BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Faktor yang Memengaruhi Kejadian Anemia pada Ibu Hamil - Pengaruh Karakteristik Individu, Konsumsi Zat Gizi dan Sosial Budaya terhadap Kejadiaan Anemia pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Faktor yang Memengaruhi Kejadian Anemia pada Ibu Hamil

  Selama kehamilan terjadi hemodilusi (hydremia kehamilan), yang dapat mengakibatkan anemia secara fisiologis pada ibu hamil. Tubuh mengalami perubahan yang signifikan saat hamil. Jumlah darah meningkat sekitar 20-30%, sehingga memerlukan peningkatan kebutuhan pasokan besi dan vitamin untuk membuat hemoglobin. Hemoglobin adalah protein dalam sel darah merah yang membawa oksigen ke sel-sel lain dalam tubuh. Ketika hamil, tubuh membuat lebih banyak darah untuk berbagi dengan bayinya. Tubuh mungkin memerlukan darah hingga 30% lebih banyak dari pada ketika tidak hamil. Jika tubuh tidak memiliki cukup zat besi, tubuh tidak dapat membuat sel-sel darah merah yang dibutuhkan untuk membuat darah ekstra. Banyak wanita mengalami defisiensi besi pada trimester kedua dan ketiga.

  Ketika tubuh membutuhkan lebih banyak zat besi dibandingkan dengan yang telah tersedia, maka dapat berpotensi terjadinya anemia (Proverawati, 2011).

  Penyebab paling umum dari anemia pada kehamilan adalah faktor gizi terutama kekurangan konsumsi protein dan zat besi. Selain faktor tersebut anemia juga dipengaruhi oleh faktor yang bersal dari dalam diri individu dan faktor sosial budaya (James, 2007). Faktor yang berasal dari dalam individu adalah faktor karakteristik yang melekat pada diri ibu sendiri seperti usia ibu saat hamil, pendidikan ibu, suku, pekerjaan, jumlah anak yang dilahirkan, status gizi. Sedangkan faktor sosial budaya seperti pengetahuan, sikap, kepercayaan dan tindakan.

2.1.1. Karakteristik Individu Karakteristik individu adalah perbedaan individu dengan individu lainnya.

  Setiap manusia memiliki karakteristik individu yang berbeda antara satu dengan lainnya. Mathiue & Zajac (1990) menyatakan bahwa karakteristik personal (individu) mencakup usia, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, suku bangsa dan kepribadian.

  Kareketristik manusia sebagai individu yang utuh tidak dapat dibagi (undivided), tidak dapat dipisahkan yang memiliki ciri-ciri yang khas. Karena adanya ciri-ciri yang khas itulah yang menyebabkan manusia satu dengan yang lainnya dikatakan individu yang berbeda (perbedaan individual).

  Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Karakteristik yang berkaitan dengan perkembangan biologis cendrung lebih bersifat tetap, sedang karakteristik yang berkaitan dengan sosial psikologis lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Febriandiniharja, 2012).

  Perbedaan individual menyangkut variasi yang terjadi baik pada aspek fisik maupun psikologis. Perbedaan fisik : usia, jenis kelamin, berat badan, pendengaran, penglihatan dan kemampuan bertindak, perbedaan sosial: termasuk sosial ekonomi, agama, hubungan keluarga dan suku, perbedaan kepribadian: termasuk watak, motif, minat, dan sikap, perbedaan inteligensia dan kemampuan dasar .

  Banyak karakteristik yang ada pada individu yang dapat mempengaruhi terjadinya anemia. Tubuh berada pada resiko tinggi untuk menjadi anemia selama kehamilan jika hamil terlalu muda (umur < 20 tahun), hamil terlalu tua (umur > 35 tahun), mengalami dua kali kehamilan yang berdekatan, hamil lebih dari satu anak, pendidikan yang rendah, pekerja berat (Proverawati, 2011). Pada penelitian ini kakakteristik individu yang dapat memepengaruhi anemia adalah sebagai berikut:

1. Umur

  Umur ibu untuk mengalami suatu kehamilan dan persalinan yang baik adalah 20-35 tahun. Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau terlalu muda, perkembangan organ-organ reproduksi belum maksimal, kematangan emosi dan kejiwaan yang kurang serta fungsi fisiologis organ reproduksi yang belum optimal sehingga lebih sering terjadi komplikasi yang tidak diinginkan selama kehamilan.

  Sebaliknya pada umur ibu yang terlalu tua telah terjadi kemunduran fungsi fisiologis organ reproduksi secara umum sehingga lebih sering terjadi akibat yang merugikan bagi bayi dan ibu hamil. Wintrobe (1987) menyatakan bahwa usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah kadar hemoglobinnya.

  Hal ini ditegaskan kembali dalam suatu penelitian oleh Ridwanamiruddin (2007) di wilayah Puskesmas Bantimurung Maros yang memperoleh hasil dari 27 orang ibu hamil yang berusia < 20, > 35 tahun 74,1% yang menderita anemia dan yang tidak anemia 25,9%. Ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun lebih beresiko menderita anemia dari pada ibu hamil usia 20-35 tahun.

  Dari hasil penelitian (Sarimawar, 1994), ibu hamil yang berumur 35 tahun keatas 5,8% menderita anemia berat dan 71,6% menderita anemia ringan, sedangkan ibu hamil yang berumur 20-35 tahun 3,9% menderita anemia berat dan 68,5% menderita anemia ringan. Terdapat hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan status anemia. Proporsi anemia pada golongan umur < 20 tahun dan > 30 tahun lebih tinggi (77,4%) dari pada golongan umur 20-30 tahun (63,2%). Data SKRT (2001) menunjukkan bahwa anemia umumnya terjadi pada wanita usia subur yaitu umur 19- 35 tahun sebesar 22-23%, sedangkan umur 10-19 tahun proporsi anemia sebesar 30%.

2. Suku Bangsa

  Koentjaraningrat (1990) dalam Herimanto (2008) menyatakan suku bangsa sebagai kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang memiliki sistem interaksi, yang ada karena kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri. Etnik atau suku bangsa merupakan identitas sosial budaya, artinya identifikasi seseorang dapat dikenali dari bahasa, tradisi, budaya, kepercayaan dan pranata yang dijalaninya yang bersumber dari etnik mana dia berasal.

  Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengaruh budaya antara lain sikap terhadap makanan. Para ahli antropologi memandang kebiasaan makan sebagai suatu kompleks kegiatan masak memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantangan pantangan serta tahyul yang berkaitan dengan persiapan dan komsumsi makanan (Herimanto, 2011). Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa mempunyai perbedaan dalam hal tersebut.

  Kebiasaan dalam persiapan dan komsumsi makanan ini dapat mempengaruhi terjadinya anemia pada ibu hamil.

3. Agama

  Agama adalah suatu sistem terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktek yang berhubungan dengan berbagai hal yang suci, yang mana kepercayaan dan praktek tersebut mempersatukan setiap orang yang mempercayai kedalam komunitas moral yang dinamakan umat. Setiap agama mempunyai praktek-praktek keagamaan, seperti berdoa, bersembahyang, berpuasa, atau pantang berpergian pada waktu-waktu tertentu, pantang makan daging dan lain sebagainya (Badrujaman, 2008).

  Seluruh manusia berharap senantiasa sehat dan tidak ada satu pun penyakit hinggap di tubuhnya. Pertumbuhan yang normal dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan baik sangat dipengaruhi oleh asupan gizi yang seimbang. Terkait hal ini, "Tidak ada kehidupan tanpa kesehatan.".

  Tindakan yang dilakukan oleh manusia atau masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Berdasarkan suatu agama tertentu memandang salah satu faktor penting yang menjaga kesehatan adalah menghindari makanan haram, karena menjadi pemicu sejumlah penyakit fisik serta mental. Pantangan makanan ini terutama sumber makanan protein ini dapat mempengaruhi terjadinya anemia pada ibu hamil.

4. Pendidikan

  Pendidikan yang baik akan mempermudah untuk mengadopsi pengetahuan tentang kesehatan, tingkat pendidikan formal yang pernah dilalui ibu hamil dan menamatkannya. Biasanya seseorang yang berpendidikan lebih tinggi mempunyai pengertian dan wawasan yang lebih luas akan pengetahuan-pengetahuan dan informasi-informasi formal dan informal termasuk pengetahuan dan informasi tenaga kesehatan, gizi dan hidup yang lebih baik.

  Tingkat pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan baik buruknya status kesehatan keluarga dan dirinya. Dengan berbekal pengetahuan yang cukup, seorang ibu akan lebih banyak memperoleh informasi yang dibutuhkan, dengan demikian mereka dapat memilih serta menentukan alternativ terbaik untuk kepentingan kehidupan rumah tangganya.

  Hasil penelitian Sarimawar (1994) presentase ibu hamil yang menderita anemia berat maupun anemia ringan lebih tinggi pada ibu yang tidak bersekolah dibandingkan dengan yang tamat SLTP. Ibu tidak sekolah 5,1% menderita anemia berat dan 73,9% menderita anemia ringan, sedangkan para ibu yang tamat SLTP 1,4% menderita anemia berat dan 57,5% menderita anemia ringan.

  Penelitian Surbakti (1986) terlihat bahwa proporsi anemia pada kelompok ibu dengan pendidikan < SLTP sebesar 44,16%, > SLPT sebesar 12,5%. Menurut penelitian Yenni (2003) ibu dengan pendidikan < SLTP mempunyai resiko menderita anemia 2,5 kali di bandingkan dengan yang berpendidikan > SLTP.

5. Pekerjaan

  Melakukan pekerjaan yang berat disaat hamil memang menjadi salah satu penyebab dari berkurangnya kemampuan tubuh dalam memenuhi kebutuhan gizi untuk ibu dan janin yang dikandungnya. Cadangan energi terkuras habis untuk memenuhi aktivitas ibu hamil. Energi yang seharusnya bisa didapat dari konsumsi makanan ternyata tidak didapatkan, karena kehamilan dianggap biasa saja. Akibatnya, seorang ibu hamil bisa mengalami anemia dalam kehamilan (Daulay, 2007).

  Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri (peran reproduktif). Terlebih-lebih jika si perempuan tersebut harus bekerja mencari penghasilan (peran produktif), maka ia memikul beban ganda. Kesehatan ibu hamil akan terganggu jika ibu harus bekerja keras untuk mendapatkan penghasilan keluarga, disamping tetap dituntut melaksanakan pekerjaan rumah tangga (Kelompok studi wanita FISIP UI, 1990).

  Menurut Penelitian Pusat Pengembangan Gizi (1998), mengemukakan bahwa kegiatan jasmani orang dewasa terbagi tiga golongan yaitu kegiatan berat, kegiatan sedang, dan kegiatan kurang. Wanita yang bekerja tergolong kegiatan berat seperti memecah batu, mencangkul dan lain sebagainya mempunyai resiko lebih besar menderita anemia.

6. Paritas (Jumlah Anak)

  Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu baik hidup maupun lahir mati. Semakin tinggi paritas, maka semakin tinggi pula kematian maternal dan resiko yang akan terjadi baik dalam kehamilan sampai dengan masa postpartum. Ditinjau dari tingkatannya paritas dikelompokkan menjadi tiga antara lain : paritas rendah atau primipara meliputi nullipara dan primipara, paritas sedang atau multipara digolongkan pada hamil dan bersalin dua sampai tiga kali. Pada paritas sedang ini, sudah masuk kategori rawan terutama pada kasus-kasus obstetrik yang jelek, serta interval kehamilan yang terlalu dekat kurang dari 2 tahun. Paritas tinggi atau grandemulti adalah ibu hamil dan melahirkan 4 kali atau lebih. Paritas tinggi merupakan paritas rawan oleh karena paritas tinggi banyak kejadian-kejadian obstetri patologi yang dapat tejadi, antara lain: plasenta previa, perdarahan postpartum, dan lebih memungkinkan lagi terjadinya atonia uteri (Manuaba, 1999).

  Anemia juga bisa dicegah dengan mengatur jarak kehamilan atau kelahiran bayi. Makin sering seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan, akan makin banyak kehilangan zat besi dan menjadi makin anemis. Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap kehamilan akan menguras persediaan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia pada kehamilan berikutnya. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar jarak antar kehamilan tidak terlalu pendek, minimal lebih dari 2 tahun (Arisman, 2010).

  Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hoo Swie Tjiong mengatakan apabila prevalensi anemia dihubungkan dengan paritas, terlihat bahwa semakin banyak jumlah anak yang dilahirkan, wanita dewasa kemungkinan untuk menderita anemia cukup besar (Prawirohardjo, 2002). Penelitian Surbakti (1986), ditemukan kejadian anemia lebih tinggi pada kelompok dengan paritas lebih dari tiga (36,13%) dibanding paritas kurang dari tiga (26,68%), sedangkan penelitian Hasibuan (1997) anemia ibu hamil pada kelompok paritas lebih dari tiga (35,96%) dan paritas kurang dari tiga (17,98%) berarti semakin tinggi paritas semakin tinggi kejadian anemia pada ibu hamil.

7. Status Gizi

  Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan akibat dari konsumsi zat gizi dan pemanfaatannya dalam tubuh. Status gizi merupakan salah satu faktor penentu kesehatan manusia yang akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia dan produktivitas kerja. Status gizi yang optimal merupakan salah satu kunci dalam proses pembangunan, sekaligus merupakan aspek penting dalam pembangunan, sosial ekonomi (Soekirman,2000). Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan resiko dan komplikasi pada ibu antara lain: anemia, pendarahan, berat badan ibu tidak bertambah secara normal, dan terkena penyakit infeksi. Status gizi dapat dinilai dengan pengukuran antropometri seperti lingkar lengan atas (LILA), Indeks Massa Tubuh (IMT). Sesuai standar yang sering dilakukan pada ibu hamil di lapangan adalah ukuran LILA, yang ditentukan pada angka < 23,5 cm adalah LILA yang tidak normal. Dari penelitian Suwandi (2004) menyatakan bahwa status gizi ibu hamil yang di tetapkan berdasarkan ukuran lingkar lengan atas (LILA) dengan kejadian anemia mempunyai OR sebesar 5,3 dan berdasarkan IMT OR sebesar 2,47

2.1.2. Konsumsi Zat Gizi

  Konsumsi zat gizi adalah kebutuhan zat gizi atau makanan yang dikonsumsi dari beragam jenis makanan yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan seseorang untuk tumbuh kembang menjadi sehat produktif. Makanan anekaragam menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur. Makanan yang beranekaragam sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan seseorang untuk tumbuh kembang (Santoso, 2004).

1. Kecukupan Konsumsi Kalori

  Manusia membutuhkan energi untuk kelangsungan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan prtotein yang ada di dalam makanan. Kandungan karbohidrat, lemak, dan protein suatu bahan makanan menentukan nilai energinya. Satuan energi dinyatakan dalam kilokalori (kalori). Aktifitas fisik memerlukan energi diluar untuk kebutuhan untuk metabolisme basal. Selama aktifitas fisik, otot membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Almatsier, 2003).

  Selama hamil, perempuan memerlukan tambahan energi untuk pertumbuhan janin, plasenta dan jaringan tambahan lainnya. Tambahan yang diperlukan adalah 285 kkal/hari. Komsumsi zat gizi sehari-hari dipengaruhi oleh ketersediaan bahan pangan dalam keluarga. Ketersediaan bahan pangan dalam rumah tangga tergantung dari pendidikan, kemampuan untuk membeli dan ketersediaan bahan makanan di pasaran dan produksi. Komsumsi makan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi yang optimal apabila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang dapat dipergunakan secara efisien.

  Kecukupan energi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim dan adaptasi.

  Jika energi ibu hamil sedikit maka energi tersebut hanya cukup untuk melakukan aktifitas dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, sedangkan kebutuhan energi untuk proses kehamilannya akan terbatas dan kondisi ini yang akan memicu terjadinya anemia pada ibu hamil yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bayinya.

2. Kecukupan Konsumsi Protein

  Protein adalah zat yang paling penting dalam setiap organism. Protein adalah bagian dari semua sel tubuh dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air.

  Seperlima bagian tubuh adalah protein, separuhnya ada di dalam otot, seperlima di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit, dan selebihnya di dalam jaringan lain dan cairan dalam tubuh. Protein berguna dalam pembentukan ikatan- ikatan esensial tubuh seperti hemoglobin, pigmen darah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dan karbondioksida (Almatsier, 2003)

  Tubuh manusia memerlukan protein untuk menjalankan berbagai fungsi antara lain: membangun sel tubuh, mengganti sel tubuh yang mengalami kerusakan, membuat air susu, enzim dan hormon, membuat protein darah, menjaga keseimbangan asam basa cairan tubuh, dan pemberi kalori (Irianto, 2007). Protein memegang peranan penting dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna melalui dinding seluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel. Apabila ibu hamil mengalami kekurangan protein maka akan berdampak pada kejadian anemia atau akan mengakibatkan resiko anemia.

  Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik, dalam jumlah maupun mutu seperti telur, susu, daging, unggas, ikan dan kerang. Sumber protein nabati adalah kacang-kacangan dan hasil olahannya seperti tempe dan tahu.

  Kebutuhan protein menurut WHO (1985) adalah “Konsumsi yang diperlukan untuk mencegah kehilangan protein dalam tubuh dan memungkinkan produksi protein yang diperlukan dalam masa pertumbuhan, kehamilan dan menyusui”. Penambahan kebutuhan protein pada ibu hamil adalah ditambah 12 gram dari kebutuhan wanita yang tidak hamil (Almatsier, 2003). Untuk kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi dan adaptasi (Hardiansyah, 2004).

  Untuk menilai kecukupan konsumsi pangan dapat diketahui dengan menghitung tingkat kecukupan gizinya atau besarnya presentase angka kecukupan gizi. Pada penelitian ini tingkat kecukupan konsumsi zat gizi dinyatakan sebagai tingkat kecukupan energi (kalori) dan protein. Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui. Dari hasil penelitian yang dilakukan Suwandi (2004) pengaruh konsumsi protein dengan kejadian anemia pada ibu hamil dengan nilai OR sebesar 7,21.

  3. Kecukupan Konsumsi Tablet Besi (Fe)

  Keperluan akan besi pada kehamilan akan bertambah terutama dalam trimester terakhir. Proses pematangan sel darah merah zat besi diambil dari transferin plasma yaitu cadangan besi dalam serum. Apabila cadangan dalam plasma tidak cukup maka akan mudah terjadi anemia (Wikjosastro, 2002). Oleh karena itu anemia pada ibu hamil dipengaruhi oleh jumlah zat besi yang dikonsumsi sehari-hari.

  Wanita hamil merupakan salah satu kelompok yang diprioritaskan dalam program suplementasi. Dosis suplementasi yang dianjurkan dalam satu hari adalah dua tablet (satu tablet mengandung 60 mg Fe dan 200 ug asam folat) yang dimakan selama paruh kedua kehamilan karena pada saat tersebut kebutuhan akan zat besi sangat tinggi. Pada awal kehamilan, program suplemen tidak akan berhasil karena

  

“morning sicknes” dapat mengurangi keefektifan obat. Namun demikian, cara ini

baru akan berhasil jika pemberian tablet ini dilakukan dengan pengawasan yang tepat.

  Survey Depkes (1994) terhadap program kesehatan ibu menemukan baru sekitar 14% wanita hamil memperoleh tablet besi sebanyak 90 tablet. Pada tahun 2008 cakupan pemberian tablet Fe 48,14% menurun dari tahun 2007 sekitar 66,03% (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2008). Di Kabupaten Deli Serdang cakupan pemberian tablet Fe 1 tahun 2010 (89,50%) dan Fe 3 (86%), di Puskesmas Bandar Khalipah tahun 2012 cakupan Fe 1 (95,43%) dan Fe 3 (93,99%) (Profil Kesehatan Puskesmas Bandar Khalipah, 2012).

2.1.3. Sosial Budaya

  Banyak sekali pengaruh atau faktor-faktor yang menyebabkan berbagai aspek kesehatan di negara kita, bukan hanya karena pelayanan medik yang tidak memadai atau kurangnya perhatian dari instansi kesehatan. Tetapi banyak yang mempengaruhi kesehatan di Indonesia, antara lain masih adanya pengaruh sosial budaya yang turun temurun masih di anut sampai saat ini. Selain itu ditemukan pula sejumlah pengetahuan dan perilaku budaya yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan menurut ilmu kedokteran atau bahkan memberikan dampak kesehatan yang kurang menguntungkan bagi ibu dan anaknya.

  Salah satu pengaruh sosial budaya yang masih melekat adalah enggannya ibu hamil untuk memeriksakan kesehatan ke puskesmas atau sarana kesehatan lainnya.

  Mereka masih ada yang melahirkan di rumah yang ditolong oleh dukun dan ada pula pantangan-pantangan dalam makanan untuk ibu hamil dan bayinya. Sehingga karena budaya yang masih tetap mereka pegang akibatnya banyak atau tingginya angka kematian ibu saat melahirkan karena komplikasi pada ibu dan bayinya. Kebiasan tentang pantangan makanan selama kehamilan ini terkait dengan kondisi kehidupan sosial dan kebudayaan yang dianut oleh masyarakat, yang ternyata hal tersebut berpengaruh pada status kesehatan (Syafrudin, 2010). Kurangnya gizi pada ibu hamil karena berbagai pantangan dalam makanan, contohnya ibu hamil tidak boleh makan ikan, telur dan makanan yang mengandung gizi lainnya karena takut nanti anaknya bau amis atau pantangan lainnya yang mengakibatkan ibu kekurangan gizi yang bisa berakibat pada kehamilannya.

  Dalam Syafrudin (2010) Taylor mengartikan sosial budaya adalah suatu keseluruhan peradaban yang kompleks dari pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, dan kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Pengertian yang sama juga dikemukakan oleh Crain (2001) bahwa sosial budaya (socioculture) adalah A set of bilief, customs, practices and behavior that exists

  

within a population (kumpulan kepercayaan, kebiasaan, praktek dan perilaku yang

ada dalam suatu populasi masyarakat).

  Dari hal di atas, terlihat bahwa ada beberapa unsur pokok yang membentuk sosial budaya yakni pengetahuan, kepercayaan, moral, kebiasaan, praktek dan perilaku dan faktor-faktor kekuatan lainnya. Mengingat luasnya pengertian sosial budaya tersebut, maka untuk lebih menyederhanakan penelitian ini, aspek sosial budaya hanya mencakup 4 faktor yakni pengetahuan, sikap, kepercayaan/adat istiadat, dan tindakan/praktik.

2.1.2.1. Indikator Sosial Budaya

1. Pengetahuan

  Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

  Devenport and Prusak (2001) mendefenisikan pengetahuan sebagai kombinasi dari kerangka pengalaman, informasi kontekstual, nilai-nilai dan pandangan ahli yang memberikan kerangka kerja untuk mengevaluasi dan memadukan pengalaman dan informasi. Dengan kata lain, pengetahuan adalah kombinasi dari informasi dan pengalaman (Notoatmodjo, 2003).

  Pengukuran pengetahuan dapat dialakukan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner berisi materi yang ingin diukur dari responden (Azwar, 2003). Indikator-indikator untuk mengetahui tingkat pengetahuan seorang ibu hamil tentang anemia dapat diukur berdasarkan pengetahuan tentang anemia tersebut meliputi pengertian anemia, penyebab anemia pada ibu hamil, gejala dan tanda anemia, faktor resiko, dampak anemia, pengobatan dan pencegahan anemia selama kehamilan. Pengetahuan ibu hamil tentang anemia merupakan predisposisi ibu untuk berperilaku sehat dalam hal ini yaitu menanggulangi anemia terhadap dirinya sendiri.

  Penelitian yang dilakukan oleh Herlina (2005) di wilayah kerja kota Bogor menunjukkan ada hubungan signifikan antara pengetahuan dengan kejadian anemia.

  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu hamil yang mempunyai pengetahuan tidak baik sebanyak 38,5% lebih kecil dari yang mempunyai pengetahuan baik sebesar 61,5%. Pada penelitian ini hasil analisis statistik menunjukkan hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kejadian anemia ibu hamil dengan nilai

  0R=4,386 ( 95% Cl OR= 1,475: 13,045 ) artinya bahwa pada populasi estimasi risiko terjadinya anemia pada ibu hamil pengetahuan rendah adalah 4,386 kali dibanding ibu hamil yang pengetahuan tinggi.

2. Sikap

  Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik- tidak baik, dan sebagainya). Campbell (1950) mendefinisikan sangat sederhana, yakni “An individual’s attitudate is syndrome of

  

response consistency with regard to object .” Jadi jelas, di sini dikatakan bahwa sikap

  itu suatu sindroma atau kumpulan gejala dalam merespons stimulasi atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain (Notoatmodjo, 2003).

  Newcomb, salah seorang ahli psikolog sosial menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau reaksi tertutup). Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan) (Notoatmodjo, 2003).

  Terjadinya anemia pada ibu hamil didasari oleh sikap yang dimiliki oleh ibu hamil, seperti kesiapan ibu untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari, kesiapan ibu dalam mengkonsumsi tablet besi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Mangihut, 2006) bahwa ibu hamil yang cukup mengkonsumsi tablet besi dari yang tercakup suplementasi tablet besi adalah sebesar atau 56,5%. Cakupan ini adalah relatif kecil dan ibu hamil yang drop out mengkonsumsi tablet besi adalah sebesar 43,5%. Hal ini terjadi karena kurangnya keyakinan ibu terhadap tablet besi dalam penanggulangan terjadinya anemia.

3. Kepercayaan Kepercayaan adalah komponen kognitif sikap dari faktor sosio psikologis.

  Kepercayaan disini tidak ada kaitannya dengan hal-hal gaib, tetapi hanyalah keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah. Kepercayaan sering dapat bersifat rasional atau irasional. Kepercayaan rasional apabila kepercayaan orang terhadap sesuatu tersebut masuk akal (Notoatmodjo, 2010).

  Kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan, kebutuhan dan kepentingan. Hal ini berarti seseorang menjadi percaya kepada sesuatu dapat disebabkan oleh karena ia mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Oleh karena itu, dalam rangka perilaku sehat, perlu diberikan pengetahuan atau informasi yang benar dan lengkap tentang penyakit dan pelayanan kesehatan lainnya. Kepercayaan yang tidak didasarkan kepada pengetahuan yang benar dan lengkap akan menyebabkan kesalahan dalam bertindak (Notoatmodjo, 2010).

  Kepercayaan atau keyakinan artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek (Notoatmodjo, 2010). Implikasinya dalam penelitian ini adalah bahwa kepercayaan terhadap berbagai macam makanan yang dianjurkan dan dilarang untuk dikonsumsi selama kehamilan. Masalah kurang gizi dapat diketahui dari kebiasaan suatu masyarakat menkonsumsi makanan tertentu serta bagaimana masyarakat tersebut menilai makanan menurut persepsinya masing- masing. Dalam hal ini kepercayaan di kalangan masyarakat jawa sebagai lokasi penelitian juga sangat menentukan, mereka mempunyai keyakinan bahwa selama hamil tidak boleh memakan makanan yang amis seperti ikan, telur, sementara ikan dan telur adalah sumber protein yang baik yang sangat dibutuhkan ibu maupun bayinya, karena bermanfaat untuk pembentukan hemoglobin dan pertumbuhan tulang.

  Kepercayaan yang keliru tentang hubungan antara makanan dan kesehatan, hal ini masih banyak terjadi di daerah pedesaan. Kepercayaan, pantangan dan upacara-upacara yang mencegah orang memanfaatkan sebaik-baiknya makanan yang tersedia bagi mereka. Kebiasaan-kebiasaan makanan yang buruk seperti makanan yang disuka atau tidak, kepercayaan terhadap apa yang bisa dimakan atau tidak. Kebiasaan makan ini telah ditanamkan sejak dini, melalui norma–norma keluarga (Ratna, 2010).

  Di beberapa negara berkembang umumnya ditemukan larangan, pantangan tertentu bagi makanan ibu hamil. Latar belakang pantangan tersebut didasarkan pada kepercayaan agar tidak mengalami kesulitan pada waktu melahirkan dan bayinya tidak terlalu besar. Ada pula penduduk di Negara Asia yang mempunyai kepercayaan bahwa makanan yang mengandung protein hewani menyebabkan air susu ibu beracun bagi anaknya.

  Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh (Afiyah, 2006) bahwa 51,9% ibu hamil yang menderita anemia oleh karena makan pantangan selama hamil. Makanan yang dipantangkan adalah Cumi (55,7%), udang (54,4%), ikan sembilang (51,9%), ikan lele (49,4%), semua jenis makanan ikan laut (11,4%), telur (24.1%), daging kambing (17,7%) dengan nilai p=0,001.

4. Tindakan atau Praktik (Practice)

  Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas atau sarana atau prasarana (Notoatmodjo, 2010). Seorang ibu hamil sudah tahu bahwa periksa hamil itu penting untuk kesehatannya dan janinnya, dan sudah ada niat (sikap) untuk periksa hamil. Agar sikap ini meningkat menjadi tindakan, maka diperlukan bidan, posyandu, atau puskesmas yang dekat dari rumahnya, atau fasilitas tersebut mudah dicapai. Apabila tidak, kemungkinan ibu tersebut tidak akan memeriksakan kehamilannya.

  Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu : a.

  Praktik terpimpin (guided response) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntutan atau menggunakan panduan. Misalnya, seorang ibu dalam mengkonsumsi tablet besi yang diberikan oleh tenaga kesehatan harus diingatkan terlebih dahulu oleh orang lain seperti suami atau orang tua.

  b.

  Praktik secara mekanisme (mechanism) Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis. Misalnya, seorang ibu yang sudah terbiasa mengkonsumsi tablet Fe setiap hari, tanpa harus menunggu perintah dari orang lain, ibu sudah otomatis mengkonsumsinya. c.

  Adopsi (adoption) Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinnya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas. Seorang ibu memasak memilih bahan masakan bergizi tinggi dan mengandung tinggi zat besinnya untuk mencegah terjadinya anemia gizi besi. Implikasinya dalam penelitian ini adalah bagimana tindakan yang dilakukan oleh ibu hamil dalam melakukan pencegahan agar tidak terjadi anemia pada ibu baik sebelum terjadinya kehamilan maupun pada saat kehamilan. Ibu tahu bagaimana cara memilih makan yang bergizi, ibu tahu bagaimana cara mengolah makanan yang baik, ibu tahu bagaimana cara mengkonsumsi tablet Fe, ibu dapat menbedakan mana makanan yang dapat dimakan selama hamil dan mana makanan yang tidak dapat dimakan selama hamil.

2.2. Anemia pada Ibu Hamil

2.2.1. Definisi

  Anemia pada kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin kurang dari 10 g/dl (Proverawati, 2011). Anemia pada kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah 11gr% pada trimester I dan III atau kadar kurang dari 10,5 gr% pada trimester II (Fatimah, 2011). Menurut WHO (1972) anemia pada kehamilan terjadi jika kadar hemoglobin kurang dari 11 gr/dl (Ahyar, 2010).

  Sedangkan menurut CDC (1998), anemia terjadi pada ibu hamil trimester I dan III jika kadar hemoglobin kurang dari 11 gr/dl sedangkan pada ibu hamil trimester II jika kadar Hb kurang dari 10,5 gr/dl (Lee, 2004).

2.2.2. Patofisiologi Anemia

  Biasanya selama kehamilan, terjadi hiperplasi erytroid dari sumsum tulang, dan meningkatnya massa RBC. Namun peningkatan yang tidak proporsional dalam hasil volume plasma menyebabkan hemodilusi (hydremia kehamilan) : Hct menurun dari 38 dan 45% pada wanita sehat yang tidak hamil sampai sekitar 34% selama kehamilan tunggal dan sampai 30% selama akhir kehamilan multifetal.

  Anemia fisiologis terjadi selama kehamilan, volume plasma maternal meningkat secara bertahap sebanyak 50%, atau meningkat sekitar 1200 ml pada saat cukup bulan. Peningkatan SDM total adalah sekitar 25% atau kira-kira 300 ml.

  

Hemodilusi relative ini menyebabkan penurunan konsentrasi Hb yang mencapai titik

  terendah pada trimester kedua kehamilan dan meningkat kembali pada trimester ketiga. Perubahan ini bukanlah perubahan patologis, tetapi merupakan perubahan fisiologis kehamilan yang diperlukan untuk perkembangan janin. Kadar Hb yang rendah akan mempengaruhi keadaan sistem maternal untuk memindahkan oksigen dan nutrisi yang cukup ke janin. Kadar Hb yang tinggi dianggap mencerminkan ekspansi volume plasma yang buruk seperti pada kondisi patologis misalnya pre- eklamsia (Myles, 2009). Penyebab paling umum dari anemia pada kehamilan adalah kekurangan zat besi atau yang dikenal dengan Anemia defisiensi zat besi (Proverawati, 2011).

  Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema kesehatan yang dialami oleh wanita di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75%, serta semakin meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan. Menurut WHO 40% kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan dan kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan perdarahan akut.

  2.2.3. Klasifikasi Anemia pada Ibu Hamil

  Berdasarkan berat ringannya anemia pada ibu hamil dikategorikan adalah anemia ringan dan anemia berat. Anemia ringan apabila kadar Hb dalam darah 8 gr/dl sampai kurang dari 11 gr/dl, anemia berat apabila kadar Hb dalam darah kurang dari 8 gr/dl (Depkes RI, 1999). Berdasarkan klasifikasi dari WHO kadar hemoglobin pada ibu hamil dapat di bagi menjadi 4 kategori yaitu : Hb > 11 gr/dl tidak anemia (normal), Hb 9-10 gr/dl Anemia ringan, Hb 7-8 gr/dl Anemia sedang dan Hb < 7 gr% Anemia berat.

  2.2.4. Gejala dan Tanda Anemia

  1. Gejala Anemia Gejala anemia adalah keletihan, mengantuk, kelemahan, pusing, sakit kepala, malaise, pica, nafsu makan kurang, perubahan dalam kesukaan makanan, perubahan mood, perubahan kebiasaan tidur.

  2. Tanda Anemia Tanda anemia adalah pucat, ikterus, hipotensi, edema perifer, membrane mokosa dan bantalan kuku pucat, lidah halus (papil tak menonjol) dan lecet, takikardia, takipnea dan dipsnea saat beraktifitas (Varney, 2007).

2.2.5. Faktor Resiko dalam Kehamilan

  Pada ibu hamil, beberapa faktor resiko yang berperan dalam meningkatkan prevalensi anemia defiensi zat besi, antara lain :

  1. Umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun. Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, mempunyai risiko yang tinggi saat hamil untuk terjadinya perdarahan dan akibat perdarahan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya anemia.

  2. Perdarahan akut atau kronis, seperti menoragia, perdarahan hemoroid, perdarahan ante partum.

  3. Pendidikan rendah 4.

  Pekerja berat 5. Komsumsi tablet tambah darah < 90 tablet/butir 6. Penurunan asupan atau absorbs zat besi, termasuk defisiensi zat besi dan gangguan gastrointestinal seperti diare dan hiperemisis gravidarum.

  7. Asupan makanan yang tidak memadai, makan < 3 kali dan kurang mengandung zat besi.

  8. Infeksi kronis, terutama saluran perkemihan 9.

  Mengalami dua kehamilan yang berdekatan

10. Kebutuhan yang berlebihan, misalnya pada ibu yang sering mengalami kehamilan atau kehamilan kembar (Proverawati, 2011).

2.2.6. Dampak Anemia pada Ibu Hamil

  Anemia defisiensi besi dapat berakibat fatal pada ibu hamil karena ibu hamil memerlukan banyak tenaga untuk melahirkan. Selain itu, pada saat melahirkan biasanya darah keluar dalam jumlah banyak sehingga kondisi anemia akan memperburuk keadaan ibu hamil. Kekurangan darah dan perdarahan akut merupakan penyebab utama kematian ibu hamil saat melahirkan.

  Penyebab utama kematian maternal antara lain perdarahan pascapartum (disamping eklampsia dan penyakit Infeksi) dan plasenta previa yang kesemuanya bersumber pada anemia defisiensi besi. Ibu hamil yang menderita anemia gizi besi tidak akan mampu memenuhi kebutuhan zat-zat gizi bagi dirinya dan janin dalam kandungan. Oleh karena itu, keguguran, kematian bayi dalam kandungan, berat bayi lahir rendah, atau kelahiran premature rawan terjadi pada ibu hamil yang menderita anemia gizi besi.

  Anemia pada ibu hamil bukan tanpa resiko. Menurut penelitian, tingginya angka kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Anemia juga menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak cukup mendapat pasokan oksigen. Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Resiko kematian maternal, angka prematuritas, BBLR, dan angka perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis karena keadaan anemia tidak dapat mentolerir kehilangan darah.

  Dampak anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan (abortus, partus imatur/premature), gangguan proses persalinan (inersia, atonia, partus lama, perdarahan), gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi, produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian perinatal, dan lain-lain).

2.2.7. Pencegahan Anemia Kehamilan

  Pencegahan anemia terdiri dari : 1. Pencegahan Primer

  Pencegahan primer dilakukan pada fase prepatogenesis yaitu pada tahap suseptibel dan induksi penyakit sebelum dimulainya perubahan patologis. Tujuan pencegahan ini untuk mencegah atau menunda terjadinya kasus baru penyakit dan memodifikasi faktor resiko atau mencegah berkembangnya faktor resiko (Murti, 2010).

  Pada pencegahan anemia ibu hamil ini, tenaga kesehatan dapat berperan sebagai edukator seperti memberikan nutrition education berupa asupan bahan makanan yang tinggi Fe dan konsumsi tablet besi atau tablet tambah darah selama 90 hari. Edukasi tidak hanya diberikan pada saat ibu hamil, tetapi ketika belum hamil.

  Penanggulangannya di mulai jauh sebelum peristiwa melahirkan (Junadi, 2007).

  Program pemerintah saat ini, setiap ibu hamil mendapatkan tablet besi 90 tablet selama kehamilannya. Tablet besi yang diberikan mengandung FeSO4 320 mg (zat besi 60 mg) dan asam folat 0,25 mg. Program tersebut bertujuan mencegah dan menangani masalah anemia pada ibu hamil. Adapun program (Departemen Kesehatan RI, 1999) dalam mencegah anemia meliputi: a.

  Pemberian tablet besi pada ibu hamil secara rutin sebanyak 90 tablet untuk meningkatkan kadar hemoglobin secara tepat. Tablet besi pada ibu hamil sudah tersedia dan telah didistribusikan ke seluruh provinsi dan pemberiannya dapat melalui puskesmas, puskesmas pembantu, posyandu dan bidan di desa. Dan secara teknis diberikan setiap bulan sebanyak 30 tablet.

  b.

  Diterbitkan buku pedoman pemberian zat besi bagi bagi petugas tahun 1995, dan poster-poster mengenai tablet besi.

  c.

  Diterbitkan buku Pedoman Operasional Penanggulangan Anemia Gizi bagi petugas tahun 1996.

  Anemia dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang dengan asupan zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Zat besi dapat diperoleh dengan cara mengonsumsi daging (terutama daging merah) seperti sapi. Zat besi juga dapat ditemukan pada sayuran berwarna hijau gelap seperti bayam, kangkung, buncis, kacang polong, serta kacang-kacangan. Perlu diperhatikan bahwa zat besi yang terdapat pada daging lebih mudah diserap tubuh dari pada zat besi pada sayuran atau pada makanan olahan seperti sereal yang diperkuat dengan zat besi.

2. Pencegahan Sekunder

  Pencegahan sekunder merupakan pencegahan yang dilakukan pada tahap pathogenesis yaitu pada fase asimtomatis sampai fase klinis atau timbulnya gejala penyakit atau gangguan kesehatan. Pada pencegahan sekunder, yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan adalah melakukan skrining (early detection) seperti pemeriksaan hemoglobin (Hb) untuk mendeteksi apakah ibu hamil anemia atau tidak, jika anemia, apakah ibu hamil masuk anemia ringan, sedang, atau berat. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan terhadap tanda dan gejala yang mendukung seperti tekanan darah, nadi, dan melakukan anamnesa berkaitan dengan hal tersebut.

  Penyaringan terhadap Anemia dapat di lakukan dengan uji laboratorium yang paling baik untuk mendiagnosa anemia meliputi pengukuran hematokrit dan kadar hemoglobin. Kedua penentuan tersebut dibuat baik dengan menggunakan darah kapiler yang diperoleh dengan jalan penusukan kulit maupun darah vena yang didapat dari penusukan vena. Penusukan vena lebih muda dilaksanakan di lapangan, terutama di negara-negara yang sedang berkembang, penggunaan darah kapiler pada pokoknya menurunkan ketepatan diagnostik. Dengan darah vena, nilai-nilai sekuensial pada orang yang sama biasanya tetap 0,6 g hemoglobin per dl. Perbedaan nilai kapiler dan vena berkisar dari 0,5 sampai 1,0 g hemoglobin per dl. Dalam pelayanan kesehatan utama, kesalahan 0,5 gram per dl hanya kecil akibatnya atau tidak berpengaruh sama sekali, bagaimanapun juga secara umum contoh darah kapiler yang dikumpulkan secara cermat akan membarikan hasil yang dapat diterima. Metoda

  

cyanmethemoglobin adalah yang paling popular karena cara ini praktis mengukur

seluruh hemoglobin (DeMaeyer, 2007).

  Pengobatan diarahkan untuk mengatasi anemia. Transfusi darah biasanya dilakukan untuk setiap anemia jika gejala yang dialami cukup parah atau terdapat gejala atau tanda-tanda gangguan kardiopulmonal (misalnya dyspnea, takikardi, tachypnea). Dalam hal ini, tenaga kesehatan dapat berperan sebagai penemu kasus, peneliti, konselor, educator, motivator, fasilitator, dan kolaborator.

3. Pencegahan Tersier

  Pencegahan tersier dilakukan untuk mencegah perkembangan penyakit kearah yang lebih buruk untuk memperbaiki kualitas hidup klien seperti untuk mengurangi atau mencegah terjadinya kerusakan jaringan, keparahan dan komplikasi penyakit, mencegah serangan ulang dan memperpanjang hidup. Contoh pencegahan tersier yaitu mempertahankan kadar hemoglobin tetap dalam batas normal, memeriksa ulang secara teratur kadar hemoglobin, mengeliminasi faktor resiko seperti intake nutrisi yang tidak adekuat, tetap mengkonsumsi tablet Fe selama kehamilan dan tetap mengkonsumsi makanan yang adekuat setelah persalinan. Dalam hal ini tenaga kesehatan berperan sebagai edukator, konselor, motivator, kolaborator dan fasilitator.

2.3. Landasan Teori

  Karakteristik individu, konsumsi zat gizi dan sosial budaya dapat mempengaruhi perilaku kesehatan dan status kesehatan. Bertitik tolak dari aspek karakteristik individu, konsumsi zat gizi dan sosial budaya tersebut diatas, maka diuraikan beberapa teori yang mengkaitkan antara karakteristik, konsumsi zat gizi dan faktor sosial budaya dengan kejadian anemia pada ibu hamil.

2.3.1. Teori Model Jaring-jaring Sebab Akibat (Web of Causation) Model jaring sebab akibat dikemukakan oleh Macmahon dan Pugh (1970).

  Prinsipnya adalah dalam menimbulkan penyakit peranan faktor-faktor dalam menimbulkan suatu penyakit tidak pernah tergantung pada sebuah faktor penyebab saja tetapi tergantung kepada sejumlah faktor dalam rangkaian kausalitas sebelumnya bagaikan jaring penyebab.

  Pemicu terjadinya anemia Penghasilan

  Karakteristik Kebiasaan minum individu teh

  • Umur - Suku - Agama Asupan gizi

  Anemia Pendidikan Protein, besi, vit C pada Ibu

  • Pekerjaan

  Hamil

  • Paritas/jumlah anak

  Usia Komsumsi tablet

  • Jarak kelahiran

  kehamilan/ Fe

  • Status gizi

  hemodilusi Konsumsi zat gizi

  • Kecukupan konsumsi zat gizi Makanan Penyakit - Komsumsi Pantangan infeksi tablet Fe

  (TBC, Malaria,

HIV/AIDS)

  Sosial budaya KEK

  • Pengetahuan - Sikap - Kepercayaan - Tindakan

Gambar 2.1 Jaring Sebab Akibat Terjadinya Anemia pada Ibu Hamil

  Sumber : Rianti (2009), James (2007), Proverawati (2011)

2.4. Kerangka Konsep Variabel Independen Variabel Dependen Karakteristik Individu

  Umur Suku Bangsa Agama Pendidikan Pekerjaan Paritas/Jumlah Anak Status Gizi

  Konsumsi Zat Gizi Kecukupan Konsumsi Kalori Kejadian Anemia Kecukupan Konsumsi Protein pada Ibu Hamil Kecukupan Konsumsi Tablet Fe

  Sosial Budaya Pengetahuan Sikap Kepercayaan Tindakan

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Pengaruh Audit Report Lag dan Opini Audit terhadap Ketepatan Waktu Penyampaian Laporan Keuangan dengan Reputasi KAP sebagai Variabel Moderating

0 1 8

Pengaruh Loan To Deposit Ratio, Capital Adequacy Ratio, Earning Per Share, Debt To Equity Ratio, Dan Firm Size Terhadap Dividend Payout Ratiopada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang - Pengaruh Loan To Deposit Ratio, Capital Adequacy Ratio, Earning Per Share, Debt To Equity Ratio, Dan Firm Size Terhadap Dividend Payout Ratiopada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 1 13

Pengaruh Loan To Deposit Ratio, Capital Adequacy Ratio, Earning Per Share, Debt To Equity Ratio, Dan Firm Size Terhadap Dividend Payout Ratiopada Perusahaan Perbankan Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 8

Hubungan Pengetahuan dengan Tingkat Kepatuhan Pasien Penyakit Kardiovaskular dalam Melaksanakan Latihan Aktivitas Fisik Rehabilitasi Jantung Fase I di RSUP H. Adam Malik Medan

0 0 14

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN Stres dan Koping Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tanjung Gusta Medan

0 0 65

BAB II Tinjauan Pustaka A. Konsep Stres - Stres dan Koping Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Stres dan Koping Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

0 0 7

Stres dan Koping Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan

0 1 13

Pengaruh Karakteristik Individu, Konsumsi Zat Gizi dan Sosial Budaya terhadap Kejadiaan Anemia pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Bandar Khalipah Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang

0 0 6