Etika dan Profesionalisme Saksi Ahli

Etika dan Profesionalisme
Saksi Ahli
Didik Sudyana, S.Kom 1, dr. Handayani Dwi Utami, Sp.F. 2
1

Jurusan Magister Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia
Jl. Kaliurang km. 14 Sleman Yogyakarta
2

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia
Jl. Kaliurang km. 14 Sleman Yogyakarta
1

didik_sudyana@yahoo.co.id
2
haniforensic@gmail.com

Abstrak— Sistem pengadilan Indonesia mengenal beberapa barang bukti yang sah dalam persidangan. Salah
satunya adalah keterangan ahli dari saksi ahli. Dalam menghadirkan seorang saksi ahli dalam persidangan,
maka harus ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh saksi ahli agar dapat dikatakan sebagai saksi ahli.
Selain itu, saksi ahli juga harus mempunyai etika dan profesionalisme dalam menjalan tugasnya sebagai

seorang saksi ahli. Paper ini nantinya akan membahas tentang saksi ahli lebih lanjut, bagaimana syarat
menjadi saksi ahli, bagaimana sikap seorang saksi ahli dalam persidangan, etika dan profesionalisme saksi
ahli, dan kemudian membahas salah satu contoh kasus bagaimana seorang saksi ahli melanggar etika dan
profesionalismenya.
Keywords— Saksi, Ahli, Etika, Profesionalisme.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sistem peradilan yang ada di Indonesia, tahapan
pembuktian adalah salah satu tahapan penting yang harus
dijalani. Karena pada tahapan pembuktian, akan menunjukkan
apakah terdakwa terbukti bersalah atau tidak atas kasus yang
sedang dihadapi. Ketika proses pembuktian, akan ada tahapan
memperlihatkan barang bukti yang ada.
Mengenai apa saja yang menjadi barang bukti dalam
pengadilan, Indonesia telah mengaturnya dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP dalam pasal
184 ayat (1) mengatakan “alat bukti yang sah adalah:
keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan
keterangan terdakwa” [1].

Salah satu yang sah menjadi alat bukti yaitu keterangan ahli
atau yang biasa disebut dengan saksi ahli. Kehadiran saksi ahli
sesuai yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 1 menyebutkan bahwa
“Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan” [2].
Ketika menjadi saksi ahli dalam sebuah persidangan, maka
harus ada etika dan profesionalisme yang dijaga oleh para
saksi ahli. Untuk itu dalam paper ini, akan dibahas tentang
bagaimana etika dan profesionalisme yang harus dimiliki oleh
para saksi ahli. Karena kesaksian oleh soerang saksi ahli akan
menjadi pertimbangan hakim dalam menentukan putusan bagi
terdakwa dan saksi ahli berada dibawah sumpah, sehingga
kode etik dan profesionalisme harus dimiliki oleh mereka
yang menjadi saksi ahli.

B. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penulisan paper ini yaitu

untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang
bagaimana etika dan profesionalisme yang harus dimiliki oleh
para saksi ahli dan seperti apa contoh kasus pelanggaran kode
etik dan profesionalisme saksi ahli.

II. P EMBAHASAN ETIKA DAN P ROFESIONALISME SAKSI AHLI
A. Pengertian Saksi Ahli
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, saksi ahli
adalah “orang yang dijadikan saksi karena keahliannya,
bukan karena terlibat dengan suatu perkara yang sedang
disidangkan” [3]. Selain itu, dalam memberikan
kesaksiannya, seorang saksi ahli juga hanya
menyampaikan apa yang menjadi bidang keahliannya yang
ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa
[4]. Dalam Federal Rules of Evidence yang dimiliki oleh
Amerika Serikat, saksi ahli itu adalah “An expert witness,
professional witness or judicial expert is a witness, who by
virtue of education, training, skill, or experience, is
believed to have expertise and specialised knowledge in a
particular subject beyond that of the average person,

sufficient that others may officially and legally rely upon
the witness's specialised (scientific, technical or other)
opinion about an evidence or fact issue within the scope of
his expertise, referred to as the expert opinion, as an
assistance to the fact finder” [5]. Yang jika diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia lebih kurang yaitu “Seorang
saksi ahli, saksi profesional atau ahli peradilan yang
bertindak sebagai saksi, adalah mereka yang mempunya
pendidikan, pelatihan, keterampilan, ataupun pengalaman,

yang diyakini mempunyai keahlian dan pengetahuan
khusus di bidang tertentu yang tidak semua orang bisa,
sudah bisa dikatakan sah dan pendapat saksi yang
mempunyai spesialisasi (sains, teknik, atau lainnya)
tentang barang bukti dalam lingkup keahliannya tersebut
dapat dipercayai dan legal dalam segi hukum. Dan
pendapat mereka tersebut dikatakan sebagai pendapat ahli
dalam membantu menemukan fakta yang sebenarnya”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa, seorang saksi ahli adalah
mereka yang mempunyai keahlian tertentu dalam suatu

bidang ilmu dan diminta bantuannya dalam sebuah
persidangan untuk membantu menemukan fakta yang
sebenarnya terkait kasus yang sedang dihadapi. Sehingga
tidak semua orang dapat dinyatakan sebagai saksi ahli.

B. Peranan Saksi Ahli dalam Persidangan
Dalam hal peranan saksi ahli dalam persidangan, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ada
mengatur beberapa peranan tersebut. Antara lain sebagai
berikut :
Pasal 132 ayat (1) KUHAP
Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat
atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu
oleh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh
penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu
dari orang ahli;
Pasal 133 ayat (1) KUHAP
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan
menangani seorang korban baik luka, keracunan
ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang

merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya;
Pasal 179 ayat (1) KUHAP
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya
wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan;

Perlu diperhatikan bahwa, tidak hanya ahli kedokteran
saja yang dapat menjadi seorang saksi ahli, akan tetapi
“ahli lainnya” juga dapat menjadi saksi ahli, dalam artian
bahwa ahli lainnya tersebut adalah ahli yang berkaitan
dengan kebutuhan penyidikan dapat berupa ahli komputer,
ahli pertanian, dan lain sebagainya terkait kasus yang
sedang ditangani.
Berdasarkan pasal tersebut, peranan saksi ahli yang
ditekankan adalah untuk memberikan keadilan. Nantinya
berdasarkan keterangan saksi ahli, dapat menambah
keyakinan hakim menjatuhkan sebuah putusan dalam
suatu persidangan. Bahkan Dame Elizabeth Butler-Sloss,

seorang mantan hakim yang terkenal di Inggris
mengatakan “Saksi ahli adalah peran yang krusial, tanpa
mereka kami (para hakim) tidak dapat melakukan
pekerjaan kami” [6].
Dalam memberikan kesaksiannya, saksi ahli harus
disumpah baik itu saat memberikan keterangan ahli dalam

persidangan, ataupun saat proses penyidikan. Jadi dalam
prosesnya, seorang saksi ahli yang akan ikut dalam proses
penyidikan harus disumpah terlebih dahulu, dan kemudian
ketika
akan
memberikan
keterangannya
dalam
persidangan, juga harus disumpah lagi sesuai dengan pasal
160 ayat 4, pasal 170 ayat 2, dan pasal 120 ayat 2.
Keterangan saksi ahli dapat terbagi menjadi 2, yaitu
keterangan saksi ahli secara lisan dalam persidangan dan
keterangan tertulis saksi ahli berupa surat-surat untuk

dijadikan alat bukti yang disebut visum et repertum (VER)
yang akan diberikan atas permintaan penyidik dalam
proses penyelidikan (Pasal 187 huruf c) [4].
C. Syarat sebagai Saksi Ahli
Persyaratan dan kriteria sebagai seorang saksi ahli tidak
diatur lebih lanjut dalam KUHAP [7]. Seseorang dapat
menjadi saksi ahli apabila mempunya keahlian khusus
dibidangnya, keahlian khusus tersebut dapat diperolehnya
baik itu dari pendidikan formal ataupun dari pendidikan
non formal, nantinya pertimbangan hakim berdasarkan
pertimbangan hukumnyalah yang menentukan seseorang
tersebut dapat dikatakan menjadi saksi ahli. Namun
biasanya, latar belakang pendidikan dan sertifikasi yang
dimiliki seseorang serta pengalaman yang dimilikinya
dapat menjadi pertimbangan oleh hakim. Sebagai contoh
hakim akan mempertimbangkan seseorang dapat dikatakan
sebagai saksi ahli forensik digital apabila ia mempunyai
sertifikasi di bidang forensika digital dan banyak
berurusan di dunia forensika digital tersebut.
Debra Shinder [8] mengungkapkan beberapa faktor dan

kriteria yang harus dimiliki oleh saksi ahli, antara lain
adalah :
1) Gelar pendidikan tinggi atau pelatihan lanjutan di
bidang tertentu;
2) Mempunyai spesialisasi tertentu;
3) Pengakuan sebagai guru, dosen, atau pelatih
dibidang tertentu;
4) Lisensi Profesional, jika masih berlaku;
5) Ikut sebagai keanggotaan dalam suatu organisasi
profesi; posisi kepemimpinan dalam organisasi
tersebut lebih bagus;
6) Publikasi artikel, buku, atau publikasi lainnya, dan
bisa juga sebagai reviewer. Ini akan menjadi salah
satu pendukung bahwa saksi ahli mempunyai
pengalaman jangka panjang;
7) Sertifikasi teknis;
8) Penghargaan atau pengakuan dari industri.
Namun apabila kehadiran seorang saksi ahli dalam
persidangan tersebut kapabilitasnya atau hasil keterangan
ahlinya diragukan oleh salah satu pihak, maka pihak

tersebut dapat mengajukan keberatan kepada hakim untuk
selanjutnya berdasarkan penilaian hakim untuk menerima
keberatan tersebut atau tidak. Dan jika keberatan tersebut
diterima, maka harus dicari saksi ahli lain yang lebih
mempunyai kapabilitas tersebut. Oleh karena itu,
pemilihan seorang saksi ahli harus selektif sehingga hasil
kesaksiannya tidak diragukan.

D. Etika dan Profesionalisme Saksi Ahli
Etika menurut Bertens adalah “Nilai-nilai dan normanorma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya”. Selain
itu pengertian etika lainnya adalah “ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk, dan tetang hak dan kewajiban
moral” [9].
Berdasarkan kedua pengertian tersebut, kita dapat ambil
kesimpulan bahwa etika tersebut adalah suatu nilai untuk
mengatur tingkah laku tentang hal yang baik dan hal buruk.
Dalam menjadi saksi ahli, tentunya harus ada etika yang
dimiliki. Karena keterangan saksi ahli akan menjadi
pertimbangan hakim nantinya dalam pengambilan

keputusan. Seorang saksi ahli telah diambil sumpahnya,
sehingga dia harus berkata jujur. Ini termasuk contoh etika
yang harus dimiliki seorang saksi ahli.
Tidak ada etika menjadi saksi ahli yang baku yang ada
di Indonesia. Namun dikutip dari beberapa sumber, ada
beberapa etika seorang saksi ahli yang bisa dijadikan
pedoman untuk menjadikannya sebagai kode etik saksi
ahli.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menerbitkan
ketentuan-ketentuan mengenai saksi ahli. Ketentuanketentuan tersebut antara lain [10] :
1) ahli adalah orang yang dipanggil dalam
persidangan untuk memberikan keterangan sesuai
keahliannya;
2) keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan
dalam persidangan;
3) ahli
dapat
diajukan
oleh
pemohon,
presiden/pemerintah, dpr, dpd, pihak terkait, atau
dipanggil atas perintah mahkamah;
4) ahli wajib dipanggil secara sah dan patut;
5) ahli wajib hadir memenuhi panggilan mahkamah;
6) keterangan ahli yang dapat dipertimbangkan oleh
mahkamah adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang tidak memiliki kepentingan yang
bersifat pribadi (conflict interst) dengan subjek
dan/atau objek perkara yang sedang diperiska;
7) sebelum memberikan keterangannya, ahli wajib
mengangkat sumpah sesuai dengan agama atau
kepercayaannya;
8) pemeriksaan ahli dalam bidang keahlian yang sama
yang diajukan oleh pihak-pihak dilakukan dalam
waktu yang bersamaan;

Selanjutnya, Robert Ambrogi mengusulkan sebuah
kode etik bagi saksi ahli yang dapat diterapkan bersama.
Kode etik tersebut antara lain [11]:
a. Sikap Netral Saksi Ahli
1) Seorang pengacara tidak boleh mengintervensi
atau mengganggu objektifitas dan independensi
saksi ahli. Seorang pengacara juga tidak boleh
mempengaruhi kesaksian dari saksi ahli.
2) Seorang pengacara tidak akan berusaha untuk
mendesak saksi ahli (langsung atau tidak

3)

4)

5)

6)

7)

8)

9)

langsung) untuk mengubah pendapat, bahkan
ketika pendapat tersebut merugikan bagi si
pengacara. Aturan ini tidak bermaksud untuk
menghambat diskusi dan perdebatan antara
pengacara dan saksi ahli atau untuk menentang
pendapat saksi ahli.
Seorang pengacara tidak akan membujuk saksi
ahli untuk memberikan pendapat dan kesaksian di
luar lingkup keahlian saksi ahli.
Seorang pengacara tidak boleh dengan sengaja
membiarkan saksi ahli memberikan kesaksian
yang salah atau menyesatkan.
Seorang pengacara tidak boleh, baik secara
langsung ataupun melalui pihak ketiga, berusaha
untuk menghalangi saksi ahli memberikan
kesaksiannya atau berusaha mempengaruhi
kesaksian saksi ahli pihak jaksa.
Seorang pengacara tidak boleh memanipulasi
pendapat saksi ahli dengan menyembunyikan
informasi yang relevan terkait kasus yang sedang
dihadapi.
Seorang pengacara dibolehkan untuk meminta
saksi ahli mengabaikan bukti tertentu untuk
mengasumsikan adanya bukti tertentu dengan
tujuan membuat skenario hipotesis untuk
memperoleh pendapat saksi ahli terhadap
hipotesis pengacara.
Seorang
pengacara
diperbolehkan
untuk
membantu
saksi
ahli
menyampaikan
kesaksiannya ketika persidangan (trial) atau
sebelum sidang (deposition), asalkan pengacara
tidak berusaha untuk mempengaruhi substansi
kesaksian saksi ahli atau
mengganggu
kemampuan saksi ahli untuk bersaksi secara tepat
dan jujur.
Dalam membantu saksi ahli seperti poin 8,
pengacara diperbolehkan memberikan arahan
kepada saksi ahli tentang kejadian dan ranah
hukum dalam kasus tersebut. Pengacara
diperbolehkan memberikan informasi kepada
saksi ahli pertanyaan yang ditanyakannya ketika
pemeriksaan berlangsung dan pertanyaan yang
mungkin ditanyakannya ketika dilakukan
pemeriksaan ulang. Pengacara diperbolehkan
memberikan saran kepada saksi ahli terkait sikap,
bahasa, dan cara menjawab.

b. Kerahasiaan
1) Dalam berkomunikasi dengan saksi ahli,
pengacara harus setiap saat memastikan
keutamaan
mempertahankan
kepentingan
kliennya
2) Tidak ada hal rahasia klien pengacara yang
ditutupi dan semuanya harus diberitahukan
kepada saksi ahli. Dan saksi ahli juga tidak boleh
menutupi rahasia klien pengacara. Seorang
pengacara harus memastikan bahwa saksi ahli

mengetahui bahwa hal rahasia klien yang
diberitahukan tersebut akan ada dalam salinan
daftar barang bukti. Baik itu saat kesaksian
ataupun saat penyidikan.
c. Biaya
1) Seorang pengacara dapat membayar saksi ahli
dengan biaya per jam atau dapat membayar
dengan biaya tetap asalkan nilainya cukup dengan
jasa dan keahlian saksi ahli. Seorang pengacara
harus membayar saksi ahli tepat waktu.
2) Seorang pengacara tidak boleh menawarkan
pembayaran lebih atau membayar biaya lebih
kepada saksi ahli dengan cara apapun yang
bergantung pada isi kesaksian ataupun hasil dari
kasus ini. (Jika hasilnya memuaskan, diberikan
biaya tambahan kepada saksi ahli).
3) Setiap negara mempunyai standard tanggung
jawab profesional yang berbeda tentang
pembayaran pengacara dan biaya persidangan.
Pembayaran pengacara untuk saksi ahli harus
sesuai dengan standard yang berlaku pada negara
tersebut.
d. Hubungan Ex-Parte* (Dalam bahasa hukum berarti
komunikasi yang tidak dibenarkan dengan satu pihak
atau dengan hakim)
1) Seorang pengacara tidak boleh menghubungi
saksi ahli yang menjadi lawannya di persidangan
diluar proses hukum yang resmi atau terlibat
dalam hubungan ex parte dengan saksi ahli yang
menjadi lawannya di persidangan.
2) Jika seorang pengacara memiliki alasan bahwa ia
percaya seorang saksi ahli tersebut telah di retain
(dalam bahasa hukum berarti telah dibiayai untuk
bekerja bersamanya) oleh pihak lain dengan
berbagai cara dalam penuntutan perkara,
pengacara seharusnya tidak boleh melakukan
hubungan ex-parte lebih lanjut dengan saksi ahli.
e. Konflik Kepentingan
1) Seorang pengacara harus mengundurkan diri dari
kasus yang ditanganinya jika saksi ahli pihak
lawan (jaksa penuntut) adalah mantan kliennya,
kecuali persetujuan saksi ahli dalam suratnya
untuk tetap membiarkan pengacara menangani
kasusnya dan menyatakan bahwa pengungkapan
informasi rahasia yang diperoleh ada berdasarkan
representasi informasi sebelumnya.
2) Jika seorang pengacara keberatan dengan
kredibilitas atau kebenaran saksi ahli dalam satu
kasus, pengacara tidak semestinya kemudian
menggunakan saksi ahli yang ia ragukan tersebut
menjadi saksi ahli baginya di kasus yang lain.
Jika hal ini terjadi, saksi ahli dapat menolak
permintaan pengacara dan hal tersebut dapat

melemahkan kemampuan pengacara untuk
mewakili kliennya di persidangan.
3) Seorang pengacara yang menggunakan saksi ahli
untuk membantunya harus meminta saksi ahli
untuk menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang
berpotensi merugikan kedua belah pihak selama
proses retensi* (retensi : pembayaran yang
ditunda hingga proses yang dijanjikan selesai)
4) Seorang pengacara tidak boleh mendampingi
kliennya (menjadi advokat) dalam kasus dimana
pengacara atau anggota dari perusahaan
pengacara tersebut menjadi saksi ahli.
f. Profesionalisme
1) Seorang pengacara yang menggunakan saksi ahli
untuk membantunya harus memastikan bahwa
saksi ahli sepenuhnya memahami standard yang
berlaku dalam wilayah hukum agar saksi ahli dan
pendapatnya diterima hukum.
2) Seorang pengacara yang menggunakan saksi ahli
untuk membantunya harus menyiapkan dan
meminta saksi ahli untuk menandatangani surat
retensi penuh yang mengatur ruang lingkup
pekerjaan dan kewajiban saksi ahli berkenaan
dengan kebenaran, independensi, dan kerahasiaan.
Surat retensi juga menentukan apa saja hubungan
yang dikehendaki termasuk ruang lingkup dan
batasan serta tanggung jawab saksi ahli.
3) Seorang pengacara tidak akan menggunakan
kesaksian saksi ahli sebagai dalih untuk
mengajukan bukti dalam pengadilan yang barang
bukti tersebut telah ditolak pengadilan. Seorang
pengacara diizinkan untuk meminta pendapat
saksi ahli tentang barang bukti yang telah
diterima di pengadilan jika barang bukti tersebut
membutuhkan keahlian dalam bidang tertentu
sehingga membantu memberikan kesimpulan
tentang barang bukti tersebut.
4) Seorang pengacara tidak boleh memperkenalkan
seorang saksi ahli di persidangan sebelum saksi
ahli tersebut dimintai bantuannya atau setelah
saksi ahli mengundurkan atau diberhentikan.
5) Seorang pengacara tidak boleh meminta bantuan
saksi ahli (mengangkat saksi ahli) hanya agar
saksi ahli tersebut tidak bekerja untuk lawannya
di pengadilan.
6) Seorang pengacara tidak akan mencoba berusaha
merayu saksi ahli untuk berpindah dari yang
awalnya bekerja untuk lawannya menjadi bekerja
untuk dia dalam kasus yang sedang dihadapi atau
berusaha untuk mengubah pendapat atau analisis
saksi ahli.
7) Dalam pembuatan laporan tertulis seorang saksi
ahli, seorang pengacara diperbolehkan membantu
memandu saksi ahli sesuai dengan format laporan
dan cara pengisian. Pengacara juga dapat
membantu saksi ahli menyusun laporan, asalkan

pengacara tidak menentukan kesimpulan akhir
laporan dan laporan tersebut harus secara akurat
mencerminkan kesimpulan dari saksi ahli.
8) Seorang pengacara tidak boleh menggunakan
bahasa ilmiah yang kompleks dan teknis dalam
kesaksian saksi ahli untuk mempersulit atau
membuat masalah tersebut menjadi kabur.
Jika diperhatikan lebih lanjut, Robert Ambrogi
membuat kode etik tersebut dari sisi pengacara. Jadi apa
yang diperbolehkan pengacara lakukan terhadap saksi ahli.
Namun kode etik tersebut sebenarnya memang
diperuntukkan bagi saksi ahli. Jadi apa yang seorang
pengacara tidak boleh lakukan dalam penjelasan kode etik
diatas, maka saksi ahli juga tidak dibolehkan. Sebagai
contoh, “Seorang pengacara tidak boleh dengan sengaja
membiarkan saksi ahli memberikan kesaksian yang salah
atau menyesatkan”. Bukan hanya pengacara saja, berarti
saksi ahli juga diperbolehkan memberikan kesaksian yang
salah atau menyesatkan. Begitu seterusnya terkait
bagaimana menganalisa dan memahami kode etik diatas.
Namun, jika kode etik tersebut akan diterapkan di
Indonesia, tentunya kode etik dan profesionalisme tersebut
harus di revisi lebih lanjut sesuai dengan asas hukum
Indonesia. Karena Robert Ambrogi membuat kode etik
tersebut berdasarkan asas hukum negaranya.
E. Sikap Seorang Saksi Ahli Dalam Persidangan
Feder [5] merangkum ada beberapa sikap yang harus
dipatuhi oleh saksi ahli dalam suatu persidangan dan
bagaimana saksi ahli menjawab pertanyaan yang diajukan
hakim dalam persidangan agar tidak melanggar kode etik.
Pedoman berikut ini dapat membantu kesaksian saksi ahli
menjadi lebih efektif, lebih persuasif, dan tidak rumit.
Saran yang dibuat Federr ini didasarkan pada pengalaman
persidangan banyak saksi ahli dalam banyak kasus yang
berbeda. Saran-saran tersebut antara lain :
1) Katakan kejujuran yang ada
2) Persiapkan ulang kesaksian dengan meninjau
kembali fakta yang ada
3) Ingat, bahwa sebagian besar pertanyaan dapat
dijawab denagn :
- “Ya”
- “Tidak”
- “Saya tidak tau”
- “Saya tidak ingat”
- “Saya tidak mengerti pertanyaannya”
- Atau dengan menyatakan satu fakta saja
4) Jawab “Ya” dan “Tidak” ketika dirasa cukup
dengan menjawab itu.
5) Batasi jawaban atas pertanyaan yang ada untuk
mempersempit pertanyaan selanjutnya. Kemudia
berhenti berbicara
6) Jangan pernah memberikan informasi atau jawaban
yang tidak ditanyakan.
7) Jangan berasumi bahwa jawaban harus diberikan
setiap pertanyaan

8) Berhati-hati dengan pertanyaan berulang dengan
topik yang sama
9) Selalu bersabar
10) Berbicara perlahan, jelas, dan natural
11) Postur tubuh ke depan, tegak, dan waspada
12) Berikan jawaban secara lisan, jangan mengangguk
atau gerakan sejenisnya sebagai pengganti jawaban
atas pertanyaan yang diberikan
13) Jangan takut untuk meminta klarifikasi atas
pertanyaan yang tidak jelas
14) Jangan takut untuk diperiksa pengacara
15) Harus memberikan bukti yang akurat untuk semua
hal, termasuk hasil lab.
16) Batasi jawaban untuk fakta pribadi saksi ahli
17) Berikan informasi yang diminta saja, jangan
berikan opini atau perkiraan kecuali merema minta.
18) Berhati-hati untuk pertanyaan yang menyertakan
kata “sebenarnya” atau “sepenuhnya”
19) Ingat bahwa semua jawaban harus pasti tanpa
terkecuali
20) Berhati-hati tentang waktu, lokasi, dan jarak
perkiraan
21) Jangan memberikan jawaban perkiraan jika
jawabannya tidak diketahui
22) Jangan mengelakkan pertanyaan, berdebat, atau
menebak pertanyaan pengacara
23) Akui jika kesaksian yang akan dibahas ini sudah
dibahas sebelumnya, jika itu terjadi
24) Jangan menghafalkan cerita
25) Hindari jawaban seperti “saya pikir”, “saya kira”,
“saya percaya”, “menurut asumsi saya”
26) Bersikap santai, tapi tetap selalu siap setiap saat
27) Jangan menjawab terlalu cepat, ambil nafas tenang
(tarik nafas) sebelum menjawab setiap pertanyaan
28) Jangan melihat ke pengacara yang dibantu selama
memberikan kesaksian
29) Pastikan setiap pertanyaan sepenuhnya dipahami
sebelum menjawab. Waspadalah “trik” pertanyaan
30) Jangan menjawab, jika tidak diperintahkan
31) Jangan pernah bercanda selama proses persidangan
32) Jangan membesar-besarkan jawaban, meremehkan,
atau meminimalkan jawaban
33) Berpakaian yang sopan dan bersih, disarankan
untuk menggunakan pakaian bisnis
34) Harus serius sebelum, ketika, dan setelah
persidangan
35) Jika membuat kesalahan, perbaiki segera
36) Tetap diam jika pengacara keberatan selama
pemeriksaan
37) Mendengarkan dengan cermat dialog antara
pengacara
38) Hindari sikap yang menunjukkan kegelisahan atau
gerogi
39) Jangan menggunakan bahasa teknis, gunakan
bahasa awam yang dipahami peserta sidang
40) Berbicara dengan sederhana

41) Tidak membahas kasus di lorong atau di toilet
persidangan
42) Jangan
berbicara
dengan
pihak
lawan,
pengacara,atau juri
43) Katakan kejujuran yang ada
Feder sangat menekankan saksi ahli untuk selalu
bersikap jujur dalam berkata. Bahkan Federr menulis dua
kali tentang “katakan kejujuran yang ada”. Sehingga sikap
jujurlah yang utama bagi seorang saksi ahli apalagi
seorang saksi ahlipun telah disumpah sebelum bersaksi
dalam pengadilan.
F. Contoh Kasus Pelanggaran Kode Etik Saksi Ahli
Salah satu contoh kasus terkait pelanggaran kode etik
oleh saksi ahli yaitu kasus berita Bioremediasi PT Chevron
Pacific Indonesia (CPI). Karyawan PT. CPI dituduh
melakukan tindak pidana korupsi dalam program
bioremediasi. Program bioremediasi tersebut adalah
sebuah program untuk membersihkan tanah yang terpapar
minyak dengan menggunakan mikroorganisme alami.
Kejaksaan Agung menetapkan 5 tersangka dan
menetapkan ada indikasi penyelewangan anggaran negara
dan ditaksir negara mengalami kerugian sebesar Rp. 200
miliar. Anggaran tersebut digunakan PT CPI untuk
melakukan proyek remediasi selama ini.
Chevron diduga sengaja menyewa tenaga yang tidak
berkompeten dalam bidang bioremediasi dengan
menggelembungkan anggaran. Setelah proyek berjalan
atau selesai, mereka bakal mengajukan permintaan uang
pengganti ke pemerintah melalui BP Migas [12].
Namun ternyata dalam perjalanan persidangannya,
ditemukan beberapa masalah terkait saksi ahli dan
pembuktian barang bukti yang dilakukan oleh saksi ahli.
Kuasa hukum terdakwa saat itu menanyakan kredibilitas
dari saksi ahli jaksa penuntut umum. Karena pada saat itu,
jaksa penuntut umum menghadirkan Edison Effendi
sebagai seorang saksi ahli. Yang mana Edison Effendi
merupakan seseorang yang pernah kalah dalam tender
proyek bioremediasi CPI pada tahun 2008 dan 2011,
sehingga independensi saksi ahli dipertanyakan. Karena
sesuai dengan prinsip hukum, majelis hakim harus
mengabaikan kesaksian ahli yang memiliki konflik
kepentingan dan bersikap tidak netral. Karena berdasarkan
surat ekspose ahli yang disampaikan Edisonlah yang
diklaim jaksa sebagai salah satu bukti permulaan untuk
menetapkan tersangka dan melakukan penahanan terhadap
karyawan Chevron [13]. Bahkan Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) pun pada 21 Mei 2013,
merilis temuannya tentang adanya pelanggaran HAM
terhadap para terdakwa kasus bioremediasi. Komisioner
Komnas HAM menuturkan, salah satu indikasi
pelanggaran HAM itu adalah saksi ahli yang dihadirkan
JPU dalam persidangan, adalah orang yang sarat konflik
kepentingan karena pernah kalah dalam tender
bioremediasi CPI [14].
Permasalahan saksi ahli Edison tidak hanya sampai
disitu, dikutip dari kompas.com, dalam pengambilan

sampel barang bukti juga ternyata bermasalah, Kejaksaan
Agung mengambil sampel tanah dari 2 SBF, tetapi
langsung membuat kesimpulan seluruh proyek di 9 SBF
bermasalah. Menurut beberapa ahli yang dimintai
keterangan mengatakan bahwa metodologi pengambilan
sampel tersebut tidak dapat diterima, karena 2 sampel
tidak dapat mewakili 9 sampel lainnya. Selain itu jarak
pengambilan sampel 1 dan sampel 2 juga berjauhan dan
membutuhkan waktu yang lama untuk menangkaunya
sehingga secara logika tidak dapat diterima [15].
Selanjutnya adalah keterangan dari pelapor sekaligus
sebagai saksi ahli jaksa, Edison Simbolon yang menjadi
dasar dugaan korupsi yang didakwakannya, Edison
mengatakan bahwa bioremediasi yang dibolehkan hanya
untuk TPH 7,5 sampai 15 persen. Padahal, Kementerian
Lingkungan Hidup tidak pernah membuat ketentuan
seperti itu, yang ada dalam Kepmen 128/2003,
bioremediasi boleh dilakukan untuk TPH diatas 1 persen
dan maksimal 15 persen. Sehingga keterangan saksi ahli
yang dijadikan dakwaan seharusnya tidak benar dan ada
unsur rekayasa [16].
Tidak hanya sampai disitu, Edison Effendi juga ternyata
selain menjadi saksi ahli, dia juga datang ke persidangan
sebagai saksi fakta. Sehingga tidak jelas statusnya apakah
sebagai seorang saksi fata ataukah sebagai saksi ahli dan
ada konflik kependingan dari saksi ahli Kejagung ini [15].
Menurut Edward, seorang Guru Besar Hukum Pidana
UGM mengatakan bahwa “Pakar hukum menilai saksi ahli
dalam kasus tindak pidana korupsi pada proyek
biremediasi di PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) harus
memenuhi empat syarat, yaitu kapasitas intelektual,
obyektivitas, corak kesaksia, dan kekuatan kesaksian. Jika
ahli berpendapat diluar itu, maka keterangannya harus
diabaikan atau tidak dipertimbangkan. Majelis Hakim
harus mengabaikan keterangan saksi ahli yang tidak
obyektif” [16].
Guru Besar UGM tersebut menilai bahwa saksi ahli
Jaksa tersebut kurang obyektif dan ada muatan konflik
kepentingan. Obyektivitas yang dimaksud adalah saksi
ahli hanya boleh berpendapat mengenai hal-hal dan tidak
boleh terkait perkara yang sedang disidangkan, ada asas
Nemo Judex Idoneus Improperia Causa yang maksudnya,
kalau seorang saksi ahli memiliki kepentingan didalamnya,
maka tidak diperbolehkan ikut serta dalam perkara [16].
Berdasarkan kutipan-kutipan yang diambil dari
beberapa media cetak tersebut, memang benar, dapat
dipastikan bahwa ada pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh saksi ahli Jaksa tersebut. Edison tersebut
telah melanggar ketentuan yang diterbitkan Mahkamah
Konstitusi terkait saksi ahli pada point f yaitu “keterangan
ahli yang dapat dipertimbangkan oleh mahkamah adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang yang tidak
memiliki kepentingan yang bersifat pribadi (conflict interst)
dengan subjek dan/atau objek perkara yang sedang
diperiska”. Seperti yang ditelah dipaparkan diatas bahwa
saksi ahli jaksa ini diragukan oleh banyak pihak akan

ahli untuk dalih mengajukan bukti yang sebenarnya
kepentingan pribadinya dalam objek perkara yang sedang
buktinya itu juga tidak kredibel seperti yang sudah
diperiksa.
diberitakan pada pembahasan sebelumnya.
Selain itu, jika dilihat point-point yang dilanggar oleh
Edison dalam kode etik yang diusulkan oleh Robert
Lebih kurang seperti itu point-point yang dilanggar
Ambrogi, maka ada banyak point kode etik yang dilanggar,
diantaranya adalah :
oleh Edison sebagai seorang saksi ahli yang pada intinya,
1) Pada bahasan Sikap Netral saksi ahli pada point 1
kredibilitasnya diragukan dan juga hasil analisa barang
yang berbunyi “Seorang pengacara tidak boleh
buktinya memberikan informasi yang menyesatkan.
mengintervensi atau mengganggu objektifitas dan
independensi saksi ahli. Seorang pengacara juga
III. PENUTUP
tidak boleh mempengaruhi kesaksian dari saksi
A.
Kesimpulan
ahli.”
Saksi ahli merupakan salah satu barang bukti sah yang
Walaupun disitu disebutkan seorang pengacara,
dapat
digunakan dalam pengadilan. Hal ini telah diatur
namun tetap intinya adalah seorang saksi ahli harus
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab
mempunyai objektifitas dan independensi. Namun
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Saksi ahli dalam
ketika kita lihat kutipan berita yang telah dibahas,
persidangan bertindak untuk membuat terang suatu
kita bisa lihat begitu banyak yang meragukan
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
objektifitas dan independensi Edison sebagai saksi
Undang-undang dan aturan di Indonesia belum ada
ahli berdasarkan bukti-bukti yang ada.
yang
mengatur secara rinci tentang apa saja syarat-syarat
2) Pada bahasan sikap netral saksi ahli pada point 3
dan
aturan
untuk menjadi seorang saksi ahli, namun
yang berbunyi “Seorang pengacara tidak akan
biasanya
seorang
saksi ahli dapat dihadirkan dalam
membujuk saksi ahli untuk memberikan pendapat
persidangan apabila mempunyai latar belakang pendidikan
dan kesaksian di luar lingkup keahlian saksi ahli”.
formal maupun informal terhadap kasus yang akan
Berdasarkan sumber yang didapat, kita ketahui
dihadapi dan juga berdasarkan pengalamannya. Nantinya,
bahwa si Edison tadi juga melanggar point ini,
hakimlah yang akan menentukan diterima atau tidaknya
karena dia memberikan kesaksian di luar lingkup
saksi ahli ini dalam persidangan.
keahlian saksi ahli, sebab dia juga merangkap
Etika dan profesionalisme saksi ahli belum ada aturan
sebagai saksi fakta, dan itu tidak diperkenankan,
yang
baku di Indonesia, namun Mahkamah Konstitusi
dan akan kembali lagi ke point pertama,
menerbitkan
ketentuan-ketentuan mengenai saksi ahli
objektivitasnya diragukan.
dalam 8 ketentuan. Robert Ambrogi, seorang pakar hukum
3) Masih pada bahasan sikap netral saksi ahli,
dari Boston, USA, membuat usulan mengenai kode etik
sekarang pada point 4 yang berbunyi “Seorang
saksi ahli dan profesionalismenya yang cukup bagus yang
pengacara tidak boleh dengan sengaja membiarkan
dari 6 pembahasan dan 28 point.
saksi ahli memberikan kesaksian yang salah atau
Di Indonesia sendiri sempat terjadi kasus dalam
menyesatkan”.
pelanggaran kode etik saksi ahli ini. Salah satu topik yang
Sumber diatas menyebutkan bahwa Edison telah
masih hangat yaitu pada kasus dugaan korupsi
memberikan kesaksian yang menyesatkan terkait
bioremediasi pada PT. Chevron Pacivic Indonesia. Yang
batasan TPH yang dikeluarkan Kementerian
mana Edisson selaku saksi ahli dari pihak jaksa banyak
Lingkungan Hidup. Dan ini jelas melanggar kode
melakukan pelanggaran kode etik sebagai saksi ahli
etik saksi ahli.
merujuk dari usulan kode etik yang dibuat oleh Robert
4) Lalu Edison juga melanggar profesionalisme
Ambrogi. Salah satunya yaitu integritas dan objektivias
sebagai seorang saksi ahli, karena melanggar
Edisson selaku saksi ahli yang diragukan, dan juga
ketentuan pada Bahasan Profesionalisme, point 3
kesaksian saksi ahli yang menyesatkan.
yaitu “Seorang pengacara tidak akan menggunakan
kesaksian saksi ahli sebagai dalih untuk
mengajukan bukti dalam pengadilan yang barang B. Saran
Saran untuk kedepannya diharapkan agar Dewan
bukti tersebut telah ditolak pengadilan. Seorang
Perwakilan Rakyat dapat membuat undang-undang atau
pengacara diizinkan untuk meminta pendapat saksi
Pemerintah Indonesia membuat aturan mengenai
ahli tentang barang bukti yang telah diterima di
persyaratan menjadi saksi ahli atau bahkan cukup hanya
pengadilan
jika
barang
bukti
tersebut
melalui Surat Edaran dari Mahkamah Agung. Sehingga
membutuhkan keahlian dalam bidang tertentu
saksi ahli yang dapat hadir di persidangan adalah benar
sehingga membantu memberikan kesimpulan
saksi ahli yang kompeten dibidangnya.
tentang barang bukti tersebut.”
Selain itu, diharapkan juga adanya kode etik bagi saksi
Walaupun disitu tertulis seorang pengacara, namun
ahli yang baku yang diterapkan di Indonesia seperti kode
menurut analisa yang dilakukan, juga dapat
etik kedokteran dan semacamnya. Sehingga dapat
ditujukan kepada jaksa. Pada kasus ini, jaksa
mengatur hak-hak dan kewajiban serta apa saja yang
penuntut umum menggunakan Edison sebagai saksi
dilarang dilakukan saksi ahli dalam sebuah persidangan.

.

[10]

Mahkamah Konstitusi RI, “Pengajuan Saksi Ahli.” [Online].
Available:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web
.TataCara&id=12. [Accessed: 27-Sep-2015].

[11]

R. Ambrogi, “Expert Witnesses Code of Ethics Updated,”
IMS ExpertServices. [Online]. Available:
http://practice.findlaw.com/practice-support/expertwtinesses-code-of-ethics-updated.html. [Accessed: 27-Sep2015].

REFERENSI
[1]

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Jakarta: Sekretaris Negara.

[2]

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Jakarta: Sekretaris Negara, 1981.

[3]

“KBBI - Saksi.” [Online]. Available:
http://kbbi.web.id/saksi. [Accessed: 27-Sep-2015].

[12]

A. P. Saptohutomo, “Kasus korupsi bioremediasi Chevron
mulai disidang,” merdeka.com, 20-Dec-2012.

[4]

P. J. Umboh, “Fungsi dan Manfaat Saksi Ahli Memberikan
Keterangan Dalam Proses Perkara Pidana,” Lex Crim., vol.
II, no. 2, p. 112, 2013.

[13]

Beritasatu.com, “Chevron Pertanyakan Netralitas Saksi Ahli
Bioremediasi,” 2012. [Online]. Available:
http://sp.beritasatu.com/home/chevron-pertanyakannetralitas-saksi-ahli-bioremediasi/27836. [Accessed: 28Sep-2015].

[5]

H. A. Feder, Law 101: Legal Guide for the Forensic Expert.
U.S. Department of Justice, 2011.

[14]

A. Lagaligo, “Jaksa Kasus Bioremediasi Diminta Hadirkan
Saksi Ahli yang Netral,” dunia-energi.com, 2013. [Online].
Available: http://www.dunia-energi.com/jaksa-kasusbioremediasi-diminta-hadirkan-saksi-ahli-yang-netral/.
[Accessed: 28-Sep-2015].

[15]

P. A. Auliani, “Ini Indikasi Kejakgung Langgar HAM di
Kasus Bioremediasi,” kompas.com, 06-May-2013.

[16]

Neraca.com, “Saksi Ahli Harus Penuhi Empat Syarat,”
2013. [Online]. Available:
http://www.neraca.co.id/article/27436/saksi-ahli-haruspenuhi-empat-syarat-kasus-bioremediasi-chevron.
[Accessed: 28-Sep-2015].

[6]

C. Frampton, “How to be an effective expert witness,”
SAFC Pharma , no. September, pp. 0–21, 2011.

[7]

T. J. A. Pramesti, “Syarat dan Dasar Hukum Keterangan
Ahli dalam Perkara Pidana,” hukumonline.com, 2013.
[Online]. Available:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52770db2b956
d/syarat-dan-dasar-hukum-keterangan-ahli-dalam-perkarapidana. [Accessed: 27-Jun-2015].

[8]

D. L. Shinder, “Testifying as an expert witness in computer
crimes cases,” techrepublic.com, Oct-2010.

[9]

B. Sutiyoso, Manajemen, Etika & Hukum Teknologi
Informasi. Yogyakarta: UII Press, 2015.