Teknologi Pendidikan dan Teknologi Pembe (1)

Teknologi Pendidikan dan Teknologi Pembelajaran
Oleh: Suhanto Kastaredja

A. Teknologi Pendidikan dan Teknologi Pembelajaran
Penelitian pengembangan untuk tesis ini adalah penelitian pengembangan dalam
teknologi pembelajaran yang merupakan bagian dari teknologi pendidikan. Pemahaman
tentang kedua definisi tersebut, teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran, menjadi
sangat penting untuk diperoleh dan diperjelas sehingga penelitian pengembangan ini dalam
koridor dan tahapan-tahapan yang benar.

1. Definisi Teknologi Pendidikan dan Teknologi Pembelajaran
Encyclopedia Electronic Wikipedia (tanpa tahun) memberikan definisi sebagai
berikut,” Educational technology "is the study and ethical practice of facilitating
learning and improving performance by creating, using and managing appropriate
technological processes and resources.” Rumusan definisi ini dapat dipahami bahwa
teknologi pendidikan adalah studi, pengetahuan atau ilmu dan praktek untuk
memfasilitasi belajar dan meningkatkan kompetensi dengan cara menciptakan,
menggunakan, mengelola proses dan sumber teknologi yang sesuai. Kemudian dalam
kamus Digital Pocket Oxford Dictionary (1994) diperoleh penjelasan bahwa kata
technologial bermakna systematic treatment yang artinya adalah perlakuan atau
prosedur yang sistematis.


1

Lebih lanjut dihubungkan dengan kegiatan guru dalam melaksanakan tugas
dikelas, istilah educational technology dalam Encyclopedia Electronic Wikipedia
diungkapkan dengan pemahaman yang lebih nyaman dan praktis, yaitu merupakan
seperangkat alat atau perangkat yang terbukti dapat membantu dalam memajukan
belajar siswa. Definisi yang dimaksud itu ditulis, ”For classroom teachers and those
who work with students, educational technology is more simply and comfortably
thought of as an array of tools that might prove helpful in advancing the learning of
students”.
Untuk menjelaskan pemahaman perbedaan secara tegas antara pengertian
”teknologi” secara umum dengan pengertian ”teknologi” dalam konteks pendidikan,
Encyclopedia Electronic Wikipedia memaparkan sebagai berikut:
It is important to consider the meaning of technology to understand the meaning of
the word in an educational context. The popular definition of technology refers to
machine or electronic systems. Under this definition, for example, a DVD player or
a Magnetic Resonance Imaging (MRI) system constitute technology. However, fields
such as Educational Technology rely on a broader definition of the word.
"Technology" can refer to material objects of use to humanity, such as machines,

hardware or utensils, but can also encompass broader themes, including systems,
methods of organization, and techniques. One who practices educational
technology is called an educational technologist.

Berdasarakan uraian di atas dapatlah diambil pemahaman bahwa istilah
technology dalam kontek pendidikan tidak hanya memberikan makna kata ’teknologi’
dalam arti populer, yaitu berupa benda-benda yang digunakan manusia seperti mesin,
perangkat keras, perkakas, namun dapat juga mencakup hal-hal yang lebih luas lagi,
termasuk sistem, metode-metode pengorganisasian dan juga teknik-teknik ,
manipulasi terhadap benda atau orang. Dengan demikian makna kata ”teknologi”
dalam kontek pedidikan memberikan cakupan yang lebih luas dibanding makna kata
yang dipahami secara umum.
2

Sejalan dengan pemahaman di atas, Ely (1996:l3) bahkan membuat ringkasan
kumpulan yang berisi enam belas definisi teknologi pendidikan. Dinyatakan pula
bahwa keenam belas bagian itu merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
karena satu definisi saja dipisahkan, definisi teknologi pendidikan dianggap tidak
memadai. Definisi pertama dinyatakan sebagai berikut: “Educational technology is
complex, integrated process involving people, procedure, ideas, devices, and

organization, for analyzing

problems and devising, implementing, evaluating, and

managing solutions to those problems, involved in all aspects of human learning”. Ini
artinya bahwa teknologi pendidikan ialah “Proses terpadu dalam penyelesaian
masalah-masalah yang terkait dengan berbagai aspek aktivitas kegiatan belajar
manusia” dan penyelesaian masalah tersebut dikelola melalui tahapan perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi.
Kemudian diberikan penjelasan tambahan “In educational technology, the
solutions to those problems take the form of all Learning Resources that are designed
and/or selected and/or utilized to bring about learning; these resources are identified
as Message, People, Material, Devices, Techniques, and Setting”. Penjelasan
tambahan ini memberikan pengertian bahwa aktivitas belajar dapat terselenggara
dengan adanya sumber-sumber belajar baik melalui proses perekayasaan, pemilihan
maupun pemanfaatan. Sumber belajar yang dimaksud bukan hanya men-cakup isi
mata pelajaran, bahan ajar dan me-dia pembelajaran melainkan lebih luas dari kedua
hal itu, yaitu mencakup pula orang, teknik dan setting.
Dalam model teknologi pendidikan, terdapat dua macam fungsi dan dua macam
proses. Fungsi pertama disebut Fungsi Pengembangan Pen-didikan dan yang kedua


3

Fungsi Pengelolaan Pendidikan. Hal tersebut diungkapkan (AECT, dalam Ely,
1996:13).
The processes for analyzing problems, and devising, implementing, and
evaluating solutions are identified by the Educational Development Functions of
Research-Theory, Design, Production, Evaluation-Selection, Logistic,
Utilization, and Utilization-Dissemination. The processes of directing or
coordinating one of more functions are identified by the Educational
Management Functions of Organizations Management and Personal
Management. The relationships among these elements are shown by the
Domain of Educational Technology Model.

Pernyataan di atas mengungkapkan bahwa di didalam teknologi pen- didikan
terdapat dua macam proses. Proses pertama ialah proses untuk menganalisis masalah
dan merencanakan, mengimplementasikan dan me-ngevaluasi solusinya dilakukan
oleh Fungsi Pengembangan Pendidikan yang meliputi Research-Theory, Design,
Production,


Evaluation-Selection,

Logistic,

Utilization,

and

Utilization-

Dissemination. Proses ke-dua, yang mengarahkan atau mengkoordinasi satu atau lebih
fungsi tersebut, ialah di-identifikasi oleh

Fungsi Pengelolaan Pendidikan

(Organizations Management and Personal Management) .
Kemudian dari elemen-elemen di dalam Domain Teknologi Pendidikan
diperoleh tiga definisi Teknologi Pendidikan, yaitu sebagai berikut:



Teknologi pendidikan ialah suatu teori bagaimna maalah-masalah
pembelajaran manusia didentifikasi dan dipecahkan.



Teknologi pendidikan ialah suatu bidang kajian yang terkait dedengan penerapkan proses yang rumit dan terpadu untuk menganalisis dan
memecahkan masalah-malah belajar manusia.
4

Teknologi pendidikan ialah suatu profesi yang dibangun atas upaya-



upaya yang diatur untuk mengimplementasikan teori, teknik intelek-tual dan
penerapan teknologi teknologi pendidikan secara mudah.
Dengan demikian, AECT memandang bahwa teknologi pendidikan dari sudut
yang lebih luas lagi, yaitu teknologi pendidikan dipandang sebagai teori, bidang
kajian dan profesi. Walaupun pandangan AECT telah memberikan tiga definisi yang
berbeda, sebagai teori, bidang kajian dan profesi, ketiganya me-memiliki fungsi yang
sama,


yaitu

mengidentifikasi

masalah-masalah

pembelajaran

manusia

dan

memberikan penyelesaian masalah tersebut melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan
dan evaluasi
Selanjutnya bagaimana dengan definisi instructional technology(IT)? Apakah
pengertian istilah ‘educational technology’ (ET) sama atau ber-beda dengan
pengertian instructional technology? AECT (dalam Elly, 1998: 3-5) sendiri dengan
tegas membedakan antara IT dan ET.


Pertama, perbedaan itu berdasar pada

kenyataan bahwa IT merupakan bagian dari ET. Kedua, per-bedaan ditunjukkan
melalui model ET dan IT. Pada ET, sebagaimana telah di- paparkan di atas,
identifikasi pemasalahan pendidikan serta pemecahan ma-salah tersebut mengambil
bentuk semua sumber belajar (Message, People, Materials, Devices, Techniques, dan
Setting). Sedangkan pada IT, identifikasi permasalahan pembelajaran serta pemecahan
masalah tersebut mengambil bentuk komponen-komponen sistem pembelajaran yang
terlebih dahulu di-susun dalam desain dan pemanfaatan dan komponen-komponen
pembelajaran tersebut dipadukan dalam sistem pembelajaran yang lengkap.
Komponen-komponen

tersebut

ialah

Message,

People,


Materials,

Devices,

Techniques, dan Setting Keduanya dalam ET dan IT, proses analisis permasalahan
5

serta pe-rencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pemecahan permasalahan dilakukan
oleh fungsi pengembangan, yaitu melalui Research-Theory, Design, Eva- luationSelection, Utilization, dan Utilization-Dessimination.
Ketiga, AECTpun menyimpulkan perbedaan ET dengan IT adalah terletak pada
parameter, atau batasan-batasan atau lingkup dalam pokok bahasan, sebagaimana
disebutkan AECT (dalam Ely, 1996: 5):
Thus, all of the instructional technology fits within the parameters of
educational technology, while all of educational technology does not fit within
the parameters of instructional technology. If instructional technology is in
operation, then of the accessity, so is educational technology, the reverse is
not necessarily true. In educational technology, the Development and
Management Functions are more inclusive because they apply to more
Learning Resource than just Instructional System Components – they include
all resources than can be used to facilitate learning.


Contoh untuk memperjelas uraian di atas dapat diberikan dengan masalah
rekrutmen tenaga pendidikan dan metode pembelajaran. Kedua masalah terut adalah
masalah yang harus diidentifikasi dan perlu dicarikan pemecahannnya oleh Fungsi
Pengembangan dan Pengelolaan. Kedua ma-salah masuk pada teknologi pendidikan
sedang masalah rekrutmen hanya bisa masuk pada teknologi pendidikan dan tidak
bisa masuk pada teknologi pem-belajaran. Jadi batasan atau lingkup bahasan
teknologi pendidikan lebih luas disbanding dengan teknologi pembelajaran.
Untuk memperjelas perbedaan antara ET dan IT, Wikipedia, the free
encyclopedia (tanpa tahun dan halaman) mengungkapkan:
“Educational technology "is the study and ethical practice of facilitating
learning and improving performance by creating, using and managing
appropriate technological processes and resources." [1] The term educational
technology is often associated with, and encompasses, instructional theory and
learning theory. While instructional technology covers the processes and
6

systems of learning and instruction, educational technology includes other
systems used in the process of developing human capability.


Berdasarkan pada definisi di atas, perbedaan ET dengan IT dipandang dari sisi
relevansi. ET terkait erat dengan teori pembelajaran dan teori belajar. Dengan
demikian, IT mengkaitkan proses dan sistem belajar dalam pembelajaran di kelas,
sedang ET lebih luas lagi mencakup sistem yang digunakan dalam proses
pengembangan kapasitas atau kemampuan manusia.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Razavi (2005, dalam Wikipedia) menyatakan
sebagai berikut:
“Educational technology covers instructional technology. It includes
instructional technology and the field study in human teaching and learning. So
educational technology is broader than instructional technology. Instructional
technology itself is consisted from two major parts. One is teaching technology
and another is learning technology. In the education industry, the term
"instructional technology" is frequently used interchangeably with "educational
technology."
Pernyataan Razawi di atas lebih mempertegas dan juga memperjelas perbedaan
ET dengan IT, ET memiliki jangkauan yang lebih luas dibanding dengan IT. Namun
demikian kedua istilah ET dan IT dalam dunia industri se-ringkali digunakan tanpa
ada perbedaan.
Akhirnya,

pembahasan

tentang

teknologi

pendidikan

dan

teknologi

pembelajaran di atas memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a Kata “teknologi” dalam teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran tidak hanya
memiliki pengertian sebagaimana kata

’teknologi’ dalam arti populer, yaitu berupa

benda-benda yang digunakan manusia seperti mesin, perangkat keras, perkakas,
7

namun dapat juga memiliki pengertian yang lebih luas lagi, yaitu termasuk sistem,
metode-metode pengorganisasian dan juga teknik-teknik manipulasi terhadap benda
atau orang.
b Teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran sama-sama merupakan proses
yang kompleks dan terpadu dan menganalisis permasalahan belajar manusia
serta mencari solusi untuk permasalahan

tersebut melalui perencanaaan,

pelaksanaan dan evaluasi. Dalam ET, identifikasi pemasalahan pendidikan serta
pemecahan masalah tersebut mengambil bentuk semua sumber belajar
(Message, People, Materials, Devices, Techniques, dan Setting), tetapi pada IT
identfikasi masalah pembelajaran serta pemecahan masalah tersebut mengambil
bentuk komponen-komponen sistem pembelajaran yang terlebih dahulu disusun
dalam desain dan pemanfaatan dan komponen-komponen pembelajaran tersebut
dipadukan dalam sistem pembelajaran yang lengkap.
c Adapun perbedaan ET dengan IT ialah bahwa ET memiliki lingkup yang lebih
luas dibanding dengan IT. Namun demikian kedua istilah ET dan IT dalam
dunia industri seringkali digunakan tanpa ada perbedaan.
d Teknologi pendidikan selain dipandang sebagai suatu teori bagaimana masalahmasalah belajar manusia diidentifikasi dan dipecahkan, teknologi pendidikan
dianggap sebagai

suatu disiplin ilmu yang terkait dengan penerapan suatu

proses yang kompleks dan terpadu untuk menganalisis dan memecahkan
masalah belajar manusia. Dan juga lebih dari itu teknologi pembelajaran
dipandang sebagai profesi yang memiliki tugas mengatur upaya-upaya untuk
mengimplementasikan teori, teknik intelektual
pembelajaran.
8

dan aplikasi teknologi

2. Hubungan antar Domain dalam Teknologi Pembelajaran
Dalam upaya memahami tugas bidang teknologi pembelajaran, diperlukan suatu
alat yang dapat mengatur berbagai hubungan yang muncul dengan adanya teori dan
praktek yang akan dikembangkan. Alat yang dimaksud menurut Carrier dan Sales
(dalam Ely, 1996:23) disebut taxonomies

atau classifications. Kata taxonomy

mengandung arti klasifikasi, yaitu klasifikasi yang berdasarkan pada hubungan.
Taxonomy yang paling populer adalah taxonomy tujuan pembelajaran yang dikenal
dengan ‘Bloom taxonomy’. Agar pengembangan teknologi pembelajaran memiliki
prospek yang baik untuk masa depannya, teknologi pembelajaran perlu memiliki
struktur taxonomy yang terbaru. .
Taxonomic structure juga memberikan banyak manfaat bagi teknologi
pembelajaran. Terkait dengan hal tersebut, Ely (1996:24) menyatakan sebagai berikut:
An up-to-date taxonomic structure is essential to the future development of
instructional technology and, in addition, the field needs a common conceptual
framework and agreement on technology. Without this framework it is difficult
to make generalization, or even to communicate easily across sub-fields.
Common understandings are especially critical since much of the work of
instructional technologist is done in teams and to be effective teams need to
agree upon terminology and conceptual framework.
Berdasarkan pada informasi di atas, dapat diambil pengertian bahwa struktur
taksonomi teknologi pembelajaran membangun persamaan pandang terhadap
kerangka kerja dan terminologi teknologi pembelajaran bagi tim

kerja teknologi

pembelajaran. Manfaat yang dapat diperoleh dari kedua hal, persamaan kerangka
kerja dan pemahaman dari istilah-istilah yang digunakan, ialah bahwa para akademisi
dan praktisi teknologi pem-belajaran dapat bekerja untuk menetapkan masalahmasalah penelitian dan para praktisi dapat bekerja dengan para teoriawan untuk
mengenali letak kelemahan teori dalam memberikan dukungan serta prediksi
9

penerapan teknologi pem-belajaran di dunia nyata. Tanpa adanya kejelasan penggolongan, fungsi serta bidang tugas, para praktisi akan mengalami ke-sulitan
dengan adanya bermacam-macam terminologi atau istilah.
Flesh (dalam Ely, 996: 24) merangkum empat manfaat pengemba-ngan
taksonami kompetensi manusia, yaitu:


membantu dalam telaah pustaka.



menciptakan kapasitas untuk menghasilkan tugas-tugas baru.



mengungkapkan kesenjangan dalam pengetahuan dengan menjelaskan
katagori dan sub-katagori pengetahuan,me-ngungkapkan kekurangan yang
terdapat pada penelitian dan meningkatkan diskusi/pembahasan dan
evaluasi.



membantu pengembangan teori dengan mengevaluasi sejauh mana teori
berhasil

mengolah

data-data hasil observasi yang dihasilkan oleh

penelitian teknologi pembelajaran.

Keempat manfaat dari taksonomi tersebut menunjukkan bahwa tak-sonomi akan
memungkinkan menemukan permasalahan pembelajaran, memungkinkan kerja tim
teknologi pembelajaran antara teoriawan dan praktisi dapat menjalankan tugasnya
secara baik dan mengolah hasil pe- nelitian se-cara tepat serta memanfaatkan hasilhasil penelitian untuk pe- ngembangan teori dan praktek dalam rangka identifikasi
dan pemecahan masalah pembelajaran secara efektif.
Terkait dengan pentingnya taxonomy dalam kerangka kerja baik untuk
akademisi dan praktisi, taxonomy teknologi pembelajaran telah menggunakan
pendekatan fungsional. Definisi AECT (dalam Ely, 1996: 25) mengusulkan agar
fungsi pengelolaan pembelajaran dan fungsi pengembangan pembelajaran beroperasi
10

pada

komponen-komponen

sistem pembelajaran.

Sedangkan

Ely (1996:26)

menunjukkan melalui bagan taxonomy teknologi pembelajaran dibedakan menjadi
lima domain (kawasan), yaitu domain Development, Utilization, Management,
Evaluasi dan Design.
Gambar 2.1

Sumber: Ely (1996:26) diterjemahkan oleh Baso (2005)
Menurut Ely (1996:25) hubungan antar domain tidaklah linear me-lainkan saling
mengimbangi atau saling mengisi. Sedangkan masing-masing domain memiliki
kawasan yang berlandaskan pada pengetahuan dan dijelaskan sebagai berikut:
“While researchers can concentrate on one domain, practitioners must often
fulfill in several or in all domains. Although they can focus on one domain or
area in the domain, researchers draw on the theory and practice from other
domain. For example, a practitioner working the development domain uses
theory from the design domain, such as instructional systems theory and
message design theory. A practitioner working in the design domain uses theory
about media characteristics from the development and utilization domains.”
Hubungan antar domain dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa ketika para
peneliti mefokus pada satu domain, para praktisi harus mengisi be-berapa domain atau
bahkan seluruh domain. Meskipun para peneliti dapat me-fokus pada satu domain
11

namun mereka dapat mendekati teori satu domain dan menggunakan domain yang
lain. Contoh yang diberikan bila seorang praktisi yang sedang bekerja pada domain
pengembangan dapat menggunakan teori dari domain desain, seperti teori sistem dan
teori desain pesan. Dengan penje-njelasan tersebut jelaslah bahwa kebebasan tetap
ada baik untuk para peneliti maupun praktisi yang

semuanya tergantung pada

kebutuhan mereka masing-masing yang ditunjukkan dengan arah panah. Hal tersebut
dapat dilihat pada berikut.

Gambar 2.2

Sumber : Ely (1996:26) diterjemahkan oleh Baso (2005)

Pada gambar 2.2 dapat pula ditunjukkan bahwa masing-masing domain
memberikan kontribusi terhadap teori dan praktek. Sebaliknya, teori dan praktek

12

tersebut dapat digunakan secara bersama oleh semua domain. Teori tentang feedback
digunakan oleh semua domain. Feedback dapat juga masuk ke strategi pembelajaran
dan desain pesan.
Dari uraian tentang hubungan antar domain dalam teknologi pem-belajaran di
atas, beberapa pemahaman penting dapat dihasilkan antara lain sebagai berikut:
a.

Teknologi pembelajaran memerlukan struktur taksonomi yang terbaru agar
operasi dan pengembangan di masa depan berjalan dengan baik. Se-lain itu
dengan adanya struktur taksonomi

pada teknologi pembelajaran dapat

membangun kerangka kerja dan pemahaman yang sama terhadap terminologi
akan mempermudah akademisi dan praktisi bekerja.
b.

Definisi AECT tahun 1977 telah mengusulkan taksonomi yang digunakan
dalam teknologi pembelajaran ialah taksonomi pen-dekatan fungional.

c.

Taksonomi teknologi pembelajaran membedakan fungsi komponen tek-nologi
pembelajaran menjadi lima domain, yaitu domain De-velopment, Utilization,
Management, Evaluasi dan Design.

d.

Masing-masing domain memberikan kontribusi terhadap teori dan praktek.
Sebaliknya, teori dan praktek tersebut dapat digunakan se-cara bersama oleh
semua domain.

3. Penelitian Pengembangan dalam Teknologi Pembelajaran
Domain pengembangan dalam teknologi pembelajaran secara historis adalah
berasal dari pengembangan media pembelajaran. Ely (1996:35) memberikan uraian
secara runtun tentang perkembangan media audio vi-sual. Dimulai dengan hadirnya
film. Film sebagai media pembelajaran dianggap suatu kemajuan yang sangat penting
dalam gerakan audio-visual dalam era teknologi pembelajaran modern, meskipun

13

buku teks serta ba- han ajar lainnya telah mendahului film. Sejarah telah mencatat
bahwa pe-manfaatan film dalam pembelajaran dimulai pada sekitar tahun 1930. Sebagai akibatnya katalog film pertama muncul; perpustakaan dan pe-rusahaan film
didirikan; studi ten-tang film dilakukan; organisasi seperti ”Masyarakat untuk
Pendidikan Visual” didirikan. Kemunculan dan ke-majuan pemanfaatan film dalam
pendidikan benar-benar mamacu pro-duksi bahan ajar, terbitnya berbagai jur-rnal
tentang bahan-bahan ini, seperti Education Screen (Layar Pendidikan) dan See and
Hear (Lihat dan Dengarkanlah).
Pada Perang Dunia ke dua, berbagai bahan diproduksi untuk la- tihan militer,
terutama film (Seater, dalam Ely, 1996:35) Setelah perang media televisi baru muncul.
Sebagai akibatnya, dana pemerintah berskala besar men-dukung proyek-proyek yang
menggabungkan media pembelajaran lain- nya. Pada akhir tahun 1950 dan awal
1960an bahan-bahan

pembelajaran ter-program dikembangkan. Tahun 1970an

komputer digunakan dalam pem-belajaran dan permainan simulasi menjadi kegitan
yang digemari di sekolah. Selama tahun 1980an, teori dan praktek dalam
pembelajaran berbasis komputer terselenggara dengan baik,

dan tahun 1999an

multimedia terpadu yang berbasis komputer mulai masuk ke da-lam domain
perkembangan.
Selanjutnya Ely(1996: 35) memberikan definisi lebih mefokus pa-da kata
pengembangan. Definisi tersebut menyatakan, “Development is process of translating
the design specification into physical form”.Pe- ngembangan merupakan proses
menterjemahkan spesifikasi desain ke dalam bentuk fisik. Dalam ilmu bangunan
pengembangan memujudkan rencana bangunan me-njadi bentuk fisik. Maka dalam
teori pembelajaran, ngembangan ialah me-wujudkan rencana pembelajaran ke dalam
bentuk sspesifikasi produk menjadi produk pembelajaran. Domain pengem-bangan

14

mencakup berbagai teknologi yang digunakan dalam pembe- lajaran. Namun
demikian, pengembangan tidak berdiri sendiri melainkan tetap terkait dengan fungsi
evaluasi, menajemen, de-sain dan peman-faatannya.
Pengembangan terkait dengan teori-teori dan praktek yang re-levan dengan
pembelajaran. Dengan kata lain pengembangan mengacu pada teori dan desain yang
harus merespon terhadap kebutuhan evaluasi, pemanfaatan dan pengelolaan yang
terus tumbuh dan berkembang. Pengembangan bukan hanya terdiri dari piranti keras
saja tetapi mencakup perpaduan antara piranti keras dan lunak.
Pengembangan mengacu pada desain pembelajaran. Desain pem- belajaran
memiliki tujuan memperbaiki dan meningkatkan kualitas pem-belajaran. Ini
dilakukan dengan memilih, menetapkan dan mengembang-kan metode pembelajaran
yang optimal untuk mencapai hasil pembe- belajaran yang diinginkan. Desain
pembelajaran, sebagai disiplin, juga se- ring disebut sebagai Ilmu Pembelajaran
mendekati tujuan ini (Degeng, 1989; Reigeluth, 1983). Kedua disiplin ini menaruh
perhatian pada perbaikan kualitas pembelajaran. Ilmu Pembelajaran mendekati tujuan
ini dengan berpijak pada teori pembelajaran descriptif, sedangkan desain
pembelajaran mendekati tujuan yang sama dengan berpijak pada teori pembelajaran
presktiptif (Degeng, 2005: 59).
Ely (1996:36) menyatakan,”Within the development domain, there exists a complex
interrelationship between technology and the theory which drive both message design
and instructional strategies. Basically, the development domain can be described:


the message which is content driven



the instructional strategy which is theory driven; and


the physical manifestation of technology – the hardware, software and
instructional materials.
15

Penjelasan di atas terkait dengan kerangka kerja pada domain pe-ngembangan
bahwa di domain pengembangan inilah pada hakekatnya terdapat saling keterkaitan
yang kompleks antara teknologi dan teori yang mengarahkan atau memandu desain
materi pelajaran serta strategi mata pelajaran. Bahkan teknologilah yang menjadi
kekuatan penggerak domain pengembangan. Domain pengembangan diatur oleh
empat katagori, yaitu teknologi cetak; yang memberikan kekuatan dasar katagori
yang lainnya, teknologi audio visual, teknologi berbasis computer dan teknologi
terpadu.
Namun demikian Baso (2000:7) menjelaskan bahwa teknologi ti-dak dapat
sepenuhnya di pandang sebagai suatu yang dapat menggantikan pekerja (guru, siswa),
tetapi diartikan untuk meningkatkan member- dayakan mereka untuk pemenuhan
lebih baik atas potensi dan harkat me-reka sebagai manusia. Teknologi berperan untuk
meningkatkan kese- jahteraan manusia dengan menerapkan intelegensi manusia
berbasis pe-ngetahuan.
Bagaimana pandangan atau pemikiran tentang penelitian pengem- bangan
dalam teknologi pembelajaran? Dalam penelitian pengembangan

teknologi

pembelajaran ada dua pemikiran yang berbeda. Perbedaan itu terkait dengan apa yang
seharusnya penelitian pengembangan teknologi pembe-lajaran semestinya lakukan.
Satu kelompok pemikir memandang bahwa praktek penelitian pengembangan untuk
pengembangan teori ti-daklah tepat dengan alasan bahwa penelitian pengembangan
teori bukan wilayah teknologi pembelajaran karena penelitian pengembangan pada
teknologi pembelajaran adalah bidang mengidentifikasi permasalahan pembelajaran
dan mencari so-lusi terhadap permasalahan tersebut.
Satu pemikiran yang lain justru menekan tentang perlunya penelitian dalam
teori. Reeves (2000) menyatakan adanya perbedaan sebagai berikut, ”One of the most

16

obvious disputes is between those who view IT as a branch of science or technology and
those who regard IT as more akin to a craft or even an art (Clark & Estes, 1998). Another
controversy concerns whether instructional technologists should conduct basic research to
build generalizable theories or pursue applied research to solve specific problems”.

Namun terdapat juga pemikiran yang lebih moderat, yaitu pemikiran yang
memadukan dua pemikiran yang berbeda. Pemikiran tersebut memandang tujuan
penelitian teknologi pembelajaran memiliki tujuan ganda. Ini sesuai dengan pemikiran
penelitian pengembangan yang diungkapkan oleh Akker

(dalam

Revees, 2000: 8-9).

More than most other research approaches, development research aims at making
both practical and scientific contributions. In the search for innovative ‘solutions’ for
educational problems, interaction with practitioners…. is essential. The ultimate aim
is not to test whether theory, when applied to practice, is a good predictor of events.
The interrelation between theory and practice is more complex and dynamic: is it
possible to create a practical and effective intervention for an existing problem or
intended change in the real world? The innovative challenge is usually quite
substantial, otherwise the research would not be initiated at all. Interaction with
practitioners is needed to gradually clarify both the problem at stake and the
characteristics of its potential solution. An iterative process of ‘successive
approximation’ or ‘evolutionary prototyping’ of the ‘ideal’ intervention is desirable.
Direct application of theory is not sufficient to solve those complicated problems.

Dalam penelitian pengembangan teknologi pembelajaran, ker- jasama antara
peneliti dan praktisi ialah esensi penelitian pengembangan yang bertujuan
memberikan kontribusi praktis dan ilmiah. Penelitian pe-ngembangan bukan hanya
mengetes teori. Lebih dinamis dari itu karena dengan melihat kenyataan bahwa
penelitian pengembangan mempunyai tujuan ganda, teoritis dan praktis, sebagaimana
argumentasi yang terdapat pada pernyataan di atas. Tantangan pengembangan solusi
inovatif sebagai intervensi pembelajaran benar-benar dibutuhkan agar masalah yang
ter-dapat di dunia nyata terselesaikan. Ini artinya proses intervensi yang berulang-

17

ulang untuk menuju mendekati kondisi ideal. Teori saja ternyata tidak memadai untuk
mengatasi masalah yang rumit.
Dari uraian di atas dapat diperoleh pemahaman tentang penelitian
pengembangan dalam teknologi pembelajaran.
a. Domain pengembangan dalam teknologi pembelajaran secara historis adalah
berasal dari pengembangan media pembelajaran kemudian pembelajaran
terprogram, dengan teknologi audio visual. Pada tahun 1990an teknologi
multimedia terpadu yang berbasis komputer mulai masuk ke dalam domain
perkembangan.
b.

Domain pengembangan mencakup berbagai teknologi yang digunakan dalam
pembelajaran. Namun demikian, pengembangan tidak berdiri sendiri
melainkan tetap terkait dengan fungsi evaluasi, menajemen, desain dan
pemanfaatannya.

c. Pengembangan dalam teknologi pembelajaran mengacu pada desain
pembelajaran. Desain pembelajaran memiliki tujuan mem-perbaiki dan
meningkatkan kualitas pembelajaran. Ini dilakukan dengan memilih,
menetapkan dan mengembangkan metode pem- belajaran yang optimal untuk
mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.
d. Dalam penelitian pengembangan teknologi pembelajaran, kerjasama antara
peneliti dan praktisi ialah esensi penelitian pengembangan dan memiliki
tujuan untuk memberikan kontribusi praktis dan ilmiah.

B.

Kurikulum Bahasa Ingris SMA dan MA Berbasis Kompetensi

18

Kurikulum yang diberlakukan di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah
Aliyah (MA) sejak tahun 2006 disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Namun demikian pengembangan dari KTSP ini tidak lepas dari Kurikulum yang berbasis
Kompetensi 2004 (KBK), atau dengan kata dapat dinyatakan bahwa roh dari KTSP ialah
KBK. Oleh sebab itu konsep tentang kompetensi pada KTSP tidak berbeda dengan KBK
yang proses kelahirannya tidak lepas dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah. Isi dari UU tersebut tidak lain mengamanatkan tentang ada-nya standar nasional pendidikan yang berkenaan dengan standar isi,
proses, dan kompetensi lulusan serta penetapan kerangka dasar dan standar kurikulum oleh
pemerintah. Upaya penyempurnaan kurikulum ini guna mewujudkan peningkatan mutu dan
relevansi pendidikan yang h arus dilakukan secara menyeluruh mencakup pengembangan
dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlak, budi pekerti,
pengetahuan, keterampilan, kesehatan, seni dan budaya pada satuan pendidikan SMA & MA.
Konsep rasionalisasi KTSP bahasa Inggris tidak dapat lepas dari KBK bahasa Inggris
2004 yang mencakup empat hal, yaitu :1. Model Kompetensi 2. Model Bahasa 3. Tingkat
Literasi (Kewicaraan dan Keaksaraan) 4. Perkembangan Kompetensi Berbahasa dan 5.
Standar Kompetensi. Berikut ini pembahasan lima hal dimaksud.

1.

Model Kompetensi Komunikatif
Dalam memberikan gambaran kongkrit tentang kompetensi berbahasa Inggris

dan aspek-aspeknya sebagai alat berkomunikasi KBK mereferensi pada model yang
dikemukakan oleh Celce-Murcia, Dornyei dan Thurrell (1995) yang kompatibel
dengan pandangan teoritis bahwa bahasa adalah komunikasi, bukan sekedar
seperangkat aturan. Implikasinya adalah bahwa model kompetensi berbahasa yang
dirumuskan adalah model yang menyiapkan siswa untuk berkomunikasi dengan

19

bahasa untuk berpartisipasi dalam masyarakat pengguna bahasa. Model ini
dirumuskan sebagai Communicative Competence atau Kompetensi Komunikatif (KK)
yang direpresentasikan dalam Celce-Murcia et al. (1995:10) sebagai berikut:

Gambar 2.3: Model Kompetensi Komunikatif

Sumber : Depdikbud, 2003:6

Keterkaitan masing-masing aspek kompetensi berbahasa diurai-kan sesuai
peran serta fungsinya. Posisi Discourse Competence atau Kompetensi Wacana
(KW) berada di tengah dan didukung oleh tiga komptensi Linguistic Competence
atau Kompetensi Kebahasaan (KK), Socio-cultural Competence atau Kompetensi
Sosial Budaya (KSB) dan Actional Competence atau Kompetensi Tindak Tutur
(KTT), bahasa lisan, dan Kompetensi Retorika (KR), untuk bahasa tulis. Sedang
Strategic Competence atau Kompetensi Strategi (KS) Representasi skematik di
20

Gambar 2.3 menunjukkan bahwa kompetensi utama yang dituju oleh pendidikan
bahasa adalah Discourse Competence atau Kompetensi Wacana (KW). Artinya,
jika seseorang berkomunikasi baik secara lisan maupun tertulis orang tersebut
terlibat dalam suatu wacana. Yang dimaksud dengan wacana ialah sebuah
peristiwa ko-munikasi yang dipengaruhi oleh topik yang dikomunikasikan, hubungan interpersonal pihak yang terlibat dalam komunikasi dan jalur komunikasi
yang digunakan dalam satu konteks budaya. Kompetensi wacana hanya dapat
diperoleh jika siswa memperoleh kompetensi pendukungnya seperti Kompetensi
Linguistik (Linguistic Competence), Kompetensi Tindak Tutur untuk bahasa lisan
atau Kom- petensi Retorika untuk bahasa tulis (keduanya tercakup dalam Actional
Competence), Kompetensi Sosiokultural (Sociocultural Competence), dan
Kompetensi Strategis (Strategic Competence). Implikasi pe-dagogisnya adalah
bahwa perumusan kompetensi dan indikator-indikator bahasa Inggris perlu
didasarkan kepada komponen-komponen tersebut di atas untuk menjamin bahwa
kegiatan pendidikan yang dilakukan mengarah kepada tercapainya satu
kompetensi utama,

yakni kompetensi wacana. Oleh karenanya, indikator-

indikator dalam kurikulum ini dirumuskan berdasarkan kelima komponen dalam
model kompetensi ini. ( KBK Bahasa Inggris SMA & MA).
2.

Model Bahasa
Model ke dua adalah model bahasa. Selain model kompetensi, sebuah
model bahasa yang memandang bahasa sebagai komunikasi atau sebagai sistem
semiotik sosial (Halliday 1978) juga digunakan da-lam kurikulum ini. Menurut
pandangan ini, ketika seseorang berpikir tentang bahasa, minimal ada tiga aspek
penting yang harus diperhitungkan, yakni konteks, teks, dan sistem bahasa.
Hubungan konteks, teks dapat digambarkan sebagai berikut:
21

Gambar 2.4: Culture Genre

Sumber : Depdikbud, Kurikulum KBK Bahasa Inggris SMA, hal; 8

a. Konteks dalam Berkomunikasi
Pengggunaan bahasa selalu tidak dapat dilepaskan kontek. Bahasa terjadi dan
hidup dalam konteks yang dapat berupa apa saja yang mempengaruhi,
menentukan dan terkait dengan pilihan-pilihan bahasa yang dibuat seseorang
ketika menciptakan dan menafsirkan teks. Dalam konteks apapun, orang
menggunakan bahasa untuk melakukan tiga fungsi utama:


Fungsi gagasan (ideational function), yakni fungsi bahasa
untuk mengemukakan atau mengkonstruksi gagasan atau
informasi;



Fungsi interpersonal (interpersonal function), yakni fungsi
bahasa untuk berinteraksi dengan sesama manusia yang
mengungkapkan tindak tutur yang dilakukan, sikap, perasaan dsb.;
22



Fungsi tekstual (textual function), yakni fungsi yang mengatur
bagaimana teks atau bahasa yang diciptakan di-tata sehingga tercapai
kohesi dan koherensinya, sehingga mudah difahami orang yang
mendengar atau membacanya.

Implikasi pedagogisnya adalah bahwa sebuah pengembangan program
bahasa sewajarnya mengarahkan siswa untuk mampu mengung-kapkan nuansanuansa makna ideasional, makna in-terpersonal, dan makna tekstual. Dalam
kurikulum ini, nuansa makna tercermin dalam rumusan kompetensi dasar tiap
keterampilan ber-bahasa dan indikator-indikatornya. Makna gagasan, misalnya,
akan do-minan mewarnai bahasa tulis, makna interpersonal akan dominan
mewarnai bahasa lisan, dan makna tekstual mewarnai kedua ‘modes’ bahasa
tersebut dalam hal penataan informasi yang terkandung di da-lamnya.
Dalam model ini terdapat dua macam konteks: konteks budaya (context of
culture) dan konteks situasi (context of situation). Sebuah konteks budaya
melahirkan banyak macam teks yang dikenal dan diterima oleh anggota
masyarakatnya sebab susunan dan bahasa yang digunakan menunjang tujuan
komunikatif teks tersebut. Misalnya, or-orang mengenal dan menggunakan teks
‘resep masakan’ sebagaimana yang ditemukan di buku-buku resep. Maka ketika
orang mendengar kata ‘resep’ ia akan membayangkan susunan teks dan bahasa
yang la-zim digunakan dalam budayanya. Begitu juga jika ia mendengar kata
‘cerita pendek’ yang berbeda dari resep. Jenis teks ini disebut genre. Oleh
karenanya, jenis-jenis teks yang diwarnai oleh berbagai tujuan komunikatif,
penataan bagian-bagian teks, dan fitur-fitur linguistik ter-tentu selayaknya menjadi
perhatian setiap program pendidikan bahasa. Ini dimaksudkan agar siswa bukan

23

hanya menggunakan kalimat bahasa Inggris, melainkan juga menata teksnya
dengan cara yang lazim di-gunakan oleh penutur aslinya. Konsep genre ini
mewarnai jenis teks yang disarankan oleh kurikulum ini. Konteks situasi juga
mendapatkan perhatian dalam kurikulum ini. topik yang dibicarakan (field), hubungan interpersonal antara pengguna bahasa (tenor) dan jalur ko- munikasi (lisan
atau tertulis) yang digunakan (mode). Ketiga faktor ini menentukan apakah
seseorang memilih berbahasa formal/informal, akrab/tidak akrab dsb. Kurikulum
ini juga diwarnai oleh konsep ter-sebut agar siswa mampu berkomunikasi sesuai
dengan konteks yang dihadapinya.

b. Penciptaan Teks
Kegiatan komunikasi verbal pada dasaranaya adalah proses penciptaan
teks, baik lisan maupun tertulis, yang terjadi karena orang menafsirkan dan
menanggapi teks dalam sebuah wacana. Teks adalah produk dari konteks situasi
dan konteks budaya. Ketika seseorang berbahasa Inggris, ia menggunakan kosa
kata bahasa Inggris dan juga menggunakan tata bahasanya agar ia difahami oleh
penutur aslinya. Anggapan bahwa berbahasa secara komunikatif tidak perlu terlalu
memperhatikan tata bahasa. Akan tetapi, sering tidak disadari bahwa kesalahan
bertata bahasa menimbulkan banyak miskomunikasi yang

barangkali tidak

berdampak serius dalam percakapan santai, tetapi bisa berdampak sangat serius
bahkan berakibat fatal dalam konteks formal atau akademis.

24

KBK Bahasa Inggris SMA menekankan perlunya penguasaan tata
bahasa karena tujuan pembelajaran di sekolah menengah adalah menyiapkan
lulusan untuk masuk ke perguruan tinggi. Belajar bahasa Inggris di SMA adalah
untuk belajar dalam konteks penggunaan bahasa yang serius. Targetnya adalah
memberikan

kemampuan

berbahasa

Inggris

yang

berterima

di

tingkat

internasional. Kata ‘berterima’ di sini berarti bahasa Inggris yang gramatikal yang
menggunakan kaidah-kaidah yang dikenal oleh penutur bahasa tersebut. Maka
teks bahasa Inggris yang diciptakan siswa seharusnya merupakan teks yang
berterima, yang gramatikal, yang tertata dengan baik.
3.

Tingkat Literasi (Kewicaraan dan Keaksaraan)
Pertimbangan teoretis dan praktis lain yang mewarnai kurikulum ini adalah

tingkat literasi yang ditargetkan di setiap jenjang. Artinya, perlu ditetapkan tingkat
literasi bahasa Inggris apa yang diharapkan dicapai oleh lulusan SMP dan SMA.
Menurut Wells (1987), terdapat empat tingkat literasi: performative, functional,
Informational, dan epistemic. Pada tingkat performative, orang mampu membaca dan
menulis, dan berbicara dengan simbol-simbol yang digunakan; pada tingkat
functional orang diharapkan dapat menggunakan bahasa untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari seperti membaca bagian surat kabar yang diminati, membaca
manual; pada tingkat informational orang diharapkan dapat mengakses pengetahuan
dengan bahasanya; sedangkan pada tingkat epistemic orang diharap dapat
mentransformasi pengetahuan dalam bahasa tertentu.
Dalam kurikulum ini, lulusan SMP ditargetkan untuk dapat mencapai
tingkat functional untuk tujuan komunikasi “survival”, sedangkan lulusan SMA
diharapkan dapat mencapai tingkat informational karena mereka disiapkan untuk
masuk ke perguruan tinggi. Tingkat literasi epistemik dianggap terlalu tinggi untuk

25

dapat dicapai oleh siswa SMA, mengingat kondisi obyektif pendidikan di
Indonesia maupun posisi bahasa Inggris di negeri ini sebagai bahasa asing. Oleh
karena literasi adalah fokus perkembangan pembelajaran hahasa Inggris di dalam
kurikulum ini maka jenis-jenis teks yang disarankan adalah jenis yang mendukung
tercapainya tingkat literasi akademik. Bahan-bahan bacaan yang dikembangkan
diharapkan meliputi genre yang ditetapkan untuk tujuan literasi ini.

4.

Perkembangan Kompetensi Berbahasa: Bahasa Lisan ke Tulis
Kurikulum ini adalah terdapatnya kontinum yang berangkat dari bahasa
lisan dan semakin meningkat ke bahasa tulis, dan untuk masing-masing ragam,
dari tingkat sederhana ke tingkat yang lebih rumit. Alasannya, secara alamiah
pemerolehan bahasa didahului oleh bahasa lisan, dan bahasa tulis sangat sulit
berkembang jika bahasa lisan belum dikuasai. Penelitian pemerolehan bahasa
menunjukkan bahwa apa yang diperoleh anak pada masa awal belajar bahasa
adalah bahasa yang fungsional, yang bersifat penyerta tindakan (language
accompanying action). Ini terkadang disebut sebagai “kurikulum alamiah”, yakni
belajar bahasa lisan dahulu kemudian bahasa tulis, yang sering tidak sejalan
dengan kurikulum sekolah. Pertimbangan tersebut mewarnai kurikulum ini dalam
hal penekanan pada bahasa lisan di kelas 1 SMP dan semakin meningkat

ke

penekanan bahasa tulis di kelas 3 SMA. Kedua modes (ragam) berbahasa ini
berbeda dalam beberapa hal. Bahasa lisan diwarnai oleh banyaknya kata kerja,
rumitnya hubungan antar kalimat dan banyaknya fitur-fitur interaksional seperti
gambits dan penanda wacana lainnya, sedangkan bahasa tulis diwarnai oleh
padatnya leksikon, banyaknya dan rumitnya susunan frasa nomina. Menyadari
perbedaan tersebut, kurikulum ini menonjolkan fitur-fitur kedua macam bahasa

26

dalam kompetensi dasar serta indikatornya dengan harapan para penggunanya
memperhatikan kekhasan setiap ragam. Perhatian ini diperlukan agar tidak terjadi
gejala “speaking like a book” dan “writing like casual conver-sation” meskipun
dalam kontinum antara bahasa lisan dan tulis terdapat daerah abu-abu yang tidak
dikotomis. Berdasarkan pandangan tersebut, pendidikan bahasa Inggris di SMP
masih diarahkan ke gaya bahasa lisan yang kalimat-kalimatnya pendek dan tulisan
yang dihasilkan siswa juga masih menggunakan “bahasa lisan yang ditulis” sejauh
tulisan tersebut sudah utuh, menyatu atau koheren. Di tingkat SMA, bahasa lisan
dikembangkan dengan realisasi linguistik yang semakin formal dan rumit yang
ditandai dengan variasi ungkapan interpersonal yang melibatkan gambits, modals
dsb. Hasil tulisan siswa pada kelas tiga SMA diharapkan sudah menggunakan
gaya bahasa tulis. Ragam bahasa melibatkan variasi struktur noun phrase
(structure of modification), variasi parts of speech

di awal kalimat (Theme),

kalimat majemuk setara dan bertingkat dsb. Dengan demikian, gradasi tingkat
kesulitan tidak terletak pada jumlah kata dalam wacana atau jumlah kata yang
dapat ditulis siswa dalam tulisan, melainkan pada kualitas wacana yang dibahas
atau dihasilkan oleh siswa. Sebuah tulisan pendek yang terstruktur dengan baik
dan direalisasikan dengan bahasa yang baik layak mendapat nilai yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tulisan yang panjang tetapi tidak menghasilkan kesatuan
yang mudah difahami.

5.

Standar Kompetensi Bahasa Inggris SMA dan MA

Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia mengalami
perkembangan dan perubahan secara terus menerus sebagai akumulasi respon

27

terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi selama ini serta pengaruh
perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan
budaya. Hal ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional termasuk
penyempurnaan kurikulum.
Penyempurnaan kurikulum yang telah dilakukan mengacu pada UndangUndang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan
Pemerintah yang terkait yang mengamanatkan tentang adanya standar nasional
pendidikan yang berkenaan dengan standar isi, proses, dan kompetensi lulusan
serta penetapan kerangka dasar dan standar kurikulum oleh pemerintah. Upaya
penyempurnaan kurikulum ini guna mewujudkan peningkatan mutu dan relevansi
pendidikan yang harus dilakukan secara menyeluruh mencakup pengembangan
dimensi manusia Indonesia seutuhnya, yakni aspek-aspek moral, akhlak, budi
pekerti, pengetahuan, keterampilan, kesehatan, seni dan budaya. Pengembangan
aspek-aspek tersebut bermuara pada peningkatan dan pengembangan kecakapan
hidup yang diwujudkan melalui pencapaian kompetensi peserta didik untuk
bertahan hidup serta menyesuaikan diri dan berhasil dalam kehidupan. Kurikulum
ini dikembangkan lebih lanjut sesuaidengan kebutuhan dan keadaan daerah dan
sekolah. Dokumen kurikulum 2004 terdiri atas Kerangka Dasar Kurikulum 2004,
Standar Bahan Kajian Standar Kompetensi Mata Pelajaran yang disusun untuk
masing-masing mata pelajaran pada masing-masing satuan pendidikan. Dokumen
ini adalah Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Inggris untuk satuan
pendidikan SMA & MA. Dengan diterbitkan dokumen ini maka diharapkan
daerah dan sekolah dapat menggunakannya sebagai acuan dalam pengembangan
perencanaan pembelajaran di sekolah masing-masing. (Kurikulum Bahasa Inggris
SMA & MA).

28

C.

Pembalajaran Bahasa Inggris Berpendekatan Teks ( Genre Approach)

Model pembelajaran berpendekatan teks adalah model pembalajaran bahasa Inggris
yang akan membangun kompetensi komunikasi siswa. Dalam pembelajaran ini maka
organisasi bahan ajar atau kegiatan siswa diwujudkan dalam dua siklus, lisan dan tulis. Dan
masing-masing siklus melalui empat tahap. Ini seperti dinyatakan oleh Rini dkk. (2007, hal;
iii’)
“As for the organization), each unit starts with BKOF (Building Knowledge of the
Text ) comprising Sharing knowledge, Vocabulary in Context as well as Grammar
Focus. MOT (Modeling of the Text) which follows focuses on the discussion of the
context and the organization of the text. The JC (Joint Construction) is where students,
having been divided into groups of 3 or 4, recompose each text in simplified form
based on the cues that are provided following given material. The last part, IC
(Independent Construction) is when each individual student at home to simplify the
given simplified complementary reader by answering the guided questions presented
prior to it.
Dari model ini, baik dalam sikulus lisan maupun tulis, pada awalnya

siswa dipandu

dalam proses memahami tentang teks yang akan dipelajari. Pemahaman itu meliputi (a)
struktur teks, (b) fungsi komunikasi teks, (c) grammar dan vocabulary (lexicogrammatical)
yang terdapat dalam teks yang menjadi targetnya. Tahap ini dikenal dengan penanaman
pemahaman (BKOF). Tahap kedua siswa diberikan contoh teks yang dipelajari. Tahap ini
dikenal dengan modeling (MOT). Dalam tahap ini kegiatan siswa masih dipandu oleh guru
untuk mengetahui lebih kongkrit tentang teks yang dipelajari dengan cara menganalisis
model teks. Dari kegiatan menganalisis teks, siswa sudah mendapat bekal yang cukup untuk
berlatih menyusun teks sendiri. Kemudian dilanjutakan tahap ketiga saat siswa dilepas oleh
guru untuk mulai

berlatih menyusun teks yang menjadi targetnya secara bekelompok

(JCOT). Peran guru memberikan bimbingan, arahan dan

penguatan

bila siswa

memerlukannya saja. Dalam kegiatan ini siswa akhirnya menghasilkan teks dan

29

dipresentasikan dihadapan kelompok lain, yang tugas kelompok lain itu ialah memberikan
koreksi atau komentar sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Tahap terkahir, tahap
keempat, (ICOT) siswa mempersiapkan di rumah untuk berlatih menghasilkan teks yang
dipresentasikan di hadapan guru pada pertemuan berikutnya. Di sinilah guru memberikan
feedback, baik untuk penilain maupun koreksi.
Untuk mengetahui lebih rinci tentang model Genre Approach, akan disajikan 1. Definisi
Pembelajaran Genre Approach, 2. Karakteristik Pembelajaran Genre Approach

dan

3.

Aktivitas Siswa dalam Genre Approach

1. Definisi Pembelajaran Berpendekatan Teks
Pembelajaran beperpendekatan teks didefinisikan sebagai pembelajaran yang
mendasarkan pada kenyataan bahwa belajar bahasa diarahkan berdasarkan premis
orang bisa dapat berbicara (listening-speaking) setelah mendengar dan orang dapat
menulis setelah membaca.(reading-writing) Pembelajaran ini juga berpijak bahwa
dalam realitas sosial kegiatan berkomunikasi baik lisan maupun tulis ialah pada
dasarnya membangun teks. Dan strategi yang diterapkan ialah strategi kontinum. Dari
teks yang simple ke komplek, dari yang teks yang pendek ke yang lebih panjang

2. Karakteristik Pembelajaran Berpendekatan Teks
Proses atau tahapan-tahapan kegiatan pembelajaran memperlihatkan ciri-ciri sebagai
berikut dan dipadukan dalam rangkaian pembelajaran Genre Approach. Ciri-ciri
dimaksud adalah sebagai berikut.
a.

Pembanggunan pengetahuan siswa tetang struktur teks. Ini upaya awal
membangun kompetensi kognitif sebagai landasan awal siswa me-nguasai
ketrampilan atau melatih ketrampilan berkomunikasi.

30

b.

Modeling, pemberian contoh teks dan upaya penguatan terhadap
pengetahuan yang sudah dimiliki siswa.

c.

Cooperative learning, siswa akan merasa nyaman diberi kesempatan
berlatih dengan temannya sehingga kesulitan atau hambatan rasa malu akan apa
yang belum atau sulit difahami atau dikerjakan dapat diatasi secara bersama-sama
dengan temannya namun guru tetap siap untuk memberikan fasilitas/bantuan.

d.

Indivual learning, siswa akhirnya dituntut untuk mampu mandiri
berkomunikasi (monolog) dan berpasangan (dialog).
Dalam desain kegiatan pembelajaran bahasa, co-operative learning merupakan
strategi yang tepat karena memberika