Pengetahuan dan Sikap Kelompok Resiko Lelaki Seks Lelaki (LSL) Dalam Pencegahan Penularan HIV/AIDS

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1.

Pengetahuan (Knowledge)

1.1. Definisi
Pengetahuan merupakan ”hasil tahu” dari manusia dan ini terjadi setelah
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Ranah kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir, mencakup
kemampuan intelektual yang paling sederhana yaitu mengingat, sampai dengan
kemampuan untuk memecahkan suatu masalah (problem solving). Pada ranah ini
induvidu dituntut untuk menghubungkan dan menggabungkan gagasan. Semakin
tinggi tahapan dari ranah kognitif ini menunjukan semakin sulitnya tingkat
berfikir atau tuntutan seseorang. Penguasaan tingkatan ranah di bawahnya,
merupakan prasyarat untuk menguasai tingkatan ranah di atasnya yang lebih
tinggi (Nurhidayah, 2010).
1.2. Tingkatan Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam

tingkatan yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau

6
Universitas Sumatera Utara

7

rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa seseorang
tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya. Contoh : dapat menyabutkan tandatanda kekurangan kalori dan protein pada anak balita.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat mengintegrasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya

terhadap objek yang dipelajari. Misalnya dapat menjelaskan mengapa harus
makan-makanan yang bergizi.
c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai apliksi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip
dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat
menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-perhitungan hasil penelitian,
dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving
cycle) di dalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur

Universitas Sumatera Utara

8

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat
dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat

bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukan pada suatu kemampuan untuk meletakan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evalausi itu berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan
pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria
yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara anak yang cukup gizi
dengan anak yang kekuarangan gizi, dapat menanggapi terjadinya diare disuatu
tempat, dapat menafisrkan sebab-sebab mengapa ibu-ibu tidak mau ikut KB dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2012).
1.3. Cara Memperoleh Pengetahuan
Dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua
menurut Notoatmodjo 2005, yakni :


Universitas Sumatera Utara

9

1.3.1. Cara Tradisional Untuk Memperoleh Pengetahuan
Cara kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan, sebelum dikemukakannya metode ilmiah atau metode penemuan
secara sistematik dan logis. Cara–cara penemuan pengetahuan pada periode ini
antara lain meliputi:
a.

Cara Coba-Salah (Trial and Error)
Cara yang paling tradisional, yang pernah digunakan oleh manusia dalam

memperoleh pengetahuan adalah melalui cara coba–coba atau dengan kata yang
lebih dikenal “trial and error”. Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya
peradaban. Cara coba–coba ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan
dalam memecahkan masalah, dan apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil,
dicoba kemungkinan lain. Apabila kemungkinan kedua ini gagal pula, maka

dicoba kembali dengan kemungkinan ketiga, dan apabila kemungkinan ketiga
gagal dicoba kemungkinan keempat dan seterusnya, sampai masalah tersebut
dapat terpecahkan. Itulah sebabnya maka cara ini disebut metode trial (coba) and
error (gagal atau salah) atau metode coba–salah/coba–coba.
Metode ini telah digunakan orang dalam waktu yang cukup lama untuk
memecahkan berbagai masalah. Bahkan sampai sekarang pun metode ini masih
sering digunakan, terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui suatu
cara tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b.

Cara Kekuasaan atau Otoritas
Dalam kehidupan manusia sehari–hari, banyak sekali kebiasaan–kebiasaan

dan tradisi–tradisi yang dilakukan oleh orang, tanpa melalui penalaran apakah

Universitas Sumatera Utara

10

yang dilakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasaan–kebiasaan ini biasanya

diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Misalnya,
mengapa harus ada upacara selapanan dan turun tanah pada bayi, mengapa ibu
yang sedang menyusui harus minum jamu, mengapa anak tidak boleh makan telor,
dan sebagainya.
Kebiasaan seperti ini tidak hanya terjadi pada masyarakat tradisional saja,
melainkan juga terjadi pada masyarakat modern. Kebiasaan–kebiasaan ini seolaholah diterima dari sumbernya sebagai kebenaran yang mutlak. Sumber
pengetahuan tersebut dapat berupa pemimpin–pemimpin masyarakat baik formal
maupun informal, ahli agama, pemegang pemerintahan dan sebagainya. Dengan
kata lain, pengetahuan tersebut diperoleh berdasarkan pada otoritas atau
kekuasaaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama, maupun
ahli ilmu pengetahuan.
c.

Berdasarkan Pengalaman Pribadi
Pengalaman adalah guru terbaik, demikian bunyi pepatah. Pepatah ini

mengandung maksud bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan atau
pengalaman itu merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan.
Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapat digunakan sebagai upaya
memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali

pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada
masa yang lalu. Apabila dengan cara yang digunakan tersebut orang dapat
memecahkan masalah yang dihadapi, maka untuk memecahkan masalah lain yang
sama, orang dapat pula menggunakan cara tersebut. Tetapi bila gagal

Universitas Sumatera Utara

11

menggunakan cara tersebut, ia tidak akan mengulangi cara itu, dan berusaha untuk
mencari cara yang lain, sehingga dapat berhasil memecahkannya.
d.

Melalui Jalan Pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir

manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia mampu menggunakan
penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam
memperoleh


kebenaran

pengetahuan

manusia

telah

menggunakan

jalan

pikirannya, baik melalui induksi maupun deduksi.
Induksi dan deduksi pada dasarnya merupakan cara melahirkan pemikiran
secara tidak langsung melalui pernyataan–pernyataan yang dikemukakan,
kemudian dicari hubungannya sehingga dapat dibuat kesimpulan. Apabila proses
pembuatan kesimpulan itu melalui pernyataan–pernyataan khusus kepada yang
umum dinamakan induksi. Sedangkan deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari
pernyataan–pernyataan umum kepada yang khusus.
1.3.2. Cara Modern dalam Memperoleh Pengetahuan

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada dewasa ini
lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut “metode penelitian ilmiah”,
atau lebih popular disebut metodologi penelitian (research methodology). Cara ini
mula–mula dikembangkan oleh Francis Bacon (1561 - 1626). Ia adalah seorang
tokoh yang mengembangkan metode berpikir induktif. Mula–mula ia mengadakan
pengamatan langsung terhadap gejala–gejala alam atau kemasyarakatan.
Kemudian hasil pengamatannya tersebut dikumpulkan dan diklasifikasikan dan
akhirnya diambil kesimpulan umum. Kemudian metode berpikir induktif yang

Universitas Sumatera Utara

12

dikembangkan oleh Bacon ini dilanjutkan oleh Deobold van Dallen. Ia
mengatakan

bahwa

dalam


memperoleh

kesimpulan

dilakukan

dengan

mengadakan observasi langsung dan membuat pencatatan–pencatatan terhadap
semua fakta sehubungan dengan objek yang diamatinya. Pencatatan ini mencakup
tiga hal pokok yakni :
a. Segala sesuatu yang positif yakni gejala tertentu yang muncul pada saat
dilakukan pengamatan.
b. Segala sesuatu yang negatif yakni gejala tertentu yang tidak muncul pada saat
dilakukan pengamatan.
c. Gejala–gejala yang muncul secara bervariasi yaitu gejala–gejala yang berubah–
ubah pada kondisi–kondisi tertentu.
2.

Sikap (Attitude)


2.1. Pengertian Sikap
Secord & Backman (1964 dalam Saifudin Azwar 2005) mendefinisikan
sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran
(kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di
lingkungan sekitar.
Ranah afektif yang berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai dan
sikap hati (attitude) yang menunjukan penerimaan atau penolakan terhadap
sesuatu. Tahapan ranah afektif dari yang paling sederhana, yaitu memperhatikan
suatu fenomena sampai dengan yang kompleks yang merupakan faktor internal
seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani. Ranah afektif dikaitkan dengan
minat, sikap hati, sikap menghargai, sistem nilai serta kecendrungan emosi. Ranah

Universitas Sumatera Utara

13

afektif mencakup peningkatan internalisasi atau komitmen pada perasaan yang
diungkapkan sebagai emosi, minat, sikap, nilai-nilai dan apresiasi. Penyusunan
ranah afektif didasarkan pada tingkat kompleksitas perilaku yang merupakan
gambaran dari kedalaman respon emosional seseorang yang dipadukan kedalam
kepribadian atau sistem nilai seseorang (Nurhidayah, 2010).
2.2. Tingkatan Sikap
Menurut Notoatmodjo (2007) Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap
terdiri dari berbagai tingkatan, yakni:
a. Menerima

(receiving).

Diartikan

bahwa

orang

(subjek)

mau

dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
b. Merespon (responding). Memberikan jawaban bila ditanya, mengerjakan atau
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
c. Menghargai (valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau
mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung jawab (responsibility). Bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.3. Pembentukan Sikap
sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh
individu. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi antara
induvidu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut
mempengaruhi pola prilaku masing-masing induvidu sebagai anggota masyarakat.
Interaksi sosial itu meliputi hubungan antara induvidu dengan lingkungan fisik
maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya.

Universitas Sumatera Utara

14

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain:
a. Pengalaman pribadi. Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman
pribadi terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Penghayatan
akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama berbekas. Bagaimana
induvidu beraksi terhadap pengalaman saat ini jarang lepas dari penghayatan
terhadap pengalaman-pengalaman dimasa lalu.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya, individu
cendrung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang
yang dianggapnya penting.
c. Pengaruh kebudayaan.
d. Media masa. Media masa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang
dapat mengarahkan opini seseorang.
e. Lembaga pendidikan agama. Dikarenakan konsep moral dan ajaran agama
sangat menentukan sistem kepercayaan maka tidaklah mengherankan kalau
pada gilirannya kemudian konsep tersebut ikut berperan dalam menentukan
sikap induvidu terhadap suatu hal.
f. Pengaruh faktor emosional. Kadang-kadang, suatu bentuk sikap merupakan
pernyataan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam
penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego (Azwar,
2005).
2.4. Pengukuran sikap
Beberapa karakteristik (dimensi) sikap yaitu arah, intensitas, keluasan,
konsistensi, dan spontanitas.

Universitas Sumatera Utara

15

Sikap mempunyai arah, artinya sikap terpisah pada dua arah kesetujuan
yaitu apakah setuju atau tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung,
apakah memihak atau tidak memihak terhadap sesuatu atau seseorang sebagai
objek. Orang yang setuju, mendukung, atau memihak terhadap suatu objek sikap
berarti memiliki sikap yang arahnya positif, sebaliknya mereka yang tidak setuju
atau tidak mendukung dikatakan sebagai memiliki sikap yang arahnya negatif.
Sikap memiliki intensitas, kedalaman atau kekuatan sikap terhadap sesuatu
belum tentu sama walaupun arahnya mungkin tidak berbeda. Dua orang yang
sama tidak sukanya terhadap sesuatu, yaitu sama-sama memiliki sikap yang
berarah negatif belum tentu memiliki sikap yang negatif yang sama intensitasnya.
Orang pertama mungkin tidak setuju tapi orang kedua dapat saja sangat tidak
setuju. Begitu juga sikap yang positif dapat berbeda ke dalamannya bagi setiap
orang. Mulai dari agak setuju sampai pada setuju yang ekstrem.
Sikap juga memiliki keluasan, maksudnya kesetujuan atau ketidaksetujuan
terhadap suatu objek sikap dapat mengenai hanya aspek yang sedikit dan sangat
spesifik akan tetapi dapat pula mencakup banyak sekali aspek yang ada pada
objek sikap.
Sikap juga memiliki konsistensi, maksudnya adalah kesesuian antara
pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responnya terhadap objek sikap antar
waktu. Untuk dapat konsisten, sikap harus bertahan dalam diri induvidu untuk
waktu yang relatif panjang. Konsistensi juga diperlihatkan oleh tidak adanya
kebimbangan dalam bersikap.

Universitas Sumatera Utara

16

Karakteristik sikap yang terakhir adalah spontanitas, yaitu menyangkut
sejauh mana kesiapan induvidu untuk menyatakan sikapnya secara spontan. Sikap
dikatakan memiliki spontanitas yang tinggi apabila dapat dinyatakan secara
terbuka tanpa harus melakukan pengungkapan atau desakan lebih dahulu agar
induvidu mengemukakannya. Hal ini tampak dari pengamatan terhadap indikator
sikap atau perilaku sewaktu induvidu berkesempatan mengungkapkan sikapnya.
Dalam berbagai bentuk skala sikap yang umumnya harus dijawab dengan “setuju”
atau “tidak setuju”, spontanitas sikap ini pada umumnya tidak dapat dilihat.
Pengukuran dan pemahaman terhadap sikap, idealnya, harus mencakup
kesemua dimensi tersebut di atas. Namun, belum ada atau mungkin tak akan
pernah ada instrumen pengukuran sikap yang dapat mengungkap kesemua
dimensi itu sekaligus. Banyak diantara skala yang digunakan dalam pengukuran
sikap hanya mengungkapkan dimensi arah, dan dimensi intensitas sikap saja, yaitu
hanya dengan menunjukan kecendrugan sikap positif atau negatif dan
memberikan tafsiran mengenai derajat kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap
respon induvidu.
Adapun beberapa metode pengukuran sikap:
1) Observasi perilaku
Untuk mengetahui sikap seseorang terhadap sesuatu kita dapat memperhatikan
perilakunya, sebab perilaku merupakan salah satu indikator sikap induvidu.
Perilaku tertentu kadang-kadang sengaja ditampakan untuk menyembunyikan
sikap yang sebenarnya.

Universitas Sumatera Utara

17

2) Pertanyaan langsung
Manusia akan mengungkapkan secara terbuka apa yang dirasakannya. Ternyata
orang yang akan mengungkapkan pendapat dan jawaban yang sebenarnya
secara terbuka hanya apabila situasi dan kondisi memungkinkan. Apabila
situasi dan kondisi memungkinkan untuk mengatakan hal yang sebenarnya
tanpa rasa takut terhadap konsekuensi langsung maupun tidak langsung yang
dapat terjadi. Dalam situasi tanpa tekanan dan bebas dari rasa takut serta tidak
terlihat adanya keuntungan untuk berkata lain, barulah induvidu cendrung
memberikan jawaban yang sebenarnya sesuai dengan apa yang ia rasakan.
3) Pengungkapan langsung
Prosedur pengungkapan langsung dengan item tunggal, responden diminta
menjawab langsung suatu pernyataan sikap tertulis dengan memberi tanda
setuju atau tidak setuju. Hal ini menyatakan sikap secara lebih jujur bila ia
tidak perlu menuliskan nama atau identitasnya. Problem utama dalam
pengukuran dengan item tunggal adalah masalah reabilitas hasilnya.
Pengukuran yang reliabel memerlukan item yang banyak. Item tunggal terlalu
tebuka terhadap sumber error pengukurannya (Azwar, 2005).
3.

Lelaki Seks Lelaki (LSL) atau Men Who Have Sex With Men (MSM)

3.1. Pengertian
Terminologi men who have sex with men atau MSM dimaksudkan untuk
menjelaskan semua laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, tanpa
memandang identitas seksual mereka. Ini digunakan karena hanya sejumlah kecil
dari laki-laki terlibat dalam perilaku seks sesama jenis yang didefinisikan sebagai

Universitas Sumatera Utara

18

gay, biseksual atau homoseksual tetapi lebih tepat rnengidentifikasi diri
menggunakan identitas dan perilaku lokal sosial dan seksual. Mereka tidak
menganggap hubungan seksual mereka dengan laki-laki lain dalam terminologi
identitas atau orientasi seksual. Banyak yang berhubungan seks dengan laki-laki
mengidentifikasi diri sebagai hetereseksual bukannya homoseksual atau biseksual,
terutama bila mereka juga berhubungan seks dengan perempuan, menikah, hanya
memainkan peran sebagai pihak yang penetratif dalam anal seks, dan/atau
berhubungan seks dengan laki-laki demi uang atau kesenangan.
Lelaki Suka Lelaki atau sering disebut juga Gay adalah istilah laki-laki yang
mengarahkan orientasi seksualnya kepada sesama laki-laki atau disebut juga lakilaki yang mencintai laki-laki secara fisik, seksual, emosional ataupun secara
spiritual. Secara psikologis, gay adalah seorang laki-laki yang penuh kasih.
Mereka juga rata-rata mempedulikan penampilan, dan sangat memperhatikan apaapa saja yang terjadi pada pasangannya.
LSL termasuk juga berbagai kategori dari laki-laki yang dapat dibedakan
menurut pengaruh dari variabel seperti :
a. Identitas seksual mereka, tanpa memandang perilaku seksual (gay,
homoseksual, heteroseksual, biseksual, dan transgender, atau persamaannya,
dan identitas lain)
b. Penerimaan dan keterbukaan mereka akan identitas seksual mereka yang
bukan mainstream (terbuka atau tertutup)
c. Patner seksual mereka (perempuan, laki-laki, dan / atau transgender)

Universitas Sumatera Utara

19

d. Alasan mereka memilih pasangan seksual tersebut (alami, paksaan, atau
tekanan, motivasi komersial, kesenangan atau rekreasi, dan/atau karena
keberadaan di lingkungan yang semuanya laki-laki)
e. Peran meraka dalam praktik khusus (penetratif, reseptif, atau keduanya)
f. Identitas terkait gender mereka, peranan dan perilaku (laki-laki atau
perempuan, maskulin atau feminine / effeminate, bersebrangan pakaian (crossdressing) atau berpakaian sesuai gender)
Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki menjadi terminologi
yang populer dalam konteks HIV dan AIDS dimana ia digunakan karena
menggambarkan perilaku yang menempatkan mereka dalam resiko terinfeksi.
Telah menjadi perdebatan bahwa terminologi tersebut terlalu terfokus pada
perilaku seksual dan tidak mencukupi pada aspek lain seperti emosi, hubungan,
dan identitas seksual diantara mereka yang juga merupakan determinan dari
infeksi. Beberapa organisasi dan individu lebih suka memakai terminologi
laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, karena ia menunjukkan
kelompok yang lebih luas dari sejumlah individu yang berhubungan seks dengan
pasangan lain dari kelamin yang sama. Khususnya, ia tidak mempunyai batasan
pada umur yang ditunjukkan dengan kata ”laki-laki”, dan karenanya termasuk
juga anak-anak lelaki yang saling berhubungan seks dan juga hubungan seks
antara laki-laki dewasa dengan anak lelaki.
3.2 Ciri-ciri Lelaki Suka Lelaki (LSL)
Adapun ciri-ciri seorang LSL adalah sebagai berikut :
a.

Laki-laki yang secara eksklusif berhubungan seks dengan laki-laki lain.

Universitas Sumatera Utara

20

b.

Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain tapi sebagian besarnya
berhubungan dengan perempuan.

c.

Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki maupun perempuan tanpa
ada perbedaan kesenangan.

d.

Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain dikarenakan mereka
tidak mempunyai akses untuk seks dengan perempuan, misalnya di penjara,
ketentaraan, dan lain-lain (Dermatoto, 2010).

4.

HIV/AIDS

4.1. Pengertian
Human Immunodeficiensy Vyrus (HIV) yaitu virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia, HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih
yang bertugas menyangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limposit
yang disebut T-Limposit atau sel T-4 atau disebut juga sel CD-4 (Zein, 2006).
Sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom (AIDS) adalah sindrom
kekebalan tubuh oleh infeksi HIV. Perjalanan penyakit ini lambat dan gelajagejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah terjadinya infeksi, bahkan
dapat lebih lama lagi. Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui
perantara darah, semen dan secret vagina. Sebagian besar (75%) penularan terjadi
melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).
4.2. Tanda-tanda terinfeksi HIV
Menurut (Noviana, 2013) gejala orang terinfeksi HIV menjadi AIDS bisa
dilihat dari 2 gejala yaitu :

Universitas Sumatera Utara

21

Gejala mayor :
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.
e. Demensia / HIV ensefalopati.
Gejala minor :
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
b. Dermatitis generalisata.
c. Adanya herpes zostermultisegmental dan herpes zoster berulang.
d. Kandidias orofaringeal.
e. Herper simpleks kronis progresif.
f. Limfademopati generalisata.
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
h. Retinitis virus sitomegalo.
4.3. Penularan Infeksi HIV
Penularan HIV dapat terjadi melalui beberapa cara menurut (Zein, 2006), yaitu :
a. Seksual. Penularan melalui hubungan heteroseksual adalah yang paling
dominan dari semua cara penularan. Penularan melalui hubungan seksual
dapat terjadi selama senggama laki-laki dengan perempuan atau laki-laki
dengan laki-laki. Senggama berarti kontak seksual dengan penetrasi vagina,
anal (anus/dubur), oral (mulut) antara dua individu. Resiko tertinggi penetrasi
vagina atau anal yang tak terlindungi dari individu yang terinfeksi HIV.

Universitas Sumatera Utara

22

Kontak seksual langsung mulut ke penis (zakar) atau mulut ke vagina,
merupakan resiko rendah tertular HIV. Tingkatan resiko tergantung pada
jumlah virus yang keluar dan masuk ke dalam tubuh seseorang melalui “pintu
masuknya”, seperti adanya luka kecil pada alat kelamin, mulut, gusi, dan atau
penyakit gigi dan mulut yang diderita.
b. Melalui tranfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus
HIV
c. Melalui jarum suntuk atau alat kesehatan lain yang ditusukan atau tertusuk ke
dalam tubuh yang terkontaminasi dengan virus HIV, seperti jarum tato atau
pada pengguna narkoba suntik secara bergantian. Bisa juga terjadi ketika
melakukan prosedur tindakan medik ataupun terjadi sebagai kecelakaan kerja
petugas kesehatan.
d. Melalui transplantasi organ pengidap HIV
e. Penularan dari ibu ke anak. Resiko penularan tanpa intervensi pada umumnya
diperkirakan antara 25-40%.
HIV tidak menular melalui kontak sosial seperti:
1) Bersentuhan dengan pengidap HIV
2) Berjabat tangan dengan ODHA
3) Berciuman, bersin dan batuk
4) Melalui makanan dan minuman
5) Gigitan nyamuk dan serangga lainnya
6) Berenang bersama ODHA di kolam renang

Universitas Sumatera Utara

23

4.4. Cara hubungan seksual yang tidak aman
Menurut (Noviana, 2013) cara berhubungan seksual yang paling rawan bagi
penularan HIV dan AIDS adalah sebagai berikut:
a. Anogenital pasif. Penis mitra seksual pengidap HIV masuk ke lubang dubur
pasangan
b. Anogenital aktif. Penis masuk ke lubang dubur mitra seksual pengidap HIV
c. Genetia-genetia pasif. Penis mitra seksual pengidap HIV masuk ke vagina
d. Genetia-genetia aktif. Penis masuk ke vagina mitra seksual pengidap HIV
e. Senggama terputus dengan mitra pengidap HIV dan AIDS.
4.5. Kelompok resiko tinggi tertular HIV/AIDS
Berdasarkan cara penularan virus HIV, maka kelompok resiko tinggi tertular
HIV/AIDS menurut (Zein, 2006) adalah :
a. Pasangan seksual pengidap HIV
b. Pecandu narkoba suntik dan pasangan seksualnya
c. Wanita Pekerja Seksual

(WPS) dan pelanggannya,

serta pasangan

pelanggannya
d. Waria sebagai pekerja seks dan pelanggannya, serta pasangan pelanggannya
e. Petugas kesehatan yang berhubungan dengan darah dan sekret panderita
infeksi HIV
f. Penerima transfusi darah dan produk darah
g. Janin yang dikandung oleh ibu pengidap HIV

Universitas Sumatera Utara

24

4.6. Upaya pencegahan HIV/AIDS
a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual
Agar terhindar dari tertularnya HIV/AIDS seseorang harus berprilaku
seksual yang aman dan bertanggung jawab, yaitu hanya mengadakan
hubungan seksual dengan pasangan sendiri (suami/istri sendiri). Apabila
salah seorang pasangan sudah terinveksi HIV maka dalam melakukan
hubungan seksual harus menggunakan kondom secara benar. Melakukan
tindakan seks yang aman dengan pendekatan “ABC” (Abstinent, Be faithful,
Condom), yaitu tidak melakukan hubungan seksual secara bebas dan
berganti-ganti pasangan (Abstinent), bersikap setia dengan pasangan dalam
hubungan perkawinan ataupun dalam hubungan jangka panjang tetap (be
faithful), dan cegah dengan memakai kondom yang benar serta konsisten
untuk orang yang tidak mampu melaksanakan A dan B (use condom).
b. Pencegahan penularan melalui darah
1. Transfusi darah. Memastikan bahwa darah yang dipakai untuk
transfusi tidak tercemar HIV.
2. Alat suntik dan alat lain yang dapat melukai kulit. Desinfeksi atau
membersihkan alat-alat seperti jarum, alat cukur, alat tusuk untuk
tindik dan lain-lain dengan pemanasan atau larutan desinfektan.
3. Pencegahan penularan dari ibu ke anak :
Pengobatan : pengobatan pencegahan dapat mengurangi resiko infeksi
anak. Nevirapine diberikan dalam 1 dosis kepada ibu saat proses
persalinan, dan 1 dosis kepada anak dalam waktu 72 jam setelah

Universitas Sumatera Utara

25

kelahiran. Zidovudine diketahui dapat menurunkan resiko penularan
ketika diberikan pada ibu dalam 6 bulan terakhir masa kehamilan, dan
melalui infus selama proses persalinan, dan pada sang bayi selama 6
minggu setelah kalahiran.
Operasi caesar : proses persalinan melalui vagina dianggap lebih
meningkatkan resiko penularan dari ibu ke anak, sementara operasi
caesar telah menunjukan kemungkinan terjadinya penurunan resiko.
Serta dengan menghindari pemberian ASI
c. Melakukan skrining adanya antibodi HIV untuk mencegah penyebaran
melalui darah, produk darah, dan donor darah (Noviana, 2013).
4.7. Konseling HIV/AIDS
Konseling HIV/AIDS adalah suatu komunikasi bersifat rahasia antara klien
dan konselor. Bertujuan meningkatkan kemampuan menghadapi stres dan
mengambil keputusan berkaitan dengan HIV/AIDS. Dalam proses konseling
termasuk evaluasi resiko personal penularan HIV, fasilitas pencegahan perilaku
dan evaluasi penyesuaian diri ketika klien menghadapi hasil test HIV yang positif.
Manfaat konseling HIV :
a. Konseling pencegahan dan perubahan perilaku dapat mencegah penularan
HIV/AIDS
b. Diangnosa HIV mempunyai implikasi psikologis, sosial, fisik dan spiritual
c. HIV merupakan penyakit yang mengancam kehidupan dan terapinya seumur
hidup, maka akan sangat dibutuhkan konseling.
Tujuan konseling pada klien yang mempunyai resiko tertular HIV :

Universitas Sumatera Utara

26

a. Dengan konseling, maka konselor dan timnya akan memberikan dukungan
psikologis yang sangat berarti bagi ODHA maupun pasangan dan
keluarganya, sehingga sikap yang tidak mendukung akan hilang, berganti
sikap yang mendukung serta memberikan semangat untuk menghadapi
kehidupan ke depan.
b. Dengan memahami seluk beluk HIV/AIDS dengan benar, pencegahan
penularan akan diketahui dengan baik.
c. Klien akan dapat memastikan efektifitas dari rujukan kesehatan dan perawatan
yang diberikan (Zein, 2006).
4.8 Penularan HIV dari Ibu ke Anak
Penularan dari ibu hamil positif HIV dapat terjadi ketika bayi dalam
kandungan, bisa juga ketika melahirkan atau bisa juga ditularkan ketika menyusui
bayi tersebut. Penularan HIV dari ibu hamil ke anak bisa terjadi karena infeksi
melewati plasenta, saat proses persalinan atau menyusui. Sumber infeksi ini bisa
dari darah ibu, plasenta, cairan amnion dan ASI. Kemungkinan bayi tertular HIV
dari ibunya pada masa kehamilan adalah 15-20 persen. Sedangkan pada saat
kelahiran 10-15 persen dan pada saat menyusui adalah 15-20 persen.
Menurut Dr. Jean R. Anderson, HIV juga ditemukan dalam ASI dan
penelitian dalam tabung laboratorium menunjukkan HIV mampu untuk
menginfeksi sel epitel normal payudara manusia, HIV dapat dideteksi pada lebih
dari 50% contoh ASI yang diteliti. Kemungkinan penularan dari ibu ke bayi ini
sebesar 35% yang artinya dari setiap 10 kehamilan dari ibu yang positif terinfeksi
HIV ada 3 bayi yang lahir dengan HIV positif.

Universitas Sumatera Utara

27

pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa ibu-ibu yang mengikuti program
pencegahan penularan HIV diperbolehkan memberikan ASI kepada bayi yang
dilahirkannya dengan cara pemberiannya secara eksklusif dan dilindungi dengan
pemberian ARV selama jangka waktu menyusui. Negara maju menelaah
rekomendasi ini dan dampaknya terhadap praktik pencegahan transmisi HIV dari
ibu ke anak yang selama ini mereka lakukan. Untuk Inggris, pada pertemuan
terakhir bulan April 2010, BHIVA (British HIV Association) sedang membuat
panduan seandainya ada ibu HIV positif yang berencana memberi ASI pada
bayinya. Masalah penting yang harus diawasi untuk keselamatan bayinya adalah
dengan melakukan pemberian ARV pada ibu selama periode menyusui,
pengawasan lebih ketat untuk pemberian ASI eksklusif dan efek samping obat dan
diusahakan sesingkat mungkin serta pemeriksaan kadar virus setiap bulan. Oleh
karena itu syarat tambahan untuk ibu yang diijinkan memberikan ASI adalah
kepatuhan mengikuti program yang diberikan oleh dokter.
Cara apapun yang dipilih selalu ada konsekuensinya. Memberi ASI artinya
tetap memaparkan bayi pada kemungkinan tertular infeksi HIV. Tidak memberi
ASI menyebabkan tujuan menurunkan angka mortalitas tidak tercapai karena
anak-anak yang lahir dari program pencegahan justru meninggal karena berbagai
sebab akibat tidak memperoleh ASI.
Meskipun belum terbukti bahwa ASI yang ditanam di media tertentu mampu
memproduksi koloni virus HIV, akan tetapi DNA proviral pada ASI dapat
dideteksi dengan pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction). Prevalens
terdeteksinya partikel DNA HIV pada ASI dari kelompok ibu hamil pengidap

Universitas Sumatera Utara

28

HIV dalam 4 penelitian di Afrika berkisar antara 44 – 58%. Pada penelitian lain di
Kenya sel yang terinfeksi HIV memiliki kisaran 1/10.000 – 1/3 sel. Mereka yang
kadar sel terinfeksi HIV pada ASI sangat tinggi adalah ibu-ibu yang sudah pada
tahap stadium klinis HIV lanjut (ditandai dengan kadar sel CD4 sangat rendah)
dan defisiensi vitamin A (Kurniati, 2013).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Gambaran Pemberian ASI oleh Ibu dan Manajemen Laktasi di PTPN IV Kebun Bah Butong Kabupaten Simalungun

0 0 8

Gambaran Pemberian ASI oleh Ibu dan Manajemen Laktasi di PTPN IV Kebun Bah Butong Kabupaten Simalungun

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alat Pelindung Telinga (APT) 2.1.1 Definisi dan Jenis APT - Hubungan Faktor Internal dan Eksternal Petugas Ground Handling terhadap Penggunaan APT di Avron Bandara Polonia Medan Tahun 2013

0 1 33

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Faktor Internal dan Eksternal Petugas Ground Handling terhadap Penggunaan APT di Avron Bandara Polonia Medan Tahun 2013

0 0 9

Perilaku Ibu Nifas Tentang Pelaksanaan Pijat Oksitosin Dalam Meningkatkan Produksi ASI di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Johor

0 1 39

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Perilaku Ibu Nifas Tentang Pelaksanaan Pijat Oksitosin Dalam Meningkatkan Produksi ASI di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Johor

0 0 14

Perilaku Ibu Nifas Tentang Pelaksanaan Pijat Oksitosin Dalam Meningkatkan Produksi ASI di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Johor

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembayaran Dividen 2.1.1 Pengertian Dividen - Pengaruh corporate governace, struktur modal dan struktur kepemilikan manajerial terhadap pembayaran dividen Pada perusahaan investasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh corporate governace, struktur modal dan struktur kepemilikan manajerial terhadap pembayaran dividen Pada perusahaan investasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 1 7

Pengetahuan dan Sikap Kelompok Resiko Lelaki Seks Lelaki (LSL) Dalam Pencegahan Penularan HIV/AIDS

0 0 49