalus mungkin terjadi akibat obstruksi aliran cairan serebrospinal di sisterna ventrikel oleh darah yang membeku akibat perdarahan subarakhnoid. Sementara, vasospasme pada pasien dengan
perdarahan subarakhnoid dapat terjadi pada hari ke-3
sampai hari ke-14, dengan puncak pada hari ke-7 sampai
dengan hari ke-10.1,2,3
-
-
-
-
-
-
Gambar 1.Patofisologi cedera kepala
Tatalaksana4
Prinsip-prinsip umum penatalaksanaan trauma kepala
adalah sebagai berikut:
-
-
-
Tatalaksana ABC (Airway, Breathing & Circula!on) dan resusitasi
Hindari hipotensi dan pertahankan tekanan darah sistolik lebih dari 90 mmHg. Kadang perlu
mempertahankan MAP yang lebih !nggi.
Pertahankan oksigenasi yang adekuat. Hipoksemia harus dihindari.
Pertahankan posisi kepada dan leher sedemikan
rupa untuk mencegah kompresi pada vena jugularis.
Pertahankan elevasi kepala 300-450 kecuali jika
pasien dalam kondisi syok. Elevasi kepala akan
menjaga aliran balik darah dan cairan serebrospinal.
Pertahankan PaCO2 35-40 mmHg.
Hindari cairan yang hanya mengandung
dekstrose, kecuali bila pasien mengalami hipoglikemia. Demikan pula halnya dengan cairan
hipotonik.
Atasi demam dan pertahankan suhu tubuh normal
Sedasi mungkin diperlukan untuk mencegah
efek buruk agitasi
Pertahankan hemostasis elektrolit dan gula darah
Nilai dan perbaiki gangguan koagulasi
Nutrisi yang adekuat
Profilaksis an! kejang, namun hal ini !dak diindikasikan untuk mencegah kejang pascatrauma
fase lanjut.
Manitol (0,25-1 g/kg IV) harus diberikan bila ada
tanda-tanda herniasi atau jika terjadi gangguan
neurologik yang bukan disebabkan faktor lain.
Steroid dikontraindikasikan pada pasien cedera
kepala.
Monitor tekanan intrakranial dilakukan pada:
o GCS 3-8 setelah resusitasi dan ada kelainan pada CT scan otak.
o CT scan otak normal tetapi terdapat
minimal 2 faktor berikut:
§ Usia >40 tahun
§ Tekanan darah sistolik < 90
mmHg
§ Deselebrasi atau dekor!kasi
unilateral atau bilateral.
Induksi koma dengan pentobarbital hanya dilakukan bila tekanan intrakranial !dak dapat diatasi dengan maneuver-manuver lain.
Pertahankan CPP 50-70 mmHg. CPP yang ideal
adalah tekanan yang menjamin perfusi dan oksigenasi selebral dangan mengusahakan TIK
dibawah 20 mmHg.
Hipernatremia5
Secara
defini!f,
hipernatremia
adalah
konsentrasi natrium melebihi 145 mmol/L, yang dapat
disertai serum osmolaritas yang lebih dari 300 mosm/
kg. Angka kejadian hipernatremia sekitar 1%, dengan
kema!an akibat hipernatremia sekitar 40%-70%. Koreksi
hipernatremia !dak boleh terlalu cepat, terutama pada
keadaan kronik, karena dapat menyebabkan edema
serebri, kejang, koma, hingga kema!an. Oleh karena itu
koreksi natrium !dak boleh lebih cepat dari 0,5 mEq/L
se!ap jamnya.
Hipernatremia di ICU terutama terjadi akibat
kehilangan “free water”, baik akibat mekanisme
pelepasan ADH maupun diinduksi oleh diuresis osmo!k.
Hipernatremia akut yang berat umumnya bersifat
iatrogenik, misalnya pada pemberian cairan infus salin
hipertonik, sodium bikarbonat, makanan enteral yang
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.3 September 2010 • 35•
Penatalaksanaan Kegawatan Metabolik pada Cedera Kepala I Metabolic Emergency Treatment in Head Injury
terlalu pekat, atau pemberian berulang enema salin
hipertonik. Pemberian manitol juga akan meningkatkan
pengeluaran air, sehingga harus dipantau agar osmolaritas
serum !dak melebihi 320 mOsml/kg.
Sebelum dilakukan penatalaksanaan hipernatremia, volume ekstraseluler harus dievaluasi terlebih dahulu. Bila volume ekstravaskular rendah, maka resusitasi
cairan intravaskular harus dilakukan, kemudian defisit
air digan! secara perlahan. Pada volume ekstravaskular
yang berlebih, diuresis perlu dilakukan dan cairan digan!
dengan cairan hipotonik. Hipernatremia bila !dak dikoreksi dapat menimbulkan hipoven!lasi kompensasi yang
memerlukan intubasi endotrakea dan ven!lasi mekanik
seper! pada kasus ini.
ILUSTRASI KASUS
Hasil laboratorium selama perawatan di
Mediros tampak pada tabel sebagai berikut:
Tgl
16-052009
Jenis Pemeriksaan
Hasil
Hb
Ht
Leukosit
11,5
35
21.100
Trombosit
325.000/µL
Basofil/Eosinofil/Neutrofil Batang/Neutrofil
Segmen/ Limfosit/
Monosit
0/1/11/84/3/1
22
17-052009
18052009
RS
Nilai Rujukan
12-16 (g/dl)
37-47 (%)
4.800-10.800
(/µL)
150.000450.000 (/
µL)
0-1/0-3/16/50-70/
20-40/2-8
(%)
2
– Foto toraks: infiltrat => 0
– Progresivitas infiltrat pulmonal:
!dak => 0
– Kultur aspirat trakeal: hanya kultur
kualita!f
Pada pasien usia lanjut dan
imunokompromais, komponen di atas
!dak selalu muncul.
Gambar 2. Diagram evaluasi hipoksemia
Setelah resusitasi cairan di ICU, demam
mulai turun. Akan tetapi, pada hari
ke!ga, mulai ditemukan adanya rhonki
dan penambahan infiltrat pada foto
toraks. Slem juga bertambah namun
!dak purulen. Keesokan harinya,
demam muncul kembali. Pada pasien
diberikan an!bio!k kombinasi dengan
levofloksasin dan diambil kultur ulang.
Bila dinilai ulang skor CPIS (total 6),
pasien dapat didiagnosis sebagai VAP,
yaitu:
Temperatur: 38,60C => 1
Leukosit : 11.200 => 1
Sekresi trakeal: non-purulen => 1
Indeks oksigenasi: 218-274 => 0
Foto toraks: infiltrat lokal => 2
Progresivitas infiltrat pulmonal : ya
=> 1
– Kultur aspirat trakeal: hanya kultur
kualita!f
Hasil kultur ulang menununjukkan E.
coli yang sensi!f terhadap meropenem
dan imipenem.
Pada hari ke-7, pemeriksaan darah
menunjukkan leukositosis tetapi !dak
ditemukan tanda infeksi secara klinis.
Oleh sebab itu, an!bio!k !dak distop
dan dicari kemungkinan sumber infeksi
yang lain, misalnya urin. Bila dalam 3
hari !dak ditemukan tanda infeksi dan
pemeriksaan leukosit menunjukkan
penurunan, maka an!bio!k dapat
dihen!kan.
–
–
–
–
–
–
o
Gangguan elektrolit dan asam basa
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.3 September 2010 • 42•
YULIUS T
Pemeriksaan elektrolit awal masuk
ICU
menunjukkan
hipernatremia.
Pada kondisi hipernatremia, harus
dinilai kondisi cairan ekstraseluler.
Secara klinis, pasien tampak dehirasi,
sehingga dapat dianggap saat itu cairan
ekstraseluler kurang. Jika dilihat dari
perjalanan penyakit, kemungkinan
besar kondisi tersebut disebabkan oleh
terapi manitol di RS luar. Dalam terapi
manitol, osmolaritas darah seharusnya
dipantau agar !dak terjadi deplesi
cairan ekstraseluler. Pada kasus ini,
resusitasi cairan seharusnya dilakukan
dengan kristaloid isotonik dan setelah
itu diperiksa kembali kadar elektrolit
serta diperhitungkan jenis dan jumlah
cairan yang akan diberikan selanjutnya.
Koreksi hipernatremia !dak boleh
terlalu cepat. Koreksi yang terlalu cepat
akan menyebabkan demielinolisis dan
edema serebri.
Pasien menunjukkan alkalosis metabolik.
Berdasarkan pendekatan Stewart,
alkalosis dapat disebabkan oleh kurang
cairan (alkalosis restriksi). Pada kondisi
alkalosis metabolik, sistem pernapasan
akan cenderung mengkompensasi
keadaan tersebut dengan menahan CO2.
Hal itu menjelaskan hiperkapnia pada
pasien sebelum diintubasi (hipoven!lasi
kompensatori).
Gangguan elektrolit, asam basa dan respirasi
pada kasus ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
•
AGD 7,286/70,5/70,4/33,9/7,1/90,8%. Na/K/Cl
172/3,3/113. Alb 4,1
•
} pH = 0,08 x } PCO2/10 = 0,08 x (40-70,5)/10
= -0,244. Jadi, pH darah yang seharusnya akibat
pengaruh peningkatan CO2 adalaH 7,40 + (-0,244) =
7,156
•
Kompensasi HCO3 karena peningkatan PCO2
PCO2 ↑ 10mmHg => ↑ HCO3 1 (akut) atau 4 (kronik)
(70,5-40)/10 => HCO3 karena peningkatan PCO2 =
24+3,05 = 27,05
Nilai pH dan HCO3 !dak sesuai dengan hasil AGD
yang didapatkan sehingga ada gangguan lain selain asidosis respiratorik. Untuk mengevaluasi komponen metabolik dilakukan dengan pendekanan Fencl- Steward
sebagai berikut:
• Efek Na – Cl = Na – Cl – 38 = 172 -113 -38 = 21
• Efek albumin = 0,25 x (42-Alb) = 0,25 X (42 – 41)
= 0,25
• UA = SBE – (efek Na-Cl) – efek Alb = 7,1 – 21 –
0,25 = -14,15
Hasil di atas menunjukkan komponen hiperna-
tremia (alkalinisasi) lebih dominan dibandingkan anion
yang !dak terukur (asidosis). Hal ini menjelaskan mengapa pada AGD didapatkan pH yang lebih alkali dibandingkan efek PaCO2. Selain itu, didapatkan anion tak terukur yang cukup !nggi. Anion-anion yang !dak terukur ini
seharusnya dicari sumbernya. Hasil keton hiroksibu!rat
nega!f. Kadar laktat sebagai anion tak terukur mungkin
cukup !nggi pada kasus ini, namun sayangnya !dak diperiksa.
Peningkatan laktat disebabkan oleh ke!dakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen. Pada kasus
ini didapatkan kebutuhan oksigen yang !nggi karena
pasien demam, takikardi, takipnea, serta suplai oksigen
yang menurun. Suplai oksigen ditentukan oleh kandungan oksigen di darah dan curah jantung. Kandungan oksigen dipengaruhi Hb, saturasi O2 dan PaO2. Pada kasus ini
penurunan suplai oksigen dikarenakan:
- Saturasi oksigen dan PaO2 menurun
- Curah jantung
Pada pasien ditemukan CAD pada EKG. Curah
jantung !dak diukur pada kasus ini. Peningkatan
frekuensi nadi merupakan kompensasi fisiologis
untuk mencukupi kebutuhan yang meningkat.
Kompensasi ini akan meningkatkan kerja jantung
sehingga akan membawa efek yang buruk pada
jantung yang sudah ada gangguan (CAD).
Harusnya dilakukan pemeriksaan saturasi mixed
vein. Sebelum mendapat dukungan ven!lasi, pasien
dalam kondisi asidosis sehingga pelepasan oksigen ke
jaringan akan lebih mudah. Dalam kondisi kebutuhan
oksigen meningkat dan suplai menurun, ekstrasi oksigen
akan meningkat. Dalam kondisi yang masih dikompensasi, laktat belum terbentuk. Bila rasio ekstrasi telah melewat !!k kri!s, barulah laktat mulai meningkat yang dapat
diperhitungan dengan peningkatan anion !dak terukur.
Setelah diintubasi, AGD dan elektrolit kembali diperiksa
yang menunjukkan penurunan anion yang tak terukur.
Dukungan ven!lasi dan sedasi, selain dapat menurunkan
kebutuhan oksigen, juga dapat meningkatkan suplai oksigen karena saturasi dan PaO2 dapat di!ngkatkan. Kadar
laktat serial seharusnya diperiksa untuk mengevaluasi
hasil terapi.
AGD 7,585/34,1/90,2/+10/32,1/97,7, Na/K/Cl
163/3,5/113, Alb 4,1, beta hidroksi bu!rat 1,4
•
•
•
Efek Na-Cl = Na – Cl – 38 = 163 -113 -38 = 12
Efek albumin = 0,25 x (42-Alb) = 0,25 X (42 – 41)
= 0,25
UA = SBE – (Efek Na-Cl) – efek alb = 10 – 12 – 0,5
= -1,5
Saturasi vena kava superior menunjukan nilai
yang !nggi. Hal ini mungkin dikarenakan kondisi alkalosis akan menyulitkan pelepasan oksigen di jaringan.
Oleh sebab itu, setelah pasien diintubasi dan mendapat
dukungan ven!lator, hiperven!lasi harus dihindari untuk
mencegah alkalosis yang berefek pada afinitas oksigen.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.3 September 2010 • 43•
Penatalaksanaan Kegawatan Metabolik pada Cedera Kepala I Metabolic Emergency Treatment in Head Injury
Seharusnya langsung dilakukan pemeriksaan angiografi
pada perdarahan subarakhnoid pada kasus ini, dengan
tujuan sebagai berikut:
- Mengetahui apakah perdarahan subarakhnoid
trauma!k ini berhubungan dengan aneurisma
karena pasien mempunyai riwayat hipertensi
- Mengetahui apakah terjadi vasospasme
- Menentukan langkah tatalaksana yang akan
diambil. Pada angiografi bila ditemukan
aneurisma dan vaskularnya dapat dicapai,
dapat dilakukan coiling. Pada kasus vasospasme
tertentu dapat dilakukan angioplas!.
Pada kasus ini terapi dan pencegahan vasospasme !dak langsung diberikan karena pada hari 1-2
dilakukan rehidrasi dan koreksi hipernatremia secara
perlahan. Setelah itu pasien diberikan nimotop dan tatalaksana dengan tripel H (hipertensi, hipervolemia dan
hemodilusi). Tatalaksana tripel H pada kasus ini memang
!dak agresif karena ada gambaran CAD dari hasil EKG.
Nimotop intravena dilanjutkan di HCU dan ruang rawat
selama 21 hari. Dalam tatalaksana tripel H pada kasus ini,
terjadi poliuria.
Selain karena terapi triple H menyebabkan poliuria, penyebab lain juga harus disingkirkan dengan
melakukan pemeriksaan osmolaritas dan elektrolit urin.
Pada perdarahan subarakhnoid, terjadi renggangan pada
ventrikel, yang akan memicu pengeluaran natriure!k
pep!da sehingga terjadi poliuria dan natriuresis. Pada
kasus ini, osmolaritas urin masih normal tetapi kadar natrium urin agak meningkat.
Gula darah sangat sulit terkontrol pada pasien
ini. Pasien mempunyai riwayat diabetes yang selama ini
gula darahnya !dak terkontrol. Hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya kadar HbA1c. Di samping itu, pada
perdarahan subaraknoid juga dapat terjadi gangguan
sistem endokrin.
AKI pada pasien ini dikarenakan kondisi pre-renal. Setelah resusitasi cairan terpenuhi, maka kada ureum dan krea!nin kembali normal.
Pasien ini mendapat sedasi. Untuk menyingkirkan penyebab penurunan kesadaran seharusnya sedasi
dihen!kan setelah faktor-faktor penyebab penurunan
kesadaran ekstrakranial telah teratasi. Pemilihan sedasi
yang durasinya pendek lebih dianjurkan karena penilaian
!ngkat kesadaran akan lebih cepat kita lakukan.
Pemeriksaan faal hemostasis menunjukkan kadar D-dimer yang cukup !nggi 2 hari setelah kejadian dan
kadarnya menurun saat pasien di IGD RSCM. Profil hemostasis yang lain dalam kisaran normal. Peningkatan Ddimer ini menunjukkan adanya proses fibrinolisis. Tromboplas!n yang dilepaskan oleh otak akan memicu proses
fibrinolisis di daerah yang mengalami perdarahan. Tetapi
kadar D-dimer kembali meningkat pada perawatan hari
ke-2 di ICU dan tetap !nggi selama pasien dirawat. Perlu
menjadi perha!an, apakah ada proses fibrinolisis yang
dipicu koagulasi di tempat lain. Pasien ini !dak mendapat
profilaksis DVT. Dengan kadar D-dimer yang tetap !nggi,
seharusnya dicari adakah kemungkinan trombosis. Ke-
jadian DVT tersering berlokasi di tungkai bawah. Pemeriksaan untuk mendeteksi hal ini perlu dilakukan, antara
lain venografi atau dengan USG Doppler yang non-invasif.
Karena pasien mempunyai faktor risiko, seharusnya pada
kasus ini dilakukan pencegahan DVT dengan mekanik.
Bila diketahui dengan pas! bahwa SAH trauma!k pada
kasus ini !dak bersifat ko-insidens dengan aneurisma dan
CT scan serial !dak menunjukkan adanya perdarahan
baru, pencegahan DVT farmakologi baru dapat dimulai
dengan pengawasan yang sangat ketat.
Pasien menunjukkan perbaikan GCS. Pada hari
ke-6 sedasi dihen!kan dan dilakukan uji napas spontan
(spontaneous breathing trial), akan tetapi gagal dan dicoba lagi keesokan harinya. Akhirnya pasien dapat diekstubasi dengan menghitung RSBI
Gangguan Asam-Basa karena Hipernatremia pada Cedera Kepala
Acid-Base Disorder due to Hypernatremia in Head Injury
Yulius T
ABSTRACT
Head injury poten!ally endanger the pa!ent.
Incident in male is greater than in female. Brain damage that is caused by this incidence include primary and
secondary brain damage. Management of head injury in
ICU should include prevent another complica!on such as
hypernatremia caused by osmo!c over treatment. Hypernatremia could induce metabolic alkalosis and compensatory hypoven!la!on.
Keywords: Head injury, hypernatremia, metabolic alkalosis, compensatory hyperven!la!on.
ABSTRAK
Cedera kepala berpotensi untuk membahayakan
sang penderita. Cedera kepala lebih sering terjadi pada
laki-laki. Kerusakan otak yang terjadi bisa merupakan
kerusakan otak primer dan sekuder. Penatalaksanaan
cedera kepala di ICU dimaksudkan untuk mencegah komplikasi lain yang terjadi, termasuk kemungkinan hipernatremia yang terjadi saat dilakukan terapi osmo!k. Hipernatremia dapat menyebabkan alkalosis metabolik dan
hipoven!lasi kompesatori.
Kata kunci: Cedera kepala, hipernatremia, alkalosis metabolik, hipoven!lasi kompensasi.
PENDAHULUAN
Cedera Kepala
Se!ap tahun, insidens cedera kepala di Amerika
berkisar 1:1000 dengan kelompok usia ter!nggi 15-24
tahun dan diatas 75 tahun. Cedera kepala dua kali lipat
lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Hampir setengah kejadian cedera kepala terjadi karena kecelakaan sepeda motor, sepeda, dan pejalan kaki. Pada
kelompok usia lanjut atau yang sangat muda, cedera kepala umumnya terjadi akibat terjatuh. Angka mortalitas
cedera kepala pada 1992 sebesar 19,3 per seribu orang
per tahun. Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan akut
mencapai 9-10 milyar dolar per tahunnya.
Pada cedera kepala, kerusakan otak primer ja-
rang dapat dilakukan !ndakan apapun. Perawatan ICU ditujukan untuk mencegah dan meminimalisasi kerusakan
akibat cedera sekunder. Berbagai usaha dapat dilakukan,
baik farmakologik maupun nonfarmakologik. Tujuan perawatan ICU adalah untuk mengurangi morbiditas dan
memperbaiki hasil pengobatan (outcome).1
Patofisiologi
Trauma pada kepala dapat menimbulkan cedera
primer dan sekunder. Cedera primer merupakan kerusakan pada otak yang diakibatkan langsung oleh benturan pada kepala dan tekanan akselerasi-deselerasi
yang di!mbulkannya, sehingga menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan lesi intrakranial. Lesi intrakranial yang
terjadi dapat berupa cedera difus maupun cedera fokal
(kontusio serebri, hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma intra serebral, perdarahan subarakhnoid). Beberapa saat, jam, atau beberapa hari setelah
kejadian, dapat !mbul cedera sekunder, yang mungkin
merupakan penentu prognosis neurologik pasien. Cedera
sekunder terutama !mbul akibat hipoksia dan iskemia
serebral. Penyebabnya antara lain gangguan respirasi,
instabilitas kardiovaskular, peningkatan tekanan intrakranial (TIK), dan gangguan metabolik.1,2
Perdarahan Subarakhnoid Trauma!k
Perdarahan subarakhnoid trauma!k dihubungkan dengan robeknya pembuluh darah kecil yang melintas dalam
ruang subarakhnoid yang meregang saat fase akselerasi
atau deselerasi. Selain itu, terkumpulnya darah di ruang
subarakhnoid dapat disebabkan oleh darah akibat kontusio serebral dan perluasan perdarahan intraventrikel
ke ruang subarakhnoid. Akibat keadaan tersebut, dapat
terjadi kenaikan awal tekanan intrakranial yang dapat
mendeka! nilai tekanan diastolik. Kenaikan tekanan in-
Yulius T
Alumnus Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi
Konsultan Intensive Care, Jakarta
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.3 September 2010 • 34•
YULIUS T
trakranial (TIK) menyebabkan penurunan tekanan perfusi
ke otak secara mendadak sejalan dengan penurunan aliran darah ke otak.1,3
Perdarahan subarakhnoid trauma!k dapat menyebabkan
komplikasi berupa vasospasme, kejang, atau hidrosefalus.
Dalam 24 jam pertama, hidrosefalus mungkin terjadi akibat obstruksi aliran cairan serebrospinal di sisterna ventrikel oleh darah yang membeku akibat perdarahan subarakhnoid. Sementara, vasospasme pada pasien dengan
perdarahan subarakhnoid dapat terjadi pada hari ke-3
sampai hari ke-14, dengan puncak pada hari ke-7 sampai
dengan hari ke-10.1,2,3
-
-
-
-
-
-
Gambar 1.Patofisologi cedera kepala
Tatalaksana4
Prinsip-prinsip umum penatalaksanaan trauma kepala
adalah sebagai berikut:
-
-
-
Tatalaksana ABC (Airway, Breathing & Circula!on) dan resusitasi
Hindari hipotensi dan pertahankan tekanan darah sistolik lebih dari 90 mmHg. Kadang perlu
mempertahankan MAP yang lebih !nggi.
Pertahankan oksigenasi yang adekuat. Hipoksemia harus dihindari.
Pertahankan posisi kepada dan leher sedemikan
rupa untuk mencegah kompresi pada vena jugularis.
Pertahankan elevasi kepala 300-450 kecuali jika
pasien dalam kondisi syok. Elevasi kepala akan
menjaga aliran balik darah dan cairan serebrospinal.
Pertahankan PaCO2 35-40 mmHg.
Hindari cairan yang hanya mengandung
dekstrose, kecuali bila pasien mengalami hipoglikemia. Demikan pula halnya dengan cairan
hipotonik.
Atasi demam dan pertahankan suhu tubuh normal
Sedasi mungkin diperlukan untuk mencegah
efek buruk agitasi
Pertahankan hemostasis elektrolit dan gula darah
Nilai dan perbaiki gangguan koagulasi
Nutrisi yang adekuat
Profilaksis an! kejang, namun hal ini !dak diindikasikan untuk mencegah kejang pascatrauma
fase lanjut.
Manitol (0,25-1 g/kg IV) harus diberikan bila ada
tanda-tanda herniasi atau jika terjadi gangguan
neurologik yang bukan disebabkan faktor lain.
Steroid dikontraindikasikan pada pasien cedera
kepala.
Monitor tekanan intrakranial dilakukan pada:
o GCS 3-8 setelah resusitasi dan ada kelainan pada CT scan otak.
o CT scan otak normal tetapi terdapat
minimal 2 faktor berikut:
§ Usia >40 tahun
§ Tekanan darah sistolik < 90
mmHg
§ Deselebrasi atau dekor!kasi
unilateral atau bilateral.
Induksi koma dengan pentobarbital hanya dilakukan bila tekanan intrakranial !dak dapat diatasi dengan maneuver-manuver lain.
Pertahankan CPP 50-70 mmHg. CPP yang ideal
adalah tekanan yang menjamin perfusi dan oksigenasi selebral dangan mengusahakan TIK
dibawah 20 mmHg.
Hipernatremia5
Secara
defini!f,
hipernatremia
adalah
konsentrasi natrium melebihi 145 mmol/L, yang dapat
disertai serum osmolaritas yang lebih dari 300 mosm/
kg. Angka kejadian hipernatremia sekitar 1%, dengan
kema!an akibat hipernatremia sekitar 40%-70%. Koreksi
hipernatremia !dak boleh terlalu cepat, terutama pada
keadaan kronik, karena dapat menyebabkan edema
serebri, kejang, koma, hingga kema!an. Oleh karena itu
koreksi natrium !dak boleh lebih cepat dari 0,5 mEq/L
se!ap jamnya.
Hipernatremia di ICU terutama terjadi akibat
kehilangan “free water”, baik akibat mekanisme
pelepasan ADH maupun diinduksi oleh diuresis osmo!k.
Hipernatremia akut yang berat umumnya bersifat
iatrogenik, misalnya pada pemberian cairan infus salin
hipertonik, sodium bikarbonat, makanan enteral yang
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.3 September 2010 • 35•
Penatalaksanaan Kegawatan Metabolik pada Cedera Kepala I Metabolic Emergency Treatment in Head Injury
terlalu pekat, atau pemberian berulang enema salin
hipertonik. Pemberian manitol juga akan meningkatkan
pengeluaran air, sehingga harus dipantau agar osmolaritas
serum !dak melebihi 320 mOsml/kg.
Sebelum dilakukan penatalaksanaan hipernatremia, volume ekstraseluler harus dievaluasi terlebih dahulu. Bila volume ekstravaskular rendah, maka resusitasi
cairan intravaskular harus dilakukan, kemudian defisit
air digan! secara perlahan. Pada volume ekstravaskular
yang berlebih, diuresis perlu dilakukan dan cairan digan!
dengan cairan hipotonik. Hipernatremia bila !dak dikoreksi dapat menimbulkan hipoven!lasi kompensasi yang
memerlukan intubasi endotrakea dan ven!lasi mekanik
seper! pada kasus ini.
ILUSTRASI KASUS
Hasil laboratorium selama perawatan di
Mediros tampak pada tabel sebagai berikut:
Tgl
16-052009
Jenis Pemeriksaan
Hasil
Hb
Ht
Leukosit
11,5
35
21.100
Trombosit
325.000/µL
Basofil/Eosinofil/Neutrofil Batang/Neutrofil
Segmen/ Limfosit/
Monosit
0/1/11/84/3/1
22
17-052009
18052009
RS
Nilai Rujukan
12-16 (g/dl)
37-47 (%)
4.800-10.800
(/µL)
150.000450.000 (/
µL)
0-1/0-3/16/50-70/
20-40/2-8
(%)
2
– Foto toraks: infiltrat => 0
– Progresivitas infiltrat pulmonal:
!dak => 0
– Kultur aspirat trakeal: hanya kultur
kualita!f
Pada pasien usia lanjut dan
imunokompromais, komponen di atas
!dak selalu muncul.
Gambar 2. Diagram evaluasi hipoksemia
Setelah resusitasi cairan di ICU, demam
mulai turun. Akan tetapi, pada hari
ke!ga, mulai ditemukan adanya rhonki
dan penambahan infiltrat pada foto
toraks. Slem juga bertambah namun
!dak purulen. Keesokan harinya,
demam muncul kembali. Pada pasien
diberikan an!bio!k kombinasi dengan
levofloksasin dan diambil kultur ulang.
Bila dinilai ulang skor CPIS (total 6),
pasien dapat didiagnosis sebagai VAP,
yaitu:
Temperatur: 38,60C => 1
Leukosit : 11.200 => 1
Sekresi trakeal: non-purulen => 1
Indeks oksigenasi: 218-274 => 0
Foto toraks: infiltrat lokal => 2
Progresivitas infiltrat pulmonal : ya
=> 1
– Kultur aspirat trakeal: hanya kultur
kualita!f
Hasil kultur ulang menununjukkan E.
coli yang sensi!f terhadap meropenem
dan imipenem.
Pada hari ke-7, pemeriksaan darah
menunjukkan leukositosis tetapi !dak
ditemukan tanda infeksi secara klinis.
Oleh sebab itu, an!bio!k !dak distop
dan dicari kemungkinan sumber infeksi
yang lain, misalnya urin. Bila dalam 3
hari !dak ditemukan tanda infeksi dan
pemeriksaan leukosit menunjukkan
penurunan, maka an!bio!k dapat
dihen!kan.
–
–
–
–
–
–
o
Gangguan elektrolit dan asam basa
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.3 September 2010 • 42•
YULIUS T
Pemeriksaan elektrolit awal masuk
ICU
menunjukkan
hipernatremia.
Pada kondisi hipernatremia, harus
dinilai kondisi cairan ekstraseluler.
Secara klinis, pasien tampak dehirasi,
sehingga dapat dianggap saat itu cairan
ekstraseluler kurang. Jika dilihat dari
perjalanan penyakit, kemungkinan
besar kondisi tersebut disebabkan oleh
terapi manitol di RS luar. Dalam terapi
manitol, osmolaritas darah seharusnya
dipantau agar !dak terjadi deplesi
cairan ekstraseluler. Pada kasus ini,
resusitasi cairan seharusnya dilakukan
dengan kristaloid isotonik dan setelah
itu diperiksa kembali kadar elektrolit
serta diperhitungkan jenis dan jumlah
cairan yang akan diberikan selanjutnya.
Koreksi hipernatremia !dak boleh
terlalu cepat. Koreksi yang terlalu cepat
akan menyebabkan demielinolisis dan
edema serebri.
Pasien menunjukkan alkalosis metabolik.
Berdasarkan pendekatan Stewart,
alkalosis dapat disebabkan oleh kurang
cairan (alkalosis restriksi). Pada kondisi
alkalosis metabolik, sistem pernapasan
akan cenderung mengkompensasi
keadaan tersebut dengan menahan CO2.
Hal itu menjelaskan hiperkapnia pada
pasien sebelum diintubasi (hipoven!lasi
kompensatori).
Gangguan elektrolit, asam basa dan respirasi
pada kasus ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
•
AGD 7,286/70,5/70,4/33,9/7,1/90,8%. Na/K/Cl
172/3,3/113. Alb 4,1
•
} pH = 0,08 x } PCO2/10 = 0,08 x (40-70,5)/10
= -0,244. Jadi, pH darah yang seharusnya akibat
pengaruh peningkatan CO2 adalaH 7,40 + (-0,244) =
7,156
•
Kompensasi HCO3 karena peningkatan PCO2
PCO2 ↑ 10mmHg => ↑ HCO3 1 (akut) atau 4 (kronik)
(70,5-40)/10 => HCO3 karena peningkatan PCO2 =
24+3,05 = 27,05
Nilai pH dan HCO3 !dak sesuai dengan hasil AGD
yang didapatkan sehingga ada gangguan lain selain asidosis respiratorik. Untuk mengevaluasi komponen metabolik dilakukan dengan pendekanan Fencl- Steward
sebagai berikut:
• Efek Na – Cl = Na – Cl – 38 = 172 -113 -38 = 21
• Efek albumin = 0,25 x (42-Alb) = 0,25 X (42 – 41)
= 0,25
• UA = SBE – (efek Na-Cl) – efek Alb = 7,1 – 21 –
0,25 = -14,15
Hasil di atas menunjukkan komponen hiperna-
tremia (alkalinisasi) lebih dominan dibandingkan anion
yang !dak terukur (asidosis). Hal ini menjelaskan mengapa pada AGD didapatkan pH yang lebih alkali dibandingkan efek PaCO2. Selain itu, didapatkan anion tak terukur yang cukup !nggi. Anion-anion yang !dak terukur ini
seharusnya dicari sumbernya. Hasil keton hiroksibu!rat
nega!f. Kadar laktat sebagai anion tak terukur mungkin
cukup !nggi pada kasus ini, namun sayangnya !dak diperiksa.
Peningkatan laktat disebabkan oleh ke!dakseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen. Pada kasus
ini didapatkan kebutuhan oksigen yang !nggi karena
pasien demam, takikardi, takipnea, serta suplai oksigen
yang menurun. Suplai oksigen ditentukan oleh kandungan oksigen di darah dan curah jantung. Kandungan oksigen dipengaruhi Hb, saturasi O2 dan PaO2. Pada kasus ini
penurunan suplai oksigen dikarenakan:
- Saturasi oksigen dan PaO2 menurun
- Curah jantung
Pada pasien ditemukan CAD pada EKG. Curah
jantung !dak diukur pada kasus ini. Peningkatan
frekuensi nadi merupakan kompensasi fisiologis
untuk mencukupi kebutuhan yang meningkat.
Kompensasi ini akan meningkatkan kerja jantung
sehingga akan membawa efek yang buruk pada
jantung yang sudah ada gangguan (CAD).
Harusnya dilakukan pemeriksaan saturasi mixed
vein. Sebelum mendapat dukungan ven!lasi, pasien
dalam kondisi asidosis sehingga pelepasan oksigen ke
jaringan akan lebih mudah. Dalam kondisi kebutuhan
oksigen meningkat dan suplai menurun, ekstrasi oksigen
akan meningkat. Dalam kondisi yang masih dikompensasi, laktat belum terbentuk. Bila rasio ekstrasi telah melewat !!k kri!s, barulah laktat mulai meningkat yang dapat
diperhitungan dengan peningkatan anion !dak terukur.
Setelah diintubasi, AGD dan elektrolit kembali diperiksa
yang menunjukkan penurunan anion yang tak terukur.
Dukungan ven!lasi dan sedasi, selain dapat menurunkan
kebutuhan oksigen, juga dapat meningkatkan suplai oksigen karena saturasi dan PaO2 dapat di!ngkatkan. Kadar
laktat serial seharusnya diperiksa untuk mengevaluasi
hasil terapi.
AGD 7,585/34,1/90,2/+10/32,1/97,7, Na/K/Cl
163/3,5/113, Alb 4,1, beta hidroksi bu!rat 1,4
•
•
•
Efek Na-Cl = Na – Cl – 38 = 163 -113 -38 = 12
Efek albumin = 0,25 x (42-Alb) = 0,25 X (42 – 41)
= 0,25
UA = SBE – (Efek Na-Cl) – efek alb = 10 – 12 – 0,5
= -1,5
Saturasi vena kava superior menunjukan nilai
yang !nggi. Hal ini mungkin dikarenakan kondisi alkalosis akan menyulitkan pelepasan oksigen di jaringan.
Oleh sebab itu, setelah pasien diintubasi dan mendapat
dukungan ven!lator, hiperven!lasi harus dihindari untuk
mencegah alkalosis yang berefek pada afinitas oksigen.
• Anestesia & Critical Care • Vol 28 No.3 September 2010 • 43•
Penatalaksanaan Kegawatan Metabolik pada Cedera Kepala I Metabolic Emergency Treatment in Head Injury
Seharusnya langsung dilakukan pemeriksaan angiografi
pada perdarahan subarakhnoid pada kasus ini, dengan
tujuan sebagai berikut:
- Mengetahui apakah perdarahan subarakhnoid
trauma!k ini berhubungan dengan aneurisma
karena pasien mempunyai riwayat hipertensi
- Mengetahui apakah terjadi vasospasme
- Menentukan langkah tatalaksana yang akan
diambil. Pada angiografi bila ditemukan
aneurisma dan vaskularnya dapat dicapai,
dapat dilakukan coiling. Pada kasus vasospasme
tertentu dapat dilakukan angioplas!.
Pada kasus ini terapi dan pencegahan vasospasme !dak langsung diberikan karena pada hari 1-2
dilakukan rehidrasi dan koreksi hipernatremia secara
perlahan. Setelah itu pasien diberikan nimotop dan tatalaksana dengan tripel H (hipertensi, hipervolemia dan
hemodilusi). Tatalaksana tripel H pada kasus ini memang
!dak agresif karena ada gambaran CAD dari hasil EKG.
Nimotop intravena dilanjutkan di HCU dan ruang rawat
selama 21 hari. Dalam tatalaksana tripel H pada kasus ini,
terjadi poliuria.
Selain karena terapi triple H menyebabkan poliuria, penyebab lain juga harus disingkirkan dengan
melakukan pemeriksaan osmolaritas dan elektrolit urin.
Pada perdarahan subarakhnoid, terjadi renggangan pada
ventrikel, yang akan memicu pengeluaran natriure!k
pep!da sehingga terjadi poliuria dan natriuresis. Pada
kasus ini, osmolaritas urin masih normal tetapi kadar natrium urin agak meningkat.
Gula darah sangat sulit terkontrol pada pasien
ini. Pasien mempunyai riwayat diabetes yang selama ini
gula darahnya !dak terkontrol. Hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya kadar HbA1c. Di samping itu, pada
perdarahan subaraknoid juga dapat terjadi gangguan
sistem endokrin.
AKI pada pasien ini dikarenakan kondisi pre-renal. Setelah resusitasi cairan terpenuhi, maka kada ureum dan krea!nin kembali normal.
Pasien ini mendapat sedasi. Untuk menyingkirkan penyebab penurunan kesadaran seharusnya sedasi
dihen!kan setelah faktor-faktor penyebab penurunan
kesadaran ekstrakranial telah teratasi. Pemilihan sedasi
yang durasinya pendek lebih dianjurkan karena penilaian
!ngkat kesadaran akan lebih cepat kita lakukan.
Pemeriksaan faal hemostasis menunjukkan kadar D-dimer yang cukup !nggi 2 hari setelah kejadian dan
kadarnya menurun saat pasien di IGD RSCM. Profil hemostasis yang lain dalam kisaran normal. Peningkatan Ddimer ini menunjukkan adanya proses fibrinolisis. Tromboplas!n yang dilepaskan oleh otak akan memicu proses
fibrinolisis di daerah yang mengalami perdarahan. Tetapi
kadar D-dimer kembali meningkat pada perawatan hari
ke-2 di ICU dan tetap !nggi selama pasien dirawat. Perlu
menjadi perha!an, apakah ada proses fibrinolisis yang
dipicu koagulasi di tempat lain. Pasien ini !dak mendapat
profilaksis DVT. Dengan kadar D-dimer yang tetap !nggi,
seharusnya dicari adakah kemungkinan trombosis. Ke-
jadian DVT tersering berlokasi di tungkai bawah. Pemeriksaan untuk mendeteksi hal ini perlu dilakukan, antara
lain venografi atau dengan USG Doppler yang non-invasif.
Karena pasien mempunyai faktor risiko, seharusnya pada
kasus ini dilakukan pencegahan DVT dengan mekanik.
Bila diketahui dengan pas! bahwa SAH trauma!k pada
kasus ini !dak bersifat ko-insidens dengan aneurisma dan
CT scan serial !dak menunjukkan adanya perdarahan
baru, pencegahan DVT farmakologi baru dapat dimulai
dengan pengawasan yang sangat ketat.
Pasien menunjukkan perbaikan GCS. Pada hari
ke-6 sedasi dihen!kan dan dilakukan uji napas spontan
(spontaneous breathing trial), akan tetapi gagal dan dicoba lagi keesokan harinya. Akhirnya pasien dapat diekstubasi dengan menghitung RSBI