BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Stres dan Kualitas Tidur pada Lansia di Kecamatan Porsea dapat diselesaikan dengan baik

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Stres

1.1 Definisi Stres

  Stres adalah respons tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh yang terganggu, suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari, setiap orang mengalaminya, stres memberi dampak secara total pada individu yaitu terhadap fisik, psikologis, intelektual, sosial dan spiritual, stres dapat mengancam keseimbangan fisiologis. Stres emosi dapat menimbulkan perasaan negatif terhadap diri sendiri dan orang lain. Stres intelektual akan mengganggu persepsi dan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah, stres sosial akan mengganggu hubungan individu terhadap kehidupan (Hans Selye, 1956 ; Davis, at all, 1989 ; Barbara Kozier, et all, 1989)

  Potter dan Perry (2005) menyatakan persepsi atau pengalaman individu terhadap perubahan besar menimbulkan stres. Stimuli yang mengawali mencetuskan perubahan disebut stresor. Stresor menunjukkan suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi dan kebutuhan tersebut bisa saja kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan, spiritual, atau kebutuhan kultural. Stresor secara umum dapat diklasifikasikan sebagai internal atau eksternal. Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang ) mis. demam, kondisi seperti kehamilan atau menopause, ataus uatu keadaan

  6 emosi seperti rasa bersalah). Stresor eksternal berasal dari luar diri seseorang (mis.perubahan bermakna dalam suhu lingkungan, perubahan dalam peran keluarga atau sosial, atau tekanan dari pasangan).

  Lazarus dan Folkman (1984) stres adalah sebagai suatu hubungan yang khas antar individu dan lingkungan yang dinilai oleh individu tersebut sebagai suatu hal yang mengancam atau melampaui kemampuannya untuk mengatasinya sehingga membahayakan kesejahteraannya. Maramis (1999) mengatakan stres adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri, oleh karena itu stres dapat mengganggu keseimbangan.

1.2 Jenis Stres

  Nasir dan Muhith (2011) menyatakan bahwa stres terbagi dua jenis stres, yaitu baik dan buruk. Stres melibatkan perubahan fisiologis yang kemungkinan dapat dialami sebagai perasaan yang baik anxiousness (distres) atau pleasure (eustres).

  a.

  Stres yang baik atau eustres adalah sesuatu yang positif. Stres dikatakan berdampak baik apabila seseorang mencoba untuk memenuhi tuntutan untuk menjadikan orang lain maupun dirinya sendiri mendapatkan sesuatu yang baik dan berharga. Stres yang baik terjadi jika setiap stimulus mempunyai arti sebagai hal yang memberikan pelajaran bagi kita, betapa suatu hal yang dirasakan seseorang memberikan arti sebuah pelajaran dan bukan sebuah tekanan. Dengan demikian, dikatakan stres positif apabila setiap kejadian dihadapi dengan selalu berpikiran yang positif dan setiap stimulus yang masuk merupakan suatu pelajaran yang berharga dan mendorong seseorang untuk selalu berpikir dan berprilaku bagaimana agar apa yang akan dilakukan selalu membawa manfaat dan bukan bencana. Untuk menjadikan stres sebagai suatu yang positif, maka perlu ada sikap bahwa masalah harus dicarikan penyelesaiannya (problem solving). Salah satunya dengan mencari dukungan dari orang lain untuk membantu menyelesaikan masalah, terutama bila masalah sulit diselesaikan. Apabila tetap tidak bisa diselesaikan cukup dengan diambil hikmahnya.

  b.

  Stres yang buruk atau distres adalah stres yang bersifat negatif. Distres dihasilkan dari sebuah proses yang memaknai sesuatu yang buruk, dimana respons yang digunakan selalu negatif dan ada indikasi mengganggu integritas diri sehingga bisa diartikan sebagai sebuah ancaman. Distres terjadi apabila suatu stimulus diartikan sebagai sesuatu yang merugikan dirinya sendiri dalam hal kenikmatan saja dan biasanya terjadi pada saat itu juga, dimana sebuah stimulus dianggap mencoba untuk menyerang dirinya. Hal ini berdampak pada suatu penentuan sikap untuk mencoba mengusir stimulus tersebut dengan cara menyalahkan diri sendiri, menghindar dari masalah, atau menyalahkan orang lain. Hans Selye (1982), menyebutkan bahwa distres adalah tubuh jika dihadapkan pada tuntutan yang berlebihan, sedangkan menurut Dadang Hawari (2001), distres dimaknai sebagai sebuah reaksi tubuh yang menyebabkan fungsi organ tubuh tersebut sampai terganggu.

1.3 Model Stres

  Perawat menggunakan model stres untuk membantu klien mengatasi respons yang tidak sehat atau non produktif. Dengan modifikasi, model ini dapat membantu perawat berespons dalam merawat degan cara yang menunjukkan individualisasi bagi klien.

  1.3.1 Model Stres Berdasar respons Model stres dari Selye (1976) adalah model berdasarkan respons yang mendefinisikan stres sebagai respons non-spesifik dari tubuh terhadap setiap tuntutan yang ditimpakan padanya. Stres ditunjukkan oleh reaksi fisiologis spesifik, GAS. Sehingga respon seseorang terhadap stres benar-benar fisiologis dan tidak pernah dimodifikasi untuk memungkinkan pengaruh dari kognitif (McNett, 1989).

  1.3.2 Model Adaptasi Model adaptasi didasarkan pada pemahaman bahwa individu mengalami ansietas dan peningkatan stres ketika mereka tidak siap untuk menghadapi situasi yang menegangkan. Dengan menggunakan model ini dan intervensi yang sesuai, perawat dapat membantu klien dan keluarga untuk meningkatkan kesehatan dalam semua dimensi kemanusiaan (McNett, 1989).

1.3.3 Model Berdasar Stimulus

  Model berdasarkan stimulus memfokuskan pada asumsi berikut : (a) Peristiwa perubahan dalam kehidupan adalah normal, dan perubahan ini membutuhkan tipe dan durasi penyesuaian yang sama. (b) Individu adalah resipien pasif dari stres, dan persepsi mereka terhadap peristiwa adalah tidak relevan. (c) Semua orang mempunyai ambang stimulus yang sama, dan penyakit dapat terjadi pada setiap titik setelah ambang tersebut (McNett, 1989). Seperti hal pada model berdasarkan respons, model berdasarkan stimulus tidak memungkinkan untuk perbedaan individu dalam persepsi dan respons terhadap stressor. Perawat mungkin mengalami kesulitan ketika berupaya untuk menggunakan model ini dalam penatalaksanaan stres karena kurangnya keleluasaan untuk adaptasi individu (McNett, 1989).

  1.3.4 Model Berdasar Transaksi Model berdasarkan transaksi memandang individu dan lingkungan dalam hubungan yang dinamis, resiprokal, dan interaktif (Lazarus & Folkman, 1984). Model ini, yang dikembangkan oleh Lazarus & Folkman, memandang stresor sebagai respons perseptual individu yang berakar dari proses psikologis dan kognitif. Stres berasal dari hubungan antara individu dan lingkungan. Model ini berfokus pada proses yang berkaitan dengan stres seperti penilaian kognitif dan koping (Monsen, Floyd, dan Brookman, 1992).

1.4 Tingkat Stres

  Menurut Rasmun (2004) stres dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu stres ringan, stres sedang, dan stres berat. Stres ringan biasanya tidak merusak aspek fisiologis, stres ringan umumnya dirasakan oleh setiap orang misalnya, lupa, ketiduran, kemacetan, dan dikritik. Situasi seperti ini biasanya berakhir dalam beberapa menit atau beberapa jam. Situasi seperti ini nampaknya tidak akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi terus-menerus.

  Stres sedang terjadi lebih lama beberapa jam sampai beberapa hari, contohnya kesepakatan yang belum selesai, beban kerja yang berlebih, mengharapkan pekerjaan baru, anggota keluarga pergi dalam waktu yang lama, situasi seperti ini dapat bermakna bagi individu yang mempunyai faktor predisposisi suatu penyakit koroner.

  Stres berat adalah stres kronis yang terjadi beberapa minggu sampai beberapa tahun, misalnya hubungan suami istri yang tidak harmonis, kesulitan finansial dan penyakit fisik yang lama.

1.5 Tahapan Stres

  Seseorang yang stres akan mengalami tahapan stres. Menurut Amberg (1979), sebagaimana dikemukakan oleh Dadang Hawari (2001) bahwa tahapan stres adalah sebagai berikut : (a) Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam. (b) Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, cepat lelah pada saat menjelang sore, mudah lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung dan perut tidak nyaman, jantung berdebar, otot tengkuk dan punggung tegang. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadat. (c) Stres tahap ketiga, yaitu tahapan stres dengan keluhan seperti defekasi tidak teratur, otot semakin tegang, emosional, insomnia, mudah terjaga dan susah tertidur lagi, bangun terlalu pagi dan sulit tidur lagi, koordinasi tubuh terganggu, dan akan jatuh pingsan. (d) Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari, aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjenuhkan, respon tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsenterasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan. (e) Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental, ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik. (f) Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda- tanda, seperti jantung berdebar keras, sesak napas, badan gemetar, dingin dan banyak keringat, lemah, serta pingsan.

1.6 Sumber-Sumber Stres dalam kehidupan

  Nasir dan Muhith (2011) menyatakan bahwa sumber-sumber stres sebagai berikut :

  1. Sumber stres dari individu Terkadang sumber stres berasal dari individunya sendiri. Salah satu yang dapat menimbulkan stres dari pribadi sendiri adalah melalui penyakit yang diderita oleh seseorang. Menjadi sakit menempatkan demands pada sistem biologis dan psikologis, tingkatan stres yang dihasilkan oleh demands tersebut bergantung pada keseriusan penyakit dan usia orang tersebut. Hal lain yang dapat menimbulkan stres dari individu sendiri adalah melalui penilaian dari dorongan motivasi yang bertentangan, ketika terjadi konflik dalam diri seseorang dan biasanya orang tersebut berada dalam suatu kondisi di mana dia harus menentukan pilihan, dan pilihan tersebut sama pentingnya.

  2. Sumber stres dalam keluarga Konflik interpersonal dapat timbul sebagai akibat dari masalah keuangan dan tujuan yang bertolak belakang. Dari banyak stresor dalam keluarga, ada tiga hal yang paling sering terjadi, yaitu sebagai berikut: a.

  Bertambahnya anggota keluarga dnegan kelahiran anak dapat menimbulkan stres yang berkaitan dengan masalah keuangan (bertambahnya anak bertambah pula biaya pengeluaran), masalah kesehatan, dan ketakutan bahwa hubungan antara suami istri dapat terganggu.

  b.

  Perceraian dapat menghasilkan banyak perubahan yang penuh dengan stres untuk semua anggota keluarga karena mereka harus menghadapi perubahan dalam status sosial, pindah rumah, dan perubahan kondisi keuangan.

  c.

  Anggota keluarga yang sakit, cacat, dan mati, yang pada umumnya memerlukan adaptasi, kemampuan untuk mengatasi perasaan sedih atau duka yang mendalam dan kesabaran.

3. Sumber stres dalam komunitas dan lingkungan

  Hal ini disebabkan karena tuntutan pekerjaan yang dapat menghasilkan stres dalam dua cara, yaitu: a.

  Beban pekerjaan yang terlalu tinggi, sebagai akibat dari keinginan untuk mendapatkan pengahasilan yang lebih atau jabatan yang lebih tinggi.

  b.

  Beberapa macam aktivitas dapat menyebabkan stres lebih daripada yang lainnya, apabila pekerjaan yang dilakukan terus-menerus di bawah kemampuannya.

2. Konsep Tidur

2.1 Definisi Tidur

  Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya (Guyton & Hall, 1997). Tidur merupakan dua keadaan yang bertolak belakang dimana tubuh beristirahat secara tenang dan aktivitas metabolisme juga menurun namun pada saat itu juga otak sedang bekerja lebih keras selama periode bermimpi dibandingkan dengan ketika beraktivitas di siang hari (Chopra , 2003).

  Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar di mana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau menghilang, dan dapat dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup (Asmadi, 2008).

  Tidur adalah perilaku penarikan diri secara terus menerus dari dan tidak berespons terhadap lingkungannya yang bersifat reversibel (Carskadon & Dement, 1994). Tidur sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan proses penyembuhan penyakit, karena tidur bermanfaat untuk menyimpan energi, meningkatkan imunitas tubuh dan mempercepat proses penyembuhan penyakit juga pada saat tidur tubuh mereparasi bagian- bagian tubuh yang sudah aus. Umumnya orang akan merasa segar dan sehat sesudah istirahat. Jadi istirahat dan tidur yang cukup sangat penting untuk kesehatan (Suyono, 2008).

2.2 Fisiologi Tidur

  Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya (Guyton, 2007). Tidur ditandai dengan aktivitas fisik minimal, tingkatan kesadaran yang bervariasi, perubahan-perubahan proses fisiologi tubuh dan penurunan respon terhadap rangsangan dari luar (Priharjo, 1993). Tidur merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, sama halnya seperti kesehatan yang baik secara umum (Chopra, 2003). Tiap individu membutuhkan jumlah yang berbeda untuk tidur. Tanpa jumlah tidur yang cukup, kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat keputusan, dan berpartisipasi dalam aktivitas harian akan menurun, dan meningkatkan iritabilitas (Potter & Perry, 2005).

  Sebagian besar, organisme hidup menunjukkan adanya fluktuasi fungsi tubuh yang berirama sepanjang kurang lebih 24 jam, yaitu berirama sirkadian.

  Umumnya, organisme-organisme tersebut menjadi terlatih seirama dengan siklus cahaya siang-malam yang terjadi di lingkungannya (Ganong, 2002).

  Irama sirkadian mempengaruhi pola fungsi biologis utama dan fungsi perilaku. Fluktuasi dan prakiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, sekresi hormone, kemampuan sensorik, dan suasana hati tergantung pada pemeliharaan siklus sirkadian 24 jam (Potter & Perry, 2005). Zona tidur otak depan basal meliputi bagian-bagian dari hipotalamus. Dari hipotalamus, jalur endokrin dan saraf yang menuju ke berbagai bagian tubuh, mengatur irama ini, termasuk pelepasan melatonin di malam hari, yang berfungsi sebagai sinyal waktu sistemik (Ganong, 2002).

  Irama biologis tidur seringkali menjadi sinkron dengan fungsi tubuh yang lain. Jika siklus tidur-bangun menjadi terganggu (misalnya perputaran dinas kerja), maka fungsi fisiologis lain dapat berubah juga. Kegagalan untuk mempertahankan siklus tidur-bangun individual yang biasanya dapat secara berlawanan mempengaruhi kesehatan keseluruhan seseorang (Potter & Perry, 2005).

  Tidur melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh integrasi tinggi aktivitas system saraf pusat yang berhubungan dengan perubahan dalam system saraf peripheral, endokrin, kardiovaskuler, pernapasan dan muscular (Robinson, 1993). Tiap rangkaian diidentifikasi dengan respon fisik tertentu dan pola aktivitas otak. Peralatan seperti elektroensefalogram (EEG), yang mengukur aktivitas listrik dalam korteks serebral, elektromiogram (EMG), yang mengukur tonus otot dan elektrookulogram (EOG) yang mengukur gerakan mata, memberikan informasi struktur aspek fisiologis tidur (Potter & Perry, 2005).

  Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermitten dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme menyebabkan terjaga dan yang lain menyebabkan tertidur (Potter & Perry, 2005).

  Siklus tidur-bangun mempengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis dan respons prilaku. Jika siklus tidur-bangun seseorang terganggu, maka fungsi fisiologis tubuh yang lain juga dapat terganggu atau berubah. Kegagalan untuk mempertahankan siklus tidur-bangun individual yang normal dapat memepengaruhi kesehatan seseorang (Potter & Perry, 2005).

  Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam sistem tidur Raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Zat agonis serotonin berguna untuk menekan tidur dan antagonis serotonin meningkatkan tidur gelombang-lambat pada manusia. Seseorang tetap tertidur atau terbangun tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih tinggi, reseptor sensori perifer dan sistem limbik. Ketika seseorang mencoba untuk tidur mereka akan menutup mata dan berada pada posisi relaks. Jika stimulus ke SAR menurun maka aktivasi SAR juga akan menurun. Pada beberapa bagian lain, BSR mengambil alih dan menyebabkan seseorang tidur (Ganong, 2002).

  Jumlah tidur total tidak berubah sesuai pertambahan usia. Akan tetapi, kualitas tidur kelihatan menjadi berubah pada kebanyakan lansia (Bliwise, 1993 Dikutip dari Potter & Perry, 2005). Keluhan tentang kesulitan tidur waktu malam seringkali terjadi di antara lansia, sering kali akibat keberadaan penyakit kronik yang lain (Evans dab Rogers, 1994 Dikutip dari Potter & Perry, 2005).

2.3 Pengaturan tidur

  Tidur melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh integrasi tinggi aktivitas sistem saraf pusat yang berhubungan dengan perubahan dalam sistem saraf periferal, endokrin, kardiovaskuler, pernafasan, muskular (robinson, 1993). Tiap rangkaian diidentifikasi oleh dengan respon fisik tertentu dan pola aktivitas otak. Peralatan seperti elektroenselofalogram

  (EEG), yang mengukur aktivitas listrik dalam korteks serebral, elektromiogram (EMG) yang mengukur tonus otot dan elektrookulogram (EOG) yang mengukur gerakan mara, memberikan informasi struktur aspek fisiologis tidur.

  Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermiten dan menekan pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme menyebabkan terjaga, dan yang lain menyebabkan tertidur.

  Sistem aktivasi retikular (SAR) berlokasi pada batang otak teratas. SAR dipercayai terdiri dari sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan terjaga, SAR menerima stimulus sensori visual, auditori, nyeri, dan taktil. Aktivitas korteks serebral (mis. proses emosi atau pikiran) juga menstimulasi SAR. Saat terbangun merupakan hasil dari neuron dalam SAR yang mengeluarkan katekolamin seperti norepinefrin (Sleep Research Society, 1993).

  Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam sistem tidur raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Daerah otak juga disebut daerah sinkronisasi bulbar (bulbar synchronizing region, BSR).

  Ketika orang mencoba tertidur, mereka akan menutup mata dan berada dalam posisi relaks, stimulus ke SAR menurun. Jika ruangan gelap dan tenang, maka aktivasi SAR selanjutnya menurun. Pada beberapa bagian, BSR mengambil alih, yang menyebabkan tidur.

2.4 Tahapan Siklus Tidur

  Tidur yang normal melibatkan dua fase : tahapan non REM (rapid eye movement) NREM dan tahapan REM (Potter & Perry, 2005).

2.4.1 Tahap tidur Non-Rapid Eye Movement

  Tidur NREM adalah tidur yang lambat dengan mata tertutup, ada pergerakan tubuh dan bernapas dengn tenang dan teratur (Brugne, 1994).

  Selama tidur NREM, seseorang yang tidur mengalami kemajuan melalui empat tahapan selama siklus tidur yang tipikal 90 menit.

  Tahap pada tidur NREM terdapat empat, yaitu : a. Tahap tidur pertama NREM memiliki karakteristik, yaitu tahap transisi diantara mengantuk dan tertidur yang ditandai dengan pengurangan aktivitas fisiologis yang dimulai dengan menutupnya mata, pergerakan lambat, otot berelaksasi serta penurunan secara bertahap tanda-tanda vital dan metabolisme, menurunnya denyut nadi, dan mudah terbangun.

  Tahap ini berakhir selama 5-10 menit b. Tahap tidur kedua NREM memiliki karakteristik, yaitu tahap tidur ringan, denyut jantung mulai melambat, menurunnya suhu tubuh, dan berhentinya pergerakan mata. Tahap kedua NREM ini masih relatif mudah untuk terbangun dan akan berakhir 10 hingga 20 menit c.

  Tahap 3 NREM memiliki karkateristik, yaitu tahap awal dari tidur yang dalam, laju pernapasan dan denyut jantung terus melambat karena sistem saraf parasimpatik semakin mendominasi, otot skeletal semakin berelaksasi, terbatasnya pergerakan dan mendengkur mungkin saja terjadi. Pada tahap ini, seseorang yang tidur sulit dibangunkan, tidak dapat diganggu oleh stimuli sensori. Tahap ini berakhir 15 hingga 30 menit d. Tahap 4 NREM memiliki karakteristik, yaitu tahap tidur terdalam, tidak ada pergerakan mata dan aktivitas otot. Tahap ini juga ditandai dengan tanda-tanda vital menurun secara bermakna dibanding selama terjaga, laju pernapasan dan denyut jantung menurun sampai 20-30%.

  Seseorang yang terbangun pada saat tahap ini tidak secara langsung menyesuaikan diri, sering merasa pusing dan disorientasi untuk beberapa menit setelah bangun dari tidur

2.4.2 Tahap tidur Rapid Eye Movement

  Tidur REM adalah sasaran dari jejak EEG yang cepat. Pada fase ini biasanya mimpi terjadi selama tidur REM (Brugne, 1996). Tidur REM ini merupakan fase pada akhir tiap siklus tidur 90 menit (Karni dkk, 1994). Dan pemulihan psikologis terjadi pada waktu ini, faktor yang berbeda dapat meningkatkan atau mengganggu tahapan siklus tidur yang berbeda (Potter & Perry, 2005). Tahap tidur REM ditandai dengan pergerakan mata bergerak secara cepat ke berbagai arah, pernapasan cepat, tidak teratur, dan dangkal, otot tungkai mulai lumpuh sementara, meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah. Pada pria terjadi ereksi penis sedangkan pada wanita terjadi sekresi vagina. Durasi dari tahap tidur REM meningkat pada tiap siklus dan rata-rata 10-30 menit

2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi tidur

  Potter dan Perry (2005) sejumlah faktor mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur. Seringkali faktor tunggal tidak hanya menjadi penyebab masalah tidur. Faktor fisiologis, psikologis, dan lingkungan dapat mengubah kualitas dan kuantitas tidur. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur antara lain: a.

  Penyakit Fisik Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik (mis.

  Kesulitan bernapas), atau masalah suasana hati, seperti kecemasan atau depresi, dapat menyebabkan masalah tidur. Seseorang dengan perubahan seperti itu mempunyai masalah kesulitan tertidur atau tetap tertidur. Penyakit juga dapat memaksa klien untuk tidur dalam posisi yang tidak biasa. Sebagai contoh, memperoleh posisi yang aneh saat tangan atau lengan diimobilisasi pada traksi dapat mengganggu tidur.

  b.

  Obat-obatan dan Substansi Orang dewasa muda dan dewasa tengah dapat tergantung pada obat tidur untuk mengatasi stresor gaya hidupnya. Lansia seringkali menggunakan variasi obat untuk mengontrol atau mengatasi penyakit kroniknya, dan efek kombinasi dari beberapa obat dapat mengganggu tidur secara serius.

  L-triptopan, suatu protein alami ditemukan dalam makanan seperti susu, keju, dan daging, dapat membantu orang tidur.

  c.

  Gaya Hidup Rutinitas harian seseorang mempengaruhi pola tidur. Kesulitas mempertahankan kesadaran selama waktu kerja menyebabkan penurunan dan bahkan penampilan yang berbahaya. Setelah beberapa minggu kerja pada dinas malam hari, jam biologis seseorang biasanya dapat menyesuaikan. Perubahan lain dalam rutinitas yang mengganggu pola tidur meliputi kerja berat yang tidak biasanya, terlibat dalam aktivitas sosial pada larut-malam, dan perubahan waktu makan malam.

  d.

  Stres Emosional Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat mengganggu tidur.

  Stres emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras untuk tertidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk. Seringkali klien lansia mengalami kehilangan yang mengarah pada stres emosional. Pensiun, gangguan fisik, kematian orang yang dicintai, dan kehilangan keamanan ekonomi merupakan contoh situasi yang mempredisposisi lansia untuk cemas dan depresi. Lansia, dan juga seperti individu lain yang mengalami masalah perasaan depresi, sering juga mengalami perlambatan untuk jatuh tertidur, munculnya tidur REM secara dini, seringkali terjaga, peningkatan total waktu tidur, perasaan tidur yang kurang, dan terbangun cepat (Bliwise, 1993).

  e.

  Lingkungan Lingkungan fisik tempat seseornag tidur berpengaruh penting pada kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur. Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur yang tenang. Suara juga mempengaruhi tidur. Tingkat suara yang diperlukan untuk membangunkan orang tergantung pada tahap tidur (Webster dan Thompson, 1986). Suara yang rendah lebih sering membangunkan seorang dari tidur tahap 1, sementara suara yang keras membangunkan orang pada tahap tidur 3 atau 4. Tingkat cahaya dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Beberapa klien menyukai ruangan yang gelap, sementara yang lain seperti anak-anak atau lansia menyukai cahaya remang yang tetap menyala selama tidur. Klien juga mungkin bermasalah tidur karena suhu ruangan. Ruangan yang terlalu hangat atau terlalu dingin akan membuat klien gelisah.

3. Kualitas Tidur

3.1 Definisi Kualitas Tidur

  Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur, sehingga seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat, 2006). Kualitas tidur juga didefinisikan sebagai suatu fenomena kompleks yang melibatkan beberapa dimensi (American Psychiatric Association, 2000)

  Kualitas tidur meliputi aspek kuantitatif dan kualitatif tidur, seperti lamanya tidur, waktu yang diperlukan untuk bisa tertidur, frekuensi terbangun dan aspek subjektif seperti kedalaman dan kepulasan tidur (Daniel et al, 1998; Buysse, 1998). Kualitas tidur adalah kemampuan individu untuk tetap tertidur dan untuk mendapatkan jumlah tidur REM dan NREM yang tepat (Kozier, Erb, Berman, & Synder, 2004). Namun, di sisi lain, Lai (2001) dalam Wavy (2008) menyebutkan bahwa kualitas tidur ditentukan oleh bagaimana seseorang mempersiapkan pola tidurnya pada malam hari seperti kedalaman tidur, kemampuan tinggal tidur, dan kemudahan untuk tertidur tanpa bantuan medis. Kualitas tidur yang baik akan ditandai dengan tidur yang tenang, merasa segar pada pagi hari dan merasa sangat semangat untuk melakukan aktivitas (Craven & Hirnle, 2000)

  Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui pemeriksaan laboratorium yaitu EEG yang merupakan rekaaman arus listrik dari otak.

  Perekaman listrik dari permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas listrik yang terus menerus timbul dalam otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat eksitasi otak sebagai akibat dari kedaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit lain yang diderita. Tipe gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa, betha, dan delta (Guyton & Hall, 1997).

3.2 Pengkajian kualitas tidur

  Kualitas tidur adalah perasaan segar dan siap menghadapi hidup baru setelah bangun tidur. Kualitas tidur menyangkut pengkajian subjektif yaitu seberapa menyegarkan dan tenangnya tidur mereka dan pengkajian objektif yang dapat diketahui dari rekaman poligrafi, gerakan pergelangan tangan, gerakan kepala dan mata (Mac Arthur, 1997; Nisrina, 2008).

  3.2.1 Data subjektif Data subjektif tidur yang baik atau buruk dapat dievaluasi dengan persepsi para penderita penyakit tentang parameter tidur diantaranya adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk tertidur, frekuensi terbangun pada malam hari, total waktu tidur di malam hari dan kepulasan tidur (Kales & Kales, 1984; Lee, 1997; Suryani, 2004). Hanya para penderita penyakit saja yang dapat melaporkan apakah mereka mendapatkan tidur yang baik atau buruk. Jika para penderita penyakit puas dengan kualitas dan kuantitas tidurnya maka mereka mempunyai tidur yang baik (Potter & Perry, 2005).

  3.2.2 Data Objektif

  Data objektif bisa didapatkan melalui pengkajian fisik penderita penyakit yaitu dengan mengobservasi lingkaran mata, adanya respon yang lamban, ketidakmampuan/kelemahan, penurunan konsentrasi. Selain itu, data objektif kualitas tidur penderita penyakit juga bisa dianalisa melalui pemeriksaan laboratorium yaitu EEG, EMG, dan EOG sinyal listrik menunjukkan perbedaan ingkat aktivitas yang berbeda dari otak, otot, dan mata yang berhubungan dengan tahap tidur yang berbeda (Sleep Research Society, 1993; dikutip dari (Potter & Perry, 2005).

  3.2.3 Hubungan antara data subjektif dan data objektif Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara kualitas tidur berdasarkan data subjektif dan data objektif.

  Dari data objektif yang diperoleh maka dapat diketahui bagaimana kualitas tidur seseorang. Menurut beberapa penelitian, semakin banyak gelombang kecil perdetiknya pada EEG maka semakin lelap dan tenang tidur seseorang (Selamihardja, 2002). Beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan yang signifikan anatara data subjektif dan data objektif berupa evaluasi polisomnografi seperti EEG, EOG dan EMG (Lewis,1969; Johns, 1975; John & Dore, 1978; Webster & Thompson, 1986 dalam Suryani, 2004).