bahasa pikiran dan bahasa realitas

Bahasa, Pikiran dan Realitas
Oleh: Muh. Abdi Goncing

Sejatinya, bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh manusia untuk
melakukan interaksi secara sosial dengan manusia lainnya. Untuk itu, bahasa disini juga
merupakan bagian daripada realitas itu sendiri yang dalam cakupannya pun terkandung
interpretasi dari pikiran manusia itu sendiri. Pada prosesnya, bahasa akan melahirkan sebuah
makna yang sebelumnya diolah oleh pikiran yang kemudian melalui makna tersebut lahir
sebuah pemikiran yang bisa dijadikan sebagai acuan dasar dalam melakukan tindakan.
Sebagaimana diungkapkan oleh fisher dalam Alex Sobur (2006: 19), makna itu
sendiri bisa dikatakan sebagai konsep yang abstrak. Semenjak Plato mengkonseptualisasikan
makna manusia sebagai salinan “ultrarealitas”, para pemikir besar telah sering
mempergunakan konsep itu dengan penafsiran yang sangat luas yang merentang dari Locke
sampai ke respon yang dikeluarkan dari Skinner.
Pertanyaan kemudian muncul, darimana datangnya makna tersebut?. Menurut De
Vito (1997: 123-124), makna ada lahir dari dalam diri manusia. Menurutnya, makna tidak
terletak pada kata-kata (bahasa), melainkan pada manusia itu sendiri. Manusia hanya bisa
menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin dikomunikasikan. Olehnya itu,
disini tentu saja dapat dilihat bahwa makna kata (bahasa) dalam pola komunikasi sosial
ditentkan oleh tawar menawar yang selalu tanpa hienti. Tawar menawar yang dimaksudkan
disini adalah sebuah mekanisme dalam mengkomunikasikan bahasa yang lahir dari kata itu

sendiri.
Semua ahli komunikasi sepakat, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat
dalam Alex Sobur (2006: 20) bahwa makna bahasa sangatlah subjektif. Dalam kehiduapn
sehari-hari, sering ditemui kasus dimana seseorang membaca atau mendengar kata atau
kalimat yang menggunakan bahasa yang tidak diketahuinya (bahasa yang bukan bahasanya).
Dalam persoalan ini, kemudian secara tidak langsung jelas meemrlukan interpretasi yang
subjektif dari sang pembaca atau pendengar tersebut, jadi bukan hanya soal pengalihan
bahasa ke dalam bahasa yang digunakannya melainkan juga interpretasi yang secara tkhnis
menggunakan pikiran sang pendengar atau pembaca tersebut tadi.

Sehingga, bisa dikatakan bahwa bahasa dan maknanya serta pikiran itu sendiri
merupakan sesuatu yang kolektif. Seandainya saya sebagai penulis misalnya membuat sebuah
pernyataan yang menurut saya adalah positif, namun karena bahasa yang saya gunakan
dimaknai negatif oleh orang yang mendengarnya, maka kemudian pemaknaan yang ada pun
menjadi memiliki arti yang berbeda, sebab sekali lagi bahwa antara bahasa dan maknanya
serta pikiran itu sendiri memiliki tugas masing-masing yang pada tingkat lanjut
mempengaruhi realitas yang melingkupi ketiga elemen tadi. Disinilah mungkin kebenaran
teori dari Roland Barthers yang mengatakan The author is dead. Sebagaimana dikatakan
dalam bukunya The Death of Author (1977), dimana ia banyak memaparkan tentang peran
pengarang, buku dan teksnya. Ia juga mengatakan penggusuran pengarang, peran sang

pengarang yang makin mengecil (seperti pemain yang menghilang pada ujung panggung)
(Kaelan, 2009: 202).
Dari pengantar diatas, penulis akan mencoba mengankat sebuah tema dalam tulisan
ini, yang pada dasarnya berangkat dari sebuah kasus yang sering dilihat dalam kehidupan
keseharian manusia sebagai makhluk sosial, yakni tentang bahasa yang digunakan oleh
penguasa terhadap rakyatnya ketika mengeluarkan sebuah kebijakan. Begitupun dalam
bahasa yang digunakan oleh media dalam meliput apa yang dikatakan oleh penguasa tersebut,
yang sangat berpengaruh terhadap opini dan kehidupan realitas manusia itu sendiri.
Namun sebelum itu, penulis juga aka sedikit membahas makna kata, pikiran dan
realitas itu sendiri yang kemudian akan dilanjutkan dengan pengkorelasian atas ketiganya.
Pada akhirnya nanti, penulis akan coba memberikan sebuah analisis dari ketiga hal diatas
yang saling kontiniu dan berhubungan satu sama lain dalam sebuah kasus sebagaimana telah
disebutkan diatas.
Mungkin para pembaca yang budiman merasa bahwa tulisan ini sejatinnya
mendekati analisis semiotika atau hermeneutika ketimbang analisis filsafat bahasa yang coba
digunakan dalam tulisan ini. Namun perlu digaris bawahi, menurut penulis sendiri bahwa
sejatinya kajian semiotika maupun hermeneutika adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan
dengan kajian filsafat bahasa, sebab keduanya pun lahir dari pengembangan analisis filsafat
yang bercorak kebahasaan.
Keterkaitan kedua hal tersebut dengan filsafat bahasa, dapat dilihat dalam

pembahasan filsafat bahasa itu sendiri. Dalam filsafat bahasa, selain membahas hakikat
bahasa sebagai suatu sistem tanda, juga mengkaji tentang bagaimana hakikat bahasa sebagai

suatu ungkapan kehidupan manusia (Kaelan, 2009: 160). Untuk itu menurut penulis,
pembahasan dalam tulisan ini sangatlah relevan dengan kajian filsafat bahasa yang akan
digunakan dalam analisis dalam tulisan ini.
Sebagai penguat argumen diatas, dapat pula dilihat dari apa yang dikatakan oleh
Saussure dan Wittgenstein dalam Kaelan (2009: 159-160). Menurut Saussure bahwa bahasa
adalah merupakan suatu sistem tanda. Sedang menurut Wittgenstein bahwa ungkapan bahasa
merupakan suatu ungkapan kehidupan. Untuk itu antara semiotika, hermeneutika dan kajian
filsafat dapat dikatakan mirip tapi beda, sebab antara ketiga memiliki akar yang sama namun
arahnya sedikit berbeda.
A. Kata, Pikiran dan Realitas
Menurut Russel (1921:103), dalam sebuah kata adalah bukan sesuatu yang unik dan
particular melainkan sebuah kumpulan kejadian. Jika kita membatasi diri untuk mengucapkan
kata-kata, maka kata tersebut memiliki dua aspek, tergantung seperti apa kita memandangnya
baik dari sudut pandang si pembicara maupun dari para pendengarnya. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa sejatinya sebuah pemaknaan atas sebuah kata akan mempengaruhi
interpretasi dalam memahami maksud kata tersebut. Apalagi dalam kandungan kata tersebut
terdapat sebuah kumpulan fakta kejadian yang tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi

realitasnya. Sebagai salah satu tokoh awal dari filsafat analitik, Russell beranggapan bahwa
sebuah kata adalah tidak sama sekali sesederhana aeperti yang kita pikirkan. Sebab sebuah
kata terkadang memiliki kata lain yang sepadan dengannya namun maknanya terkadang
sangat berbeda jika diaplikasikan dalam sebuah konteks yang sama. Olehnya itu, kata
tersebut secara alami memberikan asumsi terhadap pemaknaan sebuah kata sebagai sesuatu
yang memiliki arti yang berbeda dengan makna asli dari kata tersebut.
Untuk itu, perlu dilihat disini, bahwasannya setiap rangkaian kata secara otomatis
akan membentuk sebuah struktur kalimat yang tentunya dari struktur kalimat tersebut
melahirkan sebuah bahasa. Untuk melihat hal tersebut bisa kita lihat dalam dalam pandangan
Galileo dalam Chomsky (2002: 45) yang sedikit memberikan pemaknaan terhadap bahasa
yang digunakan oleh manusia yakni penggunaan kata-kata yang bermakna secara terbatas
terhadap ekspresi sebuah susunan pikiran yang tak terbatas.
Selain itu, bahasa sendiri jika didefenisikan akan bermakna selain bermakna sebagai
alat komunikasi juga dapat diartikan sebagaimana yang dikatakan Blommfield dalam Kaelan

(2002: 7) sebagai bentuk empirik yang merupakan sarana ekspresi manusia. Sehingga dengan
demikian dapat dikatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem simbol yang memiliki makna,
berfungsi sebagai alat komunikasi dan bentuk luapan ekspresi dari pikiran manusia dalam
pencariannya tentang hakikat kebenaran, terutama dalam kehidupannya sehari-hari.
Sedikit berbeda dari pemaparan diatas, menurut Bourdieu, bahasa merupakan satu

elemen intrinsik dalam perjuangan kompetitif atas pemakaian kebudayaan dan proses
reproduksi budaya yang memberikan kontribusi penting pada tatanan yang ada (Richard
Jenkins, 1992:243). Pandangan ini, kemungkinan besar didasari atas titik tolak pandangan
Bourdieu pada hal kebudayaan.
Selain itu, juga hal ini sangat mungkin didasari kritik atas bahasa formalis dan
bahasa murni dan keberatannya terhadap pemisahan yang dilakukan Saussure atas Bahasa
(langue) dan tuturan (parole) dan diferensiasi antara kompetensi dan penampilan yang
diungkapkan oleh Chomsky (untuk lebih lengkapnya lihat Richard Jenkins, 1992: 235-237).
Selanjutnya, pikiran yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berasal
dari hasil proses kerja otak yang kemudian ditransfer kepada akal yang dengan sendirinya
menghasilkan sesuatu yang sering disebut sebagai pikiran. Untuk itu, jika ditinjau lebih jauh
mengenai pemaknaan atas pikiran ini, menurut penulis bahwa sejatinya pikiran manusia itu
berasal dari kata-kata yang digunakannya dalam berbahasa. Sehingga pada level berikutnya
menimbulkan sebuah pemahaman tentang sesuatu hal yang dapat di interpretasikan. Namun,
sangat berbeda jika lahirnya suatu pikiran dalam kepala manusia yang tidak bermula dari
penggunaan kata yang dirangkai dalam bahasa tertentu. Setidaknya akan menimbulkan
makna pikiran yang kosong dan tak berguna.
Terkadang orang mengartikan antara pikiran dan berpikir dengan arti yang sama.
Padahal antara keduanya memiliki perbedaa yang sangat signifikan. Berfikir merupakan
sebuah proses yang dimulai dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak. Sedangkan pikiran

adalah hasil dari proses berfikir itu tadi yang bermula dari sesuatu yang abstrak ke hal yang
konkrit. Jadi antara keduanya jelas sangat berbeda meskipun memiliki keterkaitan yang
sangat erat. Kedua hal inilah jika digabungkan dan dirunutkan satu sama lain akan
menimbulkan apa yang sering disebut sebagai proses dialektika.
Lenin dalam Muhammad Baqir Ash-Shadr (1999: 123) memberikan defenisi
terhadap arti dari pikiran, yakni benak manusia yang mengkonsepsikan kebenaran sematamata sebagai gambar yang lemah dan diam tanpa gerak. Sehingga, pengetahuan atau

kebenaran yang dihasilkannya adalah kedekatan yang tak ada habisnya dan abadi. Pandangan
ini tentunya didasari atas pemahaman tentang dialektika oleh lenin sendiri, yang pada
aplikasinya menggunakan penegrtian ini sebagai sebuah alat dominasi terhadap pemikiran
yang dikembangkannya.
Selanjutnya, jika ditinjau libh jauh, maka akan ditemukan makna atas pikiran itu
sebagai suatu hal yang menginginkan pencarian terhadap suatu kebenaran yang hakiki. Sebab
pengetahuan akan kebenaran menurut para rasionalis dan realis hanya dapat dilakukan
dengan menggunakan pikiran. Jadi, jika mengacu pada pendapat Russell tentang pengetahuan
tersusun atas kepercayaan dan cerapan indera, maka objek kebenaran akan pengetahuan
hanya dapat ditangkap oleh indera dan dikelola oleh pikiran yang pada akhirnya menemukan
hakikat kebenaran itu sendiri ( lebih detailnya, lihat Abbas Hamami Mintaredja, 2003: 7071).
Pikiran disini juga, jika ditinjau dari akar kebahasaan, maka akan dijumpai
pemaknaan berupa hierarki dalam bahasa dan pemikiran, yang dalam teori Russell

diasumsikan sebagai teori bentuk. Sehingga, lebih lanjut dijelaskan bahwa penggunaan kata
atau bahasa sangat tergantung pada kondisi pertimbangan logis dan pertimbangan psikologis
(Ibid: 69) dan tentunya kedua hal ini sangat erat kaitannya dengan pikiran itu sendiri.
Untuk itu dapat dikatakan bahwa pikiran itu lahir dari olah nalar yang bersifat logis
melalui rangkaian kata-kata dalam bahasa yag diterimanya yang kemudian melahirkan
sebuah tesis atas sebuah kebenaran. Bahkan secara bebas, realitas dapat diartikan sebagai
bentuk segala kondisi yang di dalamnya terdapat objek-objek yang ada dalam dunia
kehidupan, atau sering dilawankan dengan kata fiksi atau fantasi yang hanya besifat hayalan
dan halusinasi.
Pemaknaan atas realitas sendiri, dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang ada
(eksis) pada lingkungan sekitar kehidupan manusia. Pemaknaan ini memang sangatlah
sederhana jika ditinjau dari aspek pendangan yang sederhana pula. Namun, setidaknya
pemaknaan ini dapat mewakili arti dari realitas itu sendiri.
Realitas sendiri menurut Yasraf Amir Piliang (2010: xxix) adalah ibarat sebuah peta
geografis yang dinamis, yang tampil dalam kekayaan kontur, permukaan, dataran, retakan
atau keping-keping; yang unsur-unsurnya selalu berganti, berubah, berpindah, atau
bertransformasi. Sehingga menurutnya lagi realitas itu selalu menampakkan wujudnya dalam
cara yang berbeda. Terkadang ia hadir seperti dugaan, namun sering juga tampil dalam
keadaan yang tak terduga; terkadang ia muncul seperti yang dibayangkan, namun terkadang
pula muncul tidak seperti yang dibayangkan. Kadang ia tampak dalam keberaturan, tetapi


sering pula tampak dalam bentuk tak beraturan. Kadang ia refleksi dari sebuah hal yang
rasional, namun sering pula ia menjadi sebuah refleksi yang berasal dari hal yang irrasional.
Untuk itu, memahami sebuah realitas, memang memerlukan sebuah penalaran dan
penginderaan yang sangat kompleks. Sebab jika tidak seperti itu, maka pembacaan secara
utuh terhadapnya terkadang tidak tepat sasaran yang dituju dan dengan sendirinya akan
menimbulkan sebuah pandnagan yang tidak realistis.
Donny Gahral Adian dalam Yasraf Amir Piliang (2010: xix) membagi dua narasi
besar tentang asal usul realitas tersebut. Menurutnya, narasi yang pertama adalah narasi
agama-agama monoteis. Narasi ini bercerita tentang penciptaan alam semesta oleh Tuhan dari
sebuah ketiadaan. Narasi yang kedua adalah narasi kosmologi sekular. Narasi ini merupakan
kobinasi filsafat dan ilmu alam yang memunculkan pelbagai macam teori-teori besar sebagai
lawan tanding dari narasi agama. Namun terlepas dari perbedaanya satu sama lain, keduanya
bersikukuh tentang perwujudan alam semesta sebagai awal mula sejarah manusia.
Dari penjabaran diatas, dapat dijabarkan bahwa persoalan realitas adalah sebuah
persoalan klasik, utamanya dalam tataran dunia filsafat. Mulai dari era Plato sampai pada era
posmodernisme yang banyak membahas tentang persoalan bahasa dan sistem tanda. Pada eraera tersebut, sering muncul pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar, seperti apa itu
realitas?, bagaimana wujudnya? Dan seperti apakah yang disebut real itu?.
Dalam sejarah filsafat, tercatat bahwa pandangan tentang realitas adalah sesuatu
yang bersifat materi dan objektif, yang mana hanya dapat dikenali dan dipahami lewat

mekanisme intuisi dan indera, yang membawa pada sebuah pandangan materialisme
mengenai realitas. Namun di lain pihak, penjelajahan mengenai kemungkinan adanya realitas
lain dibalik yang materil, yang mana hanya dapat ditangkap melalui kapasitas akal budi (ide,
gagasan, Tuhan, esensi), membawa pada sebuah pandangan idealisme mengenai realitas
(Yasraf Amir Piliang, 2010: 5).
Sehingga, dari seluruh pemaparan pada sub masalah ini, dapat dikatakan bahwa
tentang makna dari kata yang merupakan rangkai penyusun dari bahasa, pikiran dan realitas
memiliki keterhubungan satu sama lain, yang pada sub pembahasan berikutnya akan
dijabarkan secara lebih rinci bentuk dan pola hubungan ketiganya.

B. Korelasi antara kata, pikiran dan realitas
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tentang makna dari ketiganya, dapat
dilihat secara implisit bahwa sejatinya antara ketiganya memiliki keterhubungan timbal balik
antara satu dengan yang lainnya. Untuk itu, dalam sub pembahasan ini, penulis akan sedikit
memaparkan keterhubungan (korelasi) dari ketiganya yang berdasarkan analisis kebahasaan
dan konteks ketiganya dalam kehidupan sehari-hari.
Kata, jika dipahami secara lebih luas maka akan ditemukan sebuah pemahaman yang
tak bisa dilepaskan dari hal yang sering disebut dengan bahasa. Sebab bahasa (secara verbal)
itu sendiri merupakan rangkaian kata-kata yang secara harfiah memiliki makna sendirisendiri.
Secara logis, hubungan antara kata (bahasa) dengan pikiran dan realitas dapat dilihat

melalui penggunaan kata (bahasa) dalam kehidupan sehari-hari manusia. Dalam hal ini, jelas
terlihat hubungan antara kata dan keduanya. Sebab melalui kata maka akan menimbulkan
pantulan dari sebuah simbol bunyi yang akan dikelola oleh otak melalui pikiran dan akan
kembali dipantulkan kepada keadaan realitas tersebut melalui simbol bunyi yang disebut
sebagai bahasa. Penjelasan ini memang terlalu sederhana, namun hal tersebut bukanlah
sebuah kendala yang teramat besar jika dibandingkan dengan sebuah penjelasan yang
panjang lebar namun sangat sulit untuk dipahami.
Meskipun demikian, supaya dikatakan sebagai sesuatu yang rinci, maka perlu juga
sedikit diberikan rncian hubungan timbak balik antara ketiganya dengan model penjelasan
yng menggunakan model term per term.
Kata (bahasa) sebagaimana diungkapkan dalam penjelasan sedrhana diatas dengan
hubungannya dengan pikiran jelasa sangat signifikan. Sebab jika ditinjau lebih dalam lagi,
antara keduanya saling menunjang satu sama lian. Kata sebgai perangkai bahasa tak akan
pernah ada jikalau manusia tidak pernah memiliki pikiran. Begitupun sebaliknya, kata pikiran
sendiri tidak akan pernah lahir apabila tidak ada bahasa yng biisa mengungkapkannya.
Sehingga dalam tataran teorinya, keduanya saling memberikan simbiosis mutualisme dalam
melaksankan peran masing-masing. Analogi ini memang masih senagt sulit diterima jika
hanya dilihat dari sisi yang berbeda dari kajian ini. Namun untuk menegaskan, perlu
diperhatikan sekali lagi bahwa ketidakterlepasan antara hubungan keduanya adalah sesuatu
yang sanat mutlak adanya.

Seperti yang dikatakan oleh Lyotard (2009: 56) tentang komentarnya mengenai
Wittgenstein yang mengambil studi bahasa dalam keping-kepingan dan memfokuskan
pehatiannya pada efek-efek mode yang berbeda dari wacana-wacana. Dia menyebutnya

sebagai beragam tipe ucapan yang diidentifikasikannya dalam suatu cara yaitu permainan
bahasa. Penjelasan ini jelas memberikan sebuah pandangan bahwa dalam metode ini,
permainan bahasa tidak bisa dilepaskan dari pola pikir yang memainkan metode tersebut
sebagai salah satu metode dlam mengidentifikasi sesuatu.
Selanjutnya, karena dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berfikir, maka
dengan demikian akan ditemukan sebuah konsekwensi logis dari pandangan ini yakni
manusia juga adalah mkhluk yang memiliki bahasa. Sebab manusia mengekspresikan
pikirannya hanya lewat bahasa (baik verbal maupun non verbal), sebagaimana jika merujuk
kepada makna dari bahasa itu sendiri sebagai bentuk pengekspresian dari hasil pikiran
manusia. Sehingga, tak diragukan lagi hubungan antara keduanya sangatlah erat. Bahkan dari
hal ini bisa dilihat bagaimana kondisi psikologis seseorang. Bila bahasa yang digunakan oleh
ornag tersebut kacau, maka secara otomatis bahwa pikiran otang tersebut juga kacau
begitupun sebaliknya (Alex Sobur, 2006: 16).
Kemudian, hubungan antara pikiran dan realitas dapat dilihat dari pendapat Russell
tentang pengetahuan tersusun oleh kepercayaan dan cerapan indera. Dimana secara implisit
bisa dikatakan bahwa kepercayaan itu adalah pikiran dan cerapan indera itu adalah gambaran
murni dari sebuah realitas. Hal ini bisa dilihat pula pada pandangan Russell dalam Abbas
Hamami Mintaredja (2003: 70) bahwa semua pengetahuan atas dasar pengalaman
mengatakan kepada kita sesuatu mengenai apa yang tidak dialami, yang didasarkan pada
kepercayaan yang tidak dapat dibenarkan maupun ditolak oleh pengalaman, akan tetapi
setidaknya dalam penerapannya yang lebih konkret, tampak banyak fakta pengalaman
berakar kuat dlam diri kita.
Bertolak dari pandangan diatas, disini snagat jelas terlihat bahwa antara pikiran yang
dipantulkan dari pengalaman manusia yang berasal dari dunia realitas memiliki
keterhubungan yang saling timbal balik sebab dari pantulan tersebutlah maka kemudian
timbul sebuah kepercayaan atas pengalaman tersebut yang tentunya didasari atas pikiran
manusia.
Mengenai korelasi antara kata (bahasa) dan realitas disini, bisa dilihat dalam
kehidupan keseharian dalam kehidupan manusia. Semisal, perkataan yang diberitakan oleh
sebuah radio tentang “hantu jamu gendong” akan sangat mempengaruhi opini para
pendengarnya bahwa hantu jamu gendong itu ada. Tentunya berawal dari bahasa ini lah yang
kemudian membentuk sebuah opini yang apda tingkat selanjutnya membentuk realitas sosial
masyarakat tentang kepercayaan terhadap keberadaan hantu jamu gendong tersebut. Jadi bisa
dikatakan bahwa bahasa mempunyai sebuah kekuatan besar yang mampu membentuk sebuah

realitas baru dalam masyarakat, yang dengan sendirinya memunculkan istilah (bahasa)
kosakata baru tentang sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.
Saking besarnya kekuatan pengaruh bahasa terhadap realitas ini dan begitupun
selanjutnya realitas memunculkan kosakata bahasa yang baru, sehingga bisa menggerakkan
dunia ini dengan hanya mengucapkan sebuah rangkaian bahasa melalui kata-kata tersebut.
Bahkan ada yang memandang bahwa kebesaran bahasa tersebut sangat ditentukan oleh
makna yang dikeluarkan bahasa tersebut. Sehingga melalui makna bahasa tersebut manusia
dapat mengisi hidupnya dengan penuh makna pula (Alex Sobur, 2006: 16).
Dalam kajian filsafat bahasa sendiri, dikatakan bahwa orang dapat mencipta dan
menata realitas hanya lewat bahasa. Sebab melalui bahasa segala bentuk persoalan yang
tersembunyi pun bisa muncul kepermukaan dan bisa diketahui secara umum sehingga
menjadi sebuah kenyataan. Meski menurut Lorens bagus dalam Alex Sobur (2006) bahasa
dapat juga menjadi boomerang bagi kehidupan manusia sebab bisa menghancurkan sebuah
tatanan realitas yang sudah mapan (menjadi bahasa tiran).
Dari sub pembahasan ini, dapat dilihat betapa keterhubungan antara ketiganya yang
secara timbal balik ini memiliki arti yang sangat penting dalam proses perkembangan
pengetahuan ummat manusia. Sebab ketiganya dapat membentuk dan menentukan sebuah
bentuk kehidupan yang ideal atau tidak. Selain itu, dapat pula dilihat disini bahwa bahasa itu
sendiri memiliki beberapa fungsi pokok yang sangat menunjang apakah pikiran dan realitas
bisa berjalan atau tidak. Diantara fungsi pokok itu adalah pertama fungsi ideasional yang
dapat membentuk, mempertahankan dan memperjelas pandangan manusia, kedua fungsi
interpersonal yang dapat memberikan dan menyampaikan informasi tentang apa yang terjadi
dalam realitas kehidupan manusia dan ketiga fungsi tekstual yang menyediakan sebuah
kerangka pengorganisasian sebuah wacana yang releven terhadap perkembanagan pemikiran
manusia dalam melihat realitas (untuk lebih lengkapnya, lihat Alex Sobur, 2006: 17-19).
C. Media sebagai pusat bahasa, pembentuk opini dan realitas
Sebelum memulai analisis ini, penulis ingin sedikit bercerita tentang dua orang
tukang becak. Kedua orang ini memiliki tempat mangkal yang sama pada sebuah ruas jalan
protokol di kota Makassar. Suatu hari tersiar kabar melalui media lokal bahwa telah terjadi
sebuah perkelahian antar etnis dimana etnis yang terlibat perkelahian itu melibatkan kedua
etnis kedua tukang becak ini yang masing-masing dipihak yang saling bertikai tersebut.
Namun ada sesuatu yang tidak diungkapkan media secara rinci dalam pemberitaan tersebut,

yakni tentang awal mula perkelahian itu yang sebenarnya hanya melibatkan dua orang saja
dengan pokok permasalahan yang sangat sepele.
Pemberitaan yang dikeluarkan oleh media tersebut, dengan menggunakan banyak
sekali bahasa yang metaforis sehingga mempengaruhi hubungan kedua orang ini. Apalagi
pemberitaan itu semakin lama semakin dibesar-besarkan sebab kebetulan dalam waktu dekat
akan terjadi terjadi pemilukada yang melibatkan pertarungan dua pasnag calon yang berasal
dari kedu etnis yang bertikai tadi. Semakin lama, hubungan antara kedua tukang becak tadi
semakin memburuk. Puncaknya adalah ketika salah satu pasangan calon yang terlibat
pertikaian tersebut melintas di jalan tempat mereka mangkal tadi. Sang tukang becak yang
satu (sebut saja si A) yang tidak mendukung pasangan calon yang melintas ini karena alasan
berbeda etnis kebetulan membaca berita pertikaian tersebut pada salah satu koran lokal. Gaya
bahasa yang digunakan dalam koran tersebut sangat berapi-api dan si A merasa etnisnya
cenderung dipojokkan. Maka dengan serta merta si A tersebut melemparkan koran tersebut ke
arah sang pasangan calon tadi disertai dengan makian yang tentunya didengar oleh si tukang
becak yang satunya (sebut saja si B). Mendengar hal itu si B merasa tersinggung dan
langsung menghantam si A dengan sebuah kepalan tinju. Sehingga kemudian terjadilah
perkelahian yang sehurusnya tidak terjadi disebabkan oleh bahasa yang digunakan oleh
media koran tadi yang dipahami oleh si A agak menyudutkannya apalagi terdapat anggapan
yang menunjukkan bahwa media tersebut cenderung berat sebelah.
Dari pemaparan diatas, dapat dilihat secara real di masyarakat bahwa bahasa media
sangat mempengaruhi opini publik yang pada gilirannya mempengaruhi tindakannya dan
realitas masyarakat tersebut. Meski demikian, sejatinya dalam kasus seperti yang dipaparkan
diatas, meski dilihat peran tunggal media yang melakukan tafsir tunggal terhadap bahasa
yang digunakannya tanpa memperhatikan ruang publik yang menjadi sasaran penberitaannya.
Maka dari itu, dalam pembahasan ini sengaja penulis mengankat tema media sebagai pusat
bahasa yang sangat berpengaruh pada opini publik dan tentunya realitas itu sendiri.
Mungkin masih teringat ketika fase orde baru dahulu, bagaimana sang rezim
menggunakan tafsir tunggal terhadap pancasila yang disebarkan melalui saluran media baik
cetak maupun elektronik. Melalui media pula, setiap malam tanggal 30 september disiarkan
film bagaimana kejadian yang sering disebut G 30S/PKI itu. Dengan menggunakan bahasa
yang sangat propagandis dan dikotomis merasuki pikiran setiap anak bangsa ini, sehingga
segala sesuatu pemikiran yang menyangkut pemikiran komunisme dan marxisme secara
umum tidak boleh untuk disentu apalagi untuk dipelajari.

Begitupun dengan beberapa kosakata yang dahulunya mengandung makna yang
sangat mengakar dalam pikiran manusia Indonesia kemudian di reduksi atau paling tidak
diperhalus, semisal kata ditangkap diganti dengan diamankan, rakyat diganti dengan
masyarakat, digusur diganti direlokasi, dsb. Hal ini jelas mendistorsi makna sebuah bahasa
yang sudah ada yang pengaruhnya jelas berimbas pada opini publik dalam memaknai realitas.
Menurut Walter Truett Anderson dalam Yasraf Amir Piliang (2010: 69) media
senantiasa mengambil bahan baku dari pengalaman dan mengemasnya dalam bentuk cerita.
Ia menceritakan kembali cerita itu kepada kita dan kita pun menyebutnya sebagai realitas.
Pandangan ini jelas menunjukkan bahwa sejatinya selama ini media lah yang sering
membentuk apa yang sering disebut sebagai realitas tersebut, yang pada kenyataannya kita
pun secara tidak sadar mengikutinya.
Melalui produksi bahasa yang dilakukan media ini, sepertinya telah terjadi apa yang
disebut sebagai hegemoni oleh Gramsci. Dengan pesatnya perkembangan tekhnologi
informasi saat ini, jelas hal ini secara tidak langsung juga mempengaruhi opini dan
pandangan terhadap realitas. Apalagi jika media tersebut di dalamnya terselip sebuah
kepentingan yang bukan menjadi kepentingan asli dari keberadaan media itu sendiri sebagai
penyampai informasi. Hal yang menjadi penyebab utama dalam melencengnya posisi media
ini, menurut Piliang (2010: 69) adalah kuatnya pengaruh kepentingan ekonomi dan
kekuasaan politik

dalam media tersebut, sehingga ia tidak dapat bersikap netral dan

informatif dalam menyajikan beritanya.
Sepertinya, produksi bahasa yang dilakukan media ini tak lain adalah apa yang
dikatakan oleh Lyotard (2009) sebagai metode permainan bahasa. Dimana melalui permainan
bahasa ini muncul sebuah mode legitimasi melalui otonomi kemauan. Selain itu menurutnya
juga bahwa dalam permainan bahasa ini peraturan mereka tidak membawa legitimasi sendiri
oleh mereka sendiri, namun sebagai objek kontrak diantara para pemainnya; bila tidak ada
peraturan maka tidak ada pula permainan; setiap ucapan harus dipikirkan sebagai sebuah
langkah dalam suatu permainan (lebih lengkapnya lihat Lyotard, 2009: 54-58 dan 106-118).
Analisis diatas jelas memberikan gambaran bahwa sejatinya media, yang dalam hal
ini sebagai pusat produsen bahasa dalam kehidupan manusia yang serba canggih ini,
merupakan pemeran utama dalam setiap bahasa baru yang lahir dalam kehidupan manusia.
Sebab tanpa seperti itu, keeksisan mereka pun sebagai seorang pemain inti akan menjadi
sebuah pertanyaan besar dan juga tidak memiliki nilai tawar yang berarti dalam kehidupan
manusia.

Sejalan dengan analisis sebelumnya, jika ditarik kedalam persoalan kebudayaan,
yang tentunya setiap kondisi realitas didlamnya terdapat sisi budaya manusianya termasuk
budaya pikirnya, akan menjadi sebuah habitus sebgaimana dikatakan oleh Bourdieu dalam
Richard Jenkins (1992: 237-238) bahwa terdapat habitus linguistik yang meliputi
kecenderungan budaya untuk mengatakan hal-hal tertentu, suatu kompetensi linguistik yang
spesifik, dan kapasitas sosial untuk menggunakan kompetensi itu secara tepat. Selain itu,
terdapat pula didalamnya pasar linguistik yang berbentuk sanksi dan sensor, dan
mendefenisikan apa yang tidak boleh dikatakan dan apa yang boleh dikatakan.
Jadi, sangat jelas bahwa sebagai pusat produksi bahasa tunggal di era pesatnya
perkembangan tekhnologi informasi ini, media snagatlah berpengaruh terhadap pembentukan
opini dan pikiran manusia yang dengan sendirinya membentuk sebuah realitas baru yang
belum pernah ada melalui penggunaan bahasanya tersebut.
Untuk itu sebagai sebuah saran (bukan solusi), mestinya dalam hal ini media
mempelajari makna hakikat bahasa yang mesti dipergunakannya agar terdapat saling
kesinambungan antara ketiga hal yang sangat dipengaruhinya atau paling tidak menemukan
sebuah formulasi baru dalam penggunaan bahasa yang digunakannya, agar cocok dan pas
serta bisa diterima dan dicerna dengan baik dan positif (atau mungkin ditiru) oleh manusia
sebagai objek dari penggunaan bahasanya. Sehingga pada tataran selanjutnya, bahasa tersebut
bisa menjadi sebuah habitus dalam perkembangan kehidupan dan pemikiran manusia.
Terakhir, penulis ingat sebuah semboyan salah satu koran terbesar di Sulawesi
Selatan yang berbunyi “Berpijak di Garis tak Berpihak”. Benarkah demikian???

Daftar Pustaka
Ash-Shadr, Muhammad Baqir, 1999, Falsafatuna (terjemahan), Mizan, Bandung.
Chomsky, Noam, 2002, On Nature and Language, Pdf Document.
De Vito, Joseph A, 1997, Kominikasi Antarmanusia, Professional Books, Jakarta.
Jenkins, Richard, 2010, Pierre Bourdieu (terjemahan), Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Kaelan, 2002, Filsafat Bahasa, Paradigma, Yogyakarta.
______, 2009, Filsafat Bahasa, Semiotika dan Hermeneutika, Paradigma, Yogyakarta.
Lyotard, J.F., 2009, Kondisi Post-Modern: Suatu Laporan Mengenai Pengetahuan, Selasar
Publishing, Surabaya.
Mintaredja, Abbas Hamami, 2003, Teori-Teori Epistemologi Common Sense, Paradigma,
Yogyakarta.
Piliang, Yasraf Amir, 2010, Post-Realitas:Realitas Kebudayaan Dalam Era Post-Metafisika,
Jalasutra, Yogyakarta.
Russell, Bertrand, 1921, The Analysis of Mind, Pdf Document.
Sobur, Alex, 2006, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.