Spritualitas dan Etika Ekologis. docx

Spiritualitas dan Etika Ekologis
Oleh Dadan Ramdan Harja*
Kerusakan dan kehancuran ekosistem alam yang semakin kronis saat ini, tak lepas dari
keberadaan, peran dan posisi manusia sebagai subjek perubahan, pelaku utama kehidupan di bumi.
Di luar mekanisme dan etika alamiah alam semesta yang bekerja berdasarkan hukum alam yang
dinamis dan memengaruhi kehidupan ekosistem bumi. Peran artifisial manusia sangat signifikan
dalam mempengaruhi keberlanjutan dan keseimbangan alam serta siklus kehidupan mahluk hidup
lainnya yang satu sama lain saling mempengaruhi.
Pola sikap, pikir dan tindak manusia di bumi telah memasifkan kerusakan ekosistem. Peran
manusia yang diartikulasikan dan diwujudkan dalam kebijakan dan keputusan politik, perilaku,
tradisi masyarakat telah menyuburkan terjadinya patologi ekologi. Fenomena pencemaran tanah, air
dan udara yang semakin meningkat, kuantitas dan kualitas hutan yang semakin berkurang,
kekeringan dan kelangkaan air, banjir dan longsor, produksi sampah yang terus meningkat,
kepunahan fauna dan flora serta fenomena krisis dan bencana ekologis lainnya disebabkan oleh
aktivitas manusia.
Manusia, etika dan spritualitas
Manusia telah menjadi predator dan monster bagi semua mahluk di bumi. Padahal, semua
mahluk biotik dan abiotik memiliki hak yang sama untuk hidup. Manusia menjadi satu-satunya
mahluk yang melahirkan patologi dan bencana ekologis di bumi. Situasi ini menjadi pertanda,
manusia mengalami krisis spiritualitas dan etika ekologis. Pada diri manusia, spiritualitas dan etika
ekologis semakin menjaug dan mengering di aras kehidupan semua mahluk hidup di bumi.

Spritualitas ekologi bisa diartikan sebagai semangat, nilai dasar gerak dan tindakan manusia
untuk hidup selaras alam yang didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan yang telah menciptakan alam
semesta dan menitipkannya kepada manusia. Etika ekologis dapat kita definisikan sebagai tatanan
pola pikir, sikap dan tindak sebagai bagian dari tradisi yang memiliki kaitan erat dengan perilaku
manusia yang mengatur dimensi hak dan kewajiban manusia sebagai mahluk hidup. Selain itu,
etika ekologi juga mengajarkan kepada manusia, bahwa hak alam dan mahluk hidup lainnya juga
penting untuk dilindungi.
Spritualitas dan etika ekologis memastikan bahwa manusia tidak diijinkan untuk semenamena, serakah, dan rakus mengelola sumber kehidupan di bumi sesuai dengan hasrat dan nafsu
kemanusiaannya. Spiritualitas dan etika ekologis memberikan pedoman bahwa alam ini bukan
hanya untuk generasi sekarang belaka, namun jauh lebih penting bagaimana generasi ke depan pun
perlu diselamatkan.
Dalam kontesk spirualitas dan etika ekologis, Peter Kropotkin menegaskan bahwa Alam
adalah guru etika pertama manusia. Kemudian, Fritjof Capra mengatakan ekologi dan spiritualitas
secara fundamental terbubungkan, karena sejatinya kesadaran ekologis yang paling mendalam
adalah kesadaran spiritual itu sendiri. Sementara, Mircea Eliade menegaskan bahwa perilaku
religiusitas manusia memberikan kontribusi dalam mengelola dan menjaga kesucian dunia.
Sumber Pembelajaran
Sebenarnya, praksis spiritualitas dan etika ekologis di bumi nusantara bisa kita pelajari dari
beragam sumber pengetahuan yang tersebar luas. Keanekaragaman sumber spritualiatas dan etika
ekologis bisa kita pelajari dari kearifan sistem adat, ajaran agama dan nilai tradisi baru komunitas.

Kehidupan adat istiadat masa lalu masyarakat dan bangsa di nusantara menjadi sumber
spiritual dan etika yang masih relevan untuk dijadikan solusi penyembuhan penyakit ekologis.
Praksis tradisi kehidupan masyarakat adat bisa kita temukan dalam tradisi adat Sunda, Bali, Dayak,
dan suku-suka lain yang tersebar luas. Intinya, bagaimana adat istiadat mengatur hubungan
manusia, alam dan Sang Penciptanya secara selaras. Kehidupan masyarakat Baduy di Lebak, bisa
dijadikan salah satu pengalaman praktik kehidupan yang memadukan spiritualitas dan etika

ekologis dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sistem agroekosistem masyarakat Baduy
yang telah dilakukan turun-temurun adalah contohnya.
Selain dari adat istiadat yang masih relevan, ajaran semua agama pun memberikan
pembelajaran dan pengalaman bagaimana cara manusia berinteraksi dengan alam dan sang
penciptanya. Pada hakikatnya, ajaran Islam, Tao, Hindu, Budha, Kristen dan agama lainnya
merupakan sumber referensi yang bisa dijadikan pijakan dan prinsip dasar dalam kehidupan di
Bumi.Bahkan Agama Buddha, Tao, Konfusianisme, dan Shinto, menganggap alam sebagai sakral.
Muhamad Ali menyatakan dalam ajaran Islam, ada prinsip "jangan merusak" (la darara wa
la dirara), prinsip taskhir (wewenang menggunakan alam guna mencapai tujuan penciptaan) dan
prinsip istikhlaf (wakil Tuhan di bumi yang bertanggung jawab, responsible trusteeship). Dalam
Ajaran Islam, banyak di temukan ayat-ayat dalam Kitab Suci Al Qur;an yang bisa dijadikan
pedoman spritualitas dan etika ekologis kita. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bagaimana manusia
menjadi bagian dari lingkungan hidup itu sendiri, diantaranya menjaga dan memelihara makhluk

hidup, Menghidupkan lahan yang mati, melakukan penanaman pohon dan penghijauan.
Sementara, ajaran Buddha mengatakan pepohonan dan bumi memiliki semangat Buddha,
yaitu kehidupan. Tao mengajarkan hubungan harmonis manusia dan alam. Konfusius menekankan
langit dan bumi dinamakan orang tua agung yang memberi kehidupan dan kebutuhan hidup. Ajaran
Kristian sebagaimana yang diungkapkan oleh Eduardo Agosta menyatakan dari sudut pandang
trinitarian, realitas dunia ini sesungguhnya adalah Allah, manusia dan ciptaan lain (baik yang
terlihat maupun yang tak terlihat), yang disatukan oleh Kekuatan Ilahi, yang merupakan sumber
yang menghidupkan dan sekaligus yang menjaga keberlangsungan realitas dunia.
Menyuburkan Etika Ekologis
Menjawab situasi patologi ekologis yang semakin kronis maka spiritualitas dan etika
ekologi semakin relevan sebagai sebuah basis solusi untuk menyelamatkan ekosistem bumi. Saat
ini, spiritualitas dan etika ekologi manusia yang semakin mengering dalam kehidupan. Spiritualitas
dan etika ekologis bisa menjadi sebuah jalan penyembuhan krisis dan penyakit ekologis ke depan.
Manusia perlu dan harus menyuburkan kesadaran, spiritualitas dan etika ekologi ini dalam berbagai
dimensi kehidupan, Sistem ketatanegaraan dan kebijakan ekonomi politik, praktik hidup pribadi
dan komunitas serta masyarakat secara meluas.
Untuk menyuburkan spritualitas dan etika ekologis ini, maka keberadaan dan peran institusi
sosial seperti lembaga pendidikan, keagamaan dan adat menjadi sangat penting. Peran institusi
sosial dalam menyuburkan spiritualitas dan etika maka secara langsung akan mempengaruhi
kebijakan atau keputusan-keputusan baik secara individual dan publik yang lebih memihak pada

keberlanjutan ekologi. Dengan demikian, kita masih memiliki harapan, masa depan bumi sebagai
sumber etika dapat terselamatkan.
*Penulis adalah Direktur WALHI Jawa Barat 2011-2015.No Kontak 082116759688.