BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang pesat khususnya di kota-kota - Fitoremediasi Limbah Rumah Tangga oleh Tanaman Wlingen (Scirpus grossus), Kiapu (Pistia stratiotes), dan Teratai (Nymphea firecrest)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang pesat khususnya di kota-kota besar, telah mendorong peningkatan kebutuhan terhadap perumahan. Pada tahun 2000, jumlah penduduk Indonesia menunjukkan angka sebesar 205,135 juta jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar 10,380 juta jiwa atau sebesar 5,33 % dari tahun 1995 (Mustika, 2011). Hal tersebut mengakibatkan timbulnya permasalahan dengan lingkungan air. Peningkatan jumlah air limbah domestik yang tidak diimbangi dengan peningkatan badan air penerima baik dari aspek kapasitas maupun kualitasnya, menyebabkan jumlah air limbah yang masuk ke dalam badan air tersebut dapat melebihi daya tampung maupun daya dukungnya. Konsumsi air bersih sebanyak 100-300 lt/orang/hari oleh masyarakat kota, terbuang sebagai air limbah, sedangkan air limbah tersebut masuk ke badan sungai tanpa upaya pengolahan terlebih dahulu (Metcalf & Eddy, 1993; Purwanto, 2004; Middleton, 2008). Diperkirakan di wilayah perkotaan akan terjadi pembuangan air limbah
3
domestik ke sungai sebesar ± 10,28 juta m setiap harinya (Haryoto, 1999).Peningkatan aktivitas manusia di rumah tangga menyebabkan semakin besarnya volume dan jenis limbah yang dihasilkan dari waktu ke waktu. Volume
3
limbah rumah tangga meningkat 5 juta m pertahun dengan peningkatan kandungan rata-rata 50 % (Momon & Lya, 1997). Jumlah perumahan meningkat seiring meningkatnya penduduk, Mukhtasor (2007) menyatakan air limbah domestik lebih sulit dikendalikan dibandingkan air limbah industri, karena sifatnya yang menyebar, sehingga memang perlu dilakukan pengolahan sebelum dibuang ke badan sungai penerima sesuai Kepmen LH No.112 tahun 2003 tentang baku mutu air limbah domestik.
Limbah rumah tangga seperti sampah organik (sisa-sisa makanan), sampah anorganik (plastik, gelas, kaleng) serta bahan kimia (detergen, batu baterai) juga berperan besar dalam pencemaran air, baik air di permukaan maupun air tanah. (Suryana, 2011; Rifqi, 2010), Polutan dalam air mencakup unsur-unsur kimia, patogen/bakteri dan perubahan sifat fisika dan kimia dari air. Banyak unsur-unsur kimia merupakan racun yang mencemari air. Patogen/bakteri mengakibatkan pencemaran air sehingga menimbulkan penyakit pada manusia dan binatang. Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, pencemaran air (air permukaan dan air tanah) merupakan penyebab utama gangguan kesehatan manusia/penyakit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di seluruh dunia, lebih dari 14.000 orang meninggal dunia setiap hari akibat penyakit yang ditimbulkan oleh pencemaran air (Rifqi, 2010).
Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pencemar domestik merupakan jumlah pencemar terbesar (85 %) yang masuk ke badan air, sedangkan di negara-negara maju, pencemar domestik merupakan 15 % dari seluruh pencemar yang memasuki badan air, sehingga persentase kehadiran pencemar domestik di dalam badan air sering dijadikan indikator maju tidaknya suatu negara
(Suriawiria, 1996). Besarnya jumlah pencemar domestik yang masuk ke badan air disebabkan oleh kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat masih relatif rendah. Sebagian besar masyarakat masih membuang air limbah domestik dari kegiatan mandi, cuci, dan kakus begitu saja ke dalam saluran drainase yang seharusnya untuk air hujan bahkan limbah domestik padat sering juga dibuang ke badan air (sungai) (Sasongko, 2006).
Kondisi ini tentu akan menambah beban pencemaran di badan perairan/sungai dan apabila kemampuan pemulihan alamiah sungai terlampaui, yang menyebabkan pencemaran air sungai yang cukup serius. Untuk mengantisipasi potensi dampak tersebut, perlu upaya meminimalisasi limbah baik dari aspek kebijakan pemerintah dalam rangka menekan jumlah air limbah domestik yang dihasilkan maupun dari aspek pengolahan limbah yang efektif dan efisien.
Saat ini telah ditemukan cara pengolahan limbah yang baru yang lebih murah dan ekonomis serta ramah lingkungan yaitu fitoremediasi. Fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan hijau khususnya tumbuhan air seperti eceng gondok, teratai, dll dan bekerjasama dengan mikrobiota, enzim, konsumsi air, perubahan tanah, dan teknik agronomi untuk menghilangkan, memuat, atau menyerahkan kontaminan berbahaya dari lingkungan seperti logam berat, pestisida, xenobiotik, senyawa organik, polutan aromatik beracun, drainase pertambangan yang asam (Dordio & A.J.P., 2011; Suresh & G.A., 2004; Newman & C.M., 2004; Singh & R.K, 2003; Archer & R.A., 2004).
Bisnis remediasi dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan dan optimis akan menjadi pasar yang kuat. Pasar remediasi dunia tahun 1999 sebesar US $34-58 juta, sedangkan bisnis fitoremediasi di Amerika pada tahun 1999 sebesar $30-49 juta, nilai ini berkembang menjadi $50-86 juta pada tahun 2000, hingga sekitar $100-170 juta pada tahun 2002, $235-400 juta pada 2005. Hal ini menunjukkan bahwa fitoremediasi optimis akan menjadi bisnis yang kuat.
Beberapa pangsa bisnis juga bermunculan di negara-negara berkembang, terutama di beberapa negara Asia, walaupun skalanya lebih kecil dibandingkan negara maju (Chaney et al., 1998). Pangsa bisnis terbesar kedua setelah Amerika Serikat adalah Eropa, terutama Uni Eropa, dengan perkiraan pasar sebesar US $2-4 juta/tahun. Di pabrik amunisi Angkatan Darat Iowa, fitoremediasi digunakan untuk memperbaiki tanah dan air tanah bekas ledakan yang terkontaminasi. Uji tersebut menggunakan tanaman air asli dan pohon poplar hibrida untuk memulihkan lokasi dimana diperkirakan hanya akan tersisa 1-5 % dari polutan asli (Betts, 1997).
Di Indonesia telah banyak dilakukan remediasi lahan terdegradasi dengan menggunakan media tanaman, seperti reklamasi lahan bekas penambangan dengan menggunakan jenis rumput impor (di Freeport, Papua) dan jenis tanaman tumbuh cepat (di bekas penambangan emas rakyat di Jampang, Sukabumi, Singkep, dan Riau), tetapi belum secara khusus mengarah kepada fitoremediasi. Secara fisik bisa saja lahan tertutup berbagai jenis vegetasi tetapi kontaminan dalam tanah dan perairannya tidak secara otomatis mengalami biodegradasi dan berkurang. Pada masa yang akan datang fitoremediasi sangat diperlukan di Indonesia mengingat setiap tahun kasus pencemaran terus bertambah jumlah dan intensitasnya (Hidayati, 2005). Salah satu contoh aplikasi fitoremediasi pertama di Indonesia yaitu berupa penerapan WWG (Water Waste Garden) yang bermula di Bali, dan terkenal dengan sebutan Taman Buangan Air Limbah (Taman BALI) dengan mengunakan jenis tanaman lokal yang sering dijumpai dan mampu menyerap serta mengolah limbah secara alami (Irawanto, 2010).
Jenis tanaman air seperti mendong (Iris sibirica), teratai (Nymphaea ), kiambang (Spirodella polyrrhiza) dan hydrilla (Hydrilla verticillata)
firecrest mampu secara optimal dalam fitoremediasi limbah rumah tangga (Yusuf, 2008).
Jenis tanaman air seperti mendong, eceng gondok, kiambang, kangkung, dan teratai sering ditemui dan telah banyak dilakukan penelitian kemampuan fitoremediasinya. Selain itu beberapa tumbuhan yang tumbuh di tanah juga mampu berperan dalam fitoremediasi. Tumbuhan-tumbuhan ini memiliki kemampuan yang disebut dengan hiperakumulator, yaitu relatif tahan terhadap berbagai macam bahan pencemar dan mampu mengakumulasikannya dalam jaringan dengan jumlah yang cukup besar (Eddy, 2009).
Ada beberapa contoh tumbuhan air yang telah banyak digunakan sebagai water purifier, tiga diantaranya mampu menurunkan nilai polutan secara efektif dan efisien. Tumbuhan air tersebut adalah wlingen (Scirpus grossus), kiapu
(Pistia stratiotes), dan teratai (Nymphea firecrest). Pada penelitian sebelumnya oleh Finlayson dan A.J (1983) diketahui bahwa, tanaman wlingen dapat menurunkan tingkat nitrogen sebesar 74 % dan fosfat sebesar 79 %. Menurut Sundari et al. (2013) apabila dilakukan dengan sistem kombinasi, tanaman wlingen bersama dengan genjer mampu mengurangi kadar nitrat dan ortho-fosfat sampai 90 % setelah 8 (delapan) hari inkubasi. Tanaman kiapu dapat menurunkan kadar klorida dalam limbah sebesar 69,82 % dalam 30 hari (Syafrani, 2007).
Tanaman kiapu dapat menurunkan parameter suhu sebesar 16,9 %, sulfat sebesar 43,1 % dan fosfat sebesar 41,9 % pada limbah detergen (Hermawati, 2005).
Tanaman teratai mampu mengurangi kadar nitrogen pada limbah jamu sebanyak 48,01 % dan fosfor sebanyak 0,3144 ppm dalam 8 hari (Hadiyanto & Christwardana, 2012).
Seiring untuk mengurangi masalah-masalah yang ditimbulkan limbah cair rumah tangga, maka peneliti ingin melakukan penelitian dengan metode fitoremediasi dengan tanaman wlingen, kiapu, dan teratai pada limbah cair rumah tangga.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana perbedaan kualitas limbah rumah tangga sebelum dan sesudah melewati proses fitoremediasi dengan tanaman wlingen (Scirpus ), kiapu (Pistia stratiotes), dan teratai (Nymphea firecrest).
grossus
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh fitoremediasi terhadap kualitas limbah rumah tangga (penurunan nilai pH, BOD, TSS, nitrit, dan sulfat limbah rumah tangga).
1.4 Hipotesis
Ha : Ada perbedaan kualitas limbah rumah tangga sebelum dan sesudah melewati proses fitoremediasi dengan tanaman wlingen (Scirpus grossus), kiapu (Pistia stratiotes), dan teratai (Nymphea firecrest). Ho : Tidak ada perbedaan kualitas limbah rumah tangga sebelum dan sesudah melewati proses fitoremediasi dengan tanaman wlingen (Scirpus grossus), kiapu (Pistia stratiotes), dan teratai (Nymphea firecrest).
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : a. Dapat berguna sebagai bahan masukan untuk merancang suatu sistem pengolahan limbah rumah tangga secara alami dan terpadu yang dapat digunakan pada setiap pemukiman sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi masalah pencemaran lingkungan oleh limbah rumah tangga yang dari waktu ke waktu semakin meningkat. b.
Selain berfungsi sebagai sarana pengolahan limbah rumah tangga, sistem ini juga diharapkan dapat memberi manfaat lain bagi lingkungan berupa peningkatan nilai estetika, dan mencegah berkurangnya persediaan air tanah yang berkualitas.
c.
Menjadi bahan informasi bagi penelitian atau studi sejenis, terutama untuk peningkatan teknologi pengolahan limbah.