Laporan Hewan dan Lingkungan rumahku
Laporan Ekologi Hewan
Pendidikan Biologi 2015
Maret 2018
HEWAN DAN LINGKUNGAN
Azizah Nur Halimah*
*K4315010/Kelas B/ Pendidikan Biologi 2015
Email : [email protected]
ABSTRAK
Percobaan ini bertujuan untuk Mengetahui perubahan gerakan operculum dan respon tingkah laku
Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap perubahan suhu air, lingkungan air yang tercemar dan perubahan
salinitas air. Parameter yang diamati adalah tingkah laku ikan, dan gerakan membuka menutup
operkulum ikan setiap satu menit sekali selama 5 menit. Percobaan dilakukan dengan memasukkan
ikan ke dalam toples masing-masing berisi air panas (30 oC dan 40oC), air dingin (10oC dan 20oC), air
deterjen (konsentrasi 1 ppm, 25 ppm, 50 ppm, 75 ppm), air garam (0,03%; 3%; 5%; 10%). Langkah
selanjutnya mengukur gerakan operkulum dan respon tingkah laku ikan. Hasil percobaan
menunjukkan ikan mas (Cyprinus carpio) pada perlakuan suhu 100C, 200C, 300C dan 400C secara
berurutan adalah 52,2 kali, 117,2 kali, 165,8 kali dan 214,6 kali. Rata-rata gerakan operkulum ikan
pada perlakuan pencemaran air yaitu dengan konsentrasi 1 ppm, 25 ppm, 50 ppm dan 75 ppm secara
berurutan adalah 101,8 kali, 117 kali, 87,2 kali dan 43 kali. Hasil perhitungan gerakan operkulum ikan
pada perlakuan salinitas menggunakan larutan garam konsentrasi 0,03%; 3%; 5%;10% secara
berurutan adalah 106,8 kali, 117 kali, 87,2 kali dan 42 kali. Ikan mas (Cyprinus carpio) dapat hidup
pada batas toleransi tertentu sesuai dengan Hukum Toleransi Shelford yaitu dengan suhu 25-30 0C,
apabila berada pada kondisi dibawah / diatas toleransi tersebut, maka ikan akan mengalami stress
fisiologis dan akhirnya mati.
Kata Kunci: hewan, lingkungan, ikan mas (Cyprinus carpio), Hukum Toleransi Shelford.
1.
PENDAHULUAN
Ekologi merupakan pembelajaran scientifik tentang distribusi dan kelimpahan organisme.
(Nelly, 2013). Kelimpahan organisme sangat dipengaruhi perubahan kondisi lingkungan,
dalam keadaan ini setiap organsime harus mampu menyesuaikan diri dengan cara beradaptasi
yang dapat berupa respon morfologis, fisiologis, dan tingkah laku. Keberhasilan suatu
organisme untuk bertahan hidup dan bereproduksi mencerminkan keseluruhan toleransinya
terhadap seluruh kumpulan variabel lingkungan yang dihadapi organisme tersebut (Campbell,
2004). Pada lingkungan perairan, faktor fisik, kimiawi dan biologis berperan dalam
pengaturan homeostatis yang diperlukan bagi pertumbuhan dan reproduksi biota perairan
(Tunas, 2005).
Makhluk hidup memiliki batasan tertentu dalam menghadapi stress lingkungan,
berhubungan dengan faktor genetik dan sejarah hidup yang pernah dialami sebelumnya.
Kisaran perubahan lingkungan berdasarkan kemampuan adaptasi makhluk hidupnya dibagi
menjadi 2 zona yaitu zona toleransi yang memungkinkan organsime masih dapat hidup, dan
zona lethal yang sudah tidak memungkinkan organisme dapat hidup (Nelly, 2013).
Mekanisme adaptasi pada hewan terjadi pada tingkat sel dengan pengaturan metabolisme, dan
berhubungan dengan permeabilitas membran sel. (Aliz & Sipahutar, 2013). Hukum Toleransi
Shelford menyatakan “Setiap organisme mempunyai suatu minimum dan maksimum
2
Laporan Ekologi Hewan – Pendidikan Biologi 2015
ekologis, yang merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran toleransi organisme itu
terhadap kondisi faktor lingkungan” (Harimurti, 2015).
Ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan salah satu ikan air tawar yang mempunyai nilai
ekonomis penting, sehingga ikan ini banyak dibudidayakan. Selain dipelihara dalam kolamkolam tertentu, ikan mas sering dipelihara di sawah bersama-sama dengan tanaman padi
(Rudiyanti & Ekasari, 2009). Habitat ikan mas (Cyprinus carpio) di perairan tawar dengan
ketinggian tempat 150--600 meter di atas permukaan air laut, terkadang ikan mas hidup
diperairan bersalinitas 25-30% (Jones, 2007). Tingkat salinitas yang terlalu tinggi atau rendah
dan fluktuasinya lebar, dapat menyebabkan kematian pada ikan nila (Anggoro, 1992).
Kematian tersebut disebabkan terganggunyatekanan osmotik cairan tubuh ikan nila, maka
tekanan osmotik media akan menjadi beban bagi ikan nila sehingga dibutuhkan energi yang
relatif besar untuk mempertahankan osmotik tubuhnya melalui proses osmoregulasi agar
beradaa tetap pada keadaan yang ideal (Aliyas, 2016) .Menurut Jones (2007) pada rentang
waktu yang lama ikan dapat melakukan adaptasi fisiologis terhadap lingkungan yang
salinitasnya berbeda dengan cara perubahan perilaku saat meminum dan membuang air dalam
bentuk urin, hal ini dapat terjadi dengan syarat perubahan salinitas air tidak terlalu besar dan
waktu dalam beradaptasi ikan lama. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka ginjal ikan akan
rusak dan ikan akan mati. Ikan mas memiliki suhu ektoterm / polikiloterm yang suhu
tubuhnya hampir sama dengan suhu lingkungan (Jones, 2007). Ikan mas masih memiliki suhu
toleransi yaitu suhu 25-30°C. Ikan yang mengalami stress suhu relatif tinggi, akan mengalami
peningkatan kecepatan respirasi yang ditandai dengan gerakan operkulum ikan dan gangguan
fisiologi tubuh. (Novi, 2015)
Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh,
sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan suhu lingkungan sekelilingnya (Tunas
2005). Sebagai hewan air, ikan memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang tidak dimiliki
oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organorgan ikan
disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Secara keseluruhan ikan lebih toleran terhadap
perubahan suhu air, beberapa spesies mampu hidup pada suhu air mencapai 29 oC, sedangkan
jenis lain dapat hidup pada suhu air yang sangat dingin, akan tetapi kisaran toleransi
individual terhadap suhu umumnya terbatas (Azwar & Emiyati, 2016)
Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan mengalami
kenaikan kecepatan respirasi (Afrianto & Liviawaty, 2005). Hal tersebut dapat diamati dari
perubahan pergerakan operculum ikan. Kisaran toleransi suhu antara spesies ikan satu dengan
spesies yang lain, misalnya pada ikan Salmonid suhu terendah yang dapat menyebabkan
kematian berada tepat di atas titik beku, sedangkan suhu tinggi dapat menyebabkan gangguan
fisiologis ikan (Tunas, 2005)
Pencemaran adalah perubahan yang tidak diinginkan pada udara, daratan dan air secara
fisik, kimiawi maupun biologi yang mungkin akan membahayakan bagi kehidupan manusia
dan lingkungannya, serta merugikan dan merusak Sumber Daya Alam (SDA). Penyebab
pencemaran sebenarnya adalah sisa-sisa benda yang dibuat, dipakai dan dibuang oleh manusia
secara sengaja maupun tidak di sengaja (Wulansari & Ardiansyah, 2012). Ikan dapat
digunakan sebagai indikator biologi karena mempunyai kemampuan merespon adanya bahan
pencemar. Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap
adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Reaksi yang
Halimah. 2017. Hewan dan Lingkungan
3
dimaksud antara lain adanya perubahan tingkah laku (gerakan renang) ikan, warna tubuh dan
warna insang (morfologi insang ikan), dan hingga pada kematian ikan (mortalitas) (Wulansari
& Ardiansyah, 2012).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Rumusan Masalah
Bagaimakah perubahan gerakan operculum Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap
perubahan suhu air?
Bagimanakah respon tingkah lahu Ikan mas (Cyprinus carpio) akibat perubahan suhu air?
Bagaimanakah perubahan gerakan operculum Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap
lingkungan air yang tercemar?
Bagaimanakah respon tingkah lahu Ikan mas (Cyprinus carpio) akibat lingkungan air
yang tercemar?
Bagaimakah perubahan gerakan operculum Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap
perubahan salinitas air?
Bagimanakah respon tingkah lahu Ikan mas (Cyprinus carpio) akibat salinitas suhu air?
Tujuan
1. Mengetaui perubahan gerakan operculum Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap perubahan
suhu air
2. Mengetaui respon tingkah lahu Ikan mas (Cyprinus carpio) akibat perubahan suhu air
3. Mengetaui perubahan gerakan operculum Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap
lingkungan air yang tercemar
4. Mengetaui respon tingkah lahu Ikan mas (Cyprinus carpio) akibat lingkungan air yang
tercemar
5. Mengetaui perubahan gerakan operculum Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap perubahan
salinitas air
6. Mengetaui respon tingkah lahu Ikan mas (Cyprinus carpio) akibat salinitas suhu air.
2.
METODE PENELITIAN
Praktikum ini dilakukan pada hari jum’at, 23 Maret 2018 diruang laboratorium KKI,
Gedung D, Kampus FKIP,Universitas Sebelas Maret, Kentingan, Surakarta.
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah toples atau beker glass
10 buah, stopwatch 1 buah, ikan mas (Cyprinus carpio) 12 ekor, air biasa, air hangat, es
batu, garam dapur, deterjen cair.
Prinsip kerja praktikum untuk perlakuan perubahan suhu yang pertama mengunakan
air biasa. Menyiapkan ikan mas (Cyprinus carpio) sebanyak 4 ekor. Memasukkan ke dalam
toples yang berisi air biasa. Mengamati tingkah laku ikan. Menghitung jumlah gerakan
membuka dan menutup operculum ikan selama 1 menit. Perlakuan perubahan suhu kedua
menggunakan air hangat. Memanaskan air hingga suhu 30oC dan 40oC. Memasukkan ikan
ke dalam toples yang sudah berisi air hangat. Mengamati tingkah laku ikan. Menghitung
jumlah gerakan operculum ikan selama 1 menit. Perlakuan perubahan suhu ketiga
menggunakan air dingin. Menyediakan air yang sudah dicampur es batu pada suhu 10 oC
dan 20oC di dalam toples. Memasukkan ikan ke dalam toples yang berisi air dingin.
4
Laporan Ekologi Hewan – Pendidikan Biologi 2015
Mengamati tingkah laku ikan. Menghitung jumlah gerakan operculum ikan selama 1 menit.
Mencatat hasil pengamatan ke dalam tabel pengamatan.
Prinsip kerja pada perlakuan pencemaran air menggunakan larutan deterjen cair.
Menyiapkan ikan mas (Cyprinus carpio) sebanyak 4 ekor. Membuat larutan deterjen
dengan konsentrasi 1 ppm, 25ppm, 50ppm dan 75 ppm. Memasukkan larutan deterjen yang
sudah dibuat ke dalam masing-masing toples. Memasukkan ikan ke dalam masing-masing
toples yang berisi larutan deterjen. Mengamati tingkah laku ikan. Menghitung jumlah
gerakan operculum ikan selama 1 menit. Mengamati jumlah mortalitas ikan pada menit ke
1, 2, 3, 4 dan 5. Mencatat hasil pengamatan ke dalam tabel pengamatan.
Prinsip kerja pada perlakuan perubahan salinitas menggunakan larutan garam.
Menyiapkan air tawar (konsentrasi garam 0,03%), air payau (konsentrasi garam 3%), air
saline (konsentrasi 5%) dan air garam (konsentrasi garam 10%). Memasukkan masingmasing larutan garam ke dalam toples. Memasukkan ikan ke dalam masing-masing toples
yang berisi larutan. Mengamati tingkah laku ikan. Menghitung jumlah gerakan membuka
dan menutup operculum ikan selama 1 menit. Mencatat hasil pengamatan ke dalam tabel
pengamatan.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. hasil pengamatan tingkah laku dan gerakan operculum ikan mas (Cyprinus carpio)
Perlakuan
1’
2’
3’
4’
5’
1’
2’
3‘
4’
5’
Rata
Suhu
10oC
Aktif
Pasif
Lambat
Pasif
Pasif
72
58
50
41
40
52,2
Suhu 20oC
Lebih
Aktif
Aktif
Aktif
Aktif
aktif
140
116
110
107
113
117,2
Suhu 30oC
Aktif
sekali
Aktif
Aktif
Cukup
aktif
190
200
180
189
170
185,8
Tidak
seimba
ng
Aktif
Tidak
seimba
ng
Aktif,
kurang
lincah
Kurang
aktif
Lincah
Masih
bergera
k
Mulai
terdiam
Malaya
ng
190
220
218
215
230
214,6
Pasif
Oleng
108
120
104
92
85
101,8
Kurang
aktif
Kurang
lincah
Kurang
lincah
Pasif
Oleng
107
91
81
92
90
92,2
Mulai
oleng
Oleng
96
88
58
60
54
71,2
81
77
68
62
59
69,4
Pasif
129
96
128
140
120
122,6
Pasif
Diam
152
138
156
58
81
117
Suhu 40oC Sangat
aktif
Deterjen 1
ppm
Aktif
Deterjen
25 ppm
Deterjen
50 ppm
Deterjen
75 ppm
Garam
0,03%
Lebih
Aktif
Lebih
aktif
Sangat
lincah
Aktif
Garam
3%
SSangat
aktif
Aktif
Lebih
lincah
Sangat
lincah
Mulai
pasif
Aktif
Sangat
lincah
Pasif
Pasif
5
Halimah. 2017. Hewan dan Lingkungan
Garam
5%
Sangat
aktif
Aktif
Pasif
Pasif
Diam
123
148
Garam 10
%
Sangat
aktif
Pasif
Pasif
Pasif
Diam
132
7
115
37
13
87,2
13
25
38
43
6
Laporan Ekologi Hewan – Pendidikan Biologi 2015
ANALISIS KUANTITATIF
Halimah. 2017. Hewan dan Lingkungan
7
8
Laporan Ekologi Hewan – Pendidikan Biologi 2015
ANALISIS KUALITATIF
Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan didapatkan hasil bahwa perlakuan
menggunakan suhu 10 oC pada menit ke- 1 ikan masih aktif bergerak, kemudian pada menit
ke-2 mulai tidak seimbang dan pergerakan operkulum menurun, dan pada menit ke- 3,4,5 ikan
mulai tidak aktif pergerakan operkulum juga menurun dengan rata-rata permenitnya adalah
52,2 kali. Pada suhu 20 oC pada menit ke-1 ikan sangat aktif, pada menit ke-2, 3, 4 dan 5 ikan
tetap bergerak aktif dengan rata-rata pembukaan operculum permenit sebanyak 117,2. Pada
suhu 30 oC pada menit ke-1,2 dan 3 ikan bergerak sangat aktif, kemudian pada menit ke-4
ikan masih bergerak namun tidak terlalu aktif, pergerakan melambat dengan total pembukaan
operkulum per menit sebanyak 165,8 kali. Pada suhu 40 oC ikan terlihat sangatlah aktif
dilihat pada menit ke-1 dengan pembukaan operkulum sebanyak 190 kali, kemudian pada
menit ke-2 ikan mulai kehilangan keseimbangan namun pergerakan operculumnya masih
cepat, pada menit ke-3 ikan semakin tidak seimbang dengan pergerakan operkulum yang
relatif cepat dan akhirnya pada menit ke-4 ikan melayang. Rata-rata pembukaan operculum di
suhu 40oC adalah 214,6 kali.
Pergerakan operculum menunjukkan kecepatan pernapasan ikan. Kepatan pernafasan
ikan mas normal adalah sekitar 121/per menit dan jika berada pada stress suhu tinggi
kecepatan pernapasan ikan akan meningkat pesat dan dapat mengganggu fisiologis tubuh
(Novi, 2015). Secara anatomi, ikan memiliki pendeteksi perubahan kecepatan arus air dan
suhu air pada bagian linea lateralis yang berada pada sisi lateral tubuh. Linea lateralis ini
memiliki sisik yang berbeda dari sisik tubuh ikan lainnya. Hal ini disebabkan pada suhu tinggi
fisiologi tubuh ikan terganggu, jumlah oksigen terlarut dalam air menurun, kecepatan reaksi
kimia mengikat, dan diameter pembuluh darah membesar. Sedangkan pada suhu rendah
pembuluh darah tubuh ikan diameternya mengecil dan menghambat peredaran darah.
(Hadisusanto, 2015). Suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan
gangguan status kesehatan untuk jangka panjang.Misalnya stres yang ditandai tubuh lemah,
kurus, dan tingkah laku abnormal, sedangkan suhu rendah mengakibatkan ikan menjadi
rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya sistem imun (Tunas,
2005).
Berdasar Hukum Toleransi Shelford yang berisi “Setiap organisme mempunyai suatu
minimum dan maksimum ekologis, yang merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran
toleransi organisme itu terhadap kondisi factor lingkungannya”. Jika suhu air melampaui
batas toleransi maka ikan akan mengalami stress dan sistem fisiologisnya terancam.
(Harimurti, 2015)
Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan menunjukkan bahwa pada perlakuan
pencemaran air terhadap ikan yang dilakukan menggunakan detergen 1ppm, 25ppm, 50ppm,
dan 75ppm didapatkan hasil yang berbeda setiap ppmnya. Pada detergen cair 1 ppm pada
menit ke-1 ikan terlihat aktif dengan pembukaan operkulum 96 kali, pada menit ke-2 ikan
lebih aktif dari sebelumnya, pada menit ke-3 dan ke-4 keaktikan ikan mulai berkurang, dan
pada menit ke-5 ikan pasif dan tidak lincah lagi. Rata-rata pembukaan operculum per menit
pada konsentrasi 1 ppm sebanyak 101,8 kali . Pada detergen 25 ppm, ikan terlihat lebih aktif
pada menit pertama dibandingkan ketika pada detergen 1 ppm, pada menit ke-2,3,4 ikan
Halimah. 2017. Hewan dan Lingkungan
9
terlihat terus aktif hingga pada menit ke-5 meskipun ke aktifannya berkurang. Rata-rata
pembukaan operculum per menit pada konsentrasi 25 ppm sebanyak 92,2 kali. Pada detergen
50 ppm, ikan terlihat lebih aktif pada menit pertama dibandingkan ketika pada detergen 25
ppm, pada menit ke-2,3,4 keaktifan ikan terlihat semakin menurun, hingga pada menit ke-5
ikan terlihat sudah tidak aktif lagi. Rata-rata pembukaan operculum per menit pada
konsentrasi 50 ppm sebanyak 71,2 kali. Pada detergen 75 ppm, ikan terlihat aktif, pada menit
ke-2,3,4 ikan masih tetap aktif, hingga pada menit ke-5 ikan terlihat kurang aktif. Rata-rata
pembukaan operculum per menit pada konsentrasi 75 ppm sebanyak 69,4 kali.
Air yang tercemar detergen dapat mengakhibatkan oksigen yang terlarut menurun dan
busa detergen dapat mengurangi terjadinya difusi oksigen karena udara terjebak dalam
gelembung. Pencemaran ini juga mengakhibatkan keenceran air menurun sehingga ikan akan
sulit bergerak. Selain itu pH air meningkat dan menyebabkan kondisi basa pada air, padahal
pH toleransi ikan 7-8. Jika konsentrasi pH tidak sesuai pH toleransi ikan maka ikan akan mati.
(Harimurti, 2015).
Berdasar Hukum Toleransi Shelford yang berisi “Setiap organisme mempunyai suatu
minimum dan maksimum ekologis, yang merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran
toleransi organisme itu terhadap kondisi factor lingkungannya”. Jika suhu air melampaui
batas toleransi maka ikan akan mengalami stress dan sistem fisiologisnya terancam.
(Harimurti, 2015).
Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan menunjukkan hasil bahwa perlakuan
perubahan salinitas yang dilakukan dengan pemberian larutan garam 0,03%; 3%; 5% dan
10% didapatkan hasil yang berbeda tiap kadar garamnya. Pada larutan garam 0,03% ikan
aktif bergerak pada menit ke-1. Pada menit ke-2 keaktifan ikan mulai menurun. Pada menit
ke- 3,4 ikan pasif, hingga pada menit ke-5 ikan pasif. Rata-rata pembukaan operculum per
menit pada salinitas 0,03% sebanyak 106,8 kali. Pada perlakuan larutan garam 3% ikan
terlihat aktif pada menit pertama, pada menit ke-2 ikan masih aktif, pada menit ke-3 ikan
mulai pasif, pada menit ke-4 ikan pasif, hingga pada menit ke-5 ikan diam. Rata-rata
pembukaan operculum per menit pada salinitas 3% sebanyak 117 kali. Pada perlakuan larutan
garam 5% ikan terlihat aktif pada menit pertama, pada menit ke-2 ikan masih aktif, pada
menit ke-3 ikan mulai pasif, pada menit ke-4 ikan aktif kembali, hingga pada menit ke-5 ikan
diam. Rata-rata pembukaan operculum per menit pada salinitas 5% sebanyak 87,2 kali. Pada
perlakuan larutan garam 10% ikan terlihat aktif pada menit pertama, pada menit ke-2 ikan
masih aktif, pada menit ke-3 ikan mulai pasif, pada menit ke-4 ikan sangat pasif, hingga pada
menit ke-5 ikan diam. Rata-rata pembukaan operculum per menit pada salinitas 10%
sebanyak 43 kali.
Tubuh ikan bersifat stenohaline yang berarti toleransi terhadap kadar garam sempit dan
hal ini terlihat dari konsentrasi garam 3% di menit ke 3 fisiologi tubuh ikan terganggu, ikan
sudah mengalami ketidak seimbangan saat berenang dan pergerakannya semakin pasif. Tubuh
ikan pada keadaan ini mengalami perubahan fisiologisn (Novi, 2015). Abadi (2010)
menyatakan bahwa organisme akuatik memiliki tekanan osmotik yang berbeda dengan
lingkungan. Oleh karena itu, ikan harus mencegah kelebihan air atau kekurangan air agar
proses-proses fisiologis di dalam tubuhnya berlangsung normal. Menurut Fujaya (2004) pada
rentang waktu yang lama ikan dapat melakukan adaptasi fisiologis terhadap lingkungan yang
salinitasnya berbeda dengan cara perubahan perilaku saat meminum dan membuang air dalam
10
Laporan Ekologi Hewan – Pendidikan Biologi 2015
bentuk urin, hal ini dapat terjadi dengan syarat perubahan salinitas air tidak terlalu besar dan
waktu dalam beradaptasi ikan lama. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka ginjal ikan akan
rusak dan ikan akan mati.
Berdasar Hukum Toleransi Shelford yang berisi “Setiap organisme mempunyai suatu
minimum dan maksimum ekologis, yang merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran
toleransi organisme itu terhadap kondisi factor lingkungannya” ( Harimurti, 2015). Kondisi
diatas ataupun dibawah batas kisaran toleransi itu, mahluk hidup akan mengalami stress dan
mati.
4.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa (1) Rata – rata perubahan gerakan operculum ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap
perlakuan suhu 10 oC, 20 oC, 30 oC, dan 40 oC selama lima menit secara berturut – turut
adalah 52,2 kali, 117,2 kali, 165,8 kali, dan 214,6 kali. Tingkah laku ikan pada 10 oC
cenderung aktif hingga pasif, pada suhu 20 oC dan 30 oC cenderung bergerak aktif, dan pada
suhu 40 oC cenderung kehilangan keseimbangan hingga tidak aktif (lemas). (2) Rata – rata
perubahan gerakan operculum ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap perlakuan suhu
pemberian larutan deterjen 1ppm, 25ppm, 50ppm, dan 75 ppm selama lima menit secara
berturut – turut adalah 101,8 kali, 117 kali, 87,2 kali dan 43 kali. Tingkah laku ikan pada
pemberian larutan garam
1ppm dan 25ppm cenderung dari aktif sampai kurang lincah
(pasif). Pada pemberian larutan garam 50 ppm dan 75 ppm tingkah laku ikan cenderung
sangat aktif sampai kurang lincah (pasif). (3) Rata – rata perubahan gerakan operculum ikan
mas (Cyprinus carpio) terhadap perlakuan pemberian larutan garam 0,03%, 3%, 5% dan 10%
selama lima menit secara berturut – turut adalah 106,8 kali, 117 kali, 87,2 kali dan 43 kali.
Tingkah laku ikan terhadap perlakuan pemberian larutan garam 0,03% adalah pergerak aktif
sampai bergerak pasif, dan perlakuan pemberian larutan garam 3% ikan mulai sangat pasif
dan lemas. Pada perlakuan 5% dan 10% ikan mulai tidak seimbang dan akhirnya diam.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Fitsum., Olivier Gimenez., Raphae L Arlettaz., And Michael Schaub. (2010). An
Assessment of Integrated Population Models: Bias, Accuracy, and Violation of The
Assumption of Independence. Ecology91 (1) : 7–14
Afrianto, E., & Liviawaty. (2005). Pakan Ikan. Yogyakarta: Kanisius
Aliza, D., Winaruddin, dan Sipahutar, L.W. 2013. Efek Peningkatan Suhu Air Terhadap
Perubahan Perilaku, Patologi Anatomi, Dan Histopatologi Insang Ikan Nila
(Oreochromis Niloticus). Jurnal Medika Veterinaria Vol. 7 No. 2, Agustus 2013.
Halimah. 2017. Hewan dan Lingkungan
11
Aliyas. Ndobe, S. Ya’la, Z. R. 2016. Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Ikan Nila
(Oreochromis sp.) yang Dipelihara pada Media Bersalinitas. Jurnal Sains dan
Teknologi 5(1): 19-27.
Anggoro S. 1992. Efek osmotik berbagai tingkat salinitas media terhadap daya tetas telur
dan vitalitas larva udang windu Penaeus monodon. Disertasi. Program Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor
Azwar, M., & Emiyati. (2016). Critical Thermal dari Ikan Zebrasoma scopas yang
Berasal dari Perairan Pulau Hoga Kabupaten Wakatobi. SAPA LAUT Vol 1 (2) , 6066
Campbell, Neil. 2004. Biologi Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Hadisusanto, S. 2015. Kontribusi Biologi Dalam Pengelolaan Dan Pengembangan Danau
Di Indonesia. 2015 - repository.ugm.ac.id
Harimurti, K. (2015). Pemanfaatan Limbah Air Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)
Sebagai Sumber Hara Untuk Budidaya Kailan (Brassica Oleraceae Var. Alboglabra)
Organik Secara Hidroponik.
Jones, M.J., Stuart, I.G. 2007. Movements and habitat use of common carp (Cyprinus
carpio) and Murray cod (Maccullochella peelii peelii) juveniles in a large lowland
Australian river. Ecology of Freshwater Fish 2007: 16: 210–220
Kanisius. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogjakarta. Penerbis Kanisius.
Rudiyanti, S., & Ekasari, A. D. (2009). Pertumbuhan dan Survival Rate Ikan Mas
(Cyprinus Carpio Linn) pada Berbagai Konsentrasi Pestisida Regent 0,3 G. Jurnal
Saintek Perikanan Vol. 5, No. 1 , 39 - 47.
Nelly, N. (2013). Kelimpahan Populasi, Preferensi dan Karakter Kebugaran Menochilus
Sexmaculatus (Coleoptera: Coccinellidae) Predator Kutudaun Pada Pertanaman
Cabai. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 12(1).
Novi, E. 2015. Pengaruh Ekstrak daun sirsak (Annona muricata L) terhadap SOD dan
Histologi Hepar Tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi aloksan. NE Rarangsari –
2015
Tunas, Arthama Wayan. 2005. Patologi Ikan Toloestei. Yogjakarta. Penerbit Universitas
Gadjah Mada
Wulansari, F. D., & Ardiansyah. (2012). Pengaruh Detergen terhadap Mortalitas Benih
Ikan Patin Sebagai Bahan Pembelajaran Kimia Lingkungan. EduSains Volume 1
Nomor 2 , 1-20.
6.
LAMPIRAN
Laporan sementara
Dokumentasi
12
Laporan Ekologi Hewan – Pendidikan Biologi 2015
FOTO PENGAMATAN
Pendidikan Biologi 2015
Maret 2018
HEWAN DAN LINGKUNGAN
Azizah Nur Halimah*
*K4315010/Kelas B/ Pendidikan Biologi 2015
Email : [email protected]
ABSTRAK
Percobaan ini bertujuan untuk Mengetahui perubahan gerakan operculum dan respon tingkah laku
Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap perubahan suhu air, lingkungan air yang tercemar dan perubahan
salinitas air. Parameter yang diamati adalah tingkah laku ikan, dan gerakan membuka menutup
operkulum ikan setiap satu menit sekali selama 5 menit. Percobaan dilakukan dengan memasukkan
ikan ke dalam toples masing-masing berisi air panas (30 oC dan 40oC), air dingin (10oC dan 20oC), air
deterjen (konsentrasi 1 ppm, 25 ppm, 50 ppm, 75 ppm), air garam (0,03%; 3%; 5%; 10%). Langkah
selanjutnya mengukur gerakan operkulum dan respon tingkah laku ikan. Hasil percobaan
menunjukkan ikan mas (Cyprinus carpio) pada perlakuan suhu 100C, 200C, 300C dan 400C secara
berurutan adalah 52,2 kali, 117,2 kali, 165,8 kali dan 214,6 kali. Rata-rata gerakan operkulum ikan
pada perlakuan pencemaran air yaitu dengan konsentrasi 1 ppm, 25 ppm, 50 ppm dan 75 ppm secara
berurutan adalah 101,8 kali, 117 kali, 87,2 kali dan 43 kali. Hasil perhitungan gerakan operkulum ikan
pada perlakuan salinitas menggunakan larutan garam konsentrasi 0,03%; 3%; 5%;10% secara
berurutan adalah 106,8 kali, 117 kali, 87,2 kali dan 42 kali. Ikan mas (Cyprinus carpio) dapat hidup
pada batas toleransi tertentu sesuai dengan Hukum Toleransi Shelford yaitu dengan suhu 25-30 0C,
apabila berada pada kondisi dibawah / diatas toleransi tersebut, maka ikan akan mengalami stress
fisiologis dan akhirnya mati.
Kata Kunci: hewan, lingkungan, ikan mas (Cyprinus carpio), Hukum Toleransi Shelford.
1.
PENDAHULUAN
Ekologi merupakan pembelajaran scientifik tentang distribusi dan kelimpahan organisme.
(Nelly, 2013). Kelimpahan organisme sangat dipengaruhi perubahan kondisi lingkungan,
dalam keadaan ini setiap organsime harus mampu menyesuaikan diri dengan cara beradaptasi
yang dapat berupa respon morfologis, fisiologis, dan tingkah laku. Keberhasilan suatu
organisme untuk bertahan hidup dan bereproduksi mencerminkan keseluruhan toleransinya
terhadap seluruh kumpulan variabel lingkungan yang dihadapi organisme tersebut (Campbell,
2004). Pada lingkungan perairan, faktor fisik, kimiawi dan biologis berperan dalam
pengaturan homeostatis yang diperlukan bagi pertumbuhan dan reproduksi biota perairan
(Tunas, 2005).
Makhluk hidup memiliki batasan tertentu dalam menghadapi stress lingkungan,
berhubungan dengan faktor genetik dan sejarah hidup yang pernah dialami sebelumnya.
Kisaran perubahan lingkungan berdasarkan kemampuan adaptasi makhluk hidupnya dibagi
menjadi 2 zona yaitu zona toleransi yang memungkinkan organsime masih dapat hidup, dan
zona lethal yang sudah tidak memungkinkan organisme dapat hidup (Nelly, 2013).
Mekanisme adaptasi pada hewan terjadi pada tingkat sel dengan pengaturan metabolisme, dan
berhubungan dengan permeabilitas membran sel. (Aliz & Sipahutar, 2013). Hukum Toleransi
Shelford menyatakan “Setiap organisme mempunyai suatu minimum dan maksimum
2
Laporan Ekologi Hewan – Pendidikan Biologi 2015
ekologis, yang merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran toleransi organisme itu
terhadap kondisi faktor lingkungan” (Harimurti, 2015).
Ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan salah satu ikan air tawar yang mempunyai nilai
ekonomis penting, sehingga ikan ini banyak dibudidayakan. Selain dipelihara dalam kolamkolam tertentu, ikan mas sering dipelihara di sawah bersama-sama dengan tanaman padi
(Rudiyanti & Ekasari, 2009). Habitat ikan mas (Cyprinus carpio) di perairan tawar dengan
ketinggian tempat 150--600 meter di atas permukaan air laut, terkadang ikan mas hidup
diperairan bersalinitas 25-30% (Jones, 2007). Tingkat salinitas yang terlalu tinggi atau rendah
dan fluktuasinya lebar, dapat menyebabkan kematian pada ikan nila (Anggoro, 1992).
Kematian tersebut disebabkan terganggunyatekanan osmotik cairan tubuh ikan nila, maka
tekanan osmotik media akan menjadi beban bagi ikan nila sehingga dibutuhkan energi yang
relatif besar untuk mempertahankan osmotik tubuhnya melalui proses osmoregulasi agar
beradaa tetap pada keadaan yang ideal (Aliyas, 2016) .Menurut Jones (2007) pada rentang
waktu yang lama ikan dapat melakukan adaptasi fisiologis terhadap lingkungan yang
salinitasnya berbeda dengan cara perubahan perilaku saat meminum dan membuang air dalam
bentuk urin, hal ini dapat terjadi dengan syarat perubahan salinitas air tidak terlalu besar dan
waktu dalam beradaptasi ikan lama. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka ginjal ikan akan
rusak dan ikan akan mati. Ikan mas memiliki suhu ektoterm / polikiloterm yang suhu
tubuhnya hampir sama dengan suhu lingkungan (Jones, 2007). Ikan mas masih memiliki suhu
toleransi yaitu suhu 25-30°C. Ikan yang mengalami stress suhu relatif tinggi, akan mengalami
peningkatan kecepatan respirasi yang ditandai dengan gerakan operkulum ikan dan gangguan
fisiologi tubuh. (Novi, 2015)
Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh,
sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan suhu lingkungan sekelilingnya (Tunas
2005). Sebagai hewan air, ikan memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang tidak dimiliki
oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organorgan ikan
disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Secara keseluruhan ikan lebih toleran terhadap
perubahan suhu air, beberapa spesies mampu hidup pada suhu air mencapai 29 oC, sedangkan
jenis lain dapat hidup pada suhu air yang sangat dingin, akan tetapi kisaran toleransi
individual terhadap suhu umumnya terbatas (Azwar & Emiyati, 2016)
Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan mengalami
kenaikan kecepatan respirasi (Afrianto & Liviawaty, 2005). Hal tersebut dapat diamati dari
perubahan pergerakan operculum ikan. Kisaran toleransi suhu antara spesies ikan satu dengan
spesies yang lain, misalnya pada ikan Salmonid suhu terendah yang dapat menyebabkan
kematian berada tepat di atas titik beku, sedangkan suhu tinggi dapat menyebabkan gangguan
fisiologis ikan (Tunas, 2005)
Pencemaran adalah perubahan yang tidak diinginkan pada udara, daratan dan air secara
fisik, kimiawi maupun biologi yang mungkin akan membahayakan bagi kehidupan manusia
dan lingkungannya, serta merugikan dan merusak Sumber Daya Alam (SDA). Penyebab
pencemaran sebenarnya adalah sisa-sisa benda yang dibuat, dipakai dan dibuang oleh manusia
secara sengaja maupun tidak di sengaja (Wulansari & Ardiansyah, 2012). Ikan dapat
digunakan sebagai indikator biologi karena mempunyai kemampuan merespon adanya bahan
pencemar. Ikan dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap
adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Reaksi yang
Halimah. 2017. Hewan dan Lingkungan
3
dimaksud antara lain adanya perubahan tingkah laku (gerakan renang) ikan, warna tubuh dan
warna insang (morfologi insang ikan), dan hingga pada kematian ikan (mortalitas) (Wulansari
& Ardiansyah, 2012).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Rumusan Masalah
Bagaimakah perubahan gerakan operculum Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap
perubahan suhu air?
Bagimanakah respon tingkah lahu Ikan mas (Cyprinus carpio) akibat perubahan suhu air?
Bagaimanakah perubahan gerakan operculum Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap
lingkungan air yang tercemar?
Bagaimanakah respon tingkah lahu Ikan mas (Cyprinus carpio) akibat lingkungan air
yang tercemar?
Bagaimakah perubahan gerakan operculum Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap
perubahan salinitas air?
Bagimanakah respon tingkah lahu Ikan mas (Cyprinus carpio) akibat salinitas suhu air?
Tujuan
1. Mengetaui perubahan gerakan operculum Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap perubahan
suhu air
2. Mengetaui respon tingkah lahu Ikan mas (Cyprinus carpio) akibat perubahan suhu air
3. Mengetaui perubahan gerakan operculum Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap
lingkungan air yang tercemar
4. Mengetaui respon tingkah lahu Ikan mas (Cyprinus carpio) akibat lingkungan air yang
tercemar
5. Mengetaui perubahan gerakan operculum Ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap perubahan
salinitas air
6. Mengetaui respon tingkah lahu Ikan mas (Cyprinus carpio) akibat salinitas suhu air.
2.
METODE PENELITIAN
Praktikum ini dilakukan pada hari jum’at, 23 Maret 2018 diruang laboratorium KKI,
Gedung D, Kampus FKIP,Universitas Sebelas Maret, Kentingan, Surakarta.
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah toples atau beker glass
10 buah, stopwatch 1 buah, ikan mas (Cyprinus carpio) 12 ekor, air biasa, air hangat, es
batu, garam dapur, deterjen cair.
Prinsip kerja praktikum untuk perlakuan perubahan suhu yang pertama mengunakan
air biasa. Menyiapkan ikan mas (Cyprinus carpio) sebanyak 4 ekor. Memasukkan ke dalam
toples yang berisi air biasa. Mengamati tingkah laku ikan. Menghitung jumlah gerakan
membuka dan menutup operculum ikan selama 1 menit. Perlakuan perubahan suhu kedua
menggunakan air hangat. Memanaskan air hingga suhu 30oC dan 40oC. Memasukkan ikan
ke dalam toples yang sudah berisi air hangat. Mengamati tingkah laku ikan. Menghitung
jumlah gerakan operculum ikan selama 1 menit. Perlakuan perubahan suhu ketiga
menggunakan air dingin. Menyediakan air yang sudah dicampur es batu pada suhu 10 oC
dan 20oC di dalam toples. Memasukkan ikan ke dalam toples yang berisi air dingin.
4
Laporan Ekologi Hewan – Pendidikan Biologi 2015
Mengamati tingkah laku ikan. Menghitung jumlah gerakan operculum ikan selama 1 menit.
Mencatat hasil pengamatan ke dalam tabel pengamatan.
Prinsip kerja pada perlakuan pencemaran air menggunakan larutan deterjen cair.
Menyiapkan ikan mas (Cyprinus carpio) sebanyak 4 ekor. Membuat larutan deterjen
dengan konsentrasi 1 ppm, 25ppm, 50ppm dan 75 ppm. Memasukkan larutan deterjen yang
sudah dibuat ke dalam masing-masing toples. Memasukkan ikan ke dalam masing-masing
toples yang berisi larutan deterjen. Mengamati tingkah laku ikan. Menghitung jumlah
gerakan operculum ikan selama 1 menit. Mengamati jumlah mortalitas ikan pada menit ke
1, 2, 3, 4 dan 5. Mencatat hasil pengamatan ke dalam tabel pengamatan.
Prinsip kerja pada perlakuan perubahan salinitas menggunakan larutan garam.
Menyiapkan air tawar (konsentrasi garam 0,03%), air payau (konsentrasi garam 3%), air
saline (konsentrasi 5%) dan air garam (konsentrasi garam 10%). Memasukkan masingmasing larutan garam ke dalam toples. Memasukkan ikan ke dalam masing-masing toples
yang berisi larutan. Mengamati tingkah laku ikan. Menghitung jumlah gerakan membuka
dan menutup operculum ikan selama 1 menit. Mencatat hasil pengamatan ke dalam tabel
pengamatan.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. hasil pengamatan tingkah laku dan gerakan operculum ikan mas (Cyprinus carpio)
Perlakuan
1’
2’
3’
4’
5’
1’
2’
3‘
4’
5’
Rata
Suhu
10oC
Aktif
Pasif
Lambat
Pasif
Pasif
72
58
50
41
40
52,2
Suhu 20oC
Lebih
Aktif
Aktif
Aktif
Aktif
aktif
140
116
110
107
113
117,2
Suhu 30oC
Aktif
sekali
Aktif
Aktif
Cukup
aktif
190
200
180
189
170
185,8
Tidak
seimba
ng
Aktif
Tidak
seimba
ng
Aktif,
kurang
lincah
Kurang
aktif
Lincah
Masih
bergera
k
Mulai
terdiam
Malaya
ng
190
220
218
215
230
214,6
Pasif
Oleng
108
120
104
92
85
101,8
Kurang
aktif
Kurang
lincah
Kurang
lincah
Pasif
Oleng
107
91
81
92
90
92,2
Mulai
oleng
Oleng
96
88
58
60
54
71,2
81
77
68
62
59
69,4
Pasif
129
96
128
140
120
122,6
Pasif
Diam
152
138
156
58
81
117
Suhu 40oC Sangat
aktif
Deterjen 1
ppm
Aktif
Deterjen
25 ppm
Deterjen
50 ppm
Deterjen
75 ppm
Garam
0,03%
Lebih
Aktif
Lebih
aktif
Sangat
lincah
Aktif
Garam
3%
SSangat
aktif
Aktif
Lebih
lincah
Sangat
lincah
Mulai
pasif
Aktif
Sangat
lincah
Pasif
Pasif
5
Halimah. 2017. Hewan dan Lingkungan
Garam
5%
Sangat
aktif
Aktif
Pasif
Pasif
Diam
123
148
Garam 10
%
Sangat
aktif
Pasif
Pasif
Pasif
Diam
132
7
115
37
13
87,2
13
25
38
43
6
Laporan Ekologi Hewan – Pendidikan Biologi 2015
ANALISIS KUANTITATIF
Halimah. 2017. Hewan dan Lingkungan
7
8
Laporan Ekologi Hewan – Pendidikan Biologi 2015
ANALISIS KUALITATIF
Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan didapatkan hasil bahwa perlakuan
menggunakan suhu 10 oC pada menit ke- 1 ikan masih aktif bergerak, kemudian pada menit
ke-2 mulai tidak seimbang dan pergerakan operkulum menurun, dan pada menit ke- 3,4,5 ikan
mulai tidak aktif pergerakan operkulum juga menurun dengan rata-rata permenitnya adalah
52,2 kali. Pada suhu 20 oC pada menit ke-1 ikan sangat aktif, pada menit ke-2, 3, 4 dan 5 ikan
tetap bergerak aktif dengan rata-rata pembukaan operculum permenit sebanyak 117,2. Pada
suhu 30 oC pada menit ke-1,2 dan 3 ikan bergerak sangat aktif, kemudian pada menit ke-4
ikan masih bergerak namun tidak terlalu aktif, pergerakan melambat dengan total pembukaan
operkulum per menit sebanyak 165,8 kali. Pada suhu 40 oC ikan terlihat sangatlah aktif
dilihat pada menit ke-1 dengan pembukaan operkulum sebanyak 190 kali, kemudian pada
menit ke-2 ikan mulai kehilangan keseimbangan namun pergerakan operculumnya masih
cepat, pada menit ke-3 ikan semakin tidak seimbang dengan pergerakan operkulum yang
relatif cepat dan akhirnya pada menit ke-4 ikan melayang. Rata-rata pembukaan operculum di
suhu 40oC adalah 214,6 kali.
Pergerakan operculum menunjukkan kecepatan pernapasan ikan. Kepatan pernafasan
ikan mas normal adalah sekitar 121/per menit dan jika berada pada stress suhu tinggi
kecepatan pernapasan ikan akan meningkat pesat dan dapat mengganggu fisiologis tubuh
(Novi, 2015). Secara anatomi, ikan memiliki pendeteksi perubahan kecepatan arus air dan
suhu air pada bagian linea lateralis yang berada pada sisi lateral tubuh. Linea lateralis ini
memiliki sisik yang berbeda dari sisik tubuh ikan lainnya. Hal ini disebabkan pada suhu tinggi
fisiologi tubuh ikan terganggu, jumlah oksigen terlarut dalam air menurun, kecepatan reaksi
kimia mengikat, dan diameter pembuluh darah membesar. Sedangkan pada suhu rendah
pembuluh darah tubuh ikan diameternya mengecil dan menghambat peredaran darah.
(Hadisusanto, 2015). Suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan
gangguan status kesehatan untuk jangka panjang.Misalnya stres yang ditandai tubuh lemah,
kurus, dan tingkah laku abnormal, sedangkan suhu rendah mengakibatkan ikan menjadi
rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya sistem imun (Tunas,
2005).
Berdasar Hukum Toleransi Shelford yang berisi “Setiap organisme mempunyai suatu
minimum dan maksimum ekologis, yang merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran
toleransi organisme itu terhadap kondisi factor lingkungannya”. Jika suhu air melampaui
batas toleransi maka ikan akan mengalami stress dan sistem fisiologisnya terancam.
(Harimurti, 2015)
Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan menunjukkan bahwa pada perlakuan
pencemaran air terhadap ikan yang dilakukan menggunakan detergen 1ppm, 25ppm, 50ppm,
dan 75ppm didapatkan hasil yang berbeda setiap ppmnya. Pada detergen cair 1 ppm pada
menit ke-1 ikan terlihat aktif dengan pembukaan operkulum 96 kali, pada menit ke-2 ikan
lebih aktif dari sebelumnya, pada menit ke-3 dan ke-4 keaktikan ikan mulai berkurang, dan
pada menit ke-5 ikan pasif dan tidak lincah lagi. Rata-rata pembukaan operculum per menit
pada konsentrasi 1 ppm sebanyak 101,8 kali . Pada detergen 25 ppm, ikan terlihat lebih aktif
pada menit pertama dibandingkan ketika pada detergen 1 ppm, pada menit ke-2,3,4 ikan
Halimah. 2017. Hewan dan Lingkungan
9
terlihat terus aktif hingga pada menit ke-5 meskipun ke aktifannya berkurang. Rata-rata
pembukaan operculum per menit pada konsentrasi 25 ppm sebanyak 92,2 kali. Pada detergen
50 ppm, ikan terlihat lebih aktif pada menit pertama dibandingkan ketika pada detergen 25
ppm, pada menit ke-2,3,4 keaktifan ikan terlihat semakin menurun, hingga pada menit ke-5
ikan terlihat sudah tidak aktif lagi. Rata-rata pembukaan operculum per menit pada
konsentrasi 50 ppm sebanyak 71,2 kali. Pada detergen 75 ppm, ikan terlihat aktif, pada menit
ke-2,3,4 ikan masih tetap aktif, hingga pada menit ke-5 ikan terlihat kurang aktif. Rata-rata
pembukaan operculum per menit pada konsentrasi 75 ppm sebanyak 69,4 kali.
Air yang tercemar detergen dapat mengakhibatkan oksigen yang terlarut menurun dan
busa detergen dapat mengurangi terjadinya difusi oksigen karena udara terjebak dalam
gelembung. Pencemaran ini juga mengakhibatkan keenceran air menurun sehingga ikan akan
sulit bergerak. Selain itu pH air meningkat dan menyebabkan kondisi basa pada air, padahal
pH toleransi ikan 7-8. Jika konsentrasi pH tidak sesuai pH toleransi ikan maka ikan akan mati.
(Harimurti, 2015).
Berdasar Hukum Toleransi Shelford yang berisi “Setiap organisme mempunyai suatu
minimum dan maksimum ekologis, yang merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran
toleransi organisme itu terhadap kondisi factor lingkungannya”. Jika suhu air melampaui
batas toleransi maka ikan akan mengalami stress dan sistem fisiologisnya terancam.
(Harimurti, 2015).
Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan menunjukkan hasil bahwa perlakuan
perubahan salinitas yang dilakukan dengan pemberian larutan garam 0,03%; 3%; 5% dan
10% didapatkan hasil yang berbeda tiap kadar garamnya. Pada larutan garam 0,03% ikan
aktif bergerak pada menit ke-1. Pada menit ke-2 keaktifan ikan mulai menurun. Pada menit
ke- 3,4 ikan pasif, hingga pada menit ke-5 ikan pasif. Rata-rata pembukaan operculum per
menit pada salinitas 0,03% sebanyak 106,8 kali. Pada perlakuan larutan garam 3% ikan
terlihat aktif pada menit pertama, pada menit ke-2 ikan masih aktif, pada menit ke-3 ikan
mulai pasif, pada menit ke-4 ikan pasif, hingga pada menit ke-5 ikan diam. Rata-rata
pembukaan operculum per menit pada salinitas 3% sebanyak 117 kali. Pada perlakuan larutan
garam 5% ikan terlihat aktif pada menit pertama, pada menit ke-2 ikan masih aktif, pada
menit ke-3 ikan mulai pasif, pada menit ke-4 ikan aktif kembali, hingga pada menit ke-5 ikan
diam. Rata-rata pembukaan operculum per menit pada salinitas 5% sebanyak 87,2 kali. Pada
perlakuan larutan garam 10% ikan terlihat aktif pada menit pertama, pada menit ke-2 ikan
masih aktif, pada menit ke-3 ikan mulai pasif, pada menit ke-4 ikan sangat pasif, hingga pada
menit ke-5 ikan diam. Rata-rata pembukaan operculum per menit pada salinitas 10%
sebanyak 43 kali.
Tubuh ikan bersifat stenohaline yang berarti toleransi terhadap kadar garam sempit dan
hal ini terlihat dari konsentrasi garam 3% di menit ke 3 fisiologi tubuh ikan terganggu, ikan
sudah mengalami ketidak seimbangan saat berenang dan pergerakannya semakin pasif. Tubuh
ikan pada keadaan ini mengalami perubahan fisiologisn (Novi, 2015). Abadi (2010)
menyatakan bahwa organisme akuatik memiliki tekanan osmotik yang berbeda dengan
lingkungan. Oleh karena itu, ikan harus mencegah kelebihan air atau kekurangan air agar
proses-proses fisiologis di dalam tubuhnya berlangsung normal. Menurut Fujaya (2004) pada
rentang waktu yang lama ikan dapat melakukan adaptasi fisiologis terhadap lingkungan yang
salinitasnya berbeda dengan cara perubahan perilaku saat meminum dan membuang air dalam
10
Laporan Ekologi Hewan – Pendidikan Biologi 2015
bentuk urin, hal ini dapat terjadi dengan syarat perubahan salinitas air tidak terlalu besar dan
waktu dalam beradaptasi ikan lama. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi maka ginjal ikan akan
rusak dan ikan akan mati.
Berdasar Hukum Toleransi Shelford yang berisi “Setiap organisme mempunyai suatu
minimum dan maksimum ekologis, yang merupakan batas bawah dan batas atas dari kisaran
toleransi organisme itu terhadap kondisi factor lingkungannya” ( Harimurti, 2015). Kondisi
diatas ataupun dibawah batas kisaran toleransi itu, mahluk hidup akan mengalami stress dan
mati.
4.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran yang dilakukan dapat disimpulkan
bahwa (1) Rata – rata perubahan gerakan operculum ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap
perlakuan suhu 10 oC, 20 oC, 30 oC, dan 40 oC selama lima menit secara berturut – turut
adalah 52,2 kali, 117,2 kali, 165,8 kali, dan 214,6 kali. Tingkah laku ikan pada 10 oC
cenderung aktif hingga pasif, pada suhu 20 oC dan 30 oC cenderung bergerak aktif, dan pada
suhu 40 oC cenderung kehilangan keseimbangan hingga tidak aktif (lemas). (2) Rata – rata
perubahan gerakan operculum ikan mas (Cyprinus carpio) terhadap perlakuan suhu
pemberian larutan deterjen 1ppm, 25ppm, 50ppm, dan 75 ppm selama lima menit secara
berturut – turut adalah 101,8 kali, 117 kali, 87,2 kali dan 43 kali. Tingkah laku ikan pada
pemberian larutan garam
1ppm dan 25ppm cenderung dari aktif sampai kurang lincah
(pasif). Pada pemberian larutan garam 50 ppm dan 75 ppm tingkah laku ikan cenderung
sangat aktif sampai kurang lincah (pasif). (3) Rata – rata perubahan gerakan operculum ikan
mas (Cyprinus carpio) terhadap perlakuan pemberian larutan garam 0,03%, 3%, 5% dan 10%
selama lima menit secara berturut – turut adalah 106,8 kali, 117 kali, 87,2 kali dan 43 kali.
Tingkah laku ikan terhadap perlakuan pemberian larutan garam 0,03% adalah pergerak aktif
sampai bergerak pasif, dan perlakuan pemberian larutan garam 3% ikan mulai sangat pasif
dan lemas. Pada perlakuan 5% dan 10% ikan mulai tidak seimbang dan akhirnya diam.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Fitsum., Olivier Gimenez., Raphae L Arlettaz., And Michael Schaub. (2010). An
Assessment of Integrated Population Models: Bias, Accuracy, and Violation of The
Assumption of Independence. Ecology91 (1) : 7–14
Afrianto, E., & Liviawaty. (2005). Pakan Ikan. Yogyakarta: Kanisius
Aliza, D., Winaruddin, dan Sipahutar, L.W. 2013. Efek Peningkatan Suhu Air Terhadap
Perubahan Perilaku, Patologi Anatomi, Dan Histopatologi Insang Ikan Nila
(Oreochromis Niloticus). Jurnal Medika Veterinaria Vol. 7 No. 2, Agustus 2013.
Halimah. 2017. Hewan dan Lingkungan
11
Aliyas. Ndobe, S. Ya’la, Z. R. 2016. Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Ikan Nila
(Oreochromis sp.) yang Dipelihara pada Media Bersalinitas. Jurnal Sains dan
Teknologi 5(1): 19-27.
Anggoro S. 1992. Efek osmotik berbagai tingkat salinitas media terhadap daya tetas telur
dan vitalitas larva udang windu Penaeus monodon. Disertasi. Program Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor
Azwar, M., & Emiyati. (2016). Critical Thermal dari Ikan Zebrasoma scopas yang
Berasal dari Perairan Pulau Hoga Kabupaten Wakatobi. SAPA LAUT Vol 1 (2) , 6066
Campbell, Neil. 2004. Biologi Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta. Penerbit Erlangga.
Hadisusanto, S. 2015. Kontribusi Biologi Dalam Pengelolaan Dan Pengembangan Danau
Di Indonesia. 2015 - repository.ugm.ac.id
Harimurti, K. (2015). Pemanfaatan Limbah Air Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)
Sebagai Sumber Hara Untuk Budidaya Kailan (Brassica Oleraceae Var. Alboglabra)
Organik Secara Hidroponik.
Jones, M.J., Stuart, I.G. 2007. Movements and habitat use of common carp (Cyprinus
carpio) and Murray cod (Maccullochella peelii peelii) juveniles in a large lowland
Australian river. Ecology of Freshwater Fish 2007: 16: 210–220
Kanisius. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogjakarta. Penerbis Kanisius.
Rudiyanti, S., & Ekasari, A. D. (2009). Pertumbuhan dan Survival Rate Ikan Mas
(Cyprinus Carpio Linn) pada Berbagai Konsentrasi Pestisida Regent 0,3 G. Jurnal
Saintek Perikanan Vol. 5, No. 1 , 39 - 47.
Nelly, N. (2013). Kelimpahan Populasi, Preferensi dan Karakter Kebugaran Menochilus
Sexmaculatus (Coleoptera: Coccinellidae) Predator Kutudaun Pada Pertanaman
Cabai. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 12(1).
Novi, E. 2015. Pengaruh Ekstrak daun sirsak (Annona muricata L) terhadap SOD dan
Histologi Hepar Tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi aloksan. NE Rarangsari –
2015
Tunas, Arthama Wayan. 2005. Patologi Ikan Toloestei. Yogjakarta. Penerbit Universitas
Gadjah Mada
Wulansari, F. D., & Ardiansyah. (2012). Pengaruh Detergen terhadap Mortalitas Benih
Ikan Patin Sebagai Bahan Pembelajaran Kimia Lingkungan. EduSains Volume 1
Nomor 2 , 1-20.
6.
LAMPIRAN
Laporan sementara
Dokumentasi
12
Laporan Ekologi Hewan – Pendidikan Biologi 2015
FOTO PENGAMATAN