Tafsir Nikah Beda Agama dan Mengawini Pe
BAB I
PENDAHULUAN
Allah yang Maha Suci mengetahui bahwa taklif-taklif (penegasan) ini adalah urusan
yang jiwa manusia memerlukan pertolongan, dorongan dan motivasi untuk menimbulkan
semangatnya agar mau menerimanya. Meskipun terdapat hikmah dan manfaat di dalamnya
sehingga dia merasa puas dan rela melakukannya.
Pada awal Islam, kaum muslimin begitu besar perhatian mereka terhadap upaya
melaksanakan hukum-hukum agama dan menjaga larangan-larangan-Nya. Dan betapa Allah
telah mempertegas larangan-Nya dalam hal nikah beda agama dan mengawini pezina.
Di sini, pada surat al-Baqarah ayat 221 dan surat an-Nur ayat 3, Allah telah menuangkan
masalah larangan-Nya dalam hal nikah beda agama dan mengawini pezina. Beranjak dari
permasalahan tersebut, penulis mencoba menguak permasalahan hukum yang terdapat pada
ayat-ayat tersebut.
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi kita semua khususnya bagi
mahasiswa (i) jurusan Syari'ah yang sedang menggeluti bidangnya, yang bersumber pada alQur'an dan Hadits.
1
BAB II
PEMBAHASAN AYAT TENTANG NIKAH BEDA AGAMA
DAN MENGAWINI PEZINA
A. Ayat yang Ditafsir
1. Surat al-Baqarah ayat 221
َ
ْ م
ْ ُ حتّى ي
ْ م
خي ْ ٌر
َ ة
ٌ َ من
ٌ م
ِ ؤ
ِ ؤ
ِ َ رك
َ ات
ُ ِ ول َ تَنْك
ّ م
ُ ة
َ ول
ُ ْ وا ال
َ ن
ْ ح
َ
َِ ش
ْ
َ
ْ م
ْ م
ن
ْ َو أ
ٍ َ رك
ُ ِ ول َ تُنْك
َ ع
َ ْ ركِي
ْ م
ُ َوا ال
ْ ُ جبَتْك
ُ ن
ّ
ْ َح
َ ،م
ْ َ ول
ّ ة
ِ ََش
ِ ش
ْ م
ْ ُ حتّى ي
ْ م
ََو
َ ن
ِ ؤ
ِ ؤ
ٍ ر
َ َ ول
َ
ْ م
ٌ م
ُ ن
ّ ََر
ّ ٌعب ََْد
ْ َ ول
ّ ك
ٌ ْ خي
َ ََوا
ْ ُ ُ من
ِ ََش
َ ِ أولئ،م
ُوا إِلَى
ْ َأ
َ ُو
َ ع
ُ َ والل
ْ ُ جبَك
ْ ه ي َ َدْع
َ ار
ْ ك ي َ َدْع
ِ ّ ن إِلَى الن
م
ِ مغ
ّ ه للِن
ِ ََِ ن آيَات
ِ ََِ ة بِإِذْن
ِ ْفََ َر
ِ ّ جن
َ َ اس ل
َ ْ ال
ُ ّ عل
ُ ّ ويُبَي
ْ ه
َ ْ وال
َ ،ه
َ ة
ِ
)۲۲۱( ن
َ و
ْ يَتَذَك ّ ُر
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang mukmin walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dengan ampunan dan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah: 221).
2. Surat an-Nur ayat 3
َة أ
َة ل
ْ
ََش
م
و
ُ َََ الزانِي
ً َ رك
ً َََ ح إِل ّ َزانِي
ّ و
ّ َا
ُ ِ لََزانِى ل َ يَنْك
ُ
َ ة
ْ
ِ
َ
َ
ٌ ر
ْ م
َََََك عَلَى
ح
ِ م ذَال
ُ و
ُ ِ يَنْك
َ َََََر
َ ح
ُ و
ّ
َ ك
ْ ان أ
ٍ ها إِل ّ َز
ِ َََََش
ْ م
}۳ : ن {النور
ِ ؤ
َ ْ منِي
ُ ْ ال
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau
perempuan yang musyrik. Dan perempuan zina tidak dikawini melainkan oleh lakilaki yang musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin”. (an-Nur: 3)
Tafsir Mufradat
Walaupun dia menarik hatimu
:
Dan yang demikian itu diharamkan
:
Laki-laki yang berzina
:
B. Asbabun Nuzul
1. Surah al-Baqarah : 231
2
َ
ُُجبَتْك
َ ْأع
م
ْ
م
ُ َو
َ ح ّر
اَل ّزانِى
َ
Ayat 221 mulai dari ( ٍمشْ رِكَة
ٌ َ من
ٌ م
ِ ْ مؤ
ُ ن
ّ ة خَي ْ ٌر
ُ ة
َ ) وَلditurunkan
ْ م
sehubungan dengan Abdillah bin Rawahah merasa menyesal atas perbuatannya
menampar dan memarahinya. Oleh karena itu dia datang menghadap kepada
Rasulullah SAW menceritakan kejadian itu. Di hadapan Rasulullah SAW dia berkata:
“Aku akan memerdekakan hamba sahaya kemudian akan aku kawini”. Hal ini
dilaksanakan oleh Abdillah bin Rawahah. Melihat kenyataan ini orang-orang
menghina dan mengejek Abdillah bin Rawahah. Oleh sebab itulah Allah SWT
menurunkan ayat ini, yang pada dasarnya memberikan ketegasan dan jawaban
terhadap penghinaan mereka, mengawini hamba sahaya yang beriman adalah lebih
baik dan mulia daripada mengawini wanita musyrik yang sangat cantik dan mulia.
Sebab wanita musyrik hanya akan mengajak ke jurang kesengsaraan, sedangkan
hamba yang beriman akan menarik ke arah kebahagiaan lahir bathin.
(HR. Wahidi dari Suddi dari Abi alik dari Ibnu Abbas. Dalam riwayat lain yang
dikeluarkan oleh imam Ibnu Jarir dari Suddi juga diterangkan bahwa
hadits ini adalah Munqathi).1
2. Surat An-Nur: 3
Umi Mahzul seorang pelacur akan dikawini oleh seorang sahabat Nabi.
Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT. Menurunkan ayat ke-3 surah an-Nur
sebagai penjelasan bahwa seorang wanita pezina haram dikawini oleh seorang
mukmin. Ia hanya boleh dikawini oleh lelaki pezina atau orang musyrik. (HR. Nasai
dari Abdillah bin Umar).
Mazid mengangkut barang dagangannya dari Ambar ke Mekkah untuk dijual.
Ia bertemu dengan teman lamanya, seorang wanita pezina bernama Anaq. Mazid
meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menikahi. Rasulullah SAW tidak
menjawab. Maka kemudian turun ayat ini dan beliau bersabda: “Wahai Mazid,
seorang pezina hanya akan dikawini oleh lelaki pezina-karena itu, janganlah kamu
menikahinya”. (H.R Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Hakim dan Amar bin Syu’aib
dari bapaknya dan datuknya).
Ketika Allah SWT menurunkan ayat tentang haramnya berzina, di sekitar
kaum muslimin banyak sekali pelacur-pelacur yang cantik nan molek. Maka mereka
berkata: “Janganlah dibiarkan wanita-wanita itu pergi dan biarkanlah mereka kawin.”
Sehubungan dengan itu, maka Allah menurunkan ayat ke-3 sebagai ketegasan bahwa
pezina hanya dikawini oleh lelaki pezina atau orang musyrik. (H.R Sa’id bin Mansur
dari Mujahid).2
C. Tafsir Ayat
1. QS. Al-Baqarah ayat 221
1
2
A. Mudzab Mahali, Asbabun Nuzul, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1988. hal. 96
Ibid, hal. 602-603
3
Sebelum sampai kepada pembahasan atau ulasan yang berkenaan dengan topik
yang penulis ingin kemukakan
beberapa hal yang erat hubungannya dengan
pembahasan terdahulu sangat berkaitan. Di antaranya mengenai tujuan dan hikmah
(pernikahan), maka berikut ini sampailah kepada topik pembicaraan, yaitu perkawinan
pria muslim dengan wanita non muslim atau sebaliknya.
Ayat ini menjelaskan bahwa seorang muslim laki-laki tidak dibolehkan kawin
dengan perempuan musyrik, begitu juga perempuan mukminah tidak dibolehkan
dengan laki-laki musyrik karena ada perbedaan yang sangat jauh antara kedua
kepercayaan tersebut. Di satu pihak mengajak ke surga sedangkan di pihak lain
mengajak ke neraka. Di satu pihak beriman kepada Allah dan para Nabi serta hari
Kiamat, sedangkan dim pihak lain menyekutukan Allah dan ingkar kepada Nabi serta
Hari Kiamat.3
Tujuan perkawinan ialah untuk mencapai ketentraman dan kasih sayang.
Bagaimana mungkin dua segi yang kontradiksi ini akan dapat bertemu?
Pemilihan pasangan adalah batu pertama pondasi bangunan rumah tangga, ia
harus sangat kukuh, karena kalau tidak, bangunan tersebut akan roboh kendati hanya
dengan sedikit goncangan. Apalagi jika beban yang ditampungnya semakin berat
dengan kelahiran anak-anak. Pondasi kokoh tersebut bukan kecantikan dan
ketampanan, karena keduanya bersifat relatif, sekaligus cepat pudar, bukan juga harta,
karena harta mudah didapat sekaligus mudah lenyap; bukan pula status sosial atau
kebangsawanan karena yang inipun sementara, bahkan dapat lenyap seketika. Pondasi
yang kokoh adalah yang berstandar pada iman kepada Yang Maha Esa, Maha Kaya,
Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.4
Imam Bukhari dan Imam Muslim, meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Abi
Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
َ
ها
م
َ ِ ول
َ ِ ول
َ ََََرأةُ ِل َ ْرب
ُ َ تُنْك
َ ِ مال
َ ِ سََََب
َ ح
َ ِ مال
َ ج
َ ِ ََََع ل
َ ْ ح ال
َ ها
َ ها
ْ
ٍ
َ َت يَد
َ ْفاظ
َ ،ها
اك
ِ َف ْر بِذ
ِ ِ ول
ْ َ رب
َ ِ ديْن
َ
ِ َن ت
ِ ْ ات الدّي
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya dan karena agamanya. Dahulukan dengan agamanya, maka itulah
idaman anda”.5
Pada penggalan ayat pertama ditujukan kepada pria muslim :
َ
م
ُْ ُ جبَتْك
َ ْأع
ات
ِ َ مشْ رِك
ُ ِ …وَل َ تَنْكjanganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik
ُ ْ حوْا ال
3
Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawi
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 1, Ciputat: Lentera Hati, cet. 1, 2000, hal. 262-263
5
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz 1, 2 dan 3, Semarang: PT Karya Toha
Putra, cet. 2, 1992, hal. 264.
4
4
yang tidak memiliki kitab, sehingga mereka mau beriman kepada Allah dan
membenarkan Nabi Muhammad saw. Kata musyrik dalam al-Qur’an mempunyai
makna senada dengan ayat 105 pada surat al-Baqarah: “orang” kafir dari ahli kitab dan
orang-orang musyrik tiada menginginkan (diturunkannya suatu kebaikan kepadamu
dari Tuhanmu)…”. Dan firman Allah yang lain: “orang-orang kafir yakni ahli kitab
dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. (al-Bayyinah: 1).6
Orang kafir ada dua macam, pertama, Ahl al-Kitab; dan kedua, orang-orang
musyrik (bukan ahli kitab). Itu istilah yang digunakan al-Qur’an untuk satu substansi
yang sama, yakni kekufuran dengan dua nama yang berbeda, ahl al-kitab dan almusyrikun. lebih kurang sama dengan kata korupsi dan mencuri.
Hal di atas merupakan masalah dalam hukum Islam (masailul fiqhiyah).
Perkawinan antar orang yang berlainan agama di sini, ialah perkawinan orang Islam
(pria/wanita) dengan bukan orang Islam (pria/wanita). Mengenai masalah ini Islam
membedakan hukumnya sebagai berikut:
a) Perkawinan antar seorang pria muslim dengan wanita musyrik.
b) Perkawinan antar seorang pria muslim dengan wanita ahlul kitab.
c) Perkawinan antar seorang wanita muslim dengan pria non muslim.7
a. Perkawinan antar seorang pria muslim dengan wanita musyrik.
Hanya di kalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah
(wanita musyrik) yang haram dikawini itu? Menurut Ibnu Jabir al-Thabari, seorang
ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah musyrikah dari
bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur'an memang tidak
mengenal kata suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini,
seorang muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non Arab, seperti
wanita Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa
kitab suci, seperti pemeluk agama Budha, Hindu, Konghucu yang percaya pada Tuhan
Yang Maha Esa, percaya adanya hidup sesudah mati dan sebagainya. Muhammad
Abduh juga sependapat dengan ini.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah baik dari
bangsa Arab ataupun bangsa non Arab, selain ahli kitab, yakni Yahudi dan Kristen
tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam dan
6
7
Ibid, hal. 262-263.
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, cet. 10, 1997, hal. 4.
5
bukan pula Yahudi / Kristen tidak boleh dikawini oleh pria muslim, apapun agama
ataupun kepercayaannya, seperti Budha, Hindu, Konghucu, Majusi/Zeroaster, karena
pemeluk agama selain Islam, Kristen dan Yahudi itu termasuk kategori “musyrikah”.
b. Perkawinan antar seorang pria muslim dengan wanita ahlul kitab.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan
wanita ahli kitab.
1.
Menurut pendapat Jumhur Ulama baik Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun
Hambali, seorang pria muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang
berada dalam lindungan (kekuasaan) negara lain (ahli Dzimmah).
2.
Golongan Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat, bahwa pria
muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab.8
Di sini ada suatu peringatan yang harus kita ketengahkan yaitu bahwa seorang
muslimah yang fanatik dengan agamanya akan lebih baik daripada yang hanya
menerima warisan nenek moyangnya. Karena itu, Rasulullah saw. mengajarkan
kepada kita tentang memilih jodoh dengan kata-kata sebagai berikut:
َ َت يَد
َ ْاظ
اك
ِ َف ْر بِذ
ْ َ رب
ِ َن ت
ِ ْ ات الدّي
“Pilihlah perempuan yang beragama sebab kalau tidak, celakalah dirimu”. (Riwayat
Bukhari)9
c. Perkawinan antar seorang wanita muslim dengan pria non muslim.
Ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita
muslimah dengan pria non muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama
yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi, ataupun pemeluk agama yang
mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhiesme, Hiduisme, maupun pemeluk
agama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci. Termasuk pula di sini penganut
Animisme, Ateisme, Politeisme dan sebagainya.10
Kalau penggalan ayat pertama ditujukan kepada pria muslim, maka penggalan
ayat kedua ditujukan kepada para wali. Para wali dilarang mengawinkan wanitawanita muslimah dengan orang-orang musyrik. Paling tidak ada dua hal yang perlu
digarisbawahi di sini.
Yang pertama, ditujukannya penggalan kedua ayat tersebut kepada wali,
memberi isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang tidak kecil dalam perkawinan
putri-putrinya atau wanita-wanita yang berada di bawah perwaliannya. Perlu diingat,
bahwa perkawinan yang dikehendaki Islam, adalah perkawinan yang menjalankan
8
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet. IV, 2000, hal. 11.
Syekh Muhammad Yusuf Qardawi, Op Cit, hal. 254
10
Masjfuk Zuhdi, Op Cit, hal. 6.
9
6
hubungan harmonis antar suami isteri, sekaligus antar keluarga, bukan saja keluarga
masing-masing, tetapi juga antar keluarga kedua mempelai. Dari sini peranan orang
tua dalam perkawinan menjadi sangat penting, baik dengan memberi mereka
wewenang yang besar, maupun sekedar restu tanpa mengurangi hak anak. Karena itu,
walau Rasul SAW memerintahkan orang tua untuk meminta persetujuan anak tidak
jarang berbeda dengan tolak ukur orang tua, maka tolak ukur anak, ibu dan bapak,
harus dapat menyatu dalam mengambil keputusan perkawinan.
Hal yang kedua ialah
sama halnya pada uraian point C perkawinan antar
seorang wanita muslim dengan pria non muslim. Bahwa alasan utama larangan
perkawinan dengan non muslim adalah perbedaan iman. Perkawinan dimaksudkan
agar terjalin hubungan, minimal antara kalangan suami isteri dan anak-anaknya.
Bagaimana keharmonisan tercapai jika nilai-nilai yang dianut oleh suami berbeda,
apalagi bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh isteri? Nilai-nilai mewarnai
pikiran dan tingkah laku seseorang.11
Setelah menjelaskan penggalan kedua ayat ini, maka dilanjutkan dengan uraian:
sebab larangan itu, yakni karena mereka mengajak kamu dan anak-anakmu yang lahir
dari buah perkawinan ke neraka dengan ucapan atau perbuatan dan keteladanan
mereka, sedang Allah mengajak kamu dan siapapun menuju amalan-amalan yang
dapat mengatur ke surga dan ampunan dengan lain-Nya.
Penggalan ayat ini memberi kesan, bahwa semua yang mengajak ke neraka
adalah orang–orang yang tidak wajar dijadikan pasangan hidup. Sementara pemikir
muslim dewasa ini cenderung memasukkan semua non muslim termasuk dalam
kelompok yang mengajak ke neraka, dan pada dasarnya mereka cenderung
mempersamakan ahli kitab dengan musyrik. Kecenderungan melarang perkawinan
seorang muslim dengan wanita ahli kitab atas dasar kemaslahatan, bukan atas dasar
teks al-Qur'an adalah pada tempatnya, sehingga paling tidak perkawinan tersebut
dalam sudut pandang hukum Islam adalah makruh.
Ayat ini ditutup dengan firman-Nya : Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, yakni
tuntunan-tuntunan-Nya supaya kamu dapat mengingat, yakni mengambil pelajaran.
Dan ia pun menuntun mereka kepada faedah-faedah hukum-Nya serta rahasia yang
terkandung di dalam syari’at-Nya.12
2. QS. An-Nur Ayat 3
11
12
M. Quraish Shihab, Op Cit, hal. 443-444
Ibid, hal. 445-446.
7
Sebelum ayat ini menjelaskan hukuman terhadap pezina dan ayat inipun
mengemukakan keharusan menghindari pezina, apalagi ingin dijadikan pasangan
hidup.
Sesungguhnya orang yang fasik dan durhaka, yang kebiasaannya ialah
melakukan perbuatan zina dan kefasikan. Tidak mempunyai keinginan untuk
mengawini wanita-wanita yang salehah, tetapi hanya menginginkan perempuan fasik
dan kotor atau perempuan musyrik. Begitu pula perempuan yang fasik dan tidak
menjaga kehormatannya, tidak akan dikawini oleh laki-laki yang saleh, malah mereka
akan lari darinya. Perempuan fasik hanya diingini oleh laki-laki fasik yang sejenis
dengannya. Sungguh tepat perumpamaan yang menyatakan “burung-burung hanya
akan dianggap di tengah kumpulan sejenisnya.”13
Suami isteri atau jauzan (dalam bahasa Arab), berarti dua orang yang serupa dan
seirama, tidak bertolak belakangnya antara yang baik dan buruk baik ditinjau secara
hukum syar’i maupun secara ukuran biasa, tidak akan dapat menghasilkan keserasian,
seirama dan kecintaan dan kasih sayang, maka tepatlah apa yang dikatakan Allah:
َات
ََ ْ ات لِلْخَبِيْثِي
ِ ََ ن لِلْخَبِيْث
َ و
ُ ََ والطّيّب
ُ َ اَلْخَبِيْث
َ َات
ْ ُ والْخَبِيْث
َ ن
}۲٦ :ات {النور
ََ ْ لِلطّيّبِي
ِ َ ن لِلطّيّب
َ و
ْ ُ والطّيّب
َ ن
“Perempuan jahat untuk laki-laki yang jahat, laki-laki yang jahat untuk perempuan
jahat; perempuan yang baik dengan laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk
perempuan yang baik.” (QS. An-Nur:26) 14
Ulama-ulama bermazhab Hanbali dan Zhahiri menetapkan bahwa perkawinan
dengan pelaku zina (laki-laki atau perempuan) tidak dianggap sah sebelum ada
kesempatan taubat.
Banyak ulama yang memahami ayat 3 ini dalam arti ghaibnya, seorang yang
cenderung dan senang berzina, enggan menikahi siapa yang taat beragama. Demikian
juga wanita pezina tidak diminati oleh lelaki yang taat beragama. Ini karena tentu saja
masing-masing ingin mencari pasangan yang sejalan dengan sifat-sifatnya. Sedang
kesalehan dan perzinahan adalah dua hal yang bertolak belakang. Perkawinan antara
lain bertujuan melahirkan kesenangan, kebahagiaan dan langgengnya cinta kasih
antara suami isteri bahkan semua keluarga. Nah, bagaimana mungkin hal-hal tersebut
terpenuhi bila perkawinan itu terjalin antara seorang yang memelihara kehormatannya
dengan yang tidak memeliharanya?
13
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz 16, 17 dan 18, Semarang: PT Karya Toha
Putra, cet. 2, 1992, hal. 130.
14
Syekh Muhammad Yusuf Qardawi, Op Cit, hal. 259.
8
Ulama ketiga mazhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i menilai sah perkawinan
seorang pria yang taat dengan seorang wanita pezina, tetapi hukumnya makruh.
Alasannya antara lain firman Allah dalam Q.S. An Nisa : 24 yang menyebut sekian
banyak yang haram dikawini lalu menyatakan “Dan dihalalkan untuk kamu selain itu”.
Nah pezina termasuk yang disebut dalam kelompok “yang selain itu” sehingga itu
berarti menikahi adalah halal.
Imam Ahmad dan sekelompok ulama lain berpendapat bahwa perkawinan pezina
pria kepada wanita yang memelihara diri / baik-baik atau sebaliknya, tidaklah sah.
Salah satu alasannya adalah ayat yang ditafsirkan ini.15
D.
Syarah Ayat dengan Hadits
1. Surah al-Baqarah: 221
Dengan adanya asbabun nuzul dari ayat ini: “Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu”.
Abdullah bin Umar r.a. menyatakan bahwa Nabi bersabda:
َ
َ ن
ن
ِ سََن
ْ نأ
ُ سََى
َ ف
ُ ِ سََآءَ ل
ُ ِ لَتَنْك
ُ ُ سََن
ْ ح
َ ع
ْ ح
َ ّ حََوا الن
ّ ه
ّ ه
ِ
َ
َ ن
سََََى
م
ح
ِ ََََوال
ُ ََََو
َ ف
ُ ِ ول َ تُنْك
َ ع
ُ َ ي ّ ْر ِدي
ّ ه
ّ ه
ّ ه
ْ ن عَلَى أ
َ
ْ
َ ن
ِ
َ
َأ
َ
َ ن عَل
ْن يّط
ُ وال
َ ن
ة
ي
د
ال
ى
ه
و
ح
ك
ن
ا
و
ن
ه
ي
ف
أ
ن
ه
م
ٌ َم
ُ
ِ
ْ
ِ
ْ
ْ
ّ
ُ
َ
ُ
ُ
ّ
ّ
ّ
َ فل
ْ
ْ
َ
َ
ِ
ْ َن أ
ُ ض
.ل
َ ف
َ ُودَاء
ُ َج ْردَاءُ ذ
َ
ْ س
ٍ ْ ات ِدي
“Jangan kawin dengan wanita semata-mata karena kecantikannya, mungkin
kecantikannya itu akan menjerumuskan mereka dan jangan mengawini wanita
semata-mata karena hartanya, karena mungkin dengan kekayaannya itu akan
membuatnya melampaui batas dan kawinilah mereka itu karena agamanya, maka
sungguh budak wanita yang hitam tapi beragama adalah lebih utama.” (HR. Abdu
dan Humaid).16
Abdullah bin Umar r.a. menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda:
ة {رواه
َ و
َُرأَة
ٌ مت َََا
ُ ح
َ ِ الصَال
َ ْ َاع الَدّنْيَا اَل
َ َر
َ اَلَدّنْيَا
ّ
ْ َم
ُ َْ خي
َ ع
ِ ََ مت
}مسلم
“Dunia adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan dunia ialah wanita (istri)
yang shalehah.” (HR. Muslim).17
2. Surah an-Nur: 3
Dari asbabun nuzul, suatu riwayat yang diceritakan oleh Murtsid dari Abu
Murtsid, yakni bahwa dia minta izin kepada Nabi untuk kawin dengan pelacur yang
telah dimulainya perhubungan ini sejak zaman Jahiliyah namanya Anas. Nabi tidak
menjawabnya sehingga turunlah ayat ini:
15
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 9, Ciputat: Lentera Hati, cet. 1, 2000, hal. 286-287.
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Mutakhir, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), Cet. ke-4.
17
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op. cit.,hal.
16
9
َ ً ََ اَلََزانِى ل َ ينْكح إل ّ زانِي
َة ل
ْ م
ُ َََ الزانِي
ً َ رك
ّ و
ّ
َ َ ِ ُ ِ َ
ُ و
َ ة
ْ ةأ
ِ ََش
َ
َ
ٌ ر
ْ م
َََََك عَلَى
ح
ِ م ذَال
ُ و
ُ ِ يَنْك
َ َََََر
َ ح
ُ و
ّ
َ ك
ْ ان أ
ٍ ها إِل ّ َز
ِ َََََش
َ و
َ }۳ : ن {النور
ْ م
َ
ََال
ق
َ َ ي ص م ايي
ِ ؤ
َ ْ منِي
ُ ْ ال
َ ة
ّ ِ فتَل َ النّب
.ها
ْ ِ ل َ تَنْك:ه
َ ح
ُ َل
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau
perempuan yang musyrik. Dan perempuan zina tidak dikawini melainkan oleh lakilaki yang musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin”. (an-Nur: 3) Kemudian beliau bacakan ayat tersebut dan berkata: Dan jangan
kamu nikahi dia (Abu Daud, Nasa’I dan Tirmidzi).
Ini justru Allah hanya memperkenankan kawin dengan perempuan mu’minah
yang muhshonah atau ahli kitab yang muhshonah juga seperti yang telah diterangkan
terdahulu.
E. Pokok Kandungan Hukum
1. Al-Baqarah ayat 221
Diperbolehkannya perkawinan dengan wanita ahlul kitab dengan demikian
ditetapkan beberapa persyaratan mengikat yang wajib diindahkan. Persyaratan
pertama: dapat dipastikan bahwa wanita ahlul kitab yang dikawini itu benar-benar
ahlul kitab, yakni: ia sungguh-sungguh mempercayai agama langit, yaitu agama yang
menurut asalnya dibawakan oleh para Nabi dan Rasul utusan Allah, seperti agama
Yahudi dan Nasrani. Persyaratan kedua: wanita ahlul kitab yang dikawini itu harus
wanita muhshanat dan suci (menjaga keras kehormatannya, tidak pernah ternoda).
Persyaratan ketiga: wanita ahlul kitab yang dikawini itu tidak dari golongan yang
memusuhi dan memerangi kaum muslim.
Persyaratan keempat: perkawinan dengan perempuan ahlul kitab harus tidak
akan mengakibatkan fitnah (bencana) dan menimbulkan bahaya.
Tidak boleh kita lupakan bahwa lepas dari dibolehkan atau tidaknya perkawinan
pria muslim dengan wanita bukan muslimah, namun ada satu soal yang kaum
muslimin tidak selisih pendapat, yaitu bahwa perkawinan pria muslim dengan wanita
muslimah lebih baik, lebih utama dan lebih afdhol dalam segala aspeknya. Tidak perlu
diragukan lagi, kesamaan agama antara suami dan isteri merupakan faktor yang dapat
mengantarkan mereka berdua ke dalam suasana kehidupan bahagia, bahkan makin
cocok dalam hal cara berpikir dan cara hidup antara suami isteri tentu akan lebih
memperkokoh kehidupan rumah tangga.18
2. An-Nur ayat 3
18
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Tafsir Ibnu Katsir 1, Surabaya: PT Bina Ilmu, cet. IV, 2004, hal.
421-422. lihat juga Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz 1, 2 dan 3, Op Cit, hal. 263-264.
10
َ ِ م ذ َال
Mengenai ن
ِ ْ مؤ
ُ َ و: sesungguhnya, laki-laki
َ ح ّر
ُ ْ ك عَلَى ال
َ ْ منِي
mukmin
yang saleh diharamkan mengawini perempuan pelacur, menaruh keinginan
terhadapnya dan menempuh jalan orang-orang fasik yang terkenal selalu zina. Sebab,
dengan demikian dia akan menyerupai orang-orang fasik dan mendatangi tempattempat kefasikan, disamping kedurhakaan yang bisa membuat orang banyak berkata
buruk dan mengumpat tentang dia. Seringkali pergaulan dengan orang-orang fasik
menyeret seseorang melakukan perbuatan dosa. Lantas bagaimana halnya jika
seseorang kawin dengan orang yang suka berzina dan orang durhaka?! Hal ini
digambarkan di dalam Khabar:
َ ْ حمى يوش
َ َن ي
َ و
ه
ِ ع
ِ ْ في
ِ ْ ُ
ْ كأ
َ ق
َ ام
َ ن
َ ح
ْ م
َ ِ ْ ل ال
َ
ْ ح
“Barangsiapa menggembala di sekitar kawasan terlarang, hampir-hampir dia masuk
ke dalam kawasan itu”.19
19
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Op Cit. hal. 421-422.
11
BAB III
KESIMPULAN
Islam tidak hanya menghendaki pria muslim kawin dengan wanita muslimah, bahkan
lebih mendorong agar wanita muslimah itu benar-benar menghayati dan menerapkan
keislamannya. Muslimah demikian itu pasti sangat mendambakan keridhaan Allah, menjaga
hak suaminya dengan baik serta sanggup menjaga dirinya sendiri dan bertanggung jawab atas
keselamatan serta kesejahteraan suami dan anak-anaknya. Oleh karena itu Rasulullah saw.
mewanti-wanti agar tiap muslim menjaga baik-baik keutuhan agamanya agar terjamin
keselamatan hidupnya.
Hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur'an ini sudah selaras dengan fitrah manusia dan
sesuai dengan akal yang sehat, sebab, Allah tidak membenarkan hamba-Nya ini sebagai
germo untuk mencarikan jodoh seorang pelacur. Fitrah manusia pun akan menganggap jijik,
oleh karena itu, orang-orang apabila mencari kawannya, mereka mengatakan: pantas kamu
suami pelacur. Untuk itulah, Allah mengharamkan perkawinan semacam itu kepada orang
Islam.
12
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz 1, 2 3, 16, 17 dan 18, Semarang:
PT Karya Toha Putra, cet. 2, 1992.
________, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz, Semarang: PT Karya Toha Putra, cet. 2, 1992.
Bahreisy, Salim dan Said Bahreisy, Tafsir Ibnu Katsir 1, Surabaya: PT Bina Ilmu, cet. IV,
2004.
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Haditsah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet. IV,
2000.
Mahali, A. Mudjab, Asbabun Nuzul, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1988.
Qardawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Mutakhir, Bandung: Pustaka Hidayat, cet. IV, 2000.
_________, Halal dan Haram Dalam Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu, Edisi Revisi, 2003.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, vol. 1, 9, Ciputat: Lentera Hati, cet. 1, 2000.
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, cet. 10, 1997.
13
PENDAHULUAN
Allah yang Maha Suci mengetahui bahwa taklif-taklif (penegasan) ini adalah urusan
yang jiwa manusia memerlukan pertolongan, dorongan dan motivasi untuk menimbulkan
semangatnya agar mau menerimanya. Meskipun terdapat hikmah dan manfaat di dalamnya
sehingga dia merasa puas dan rela melakukannya.
Pada awal Islam, kaum muslimin begitu besar perhatian mereka terhadap upaya
melaksanakan hukum-hukum agama dan menjaga larangan-larangan-Nya. Dan betapa Allah
telah mempertegas larangan-Nya dalam hal nikah beda agama dan mengawini pezina.
Di sini, pada surat al-Baqarah ayat 221 dan surat an-Nur ayat 3, Allah telah menuangkan
masalah larangan-Nya dalam hal nikah beda agama dan mengawini pezina. Beranjak dari
permasalahan tersebut, penulis mencoba menguak permasalahan hukum yang terdapat pada
ayat-ayat tersebut.
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi kita semua khususnya bagi
mahasiswa (i) jurusan Syari'ah yang sedang menggeluti bidangnya, yang bersumber pada alQur'an dan Hadits.
1
BAB II
PEMBAHASAN AYAT TENTANG NIKAH BEDA AGAMA
DAN MENGAWINI PEZINA
A. Ayat yang Ditafsir
1. Surat al-Baqarah ayat 221
َ
ْ م
ْ ُ حتّى ي
ْ م
خي ْ ٌر
َ ة
ٌ َ من
ٌ م
ِ ؤ
ِ ؤ
ِ َ رك
َ ات
ُ ِ ول َ تَنْك
ّ م
ُ ة
َ ول
ُ ْ وا ال
َ ن
ْ ح
َ
َِ ش
ْ
َ
ْ م
ْ م
ن
ْ َو أ
ٍ َ رك
ُ ِ ول َ تُنْك
َ ع
َ ْ ركِي
ْ م
ُ َوا ال
ْ ُ جبَتْك
ُ ن
ّ
ْ َح
َ ،م
ْ َ ول
ّ ة
ِ ََش
ِ ش
ْ م
ْ ُ حتّى ي
ْ م
ََو
َ ن
ِ ؤ
ِ ؤ
ٍ ر
َ َ ول
َ
ْ م
ٌ م
ُ ن
ّ ََر
ّ ٌعب ََْد
ْ َ ول
ّ ك
ٌ ْ خي
َ ََوا
ْ ُ ُ من
ِ ََش
َ ِ أولئ،م
ُوا إِلَى
ْ َأ
َ ُو
َ ع
ُ َ والل
ْ ُ جبَك
ْ ه ي َ َدْع
َ ار
ْ ك ي َ َدْع
ِ ّ ن إِلَى الن
م
ِ مغ
ّ ه للِن
ِ ََِ ن آيَات
ِ ََِ ة بِإِذْن
ِ ْفََ َر
ِ ّ جن
َ َ اس ل
َ ْ ال
ُ ّ عل
ُ ّ ويُبَي
ْ ه
َ ْ وال
َ ،ه
َ ة
ِ
)۲۲۱( ن
َ و
ْ يَتَذَك ّ ُر
“Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang mukmin walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dengan ampunan dan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah: 221).
2. Surat an-Nur ayat 3
َة أ
َة ل
ْ
ََش
م
و
ُ َََ الزانِي
ً َ رك
ً َََ ح إِل ّ َزانِي
ّ و
ّ َا
ُ ِ لََزانِى ل َ يَنْك
ُ
َ ة
ْ
ِ
َ
َ
ٌ ر
ْ م
َََََك عَلَى
ح
ِ م ذَال
ُ و
ُ ِ يَنْك
َ َََََر
َ ح
ُ و
ّ
َ ك
ْ ان أ
ٍ ها إِل ّ َز
ِ َََََش
ْ م
}۳ : ن {النور
ِ ؤ
َ ْ منِي
ُ ْ ال
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau
perempuan yang musyrik. Dan perempuan zina tidak dikawini melainkan oleh lakilaki yang musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin”. (an-Nur: 3)
Tafsir Mufradat
Walaupun dia menarik hatimu
:
Dan yang demikian itu diharamkan
:
Laki-laki yang berzina
:
B. Asbabun Nuzul
1. Surah al-Baqarah : 231
2
َ
ُُجبَتْك
َ ْأع
م
ْ
م
ُ َو
َ ح ّر
اَل ّزانِى
َ
Ayat 221 mulai dari ( ٍمشْ رِكَة
ٌ َ من
ٌ م
ِ ْ مؤ
ُ ن
ّ ة خَي ْ ٌر
ُ ة
َ ) وَلditurunkan
ْ م
sehubungan dengan Abdillah bin Rawahah merasa menyesal atas perbuatannya
menampar dan memarahinya. Oleh karena itu dia datang menghadap kepada
Rasulullah SAW menceritakan kejadian itu. Di hadapan Rasulullah SAW dia berkata:
“Aku akan memerdekakan hamba sahaya kemudian akan aku kawini”. Hal ini
dilaksanakan oleh Abdillah bin Rawahah. Melihat kenyataan ini orang-orang
menghina dan mengejek Abdillah bin Rawahah. Oleh sebab itulah Allah SWT
menurunkan ayat ini, yang pada dasarnya memberikan ketegasan dan jawaban
terhadap penghinaan mereka, mengawini hamba sahaya yang beriman adalah lebih
baik dan mulia daripada mengawini wanita musyrik yang sangat cantik dan mulia.
Sebab wanita musyrik hanya akan mengajak ke jurang kesengsaraan, sedangkan
hamba yang beriman akan menarik ke arah kebahagiaan lahir bathin.
(HR. Wahidi dari Suddi dari Abi alik dari Ibnu Abbas. Dalam riwayat lain yang
dikeluarkan oleh imam Ibnu Jarir dari Suddi juga diterangkan bahwa
hadits ini adalah Munqathi).1
2. Surat An-Nur: 3
Umi Mahzul seorang pelacur akan dikawini oleh seorang sahabat Nabi.
Sehubungan dengan itu, maka Allah SWT. Menurunkan ayat ke-3 surah an-Nur
sebagai penjelasan bahwa seorang wanita pezina haram dikawini oleh seorang
mukmin. Ia hanya boleh dikawini oleh lelaki pezina atau orang musyrik. (HR. Nasai
dari Abdillah bin Umar).
Mazid mengangkut barang dagangannya dari Ambar ke Mekkah untuk dijual.
Ia bertemu dengan teman lamanya, seorang wanita pezina bernama Anaq. Mazid
meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menikahi. Rasulullah SAW tidak
menjawab. Maka kemudian turun ayat ini dan beliau bersabda: “Wahai Mazid,
seorang pezina hanya akan dikawini oleh lelaki pezina-karena itu, janganlah kamu
menikahinya”. (H.R Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Hakim dan Amar bin Syu’aib
dari bapaknya dan datuknya).
Ketika Allah SWT menurunkan ayat tentang haramnya berzina, di sekitar
kaum muslimin banyak sekali pelacur-pelacur yang cantik nan molek. Maka mereka
berkata: “Janganlah dibiarkan wanita-wanita itu pergi dan biarkanlah mereka kawin.”
Sehubungan dengan itu, maka Allah menurunkan ayat ke-3 sebagai ketegasan bahwa
pezina hanya dikawini oleh lelaki pezina atau orang musyrik. (H.R Sa’id bin Mansur
dari Mujahid).2
C. Tafsir Ayat
1. QS. Al-Baqarah ayat 221
1
2
A. Mudzab Mahali, Asbabun Nuzul, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1988. hal. 96
Ibid, hal. 602-603
3
Sebelum sampai kepada pembahasan atau ulasan yang berkenaan dengan topik
yang penulis ingin kemukakan
beberapa hal yang erat hubungannya dengan
pembahasan terdahulu sangat berkaitan. Di antaranya mengenai tujuan dan hikmah
(pernikahan), maka berikut ini sampailah kepada topik pembicaraan, yaitu perkawinan
pria muslim dengan wanita non muslim atau sebaliknya.
Ayat ini menjelaskan bahwa seorang muslim laki-laki tidak dibolehkan kawin
dengan perempuan musyrik, begitu juga perempuan mukminah tidak dibolehkan
dengan laki-laki musyrik karena ada perbedaan yang sangat jauh antara kedua
kepercayaan tersebut. Di satu pihak mengajak ke surga sedangkan di pihak lain
mengajak ke neraka. Di satu pihak beriman kepada Allah dan para Nabi serta hari
Kiamat, sedangkan dim pihak lain menyekutukan Allah dan ingkar kepada Nabi serta
Hari Kiamat.3
Tujuan perkawinan ialah untuk mencapai ketentraman dan kasih sayang.
Bagaimana mungkin dua segi yang kontradiksi ini akan dapat bertemu?
Pemilihan pasangan adalah batu pertama pondasi bangunan rumah tangga, ia
harus sangat kukuh, karena kalau tidak, bangunan tersebut akan roboh kendati hanya
dengan sedikit goncangan. Apalagi jika beban yang ditampungnya semakin berat
dengan kelahiran anak-anak. Pondasi kokoh tersebut bukan kecantikan dan
ketampanan, karena keduanya bersifat relatif, sekaligus cepat pudar, bukan juga harta,
karena harta mudah didapat sekaligus mudah lenyap; bukan pula status sosial atau
kebangsawanan karena yang inipun sementara, bahkan dapat lenyap seketika. Pondasi
yang kokoh adalah yang berstandar pada iman kepada Yang Maha Esa, Maha Kaya,
Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.4
Imam Bukhari dan Imam Muslim, meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Abi
Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
َ
ها
م
َ ِ ول
َ ِ ول
َ ََََرأةُ ِل َ ْرب
ُ َ تُنْك
َ ِ مال
َ ِ سََََب
َ ح
َ ِ مال
َ ج
َ ِ ََََع ل
َ ْ ح ال
َ ها
َ ها
ْ
ٍ
َ َت يَد
َ ْفاظ
َ ،ها
اك
ِ َف ْر بِذ
ِ ِ ول
ْ َ رب
َ ِ ديْن
َ
ِ َن ت
ِ ْ ات الدّي
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya dan karena agamanya. Dahulukan dengan agamanya, maka itulah
idaman anda”.5
Pada penggalan ayat pertama ditujukan kepada pria muslim :
َ
م
ُْ ُ جبَتْك
َ ْأع
ات
ِ َ مشْ رِك
ُ ِ …وَل َ تَنْكjanganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik
ُ ْ حوْا ال
3
Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawi
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 1, Ciputat: Lentera Hati, cet. 1, 2000, hal. 262-263
5
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz 1, 2 dan 3, Semarang: PT Karya Toha
Putra, cet. 2, 1992, hal. 264.
4
4
yang tidak memiliki kitab, sehingga mereka mau beriman kepada Allah dan
membenarkan Nabi Muhammad saw. Kata musyrik dalam al-Qur’an mempunyai
makna senada dengan ayat 105 pada surat al-Baqarah: “orang” kafir dari ahli kitab dan
orang-orang musyrik tiada menginginkan (diturunkannya suatu kebaikan kepadamu
dari Tuhanmu)…”. Dan firman Allah yang lain: “orang-orang kafir yakni ahli kitab
dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”. (al-Bayyinah: 1).6
Orang kafir ada dua macam, pertama, Ahl al-Kitab; dan kedua, orang-orang
musyrik (bukan ahli kitab). Itu istilah yang digunakan al-Qur’an untuk satu substansi
yang sama, yakni kekufuran dengan dua nama yang berbeda, ahl al-kitab dan almusyrikun. lebih kurang sama dengan kata korupsi dan mencuri.
Hal di atas merupakan masalah dalam hukum Islam (masailul fiqhiyah).
Perkawinan antar orang yang berlainan agama di sini, ialah perkawinan orang Islam
(pria/wanita) dengan bukan orang Islam (pria/wanita). Mengenai masalah ini Islam
membedakan hukumnya sebagai berikut:
a) Perkawinan antar seorang pria muslim dengan wanita musyrik.
b) Perkawinan antar seorang pria muslim dengan wanita ahlul kitab.
c) Perkawinan antar seorang wanita muslim dengan pria non muslim.7
a. Perkawinan antar seorang pria muslim dengan wanita musyrik.
Hanya di kalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah
(wanita musyrik) yang haram dikawini itu? Menurut Ibnu Jabir al-Thabari, seorang
ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah musyrikah dari
bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur'an memang tidak
mengenal kata suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini,
seorang muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non Arab, seperti
wanita Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa
kitab suci, seperti pemeluk agama Budha, Hindu, Konghucu yang percaya pada Tuhan
Yang Maha Esa, percaya adanya hidup sesudah mati dan sebagainya. Muhammad
Abduh juga sependapat dengan ini.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah baik dari
bangsa Arab ataupun bangsa non Arab, selain ahli kitab, yakni Yahudi dan Kristen
tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam dan
6
7
Ibid, hal. 262-263.
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, cet. 10, 1997, hal. 4.
5
bukan pula Yahudi / Kristen tidak boleh dikawini oleh pria muslim, apapun agama
ataupun kepercayaannya, seperti Budha, Hindu, Konghucu, Majusi/Zeroaster, karena
pemeluk agama selain Islam, Kristen dan Yahudi itu termasuk kategori “musyrikah”.
b. Perkawinan antar seorang pria muslim dengan wanita ahlul kitab.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan
wanita ahli kitab.
1.
Menurut pendapat Jumhur Ulama baik Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun
Hambali, seorang pria muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang
berada dalam lindungan (kekuasaan) negara lain (ahli Dzimmah).
2.
Golongan Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat, bahwa pria
muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab.8
Di sini ada suatu peringatan yang harus kita ketengahkan yaitu bahwa seorang
muslimah yang fanatik dengan agamanya akan lebih baik daripada yang hanya
menerima warisan nenek moyangnya. Karena itu, Rasulullah saw. mengajarkan
kepada kita tentang memilih jodoh dengan kata-kata sebagai berikut:
َ َت يَد
َ ْاظ
اك
ِ َف ْر بِذ
ْ َ رب
ِ َن ت
ِ ْ ات الدّي
“Pilihlah perempuan yang beragama sebab kalau tidak, celakalah dirimu”. (Riwayat
Bukhari)9
c. Perkawinan antar seorang wanita muslim dengan pria non muslim.
Ulama telah sepakat, bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita
muslimah dengan pria non muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama
yang mempunyai kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi, ataupun pemeluk agama yang
mempunyai kitab serupa kitab suci, seperti Budhiesme, Hiduisme, maupun pemeluk
agama atau kepercayaan yang tidak punya kitab suci. Termasuk pula di sini penganut
Animisme, Ateisme, Politeisme dan sebagainya.10
Kalau penggalan ayat pertama ditujukan kepada pria muslim, maka penggalan
ayat kedua ditujukan kepada para wali. Para wali dilarang mengawinkan wanitawanita muslimah dengan orang-orang musyrik. Paling tidak ada dua hal yang perlu
digarisbawahi di sini.
Yang pertama, ditujukannya penggalan kedua ayat tersebut kepada wali,
memberi isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang tidak kecil dalam perkawinan
putri-putrinya atau wanita-wanita yang berada di bawah perwaliannya. Perlu diingat,
bahwa perkawinan yang dikehendaki Islam, adalah perkawinan yang menjalankan
8
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet. IV, 2000, hal. 11.
Syekh Muhammad Yusuf Qardawi, Op Cit, hal. 254
10
Masjfuk Zuhdi, Op Cit, hal. 6.
9
6
hubungan harmonis antar suami isteri, sekaligus antar keluarga, bukan saja keluarga
masing-masing, tetapi juga antar keluarga kedua mempelai. Dari sini peranan orang
tua dalam perkawinan menjadi sangat penting, baik dengan memberi mereka
wewenang yang besar, maupun sekedar restu tanpa mengurangi hak anak. Karena itu,
walau Rasul SAW memerintahkan orang tua untuk meminta persetujuan anak tidak
jarang berbeda dengan tolak ukur orang tua, maka tolak ukur anak, ibu dan bapak,
harus dapat menyatu dalam mengambil keputusan perkawinan.
Hal yang kedua ialah
sama halnya pada uraian point C perkawinan antar
seorang wanita muslim dengan pria non muslim. Bahwa alasan utama larangan
perkawinan dengan non muslim adalah perbedaan iman. Perkawinan dimaksudkan
agar terjalin hubungan, minimal antara kalangan suami isteri dan anak-anaknya.
Bagaimana keharmonisan tercapai jika nilai-nilai yang dianut oleh suami berbeda,
apalagi bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh isteri? Nilai-nilai mewarnai
pikiran dan tingkah laku seseorang.11
Setelah menjelaskan penggalan kedua ayat ini, maka dilanjutkan dengan uraian:
sebab larangan itu, yakni karena mereka mengajak kamu dan anak-anakmu yang lahir
dari buah perkawinan ke neraka dengan ucapan atau perbuatan dan keteladanan
mereka, sedang Allah mengajak kamu dan siapapun menuju amalan-amalan yang
dapat mengatur ke surga dan ampunan dengan lain-Nya.
Penggalan ayat ini memberi kesan, bahwa semua yang mengajak ke neraka
adalah orang–orang yang tidak wajar dijadikan pasangan hidup. Sementara pemikir
muslim dewasa ini cenderung memasukkan semua non muslim termasuk dalam
kelompok yang mengajak ke neraka, dan pada dasarnya mereka cenderung
mempersamakan ahli kitab dengan musyrik. Kecenderungan melarang perkawinan
seorang muslim dengan wanita ahli kitab atas dasar kemaslahatan, bukan atas dasar
teks al-Qur'an adalah pada tempatnya, sehingga paling tidak perkawinan tersebut
dalam sudut pandang hukum Islam adalah makruh.
Ayat ini ditutup dengan firman-Nya : Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, yakni
tuntunan-tuntunan-Nya supaya kamu dapat mengingat, yakni mengambil pelajaran.
Dan ia pun menuntun mereka kepada faedah-faedah hukum-Nya serta rahasia yang
terkandung di dalam syari’at-Nya.12
2. QS. An-Nur Ayat 3
11
12
M. Quraish Shihab, Op Cit, hal. 443-444
Ibid, hal. 445-446.
7
Sebelum ayat ini menjelaskan hukuman terhadap pezina dan ayat inipun
mengemukakan keharusan menghindari pezina, apalagi ingin dijadikan pasangan
hidup.
Sesungguhnya orang yang fasik dan durhaka, yang kebiasaannya ialah
melakukan perbuatan zina dan kefasikan. Tidak mempunyai keinginan untuk
mengawini wanita-wanita yang salehah, tetapi hanya menginginkan perempuan fasik
dan kotor atau perempuan musyrik. Begitu pula perempuan yang fasik dan tidak
menjaga kehormatannya, tidak akan dikawini oleh laki-laki yang saleh, malah mereka
akan lari darinya. Perempuan fasik hanya diingini oleh laki-laki fasik yang sejenis
dengannya. Sungguh tepat perumpamaan yang menyatakan “burung-burung hanya
akan dianggap di tengah kumpulan sejenisnya.”13
Suami isteri atau jauzan (dalam bahasa Arab), berarti dua orang yang serupa dan
seirama, tidak bertolak belakangnya antara yang baik dan buruk baik ditinjau secara
hukum syar’i maupun secara ukuran biasa, tidak akan dapat menghasilkan keserasian,
seirama dan kecintaan dan kasih sayang, maka tepatlah apa yang dikatakan Allah:
َات
ََ ْ ات لِلْخَبِيْثِي
ِ ََ ن لِلْخَبِيْث
َ و
ُ ََ والطّيّب
ُ َ اَلْخَبِيْث
َ َات
ْ ُ والْخَبِيْث
َ ن
}۲٦ :ات {النور
ََ ْ لِلطّيّبِي
ِ َ ن لِلطّيّب
َ و
ْ ُ والطّيّب
َ ن
“Perempuan jahat untuk laki-laki yang jahat, laki-laki yang jahat untuk perempuan
jahat; perempuan yang baik dengan laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk
perempuan yang baik.” (QS. An-Nur:26) 14
Ulama-ulama bermazhab Hanbali dan Zhahiri menetapkan bahwa perkawinan
dengan pelaku zina (laki-laki atau perempuan) tidak dianggap sah sebelum ada
kesempatan taubat.
Banyak ulama yang memahami ayat 3 ini dalam arti ghaibnya, seorang yang
cenderung dan senang berzina, enggan menikahi siapa yang taat beragama. Demikian
juga wanita pezina tidak diminati oleh lelaki yang taat beragama. Ini karena tentu saja
masing-masing ingin mencari pasangan yang sejalan dengan sifat-sifatnya. Sedang
kesalehan dan perzinahan adalah dua hal yang bertolak belakang. Perkawinan antara
lain bertujuan melahirkan kesenangan, kebahagiaan dan langgengnya cinta kasih
antara suami isteri bahkan semua keluarga. Nah, bagaimana mungkin hal-hal tersebut
terpenuhi bila perkawinan itu terjalin antara seorang yang memelihara kehormatannya
dengan yang tidak memeliharanya?
13
Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz 16, 17 dan 18, Semarang: PT Karya Toha
Putra, cet. 2, 1992, hal. 130.
14
Syekh Muhammad Yusuf Qardawi, Op Cit, hal. 259.
8
Ulama ketiga mazhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i menilai sah perkawinan
seorang pria yang taat dengan seorang wanita pezina, tetapi hukumnya makruh.
Alasannya antara lain firman Allah dalam Q.S. An Nisa : 24 yang menyebut sekian
banyak yang haram dikawini lalu menyatakan “Dan dihalalkan untuk kamu selain itu”.
Nah pezina termasuk yang disebut dalam kelompok “yang selain itu” sehingga itu
berarti menikahi adalah halal.
Imam Ahmad dan sekelompok ulama lain berpendapat bahwa perkawinan pezina
pria kepada wanita yang memelihara diri / baik-baik atau sebaliknya, tidaklah sah.
Salah satu alasannya adalah ayat yang ditafsirkan ini.15
D.
Syarah Ayat dengan Hadits
1. Surah al-Baqarah: 221
Dengan adanya asbabun nuzul dari ayat ini: “Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu”.
Abdullah bin Umar r.a. menyatakan bahwa Nabi bersabda:
َ
َ ن
ن
ِ سََن
ْ نأ
ُ سََى
َ ف
ُ ِ سََآءَ ل
ُ ِ لَتَنْك
ُ ُ سََن
ْ ح
َ ع
ْ ح
َ ّ حََوا الن
ّ ه
ّ ه
ِ
َ
َ ن
سََََى
م
ح
ِ ََََوال
ُ ََََو
َ ف
ُ ِ ول َ تُنْك
َ ع
ُ َ ي ّ ْر ِدي
ّ ه
ّ ه
ّ ه
ْ ن عَلَى أ
َ
ْ
َ ن
ِ
َ
َأ
َ
َ ن عَل
ْن يّط
ُ وال
َ ن
ة
ي
د
ال
ى
ه
و
ح
ك
ن
ا
و
ن
ه
ي
ف
أ
ن
ه
م
ٌ َم
ُ
ِ
ْ
ِ
ْ
ْ
ّ
ُ
َ
ُ
ُ
ّ
ّ
ّ
َ فل
ْ
ْ
َ
َ
ِ
ْ َن أ
ُ ض
.ل
َ ف
َ ُودَاء
ُ َج ْردَاءُ ذ
َ
ْ س
ٍ ْ ات ِدي
“Jangan kawin dengan wanita semata-mata karena kecantikannya, mungkin
kecantikannya itu akan menjerumuskan mereka dan jangan mengawini wanita
semata-mata karena hartanya, karena mungkin dengan kekayaannya itu akan
membuatnya melampaui batas dan kawinilah mereka itu karena agamanya, maka
sungguh budak wanita yang hitam tapi beragama adalah lebih utama.” (HR. Abdu
dan Humaid).16
Abdullah bin Umar r.a. menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda:
ة {رواه
َ و
َُرأَة
ٌ مت َََا
ُ ح
َ ِ الصَال
َ ْ َاع الَدّنْيَا اَل
َ َر
َ اَلَدّنْيَا
ّ
ْ َم
ُ َْ خي
َ ع
ِ ََ مت
}مسلم
“Dunia adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan dunia ialah wanita (istri)
yang shalehah.” (HR. Muslim).17
2. Surah an-Nur: 3
Dari asbabun nuzul, suatu riwayat yang diceritakan oleh Murtsid dari Abu
Murtsid, yakni bahwa dia minta izin kepada Nabi untuk kawin dengan pelacur yang
telah dimulainya perhubungan ini sejak zaman Jahiliyah namanya Anas. Nabi tidak
menjawabnya sehingga turunlah ayat ini:
15
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 9, Ciputat: Lentera Hati, cet. 1, 2000, hal. 286-287.
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Mutakhir, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), Cet. ke-4.
17
Ahmad Mustafa al-Maraghi, Op. cit.,hal.
16
9
َ ً ََ اَلََزانِى ل َ ينْكح إل ّ زانِي
َة ل
ْ م
ُ َََ الزانِي
ً َ رك
ّ و
ّ
َ َ ِ ُ ِ َ
ُ و
َ ة
ْ ةأ
ِ ََش
َ
َ
ٌ ر
ْ م
َََََك عَلَى
ح
ِ م ذَال
ُ و
ُ ِ يَنْك
َ َََََر
َ ح
ُ و
ّ
َ ك
ْ ان أ
ٍ ها إِل ّ َز
ِ َََََش
َ و
َ }۳ : ن {النور
ْ م
َ
ََال
ق
َ َ ي ص م ايي
ِ ؤ
َ ْ منِي
ُ ْ ال
َ ة
ّ ِ فتَل َ النّب
.ها
ْ ِ ل َ تَنْك:ه
َ ح
ُ َل
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau
perempuan yang musyrik. Dan perempuan zina tidak dikawini melainkan oleh lakilaki yang musyrik. Dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin”. (an-Nur: 3) Kemudian beliau bacakan ayat tersebut dan berkata: Dan jangan
kamu nikahi dia (Abu Daud, Nasa’I dan Tirmidzi).
Ini justru Allah hanya memperkenankan kawin dengan perempuan mu’minah
yang muhshonah atau ahli kitab yang muhshonah juga seperti yang telah diterangkan
terdahulu.
E. Pokok Kandungan Hukum
1. Al-Baqarah ayat 221
Diperbolehkannya perkawinan dengan wanita ahlul kitab dengan demikian
ditetapkan beberapa persyaratan mengikat yang wajib diindahkan. Persyaratan
pertama: dapat dipastikan bahwa wanita ahlul kitab yang dikawini itu benar-benar
ahlul kitab, yakni: ia sungguh-sungguh mempercayai agama langit, yaitu agama yang
menurut asalnya dibawakan oleh para Nabi dan Rasul utusan Allah, seperti agama
Yahudi dan Nasrani. Persyaratan kedua: wanita ahlul kitab yang dikawini itu harus
wanita muhshanat dan suci (menjaga keras kehormatannya, tidak pernah ternoda).
Persyaratan ketiga: wanita ahlul kitab yang dikawini itu tidak dari golongan yang
memusuhi dan memerangi kaum muslim.
Persyaratan keempat: perkawinan dengan perempuan ahlul kitab harus tidak
akan mengakibatkan fitnah (bencana) dan menimbulkan bahaya.
Tidak boleh kita lupakan bahwa lepas dari dibolehkan atau tidaknya perkawinan
pria muslim dengan wanita bukan muslimah, namun ada satu soal yang kaum
muslimin tidak selisih pendapat, yaitu bahwa perkawinan pria muslim dengan wanita
muslimah lebih baik, lebih utama dan lebih afdhol dalam segala aspeknya. Tidak perlu
diragukan lagi, kesamaan agama antara suami dan isteri merupakan faktor yang dapat
mengantarkan mereka berdua ke dalam suasana kehidupan bahagia, bahkan makin
cocok dalam hal cara berpikir dan cara hidup antara suami isteri tentu akan lebih
memperkokoh kehidupan rumah tangga.18
2. An-Nur ayat 3
18
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Tafsir Ibnu Katsir 1, Surabaya: PT Bina Ilmu, cet. IV, 2004, hal.
421-422. lihat juga Ahmad Mustafa al-Maragi, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz 1, 2 dan 3, Op Cit, hal. 263-264.
10
َ ِ م ذ َال
Mengenai ن
ِ ْ مؤ
ُ َ و: sesungguhnya, laki-laki
َ ح ّر
ُ ْ ك عَلَى ال
َ ْ منِي
mukmin
yang saleh diharamkan mengawini perempuan pelacur, menaruh keinginan
terhadapnya dan menempuh jalan orang-orang fasik yang terkenal selalu zina. Sebab,
dengan demikian dia akan menyerupai orang-orang fasik dan mendatangi tempattempat kefasikan, disamping kedurhakaan yang bisa membuat orang banyak berkata
buruk dan mengumpat tentang dia. Seringkali pergaulan dengan orang-orang fasik
menyeret seseorang melakukan perbuatan dosa. Lantas bagaimana halnya jika
seseorang kawin dengan orang yang suka berzina dan orang durhaka?! Hal ini
digambarkan di dalam Khabar:
َ ْ حمى يوش
َ َن ي
َ و
ه
ِ ع
ِ ْ في
ِ ْ ُ
ْ كأ
َ ق
َ ام
َ ن
َ ح
ْ م
َ ِ ْ ل ال
َ
ْ ح
“Barangsiapa menggembala di sekitar kawasan terlarang, hampir-hampir dia masuk
ke dalam kawasan itu”.19
19
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Op Cit. hal. 421-422.
11
BAB III
KESIMPULAN
Islam tidak hanya menghendaki pria muslim kawin dengan wanita muslimah, bahkan
lebih mendorong agar wanita muslimah itu benar-benar menghayati dan menerapkan
keislamannya. Muslimah demikian itu pasti sangat mendambakan keridhaan Allah, menjaga
hak suaminya dengan baik serta sanggup menjaga dirinya sendiri dan bertanggung jawab atas
keselamatan serta kesejahteraan suami dan anak-anaknya. Oleh karena itu Rasulullah saw.
mewanti-wanti agar tiap muslim menjaga baik-baik keutuhan agamanya agar terjamin
keselamatan hidupnya.
Hukum yang telah ditetapkan oleh al-Qur'an ini sudah selaras dengan fitrah manusia dan
sesuai dengan akal yang sehat, sebab, Allah tidak membenarkan hamba-Nya ini sebagai
germo untuk mencarikan jodoh seorang pelacur. Fitrah manusia pun akan menganggap jijik,
oleh karena itu, orang-orang apabila mencari kawannya, mereka mengatakan: pantas kamu
suami pelacur. Untuk itulah, Allah mengharamkan perkawinan semacam itu kepada orang
Islam.
12
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad Mustafa, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz 1, 2 3, 16, 17 dan 18, Semarang:
PT Karya Toha Putra, cet. 2, 1992.
________, Terjemah Tafsir Al-Maragi, Juz, Semarang: PT Karya Toha Putra, cet. 2, 1992.
Bahreisy, Salim dan Said Bahreisy, Tafsir Ibnu Katsir 1, Surabaya: PT Bina Ilmu, cet. IV,
2004.
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Haditsah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, cet. IV,
2000.
Mahali, A. Mudjab, Asbabun Nuzul, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1988.
Qardawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Mutakhir, Bandung: Pustaka Hidayat, cet. IV, 2000.
_________, Halal dan Haram Dalam Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu, Edisi Revisi, 2003.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, vol. 1, 9, Ciputat: Lentera Hati, cet. 1, 2000.
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT Toko Gunung Agung, cet. 10, 1997.
13