Katu dan Perjuangan Kelas bentuk perlawanan

Katu dan Perjuangan Kelas1
Oleh : Doni Moidady*

Sebagaimana desa-desa di Indonesia atau disebut nama lain sesuai tradisi sosial budaya
setempat. Yang hidup dengan mempraktekan cara-cara mengelola hutan, pertanian dan
apapun itu sungguh tak lepas dari pertentangan-pertentangan atau kontradiksi antar relasi
struktur masyarakat yang ada didalamnya semisal antar tuan tanah dan buruh tani, negara
yang memihak korporasi dan petani secara umum. Katu sebagai satu di antara Desa-Desa di
Sulawesi Tengah yang masuk dalam wilayah Taman Nasional Lore-Lindu (TNLL) tak lepas
dari pertentangan-pertentangan yang dimaksud. Dalam D’Andrea (2013) dia menyebut
”...orang Katu melawan upaya relokasi... berawal jauh sebelum adanya Taman Nasional,
sebelum Indonesia merdeka. Orang-orang Katu adalah bagian dari kelompok etnolinguistik
yang lebih besar, berhubungan dengan daerah “Besoa” di Sulawesi Tengah’’.2
Dalam makalah ini penulis akan menampilkan perbedaan pandangan dari dua konsep
yang saling bertarung yaitu ideologi konservasi internasional dan pandangan yang memihak
masyarakat adat dari hasil studi sebelumnya yang dijadikan sumber penulisan makalah ini.
Pertama, analisis isu pemukiman di tiga Taman Nasional di Indonesia oleh (Adiwibowo
et.al ...) yang salah satunya adalah TNLL dan Kedua, adalah publikasi riset disertasi yang
sudah dibukukan oleh sarjana ekologi politik U.C Berkeley University Claudia D’Andrea.
Dalam bukunya D’Andrea jelas mengatakan pendekatan teoritis yang digunakan adalah
“...ekologi politik yang... terinspirasi dari pandangan Marxist mengenai penggunaan dan

konflik atas sumber daya alam yang menggabungkan pendekatan ekologi dengan suatu
ekonomi-politik yang menyeluruh dalam rangka menganalisa pertarungan atas sumber daya
alam dan lingkungan hidup...’’.3 Lazimnya satu makalah yang menampilkan masalah atau
problem yang akan dielaborasi mendalam. Dalam hal ini akan terlihat problem utamanya
yaitu :
1. Lewat diskursus pengetahuan dan kebijakan negara (UU, PP, Permen) akan
ditunjukan bahwa negara berpihak pada ideologi “Arcadian’’ atau konservasi
internasional yang membatasi masyarakat mengakses dan mengontrol 4 sumbersumber agraria.

1 Paper ini sebelumnya telah dipresentasikan dalam kelas Eologi Manusia, Prodi Sosiologi Pedesaan IPB 2013.
Paper ini ditulis dalam upaya memahami literatur tentang TNLL (Taman Nasional Lore-Lindu) dan Orang
‘Katu’.
2 Untuk uraian mendalam soal sejarah perlawanan masyarakat Katu Lihat. D’Andrea, Kopi, Adat dan Modal,
Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. hal. 2-6.
3 Ibid. hal. 34.
4 Akses dan kontrol disini merujuk pada Ribot dan Peluso (2003 : 1) dalam Adiwibowo. et.al (2012). Analisis
isu pemukiman di tiga Taman Nasional Indonesia. hal. 3.

2. Lewat perjuangan kelas5 dengan wacana masyarakat adat petani di Katu memperoleh
pengakuannya di kawasan TNLL.

Perspektif penulis
Seacara umum pendekatan ini mengacu pada pendekatan ekologis atau holistik dalam
artian menolak pandangan mekanistis Cartesian dan Newtonian. Chapra dalam tulisanya
mengatakan “Sekarang kita hidup dalam dunia yang saling berhubungan secara global,
dimana fenomena-fenomena biologis, fisik, sosial maupun lingkungan saling ketergantungan.
Untuk menjelaskan dunia ini secara memadai kita memerlukan sebuah persektif ekologis,
yang tidak ditemukan dalam pandangan dunia Cartesian’’. 6 Sejalan dengan Chapra, Sangaji
dalam artikelnya menulis metode individual “atomistik’’, seperti tercermin dalam Descartes,
menganggap bahwa keseluruhan hanyalah kumpulan dari fakta bagian-bagian yang
independen. Dengan kata lain, metode individualistik berhubungan dengan cara penjelasan
yang menekankan bahwa keseluruhan mesti dijelaskan dari sifat-sifat bagian individunya.
Kajian tentang setiap fenomena harus bertolak dari bagian-bagian ke keseluruhan: dari atom
ke molekul, dari molekul ke organisme, dari organisme ke kolektifitas. Konsepsi ini
merupakan ruh dari masyarakat borjuis. Oleh karena itu, untuk mengetahui suatu masyarakat,
maka harus terlebih dahulu mengerti sifat manusia sebagai individu dan hanya individuindividu itu yang memiliki tujuan dan kepentingan. Masih menurut Sangaji berbeda dengan
metode individual atomistik, Marx melihat keseluruhan sebagai suatu hubungan saling
ketergantungan antar individu-individu yang terstruktur. Dengan kata lain manusia secara
individual tidak bisa dipisahkan dari masyarakat di mana dia berada. Jadi, untuk mengerti
bagaimana manusia berperilaku (egois, rakus, dan agresif), kita mesti pertama-tama
menganalisa perubahan-perubahan manusia sebagai bagian dari suatu kesatuan hubungan

sosial (ensemble of relation).7
Problem yang diajukan di bagian tinjauan masalah di atas akan diuraikan sebagai berikut :
Sejarah diskursus konservasi
Narasi konservasi yang kita kenal mendunia sekarang ini pada dasarnya merupakan
produk diskursus ilmu pengatahuan (scientific discourse) yang telah mengalami perubahan,
pembaharuan, dan pemutakhiran dalam satu abad terakhir. Pada akhir abad ke-19 diskursus
yang dominan mengemuka adalah pengawetan alam (nature preservation). Pada awal 1980an
mulai tumbuh narasi baru: konservasi alam (nature conservation). Narasi ini dalam waktu
singkat berkembang menjadi diskursus baru dan mneggeser narasi pengawetan alam.
Konservasi alam menjadi diskursus yang mengemuka karena didalamnya tidak hanya
terkandung makna pengawetan (preservation), tetapi juga perlindungan (protection) dan
pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use). Menjelang akhir 1990an narasi konservasi alam
meredup dan diganti dengan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity conservation).
5 Chapra mengutip Marx ‘[p]erjuangan kelas merupakan kekuatan pendorong sejarah karena bagi Marx bahwa
semua kemajuan penting dalam sejarah terlahir dari konflik, perjuangan, dan revolusi kekerasan. Penderitaan
dan pengorbanan manusia merupakan harga yang harus dibayar bagi perubahan sosial’. Lihat Chapra, Titik
Balik Peradaban, h. 20.
6 Lihat Chapra, op.cit. hal. xx.
7 Lihat Sangaji, Kerja dan Alam, h. 1.


Sebagai produk ilmu pengetahuan modern ada tiga hal yang melekat dalam narasi
konservasi. Pertama, dalam narasi konservasi senantiasa terkandung makna, ideologi,
pengetahuan dan simbol-simbol yang merefleksikan kepentingan dan kebutuhan manusia,
akumulasi ilmu pengetahuan, dan kondisi alam itu sendiri. Kedua, dalam pengetahuan
senantiasa melekat kekuasaan (power), terlepas apakah pengetahuan tersebut adalah
pengetahuan lokal (indigenous knowledge, local knowledge), atau merupakan ilmu
pengetahuan modern (scientific knowledge). Ketiga, narasi konservasi keanekaragaman
hayati dalam waktu singkat menjadi perhatian semua pihak sebagai akibat kampanye dan
lobby yang intensif dari kalangan LSM internasional dan akademisi. Dari yang semula hanya
merupakan ajang kepedulian peneliti dan akademisi (diskursus pengawetan alam). Kini
menjadi ajang kepedulian pemerinta, LSM, pengusaha, dan bahkan lembaga-lembaga
internasional. Konservasi keanekaragaman hayati kini telah menjadi diskurusu global
terutama semenjak dideklarasikannya Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on
Biodiversity).
Dari hasil studi Adiwibowo, et.al (2012) di Taman Nasional Lore Lindu, Konservasi
alam dan konservasi keanekaragaman hayati senantiasa dipandang sebagai produk ilmu
pengetahuan yang di dalamnya secara inheren mengandung power. Masing-masing narasi
tersebut dalam perjalanannya berkembang menjadi diskursus dan kemudian menjelma
menjadi power ketika ditransformasi menjadi konvensi, protokol, dan peraturan perundangundangan yang mengikat, membatasi dan mengatur akses dan kontrol para pihak terhadap
sumber daya keanekaragaman hayati. Salah satu aktivitas konservasi yang membatasi akses

dan kontrol para pihak adalah kawasan taman nasional.
Di Indonesia, kriteria penetapan taman nasional diatur dan dikukuhkan dalam UU No.
5 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan UU NO. 41
tahun 1999 tentang kehutanan, beserta berbagai peraturan pelaksana dibawahnya (Peraturan
pemerintah dan Keputusan Menteri)8. Seperti halnya diberbagai negara lain yang mengadopsi
model Taman Nasional Yellowstone, di Indonesia taman nasional juga dikelola dengan sistem
zonasi (utamanya zona inti, zona rimba, dan zona pemanfaatan) dimana fungsi pengawetan,
perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan diintegrasikan dalam suatu manajemen
kawasan.
Pertarungan wacana dan teritorialisasi di Katu
Teritorialisasi umumnya didefinisikan sebagai proses dimana negara moderen
mendefinisikan dan menerapkan otoritas, bukan hanya atas perbatasan nasional, melainkan
juga atas orang dan sumberdaya di wilayah nasional. Pertarungan wacana dan proses
teritorialisasi selalu berlangsung pada suatu bentang alam dimana berbagai kepentingan hadir
dan menghadirkan diri untuk selalu bertarung. Katu sebagai sebuah desa kecil di Sulawesi
Tengah, bisa menjadi cermin pertarungan wacana dan praktik teritorialisasi yang terus
berlangsung. Sejak pemerintah kolonial Belanda secara formal memasuki pegunungan tengah
Sulawesi sekitar permulaan awal abad 20. Beberapa langkah teritorialisasi pemerintah
kolonial ini antara lain memindahkan berbagai kelompok penduduk ke tempat-tempat yang
lebih mudah di kontrol – orang Katu juga menjadi korban relokasi awal kebijakan kolonial

ini, menarik pajak untuk komoditas tertentu, memetakan hutan damar yang menjadi sumber
8 Lihat Adiwibowo. et.al (2012). op.cit., hal. 9.

pajak kolonial. Wialayah tengah Sulawesi, termasuk Katu didalamnya, dikelompokkelompokan menjadi berbagai tipe kawasan hutan negara, tanpa memedulikan keberadaan
manusia dan pemukiman yang ada didalamnya. Katu, tidak lepas dari pengaruh konservasi
modern, baik nasional maupun internasional. Penetapan Taman Nasional Lore Lindu pada
1993 tidak lepas dari pengaruh kuat konsep dan terapan ilmu konservasi moderen.
Pengukuhan BTNLL (Balai Taman Nasional Lore-Lindu) yang diikuti oleh rencana program
relokasi orang Katu dengan meggunakan dana Asian Development Bank (ADB) pada
hakikatnya merupakan kerjasama antara negara dan agen-agen konservasi internasional.
Evolusi pengelolaan rejim konservasi
Basis awal TNLL adalah areal Suaka Margasatwa (SM) Lore Kalamanta, yang didirikan pada
tahun 1982 ketika kongres ketiga Taman Nasional Sedunia diselengggarakan di Bali, walau
telah dideklarasikan sebagai taman nasional dengan kawasan seluas 231.000 ha, namun
sesungguhnya baru 11 tahun kemudian (tahun 1993) TNLL secara resmi memiliki kawasan
hutan yang diperuntukan untuk itu. Dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia No. 593/Kpts-II/93, tertanggal 5 Oktober 1993, secara resmi dinyatakan kawasan
TNLL merupakan amalgamasi dari Suaka Margasatwa Lore Kalamanta (131. 000 ha), Suaka
Maragasatwa Lore Lindu (67.000 ha), dan Hutan Lindung/Wisata Danau Lindu (31.000 ha);
dengan total luasan mencapai 229.000 ha9. Di dalam surat keputusan tersebut dinyatakan

permukiman penduduk yang berada didalam TNLL (seperti enklave Desa Puro, Lindu
Tomado dan Anca yang mengintari Danau Lindu) dinyatakan sebagai bagian dari kawasan
TNLL. Luas dan batas definitif TNLL baru ditetapkan tahun 1999 setelah melalui proses
pengukuran, pengukuhan dan penetapan batas. Setelah melalui proses tersebut luas definitif
kawasan TNLL akhirnya ditetapkan sebesar 217.991 ha dengan enklave di desa-desa sekitar
Danau Lindu dikeluarkan dari kawasan TNLL. Seluruh wilayah TNLL tersebut tersebar di
dua kabupaten yaitu kabupaten Donggala dan kabupaten Poso 10. Bila dihitung sejak pertama
kali diusulkanya TNLL (tahun 1976), maka seluruh proses tersebut menelan waktu lebih dari
20 tahun11. Proses amalgamasi menjadi TNLL yang memiliki satu kesatuan kawasan
konservasi yang utuh ini ternyata di kemudian hari mengundang banyak persoalan karena
penataan batas kawasan tidak semata persoalan teknis dan batas-batas belaka. Berbagai
perubahan rejim pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemerintah telah merubah akses dan
kotrol masyarakat terhadap sumber daya hutan. Di TNLL dijumapai tiga macam rejim
pengelolaan hutan Lore Lindu yang memberi pengaruh besar pada masyarakat desa sekitar
TNLL. Kalau bisa disingkat yaitu dari Rejim Hutan Produksi -> Rejim Kawasan Suaka Alam
-> Rejim Kawasan Pelestarian Alam.
Keberpihakan
Kita tahu bahwa perjuangan orang Katu untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka atas
tanah pascareformasi 1998 sangat terkenal dikalangan para aktivis gerakan agraria, aktivis
lingkungan hidup, dan peneliti. Surat Pernyataan Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu

9 Untuk gambar evolusi rejim manajemen TNLL lihat Ibid. hal. 43.
10 Sebagai catatan untuk saat ini wilayah TNLL yang termasuk kawasan Kabupaten Donggala sudah menjadi
wilayah Kabupaten Sigi. Karena pemekaran wilayah di tahun 2012.
11 Untuk informasi areal dan luas lahan serta tahap proses pendirian TNLL. Lihat ibid. hal. 42.

(BTNLL) Nomor 35/VI-BTNLL.1/1999 secara garis besar mengakui hak adat orang Katu.
BTNLL membolehkan orang Katu tinggal pada areal seluas 1.178 hektare dan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan kawasan konservasi seluas 229.000 ha. Dengan
memanfaatkan momentum merebaknya tuntutan masyarakat adat pascareformasi, orang katu
mengidentifikasikan diri sebagai masyarakat adat dan berusaha mengkonstruksi kembali
gambaran klaim wilayah hidup mereka. Dibantu para aktivis agraria, orang Katu
menggambarkan peta teritorialisasi wilayah hidup mereka dan menjadikannya sumber klaim.
Peta dilengkapi dengan dokumentasi konstruksi sejarah orang Katu dan tatacara pemanfaatan
sumberdaya alam versi orang Katu. Teritorialisasi versi orang Katu inilah yang digunakan
sebagai argumen untk menolak rencana relokasi pemukiman orang Katu yang dibiayai oleh
ADB, yang sejatinya merupakan kompromi teritorialisasi versi negara dan institusi
konservasi internasional.
Secara historis orang Katu sudah sejak lama berjuang melawan bentuk-bentuk penguasaan
negara maupun korporasi sejak dari zaman kolonial hingga kini. Perjuangan kelas orang Katu
harus dipahami dalam kerangka perjuangan kelas yang tak terdamaikan antara kelas yang

berkuasa terutama melalui negara dan korporasi serta institusi-institusi supranasional (ADB
dan TNC) dan kelas yang dikuasai (petani Katu secara umum). 12 Sebagaimana tanah adalah
bagian dari penghidupan orang Katu untuk beproduksi ketika areal ini di pagari negara yang
didukung institusi-institusi supranasional dalam bentuk taman nasional. Kesadaran untuk
berlawan muncul lewat manifestasi perjuangan kelas melalui penolakan relokasi pemukiman
yang dibiayai oleh ADB.
Upaya jalan keluar
Mengutip D’Andrea dalam pengantar bukunya, “Model klasik sumber daya alam dalam
bentuk Taman Nasional yang tidak dihuni rakyat sesungguhnya telah dibangun berlandas
warisan sejarah, dan narasi yang cacat, dan semua itu telah digunakan untuk membenarkan
unjuk kuasa Negara dan bentuk-bentuk penyingkiran rakyat yang didasarkan pada pandangan
untuk melindungi alam dari manusia’’. Katu menjadi contoh bagaimana upaya negara yang
didukung korporasi dan institusi supranasional dalam menguasai sumber daya alam yang
berpandangan konservasionis tanpa melibatkan peran masyarakat.
Upaya jalan tengah yang dilakukan negara dalam mengakui keberadaan orang Katu di TNLL
merupakan contoh bagimana negara memenuhi tuntutan masyarakat. Sebab negara menjadi
mediator atas kepentingan kelas yang dominan dalam konteks ini perjuangan orang Katu
dengan wacana adat menjadi diskursus yang dominan saat itu.13
Perjuangan atas tanah, akses serta kontrol rakyat setempat atas sumber daya merupakan
faktor penting yang harus secara serius dipertimbangkan. Konflik-konflik yang terjadi

merupakan sejarah panjang perjuangan kelas antar kelas kapital dan rakyat pekerja (petani).
Manakala kontrol rakyat setempat atas sumber daya alam diakui dan keberpihakan negara

12 Lebih jelas untuk uraian keberpihakan kepala BTNLL dan tinjauan bagaimana organisasi supranasional
seperti ADB dan TNC mengembangkan kesadaran konservasi. Lihat ibid. hal. 90-94.
13 Taktik dan strategi pengakuan politik masyarakat Katu bisa dilihat dalam ibid. hal.82-89.

atas rakyatnya, hutan akan jauh lebih terlindungi dengan pengelolaan alam secara sosial dan
terencana.

Penutup
Bagaimanapun terdapat perubahan-perubahan setelah studi-studi di Katu ini dilakukan,
mengingat sumber yang dikutip merupakan hasil studi-penelitian sebelum tahun 2013.
Perubahan-perubahan yang terjadi di Katu saat ini bisa dilihat dari bergantinya komoditi yang
dikelola masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan perjuangan yang berbeda pula.
Disaat D’Andrea melakukan penelitian komoditi utama Katu adalah Kopi dan Rotan, disaat
Adiwibowo dkk melakukan riset di Katu masyarakat adat berjuang untuk mendapat
pengakuannya atas teritorialisasi negara. Kini orang Katu bergantung pada komoditi Kakao
sebagai komoditi alternatif dan perjuangan orang Katu kini ada diwilayahnya secara internal
dan global, karena kepemilikan tanah yang terkonsentrasi pada segelintir orang (tuan tanah)

di Katu (diferensiasi petani), secara global perjuangan diarahkan terhadap ekonomi-politik
kapitalisme yang berdampak terhadap produksi petani.14 Tapi, tak ada yang benar-benar baru
hari ini walupun sebagian kalangan menganggap kapitalisme sebagai satu sistem ekonomipolitik saat ini bekerja sangat kompleks dan berbeda dengan apa yang diamati Marx saat
perkembangan kapitalisme berlangsung di Eropa. Memang benar kini kapitalisme bekerja
sangat kompleks, kitapun kebingungan mengamatinya, apalagi dengan dominanya sistem
financial kapital global saat ini. Yang perlu diingat dan paling utama adalah cara bekerja
sistem ini masih sama dari sejak kelahiranya di Inggris sampai saat ini yaitu berdiri diatas
eksploitasi manusia atas manusia yang berorientasi profit. Enclosure 15 dan Akumulasi
Primitif16 masih berlangsung kini, penyingkiran petani dari lahan produksinya (tanah) lewat
instrumen kebijakan, aparatus negara bahkan dengan cara yang berdarah-darah dan macammacam mekanisme lainnya. Upaya itu untuk menyiapkan pra-kondisi masuknya korporasi
berbasis buruh-upahan yang mengubah hubungan-hubungan kerja berbasis rumah tangga dan
pertukaran tenaga kerja menjadi hubungan kerja kapital (buruh-upahan).
The struggle continue...!
*Mahasiswa Sosiologi Pedesaan, IPB.

14 Wawancara penulis dengan Adriansyah Manu (Mahasiswa Sosiologi Untad). Nov 2013. Peneliti hubunganhubungan produksi di Katu yang saat ini masih berjalan.
15 Merujuk pada Marx (1990: 885) dalam Mulyanto, ‘’Bill of Enclosureof The Commons, kata lainnya ialah
dekrit yang dengan dekrit itu para penguasa-lahan menganugerahi diri sendiri lahan-lahan penduduk menjadi
milik pribadi, [atau] dekrit penggusuran penduduk’’.
16 Merujuk Marx (1976) dalam Sangaji, ‘’...banyak orang keliru menganggap akumulasi primitif sebagai
sesuatu yang terjadi di masa lalu, ketika terjadi transisi , ketika terjadi transisi dari feudalisme ke
kapitalisme. ...pengertian akumulasi primitif seperti ditulisnya di Capital Volume I: (1) rampas alat produksi
petani (non-kapitalis) dan karena itu (2) mereka, kemudian, tidak punya pilihan, kecuali menjual tenaga
kerjanya secara bebas, maka kita akan begitu mudah melihat bahwa momen itu kini terjadi sekarang di manamana’’.

Kepustakaan :
Adiwibowo S, Shohibuddin M, Savitri LA, Sjaf S, Yusuf M. (2012). Analisis isu pemukiman
di tiga Taman Nasional Indonesia. Bogor: Sajogyo Institut.
Chapra, Fritjof. (2007). Titik Balik Peradaban. Jejak: Yogyakarta.
D’Andrea, Claudia. (2013). Kopi, Adat dan Modal, Teritorialisasi dan Identitas Adat di
Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Tanah Air Beta: Yogyakarta.
Mulyanto, Dede. (2012). Genealogi Kapital, Antropologi
PranataEksploitasi Kapitalistik. Yogyakarta: Resist Book.

dan

Ekonomi

Politik

Sangaji, Arianto. (2013). Kerja dan Alam (Pendidikan Ekonomi Politik). Yayasan Tanah
Merdeka: Palu, Sulawesi Tengah.
------------------.(2013). Wawancara Left Book Review: Pilihannya sederhana Sosialisme atau
Barbarisme (Kapitalisme). Jurnal IndoProgress: Indonesia