DIVERSIFIKASI PRODUK INDUSTRI TENUNAN TR

DIVERSIFIKASI PRODUK INDUSTRI TENUNAN TRADISIONAL BALI MENUJU INDUSTRI KREATIF

I Gede Sudirtha
Universitas Pendidikan Ganesha,Singaraja
sudirthaG@yahoo.com
Abstrak
Tujuan penelitian adalah: 1) mengetahui berbagai motif dan mengklasisifikasi motif tenunan tradisional di
Bali, 2) menelusur berbagai permasalahan tentang kemungkinan pemanfaatan bahan dasar alternative,
mengkaji pengembangan prototype alternatif produk pada industri tenun tradisional dengan
memanfaatkan bahan baku, dan alternative produksi yang lebih murah, cepat, dan sesuai
kebutuhan.Untuk mencapai tujuan di atas, maka penelitian ini diarahkan kepada konsep penelitian
pengembangan dan pengkajian interpretatif-induktif-kualitatif. Data dikumpulkan dan dianalisis dengan
melibatkan beberapa disiplin ilmu/ keterampilan seperti ; praktisi dan ahli desain (kerajinan, fashion,
grafis), praktisi pariwisata, praktisi dan ahli pemasaran, dll. Hasil penelitian menunjukkan: (1) motif yang
ada dalam kain tenun tradisional dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu: (a) Motif Geometris,
(b) motif manusia. (c) motif tumbuh-tumbuhan. (d) motif binatang. (e) motif campuran (kombinasi), (2)
belum ditemukan hasil karya tenunan dengan memanfaatkan bahan baku dari serat alternative, (3) untuk
mempertahankan eksistensi kain tenun tradisional, maka perlu dikembangkan produk alternative yang
relative murah, biaya produksi rendah, waktu pengerjaan relative lebih singkat, mengarah kepada selera
pasar,namun masih mempertahankan ciri khas tradisional.
Kata kunci: tenunan tradisional, alternatif produksi, industri kreatif

Abstract
The purpose of the study were: 1) to know the various motifs and traditional woven motifs clasification in
Bali, 2) searching various problems about the possible use of alternative base materials, reviewing the
prototype development of alternative products on the traditional weaving industry by utilizing raw materials,
and production of a cheaper alternative, fast, and in accordance.For achieve the above objectives, this
research is directed to the development of research concepts and study interpretive-qualitative-inductive.
Data were collected and analyzed by involving multiple disciplines/ skills such as; practitioners and experts
design (crafts, fashion, graphics), tourism practitioners, practitioners and marketing experts, etc. The
results showed: (1) motif present in traditional woven fabrics can be classified into five groups: (a)
geometric motif, (b) human motives. (c) plants motif. (d) animal motifs. (e) motive mixture (combination),
(2) has not been found to work woven by using raw materials from alternative fibers, (3) to maintain the
existence of the traditional woven cloth, it is necessary to develop an alternative product that is relatively
inexpensive, low production cost, processing time relatively shorter, leading to the tastes of the market, but
still maintains a traditional characteristic.
Keywords: traditional weaving, production of alternative, creative industries

A. Latar Belakang
Sebagai
daerah
yang

memiliki
kebudayaan yang beranekaragam, Bali
memiliki cukup banyak seni kerajinan dan
seni lainnya. Salah satu kerajinan tersebut
adalah kerajinan tenun. Tenunan merupakan
salah satu ciri khas masyarakat Bali dan
bahkan kebudayaan menenun juga begitu
meluas di seluruh wilayah Indonesia. Meski
memiliki kemiripan dengan daerah lain
tenunan Bali termasuk yang paling banyak
memiliki variasi. Setiap daerah, yang ada di
Bali memiliki perbedaan ciri khas tenunan,
seperti dapat dilihat pada motif atau corak
tenunan. Keberadaan kain tenun dewasa ini
sangat membutuhkan perhatian khusus
dalam
menghadapi
tantangan
dan
perkembangan jaman. Dikuatirkan produk

tenunan tradisional terdesak oleh berbagai
produk tekstil yang datang dari luar. Kualitas

tenunan tradisional dengan ciri khas
tradisionalnya, sebenarnya tidak kalah
dengan kualitas produk luar, bahkan tidak
ada yang dapat menyamai, terutama dilihat
dari ciri khas yang dimiliki. Akan tetapi dari
segi proses pembuatan membutuhkan
waktu cukup lama dan harga relatif mahal,
serta biasanya dibuat khusus untuk
kebutuhan pakaian tradisional di masingmasing daerah. Artikel hasil penelitian Agus
Mayuni dan Sudirtha, 2007 menyebutkan ;
sekurang-kurangnya dibutuhkan waktu satu
bulan untuk memproduksi 1 lembar kain
tenunan kamben motif penuh, 10 hari untuk
satu lembar kain tenunan dengan motif
pinggiran, 5 hari untuk satu lembar
selendang, satu lembar destar, atau satu
lembar stagen. Jika di hitung dalam bentuk

nilai uang maka diperkirakan seorang
pengerajin memperoleh upah antara Rp.

150.000 sampai Rp. 500.000,- per bulan
(Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan,
Vol. 9 .No.1 Januari 2012) lebih lanjut
ditemukan pada saat tertentu pesanan
produk seperti disebutkan dalam penelitian
tersebut mengalami pasang surut. Pada
saat mengalami masa surut (tidak ada
pesanan) para pengerajin tidak dapat
berbuat apa kecuali menunggu pesanan
berikutnya. Jadi dari segi produktivitas hal ini
sangat tidak menguntungkan para karyawan
dan pengerajin. Sehingga tidak jarang dari
para karyawan beralih profesi menjadi
pembantu rumah tangga, atau menjadi
pelayan toko di Kota Denpasar dan
sekitarnya.
Dari artikel hasil penelitian yang

dilakukan oleh Hesti Pusparini, 2011 tentang
Strategi Pengembangan Industri Kreatif di
Sumatera Barat (Studi Kasus Industri Kreatif
Subsektor
Kerajinan:
Industri
Bordir/Sulaman
dan
Pertenunan)”,
menunjukkan beberapa kelemahan yang
dihadapi industri dalam melaksanakan
usahanya yang dirinci sebagai berikut. 1)
Dari sisi sumber daya manusia ditemukan :
jumlah dan kualitas SDM kurang memadai,
kurangnya keinginan SDM baru yang ingin
berkiprah di sulaman dan bordiran,
kurangnya loyalitas, ketekunan, dan daya
konsentrasi saat bekerja, perginya SDM ke
bidang usaha lain dengan upah yang lebih
tinggi. 2) Dari sisi permodalan : jumlah

modal masih kecil/terbatas. 3) Dari sisi
manajemen : kemampuan pengelolaan
pembukuan masih belum baik, sebagian
usaha tidak memiliki laporan keuangan,
pengelolaan organisasi kurang baik karena
masih
terdapat
beberapa,
kendala
manajemen
seperti
tidak
adanya
perencanaan, koordinasi kurang baik dan
tidak adanya controlling dalam menjalankan
usaha, 4) Dari sisi proses produksi : masih
menggunakan
mesin
dan
peralatan

tradisonal yang pengerjaannya jauh lebih
lama.
Dari urain tersebut mengindikasikan
bahwa kain tenun tradisional sangat
membutuhkan penanganan yang serius
terutama dari sisi diversifikasi produk yang
sesuai dengan selera pasar, sentuhan
teknologi, desain, teknologi pengolahan
bahan, teknologi produksi, serta manajemen
dan pemasaran. Jadi hasil produksi yang
baik dan berkualitas yang dihasilkan oleh
pengerajin
tenun
tradisional
perlu
dianekaragamkan sesuai kebutuhan pasar
dengan tidak meninggalkan ciri khas
masing-masing. Sehingga proses produksi
bisa berjalan lancar dan keunggulan


tenunan
tradisional
terus
terjaga
kelestariannya dan bahkan menjadi lebih
berkembang. Pengembangan bahan baku/
pengolahan bahan baku alternative juga
sangat diperlukan yang diperoleh dari
lingkungan sekitar dengan biaya yang
relative lebih murah. Pada prinsipnya
dibutuhkan usaha-usaha strategis untuk
memberdayakan usaha kerajinan tenun
tradisional agar dapat menjadi penopang
perekonomian, seperti yang terjadi di
negara-negara maju (Jepang dan Taiwan).
Dari beberapa uraian di atas, maka
permasalahan yang akan diteliti adalah
“bagaimana
mengembangkan
dan

menemukan desain, teknik, pemanfaatan
bahan dasar alternatif, dan prototype produk
sebagai alternatif produksi pada industri
tenun tradisional yang bisa dikembangkan
menjadi produk industri kreatif penunjang
pariwisata”?. Dari pengkajian permasalahan
tersebut dalam jangka panjang akan
dihasilkan berbagai pengembangan produk
kerajinan tradisional yang masih kental
dengan ciri dan nilai-nilai tradisional akan
tetapi sudah mendapat sentuhan teknologi
dalam proses produksinya sehingga dapat
dihandalkan sebagai produk unggulan yang
kompetitif di pasar tradisional, nasional
maupun internasional.
Hasil penelitian sebelumnya tentang
produktifitas kerja dan tingkat partisipasi
kerja wanita pengerajin tenun tradisional di
Desa Jineng Dalem Kabupaten Buleleng
Bali menunjukkan tingkat produktivitas yang

dihasilkan dari pekerjaan menenun dapat
dikatakan masih relatif rendah. Untuk
meningkatkan
produktivitas
sebagai
angkatan kerja dalam rumah tangga, para
wanita pengerajin di desa Jineng Dalem
mencari pekerjaan lain di sela-sela waktu
menenun. Pekerjaan yang diambil selain
menenun dari 62 orang pengerajin di Desa
Jineng Dalem dapat dirinci seperti :
pekerjaan berdagang sebanyak 15 orang
(24.2%), sebagai petani dan pemanen padi
sebanyak 14 orang (22.5%), sebagai
penjahit pakaian dan pembuat motif
sebanyak 4 orang (6.5%), sebagai pegawai
1 orang (1.6%), dan sisanya 27 orang
(43.55%) tidak memiliki pekerjaan lain,
dalam artian hanya sebagai ibu rumah
tangga (Agus Mayuni dan Sudirtha, 2007).

Lebih lanjut hasil penelitian menunjukkan
sebagai
usaha
kerajinan
tradisional,
kerajinan tenunan di desa Jineng Dalem
merupakan pekerjaan yang didapat secara
turun temurun dari generasi ke generasi
dengan sistem kekeluargaan, tanpa ada
sistem pendidikan atau lembaga pelatihan

yang jelas. Dari 62 orang pengerajin di
desa Jineng Dalem sebagian besar (55
orang
atau
88.7%)
menyebutkan
keterampilan menenun diperoleh dari orang
tua atau mertua. Sisanya 7 orang (11.3%)
memperoleh keterampilan menenun dari
orang lain/kerabat dan tetangga. Demikian
juga pada pengerajin tenun yang lain yang
ada di Bali memilik kendala yang hampir
sama
seperti
produktivitas
kerja,
pemasaran,
alih
teknologi,
masalah
manajerial, maupun alih generasi seperti
yang dikutif dari hasil penelitian Nusari, 2007
tentang tenun Gedongan di Desa Julah
Kabupaten Buleleng.
Hasil penelitian Gede Raga 2006,
tentang “wanita dan kain tenun cagcag
dalam persepektif ekonomi keluarga di
Kabupaten
Jembrana
menemukan
keberadaan kerajinan tradisional tenun
cagcag masih dipertahankan karena faktor
ekonomi dan faktor warisan leluhur. Faktor
ekonomi yang dimaksud adalah dalam
rangka memenuhi kebutuhan keluarga,
kerajinan
tenun
cagcag
merupakan
penghasilan tambahan bagi keluarga di
Jembrana. Sebagai warisan budaya leluhur
dimaksudkan sebagai warisan budaya yang
harus dipertahankan dan dilanjutkan oleh
generasi penerusnya, dan ada suatu
kepercayaan bahwa setiap wanita remaja
harus bisa menenun.
Hasil wawancara tanggal 16 Pebruari
2009 dengan Dinas Perindagkop Kabupaten
Buleleng menyebutkan usaha kerajinan
tenun tradisional di Buleleng mengalami
pasang surut. Hal ini disebabkan salah
satunya dari produksi yang mereka buat
terbatas
pada
produk-produk
yang
digunakan untuk keperluan upacara terkait
dengan Agama Hindu seperti: destar, saput,
kain/ kamben, dan selendang. Sedangkan
pola pembinaan yang dilakukan dari
pemerintah (Disperindagkop) baru hanya
sebatas mengikutsertakan pengerajin pada
beberapa kegitan seperti : pameran dan
studi banding ke daerah lain. Melihat
kenyataan tentang keberadaan pengerajin
dan tenunan tradisional yang sudah ada
sejak dahulu kala sangat dibutuhkan uluran
tangan
dari
berbagai
pihak
yang
berkompeten,
karena
kenyataannya
Sebagai usaha kecil yang bersipat
tradisional dan berkembang secara turun
temurun, mereka memiliki potensi yang luar
biasa,
akan
tetapi
perlu
ditumbuhkembangkan untuk menjadi usaha
kecil yang mampu bersaing secara lokal,
nasional, bahkan internasional. Akan tetapi
sampai saat ini perkembangannya belum

mengembirakan. Salah satu upaya yang
perlu
dilakukan
adalah
dengan
memberdayakan potensi yang mereka miliki
dengan sentuhan ilmu pengetahuan dan
teknologi, seperti : melalui desain motif,
berbagai alternatif produksi yang sesuai
permintaan dan selera pasar, penguasaan
teknik creative material (misalnya dengan
memanfaatkan dan mengolah bahan-bahan
alternatif), dll.
Sebagai luaran dari penelitian ini
disamping dihasilkan publikasi di jurnal
yanmg terakreditasi, juga sangat penting
untuk menghasilkan sebuah buku yang
dapat dijadikan sebagai bahan ajar/ sumber
informasi
yang
dapat
dimanfaatkan
pengerajin
dalam
mengembangkan
kreativitas dalam berproduksi yang di
dalamnya berisi berbagai desain alternatif
atau berupa gambar prototipe yang
selanjutnya
akan
diujicoba
dan
disosialisasikan kepada para pengerajin
tenunan tradisional.
Dari
beberapa
hasil
penelitian
sebelumnya dapat diidentifikasi beberapa
masalah yang cukup lama menjadi kendala
seperti bahan baku yang sulit didapat dan
harganya sangat mahal, belum ada yang
mengembangkan alternatif bahan baku
serbagai
pengganti,
jumlah
produksi
terbatas yang diakibatkan lamanya proses
pembuatan tenunan, jenis produksi yang
dihasilkan kurang dapat mengantisipasi
kebutuhan/ selera pasar, kendala modal dan
pemasaran, regenerasi atau para penerus
budaya menenun yang jarang diminati oleh
generasi muda, dan mungkin banyak
permasalahan lainnya, sehingga semakin
jelas bahwa industri kerajinan tenunan
tradisional sangat perlu dan sangat
beralasan untuk terus diperhatikan dan perlu
mendapatkan pembinaan dari berbagai
pihak terkait beberapa kelemahan dan juga
potensi yang dimiliki.
Di masa datang penelitian ini dapat
dikembangkan dengan beberapa alternatif
kajian seperti pemberdayaan pengerajin
yang berbasis pada budaya dan keartifan
lokal, karena dengan berbekal budaya dan
ciri khas lokal produk yang dihasilkan tidak
akan pernah dapat disamakan dengan
produk dari negara lain. Seperti yang
diungkapkan oleh sekretaris Asepi Bali
bahwa ekspor kerajinan Bali tidak perlu
disangsikan karena produk yang dihasilkan
sangat unik dan sangat mengutamakan
sentuhan tangan/hand made (Harian Bali
Post,
Selasa
10
Pebruari
2009).
Kemampuan mengelola informasi secara
bijak dan menjadikan para pengerajin melek

pengetahuan dan informasi, serta teknologi
agar mampu bersaing ditengah persaingan
global
juga
perlu
mendapat
kajian
bertikutnya.
Dalam harian Bali Post, 7 Maret 2006
disebutkan industri tekstil dan produk tekstil
(TPT) Indonesia makin merana, karena di
pasar ekspor kalah saing dengan negaranegara lain seperti Cina dan India. Lebih
lanjut disebutkan upaya yang harus
dilakukan dalam meningkatkan kembali
gairah TPT di Indonesia kususnya Bali
adalah mempertahankan ciri khas. Pelaku
industri semestinya mengangkat kembali
kelebihan dari industri TPT. Sebagai salah
satu sentra kerajinan tradisional, Bali sejak
dulu dikenal memiliki beberapa kelebihan
terutama produk hand made-nya. Buktinya
baju-baju renda, dan tekstil tradisional
lainnya, meskipun volumenya relatif kecil
namun hingga kini mampu bertahan, dan
setidaknya mampu menghidupi ratusan
bahkan ribuan orang yang terlibat di
dalamnya.
Dari uraian di atas, jenis tekstil
tradisional seperti tenunan songket dan
lainnya yang memiliki ciri khas tradisional
Indonesia tetap bertahan, walaupun tidak
eksis seperti produk tekstil modern. Karena
memang secara kenyataan produk tekstil
tradisional tetap diminati dan tidak ada
duanya
di
dunia,
karena
proses
perbuatannya, bahan, dan motif dikerjakan
secara tradisional dengan teknik tertentu.
Setidaknya dengan mempertahankan ciri
khas yang dimiliki yang secara nyata dan
sejak lama sudah diminati, harus dapat
dijadikan keunggulan dalam daya saing
dengan produk luar. Akan tetapi kerajinan
tenunan tradisional dalam perjalanannya
masih memerluakan uluran tangan dari
berbagai pihak guna dapat terus bertahan
dan berkembang menjadi industri kreatif
sesuai kebutuhan pasar lokal, dan global.
Konsep Industri Kreatif
Daniel L. Pink (The Whole New Mind,
2005.
Dalam
Mari
Elka
Pangestu,
Departemen
Perdagangan
RI,
2008)
mengungkapkan bahwa di era kreatifitas,
bila ingin maju kita harus melengkapi
kemampuan teknologi (high tech) dengan
hasrat untuk mencapai tingkat ‘high concept’
dan high touch. High concept adalah
kemampuan menciptakan keindahan artistic
dan emosional, mengenali pola-pola dan
peluang, menciptakan narasi yang indah
dan menghasilkan temuan-temuan yang
belum disadari orang lain.
High touch
adalah kemampuan berempati, memahami

esensi interaksi manusia, dan menemukan
makna.
Lebih lanjut disebutkan dalam konteks
pola pikir kreatif terdapat beberapa prinsip
dan pola pikir yang harus dimiliki di masa
depan (five minds of the future) yang dikutip
dari bukunya Howard Gardner. Beberapa
konsep tersebut adalah: 1) pola pikir
mensintesa,
yaitu
kemampuan
menggabungkan ide-ide dari dari berbagai
desiplin ilmu atau menyatukannya ke dalam
satu
kesatuan
dan
kemampuan
menyampaikan hasil integrasi itu kepada
orang banyak. Sering kali suatu solusi yang
kita cari-cari dari suatu masalah ditemukan
di di area disiplin lain yang sama sekali
berbeda dan sepintas terlihat tidak ada
korelasinya 2) pola pikir kreasi, yaitu
kemampuan untuk mengungkapkan dan
menemukan
jawaban
dari
suatu
permasalahan atau fenomena ditemuinya.
Dalam konteks desain, proses kreasi selalu
diawali
dengan
pengumpulan
permasalahan-permasalahan yang ada yang
harus dipecahkan. Di akhir proses, akan
dihasilkan desain-desain baru yang tidak
lain adalah hasil pemecahan suatu masalah.
Tentu saja agar hasil maksimal, proses
kreasi harus dibekali dengan bakat (talent)
yang cukup. Dalam konteks bisnis,
kemampuan
ini
bisa
menggerakkan
perusahaan-perusahaan untuk lebih proaktif,
tidak hanya mengikuti trend, tetapi justru
menciptakan trend.
Pola pikir dan prinsip-prinsip di atas
selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar
pengembangan industry kreatif untuk
menjadikan kain tenun tradisional semakin
eksis dan berkembang sebagai produk
industri kreatif berlandaskan budaya lokal
guna menunjang industri pariwisata yang
merupakan sector handalan Provinsi Bali.
Keunggulan kompetitif merupakan faktor
dimana suatu usaha dapat lebih unggul dari
pesaingnya di dalam suatu lingkungan yang
kompetitif. Ada 2 teori keunggulan kompetitif
di dalam literatur manajemen strategi yang
selama ini banyak diikuti oleh para peneliti,
yaitu teori berbasis Industrial Organization
(I/O) yang disebut sebagai outside-in dan
teori berbasis sumber daya (ResourceBased View atau RBV) yang disebut
sebagai inside-out. Industri kerajinan (IK)
berada pada lingkungan usaha yang sangat
tidak pasti, maka sangat sulit bagi IK untuk
menerapkan
pendekatan
I/O
untuk
merencanakan strateginya karena akan
memerlukan perencanaan strategi terus
menerus mengikuti kondisi lingkungan yang
tidak pasti tersebut. Sedangkan untuk

mendayagunakan sumber daya yang
dimilikinya (sesuai dengan pendekatan
RBV) akan lebih mudah bagi IK karena yang
dibutuhkan
adalah
kapabilitas dalam
pendayagunaan sumber daya tersebut yaitu
kapabilitas personal pemilik. Dengan
pertimbangan-pertimbangan tersebut maka
secara teoritis pendekatan RBV lebih sesuai
untuk diterapkan di IK.
Keunggulan
kompetitif dapat diciptakan jika pelaku
industri
secara
efektif
dapat
mengidentifikasi,
mengembangkan
dan
mendayagunakan sumber daya strategisnya
untuk meningkatkan pendapatan. Sumber
daya strategis ialah sumber daya yang
memenuhi kriteria bernilai, mempunyai
hambatan untuk diduplikasi dan dapat
menyesuaikan diri. Sedangkan untuk dapat
mengidentifikasi,
mengembangkan
dan
mendayagunakan sumber daya strategisnya
guna memperoleh keunggulan kompetitif,
suatu perusahaan harus memiliki sifat
entrepreneurial, yaitu kecenderungan untuk
menghadapi risiko, inovasi dan sikap
proaktif.
(http://www.petra.ac.id/~puslit/journals
Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri,
Universitas Kristen Petra VOL. 10, NO. 1,
JUNI 2008: 50-64)
Dari forum group discusion antara
Undiksha
dan
Dinas
Koperasi,
Perdagangan, dan Perindustrian Kabupaten
Buleleng tanggal 10 April 2013 disebutkan
‘produk-produk industri yang ada saat ini di
Bali adalah produk berbasis budaya
setempat dan dikembangkan sebagai
pendukung
pariwisata
karena
pengembangan produk mereka lebih banyak
berdasar order dari wisatawan. Sehingga
pengembangan
industri
di
Buleleng
berorientasi pada budaya dan pariwisata.
Seperti misalnya industri tenun terdiri dari
tenun cagcag dan tenun dengan ATBM.
Industri ini banyak terdapat di Desa
Jinengdalem,
Desa
Sinabun,
Desa
Petemon, Desa Kalianget dan di Desa
Pacung. Permasalahan yang ada dan perlu
mendapatkan penanganan adalah : 1)
minimnya generasi penerus penenun dan
desain, 2) untuk tenun songket produksi
sangat lambat dan pasarnya terbatas, 3)
keterbatasan Modal, dan 4) teknik
pencelupan dan pewarnaan masih relatif
kurang.
Hasil penelitian Mohammad Adam
Jerusalem terkait pengembangan industry
fesyen kreatif menyebutkan pentingnya
Sistem ekonomi kreatif yang diyakini akan
menggeser system ekonomi yang telah
berjalan seperti sistem ekonomi pertanian,

ekonomi industri, dan ekonomi komunikasi.
Indonesia yang kaya akan budaya dan
berpenduduk besarmempunyai potensi yang
sangat
besar
dalam
pengembangan
ekonomi kreatif ini,termasuk didalamnya
pengembangan industri kreatif bidang
fashion. Untuk dapat mengembangkan
industri kreatif bidang fashion maka
diperlukan
suatu
grand
design
pengembangan industri kreatif bidang
fashion. Dari studi diketahui tahapan
perancangan industri kreatif bidang fashion
terdiri dari penetapan visi, tujuan kunci,
katalis, aspek pendukung, pendekatan
klaster, dan strategi industri kreatif bidang
fashion. Dalam ranah operasional, maka
output dari perancangan ini adanya rencana
aksi (action plan) pengembangan industri
kreatif bidang fashion (Prosiding Seminar
Nasional Program Studi Teknik Busana
2009).
Studi pemetaan industry kreatif yang
telah
dilakukan
oleh
Departemen
Perdagangan Republik Indonesia tahun
2007 mendefinisikan industry kreatif sebagai
berikut: “Industri yang berasal dari
pemanfaatan kreatifitas, ketrampilan serta
bakat
individu
untuk
menciptakan
kesejahteraan serta lapangan pekerjaan
melalui penciptaan dan pemanfaatan daya
kreasi dan daya cipta individu tersebut”
Subsektor yang merupakan industri
berbasis kreativitas diantaranya adalah : a)
kerajinan: kegiatan kreatif yang berkaitan
dengan kreasi, produksi dan distribusi
produk yang dibuat dihasilkan oleh tenaga
pengrajin yang berawal dari desain awal
sampai dengan proses penyelesaian
produknya antara lain meliputi barang
kerajinan yang terbuat dari:batu berharga,
serat alam maupun buatan, kulit, rotan,
bamboo, kayu, logam (emas, perak,
tembaga, perunggu, besi) kayu, kaca,
porselin, kain, marmer tanah liat dan kapur.
Produk kerajinan pada umumnya hanya
diproduksi dalam jumlah yang relative kecil
(bukan produksi massal), b) fesyen:
kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi
desain pakaian, desain alas kaki, dan desain
aksesoris mode lainnya, produksi pakaian
mode dan aksesorisnya, konsultasi lini
produk fesyen, serta distribusi produk fesyen
(Mari
Elka
Pangestu,
Departemen
Perdagangan RI, 2008)
Kedua subsektor yang berbasis industri
kreatif yang dirumuskan dan ditetapkan
Departemen
Perdagangan
RI
dapat
dijadikan dasar untuk mengembangkan
industri kecil kerajinan tenun yang ada di
Bali. Dari beberapa industri yang ada dan

diteliti melalui keunggulan dan kelemahan
yang dimilki oleh masing-masing industri
akan dikaji, dan kemungkinan dapat
dijadikan sebagai acuan pengembangan
industri secara keseluruhan seperti desain
alternatif, teknik produksi, bahan baku, dll.
Dari
beberapa
uraian
di
atas
pengembangan industri kerajinan yang
kreatif sangat diperlukan guna mengangkat
derajat
industry
tradisional
yang
keberadaannya
sangat
membutuhkan
bantuan dari berbagai pihak, mulai dari
pemerintah, praktisi pariwisata, ilmuan/
akademisi dengan pendekatan berbagai
bidang ilmu dan keterampilan sehingga
dapat
berkembang
seiring
dengan
perkembangan ipteks dan perkembangan
pariwisata.
Salah
satu
upaya
pengembangannya
adalah
bagaimana
memberdayakan sumber daya yang ada
diberbagai industri kecil tradisional untuk
dikaji sehingga diperoleh berbagai temuan
untuk mengatasi permasalahan.
B. Metode Penelitian
Untuk dapat menjawab permasalahan
penelitian yang dirumuskan, penelitian ini
mengunakan
paradigma
interpretatifinduktif-kualitatif (Neuman, 2006; Creswell,
1994). 64).
Data tentang eksplorasi produk, teknik
pengolahan bahan, proses produksi, desain,
trend kebutuhan pasar/ konsumen yang
diperoleh dari lapangan (berbagai industri
kerajinan tradisional yang ada di Bali),
selanjutnya dikaji dan dianalisis untuk
memperoleh teori, metode/ teknik produksi,
maupun pengolahan bahan (creative
material). Data dikumpulkan dan dianalisis
dengan melibatkan beberapa disiplin ilmu/
keterampilan seperti ; praktisi dan ahli
desain (kerajinan, fashion, grafis), praktisi
pariwisata, praktisi dan ahli pemasaran, dll.
Disamping itu juga dilakukan pengkajian
teori dari berbagai pustaka terkait seni
kerajinan, desain produk kerajinan, creative
material, dan strategi pengembangan
industry kreatif. Sesuai dengan konsep
penelitian ini, maka metode pengumpulan
data menggunakan metode observasi,
wawancara, dan pencatatan dokumen, serta
studi literatur. Penelitian dilakukan di sentrasentra pengerajin tenunan tradisional yang
ada di sembilan kabupaten dan kota di
Propvinsi Bali, termasuk juga di beberapa
pasar/pusat oleh-oleh Bali yang ada di
beberapa tempat di Bali seperti Pasar
Sukawati dan Klungkung untuk memperoleh
informasi dan data terkait trend pasar.

Berdasarkan permasalahan dan tujuan
penelitian yang telah dirumuskan, maka
yang menjadi sampel dalam penelitian ini
adalah : beberapa industri kerajinan terkait
yang memiliki karakteristik yang relatif
bervariasi,
sedangkan
yang
menjadi
responden adalah para pengerajin, pekerja
yang bekerja sebagai pekerja upahan pada
industri
kerajinan
tenun
tradisional,
pedagang di pasar oleh-oleh, instansi terkait
seperti Dinas Perindustrian Perdagangan
dan Koperasi kabupaten dan propinsi
(Disperindagkop).
Dengan
demikian
keseluruhan
unit
analisis
yang
diperhitungkan sebagai populasi dalam
penelitian ini adalah para pengerajin
tenunan tradisional dan pedagang/ pemilik
kios pasar oleh-oleh yang ada di Provinsi
Bali.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Motif Tenunan tradisional
Motif atau juga dikenal dengan istilah
ragam hias
merupakan bagian penting
dalam memproduksi kain. Menambahkan
motif
pada
permukaan
kain
dapat
menambah keindahan permukaan kain,
sehingga menambah nilai dari kain tersebut.
Rizki A. Zaelani (2004:18) menyebutkan
motif adalah unit bentuk yang berulang yang
dikenali pada sebuah karya seni. Dalam
pengertian yang lebih luas, motif sebagai
suatu pola atau tanda yang terjadi berulang
berlaku sebagai struktur penting dalam
sebuah ekspresi secara keseluruhan. Hery
Suhersono (2004:5) menyatakan : desain
motif adalah sebuah karya seni. Melalui
penataan susunan berbagai garis, bentuk,
warna
dan
figur
yang
diciptakan
mengandung nilai-nilai keindahan dan
dilandaskan pada perkembangan imajinasi.
Tidak terlepas dari sesuatu yang dapat
dipengaruhi oleh bentuk-bentuk alami
benda, misalnya tumbuhan, figur (hewan
dan manusia), bentuk garis (geometris), dan
bentuk abstrak. Sebuah karya desain motif
terlahir dari sebuah goresan. Artinya
kelincahan
dan
keterampilan
tangan
pembuat desain sangat menentukan desain
motif yang akan dihasilkan.
Beberapa jenis motif yang ada dalam kain
tenun tradisional dapat diklasifikasikan
menjadi lima kelompok yaitu:
1) Motif Geometris. Motif geometris ini
dalam karya tenunan diungkapkan melalui
bentuk-bentuk: garis lurus, garis putus, garis
melengkung,
segitiga,
tampak
dara,
swastika, kuta mesir, belah ketupat, jajaran
genjang, dan lain-lain.

2) Motif Manusia. Dalam karya tenunan
tradisional motif ini dimanfaatkan dalam
menghias permukaan kain dalam wujud
gambar manusia seperti berbentuk wayang
dan bentuk-bentuk dengan berbagai bentuk
yang distilasi. Dari hasil temuan, motif ini
sangat jarang dijumpai.
3) Motif Tumbuh-tumbuhan. Dalam karya
tenunan, motif ini ditemukan dalam bentuk
stilasi dari bagian tumbuh-tumbuhan seperti
daun, bunga, ranting yang dirangkai dalam
satu
irama
atau
pergerakan
yang
sedemikian rupa yang dirangkai dengan
sulur-sulur sehingga membentuk suatu pola
ragam hias yang seimbang dan harmoni.
Dalam istilah seni ragam hias hal ini sering
diistilahkan
dengan
motif:
kayonan,
kembang kangkung, kembang ketampalan,
kembang pare, buah anggur, kembang
seruni, dan kembang anggrek.
4) Motif Binatang. Sama seperti halnya
dengan pemanfaataan motif lain dalam kain
tenunan. Motif bentuk binatang juga
merupakan hasil stilasi beberapa bentuk
binatang. Bentuk motif binatang yang
dijumpai pada motif his tenunan seperti:
burung, singa, ular, menjangan, gajah,
kalajengking (celedu), kupu-kupu, capung,
udang, cecak, dan beberapa binatang lain
dalam symbol dalam mithologi.
5) Motif
Campuran. Sesuai dengan
namanya, motif campuran ini ditemukan
pada kain tenun berupa kombinasi dari dua
jenis motif atau lebih pada kain tenun.
Teknik pembuatan tenunan dengan
peralatan tradisional (cagcag) atau ATBM
(alat tenun bukan mesin) yang merupakan
modifikasi
dari
alat
tenun
cagcag.
Penerapan ragam hias pada kain dibagi ke
dalam dua kelompok, yaitu yang sering
dikenal dengan reka latar dan reka rakit
kain. Reka latar adalah menghias kain
dengan ragam hias dengan teknik
menambahkan ragam hias di atas
permukaan kain, contohnya : penerapan
ragam hias dengan teknik sulam, batik,
prada, sablon atau cetak saring. Sedangkan
penerapan ragam hias yang kedua adalah
penerapan dengan teknik rekarakit yaitu
penerapan ragam hias yang dibentuk
bersamaan dengan proses pembuatan kain.
Contohnya kain songket, lurik, atau tenun
ikat pakan, ikat lungsi, dan double ikat.
Pembuatan kain atau tenun ikat tidak
terlepas dari bahan, alat dan proses
pembuatannya. Bahan terdiri dari serat yang
berasal dari alam seperti tanaman dan
hewan. Di samping itu, terdapat pula serat
buatan, yaitu serat hasil rekayasa manusia
sebagai upaya untuk meniru serat alam.

Masing-masing serat memiliki keunggulan
dan kelemahan. Berdasarkan peninggalan,
diketahui bahwa pada awalnya manusia
mengenal serat untuk dimanfaatkan sebagai
bahan pembuat kain. Serat-serat ini dipilin
dan dipintal menjadi benang. Setelah itu,
benang kemudian ditenun menjadi sehelai
kain.
2.Hasil
penelusuran
pasar
tentang
pemanfaatan bahan dasar alternative
Para pengerajin kain tenunan yang ada
di sentra-sentra pengerajin di beberapa
kabupaten di daerah Bali belum ada yang
membuat
karya
tenunan
dengan
memanfaatkan bahan baku dari serat
alternative. Seperti misalnya serat tumbuhtumbuhan yang diolah terlebih dahulu.
Seperti misalnya serat dari pelepah pisang,
serat nenas, atau serat alam lainnya yang
mudah dan murah diperoleh. Hal ini
menunjukkan perlu hasil penelitian dan
pengkajian yang lebih mendalam tentang
penggunaan serat-serat alam yang mudah
dan murah agar para pengerajin dapat
memanfaatkannya
untuk
alternative
produksi sebagai bagian dari produksi untuk
membuat produk alternative selain kain
tenun. Produk alternative yang dimaksud
bisa berupa benda-benda kerajinan lain
seperti lenan rumah tangga, atau hiasan
meja, serbet, alas meja, atau barang
kerajinan lain sesuai kebutuhan pasar oleholeh penunjang pariwisata.
3.Kajian pengembangan prototype alternatif
produk pada industri tenun tradisional
Dari beberapa kajian dan hasil
penelusuran pada bagian di depan, dapat
dikaji bahwa untuk mengembangkan dan
terus mempertahankan eksistensi kain tenun
baik dalam konteks pemenuhan kebutuhan
local, nasional, bahkan kebutuhan global
maka perlu dikembangkan dua alternative
yaitu: (1) keberadaan kain tenun secara
tradisional masih sangat dibutuhkan dalam
sebagai bagian dari upacara/ seremoni
dalam kaitannya dengan pakaian upacara
agama hindu, akan tetapi kebutuhan
tersebut masih dalam katagori terbatas
(local) sehingga masih banyak para
penenun local yang kadang kekurangan
order, tersandung biaya produksi (modal
besar), bahan baku yang mahal, proses
pengerjaan yang cukup membutuhkan
waktu lama. Sehingga perlu pemecahan
persoalan
tersebut.
(2)
untuk
mempertahankan eksistensi (keberadaan)
kain
tenun
tradisional,
maka
perlu
dikembangkan produk alternative yang

relative murah, biaya produksi rendah,
waktu pengerjaan relative lebih singkat,
mengarah kepada selera pasar (modis),
akan tetapi masih mempertahankan unsur
tradisional (memiliki ciri khas tenun ikat),
pemanfaatannya bervariasi, dll.
Dari dua alternative tersebut diyakini akan
dapat mempertahankan eksistensi tenunan
tradisional yang sangat banyak ragamnya,
ciri khasnya, keunikannya, dll. Di Bali, di
setiap kabupaten, kecamatan, bahkan
mungkin desa dapat dipastikan memiliki
tenunan tradisional yang masih mungkin
diangkat dan diberdayakan (dengan dua
alternative di atas). Kain tenun tradisional
tersebut : kain tenun cerik bolong (tabanan),
kain lurik, kain tenun mastuli, tenun
gedogan, tenun cepuk, dll., semua tenunan
tersebut memiliki ciri khas tersendiri.
Beberapa contoh alternative produksi
tersebut adalah : pengembangan produk
berbasis
tenun
local
yang
tidak
membutuhkan pengerjaan dengan waktu
lama, pengembangan produk fashion
dengan sentuhan motif tenun yang tidak
bersipat serak/ atau menyebar, tetapi bisa
dibuat motif sesuai kebutuhan pada bagianbagian busana tertentu sesuai desain atau
prototype, dan tentunya harus sesuai selera
pasar/ konsumen. Hal ini harus dikerjakan
secara seriun dengan berkolaborasi dengan
para designer, pengerajin oleh-oleh khas
Bali, para seniman, dll.
D. Simpulan dan Saran
Dari uraian dan kajian hasil penelitian di
atas, dapat disimpulkan:
(1) Beberapa jenis motif yang ada dalam
kain
tenun
tradisional
dapat
diklasifikasikan menjadi lima kelompok
yaitu: (a) Motif Geometris, (b) motif
manusia. (c) Motif Tumbuh-tumbuhan.
(d) Motif Binatang. (e) Motif Campuran
(kombinasi dari motif yang ada yang
disusun dengan seni dan kombinasi
yang tinggi) sehingga melahirkan motif
campuran.
(2) Pengerajin kain tenunan yang di sentrasentra pengerajin di daerah Bali belum
ada yang membuat karya tenunan
dengan memanfaatkan bahan baku dari
serat alternative. Seperti misalnya serat
dari pelepah pisang, serat nenas, atau
serat alam lainnya yang mudah dan
murah diperoleh. Hal ini memerlukan
hasil penelitian dan pengkajian yang
lebih mendalam tentang penggunaan
serat-serat alternative yang mudah dan
murah diperoleh, agar para pengerajin
dapat dimanfaatkan oleh pengerajin

untuk alternative produksi (produk
alternative selain kain tenun yang telah
dijual di pasaran).
(3) Keberadaan
kain
tenun
secara
tradisional masih sangat dibutuhkan
dalam sebagai bagian dari upacara/
seremoni dalam kaitannya dengan
pakaian upacara agama Hindu, akan
tetapi kebutuhan tersebut masih dalam
katagori terbatas dan bersipat local,
sehingga masih banyak para penenun
local yang kadang kekurangan order,
tersandung biaya produksi (modal
besar), bahan baku yang mahal, proses
pengerjaan yang membutuhkan waktu
lama. Sehingga perlu pemecahan
persoalan
tersebut.
Untuk
mempertahankan eksistensi kain tenun
tradisional, maka perlu dikembangkan
produk alternative yang relative murah,
biaya
produksi
rendah,
waktu
pengerjaan relative lebih singkat,
mengarah kepada selera pasar (modis),
akan tetapi masih mempertahankan
unsur tradisional (memiliki ciri khas
tenun ikat), pemanfaatannya bervariasi,
dll.
Daftar Pustaka
Agus
Mayuni
dan
Sudirtha.
2007.
Produktivitas
Kerja
dan
Tingkat
Partisipasi
Kerja
(TPK)
Wanita
Pengerajin Tenunan Tradisional di Desa
Jineng Dalem Kabupaten Buleleng Bali.
Laporan Hasil Penelitian Kajian Wanita.
Singaraja.
Bali Post. Selasa. & Maret 2006.
Pertahankan Ciri Khas, Pemerintah Mesti
Serius Garap Industri Garment.
Bali Post, Selasa 10 Pebruari 2009. Soal AS
Berdayakan
Produk
Lokal
Bukan
Ancaman Bagi Ekspor Bali.
Dinas Kebudayan Propensi Daerah TK I
Bali, 1994. Tata Busana Adat Bali.
Departemen
Perdagangan
Republik
Indonesia.2008.
“Pengembangan
Ekonomi Kreatif Indonesia 2025 :
Rencana
Pengembangan
Ekonomi
Kreatif Indonesia 2009 – 2025”
Ina Primiana. 14-07-05. Strategi Baru
Pemberdayaan
UKM.
http://perpustakaan.bappenas.go.id/
http://ilmukomputer.org/2006/09/27/pengelol
aan-pengetahuan-dan-modal-intelektualuntuk-pemberdayaan-ukm/Author:
Administrator · Published: September 27,
2006
·
Category:
Knowledge
Management.
Kartiwa, Suwati. 1989. Kain Songket
Indonesia. Jakarta : Djambatan.

Mohammad Adam
Jerusalem.
2009.
Perancangan Industri Kreatif Bidang
Fashion
dengan
Pendekatan
Benchmarkingpada
Queensland’s
Creative Industry. Prosiding Seminar
Nasional Program Studi Teknik Busana.
Jurusan PTBB-Fakultas Teknik-UNY.
Nusari, 2007 Tenun Gedongan di Desa
Julah Kabupaten Buleleng. Skripsi.
Singaraja
Universitas
Pendidikan
Ganesha.
Raga, Gede 2006. Wanita dan Kain Tenun
Cagcag dalam persepektif ekonomi
keluarga di Kabupaten Jembrana.
Laporan Penelitian. Singaraja : IKIP
Negeri Singaraja.
Ronald Nangoi. 2004. Pemberdayaan di Era
Ekonomi Pengetahuan. Jakarta : PT
Grasindo.
Sajogyo, Pudjiwati. 1983. Peranan Wanita
Dalam Perkembangan Masyarakat
Desa. Jakarta : C.V. Radjawali.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/kajian/article/
view/4641/3528.
Widjajani, Gatot Yudoko, Keunggulan
Kompetitif Industri Kecil di Klaster Industri
Kecil Tradisional dengan Pendekatan
Berbasis Sumber Daya. Jurnal Teknik
Industri VOL. 10, NO. 1, JUNI 2008: 5064 Jurusan Teknik Industri, Fakultas
Teknologi Industri, Universitas Kristen
Petra http://www.petra.ac.id/~puslit/
journals/ dir.php? Department ID=IND