ISIS dan Justifikasi Kekejaman Bagaimana

ISIS dan Justifikasi Kekejaman:
Bagaimana Interpretasi Menghasilkan Perspektif Identitas dan Sifat Kekerasan Manusia

Winda Noviana
14010413120040

Politik internasional dewasa ini terus mengalami pergolakan, tak terkecuali bagi
kawasan Timur Tengah. Arab Spring telah mengubah kawasan berpenduduk mayoritas
Muslim ini menjadi medan konflik perhatian dunia. Namun tidak hanya itu, peristiwa Arab
Springs disusul kemudian dengan hadirnya Islamic State for Iraq and the Levant atau lebih
populer disebut ISIS sebagai aktor baru di kawasan. Upaya penguasaan wilayah Irak dan
Syria oleh ISIS dengan cara-cara kekerasan, tidak dipungkiri kini memunculkan iklim
ketakutan serta sorotan atas kejahatan perang dan pelanggaran hukum humaniter
internasional yang ia lakukan. ISIS bukan hanya sebuah kelompok teroris, ia merupakan
organisasi militer dan politik yang menggunakan interpretasi radikal Islam sebagai filosofi
politik dan justifikasi atas cara-cara pencapaian tujuannya. (www.clarionproject.org)
Justifikasi agama untuk pencapaian tujuan inilah yang ke depannya banyak mengubah
perspektif dunia tentang konflik dan terorisme.
Antara kurun waktu Januari 2014 hingga Oktober 2015, sebanyak 18,800 warga sipil
terbunuh; 900 anak-anak dipaksa menjadi militan; 3,500 wanita dan anak-anak diperbudak,
tak terkecuali sebagai budak seksual; serta 3,2 juta orang terpaksa mengungsi dari wilayah

mereka yang kemudian diduduki ISIS. (www.mirror.co.uk) Pembunuhan masal, penyiksaan
atas warga sipil, penyiksaan dan pembunuhan tawanan perang, pemerkosaan, pemaksaan
keyakinan agama seolah menjelma menjadi lingkungan kekerasan baru yang harus dihadapi
masyarakat wilayah pendudukan ISIS. Ketika perang sendiri tidak selayaknya menarget
warga sipil dan tawanan perang, tetapi yang ISIS lakukan justru sebaliknya, selama seseorang
menganut keyakinan yang berbeda dengan interpretasi mereka terhadap Islam, maka
siapapun itu selayaknya mendapat hukuman mati. Konstruksi sosial inilah yang memegang
peran besar bagi analisis tindakan ISIS. Dalam interaksionalisme simbolik yang dicetuskan
oleh Herbert Blumer dan George H. Mead, perilaku seseorang terhadap objek adalah
berdasarkan pengertian yang terbentuk atas objek tersebut. Sementara pengertian
terkonstruksikan melalui interaksi dan selanjutnya bisa berubah melalui interpretasi ide yang
ada di dalam pemikiran seseorang. Pemikiran dan pengetahuan masyarakat terhadap
1

masyarakat lainnya dihasilkan melalui skema pencerminan diri tentang siapa dirinya,
sehingga menghasilkan apa yang disebut identitas diri. (Blummer, 1969)
Interpretasi Ideologi sebagai Penentu Identitas
Lalu bagaimana sebenarnya bentuk konstruksi ideologi dan identitas diri ISIS dalam
memandang orang lain ? Wahhabism (interpretasi keras atas Islam) dan Salafist (kembali ke
bentuk awal pemerintahan dan hidup bermasyarakat Islam masa Nabi Muhammad) telah

banyak mendoktrin tindakan ISIS. Sedangkah tokoh-tokoh seperti Sayyid Qutb dan Abdullah
Azzam memberi ide tentang pendirian negara Islam dan fondasi jihad secara keseluruhan.
(www.clarionproject.org) Pendirian kekhalifahan Islam yang dicetuskan Abu Bakr al
Baghdadi ditujukan untuk mengganti pemerintahan jahiliyah kini, yaitu pemerintahan
menyimpang dari apa yang diajarkan nabi. Dalam majalah yang diterbitkan ISIS, Dabiq
menyebutkan bahwa penguasaan wilayah yang dilakukan adalah dibenarkan karena
peradaban kini merupakan peradaban yang syirik dan kafir, peradaban riba dan penuh
prostitusi, peradaban hina dan penindasan. Inilah bukti yang menunjukkan jika ISIS
memandang secara berbeda peradaban masyarakat saat ini dengan dirinya, yaitu sebagai
struktur yang menyimpang dari interpretasi Islam mereka.
Kebencian kepada golongan Syiah disandarkan pada kepercayaan tentang perilaku
penganut Syiah yang menyimpang dari apa yang ada dalam kitab suci. Bagi ISIS, penganut
golongan Syiah pantas mati, begitu pula kepala negara yang menjunjung hukum buatan
manusia di atas hukum Syariah. (www.theatlantic.com) Mengenai Yazidis saja, ISIS
memandang mereka sebagai bentuk ketidakpatuhan kepada Tuhan karena melakukan bid’ah
(inovasi) atas ajaran agama yang sebenarnya. Bagi Yazidis perempuan, perlakuan yang pantas
adalah dengan dijadikan budak. Mengapa ? Seorang wanita yang dijadikan budak (termasuk
budak seksual bagi ISIS) dianggap telah bersih sehingga bisa memasuki surga, anak budak
perempuan yang lahir atas tuannya pun menjadi Muslim karena memiliki status seperti
ayahnya. (Dabiq, 2015) Dapat disimpulkan bahwa apa yang sebenarnya diyakini ISIS dalam

memandang status keberadaan orang lain memang didasarkan pada interpretasi mereka
sendiri. Semua yang kafir menurut ISIS adalah pantas mati, semua yang pantas mati adalah
karena mereka menganut ajaran agama yang berbeda dengan interpretasi yang dianut ISIS.
Tetapi apakah interpretasi ISIS adalah ajaran agama Islam yang sebenar-benarnya ?
Hal ini masih terus menjadi perdebatan hingga kini. Pihak-pihak anti-Islam sendiri sangat
yakin bahwa ISIS adalah simbol ajaran Islam. Namun masyarakat dunia pada umumnya pun
2

menyadari bahwa sesungguhnya tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dan
pelanggaran norma perang seperti yang dilakukan ISIS. Intersubjektivitas dan realitas sosial
tidak sama bagi semua orang. Ketika seseorang mengaku sebagai penegak hukum, belum
tentu ia adalah benar penegak hukum yang semua orang inginkan. Begitu juga dengan ISIS,
saat ia mengaku sebagai perlambang ajaran Islam yang sebenarnya, belum tentu ia memang
seperti itu. Mispersepsi sangat rentan terjadi dalam pemikiran individu dan antarsesama
manusia.
Kekejaman ISIS dan Justifikasi Agama
Tindakan-tindakan kekejaman ISIS memang tidak dapat dipisahkan dengan istilah
kekerasan. Dengan penggunaan kekerasan, tujuan ISIS untuk penguasaan wilayah dan
pendirian kekhalifahan Islam dirasa lebih mudah dicapai. Bagaimana ini dapat dibenarkan
dalam sudut pandang mereka dan apa yang sesungguhnya mendorong ISIS melakukan

kekejaman di luar batas kemanusiaan ? Kekerasan menghasilkan ketakutan, ‘environmental
of fear’ membuat ISIS lebih mudah membentuk aliansi dan menaklukkan wilayah. Manusia
memang tidak selamanya rasional, ada kalanya dalam situasi tertentu, pilihan ditentukan oleh
perasaan terdalam di jiwa manusia yaitu ketakutan. Logika untung-rugi tidak berlaku lagi
ketika kekejaman yang berbentuk kekerasan diterima oleh fisik manusia, terutama ketika
kekejaman diterima secara berkelanjutan. Strategi intimidasi ISIS yang paling menjadi
sorotan adalah penggunaan kekerasan ekstrem guna propaganda ketakutan seperti contohnya
video-video pemenggalan tawanan asing yang mereka sebarkan. Hasilnya, sekarang terbukti
bahwa ISIS dilihat dunia sebagai kelompok terorisme paling ditakuti akibat tindakan
kekejaman yang ia tunjukkan. Kekerasan bertindak sebagai cara efektif yang juga
mengarahkan interpretasi orang lain terhadap ISIS, hingga seolah menghasilkan dorongan
kekuatan tidak nyata untuk ISIS semakin membuktikan keberadaannya. Ditambahkan juga,
kekerasan membuat orang-orang untuk tertarik bergabung dengan ISIS atau dalam kata lain
bertindak sebagai penguat tangible power suatu struktur.
Beberapa memandang faktor lain pendorong kekejaman ISIS adalah ajaran dan
sejarah agama yang mereka anut. Namun apakah benar ? Dipandang dari sudut pandang
psikologi, kekerasan adalah justifikasi, bukan berdasar pemahaman sejarah dalam ajaran
agama Islam. Kekejaman dan kekerasan tidak hadir melalui pemikiran rasional dan bebas.
Sebaliknya, terjadi ketika pikiran mencoba menciptakan serasional mungkin alasan sebagai
justifikasi keinginan. (www.haqiqah.org) Dalam kasus ini, pikiran melihat kekerasan sebagai

3

satu-satunya metode pencapaian tujuan. Sehingga disimpulkan bahwa teks kekerasan dalam
konteks sejarah bukanlah alasan kekejaman ISIS, alasan sesungguhnya adalah justifikasi
berdasar pemikiran mereka sendiri, justifikasi yang juga dianut kebanyakan ekstremis agama
dan teroris dewasa ini. (Esposito, 2015)
Faktor pendorong selanjutnya dapat dipahami dari pernyataan ‘agama memiliki peran
signifikan, tapi begitu pula politik’. Politik masih memegang peran mengarahkan tindakan
ISIS. (Cronin, 2015) Pengatasnamaan ISIS sebagai Islamic State membuktikan posisi ISIS
bukan murni sebagai religious terrorism, tapi struktur politik yang juga mengejar tujuantujuan politik. Jadi, kekerasan dalam aspek ini dilihat sebagai cara yang layak untuk mengejar
tujuan politik.
Tindakan selalu diawali dengan dorongan latar belakang. Jika ditilik lebih ke dasar,
kekejaman ISIS diawali ambisi untuk penaklukan wilayah. Ketika kekerasan merupakan hal
yang salah, bisa jadi ia dipengaruhi oleh ambisi yang salah pula. Apabila dianalisis, terdapat
perbedaan interpretasi jihad yang dianut ISIS. Ia menggunakan jihad secara militer untuk
penaklukan dan ekspansi kekuasaan atas nama pembelaan dan penyebaran Islam. Hal tersebut
tidak dapat dibenarkan karena Islam yang sebenarnya justru menghargai hak siapapun atas
suatu wilayah, terlebih lagi norma-norma hak asasi manusia yang terikat dengannya.
Pambahasan ini kemudian mencoba tak hanya melihat dari satu sisi mata uang karena
‘one man’s terrorist is another man’s freedom fighter’. Meski memungkinkan pembenaran

tujuan pendirian negara Islam oleh ISIS dalam sudut pandang tertentu, tetapi kekejaman dan
kekerasan terhadap warga sipil tidaklah dapat ditolerir. Kebebasan adalah relatif, namun hak
untuk hidup bagi semua orang adalah sama. Ketika manusia memiliki hak mengejar tujuan
mulia, di situ pula terdapat kewajiban untuk menggunakan cara-cara yang sejalan tanpa harus
merusak kemuliaan itu sendiri. Meski semuanya tergantung kepada interpretasi masingmasing pihak dalam memandang tindakan ISIS, perspektif berdasar norma dan nilai
kepantasan bersama adalah prioritas yang selayaknya didahulukan.

Sumber:
Amnesty International. 2013. “RULE OF FEAR: ISIS ABUSES IN DETENTION IN
NORTHERN SYRIA”, < https://www.amnesty.org/en/documents/MDE24/063/2013/en/>,
diakses 9 April 2016

4

Amnesty International. 2014. “ETHNIC CLEANSING ON A HISTORIC SCALE: ISLAMIC
STATE’S SYSTEMATIC TARGETING OF MINORITIES IN NORTHERN IRAQ”, <
https://www.es.amnesty.org/uploads/media/Iraq_ethnic_cleansing_final_formatted.pdf>,
diakses 9 April 2016
Beattie, Jason. 2016. “ISIS full barbarity revealed with 'staggering' levels of executions,
violence and slavery”, < http://www.mirror.co.uk/news/world-news/isis-full-barbarityrevealed-staggering-7206851>, diakses 9 April 2016

Cronin, Audrey Kurth. 2015. “ISIS Is Not a Terrorist Group: Why Counterterrorism Won’t
Stop the Latest Jihadist Threat”, Foreign Affairs, March/April 2015, pp. 1-9
Dabiq. 2015. “The Failed Crusade”, < https://media.clarionproject.org/files/islamicstate/islamic-state-isis-magazine-Issue-4-the-failed-crusade.pdf>, diakses 9 April 2016
Dassanayake, Dion. “Islamic State: What is IS and why are they so violent?”, <
http://www.express.co.uk/news/world/558078/Islamic-State-IS-what-is-ISIS-why-areISIL-so-violent>, diakses 10 April 2016
Esposito, John L. 2015. “Islam and Political Violence”, , diakses 9 April 2016
Haqiqah.

“What

Is

the

Truth

Behind

ISIS


?”,

http://www.preventforfeandtraining.org.uk/sites/default/files/Haqiqah-What-is-the-TruthBehind-ISIS.pdf, diakses 10 April 2016
McCoy Terrence. 2014. “ISIS, beheadings and the success of horrifying violence”, <
https://www.washingtonpost.com/news/morning-mix/wp/2014/06/13/isis-beheadingsand-the-success-of-horrifying-violence/>, diakses 10 April 2016
Patel, David Siddhartha. 2015. “ISIS in Iraq: What We Get Wrong and Why 2015 Is Not 2007
Redux”, < http://www.brandeis.edu/crown/publications/meb/meb87.html>, diakses 9
April 2016
Salafi Publications. “Combatting 21st Century: VIOLENT EXTREMIST TERRORISM: ISIS
Al-Qaeda in Iraq & Syria”, < www.islamagainstextremism.com/dld.cfm?a=qzcbxd>,
diakses 11 April 2016
Smith, Ben. 2015. “ISIS and the sectarian conflict in the Middle East”, <
www.parliament.uk/briefing-papers/rp15-16.pdf>, diakses 10 April 2016
The

Clarion

Project.

2015.


“Special

Report:

The

Islamic

State”,

<

https://www.clarionproject.org/sites/default/files/islamic-state-isis-isil-factsheet-1.pdf>,
diakses 8 April 2016

5

Wood,


Graeme.

2015.

“What

ISIS

Really

Want”,

<

http://www.theatlantic.com/magazine/archive/2015/03/what-isis-really-wants/384980/>,
diakses 10 April 2016

6