teknik negosiasi dan lobi dan komuni

Teknik Negosiasi & Lobi

Oleh:
Rizky Tri Kurnia Putra

D0412039

Aji Nugroho

D0412007

Abdurahman F. Alhazmy

D0412001

HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014


A. Faktor – faktor keberhasilan seorang negosiator, normative
maupun menejemen faktor X.
Keberhasilan negosiasi sangat ditentukan oleh kemampuan perunding
dalam menggunakan modal dalam bentuk kemampuan dan instrumen
seperti kepekaan non-verbal, ketrampilan mendengar dan bertanya,
ketrampilan persuasiv, ketrampilan menyampaikan sinyal, kepekaan budaya
dan gender, saluran komunikasi, dan strategi dan taktik (Baden Eunson,
Conflict Management,2007).
Perunding ulung adalah sekaligus komunikator ulung. Perunding harus
menyadari tidak hanya pada apa yang dikatakan tetapi juga pada apa yang
tidak dikatakan pihak lain. Dengan kata lain banyak aspek komunikasi nonverbal seperti gerak postur, gerak isyarat, kontak mata, gerak kepala,
senyum, tertawa,dan gerak tangan ketika negosiasi berlangsung. Semakin
memahami isyarat-isyarat komunikasi non-verbal semakin berhasil
perunding melakukan tugas dan mencapai tujuannya.
Perunding ulung juga dicirikan oleh ketrampilannya sebagai
pendengar yang baik, dan memahami sinyal yang tersembunyi dibalik
ungkapan, dan mampu berkonsentrasi apa yang dikatakan orang. Sinyal
dapat berbentuk pesan-pesan verbal dan non-verbal yang cenderung bisa
berbeda dan bertentangan dengan apa yang dikatakan orang bersangkutan.
Pertanyaannya, mengapa orang tersebut tidak langsung saja mengatakan

apa adanya secara jelas? Ya kadang-kadang dilakukannya namun bisa juga
tidak karena memang ada maksud-maksud tetentu.
Bagian dari esensi proses negosiasi lainnya adalah kemampuan
perunding melakukan persuasi. Selain itu perunding mampu mendikte taktik
persuasi ketika digunakan pihak lain. Seni dan teknik persuasi yang
diterapkan akan menunjukkan seberapa jauh kekuatan perunding dalam
cara bernegosiasi. Penerapan seni dan teknik persuasi yang elegan tidak
akan memberi akibat negatif, seperti rasa dendam atau kalah pada pihak
lain. Justru sebaliknya mereka akan respek pada si perunding.
Kepekaan terhadap budaya dan gender dalam mengatasi konflik
sangat penting. Perunding efektif seharusnya peka terhadap perbedaan
budaya. Dengan semakin terbukanya peluang untuk melakukan aliansi bisnis

maka semakin diperlukannya pemahaman multibudaya antarbangsa. Baik
budaya dalam hal bahasa, cara berbicara, pengambilan keputusan, maupun
tentang jenis busana dan makanan, Di samping itu pemahaman tentang
gender juga memegang peranan dalam mencapai keberhasilan negosiasi.
Prinsipnya, jangan sampai muncul sikap bias gender. Namun di sisi lain perlu
dipahami bahwa peran gender mungkin juga berbeda di antara masyarakat
dan bangsa.

Esensi penting lainnya dalam bernegosiasi adalah penerapan strategi
dan taktik. Bagaimana menghadapi pihak lain yang juga memiliki strategi
dan taktik bernegosiasi? Dengan strategi dimaksudkan bagaimana
pendekatan terbaik mencapai tujuan negosiasi? Sementara dengan taktik
dimaksudkan apa saja langkah-langkah teknis untuk mendukung strategi
negosiasi. Strategi dan taktik diposisikan sebagai jantungnya negosiasi.
Tanpa keduanya,negosiasi akan berlangsung lambat karena tanpa arah yang
jelas. Sebaliknya semakin bermutu strategi dan taktik yang diterapkan
semakin berhasil negosiasi yang dicapai.

B. Prinsip dan Teknik Dalam Sebuah Negosiasi
Negoisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan
diplomasi. Kesepakatan bilateral maupun multi lateral yang telah berhasil
dicapai, baik berupa traktat, kerjasama, aliansi, pemberian bantuan, perang
maupun damai tidak terlepas, selain merupakan produk dari negoisasi. Sifat,
tujuan dan visi politik luar negeri suatu negara tercermin dari aktivitas
negoisasi yang dilakukan. Selain itu, citra suatu negara sangat ditentukan
oleh

keberhasilan


kesepakatan

para

terhadap

diplomat

dalam

bernegoisasi

kepentingan-kepentingan

dan

nasionalnya.

mencari

Tidak

diragukan lagi, para diplomat sebagai wakil-wakil negara dan pemerintahan
memegang peranan penting terhadap keberhasilan negoisasi (Djelantik,
2008, 39). Mengenai negoisasi, Abbe Duguet (dalam buku Nation and Men)
memberikan batasan sebagai berikut : “Negotiation is a contact and
communication between policy makers with a view toward coming to terms.
The search of harmony and unanimity, not victory” (Negoisasi adalah kontak

dan komunikasi antara pembuat kebijakan dengan tujuan untuk mencapai
kesepakatan. Yang ingin dicapai adalah harmoni dan saling pengertian,
bukan semata kemenangan) (Djelantik, 2008, 39).
Untuk mencapai kesepakatan dalam negoisasi, ada sebuah fakor
utama yang menjadikan negoisasi berjalan sebagaimana kewajaran dan
tidak melebihi batasan-batasan sebagaimana dalam sikap berinteraksi satu
sama lain. Dalam melakukan negosiasi kita tidak serta merta langsung
melakukannya tanpa ada panduan bagaimana melakukan negosiasi dengan
baik dan benar. Semua pekerjaan juga terdapat sumber-sumber etika yang
harus dijalankan agar pekerjaan yang dijalani dapat berjalan dengan baik.
Etika sebenarnya juga memiliki pola-pola yang khas dan berbeda antara

pekerjaan yang satu dengan pekerjaan yang lain. Begitu pula dengan
negosiasi ia memiliki pola agar negosiasi berhasil dijalankan.
Dalam pelaksanaan diplomasi seperrti teruraikan dalam Oppenheim’s
International Law adalah berupa mengkomunikasikan apa yang dikehendaki
pemerintah dari pemerintah setempat, dan begitu pula sebaliknya, maka
kemampuan dan keterampilan bernegoisasi ataupun berdiskusi adalah suatu
condition sine qua non. Merupakan kemutlakan yang pantang ditawar.
Sebab, seorang diplomat atau perwakilan dalam keseluruhan bukanlah
berfungsi hanya sekedar bagaikan sebuah kantor pos belaka, tetapi
terutama sekali harus berkemampuan menundukkan Politik Luar Negeri
kepada tujuan dan kepentingan nasional baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa fungsi negoisasi
adalah fungsi diplomasi yang utama sekali. Sebab mencapai kepentingan
nasional didasarkan atas persetujuan bersama adalah jauh lebih aman
daripada dengan paksaan dan kekerasan (Badri, 1993, 25). Lantas sejauh
mana cakupan negoisasi tersebut? Sebelum beranjak lebih lanjut, penulis
akan memaparkan defnisi singkat tentang negoisasi. Mengenai negoisasi,
Abbe Duguet (dalam buku Nation and Men) memberikan batasan sebagai
berikut : “Negotiation is a contact and communication between policy


makers with a view toward coming to terms. The search of harmony and
unanimity, not victory” (Negoisasi adalah kontak dan komunikasi antara
pembuat kebijakan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan. Yang ingin
dicapai adalah harmoni dan saling pengertian, bukan semata kemenangan)
(Djelantik, 2008, 39).
Negoisasi memiliki empat tujuan utama; (1) Menyelesaikan konflik
kepentingan secara damai. (2) Menghindari bahaya langsung dari cara-cara
pemecahan
Mewujudkan

dengan

kekerasan,

atau

munculnya

perdamaian setelah terjadinya


tekanan

konflik

lawan.

(3)

kepentingan yang

mengarah pada kekerasan. (4) Mewujudkan suasana yang baik melalui
pembentukan suatu sistem atau organisasi permanen sabagai wadah
memecahkan

masalah-masalah

secara

damai,


selain

sebagai

upaya

menghindarkan konflik potensial dimasa mendatang. Dari tujuan negoisasi
diatas, terlihat jelas tujuan dasar dari negoisasi adalah perdamaian dan
mencapai kesepakatan yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Suatu kenyataan yang tidak bisa dihindarkan bahwa masing-masing negara
memiliki kepentingan yang berbeda-beda, bahkan seringkali berbenturan.
Maka tantangan dari aktivitas negoisasi adalah mencari jalan tengah yang
saling menguntungkan bagi kedua belah pihak, tanpa masing-masing
merasa dirugikan. Dengan kata lain, negoisasi menuntut hasil akhir suatu
kesepakatan keputusan “win-win solution” (Djelantik, 2008, 40). Jika hanya
salah satu dari pihak yang diuntungkan, sementara pihak lain tidak puas
dengan hasil negoisasi, dapat dianggap negoisasi kurang berhasil, karena
mengarah pada ketidakpuasan yang berpotensi sebagai konflik. Posisi
menang-kalah seperti ini mencerminkan terdapatnya dominasi dari pihak
yang kuat terhadap yang lemah, sehingga hubungan lebih bersifat superiorinferior. Sangat penting untuk dipahami bahwa negoisasi berawal dari

hubungan kesetaraan antar negara, dimana masing-masing pihak duduk dan
membahas kepentingan-kepentingan yang muncul, sambil mengupayaan
cara penyelesaian yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak yang

terlibat. Jika dalam suatu negoisasi situasi menang-kalah tidak bisa
dihindarkan lagi, bukan berarti aktivitas negoisasi berhenti. Dengan kata
lain, upaya-upaya penyelesaian harus tetap dijalankan, melalui negoisasi
selanjutnya. Maka negoisasi merupakan proses yang berkesinambungan,
bahkan jika suasana sudah mengarah pada kekerasan dan peperangan.
Sebagaimana dikatakan oleh Clausewitz, perang adalah bentuk lain
dari diplomasi, yang sering kali tidak terhindarkan dalam hubungan
internasional. pada masa perang, negoisasi mempunyai tujuan pokok untuk
mencegah negara-negara lain bergabung atau beraliansi melawan negaranegara tertentu. Negoisasi masa perang antara lain diperlukan agar masalah
tidak menyebar, tidak lebih banyak pihak terlibat, sehingga menyebabkan
permasalahan menjadi lebih kompleks. Kompleksitas masalah seringkali
menyulitkan dan memperlambat upaya-upaya penyelesaian yang mengarah
pada perrdamaian (Djelantik, 2008, 40).
Cara untuk mencapai kepentingan bersama antara lain dengan;
Meningkatkan saling pengertian, menunjukkan i’tikad yang baik, dan
menghilangkan keragu-raguan. Semuanya itu, mengarah pada tujuan pokok

negisasi yaitu untuk mencapai tujuan secara damai. Tidak jauh berbeda
dengan pendapat Abbe Duguet, Kautilya, seorang diplomat india kuno,
Kautilya dalam bukunya “Arthasastra” merumuskan tujuan negoisasi sebagai
berikut. Pertama, Acquistion (perolehan). Dapat berupa perolehan konsensi
perdagangan, pengurangan tariff dan bea-bea tertentu dalam aktifitas
perdagangan, wilayah pemasaran yang lebih luas, dukungan terhadap
program-program nasional. Kedua, preservation (perbendungan). Dapat
berarti membendung secara fisik, yaitu mencegah meluasnya konflik
kekerasan menuju negara sendiri, maupun perbendungan ideologis. Ketiga,
meningkatkan hasil-hasil dan kerjasama yang telah dicapai sebelumnya,
seperti jumlah bantuan yang diterima, meningkatkan volume perdagangan,
volume ekspor-impor, meningkatkan secara kualitas maupun kuantitas
dalam organisasi internasional yang telah terbentuk. Keempat, pencapaian

“siddhi”(damai) dan peningkatan “danda”(kekuasaan). Kekuasaan militer
dan

ekonomi

dewasa

ini

menjadi

indikasi

kekuasaan

suatu

negara,

pemberian bantuan juga seringkali mengandung dimensi meningkatnya
kekuasaan suatu negara dengan negara lainya (Djelantik, 2008, 41-42).
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan dari tujuan politik negoisasi
adalah

menetralisir

suasana,

memelihara

perdamaian,

meningkatkan

hubungan dengan negara sahabat, dan pengamanan kebebasan politik dan
integrasi sosial.
Dengan tidak kita sadari sebenarnya dunia internasional memiliki
suatu pola tata cara mengenai etika khusus dalam kegiatan negosiasi dan
diplomasi. Salah satu contoh yang paling mudah dan mencolok adalah etika
makan atau table manner. Seperti kita tahu etika makan atau table manner
adalah aturan yang harus dilakukan saat bersantap bersama di meja makan.
Etika makan pada awalnya diperkenalkan oleh bangsa Eropa melalui dan
merupakan aturan standar terutama saat bersantap bersama-sama di
sebuah acara resmi atau acara makan bersama di keluarga besar.

Menurut Joseph dalam bukunya Etnics in Negotiation menyebutkan
terdapat beberapa hal merupakan etika-etika dalam negoisasi, diantaranya;
Lies, Subject matter berbohong (kebohongan) dalam negosiasi diantaranya
konstrain, alternative, wewenang untuk negosiasi, komitmen, penerimaan
tawaran lawan negosiasi, tekanan waktu dan sumber daya yang tersedia.
Dalam kriteria golden rule berbohong diperbolehkan jika hal tersebut
meruapakan satu-satunya cara untuk mencegah bahaya yang lebih besar.
Ulitarianism, menghubungkan perilaku berbohong dengan konsekuensi yang
akan timbul dari perbuatan tersebut. Dalam universalism berbohong
merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Distributive
justice memandang bahwa berbohong dapat meningkatkan kesempatan
untuk membuat keputusan yang tidak dapat memnuhi kepentingan dengan

baik dan juga berbohong dapat mengurangi kebebasan untuk bertindak.
Puffery, hal ini berkaitan dengan melebih-lebihkan sesuatu seperti kondisi.
Negosiator melebih-lebihkan mulai dari alternative, apa yang mereka ingin
dapatkan
berbohong,

atau

disiapkan

akan

melebih-lebihkan

didapatkan,

juga

pentingnya

dimaksudkan

untuk

isu.

Seperti

menipu

dan

mengambil manfaat dari biaya yang ditanggung lawan negosiasi. Deception,
penipuan yang dimaksud yaitu janji palsu, ancaman, permintaan pertama
yang berlebihan, tidak peduli dengan fakta yang ada, atau meminta sesuatu
yang tidak diinginkan. Deception ini tidak sesuai dengan keempat kriteria
etis tersebut. Weaking the opponent, membuat pihak lawan lemah biasanya
melibatkan kebohongan, penipuan, dan melebih-lebihkan. Negosiator akan
mengeliminasi beberapa alternative pihak lawan, menyalahkan pihak lawan
atas tindakannya, menggunakan pernyataan abrasive secara personal.
Strengthening

one’s

own

position,

Teknik

ini

didesign

untuk

memperbaiki posisi sendiri tanpa melakukan sesuatu yang merugikan atau
membahayakan pihak lawan, biasanya melibatkan resource yang dimiliki,
misalnya expertise, financial, dan aliansi. Nondisclosure, prinsipnya hanya
mengungkapkan fakta hanya sebagian, gagal untuk mengungkapkan fakta
yang tersembunyi, gagal untuk membenarkan salah persepsi pihak lawan,
atau menyembunyikan posisi negosiator itu sendiri. Information exploting,
Informasi yang disediakan pihak lawan digunakan untuk mengeksploitasi
kelemahannya atau membuat lemah aliansinya. Change of mind, Teknik ini
menerima untuk merubah permintaan, menarik dari tawaran yang dijanjikan,
atau melakukan ancaman terhadap pihak lawan. Kita diperbolehkan untuk
merubah pemikiran (change of mind) selama tidak memutuskan komitmen
atau kesepakatan. Distraction, hal ini merupakan tindakan atau pernyataan
yang dapat menjadi sederhana (simple) seperti menyediakan informasi yang
dilebih-lebihkan, meminta banyak pertanyaan, menghindari pertanyaan,
atau mengubur atau menyembunyikan isu yang terjadi. Maximitation, Yang
termasuk perilaku ini yaitu meminta pihak lawan untuk membuat konsesi
yang hasilnya menguntungkan kita, atau sama untungnya atau pihak pihak

lawan menanggung kerugian yang lebih besar. Maksimisasi ini juga biasanya
berubah win-win negotiation menjadi win-lose negotiation (Joseph et al,
2008, 5-8)
Hal tersebut menyebabkan terjadinya kebiasaan dan adat istiadat
serta etika yang dimiliki oleh bangsa bangsa wilayah eropa menjadi suatu
standard dalam kegiatan negosiasi dan diplomasi seluruh Negara di berbagai
belahan penjuru dunia. Bahkan dalam suatu kegiatan negosiasi dan
diplomasi yang dilakukan oleh Negara Negara yang sama sama bukan
termasuk wilayah eropa menggunakan pola etika yang bercermin dan
berpatokan kepada bangsa eropa dalam kegiatannya. Hal tersebut dapat kita
lihat pada pertemuan terakhir Negara Negara anggota ASEAN. Sepertinya
dapat disimpulkan bahwa pepatah terkenal bangsa eropa yang berbunyi
“when in Rome, do as Romans do” tidak berlaku dalam kasus pola etika
secara internasional dalam kegiatan negoisasi dan diplomasi antar Negara.
Salah satu bentuk negosiasi yang dapat dikatakan berhasil adalah
ketika salah satu kapal dagang berbendara Amerika Serikat Maeresk
Alabama dibajak oleh pembajak di perairan Afrika. Dalam bukunya yang
berjudul A Captain's Duty: Somali Pirates, Navy SEALs, and Dangerous Days
at Sea dan fillmnya yang berjudul Captain Phillips, sang kapten yang
bernama Richard Phillips mencoba merundingkan kepada para perompak
untuk segala meninggalkan kapalanya dan memberikan sebagian uang yang
ada di kapal itu untuk menghindari adanya konflik dengan pihak Angkatan
Laut Amerika Serikat. Sang kapten tidak ingin adaanya pertumpahan darah
dalam permasalahn tersebut, namun para pembajak masih tetap bersikeras
melakukan pembajakan dan mereka ingin membawa kapal yang di bawa
oleh Phillips menuju Somalia.
Kapten Phillips sudah melakukan upaya dalam bernegosiasi salah
satunya adalah ketika ia menggertak para pemberontak dengan sinyal
darurat palsu yang sengaja diberikannya kepada para pemberontak yang

saat itu menyadap saluran radio dalam kapal Maeresk Alabama. Tindakan
sang kapten adalah tindakan negosiasi yang bisa dikatan berhasil karena
pada saat itu 1 dari 2 kapal pembajak melarikan diri karena menganggap itu
adalah sinyal darurat asli. Dapat di pahami bahwa, ketika kita melakukan
negosiasi ataupun lobbying, kita di “diperbolehkan” melakukan penipuan
untuk mencapai goal kita, namun tak selamanya kita dapat melakukan itu
karena suatu saat ketika competitor kita mengetahui bahwa kita mengelabui
mereka maka akan hancur reputasi yang ada.
Dalam buku dan film tersebut pula dijelaskan mengenai peran
Angkatan Laut Amerika Serikat yang mengelabui para pembajak dengan
melakukan negosiasi palsu terhadap para pemberontak. AL Amerika saat itu
menjanjikan akan menebus sang kapten dengan cara mempertemukan
mereka dengan di salah satu kapal AL Amerika. Pada nyatanya, itu semua
hanyalah penyergapan semata yang dimana memang sudah di rencakan
untuk menyelamatkan sang kapten yang saat itu sudah di sandera di dalam
sebuah sekoci.
Dari tragedy yang menimpa kapte Phillips, banyak hal mengenai
berdiplomasi dan lobbi yang bisa kita dapat, bahwa seandainya tidak melulu
sebuah negosiasi dapat berjalan lancar dan jujur, kita juga harus memainkan
peran edutaiment agar kita dapat meraih apa yang kita inginkan. Ketika
sebuah negosiasi sulit untuk dilakukan dan suasananya semakin sulit, kita
dapat melakukan personal approach seperti yang dilkukan juga sang kapten
agar ia mendapat perhatian dari para pemberontak.

KESIMPULAN

Diplomasi merupakan art of negotiation, sebagai seni dalam
berrnegosiasi para pelaku diplomasi harus memperhatikan bagaimana etikaetika yang ada dalam negoisasi. Hal tersebut dikarenakan negoisasi
merupakan alat dalam diplomasi sebagaimana telah dipaparkan sebelunya
bahwa tujuan diplomasi adalah mencapai kepentingan nasional dengan
suatu kesepakatan tertentu, demi mewujudkan kerjasama dan hubungan
yang baik antar negara dengan persetujuan dan kesepakatan yang sifatnya
menguntungkan semua pihak. Oleh karena itu etika dalam negosiasi perlu
diperhatikan dalam kaitanya dengan keberhasilan diplomasi

REFERENSI:
Djelantik, sukawarsini, 2008. Diplomasi antara Teori dan Praktek. Penerbit;
Graha Ilmu, Jogjakarta.
Badri, Jusuf, 1993. Kiat Diplomasi Mekanisme dan Pelaksanaanya. Penerbit;
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Reitz, Joseph ; James A.Wall, Jr; Mary Sue Love.2008. “Ethics in Negotiation:
Oil and Water or Good Lubricants?” dalam http://www.drexelmed.edu/drexelpdf/program-elam/ELAM_Ethics-in-Negotiation.pdf

(diakses

pada

24

september 2014)
Phillips, Richard & Talty, Stephan. “A Captain's Duty: Somali Pirates, Navy
SEALs, and Dangerous Days at Sea.” Rev. of Captain Phillips, dir. Billi Ray.
Hyperion Books 6 April 2010 1st ed.