Hubungan antara Self Regulation dan Kece
Hubungan antara Self-regulation
dan Kecemasan Sosial
pada Mahasiswa Universitas Indonesia Angkatan 2014
Disusun Oleh:
Kelompok 10, Kelas A
Anggota Kelompok :
Astridiah Primacita Ramadhani,
1406617326
Dimas Mahendra,
1406539974
Geraldus Tirta Pratama Kawulusan,
1406574062
Marchelita Dewi,
1406570184
Naufal Rakhaviansyah,
1406574232
Makalah penelitian ini diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah
Metodologi Penelitian Statistika dan Inferensial 1
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial selalu melakukan interaksi sosial setiap harinya,
khususnya komunikasi. Komunikasi adalah proses pertukaran informasi antara dua pihak atau
lebih dengan aturan-aturan semiotik tertentu. Brunswik (1934, dalam Shaw & Costanzo, 1982)
mengasumsikan bahwa prinsip-prinsip persepsi seseorang terhadap orang lain sama halnya
dengan prinsip-prinsip yang diterapkan dalam mempersepsikan objek-objek impersonal, seperti
meja dan kursi. Seorang individu dipandang memiliki emosi, intensi, keinginan, sentimen dan
beberapa hal yang dapat dipersepsikan berbeda apabila dibandingkan dengan objek-objek
impersonal (Shaw & Costanzo, 1982).
Dalam komunikasi antara dua pihak atau lebih, proses persepsi terhadap lawan bicara
atau penerima maupun pengirim pesan mungkin saja terjadi. Berdasarkan penjelasan di atas,
mungkin saja terjadi penilaian-penilaian subjektif yang melibatkan beberapa aspek seperti emosi,
intensi dan sentimen.
Pada beberapa individu yang memiliki tingkat kecemasan yang tidak biasa terhadap
persepsi-persepsi negatif seseorang terhadap dirinya akan mengalami gangguan yang dinamakan
kecemasan sosial (social anxiety). Khususnya pada mahasiswa, kecemasan ini muncul karena
pada masa remaja akhir adalah masa transisi dimulai dengan ditandai beberapa peran sebagai
orang dewasa sudah dituntut untuk dijalankan di berbagai dimensi yang ada di kehidupan mereka
(Caprara, Gerbino, Paciello, Di Giunta, & Pastorelli, 2010). Menghadapi kondisi seperti itu
individu, dalam kasus ini adalah mahasiswa, seringkali kehilangan kontrol terhadap hal-hal yang
sedang mereka hadapi. Oleh karena itu, seringkali mereka merasakan bahwa diri mereka dinilai
secara negatif oleh pihak-pihak yang ada di luar diri mereka.
Menurut Bandura (2006; Crockett & Sibereisen, 2000, dalam Caprara, Gerbino, Paciello,
Giunta, & Pastorelli,
2010) dalam social cognitive theory, kapasitas self-regulation seseorang
adalah kunci penting yang dapat digunakan dalam menghadapi transisi tersebut dengan sukses.
Self-regulation mechanism memiliki beberapa subfungsi dan tiga diantaranya adalah
self-monitoring tingkah laku seseorang, penyebab tingkah laku tersebut, dan dampak dari tingkah
laku tersebut; penilaian tingkah laku seseorang dalam pembahasan hubungan antara standar
personal dan affective self-reaction (Bandura, 1991). Menurut pandangan interaksionis dalam
social-cognitive theory, faktor-faktor sosial mempengaruhi operasi dari sistem regulasi diri.
Dalam penelitian yang diadakan oleh Lopes, Salovey, Cote dan Beers (2005) individu
yang memiliki skor yang tinggi pada emotion regulation memandang diri mereka sebagai
individu yang lebih sensitif secara interpersonal dan lebih prososial dibandingkan orang-orang
yang memperoleh skor rendah pada emotion regulation. Baumeister, Vohs, DeWall, dan Zhang
(2007) memandang emosi sebagai sistem umpan balik yang menstimulasi proses pembelajaran
mengenai situasi yang memunculkan emosi-emosi tertentu. Ketika diaplikasikan kepada
self-regulation, proses pembelajaran tersebut dapat membantu seseorang dalam memprediksi
kejadian-kejadian yang diasosiasikan dengan emosi tertentu, sehingga emosi tersebut dapat
mengarahkan s elf-regulation secara langsung (Brown & McConnell, 2011)
Individu-individu yang dapat meregulasi emosinya dengan baik juga akan memiliki
self-regulation yang baik, karena mereka memiliki sensitivitas interpersonal yang baik juga.
Namun, pada kasus individu yang memiliki kecemasan sosial, mereka mengarahkan sensitivitas
tersebut kepada persepsi negatif orang-orang yang ada disekitarnya terkait diri mereka, sehingga
seringkali mereka mengalami masalah dalam hubungan sosial. Sebagian aspek dari
self-regulation dapat menjadi faktor yang berkontribusi pada kecemasan sosial. Kecemasan
sosial diperkirakan akan muncul ketika individu tidak bersikap secara konsisten dan tidak sesuai
dengan tujuan yang dimilikinya.
Menurut (Burgio, Merluzzi & Pryor, 1986) arah dari atensi seorang individu sangatlah
penting dalam interaksi sosial dan hal tersebut sangat berpengaruh kepada social performance.
Sehingga dapat dikatakan arah dari atensi individu yang mengalami kecemasan sosial
mempengaruhi cara mereka melakukan interaksi. Individu-individu ini sering tidak mampu
menghadapi kontak-kontak sosial yang ada di depan mereka, dan cenderung menghindar, yang
memperlihatkan bahwa mereka tidak mampu memprediksi emosi yang berkaitan dengan
kejadian yang akan mereka hadapi.
1.2.
Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan
antara self-regulation dengan kecemasan sosial pada mahasiswa. Untuk itu, rumusan masalah
pada penelitian ini adalah, “Apakah terdapat hubungan antara self-regulation dan kecemasan
sosial pada mahasiswa?”
1.3.
Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
Self-regulation dan kecemasan sosial pada mahasiswa. Secara khusus, tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menuntaskan tugas besar mata kuliah Metodologi Penelitian dan Statistika
Inferensial 1 tahun 2015.
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan serta
memperkaya hasil penelitian di bidang Psikologi, terutama di bidang Psikologi Sosial yakni
mengenai kecemasan sosial. Selain itu, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menambah
wawasan mengenai self-regulation dan hubungannya dengan kecemasan sosial. Penelitian ini
juga diharapkan dapat memunculkan penelitian lain mengenai self-regulation dan kecemasan
sosial pada berbagai macam karakter partisipan.
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menambah informasi
serta menyumbangkan pemikiran terhadap pemecahan masalah yang berkaitan dengan
self-regulation dan kecemasan sosial. Secara lebih lanjut, hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat digunakan sebagai rujukan atau acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang
berkaitan dengan self-regulation dan kecemasan sosial. Selain itu, hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan rujukan untuk membandingkan dengan hasil penelitian lain yang
memiliki konteks dan subjek penelitian yang berbeda.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan membahas mengenai teori-teori yang berkaitan dengan variabel
penelitian yaitu konsep-konsep s elf-regulation dan kecemasan sosial.
2.1.
Self-regulation
2.1.1. Definisi Self-regulation
Menurut King (2014), self-regulation adalah proses di mana organisme berusaha
mengontrol tingkah lakunya untuk mengejar sebuah tujuan yang penting, Kunci utama dari
self-regulation adalah mendapatkan umpan balik tentang bagaimana progress kita dalam usaha
mengejar tujuan tersebut. Sedangkan menurut Kocovski (1998), self-regulation adalah sebuah
teori tingkah laku manusia yang menyatakan bahwa manusia menentukan tujuan, memonitor dan
mengevaluasi tingkah laku. Jika terdapat perbedaan antara tingkah laku sebenarnya dengan
tujuan, akan ada usaha untuk mengurangi perbedaan tersebut dan jika tujuan sudah tercapai,
self-reinforcement akan terjadi. Selain itu, self-regulation bisa didefinisikan sebagai kemampuan
untuk mengaktivasi, memonitor, mencegah, melanjutkan dan atau beradaptasi pada perilaku,
atensi, emosi dan strategi kognitif secara fleksibel dalam merespon pada arah dari internal cues,
stimulus
lingkungan
dan feedback dari
orang lain, dalam usaha untuk mencapai
personally-relevant goals (Moilanen, 2007). Sedangkan menurut Frederick Kanfer (1970 dalam
Miller
&
Brown,
1991),
Self-regulation
adalah
kemampuan
untuk
berkembang,
mengimplementasikan dan menahan tingkah laku secara fleksibel dalam cara untuk mencapai
suatu tujuan Sebagian besar teori psikologi tentang self-regulation didasari oleh cybernetics
(sebuah teori fisik dari sistem kontrol otomatis), sehingga terkadang self-regulation disamakan
dengan self-control. Miller dan Brown (1991) memformulasikan model tujuh langkah
self-regulation yang terdiri dari receiving, evaluating, triggering, searching, formulating,
implementing, dan a ssessing.
2.1.2. Dimensi Self-regulation
Menurut Miller dan Brown (1991), terdapat model tujuh langkah dalam self-regulation,
yang terdiri dari:
1. Receiving relevant information (e.g., ― Saya biasa memantau kemajuan saya ke arah
tujuan saya)
2. Evaluating information and comparing to norms (e.g., ―Saya memiliki standar pribadi
dan mencoba untuk menjalaninya)
3. Triggering change (e.g., ―
Saya cenderung terus melakukan suatu hal yang sama,
bahkan ketika hal tersebut tidak berjalan dengan baik)
4. Searching for options (e.g., ―Saya mampu mencapai tujuan yang saya tentukan sendiri)
5. Formulating a plan (e.g., ― Saat saya memiliki tujuan, biasanya saya memiliki rencana
untuk mencapainya)
6. Implementing the plan (e.g., ―Saya mudah teralihkan dari rencana-rencana saya)
7. Assessing the effectiveness of the plan (e.g., ―Saya tampak tidak belajar dari kesalahan
saya)
2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi S
elf-regulation
Menurut Kocovski (1998), Self-regulation meliputi penetapan tujuan, pengawasan
tingkah laku, dan penilaian tingkah laku untuk menentukan apakah tingkah laku tersebut
menemui tujuan yang sudah ditentukan. Jika terdapat perbedaan antara tingkah laku dan tujuan,
sebuah usaha akan dilakukan untuk merubah tingkah laku demi mengurangi perbedaan tersebut.
Oleh karena itu, jika individu telah sukses mencapai tujuannya, self-reinforcement dalam bentuk
pikiran positif atau aktivitas yang bisa dinikmati mungkin terjadi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kochanska, Coy, dan Murray (2001) menemukan
bahwa Self-regulation bukan hanya hasil dari karakteristik internal, namun konteks juga
berpengaruh. Dalam penelitian mereka, anak-anak lebih sulit untuk melakukan aktivitas yang
tidak menyenangkan daripada tidak melakukan aktivitas yang mereka inginkan. Hal ini mungkin
dikarenakan orang tua lebih memfokuskan pada apa yang dilarang daripada memberi dukungan
pada aktivitas yang berkelanjutan. Hal lainnya mungkin dikarenakan bahwa melanjutkan
aktivitas yang tidak menyenangkan membutuhkan usaha yang berkelanjutan dan ketekunan,
sedangkan tidak melakukan aktivitas yang menyenangkan lebih mudah untuk dilakukan,
contohnya dengan fokus pada hal lain (Kochanska et. al., 2001, p.1107). Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi Self-regulation adalah faktor internal
(kemampuan berkembangnya anak untuk memodifikasi perilaku dan opini mereka terhadap
suatu permintaan) dan faktor eksternal (tipe Self-regulation yang sedang diminta). Fakta bahwa
seseorang mampu untuk meregulasi diri bukan berarti bahwa mereka mau untuk meregulasi
dirinya, walaupun pada tugas-tugas yang mudah (Cook & Cook, 2005).
2.1.4. Pengukuran Self-regulation
Alat ukur self-regulation yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur SSRQ
yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Self-regulation diukur dengan skala
Likert-style dengan skala 1-5.
Self-regulation di ukur dengan menggunakan The Self-Regulation Questionnaire (SRQ)
yang dikembangkan oleh Brown, Miller, dan Lawendowski (1999). Pada model ini,
self-regulation dilihat dari kemampuan seseorang untuk menetapkan, menjalankan dan menjaga
perilaku yang terencana dalam mencapai tujuan. Namun pada penelitian kali ini, peneliti
menggunakan The Short Self-Regulation Questionnaire (SSRQ) yang dikembangkan oleh Carey
et. al. (2004 dalam Neal & Carey, 2005). Item pada alat ukur SSRQ berkorelasi tinggi (r = 0.96)
pada item dari alat ukur SRQ.
The Short Self-Regulation Questionnaire (SSRQ) memiliki 31 item yang merupakan versi
singkat dari SRQ (Brown, Miller, & Lawendowski, 1999). Versi asli SRQ mengukur
self-regulation sebagai proses yang terdiri dari tujuh langkah. Carey et. al. (2004) menemukan
versi lebih singkat dengan hanya 31 item. Seluruh item dari SSRQ merupakan item-item yang
diambil dari SRQ namun tetap mencakup tujuh langkah s elf-regulation.
SSRQ diberikan kepada sampel dari beberapa mahasiswa sarjana di Amerika dengan
Cronbach’s Alpha sebesar 0.92 dari total skor yang diperoleh (Neal & Carey, 2005). Analisis
terhadap SSRQ dilakukan kepada suatu kelompok mahasiswa yang terdiri dari 237 orang pada
sebuah kelas pengantar psikologi (Neal & Carey, 2005) di Amerika yang memperlihatkan dua
faktor berbeda (kontrol terhadap impuls dan goal setting) dengan reliabilitas yang dapat diterima.
Pola dari hubungan antar faktor tersebut dan pengukuran terhadap self-control serta penggunaan
alkohol juga menghasilkan bukti-bukti pendukung terhadap validitas alat ukur tersebut.
2.2.
Kecemasan Sosial
2.2.1. Definisi Kecemasan Sosial
Hergenhahn (2008) mendefinisikan kecemasan sebagai perasaan yang muncul ketika
seseorang menghadapi suatu hal yang tidak ia ketahui, seperti ketika merenungkan kematian atau
ketika diharuskan untuk memilih suatu hal yang akan mengubah kehidupannya. Dalam
hidupnya, manusia pasti akan mengalami rasa cemas.
Selain itu, menurut Lesse (1970 dalam Schlenker & Leary, 1982), kecemasan adalah
respons kognitif dan afektif yang ditandai dengan kekhawatiran terhadap sesuatu yang tidak pasti
dan potensi kemunculan hasil negatif yang dianggap tidak dapat dihindari. Kecemasan
mengalami fluktuasi sepanjang waktu dan situasi, namun terdapat perbedaan individu atau
individual differences (muncul dari pengalaman pribadi dan faktor biologis) yang menyebabkan
perbedaan derajat pengalaman seseorang.
Dalam self-presentation model of social anxiety oleh Schlenker dan Leary (1982),
kecemasan sosial adalah kecemasan yang muncul dari prospek atau kehadiran dari evaluasi
pribadi dalam situasi sosial yang nyata atau imajinatif. Dalam kecemasan sosial, seseorang
menganggap adalah kecil kemungkinan untuk mendapatkan evaluasi yang memuaskan dari
orang lain. Kecemasan sosial adalah konstruk yang digunakan untuk menggambarkan rangkaian
pengalaman kognitif dan afektif yang muncul dari prospek evaluasi interpersonal dalam situasi
sosial yang nyata ataupun imajinatif. Kecemasan sosial akan muncul ketika seorang individu
ingin menciptakan suatu impresi tertentu kepada orang lain namun ia merasa tidak mampu
melakukan hal tersebut. Schlenker dan Leary (1982) mengemukakan bahwa kecemasan sosial
muncul dari rasa tidak mampu dalam menghadapi kejadian evaluatif pada interaksi sosial dengan
baik (self-presentational problem).
Selain itu, perwujudan dari self-presentational problem menyebabkan individu dengan
kecemasan sosial untuk tidak menganggap dirinya mampu dalam mengontrol reaksi dan impresi
dari orang lain sesuai dengan keinginannya, sehingga ekspektasi terhadap hasil yang terkait
dengan impresi menjadi rendah, dan menganggap bahwa terdapat kesenjangan antara standar
dirinya dan performa sosial atau hasilnya.
2.2.2. Dimensi Kecemasan Sosial
Menurut Bhamani dan Hussain (2012), kecemasan sosial mengukur tiga dimensi yaitu
Self report, Social fear, dan Peer report. Ketiga dimensi ini merupakan dimensi kecemasan
karena kecemasan sosial merupakan hasil dari perception of self, about self, or self in a social
situation (Ruscio, Brown, Chiu, Sareen, & Kesseler, 2008 dalam Bhamani & Hussain, 2012).
1. Perception of Self (e.g., ― Saya tahu alasan saya melakukan sesuatu)
2. About Self (e.g., ― Saya biasa memantau kemajuan saya ke arah tujuan saya)
3. Self in a Social Situation (e.g., ― Saya bisa memandang diri saya berada di situasi sosial)
2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Sosial
Menurut Schlenker dan Leary (1982) kecemasan sosial dipengaruhi oleh empat kategori
yang mempengaruhi kecemasan sosial, yaitu:
1. The skills deficit model
Faktor ini menjelaskan bahwa kecemasan yang dialami pada situasi sosial disebabkan
oleh ketidaksesuaian atau kurangnya kemampuan sosial. Kegagalan dalam mengatur komunikasi
sosial oleh individu dengan kemampuan sosial rendah menyebabkan situasi aversif yang
memunculkan kecemasan. Faktor ini terfokus pada domain sosial dan menjawab pertanyaan dari
bagaimana kurangnya kemampuan sosial dapat berkontribusi pada kecemasan sosial. Kecemasan
sosial muncul karena faktor-faktor sosial. Hal ini terpancar pada konstruk domain sosial
seseorang di mana orang tersebut dapat berbicara dengan percaya diri kepada orang lain,
memiliki social image, dan dapat berhubungan dengan orang lain secara asertif (Wittchen &
Fehm, 2003 dalam Bhamani & Hussain, 2012).
2. The cognitive self-evaluation model
Faktor ini menjelaskan bahwa kecemasan sosial bukan berasal dari kurangnya
kemampuan objektif namun berasal dari persepsi individu terhadap perception of personal
inadequacies (Rehm & Marston, 1968 dalam Schlenker & Leary, 1982).
The Cognitive self-evaluation model menyatakan bahwa hasil dari kecemasan sosial
bukan dari kekurangan keterampilan objektif melainkan dari persepsi individu terhadap
kekurangan personal (Rehm & Marston, 1968 dalam Schlenker & Leary, 1982). Penelitian
menunjukan bahwa individu yang memiliki kecemasan sosial cenderung meremehkan
kemampuan sosial mereka, menilai diri mereka lebih negatif, berharap untuk melakukan lebih
buruk secara sosial dan menganggap reaksi orang lain terhadap mereka kurang positif bahkan
ketika mereka melakukannya tidak kurang positif, daripada individu-individu yang tidak
memiliki kecemasan sosial. Faktor kedua ini memberikan wawasan dari model kognitif yang
menekankan pada self-evaluation dan persepsi diri dan pengaruhnya dalam kecemasan sosial.
Adalah sangat penting untuk mengerti bagaimana seseorang telah mengembangkan self-image
mereka.Dalam ini, persepsi diri terhadap self-image dikembangkan di dalam pikiran.
Representasi mental ini dari diri dan berbagai peristiwa akan membawa seseorang untuk bereaksi
dan merasakan situasi sesuai atau berbeda dengan apa yang terjadi. Skrip mental ini adalah hasil
dari pengalaman masa lalu, tekanan dari teman sebaya, dan peristiwa yang tidak mengesankan
dalam hidup mereka dan hasil dari hal-hal tersebut adalah bentuk dari kecemasan sosial
(Heimberge, Stein, Hiripi, & Kesseler, 2000 dalam Bhamani & Hussain, 2012). Kecemasan ini
mengarahkan kepada ketakutan yang nyata atau yang dirasakan, mungkin ketakutan terhadap
seseorang atau sebuah situasi.
3. A classical conditioning model
Diasumsikan bahwa kecemasan sosial dikondisikan ketika stimulus netral dipasangkan
dengan konsekuensi sosial yang aversif (Wolpe, 1973 dalam Schlenker & Leary, 1982). Kategori
ketiga ini berkembang dari domain tingkah laku dari perkembangan yang berhubungan dengan
respon sesorang untuk konsekuensi sosial. School of thought tingkah laku menghadapi
kecemasan sebagai respon psikologis untuk sebuah situasi atau seseorang. Hal ini didorong dari
teori Classical Conditioning dimana ada hubungan antara stimulus dan respon (Cougle, Keough,
Riccardi, & Sachs-Erisson, 2009 dalam Bhamani & Hussain, 2012). Hal ini banyak diamati
dalam konteks pendidikan bahwa ketika seorang siswa yang memilki ketakutan atau kecemasan
dipanggil kedepan kelas, siswa ini gagap dan merinding.
4. Personality trait approach
Meneliti perbedaan individu dalam afektif, kognitif, dan perilaku pendamping dari
kecemasan sosial. Ada bukti bahwa rasa malu memiliki komponen yang turun temurun yang
menunjukan bahwa kecemasan sosial disposisional mungkin menjadi fondasi dari sifat
tempramen. Faktor terakhir dari kecemasan sosial ini terfokus kepada teori kepribadian dimana
perbedaan individu menyebabkan kecemasan sosial. Manusia menciptakan persona mereka
sendiri berdasarkan persyaratan situasional. Ada banyak mahasiswa di tingkat universitas tidak
cenderung untuk berpartisipasi aktif di diskusi kelas atau tidak ada dalam mereka terarik untuk
bekerja dalam pasangan dan dalam grup. Mahasiswa seperti ini biasanya dan sering diberi label
sebagai introvert. Banyak peneliti merasa bahwa mahasiswa yang introvert harus diidentifikasi
oleh pengajar dan diawasi secara ketat. Gracia (2004), Herbert, Rheingold, and Goldstein (2002
dalam Bhamani & Hussain, 2012) menganggap mahasiswa seperti ini menjadi korban dari
kecemasan dan ketakutan sosial yang tertanam dalam diri mereka. Jenis-jenis kepribadian ini
mengakibatkan ketakutan, keraguan dalam diri sendiri, kurangnya kepercayaan diri dan
kurangnya kemampuan untuk mengatasi situasi yang baru.
2.2.4. Dampak Kecemasan Sosial
Kecemasan sosial ditemukan pada hampir seluruh jenis setting pendidikan dan memiliki
pengaruh pada performa, daya ingat, kesehatan perkembangan, dan kemampuan coping dan
kompetensi siswa (Chen & Drummond, 2008; Woody & Adessky, 2002 dalam Bhamani &
Hussain, 2012). Berbagai studi menunjukkan bahwa kecemasan sosial juga berdampak pada
penggunaan alkohol, bunuh diri, kriminalitas, dan kelainan kepribadian bipolar akut (Norton,
2008; Van Ingen & Novicki, 2009). Selain itu, kecemasan sosial dapat menyebabkan perilaku
seperti withdrawal (fisik atau kognitif), feelings of inferiority, self-preoccupation, reduced
self-monitoring, dan kontrol (Schlenker & Leary, 1982).
Menurut Schlenker dan Leary (1982), kecemasan sosial juga memunculkan perilaku lain
yang berkaitan dalam berbagai situasi yaitu:
-
Respon cemas (nervous responses) seperti gelisah, manipulasi diri, berkeringat,
menggeliat, gagap saat berbicara, dan secara umum terlihat gugup dan gelisah. Selain itu
respon cemas lainnya berkaitan dengan cara berkomunikasi dengan orang lain seperti
gangguan berbicara, serta ketidakmampuan dalam berkomunikasi secara efektif.
-
Perilaku disaffiliate (disaffiliate behaviors) yaitu perilaku yang mengurangi kontak sosial
dengan orang lain. Selain itu, perilaku lainnya adalah dengan jarang memunculkan
percakapan, ragu dalam berbicara secara bebas, dan secara umum kurang berpartisipasi
penuh dalam percakapan.
-
Menjaga image (image protection) yaitu perilaku yang menunjukkan bahwa individu
tersebut sopan di hadapan orang lain. Perilaku seperti ini (tidak memotong pembicaraan,
mendengar aktif, mengangguk, dan tersenyum) memungkinkan seseorang menunjukkan
sikap bersosialisasi yang sopan namun tidak berbahaya pada situasi yang diragukan akan
memunculkan impresi positif pada orang lain.
2.2.5. Pengukuran Kecemasan Sosial
Kecemasan sosial di ukur dengan menggunakan The Social Anxiety Scale (SAS) yang
dikembangkan oleh Bhamani dan Hussain (2012). Pemilihan alat ukur ini karena merupakan alat
ukur yang sesuai dengan definisi kecemasan sosial yang digunakan dalam penelitian ini. Alat
ukur kecemasan sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur SAS yang telah
diadaptasi kedalam bahasa Indonesia. Alat ukur berjumlah 15 item yang mengukur tiga dimensi
kecemasan sosial, yaitu perceived self-image, perceived social image, dan perceived peer
response of self-image. Kecemasan sosial diukur dengan skala Likert-style dengan skala 1-4
untuk menghindari c entral tendency bias pada responden.
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisi penjelasan mengenai metodologi yang digunakan untuk meneliti
gambaran Self-regulation dan kecemasan sosial yang mencakup masalah penelitian, hipotesis
penelitian, variabel-variabel yang akan dipakai dalam penelitian, tipe dan desain penelitian,
partisipan dalam penelitian, instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian, dan
prosedur pengambilan data atau metode pengambilan data.
3.1.
Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan utama dalam penelitian
ini yaitu “Apakah terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Self-regulation dan
kecemasan sosial pada mahasiswa?”
3.2.
Hipotesis Peneltian
Berikut adalah hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini:
H0 : Tidak terdapat hubungan antara S elf-regulation dan kecemasan sosial.
Ha : Terdapat hubungan yang signifikan antara S elf-regulation dan kecemasan sosial.
3.3.
Variabel Penelitian
3.3.1. Variabel 1 : Self-regulation
Definisi Konseptual : kemampuan untuk berkembang, mengimplementasikan dan menahan
tingkah laku secara fleksibel dalam cara untuk mencapai suatu tujuan.
Definisi Operasional : total skor yang diperoleh dari hasil penjumlahan respon responden pada
setiap item di alat ukur dari The Short Self-Regulation Questionnaire (Neal et. al., 2004 dalam
Neal & Carey, 2005). Semakin tinggi skor yang diperoleh, semakin tinggi self-regulation yang
dimiliki oleh individu tersebut.
3.3.2. Variabel 2 : Kecemasan Sosial
Definisi Konseptual : kecemasan yang muncul dari prospek atau kehadiran dari evaluasi pribadi
dalam situasi sosial yang nyata atau imajinatif.
Definisi Operasional : total skor yang diperoleh dari hasil penjumlahan respon responden pada
setiap item di alat ukur dari The Social Anxiety Scale (Bhamani & Hussein, 2012). Semakin
tinggi skor yang diperoleh, semakin tinggi pula kecemasan sosial yang dimiliki oleh individu
tersebut.
3.4.
Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian dapat diklasifikasikan melalui tiga pendekatan yakni berdasarkan aplikasi
penelitian, tujuan penelitian, dan proses mendapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian.
Berdasarkan aplikasi penelitian, penelitian ini termasuk ke dalam applied research atau
penelitian aplikatif karena hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman
mengenai hubungan antara kecemasan sosial dengan Self-regulation yang dimiliki oleh individu.
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk ke dalam correlational study atau penelitian
korelasional karena penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua variabel
yakni Self-regulation dan kecemasan sosial namun tidak menjelaskan hubungan sebab-akibat
antara dua variabel tersebut. Berdasarkan prosesnya, penelitian ini menggunakan structured
approach atau pendekatan berstruktur karena penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
hubungan antara dua variabel pada satu sampel (hubungan antara Self-regulation dan kecemasan
sosial pada mahasiswa).
3.4.2. Desain Penelitian
Penggolongan jenis-jenis desain penelitian menggunakan tiga perspektif yaitu jumlah
kontak (number of contact), periode referensi (reference of period), dan sifat penelitian (nature
of the investigation). Berdasarkan jumlah kontak, penelitian ini termasuk ke dalam desain
penelitian cross-sectional study karena pengambilan data hanya dilakukan melalui satu kali
kontak antara peneliti dengan partisipan. Berdasarkan periode referensinya, penelitian ini
termasuk ke dalam retrospective study karena mengukur pengalaman partisipan dalam
berinteraksi sosial. Berdasarkan sifatnya, penelitian ini tergolong dalam desain penelitian
non-eksperimental karena mempunyai tujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua variabel
saja (self-regulation dan kecemasan sosial) sehingga tidak menjelaskan hubungan sebab akibat.
3.4.3. Teknik Pengambilan Sampel
Tipe pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe probability
sampling pada saat persiapan dan tipe non probability sampling pada saat pelaksanaan. Tipe
probability sampling digunakan dalam penelitian ini karena peneliti ingin mendapat gambaran
tingkat kecemasan sosial dan self-regulation yang representatif dari sampel yang telah peneliti
tetapkan sebelumnya. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan tipe probability
sampling adalah teknik cluster sampling. Sebelum peneliti mengambil sampel mahasiswa S1
angkatan 2014 yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian untuk diambil datanya, peneliti
menentukan proporsi dari sub-sub populasi, dalam hal ini, fakultas-fakultas di Universitas
Indonesia. Kemudian setiap elemen pada sub populasi tersebut peneliti jadikan anggota populasi.
Pada pelaksanaan pengambilan data sampel, peneliti selanjutnya melakukan tipe
non-probability sampling. Teknik yang digunakan dalam tipe non probability sampling adalah
teknik accidental sampling dan snowball sampling yang didasari atas ketersediaan sampel.
Peneliti mengambil sampel mahasiswa yang bersedia dan mau berpartisipasi sebagai partisipan
dalam penelitian untuk diambil datanya. Karena kriteria sampel adalah angkatan 2014, maka
setelah melakukan accidental sampling, peneliti menanyakan kepada partisipan apakah ada
temannya yang bersedia untuk menjadi partisipan. Oleh karena itu, pada saat pelaksanaan
pengambilan sampel, peneliti melakukan dua teknik pengambilan sampel tipe non-probability
sampling.
3.4.4. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang sedang aktif mengikuti perkuliahan
di Universitas Indonesia dan merupakan mahasiswa S1 angkatan 2014. Penelitian ini memilih
populasi mahasiswa karena peneliti ingin mengukur secara spesifik self-regulation yang dimiliki
oleh mahasiswa sebagai kaum berpendidikan sehingga mahasiswa diharapkan memiliki
kecemasan sosial yang rendah.
Mempertimbangkan adanya keterbatasan waktu, tempat, dan akses yang dimiliki oleh
peneliti, tidak memungkinkan peneliti untuk melakukan pengambilan data pada seluruh individu
dalam populasi mahasiswa yang jumlahnya cukup besar. Oleh karena itu, peneliti melakukan
pengambilan sampel mahasiswa S1 angkatan 2014 di Universitas Indonesia yang dianggap dapat
mewakili populasi mahasiswa.
3.4.5. Kriteria Sampel Penelitian
Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 angkatan 2014 yang masih
aktif mengikuti pendidikan di Universitas Indonesia dari jurusan manapun yang meliputi
Rumpun Ilmu Sosial dan Humaniora, Rumpun Ilmu Kesehatan, serta Rumpun Sains dan
Teknologi.
3.4.6. Jumlah Sampel Penelitian
Jumlah sampel yang ditetapkan dalam penelitian ini minimal 60 orang yang tersebar dari
berbagai fakultas di Universitas Indonesia. Hal ini mempunyai tujuan agar distribusi data yang
dihasilkan dapat mendekati normal dan dapat menggambarkan populasi. Menurut hukum law of
large numbers, semakin besar jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian maka akan
semakin akurat data penelitian yang akan dihasilkan dalam menggambarkan populasi (Kumar,
2011). Oleh karena itu, peneliti menetapkan target minimal 150 orang agar hasil penelitian dapat
lebih akurat dalam menggambarkan populasi mahasiswa S1 angkatan 2014 di Universitas
Indonesia.
3.4.7. Instrumen Penelitian
Instrumen pengambilan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner.
Kuesioner dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, responden diminta
untuk mengisi data diri berupa 7 item yaitu informasi inisial nama, usia, jenis kelamin, asal
daerah, suku, fakultas dan jurusan, serta IPK terakhir. Bagian kedua adalah bagian yang
mengukur self-regulation yang terdiri dari 31 item. Bagian ketiga adalah bagian yang mengukur
kecemasan sosial terdiri dari 15 item. Total item yang dikerjakan oleh responden berjumlah 53
item. Seluruh item berupa pernyataan yang dinilai dengan menggunakan skala Likert-Style.
Kedua kuesioner yang digunakan sebagai instrumen penelitian diadaptasi dan diterjemahkan dari
Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia.
3.4.8. Alat Ukur Variabel 1 : Self-regulation
Variabel self-regulation diukur dengan menggunakan The Short Self Regulation
Questionnaire (SSRQ) yang dikembangkan oleh Neal et. al. (2004 dalam Neal & Carey, 2005).
Alat ukur self-regulation terdiri dari 31 item yang digunakan untuk mengukur 7 dimensi, yaitu
receiving, evaluating, triggering, searching, formulating, implementing, dan assessing. Selain
itu, seluruh item merupakan item favorable kecuali pada 14 item unfavorable pada alat ukur
self-regulation yaitu item nomor 2, 3, 4, 6, 7, 9, 10, 11, 16, 19, 22, 23, 27, dan 31. Pada item
unfavorable, skala Likert-Style yaitu Sangat Setuju (SS) memiliki skor = 5, dan Sangat Tidak
Setuju (STS) memiliki skor = 1.
3.4.9. Alat Ukur Variabel 2 : Kecemasan Sosial
Variabel kecemasan sosial diukur menggunakan Social Anxiety Scale (SAS) yang
dikembangkan oleh Bhamani dan Hussain (2012). Alat ukur kecemasan sosial mengukur tiga
dimensi melalui 15 item, yaitu perceived self image, perceived social image, dan perceived peer
response of self-image. Seluruh item merupakan item favorable. Selain itu, terdapat 8 item yang
mengukur informasi demografis responden yaitu verbal consent, universitas, provinsi, jenis
kelamin, marital status, level of study, mode of study dan IPK. Namun karena dalam penelitian
ini peneliti telah mengontrol sampel penelitian, sehingga informasi demografis yang diadaptasi
dari alat ukur ini hanya 2 saja yaitu jenis kelamin dan IPK.
3.5.
Prosedur Pengumpulan Data
3.5.1. Tahap Persiapan
Pada tahap awal, peneliti melakukan tinjauan literatur terkait fenomena serta
merumuskan variabel yang akan diteliti. Peneliti juga berkonsultasi dengan dosen mata kuliah ini
terkait
pemilihan
variabel
penelitian.
Setelah menentukan variabel penelitian, yaitu
Self-regulation dan kecemasan sosial, peneliti melakukan perumusan masalah penelitian serta
metode penelitian yang akan digunakan. Selain itu, peneliti menyusun hipotesis penelitian
berdasarkan tinjauan literatur yang berkaitan dengan variabel penelitian. Peneliti kemudian
melakukan adaptasi alat ukur serta membuat proposal penelitian sehingga dapat melanjutkan
langkah selanjutnya yaitu mengambil data partisipan. Setelah itu alat ukur akan melalui proses
expert judgement, revisi alat ukur dan pengambilan data.
3.5.2. Tahap Pelaksanaan
Pengambilan data dilakukan dengan dua cara, Paper and Pencil dan daring. Pada
pengambilan data cara Paper and Pencil, peneliti membutuhkan dua hari untuk pergi ke dua
fakultas di Universitas Indonesia. Hari pertama, peneliti pergi ke Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya dan mendapatkan empat belas responden. Pada hari kedua, peneliti melakukan
pengambilan data di Fakultas Kesehatan Masyarakat dan mendapatkan tujuh responden. Selain
cara Paper and Pencil, peneliti juga membuat Google Spreadsheet yang disebar secara daring.
Hasil dari G
oogle Spreadsheet ini, peneliti mendapatkan 144 responden.
3.6.
Metode Pengolahan Data
3.6.1. Responden Penelitian
Pada penelitian ini, kuesioner yang berhasil disebar dan mendapatkan respon adalah
sebanyak 165 kuesioner pada mahasiswa S1 Universitas Indonesia. Lebih lanjut, peneliti
melakukan penyeleksian terhadap data responden penelitian. Peneliti menemukan bahwa
terdapat lima data yang tidak valid untuk menjadi responden penelitian. Hal ini disebabkan
karena tidak memenuhi karakteristik populasi. Oleh karena itu, kuesioner yang dapat diolah
dalam penelitian ini adalah sebanyak 160 kuesioner.
3.6.2. Metode Skoring Self-regulation
Seluruh item dalam alat ukur Self-regulation diukur dengan menggunakan skala
Likert-Style yang terdiri dari 5 skala Likert-Style. Responden diminta untuk menilai tingkat
kesetujuannya terhadap pernyataan yang diberikan dimulai dari Sangat Setuju dengan skor = 5;
Setuju (S) dengan skor = 4; Ragu-Ragu (R) dengan skor = 3; Tidak Setuju (TS) dengan skor = 2;
Sangat Tidak Setuju dengan skor = 1. Dengan demikian, total skor tertinggi yang akan diperoleh
responden adalah 155 sedangkan total skor terendah adalah 31. Semakin tinggi total skor
responden menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki S elf-regulation yang semakin tinggi.
3.6.3. Metode Skoring Kecemasan Sosial
Seluruh item dalam alat ukur kecemasan sosial diukur dengan menggunakan skala
Likert-Style yang terdiri dari 4 skala Likert-Style. Responden diminta untuk menilai tingkat
kesetujuannya terhadap pernyataan yang diberikan dimulai dari Tidak Pernah dengan skor = 1;
Jarang dengan skor = 2; Kadang-Kadang dengan skor = 3; Sering dengan skor = 4. Penyamaan
skala
Likert-Style
bertujuan
untuk
mempermudah
responden
ketika
menjawab dan
meminimalisasi kecenderungan responden dalam menjawab pilihan yang di tengah (central
tendency bias). Dengan demikian, total skor tertinggi yang akan diperoleh responden adalah 60
sedangkan total skor terendah adalah 15. Semakin tinggi total skor responden menunjukkan
bahwa individu tersebut memiliki kecemasan sosial yang semakin tinggi.
3.7.
Prosedur Pengolahan Data
3.7.1. Tahap Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari tahap pengambilan data akan diolah dengan pengolahan statistik
yaitu menggunakan software SPSS 21.0. Peneliti menggunakan beberapa metode pengolahan
statistik dalam proses pengolahan data, diantaranya adalah:
1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai karakteristik
demografis responden penelitian, yaitu jenis kelamin, usia, fakultas dan jurusan. Selain itu,
statistik deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum dari variabel penelitian, yaitu
Self-regulation dan kecemasan sosial. Teknik statistik desktiptif yang digunakan antara lain
analisis frekuensi, mean, standar deviasi dan jangkauan total skor penelitian.
2. Kategorisasi Data
Peneliti melakukan kategorisasi data dengan cara membuat norma kelompok dari data …
mahasiswa yang digunakan dalam penelitian ini. Teknik yang digunakan adalah dengan
menggolongkan berdasarkan skor rata-rata responden. Responden terbagi dalam tiga
kelompok/kategori, yaitu kelompok skor rata-rata rendah, kelompok skor rata-rata tinggi, dan
kelompok skor rata-rata sedang. Oleh karena itu, terbentuk norma kelompok responden
penelitian.
3. Korelasi Pearson
Teknik statistik pearson correlation digunakan untuk mengetahui signifikansi dan
hubungan antara variabel Self-regulation (IV) dan kecemasan sosial (DV). Melalui teknik ini,
peneliti memperoleh koefisien korelasi dari variabel yang diukur. Teknik pearson correlation
digunakan untuk analisis utama penelitian.
BAB 4
HASIL DAN ANALISIS
Pada bab ini akan memaparkan hasil penelitian dan analisis data. Analisis data akan
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu gambaran umum responden penelitian, gambaran umum
variabel penelitian, yaitu Self-regulation dan kecemasan sosial, serta hasil dan analisis utama dari
masalah penelitian, yaitu hubungan antara S elf-regulation dengan kecemasan sosial.
4.1.
Gambaran Responden
4.1.2
Gambaran Umum Partisipan Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia
Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 Universitas Indonesia dan memiliki
rentang usia 17-26 tahun. Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah responden dalam penelitian ini
adalah 160 orang. Berikut gambaran karakteristik responden pada tabel 4.1.
Tabel 4. 1. Gambaran Karakteristik Demografis Responden Penelitian
Usia
Jenis Kelamin
Total
17
18
19
20
21
26
Laki-laki
3
17
27
12
1
0
60
Perempuan
4
26
45
11
13
1
100
7
43
72
23
14
1
160
Total
Tabel 4.1. menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah perempuan dengan
persentase 62,5%. Responden perempuan yang berusia 19 tahun memiliki proporsi yang paling
besar dari seluruh responden yang memiliki jenis kelamin perempuan, yaitu 45 orang. Sedangkan
responden laki-laki yang juga berusia 19 tahun
4.1.2 Gambaran Umum Partisipan Penelitian Berdasarkan Asal Fakultas
Tabel 4.2 Gambaran Umum Partisipan Penelitian Berdasarkan Asal Fakultas
Asal Fakultas
Frekuensi (N)
Persentase (%)
Kedokteran (FK)
7
4,4
Kedokteran Gigi (FKG)
2
1,3
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA)
7
4,4
Teknik (FT)
22
13,8
Hukum (FH)
13
8,1
Ekonomi dan Bisnis (FEB)
16
10,0
Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB)
17
10,6
Psikologi
33
20,6
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
15
9,6
Kesehatan Masyarakat (FKM)
11
6,9
Ilmu Komputer (FASILKOM)
11
6,9
Ilmu Keperawatan (FIK)
2
1,3
Farmasi (FF)
1
0,6
Lain-lain*
3
1,9
Total
160
100%
4.2.
Gambaran Variabel Penelitian
4.2.1. Self-regulation
Selanjutnya, tabel 4.2. di bawah ini menjelaskan persebaran skor total S elf-regulation dari
responden. Skor responden diklasifikasi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok skor rendah bagi
yang memiliki total skor lebih kecil dari 52, kelompok skor tinggi bagi yang memiliki total skor
di atas 104, dan kelompok skor sedang bagi yang memiliki total skor antara 53-104.
Tabel 4.2. Persebaran Skor S elf-regulation
Kelompok Skor
Rentang Skor
Jumlah
Presentase
Rendah
0 – 52
0
0
Sedang
53 – 104
75
46,875
Tinggi
105 – 155
85
53,125
160
100%
Total
Berdasarkan tabel di atas, maka sebanyak 75 responden atau 46,875% dari responden
merasa memiliki skor Self-regulation yang tergolong sedang. Lebih lanjut, responden yang
memiliki skor Self-regulation rendah sebanyak 0 orang dengan persentase 0%, sedangkan 85
responden atau 53,125% memiliki skor S elf-regulation yang tergolong tinggi.
4.2.2. Kecemasan Sosial
Tabel 4.3. di bawah ini menjelaskan gambaran persebaran skor kecemasan sosial
responden yang terbagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok responden yang memiliki skor
ringan (mild) dengan total skor di bawah 30, kemudian kelompok responden yang memiliki skor
berat (severe) dengan total skor di atas 46, dan kelompok responden yang memiliki skor sedang
(moderate) total skor antara 31 – 45.
Tabel 4.3. Persebaran Skor Kecemasan Sosial
Kelompok Skor
Rentang Skor
Jumlah
Presentase
Ringan
15 – 30
10
6,25
Sedang
31 – 45
110
68,75
Berat
46 – 60
40
25
160
100%
Total
Berdasarkan pembagian tersebut, mayoritas responden, yaitu sebanyak 110 orang
mahasiswa memiliki skor kecemasan sosial yang tergolong sedang dengan presentase 68,75%.
Selanjutnya, responden yang tergolong memiliki skor kecemasan sosial berat adalah sebanyak 40
orang mahasiswa dengan persentase 25%. Lebih lanjut, responden dari mahasiswa yang
memiliki skor kecemasan tergolong ringan adalah sebanyak 10 orang dengan persentase 6,25%.
4.3.
Analisis Utama
4.3.1. Hubungan antara Self-regulation dan Kecemasan Sosial
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecemasan sosial
dengan self-regulation pada mahasiswa. Oleh karena itu, analisis utama penelitian ini
menggunakan teknik statisik Pearson Product Moment untuk mengetahui korelasi antara
kecemasan sosial dengan s elf-regulation.
Tabel 4.4. Hasil Korelasi antara Kecemasan Sosial dan S elf-Regulation
Variabel
r
r2
Sig.
Self Regulation dan kecemasan sosial
0.332
0.11
0.000*
*Korelasi signifikan pada l evel of significance (LOS) pada 0.01 (two-tailed).
Berdasarkan tabel 4.4 di atas, dengan menghitung korelasi Pearson Product Moment
dilihat hubungan antara kecemasan sosial dan self-regulation pada mahasiswa. Kecemasan sosial
(M = 41.76, SD = 6.81) dan self-regulation (M = 106.86, SD = 15.74) memiliki korelasi yang
positif dan signifikan, r (159) = 0.33, p < 0.01, two tailed. Sehingga, Hipotesis null (Ho)
penelitian berhasil ditolak dan Hipotesis alternatif (Ha) penelitian berhasil untuk diterima.
Dengan effect size sebesar r2 = 0.11, berdasarkan Gravetter dan Wallnau (2013) dikatakan
memiliki efek yang sedang (0.09 > r2 < 0.25). Secara keseluruhan, dapat dikatakan ada hubungan
yang tidak terlalu kuat dan positif antara kecemasan sosial dengan s elf-regulation.
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab ini, akan dijelaskan kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi hasil pengolahan
data, serta saran untuk penelitian selanjutnya. Kesimpulan merupakan jawaban atas pertanyaan
penelitian yang diperoleh dari hasil pengolahan data. Pada bagian diskusi untuk membahas hasil
penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya.
5.1.
Kesimpulan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara Self-regulation dan
kecemasan sosial pada mahasiswa. Berdasarkan hasil pengolahan data, didapat kesimpulan
bahwa Self-regulation memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kecemasan sosial.
Maka dapat dikatakan, semakin tinggi S elf-regulation, semakin tinggi pula kecemasan sosial.
5.2.
Diskusi Penelitian
Hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan
signifikan antara Self-regulation dengan kecemasan sosial. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang diadakan oleh Lopes, Salovey, Cote dan Beers (2005) yang menyatakan bahwa individu
yang memiliki skor yang tinggi pada emotion regulation memandang diri mereka sebagai
individu yang lebih sensitif secara interpersonal dan lebih prososial dibandingkan orang-orang
yang memperoleh skor rendah pada emotion regulation. Baumeister, Vohs, DeWall, dan Zhang
(2007) memandang emosi sebagai sistem umpan balik yang menstimulasi proses pembelajaran
mengenai situasi yang memunculkan emosi-emosi tertentu. Ketika diaplikasikan kepada
self-regulation, proses pembelajaran tersebut dapat membantu seseorang dalam memprediksi
kejadian-kejadian yang diasosiasikan dengan emosi tertentu, sehingga emosi tersebut dapat
mengarahkan s elf-regulation secara langsung (Brown & McConnell, 2011)
Sejalan dengan penelitian Lopes, Salovey, Cote dan Beers (2005), penelitian ini juga
membuktikan bahwa individu-individu yang dapat meregulasi emosinya dengan baik akan
memiliki self-regulation yang baik karena mereka memiliki sensitivitas interpersonal yang baik
juga. Namun, pada kasus individu yang memiliki kecemasan sosial, mereka mengarahkan
sensitivitas tersebut kepada persepsi negatif orang-orang yang ada disekitarnya terkait diri
mereka, sehingga mereka seringkali mengalami masalah dalam hubungan sosial.
Pada bagian kesimpulan, peneliti telah menuliskan bahwa semakin tinggi self-regulation,
semakin tinggi pula kecemasan sosialnya. Hal ini disimpulkan dari hasil penelitian yang
menunjukan bahwa ada hubungan yang positif. Namun pada penghitungan besar effect size,
sebesar
r2 = 0.11, menjelaskan bahwa hubungan yang dihasilkan oleh kedua variabel tidak
terlalu kuat. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara kedua variabel benar ada, bersifat
positif, namun memiliki kekuatan yang tidak terlalu kuat yang menggambarkan kedua variabel
secara tidak terlalu kuat dalam mempengaruhi satu sama lain.
Hambatan-hambatan yang dialami peneliti pada saat penelitian ini dapat teratasi dengan
baik. Hambatan yang peneliti adalah tugas kuliah lain yang juga mendesak sehingga membuat
penelitian ini tertunda pengerjaannya. Hambatan lain yang penulis rasakan adalah kontrol pada
saat pengambilan data, untuk mendapatkan data yang reliabel, proporsi sampel dari setiap
fakultas harus sama, hal ini membuat peneliti cukup merasakan kesulitan dalam proses
pengambilan data.
Peneliti merasakan terdapat beberapa kekurangan dari penelitian ini salah satunya adalah
teknik kontrol dari pengambilan data. Data yang diambil sudah cukup banyak namun proporsi
tiap fakultasnya tidak terpenuhi sesuai dengan proporsi yang telah ditentukan sebelumnya, hal ini
membuat data yang ada kurang representatif dan menggambarkan populasi, sehingga hal ini
harus mendapat perhatian lebih lanjut.
5.3.
Saran
Pada bagian ini, peneliti memberikan saran yang dapat digunakan dalam penelitian
selanjutnya. Peneliti memberikan memberikan saran metodologis untuk masukan bagi penelitian
selanjutnya :
1. Melakukan penelitian lain mengenai Self-regulation dan kecemasan sosial pada
mahasiswa dengan status universitas yang berbeda, misalnya pada mahasiswa Universitas
swasta, yang dalam hal ini kedua universitas tersebut memiliki karakteristik mahasiswa
yang berbeda.
2. Melakukan
penelitian
lanjutan dengan menambah variabel lain yang diduga
mempengaruhi hubungan antara Self-regulation dan kecemasan sosial. Dengan melihat
peran variabel lain, diharapkan akan lebih menjelaskan hubungan antara Self-regulation
dan kecemasan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Bandura, A. (1991). Social cognitive theory of self-regulation. Organizational Behavior and
Human Decision Processes, 50, 248-287. Retrieved November 28, 2015, from
http://www.uky.edu/~eushe2/Bandura/Bandura1991OBHDP.pdf.
Baumeister, R., & Bushman, B. (2008). Social psychology and human nature (3rd ed.).
Belmont, CA: Thomson Higher Education.
Bhamani, S., & Hussain, N. (2012). Social Anxiety in Higher Education Learning Context:
Scale Construction and Reliability. I ndian Streams Research Journal, 2(5).
Blatt, S. (2004). Experiences of depression: Theoretical, clinical, and research perspectives.
Washington, DC US: American Psychological Association.
Brown, J. M., Miller, W. R., & Lawendowski, L. A. (1999). The Self-Regulation Questionnaire.
In L. VandeCreek & T. L. Jackson (Eds.), Innovations in clinical practice: A source book
(Vol. 17, pp. 281-289). Sarasota, FL: Professional Resource Press.
Caprara, G. V., Gerbino, M., Paciello, M., Di Giunta, L., & Pastorelli, C. (2010). Counteracting
depression and delinquency in late adolescence: The role of regulatory emotional and
interpersonal
self-efficacy
beliefs.
European
Psychologist,
15(1),
34-48.
doi:http://dx.doi.org/10.1027/1016-9040/a000004.
Cook, J., & Cook, G. (2005). Child development: Principles and perspectives (pp. 352-355).
Boston, Mass.: Pearson.
Cox, B. J., McWilliams, L. A., Enns, M. W., & Clara, I. P. (2004). Broad and specific
personality dimensions associated with major depression in a nationally representative
sample. Comprehensive Psychiatry, 45, 246-253.
Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2009). Research method: Behavioral sciences (3th ed.)
United States: Wadsworth Cengage Learning.
Hergenhahn, B. R. (2009)
dan Kecemasan Sosial
pada Mahasiswa Universitas Indonesia Angkatan 2014
Disusun Oleh:
Kelompok 10, Kelas A
Anggota Kelompok :
Astridiah Primacita Ramadhani,
1406617326
Dimas Mahendra,
1406539974
Geraldus Tirta Pratama Kawulusan,
1406574062
Marchelita Dewi,
1406570184
Naufal Rakhaviansyah,
1406574232
Makalah penelitian ini diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah
Metodologi Penelitian Statistika dan Inferensial 1
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS INDONESIA
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial selalu melakukan interaksi sosial setiap harinya,
khususnya komunikasi. Komunikasi adalah proses pertukaran informasi antara dua pihak atau
lebih dengan aturan-aturan semiotik tertentu. Brunswik (1934, dalam Shaw & Costanzo, 1982)
mengasumsikan bahwa prinsip-prinsip persepsi seseorang terhadap orang lain sama halnya
dengan prinsip-prinsip yang diterapkan dalam mempersepsikan objek-objek impersonal, seperti
meja dan kursi. Seorang individu dipandang memiliki emosi, intensi, keinginan, sentimen dan
beberapa hal yang dapat dipersepsikan berbeda apabila dibandingkan dengan objek-objek
impersonal (Shaw & Costanzo, 1982).
Dalam komunikasi antara dua pihak atau lebih, proses persepsi terhadap lawan bicara
atau penerima maupun pengirim pesan mungkin saja terjadi. Berdasarkan penjelasan di atas,
mungkin saja terjadi penilaian-penilaian subjektif yang melibatkan beberapa aspek seperti emosi,
intensi dan sentimen.
Pada beberapa individu yang memiliki tingkat kecemasan yang tidak biasa terhadap
persepsi-persepsi negatif seseorang terhadap dirinya akan mengalami gangguan yang dinamakan
kecemasan sosial (social anxiety). Khususnya pada mahasiswa, kecemasan ini muncul karena
pada masa remaja akhir adalah masa transisi dimulai dengan ditandai beberapa peran sebagai
orang dewasa sudah dituntut untuk dijalankan di berbagai dimensi yang ada di kehidupan mereka
(Caprara, Gerbino, Paciello, Di Giunta, & Pastorelli, 2010). Menghadapi kondisi seperti itu
individu, dalam kasus ini adalah mahasiswa, seringkali kehilangan kontrol terhadap hal-hal yang
sedang mereka hadapi. Oleh karena itu, seringkali mereka merasakan bahwa diri mereka dinilai
secara negatif oleh pihak-pihak yang ada di luar diri mereka.
Menurut Bandura (2006; Crockett & Sibereisen, 2000, dalam Caprara, Gerbino, Paciello,
Giunta, & Pastorelli,
2010) dalam social cognitive theory, kapasitas self-regulation seseorang
adalah kunci penting yang dapat digunakan dalam menghadapi transisi tersebut dengan sukses.
Self-regulation mechanism memiliki beberapa subfungsi dan tiga diantaranya adalah
self-monitoring tingkah laku seseorang, penyebab tingkah laku tersebut, dan dampak dari tingkah
laku tersebut; penilaian tingkah laku seseorang dalam pembahasan hubungan antara standar
personal dan affective self-reaction (Bandura, 1991). Menurut pandangan interaksionis dalam
social-cognitive theory, faktor-faktor sosial mempengaruhi operasi dari sistem regulasi diri.
Dalam penelitian yang diadakan oleh Lopes, Salovey, Cote dan Beers (2005) individu
yang memiliki skor yang tinggi pada emotion regulation memandang diri mereka sebagai
individu yang lebih sensitif secara interpersonal dan lebih prososial dibandingkan orang-orang
yang memperoleh skor rendah pada emotion regulation. Baumeister, Vohs, DeWall, dan Zhang
(2007) memandang emosi sebagai sistem umpan balik yang menstimulasi proses pembelajaran
mengenai situasi yang memunculkan emosi-emosi tertentu. Ketika diaplikasikan kepada
self-regulation, proses pembelajaran tersebut dapat membantu seseorang dalam memprediksi
kejadian-kejadian yang diasosiasikan dengan emosi tertentu, sehingga emosi tersebut dapat
mengarahkan s elf-regulation secara langsung (Brown & McConnell, 2011)
Individu-individu yang dapat meregulasi emosinya dengan baik juga akan memiliki
self-regulation yang baik, karena mereka memiliki sensitivitas interpersonal yang baik juga.
Namun, pada kasus individu yang memiliki kecemasan sosial, mereka mengarahkan sensitivitas
tersebut kepada persepsi negatif orang-orang yang ada disekitarnya terkait diri mereka, sehingga
seringkali mereka mengalami masalah dalam hubungan sosial. Sebagian aspek dari
self-regulation dapat menjadi faktor yang berkontribusi pada kecemasan sosial. Kecemasan
sosial diperkirakan akan muncul ketika individu tidak bersikap secara konsisten dan tidak sesuai
dengan tujuan yang dimilikinya.
Menurut (Burgio, Merluzzi & Pryor, 1986) arah dari atensi seorang individu sangatlah
penting dalam interaksi sosial dan hal tersebut sangat berpengaruh kepada social performance.
Sehingga dapat dikatakan arah dari atensi individu yang mengalami kecemasan sosial
mempengaruhi cara mereka melakukan interaksi. Individu-individu ini sering tidak mampu
menghadapi kontak-kontak sosial yang ada di depan mereka, dan cenderung menghindar, yang
memperlihatkan bahwa mereka tidak mampu memprediksi emosi yang berkaitan dengan
kejadian yang akan mereka hadapi.
1.2.
Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan
antara self-regulation dengan kecemasan sosial pada mahasiswa. Untuk itu, rumusan masalah
pada penelitian ini adalah, “Apakah terdapat hubungan antara self-regulation dan kecemasan
sosial pada mahasiswa?”
1.3.
Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
Self-regulation dan kecemasan sosial pada mahasiswa. Secara khusus, tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menuntaskan tugas besar mata kuliah Metodologi Penelitian dan Statistika
Inferensial 1 tahun 2015.
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan serta
memperkaya hasil penelitian di bidang Psikologi, terutama di bidang Psikologi Sosial yakni
mengenai kecemasan sosial. Selain itu, peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menambah
wawasan mengenai self-regulation dan hubungannya dengan kecemasan sosial. Penelitian ini
juga diharapkan dapat memunculkan penelitian lain mengenai self-regulation dan kecemasan
sosial pada berbagai macam karakter partisipan.
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menambah informasi
serta menyumbangkan pemikiran terhadap pemecahan masalah yang berkaitan dengan
self-regulation dan kecemasan sosial. Secara lebih lanjut, hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat digunakan sebagai rujukan atau acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya yang
berkaitan dengan self-regulation dan kecemasan sosial. Selain itu, hasil dari penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan rujukan untuk membandingkan dengan hasil penelitian lain yang
memiliki konteks dan subjek penelitian yang berbeda.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan membahas mengenai teori-teori yang berkaitan dengan variabel
penelitian yaitu konsep-konsep s elf-regulation dan kecemasan sosial.
2.1.
Self-regulation
2.1.1. Definisi Self-regulation
Menurut King (2014), self-regulation adalah proses di mana organisme berusaha
mengontrol tingkah lakunya untuk mengejar sebuah tujuan yang penting, Kunci utama dari
self-regulation adalah mendapatkan umpan balik tentang bagaimana progress kita dalam usaha
mengejar tujuan tersebut. Sedangkan menurut Kocovski (1998), self-regulation adalah sebuah
teori tingkah laku manusia yang menyatakan bahwa manusia menentukan tujuan, memonitor dan
mengevaluasi tingkah laku. Jika terdapat perbedaan antara tingkah laku sebenarnya dengan
tujuan, akan ada usaha untuk mengurangi perbedaan tersebut dan jika tujuan sudah tercapai,
self-reinforcement akan terjadi. Selain itu, self-regulation bisa didefinisikan sebagai kemampuan
untuk mengaktivasi, memonitor, mencegah, melanjutkan dan atau beradaptasi pada perilaku,
atensi, emosi dan strategi kognitif secara fleksibel dalam merespon pada arah dari internal cues,
stimulus
lingkungan
dan feedback dari
orang lain, dalam usaha untuk mencapai
personally-relevant goals (Moilanen, 2007). Sedangkan menurut Frederick Kanfer (1970 dalam
Miller
&
Brown,
1991),
Self-regulation
adalah
kemampuan
untuk
berkembang,
mengimplementasikan dan menahan tingkah laku secara fleksibel dalam cara untuk mencapai
suatu tujuan Sebagian besar teori psikologi tentang self-regulation didasari oleh cybernetics
(sebuah teori fisik dari sistem kontrol otomatis), sehingga terkadang self-regulation disamakan
dengan self-control. Miller dan Brown (1991) memformulasikan model tujuh langkah
self-regulation yang terdiri dari receiving, evaluating, triggering, searching, formulating,
implementing, dan a ssessing.
2.1.2. Dimensi Self-regulation
Menurut Miller dan Brown (1991), terdapat model tujuh langkah dalam self-regulation,
yang terdiri dari:
1. Receiving relevant information (e.g., ― Saya biasa memantau kemajuan saya ke arah
tujuan saya)
2. Evaluating information and comparing to norms (e.g., ―Saya memiliki standar pribadi
dan mencoba untuk menjalaninya)
3. Triggering change (e.g., ―
Saya cenderung terus melakukan suatu hal yang sama,
bahkan ketika hal tersebut tidak berjalan dengan baik)
4. Searching for options (e.g., ―Saya mampu mencapai tujuan yang saya tentukan sendiri)
5. Formulating a plan (e.g., ― Saat saya memiliki tujuan, biasanya saya memiliki rencana
untuk mencapainya)
6. Implementing the plan (e.g., ―Saya mudah teralihkan dari rencana-rencana saya)
7. Assessing the effectiveness of the plan (e.g., ―Saya tampak tidak belajar dari kesalahan
saya)
2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi S
elf-regulation
Menurut Kocovski (1998), Self-regulation meliputi penetapan tujuan, pengawasan
tingkah laku, dan penilaian tingkah laku untuk menentukan apakah tingkah laku tersebut
menemui tujuan yang sudah ditentukan. Jika terdapat perbedaan antara tingkah laku dan tujuan,
sebuah usaha akan dilakukan untuk merubah tingkah laku demi mengurangi perbedaan tersebut.
Oleh karena itu, jika individu telah sukses mencapai tujuannya, self-reinforcement dalam bentuk
pikiran positif atau aktivitas yang bisa dinikmati mungkin terjadi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kochanska, Coy, dan Murray (2001) menemukan
bahwa Self-regulation bukan hanya hasil dari karakteristik internal, namun konteks juga
berpengaruh. Dalam penelitian mereka, anak-anak lebih sulit untuk melakukan aktivitas yang
tidak menyenangkan daripada tidak melakukan aktivitas yang mereka inginkan. Hal ini mungkin
dikarenakan orang tua lebih memfokuskan pada apa yang dilarang daripada memberi dukungan
pada aktivitas yang berkelanjutan. Hal lainnya mungkin dikarenakan bahwa melanjutkan
aktivitas yang tidak menyenangkan membutuhkan usaha yang berkelanjutan dan ketekunan,
sedangkan tidak melakukan aktivitas yang menyenangkan lebih mudah untuk dilakukan,
contohnya dengan fokus pada hal lain (Kochanska et. al., 2001, p.1107). Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi Self-regulation adalah faktor internal
(kemampuan berkembangnya anak untuk memodifikasi perilaku dan opini mereka terhadap
suatu permintaan) dan faktor eksternal (tipe Self-regulation yang sedang diminta). Fakta bahwa
seseorang mampu untuk meregulasi diri bukan berarti bahwa mereka mau untuk meregulasi
dirinya, walaupun pada tugas-tugas yang mudah (Cook & Cook, 2005).
2.1.4. Pengukuran Self-regulation
Alat ukur self-regulation yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur SSRQ
yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Self-regulation diukur dengan skala
Likert-style dengan skala 1-5.
Self-regulation di ukur dengan menggunakan The Self-Regulation Questionnaire (SRQ)
yang dikembangkan oleh Brown, Miller, dan Lawendowski (1999). Pada model ini,
self-regulation dilihat dari kemampuan seseorang untuk menetapkan, menjalankan dan menjaga
perilaku yang terencana dalam mencapai tujuan. Namun pada penelitian kali ini, peneliti
menggunakan The Short Self-Regulation Questionnaire (SSRQ) yang dikembangkan oleh Carey
et. al. (2004 dalam Neal & Carey, 2005). Item pada alat ukur SSRQ berkorelasi tinggi (r = 0.96)
pada item dari alat ukur SRQ.
The Short Self-Regulation Questionnaire (SSRQ) memiliki 31 item yang merupakan versi
singkat dari SRQ (Brown, Miller, & Lawendowski, 1999). Versi asli SRQ mengukur
self-regulation sebagai proses yang terdiri dari tujuh langkah. Carey et. al. (2004) menemukan
versi lebih singkat dengan hanya 31 item. Seluruh item dari SSRQ merupakan item-item yang
diambil dari SRQ namun tetap mencakup tujuh langkah s elf-regulation.
SSRQ diberikan kepada sampel dari beberapa mahasiswa sarjana di Amerika dengan
Cronbach’s Alpha sebesar 0.92 dari total skor yang diperoleh (Neal & Carey, 2005). Analisis
terhadap SSRQ dilakukan kepada suatu kelompok mahasiswa yang terdiri dari 237 orang pada
sebuah kelas pengantar psikologi (Neal & Carey, 2005) di Amerika yang memperlihatkan dua
faktor berbeda (kontrol terhadap impuls dan goal setting) dengan reliabilitas yang dapat diterima.
Pola dari hubungan antar faktor tersebut dan pengukuran terhadap self-control serta penggunaan
alkohol juga menghasilkan bukti-bukti pendukung terhadap validitas alat ukur tersebut.
2.2.
Kecemasan Sosial
2.2.1. Definisi Kecemasan Sosial
Hergenhahn (2008) mendefinisikan kecemasan sebagai perasaan yang muncul ketika
seseorang menghadapi suatu hal yang tidak ia ketahui, seperti ketika merenungkan kematian atau
ketika diharuskan untuk memilih suatu hal yang akan mengubah kehidupannya. Dalam
hidupnya, manusia pasti akan mengalami rasa cemas.
Selain itu, menurut Lesse (1970 dalam Schlenker & Leary, 1982), kecemasan adalah
respons kognitif dan afektif yang ditandai dengan kekhawatiran terhadap sesuatu yang tidak pasti
dan potensi kemunculan hasil negatif yang dianggap tidak dapat dihindari. Kecemasan
mengalami fluktuasi sepanjang waktu dan situasi, namun terdapat perbedaan individu atau
individual differences (muncul dari pengalaman pribadi dan faktor biologis) yang menyebabkan
perbedaan derajat pengalaman seseorang.
Dalam self-presentation model of social anxiety oleh Schlenker dan Leary (1982),
kecemasan sosial adalah kecemasan yang muncul dari prospek atau kehadiran dari evaluasi
pribadi dalam situasi sosial yang nyata atau imajinatif. Dalam kecemasan sosial, seseorang
menganggap adalah kecil kemungkinan untuk mendapatkan evaluasi yang memuaskan dari
orang lain. Kecemasan sosial adalah konstruk yang digunakan untuk menggambarkan rangkaian
pengalaman kognitif dan afektif yang muncul dari prospek evaluasi interpersonal dalam situasi
sosial yang nyata ataupun imajinatif. Kecemasan sosial akan muncul ketika seorang individu
ingin menciptakan suatu impresi tertentu kepada orang lain namun ia merasa tidak mampu
melakukan hal tersebut. Schlenker dan Leary (1982) mengemukakan bahwa kecemasan sosial
muncul dari rasa tidak mampu dalam menghadapi kejadian evaluatif pada interaksi sosial dengan
baik (self-presentational problem).
Selain itu, perwujudan dari self-presentational problem menyebabkan individu dengan
kecemasan sosial untuk tidak menganggap dirinya mampu dalam mengontrol reaksi dan impresi
dari orang lain sesuai dengan keinginannya, sehingga ekspektasi terhadap hasil yang terkait
dengan impresi menjadi rendah, dan menganggap bahwa terdapat kesenjangan antara standar
dirinya dan performa sosial atau hasilnya.
2.2.2. Dimensi Kecemasan Sosial
Menurut Bhamani dan Hussain (2012), kecemasan sosial mengukur tiga dimensi yaitu
Self report, Social fear, dan Peer report. Ketiga dimensi ini merupakan dimensi kecemasan
karena kecemasan sosial merupakan hasil dari perception of self, about self, or self in a social
situation (Ruscio, Brown, Chiu, Sareen, & Kesseler, 2008 dalam Bhamani & Hussain, 2012).
1. Perception of Self (e.g., ― Saya tahu alasan saya melakukan sesuatu)
2. About Self (e.g., ― Saya biasa memantau kemajuan saya ke arah tujuan saya)
3. Self in a Social Situation (e.g., ― Saya bisa memandang diri saya berada di situasi sosial)
2.2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Sosial
Menurut Schlenker dan Leary (1982) kecemasan sosial dipengaruhi oleh empat kategori
yang mempengaruhi kecemasan sosial, yaitu:
1. The skills deficit model
Faktor ini menjelaskan bahwa kecemasan yang dialami pada situasi sosial disebabkan
oleh ketidaksesuaian atau kurangnya kemampuan sosial. Kegagalan dalam mengatur komunikasi
sosial oleh individu dengan kemampuan sosial rendah menyebabkan situasi aversif yang
memunculkan kecemasan. Faktor ini terfokus pada domain sosial dan menjawab pertanyaan dari
bagaimana kurangnya kemampuan sosial dapat berkontribusi pada kecemasan sosial. Kecemasan
sosial muncul karena faktor-faktor sosial. Hal ini terpancar pada konstruk domain sosial
seseorang di mana orang tersebut dapat berbicara dengan percaya diri kepada orang lain,
memiliki social image, dan dapat berhubungan dengan orang lain secara asertif (Wittchen &
Fehm, 2003 dalam Bhamani & Hussain, 2012).
2. The cognitive self-evaluation model
Faktor ini menjelaskan bahwa kecemasan sosial bukan berasal dari kurangnya
kemampuan objektif namun berasal dari persepsi individu terhadap perception of personal
inadequacies (Rehm & Marston, 1968 dalam Schlenker & Leary, 1982).
The Cognitive self-evaluation model menyatakan bahwa hasil dari kecemasan sosial
bukan dari kekurangan keterampilan objektif melainkan dari persepsi individu terhadap
kekurangan personal (Rehm & Marston, 1968 dalam Schlenker & Leary, 1982). Penelitian
menunjukan bahwa individu yang memiliki kecemasan sosial cenderung meremehkan
kemampuan sosial mereka, menilai diri mereka lebih negatif, berharap untuk melakukan lebih
buruk secara sosial dan menganggap reaksi orang lain terhadap mereka kurang positif bahkan
ketika mereka melakukannya tidak kurang positif, daripada individu-individu yang tidak
memiliki kecemasan sosial. Faktor kedua ini memberikan wawasan dari model kognitif yang
menekankan pada self-evaluation dan persepsi diri dan pengaruhnya dalam kecemasan sosial.
Adalah sangat penting untuk mengerti bagaimana seseorang telah mengembangkan self-image
mereka.Dalam ini, persepsi diri terhadap self-image dikembangkan di dalam pikiran.
Representasi mental ini dari diri dan berbagai peristiwa akan membawa seseorang untuk bereaksi
dan merasakan situasi sesuai atau berbeda dengan apa yang terjadi. Skrip mental ini adalah hasil
dari pengalaman masa lalu, tekanan dari teman sebaya, dan peristiwa yang tidak mengesankan
dalam hidup mereka dan hasil dari hal-hal tersebut adalah bentuk dari kecemasan sosial
(Heimberge, Stein, Hiripi, & Kesseler, 2000 dalam Bhamani & Hussain, 2012). Kecemasan ini
mengarahkan kepada ketakutan yang nyata atau yang dirasakan, mungkin ketakutan terhadap
seseorang atau sebuah situasi.
3. A classical conditioning model
Diasumsikan bahwa kecemasan sosial dikondisikan ketika stimulus netral dipasangkan
dengan konsekuensi sosial yang aversif (Wolpe, 1973 dalam Schlenker & Leary, 1982). Kategori
ketiga ini berkembang dari domain tingkah laku dari perkembangan yang berhubungan dengan
respon sesorang untuk konsekuensi sosial. School of thought tingkah laku menghadapi
kecemasan sebagai respon psikologis untuk sebuah situasi atau seseorang. Hal ini didorong dari
teori Classical Conditioning dimana ada hubungan antara stimulus dan respon (Cougle, Keough,
Riccardi, & Sachs-Erisson, 2009 dalam Bhamani & Hussain, 2012). Hal ini banyak diamati
dalam konteks pendidikan bahwa ketika seorang siswa yang memilki ketakutan atau kecemasan
dipanggil kedepan kelas, siswa ini gagap dan merinding.
4. Personality trait approach
Meneliti perbedaan individu dalam afektif, kognitif, dan perilaku pendamping dari
kecemasan sosial. Ada bukti bahwa rasa malu memiliki komponen yang turun temurun yang
menunjukan bahwa kecemasan sosial disposisional mungkin menjadi fondasi dari sifat
tempramen. Faktor terakhir dari kecemasan sosial ini terfokus kepada teori kepribadian dimana
perbedaan individu menyebabkan kecemasan sosial. Manusia menciptakan persona mereka
sendiri berdasarkan persyaratan situasional. Ada banyak mahasiswa di tingkat universitas tidak
cenderung untuk berpartisipasi aktif di diskusi kelas atau tidak ada dalam mereka terarik untuk
bekerja dalam pasangan dan dalam grup. Mahasiswa seperti ini biasanya dan sering diberi label
sebagai introvert. Banyak peneliti merasa bahwa mahasiswa yang introvert harus diidentifikasi
oleh pengajar dan diawasi secara ketat. Gracia (2004), Herbert, Rheingold, and Goldstein (2002
dalam Bhamani & Hussain, 2012) menganggap mahasiswa seperti ini menjadi korban dari
kecemasan dan ketakutan sosial yang tertanam dalam diri mereka. Jenis-jenis kepribadian ini
mengakibatkan ketakutan, keraguan dalam diri sendiri, kurangnya kepercayaan diri dan
kurangnya kemampuan untuk mengatasi situasi yang baru.
2.2.4. Dampak Kecemasan Sosial
Kecemasan sosial ditemukan pada hampir seluruh jenis setting pendidikan dan memiliki
pengaruh pada performa, daya ingat, kesehatan perkembangan, dan kemampuan coping dan
kompetensi siswa (Chen & Drummond, 2008; Woody & Adessky, 2002 dalam Bhamani &
Hussain, 2012). Berbagai studi menunjukkan bahwa kecemasan sosial juga berdampak pada
penggunaan alkohol, bunuh diri, kriminalitas, dan kelainan kepribadian bipolar akut (Norton,
2008; Van Ingen & Novicki, 2009). Selain itu, kecemasan sosial dapat menyebabkan perilaku
seperti withdrawal (fisik atau kognitif), feelings of inferiority, self-preoccupation, reduced
self-monitoring, dan kontrol (Schlenker & Leary, 1982).
Menurut Schlenker dan Leary (1982), kecemasan sosial juga memunculkan perilaku lain
yang berkaitan dalam berbagai situasi yaitu:
-
Respon cemas (nervous responses) seperti gelisah, manipulasi diri, berkeringat,
menggeliat, gagap saat berbicara, dan secara umum terlihat gugup dan gelisah. Selain itu
respon cemas lainnya berkaitan dengan cara berkomunikasi dengan orang lain seperti
gangguan berbicara, serta ketidakmampuan dalam berkomunikasi secara efektif.
-
Perilaku disaffiliate (disaffiliate behaviors) yaitu perilaku yang mengurangi kontak sosial
dengan orang lain. Selain itu, perilaku lainnya adalah dengan jarang memunculkan
percakapan, ragu dalam berbicara secara bebas, dan secara umum kurang berpartisipasi
penuh dalam percakapan.
-
Menjaga image (image protection) yaitu perilaku yang menunjukkan bahwa individu
tersebut sopan di hadapan orang lain. Perilaku seperti ini (tidak memotong pembicaraan,
mendengar aktif, mengangguk, dan tersenyum) memungkinkan seseorang menunjukkan
sikap bersosialisasi yang sopan namun tidak berbahaya pada situasi yang diragukan akan
memunculkan impresi positif pada orang lain.
2.2.5. Pengukuran Kecemasan Sosial
Kecemasan sosial di ukur dengan menggunakan The Social Anxiety Scale (SAS) yang
dikembangkan oleh Bhamani dan Hussain (2012). Pemilihan alat ukur ini karena merupakan alat
ukur yang sesuai dengan definisi kecemasan sosial yang digunakan dalam penelitian ini. Alat
ukur kecemasan sosial yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur SAS yang telah
diadaptasi kedalam bahasa Indonesia. Alat ukur berjumlah 15 item yang mengukur tiga dimensi
kecemasan sosial, yaitu perceived self-image, perceived social image, dan perceived peer
response of self-image. Kecemasan sosial diukur dengan skala Likert-style dengan skala 1-4
untuk menghindari c entral tendency bias pada responden.
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada bab ini berisi penjelasan mengenai metodologi yang digunakan untuk meneliti
gambaran Self-regulation dan kecemasan sosial yang mencakup masalah penelitian, hipotesis
penelitian, variabel-variabel yang akan dipakai dalam penelitian, tipe dan desain penelitian,
partisipan dalam penelitian, instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian, dan
prosedur pengambilan data atau metode pengambilan data.
3.1.
Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, permasalahan utama dalam penelitian
ini yaitu “Apakah terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Self-regulation dan
kecemasan sosial pada mahasiswa?”
3.2.
Hipotesis Peneltian
Berikut adalah hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini:
H0 : Tidak terdapat hubungan antara S elf-regulation dan kecemasan sosial.
Ha : Terdapat hubungan yang signifikan antara S elf-regulation dan kecemasan sosial.
3.3.
Variabel Penelitian
3.3.1. Variabel 1 : Self-regulation
Definisi Konseptual : kemampuan untuk berkembang, mengimplementasikan dan menahan
tingkah laku secara fleksibel dalam cara untuk mencapai suatu tujuan.
Definisi Operasional : total skor yang diperoleh dari hasil penjumlahan respon responden pada
setiap item di alat ukur dari The Short Self-Regulation Questionnaire (Neal et. al., 2004 dalam
Neal & Carey, 2005). Semakin tinggi skor yang diperoleh, semakin tinggi self-regulation yang
dimiliki oleh individu tersebut.
3.3.2. Variabel 2 : Kecemasan Sosial
Definisi Konseptual : kecemasan yang muncul dari prospek atau kehadiran dari evaluasi pribadi
dalam situasi sosial yang nyata atau imajinatif.
Definisi Operasional : total skor yang diperoleh dari hasil penjumlahan respon responden pada
setiap item di alat ukur dari The Social Anxiety Scale (Bhamani & Hussein, 2012). Semakin
tinggi skor yang diperoleh, semakin tinggi pula kecemasan sosial yang dimiliki oleh individu
tersebut.
3.4.
Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian dapat diklasifikasikan melalui tiga pendekatan yakni berdasarkan aplikasi
penelitian, tujuan penelitian, dan proses mendapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian.
Berdasarkan aplikasi penelitian, penelitian ini termasuk ke dalam applied research atau
penelitian aplikatif karena hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman
mengenai hubungan antara kecemasan sosial dengan Self-regulation yang dimiliki oleh individu.
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk ke dalam correlational study atau penelitian
korelasional karena penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua variabel
yakni Self-regulation dan kecemasan sosial namun tidak menjelaskan hubungan sebab-akibat
antara dua variabel tersebut. Berdasarkan prosesnya, penelitian ini menggunakan structured
approach atau pendekatan berstruktur karena penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
hubungan antara dua variabel pada satu sampel (hubungan antara Self-regulation dan kecemasan
sosial pada mahasiswa).
3.4.2. Desain Penelitian
Penggolongan jenis-jenis desain penelitian menggunakan tiga perspektif yaitu jumlah
kontak (number of contact), periode referensi (reference of period), dan sifat penelitian (nature
of the investigation). Berdasarkan jumlah kontak, penelitian ini termasuk ke dalam desain
penelitian cross-sectional study karena pengambilan data hanya dilakukan melalui satu kali
kontak antara peneliti dengan partisipan. Berdasarkan periode referensinya, penelitian ini
termasuk ke dalam retrospective study karena mengukur pengalaman partisipan dalam
berinteraksi sosial. Berdasarkan sifatnya, penelitian ini tergolong dalam desain penelitian
non-eksperimental karena mempunyai tujuan untuk menjelaskan hubungan antara dua variabel
saja (self-regulation dan kecemasan sosial) sehingga tidak menjelaskan hubungan sebab akibat.
3.4.3. Teknik Pengambilan Sampel
Tipe pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe probability
sampling pada saat persiapan dan tipe non probability sampling pada saat pelaksanaan. Tipe
probability sampling digunakan dalam penelitian ini karena peneliti ingin mendapat gambaran
tingkat kecemasan sosial dan self-regulation yang representatif dari sampel yang telah peneliti
tetapkan sebelumnya. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan tipe probability
sampling adalah teknik cluster sampling. Sebelum peneliti mengambil sampel mahasiswa S1
angkatan 2014 yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian untuk diambil datanya, peneliti
menentukan proporsi dari sub-sub populasi, dalam hal ini, fakultas-fakultas di Universitas
Indonesia. Kemudian setiap elemen pada sub populasi tersebut peneliti jadikan anggota populasi.
Pada pelaksanaan pengambilan data sampel, peneliti selanjutnya melakukan tipe
non-probability sampling. Teknik yang digunakan dalam tipe non probability sampling adalah
teknik accidental sampling dan snowball sampling yang didasari atas ketersediaan sampel.
Peneliti mengambil sampel mahasiswa yang bersedia dan mau berpartisipasi sebagai partisipan
dalam penelitian untuk diambil datanya. Karena kriteria sampel adalah angkatan 2014, maka
setelah melakukan accidental sampling, peneliti menanyakan kepada partisipan apakah ada
temannya yang bersedia untuk menjadi partisipan. Oleh karena itu, pada saat pelaksanaan
pengambilan sampel, peneliti melakukan dua teknik pengambilan sampel tipe non-probability
sampling.
3.4.4. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang sedang aktif mengikuti perkuliahan
di Universitas Indonesia dan merupakan mahasiswa S1 angkatan 2014. Penelitian ini memilih
populasi mahasiswa karena peneliti ingin mengukur secara spesifik self-regulation yang dimiliki
oleh mahasiswa sebagai kaum berpendidikan sehingga mahasiswa diharapkan memiliki
kecemasan sosial yang rendah.
Mempertimbangkan adanya keterbatasan waktu, tempat, dan akses yang dimiliki oleh
peneliti, tidak memungkinkan peneliti untuk melakukan pengambilan data pada seluruh individu
dalam populasi mahasiswa yang jumlahnya cukup besar. Oleh karena itu, peneliti melakukan
pengambilan sampel mahasiswa S1 angkatan 2014 di Universitas Indonesia yang dianggap dapat
mewakili populasi mahasiswa.
3.4.5. Kriteria Sampel Penelitian
Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 angkatan 2014 yang masih
aktif mengikuti pendidikan di Universitas Indonesia dari jurusan manapun yang meliputi
Rumpun Ilmu Sosial dan Humaniora, Rumpun Ilmu Kesehatan, serta Rumpun Sains dan
Teknologi.
3.4.6. Jumlah Sampel Penelitian
Jumlah sampel yang ditetapkan dalam penelitian ini minimal 60 orang yang tersebar dari
berbagai fakultas di Universitas Indonesia. Hal ini mempunyai tujuan agar distribusi data yang
dihasilkan dapat mendekati normal dan dapat menggambarkan populasi. Menurut hukum law of
large numbers, semakin besar jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian maka akan
semakin akurat data penelitian yang akan dihasilkan dalam menggambarkan populasi (Kumar,
2011). Oleh karena itu, peneliti menetapkan target minimal 150 orang agar hasil penelitian dapat
lebih akurat dalam menggambarkan populasi mahasiswa S1 angkatan 2014 di Universitas
Indonesia.
3.4.7. Instrumen Penelitian
Instrumen pengambilan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner.
Kuesioner dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, responden diminta
untuk mengisi data diri berupa 7 item yaitu informasi inisial nama, usia, jenis kelamin, asal
daerah, suku, fakultas dan jurusan, serta IPK terakhir. Bagian kedua adalah bagian yang
mengukur self-regulation yang terdiri dari 31 item. Bagian ketiga adalah bagian yang mengukur
kecemasan sosial terdiri dari 15 item. Total item yang dikerjakan oleh responden berjumlah 53
item. Seluruh item berupa pernyataan yang dinilai dengan menggunakan skala Likert-Style.
Kedua kuesioner yang digunakan sebagai instrumen penelitian diadaptasi dan diterjemahkan dari
Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia.
3.4.8. Alat Ukur Variabel 1 : Self-regulation
Variabel self-regulation diukur dengan menggunakan The Short Self Regulation
Questionnaire (SSRQ) yang dikembangkan oleh Neal et. al. (2004 dalam Neal & Carey, 2005).
Alat ukur self-regulation terdiri dari 31 item yang digunakan untuk mengukur 7 dimensi, yaitu
receiving, evaluating, triggering, searching, formulating, implementing, dan assessing. Selain
itu, seluruh item merupakan item favorable kecuali pada 14 item unfavorable pada alat ukur
self-regulation yaitu item nomor 2, 3, 4, 6, 7, 9, 10, 11, 16, 19, 22, 23, 27, dan 31. Pada item
unfavorable, skala Likert-Style yaitu Sangat Setuju (SS) memiliki skor = 5, dan Sangat Tidak
Setuju (STS) memiliki skor = 1.
3.4.9. Alat Ukur Variabel 2 : Kecemasan Sosial
Variabel kecemasan sosial diukur menggunakan Social Anxiety Scale (SAS) yang
dikembangkan oleh Bhamani dan Hussain (2012). Alat ukur kecemasan sosial mengukur tiga
dimensi melalui 15 item, yaitu perceived self image, perceived social image, dan perceived peer
response of self-image. Seluruh item merupakan item favorable. Selain itu, terdapat 8 item yang
mengukur informasi demografis responden yaitu verbal consent, universitas, provinsi, jenis
kelamin, marital status, level of study, mode of study dan IPK. Namun karena dalam penelitian
ini peneliti telah mengontrol sampel penelitian, sehingga informasi demografis yang diadaptasi
dari alat ukur ini hanya 2 saja yaitu jenis kelamin dan IPK.
3.5.
Prosedur Pengumpulan Data
3.5.1. Tahap Persiapan
Pada tahap awal, peneliti melakukan tinjauan literatur terkait fenomena serta
merumuskan variabel yang akan diteliti. Peneliti juga berkonsultasi dengan dosen mata kuliah ini
terkait
pemilihan
variabel
penelitian.
Setelah menentukan variabel penelitian, yaitu
Self-regulation dan kecemasan sosial, peneliti melakukan perumusan masalah penelitian serta
metode penelitian yang akan digunakan. Selain itu, peneliti menyusun hipotesis penelitian
berdasarkan tinjauan literatur yang berkaitan dengan variabel penelitian. Peneliti kemudian
melakukan adaptasi alat ukur serta membuat proposal penelitian sehingga dapat melanjutkan
langkah selanjutnya yaitu mengambil data partisipan. Setelah itu alat ukur akan melalui proses
expert judgement, revisi alat ukur dan pengambilan data.
3.5.2. Tahap Pelaksanaan
Pengambilan data dilakukan dengan dua cara, Paper and Pencil dan daring. Pada
pengambilan data cara Paper and Pencil, peneliti membutuhkan dua hari untuk pergi ke dua
fakultas di Universitas Indonesia. Hari pertama, peneliti pergi ke Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya dan mendapatkan empat belas responden. Pada hari kedua, peneliti melakukan
pengambilan data di Fakultas Kesehatan Masyarakat dan mendapatkan tujuh responden. Selain
cara Paper and Pencil, peneliti juga membuat Google Spreadsheet yang disebar secara daring.
Hasil dari G
oogle Spreadsheet ini, peneliti mendapatkan 144 responden.
3.6.
Metode Pengolahan Data
3.6.1. Responden Penelitian
Pada penelitian ini, kuesioner yang berhasil disebar dan mendapatkan respon adalah
sebanyak 165 kuesioner pada mahasiswa S1 Universitas Indonesia. Lebih lanjut, peneliti
melakukan penyeleksian terhadap data responden penelitian. Peneliti menemukan bahwa
terdapat lima data yang tidak valid untuk menjadi responden penelitian. Hal ini disebabkan
karena tidak memenuhi karakteristik populasi. Oleh karena itu, kuesioner yang dapat diolah
dalam penelitian ini adalah sebanyak 160 kuesioner.
3.6.2. Metode Skoring Self-regulation
Seluruh item dalam alat ukur Self-regulation diukur dengan menggunakan skala
Likert-Style yang terdiri dari 5 skala Likert-Style. Responden diminta untuk menilai tingkat
kesetujuannya terhadap pernyataan yang diberikan dimulai dari Sangat Setuju dengan skor = 5;
Setuju (S) dengan skor = 4; Ragu-Ragu (R) dengan skor = 3; Tidak Setuju (TS) dengan skor = 2;
Sangat Tidak Setuju dengan skor = 1. Dengan demikian, total skor tertinggi yang akan diperoleh
responden adalah 155 sedangkan total skor terendah adalah 31. Semakin tinggi total skor
responden menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki S elf-regulation yang semakin tinggi.
3.6.3. Metode Skoring Kecemasan Sosial
Seluruh item dalam alat ukur kecemasan sosial diukur dengan menggunakan skala
Likert-Style yang terdiri dari 4 skala Likert-Style. Responden diminta untuk menilai tingkat
kesetujuannya terhadap pernyataan yang diberikan dimulai dari Tidak Pernah dengan skor = 1;
Jarang dengan skor = 2; Kadang-Kadang dengan skor = 3; Sering dengan skor = 4. Penyamaan
skala
Likert-Style
bertujuan
untuk
mempermudah
responden
ketika
menjawab dan
meminimalisasi kecenderungan responden dalam menjawab pilihan yang di tengah (central
tendency bias). Dengan demikian, total skor tertinggi yang akan diperoleh responden adalah 60
sedangkan total skor terendah adalah 15. Semakin tinggi total skor responden menunjukkan
bahwa individu tersebut memiliki kecemasan sosial yang semakin tinggi.
3.7.
Prosedur Pengolahan Data
3.7.1. Tahap Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh dari tahap pengambilan data akan diolah dengan pengolahan statistik
yaitu menggunakan software SPSS 21.0. Peneliti menggunakan beberapa metode pengolahan
statistik dalam proses pengolahan data, diantaranya adalah:
1. Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai karakteristik
demografis responden penelitian, yaitu jenis kelamin, usia, fakultas dan jurusan. Selain itu,
statistik deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum dari variabel penelitian, yaitu
Self-regulation dan kecemasan sosial. Teknik statistik desktiptif yang digunakan antara lain
analisis frekuensi, mean, standar deviasi dan jangkauan total skor penelitian.
2. Kategorisasi Data
Peneliti melakukan kategorisasi data dengan cara membuat norma kelompok dari data …
mahasiswa yang digunakan dalam penelitian ini. Teknik yang digunakan adalah dengan
menggolongkan berdasarkan skor rata-rata responden. Responden terbagi dalam tiga
kelompok/kategori, yaitu kelompok skor rata-rata rendah, kelompok skor rata-rata tinggi, dan
kelompok skor rata-rata sedang. Oleh karena itu, terbentuk norma kelompok responden
penelitian.
3. Korelasi Pearson
Teknik statistik pearson correlation digunakan untuk mengetahui signifikansi dan
hubungan antara variabel Self-regulation (IV) dan kecemasan sosial (DV). Melalui teknik ini,
peneliti memperoleh koefisien korelasi dari variabel yang diukur. Teknik pearson correlation
digunakan untuk analisis utama penelitian.
BAB 4
HASIL DAN ANALISIS
Pada bab ini akan memaparkan hasil penelitian dan analisis data. Analisis data akan
terbagi menjadi tiga bagian, yaitu gambaran umum responden penelitian, gambaran umum
variabel penelitian, yaitu Self-regulation dan kecemasan sosial, serta hasil dan analisis utama dari
masalah penelitian, yaitu hubungan antara S elf-regulation dengan kecemasan sosial.
4.1.
Gambaran Responden
4.1.2
Gambaran Umum Partisipan Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia
Responden dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 Universitas Indonesia dan memiliki
rentang usia 17-26 tahun. Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah responden dalam penelitian ini
adalah 160 orang. Berikut gambaran karakteristik responden pada tabel 4.1.
Tabel 4. 1. Gambaran Karakteristik Demografis Responden Penelitian
Usia
Jenis Kelamin
Total
17
18
19
20
21
26
Laki-laki
3
17
27
12
1
0
60
Perempuan
4
26
45
11
13
1
100
7
43
72
23
14
1
160
Total
Tabel 4.1. menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah perempuan dengan
persentase 62,5%. Responden perempuan yang berusia 19 tahun memiliki proporsi yang paling
besar dari seluruh responden yang memiliki jenis kelamin perempuan, yaitu 45 orang. Sedangkan
responden laki-laki yang juga berusia 19 tahun
4.1.2 Gambaran Umum Partisipan Penelitian Berdasarkan Asal Fakultas
Tabel 4.2 Gambaran Umum Partisipan Penelitian Berdasarkan Asal Fakultas
Asal Fakultas
Frekuensi (N)
Persentase (%)
Kedokteran (FK)
7
4,4
Kedokteran Gigi (FKG)
2
1,3
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA)
7
4,4
Teknik (FT)
22
13,8
Hukum (FH)
13
8,1
Ekonomi dan Bisnis (FEB)
16
10,0
Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB)
17
10,6
Psikologi
33
20,6
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
15
9,6
Kesehatan Masyarakat (FKM)
11
6,9
Ilmu Komputer (FASILKOM)
11
6,9
Ilmu Keperawatan (FIK)
2
1,3
Farmasi (FF)
1
0,6
Lain-lain*
3
1,9
Total
160
100%
4.2.
Gambaran Variabel Penelitian
4.2.1. Self-regulation
Selanjutnya, tabel 4.2. di bawah ini menjelaskan persebaran skor total S elf-regulation dari
responden. Skor responden diklasifikasi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok skor rendah bagi
yang memiliki total skor lebih kecil dari 52, kelompok skor tinggi bagi yang memiliki total skor
di atas 104, dan kelompok skor sedang bagi yang memiliki total skor antara 53-104.
Tabel 4.2. Persebaran Skor S elf-regulation
Kelompok Skor
Rentang Skor
Jumlah
Presentase
Rendah
0 – 52
0
0
Sedang
53 – 104
75
46,875
Tinggi
105 – 155
85
53,125
160
100%
Total
Berdasarkan tabel di atas, maka sebanyak 75 responden atau 46,875% dari responden
merasa memiliki skor Self-regulation yang tergolong sedang. Lebih lanjut, responden yang
memiliki skor Self-regulation rendah sebanyak 0 orang dengan persentase 0%, sedangkan 85
responden atau 53,125% memiliki skor S elf-regulation yang tergolong tinggi.
4.2.2. Kecemasan Sosial
Tabel 4.3. di bawah ini menjelaskan gambaran persebaran skor kecemasan sosial
responden yang terbagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok responden yang memiliki skor
ringan (mild) dengan total skor di bawah 30, kemudian kelompok responden yang memiliki skor
berat (severe) dengan total skor di atas 46, dan kelompok responden yang memiliki skor sedang
(moderate) total skor antara 31 – 45.
Tabel 4.3. Persebaran Skor Kecemasan Sosial
Kelompok Skor
Rentang Skor
Jumlah
Presentase
Ringan
15 – 30
10
6,25
Sedang
31 – 45
110
68,75
Berat
46 – 60
40
25
160
100%
Total
Berdasarkan pembagian tersebut, mayoritas responden, yaitu sebanyak 110 orang
mahasiswa memiliki skor kecemasan sosial yang tergolong sedang dengan presentase 68,75%.
Selanjutnya, responden yang tergolong memiliki skor kecemasan sosial berat adalah sebanyak 40
orang mahasiswa dengan persentase 25%. Lebih lanjut, responden dari mahasiswa yang
memiliki skor kecemasan tergolong ringan adalah sebanyak 10 orang dengan persentase 6,25%.
4.3.
Analisis Utama
4.3.1. Hubungan antara Self-regulation dan Kecemasan Sosial
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecemasan sosial
dengan self-regulation pada mahasiswa. Oleh karena itu, analisis utama penelitian ini
menggunakan teknik statisik Pearson Product Moment untuk mengetahui korelasi antara
kecemasan sosial dengan s elf-regulation.
Tabel 4.4. Hasil Korelasi antara Kecemasan Sosial dan S elf-Regulation
Variabel
r
r2
Sig.
Self Regulation dan kecemasan sosial
0.332
0.11
0.000*
*Korelasi signifikan pada l evel of significance (LOS) pada 0.01 (two-tailed).
Berdasarkan tabel 4.4 di atas, dengan menghitung korelasi Pearson Product Moment
dilihat hubungan antara kecemasan sosial dan self-regulation pada mahasiswa. Kecemasan sosial
(M = 41.76, SD = 6.81) dan self-regulation (M = 106.86, SD = 15.74) memiliki korelasi yang
positif dan signifikan, r (159) = 0.33, p < 0.01, two tailed. Sehingga, Hipotesis null (Ho)
penelitian berhasil ditolak dan Hipotesis alternatif (Ha) penelitian berhasil untuk diterima.
Dengan effect size sebesar r2 = 0.11, berdasarkan Gravetter dan Wallnau (2013) dikatakan
memiliki efek yang sedang (0.09 > r2 < 0.25). Secara keseluruhan, dapat dikatakan ada hubungan
yang tidak terlalu kuat dan positif antara kecemasan sosial dengan s elf-regulation.
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab ini, akan dijelaskan kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi hasil pengolahan
data, serta saran untuk penelitian selanjutnya. Kesimpulan merupakan jawaban atas pertanyaan
penelitian yang diperoleh dari hasil pengolahan data. Pada bagian diskusi untuk membahas hasil
penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya.
5.1.
Kesimpulan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara Self-regulation dan
kecemasan sosial pada mahasiswa. Berdasarkan hasil pengolahan data, didapat kesimpulan
bahwa Self-regulation memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kecemasan sosial.
Maka dapat dikatakan, semakin tinggi S elf-regulation, semakin tinggi pula kecemasan sosial.
5.2.
Diskusi Penelitian
Hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan
signifikan antara Self-regulation dengan kecemasan sosial. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang diadakan oleh Lopes, Salovey, Cote dan Beers (2005) yang menyatakan bahwa individu
yang memiliki skor yang tinggi pada emotion regulation memandang diri mereka sebagai
individu yang lebih sensitif secara interpersonal dan lebih prososial dibandingkan orang-orang
yang memperoleh skor rendah pada emotion regulation. Baumeister, Vohs, DeWall, dan Zhang
(2007) memandang emosi sebagai sistem umpan balik yang menstimulasi proses pembelajaran
mengenai situasi yang memunculkan emosi-emosi tertentu. Ketika diaplikasikan kepada
self-regulation, proses pembelajaran tersebut dapat membantu seseorang dalam memprediksi
kejadian-kejadian yang diasosiasikan dengan emosi tertentu, sehingga emosi tersebut dapat
mengarahkan s elf-regulation secara langsung (Brown & McConnell, 2011)
Sejalan dengan penelitian Lopes, Salovey, Cote dan Beers (2005), penelitian ini juga
membuktikan bahwa individu-individu yang dapat meregulasi emosinya dengan baik akan
memiliki self-regulation yang baik karena mereka memiliki sensitivitas interpersonal yang baik
juga. Namun, pada kasus individu yang memiliki kecemasan sosial, mereka mengarahkan
sensitivitas tersebut kepada persepsi negatif orang-orang yang ada disekitarnya terkait diri
mereka, sehingga mereka seringkali mengalami masalah dalam hubungan sosial.
Pada bagian kesimpulan, peneliti telah menuliskan bahwa semakin tinggi self-regulation,
semakin tinggi pula kecemasan sosialnya. Hal ini disimpulkan dari hasil penelitian yang
menunjukan bahwa ada hubungan yang positif. Namun pada penghitungan besar effect size,
sebesar
r2 = 0.11, menjelaskan bahwa hubungan yang dihasilkan oleh kedua variabel tidak
terlalu kuat. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara kedua variabel benar ada, bersifat
positif, namun memiliki kekuatan yang tidak terlalu kuat yang menggambarkan kedua variabel
secara tidak terlalu kuat dalam mempengaruhi satu sama lain.
Hambatan-hambatan yang dialami peneliti pada saat penelitian ini dapat teratasi dengan
baik. Hambatan yang peneliti adalah tugas kuliah lain yang juga mendesak sehingga membuat
penelitian ini tertunda pengerjaannya. Hambatan lain yang penulis rasakan adalah kontrol pada
saat pengambilan data, untuk mendapatkan data yang reliabel, proporsi sampel dari setiap
fakultas harus sama, hal ini membuat peneliti cukup merasakan kesulitan dalam proses
pengambilan data.
Peneliti merasakan terdapat beberapa kekurangan dari penelitian ini salah satunya adalah
teknik kontrol dari pengambilan data. Data yang diambil sudah cukup banyak namun proporsi
tiap fakultasnya tidak terpenuhi sesuai dengan proporsi yang telah ditentukan sebelumnya, hal ini
membuat data yang ada kurang representatif dan menggambarkan populasi, sehingga hal ini
harus mendapat perhatian lebih lanjut.
5.3.
Saran
Pada bagian ini, peneliti memberikan saran yang dapat digunakan dalam penelitian
selanjutnya. Peneliti memberikan memberikan saran metodologis untuk masukan bagi penelitian
selanjutnya :
1. Melakukan penelitian lain mengenai Self-regulation dan kecemasan sosial pada
mahasiswa dengan status universitas yang berbeda, misalnya pada mahasiswa Universitas
swasta, yang dalam hal ini kedua universitas tersebut memiliki karakteristik mahasiswa
yang berbeda.
2. Melakukan
penelitian
lanjutan dengan menambah variabel lain yang diduga
mempengaruhi hubungan antara Self-regulation dan kecemasan sosial. Dengan melihat
peran variabel lain, diharapkan akan lebih menjelaskan hubungan antara Self-regulation
dan kecemasan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Bandura, A. (1991). Social cognitive theory of self-regulation. Organizational Behavior and
Human Decision Processes, 50, 248-287. Retrieved November 28, 2015, from
http://www.uky.edu/~eushe2/Bandura/Bandura1991OBHDP.pdf.
Baumeister, R., & Bushman, B. (2008). Social psychology and human nature (3rd ed.).
Belmont, CA: Thomson Higher Education.
Bhamani, S., & Hussain, N. (2012). Social Anxiety in Higher Education Learning Context:
Scale Construction and Reliability. I ndian Streams Research Journal, 2(5).
Blatt, S. (2004). Experiences of depression: Theoretical, clinical, and research perspectives.
Washington, DC US: American Psychological Association.
Brown, J. M., Miller, W. R., & Lawendowski, L. A. (1999). The Self-Regulation Questionnaire.
In L. VandeCreek & T. L. Jackson (Eds.), Innovations in clinical practice: A source book
(Vol. 17, pp. 281-289). Sarasota, FL: Professional Resource Press.
Caprara, G. V., Gerbino, M., Paciello, M., Di Giunta, L., & Pastorelli, C. (2010). Counteracting
depression and delinquency in late adolescence: The role of regulatory emotional and
interpersonal
self-efficacy
beliefs.
European
Psychologist,
15(1),
34-48.
doi:http://dx.doi.org/10.1027/1016-9040/a000004.
Cook, J., & Cook, G. (2005). Child development: Principles and perspectives (pp. 352-355).
Boston, Mass.: Pearson.
Cox, B. J., McWilliams, L. A., Enns, M. W., & Clara, I. P. (2004). Broad and specific
personality dimensions associated with major depression in a nationally representative
sample. Comprehensive Psychiatry, 45, 246-253.
Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2009). Research method: Behavioral sciences (3th ed.)
United States: Wadsworth Cengage Learning.
Hergenhahn, B. R. (2009)