Papua Problematika dan Percepatan Pemban

Papua, Problematika dan Percepatan Pembangunan untuk Bangsa
Oleh : Agus Maulana*

"Oleh karena masih ada salah satu wilayah daripada Republik Indonesia diduduki oleh
pihak asing, oleh karena salahsatu wilayah daripada Republik Indonesia masih belum
merdeka, maka kita anggap satu kewajiban yang teramat untuk memasukkan daerah yang
masih diduduki oleh pihak asing itu ke dalam kekuasaan Republik Indonesia”
(Pidato Bung Karno pada saat pelantikan Oemardhani sebagai Kepala Staf Angkatan Udara
tanggal 20 Januari 1962 di Istana Negara, Jakarta)

Bangsa Indonesia meyakini bahwa menjaga kedaulatan bangsa adalah inti dari gerakan
pembebasan tanah Papua (dulu disebut Western New Guinea). Hal ini sebagaimana bunyi
penggalan pidato Bung Karno di atas. Pidato tersebut juga merupakan penegasan kembali
argumentasi Bung Karno untuk mengajak rakyat Indonesia melakukan operasi pembebasan
Papua dari tangan Belanda. Ajakan tersebut disampaikan pada tanggal 19 Desember 1961
melalui amanat Trikora-nya di Alun-alun Utara Kota Yogyakarta.
Bung Karno berpendirian bahwasanya kedaulatan Papua berada di tangan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sejak proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, yang
meliputi wilayah Hindia Timur Belanda. Meski pihak pemerintah Belanda membantah hal
ini, namun pihak Indonesia terus berjuang untuk membebaskan Papua tersebut dari Belanda,
baik melalui perang diplomasi, ekonomi maupun militer. Dibalik berbagai rentetan sejarah

tersebut, perjuangan bangsa Indonesia akhirnya membuahkan hasil dengan (kembali)
masuknya Papua ke kedaulatan NKRI.
Hasil perjuangan itu ditandai dengan diserahkannya urusan administrasi secara penuh dari
Belanda kepada Indonesia melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA)
pada tanggal 1 Mei 1963. Kemudian pada tahun 1969, dilakukan suatu peristiwa bersejarah
guna menentukan masa depan Papua secara demokratis, yaitu Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) di bawah pengawasan PBB. Hasil proses itu memutuskan bahwa Papua secara
bulat bergabung ke dalam wilayah NKRI.
Setelah peristiwa integrasi tersebut, Papua resmi terdaftar sebagai provinsi ke-26 bagian dari
NKRI dengan nama Irian Barat. Pada tahun 1974, nama Irian Barat berubah menjadi Irian
Jaya sampai dengan tahun 2002. Terakhir, namanya menjadi Papua lagi dan pada
perkembangannya, kini Papua terbagi menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat.

Mutiara Bangsa dan Problematika
Selain kedaulatan sebagai faktor utama pembebasan, para pemimpin negeri ini menyadari
bahwa di dalam ”perut bumi” Papua, terdapat suatu mutiara bangsa. Mutiara bangsa itu
berupa kekayaan alam Papua, yang menjadi modal pembangunan bangsa dan tanah Papua
sendiri. Oleh karena itu, Papua harus dijaga, dilindungi dan diselamatkan demi kepentingan
bangsa dari pihak manapun.

Kekayaan Papua meliputi keberagaman suku (etnis) dan adat istiadat (budaya), aneka flora
fauna dan sumber daya alamnya. Tercatat, lebih dari 250 suku asli dengan ragam bahasanya
yang mewarnai kehidupan masyarakat Papua. Suku-suku di Papua antara lain Suku Aitinyo,
Suku Aefak, Suku Asmat, Suku Agast, Suku Dani, Suku Ayamaru, Suku Mandacan, Suku
Biak, Suku Serui, Suku Mee, Suku Amungme, Suku Kamoro. Adapun kekayaan alam Papua
meliputi pertambangan, perikanan, kehutanan dan lainnya.
Dalam sektor pertambangan, bahan alamnya antara lain tembaga, emas, biji besi, batu bara,
minyak bumi dan gas alam cair. Bahkan, sejak tahun 1967 terdapat PT. Freeport Indonesia,
sebuah perusahaan tambang emas terbesar dunia yang bertempat di Kabupaten Mimika.
Menurut sumber media detikfinance (23/5), perusahaan tambang ini telah menyetorkan
kewajibannya kepada pemerintah Indonesia sebesar US$ 678 juta atau sekitar Rp 5,8 triliun
sepanjang triwulan I-2011. Setoran ini terdiri dari pajak, royalti, dan dividen.
Meskipun Papua sangat kaya dengan sumber daya alamnya, tetapi realitas pembangunan
mengatakan bahwa Papua belum berkembang sebagaimana harapan masyarakat pada
umumnya. Padahal, dari segi pemerintahan, Papua telah mengalami 14 periode
kepemimpinan gubernur sejak Zainal Abidin Syah tahun 1956 hingga sekarang tahun 2011,
yang dipimpin oleh Barnabas Suebu. Bahkan sejak tahun 2001 Papua diberlakukan Otonomi
Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun
2001, berikut implikasinya berupa dana Otsus. Dari segi letak geografis pun, Papua
merupakan pintu gerbang perdagangan dengan negara-negara Asia Pasifik.

Kurang berhasilnya pembangunan di Papua bisa dilihat dari data statistik yang ada. Dari segi
tingkat kemiskinan dan pengangguran, jumlah warga miskin di tanah Papua semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat pada tahun 2010 (Maret), jumlah penduduk miskin
Papua sebesar 761.620 jiwa (36,80 persen). Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya
2009 sebesar 760.350 jiwa. Sedangkan jumlah pengangguran di Papua pada tahun 2010
(Agustus) sekitar 53,6 ribu jiwa (3,55 persen).
Dari segi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), nilai IPM Provinsi Papua masih menempati
peringkat ke-33 atau terendah se-tanah air sebesar 64,53 pada tahun 2009. Meski demikian,
angka ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2008 sebesar 64,00. Kenaikan angka
tersebut dipengaruhi oleh seluruh komponen pembentukannya, seperti komponen angka
harapan hidup naik sebesar 0,25 tahun, angka melek huruf naik 0,17 persen, angka rata-rata
lama sekolah naik sebesar 0,05 tahun, dan daya beli masyarakat naik sebesar Rp 4.229.
Dari segi pertumbuhan ekonomi terjadi perlambatan. Pada tahun 2010 terjadi pertumbuhan
sebesar -2,65 persen, dibandingkan pada tahun 2009 mampu tumbuh sebesar 22,74 persen.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi tanpa tambang pada tahun 2010 sebesar 11,98 persen
melambat dari tahun 2009 yang tumbuh 13,32 persen. Sebagai catatan, daya beli penduduk
Papua pada tahun 2009 membaik dibandingkan tahun sebelumnya.

Dari segi pendidikan dan kesehatan masih harus ditingkatkan lagi. Pada tahun 2009, lebih
dari 75,58 persen penduduk Papua sudah dapat membaca dan menulis, dan rata-rata lama

sekolahnya sampai dengan kelas 1 setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau 6,57
tahun. Dari segi kesehatan, jumlah perbandingan kasus HIV/AIDS dengan jumlah penduduk
(revalensi), Papua masih menempati posisi tertinggi di tanah air dibandingkan dengan
provinsi lainnya. Kondisi di atas tentu harus menjadi perhatian serius bagi gubernur, para
bupati dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Papua untuk memperhatikan rakyat,
termasuk mereka yang ada di kampung-kampung melalui program pembangunan yang sudah
ada, seperti Rencana Strategi Pembangunan Kampung (Respek).
Selain data di atas, hal yang menjadi sangat serius bagi pertumbuhan Papua adalah masih
sering terjadinya tindak kekerasan yang bersifat SARA dan gerakan Pro-Merdeka (Pro-M)
oleh sebagian masyarakat Papua yang mengarah pada disintegrasi NKRI. Bahkan, realitas di
lapangan menunjukkan gerakan Pro-M tersebut tidak saja dilakukan dengan pendekatan
politik, tetapi juga militer, yang umumnya dilakukan oleh anggota Tentara Pembebasan
Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM). Kasus kekerasan terbaru, terjadinya
penembakan terhadap mobil PT. Freeport Indonesia pada tanggal 6 April 2011 dan juga
pembakaran pada kendaraan perusahaan yang sama di sekitar ruas jalan Tanggul Timur,
Timika pada tanggal 7 April 2011, yang menewaskan dua orang karyawan perusahaan
tersebut.
International Crisis Group (ICG), sebuah organisasi nirlaba, non-pemerintah, dan mandiri
yang bekerja melalui analisis lapangan dan advokasi bagi pencegahan dan resolusi konflik,
melalui laporannya Asia Report No188 – 11 Maret 2010 mencatat bahwa sepanjang tahun

2009 sampai dengan 2010, terjadi peningkatan kekerasan politik. Menurut ICG, salahsatu
penyebab tindak kekerasan politik tersebut adalah meningkatnya kegiatan para aktivis militan
dari pegunungan tengah, yang mayoritas adalah anggota Komite Nasional Papua Barat
(KNPB), dimana KNPB merasa bahwa perjuangan mencapai referendum kemerdekaan
melalui jalan damai sudah tidak efektif.
Perkuatan dan Percepatan Pembangunan Papua
Peliknya berbagai permasalahan yang ada di Papua, tidak hanya menjadi tantangan bagi
masyarakat Papua semata, tetapi juga tantangan serius bagi pemerintah pusat dalam
mewujudkan kesejahteraan dan keamanan masyarakat di tanah Papua dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, diperlukan upaya percepatan
pembangunan di tanah Papua melalui langkah-langkah perkuatan dan percepatan
pembangunan di seluruh bidang kehidupan. Hal ini sebagaimana yang telah ditempuh
pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan
Pembangunan Papua dan rencana pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan
Papua Barat (UP4B).
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam rangka percepatan pembangunan tersebut
antara lain, pertama, masyarakat Papua harus membuka diri seluas-luasnya adanya ruang
heterogenitas dalam berbagai sisi di tanah Papua, baik dari segi suku, agama, budaya maupun
lainnya. Konsekuensi dari langkah ini adalah pihak Pemerintah Papua (baik tingkat I maupun
II) dan dinas/lembaga terkait harus melibatkan seluruh komponen masyarakat di Papua (baik

asli lokal Papua maupun non-Papua) dalam pembangunan di tanah Papua. Meski demikian,
dalam ruang-ruang tertentu perlu ada kebijakan khusus terkait keberadaan orang asli Papua
demi menjaga martabat masyarakat Papua, baik dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi

(Perdasi) maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), dan tetap memperhatikan
sinkronisasi peraturan pada perundang-undangan yang lain.
Kedua, masyarakat Papua perlu menyadari dan memahami sepenuhnya bahwa kebijakankebijakan pemerintah pusat dalam rangka percepatan pembangunan Papua merupakan niat
nyata dan serius oleh pemerintah pusat dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua
di segala bidang kehidupan. Kebijakan-kebijakan tersebut seperti yang telah dituangkan
dalam bentuk UU Otsus Papua dan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan
Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Konsekuensi dari langkah ini adalah
segenap komponen masyarakat Papua mendukung dan turut berperan serta
mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan baik untuk mencapai sasaran yang
diharapkan, termasuk mendukung rencana kebijakan baru pemerintah pusat dalam
membentuk Unit Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat
(UP4B).
Dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2007 disebutkan bahwa langkah percepatan pembangunan di
Provinsi Papua dan Papua Barat memperhatikan pendekatan kebijakan baru (the new deal
policy for Papua), dengan prioritas pemantapan ketahanan pangan dan pengurangan
kemiskinan; peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan; peningkatan kualitas

pelayanan kesehatan; peningkatan infrastruktur dasar guna meningkatkan aksesibilitas di
wilayah terpencil, pedalaman dan perbatasan negara; dan perlakuan khusus (affirmative
action) bagi pengembangan kualitas sumberdaya manusia putra-putri asli Papua.
Ketiga, masyarakat Papua harus senantiasa mengedepankan nilai-nilai persatuan dan
kesatuan bangsa di tanah Papua dalam bingkai NKRI. Konsekuensi dari langkah ini adalah
seluruh komponen masyarakat menghindari diri dari segala kegiatan yang mengarah pada
upaya disintegrasi bangsa, anarkisme, gerakan-gerakan politik dan kekerasan yang mengarah
“Pro-Merdeka” serta tidak terjebak oleh provokasi-provokasi negatif terhadap pemerintah,
baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun kelompok yang tidak bertanggung jawab.
Keempat, Pemerintah dan masyarakat Papua mendorong terciptanya penegakan hukum
positif secara adil dan tegas dalam penyelesaian masalah di tanah Papua dengan tetap
memperhatikan adat setempat. Hal ini cukup beralasan karena sebagian masyarakat tertentu
di Papua memandang sebelah mata penyelesaian dengan jalur hukum positif. Menurut
pandangan mereka, hukum adat terkadang lebih memungkinkan adanya rasa keadilan atas
hukuman atau denda bagi pelaku. Kondisi ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh adanya
unsur ketidakpercayaan masyarakat terhadap praktek pengadilan yang ada.
Kelima, Pemerintah Papua mampu mengemban amanah yang dipercayakan oleh pemerintah
pusat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Perwujudan langkah ini
antara lain dengan mengoptimalkan dana Otsus sebesar-besarnya dari pemerintah pusat untuk
pembangunan masyarakat Papua secara adil dan merata, mampu menjadi sarana pendengar

dan penyalur aspirasi yang baik bagi masyarakat Papua serta tidak menyelewengkan tugas
pokok dan fungsi serta jabatannya.
Rendahnya tingkat pembangunan di Papua disinyalir diakibatkan juga oleh adanya
penyalahgunaan wewenang serta tugas para elitnya, baik melalui tindakan korupsi, maupun
kebijakan-kebijakan yang tidak menyentuh masyarakat lapis bawah. Di sisi lain, pemerintah
pusat juga harus terus melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap kondisi pembangunan

di tanah Papua, baik dari segi kebijakan, pengalokasian anggaran, maupun pengembangan
sumber daya manusia-nya.
Keenam, segenap elit dan tokoh masyarakat Papua, baik Gubernur, DPRP maupun Majelis
Rakyat Papua (MRP) bersama-sama secara aktif membangun Papua dengan penuh jalinan
kebersamaan, keterpaduan, kesepahaman dan kepercayaan. Selama ini, acap kali terjadi
benturan dan ketidakpercayaan antar elit di Papua sehingga sedikit banyak menghambat
rencana pembangunan di tanah Papua. Dalam kebijakan-kebijakan strategis di Papua, selain
keterlibatan unsur eksekutif dan legislatif, juga melibatkan MRP yang mempunyai
kewenangan strategis sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun
2004.
Ketujuh, Pemerintah Papua perlu mengoptimalkan dan memberdayakan segala potensi lokal
Papua secara serius untuk kemajuan tanah Papua. Langkah ini bisa diwujudkan dalam bentuk
program peningkatan investasi daerah, pengembangan usaha-usaha lokal yang produktif,

peningkatan prestasi olahraga, pengembangan objek wisata, dan peningkatan kualitas sumber
daya manusia melalui program pendidikan dan pelatihan. Dengan memperhatikan luasnya
geografis Papua disertai topografis wilayah yang terdiri dari pegunungan dan pesisir pantai,
Papua mempunyai tantangan tersendiri dalam mewujudkan program-program pembangunan
tersebut.
Kedelapan, seluruh komponen masyarakat Papua, khususnya elit Papua diharapkan dapat
memahami, mengerti dan mematuhi segala produk peraturan perundangan-undangan yang
berkaitan dengan Provinsi Papua secara baik dan utuh, baik peraturan yang bersifat umum
maupun khusus. Beberapa peraturan perundangan-undangan tersebut antara lain UU Nomor
21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (telah diubah dengan UU
Nomor 35 tahun 2008), UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor
54 Tahun 2004 tentang MRP, dan Inpres No. 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
Terakhir kesembilan, masyarakat Papua diharapkan senantiasa mengedepankan jalur dialog
atau proses komunikasi dua arah dengan pihak pemerintah pusat/daerah. Proses dialog ini
tetap diarahkan dalam rangka mencari penyelesaian secara baik dan menyeluruh untuk
menjaga situasi tetap kondusif dalam wadah NKRI.
Penulis meyakini bahwasanya ketika langkah-langkah perkuatan dan percepatan
pembangunan tersebut dilakukan secara konsisten, aktif dan berkelanjutan, maka bukan tidak
mungkin, dalam beberapa dekade ke depan, Papua termasuk salahsatu provinsi dengan

tingkat peradaban yang sejajar dengan provinsi lainnya di Indonesia. Oleh karena itu,
diharapkan seluruh elemen masyarakat Papua bersatu padu dalam gerak dan fikiran untuk
membangun Papua mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua. Meski langkah-langkah
tersebut secara realitas berat untuk dilaksanakan, tapi segala sesuatunya harus dicoba, bukan?
*Penulis adalah pengamat sosial politik, alumni Akademi Sandi Negara. Sekarang berdinas
di salahsatu instansi pemerintah, Jakarta.

Diposting pada tanggal 12 Juni 2011