Tugas Makalah Prof. Purwo Santoso Pasca

MAKALAH
SISTEM POLITIK INDONESIA

PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL MELALUI PENYEDERHANAAN
PARTAI POLITIK

Dosen Pengampu : Prof. Drs. Purwo Santoso, M.A., Ph.D.

Disusun Oleh :
NAMA

: Roy Al Minfa, S.H

NIM

: 12912053

BKU

: HTN / HAN


PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2013

Penguatan Sistem Presidensial Melalui Penyederhanaan Partai Politik
Oleh : Roy Al Minfa, S.H1

A. Latar Belakang
Negara yang manganut sistem presidensial akan menempatkan Presiden
sebagai Kepala Nagara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan, dengan demikian
kedudukan Presiden merupakan kedudukan yang kuat didalam menjalankan sistem
permerintahan. Akan tetapi dalam konteks Negara Indonesia kedudukan Presiden
yang sangat strategis tersebut justru bertolak belakang dimana Presiden tidak dapat
bertindak cepat dalam mengambil keputusan hal ini diakibatkan perhitungan politik
dengan

anggota

Dewan


Perwakilan

Rakyat

(DPR),

jika

presiden

tidak

memperhitungkan dinamika politik yang ada dalam keanggotaan DPR maka dapat
berakibat terjadinya kesenjangan antar partai koalisi yang ada di DPR. Mengingat
didalam koalisi terdapat banyak partai politik yang memiliki kepenntingan satu sama
lain berbeda beda, sehingga keputusan yang diambil oleh presiden harus
memperhatikan kepentingan partai-partai koalisi tersebut.
Selain itu, dengan banyaknya partai politik dalam suatu koalisi akan
mempengaruhi Kabinet Presiden, dalam konteks ini Presiden harus menempatkan

perwakilan anggota partai koalisi dalam susunan kabinet. Suatu susunan kabinet yang
semestinya memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang dapat diandalkan di dalam
menjalankan tugas presiden namun dimungkinkan terdapat anggota kabinet yang
memiliki SDM yang tidak memadahi, hal ini terjadi akibat perhitungan politik yang
menempatkan beberapa anggota partai politik koalisi untuk dimasukkan dalam jajaran
kabinet. Apabila koalisi terdiri dari banyak partai politik tentu akan menempatkan
setiap anggota partai tersebut didalam kabinet, jika tidak dilakukan penempatan tentu
partai politik akan keluar dari koalisi sehingga presiden akan semakin melemah.
Dalam implementasi sistem pemerintahan presidensial yang terdapat sistem
multipartai, tentu proses koalisi adalah suatu hal yang harus dilakukan dan tidak bisa
ditawar-tawar lagi dengan tujuan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Pada
pasarnya koalisi adalah untuk membentuk pemerintahan yang lebih kuat (Strong),
mandiri (autonomous), dan tahan lama (durable) didalam menjalankan pemerintahan.

1

NIM : 12912053 Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana UII 2013

Menurut penulis, sistem pemerintahan Indonesia saat ini belum bisa dikatakan sebagai
sistem presidensial murni karena masih adanya pada ranah pelaksanaannya masih

memberikan ruang gerak pada sistem parlementer (MPR).
Pasca dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, dapat dilihat bahwa
pelaksanaan pemerintahan mengarah pada penguatan sistem presidensial, termasuk
dilakukannya pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. dimana pada masa
sebelum amandemen proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR
(Majelis Permusyawarayan Rakyat) kemudian pasca amandemen Presiden dan Wakil
Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Umum (Pemilu).
Dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden secara langsung berdampak pada
pertanggungjawaban Presiden itu sendiri yaitu kepada rakyat yang telah memilih
bukan kepada anggota MPR seperti orde lama maupun orde baru.
Penguatan sistem Presidensial dimana presiden bertanggungjawab tidak lagi
kepada parlemen melainkan kepada rangyat, tentu akan memposisikan Presiden lebih
kuat yang tidak bisa diberhentikan oleh parlemen dengan alasan pertanggungjawaban
ditolak oleh parlemen. Namun yang terjadi dalam pelaksanaanya Presiden tidak kuat
karena terjadi pergeseran, yakni dari eksekutif heavy menjadi

legislatif

heavy.


Artinya telah terjadi pergeseran kekuatan dalam pelaksanaan pemerintahan dari
eksekutif ke legislatif. Pergeseran ini dikarenakan Presiden didalam mengambil suatu
kebijakan mengharuskan melibatkan dan memperhatikan peran DPR sebagaimana
yang dimaksud didalam peraturan perundang-undangan, dengan demikian Presiden
harus memperkuat koalisi agar dapat mengambil kebijakan sesuai dengan konsep
yang telah dirumuskan Presiden.
Didalam koalisi tentunya tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan partai
politik yang ada didalam koalisi tersebut, jika dalam koalisi terdapat banyak partai
(multi partai) tentu Presiden harus berkoalisi dengan beberapa partai yang dominan.
Jika koalisi dengan banyak partai tentu akan memperkuat dalam konteks persetujuan
apabila koalisi memiliki satu ide, gagasan, visi dan misi, akan tetapi sebaliknya
koalisi dengan multii partai justru dapat melemahkan Presiden karena didalam
pengambilan keputusan tersebut Presiden harus mempertimbangkan kepentingankepentingan partai koalisi yang ada, sehingga hal ini justru akan mempersulit dalam
pengambilan keputusan. Selain itu koalisi bisa menjadi ancaman jika beralih menjadi
oposisi jika kepentingan partai tersebut tidak sejalan dengan Presiden.

Persoalan yang sangat rumit yang dihadapi oleh Presiden didalam
menjalankan pemerintahan adalah dengan berkoalisi banyak partai. Sehingga
berakibat pada sikap Presiden didalam menentukan sikap atau kebijakan akan lamban,
lemah dan bahkan tidak sesuai dengan konsep yang dibentuk. Hal ini dikarenakan

Presiden harus memikirkan kepentingan-kepantingan partai koalisi yang terdiri dari
banyak partai dan memiliki perbedaan kepentingan. Sehingga hal ini tidak efektif
didalam menjalankan sistem pemerintahan dan bahkan membatasi sistem presidensial.
Dalam mengatasi persoalan tersebut langkah-langkah yang dapat dilakukan
adalah dengan melakukan penyederhadaan sistem multi partai atau bahkan mengubah
sistem multi partai menuju sistem dwi partai. Sebagai partai yang kalah dalam
pemilihan umu, partai ini melakukan kontrol atas partai yang menang dalam
pemilihan umum tetapi partai yang kalah tetap loyal terhadap sistem politik.
Walaupun berupaya keras mengalahkan partai yang berkuasa, partai tersebut tidak
berupaya mengganti sistem politik yang berlaku. 2
Pada umumnya dianggap bahwa sistem dwi-partai lebih kondusif untuk
terpeliharanya stabilitas karena perbedaann yang jelas antara partai pemerintah dan
partai oposisi. 3 Penyederhaan dari multi partai menuju dwi partai, dilakukan untuk
memperkuat sistem presidensial, dimana partai presiden didalam pengambilan
keputusan dapat bertindak secara cepat dan tepat tanpa mempertimbangkan
kepentingan partai politik lain mengingat hanya ada dua partai yang ada didalam
parlemen. Sehingga pelaksanaan sistem presidensial dapat diterapkan secara murni,
tentu akan dapat menciptakan pemerintahan yang kuat didalam menjalankan
pemerintahan serta bertindak cepat dan tepat dalam pengambilan kebijakan
mensejahterahkan rakyat, terlepas dari kepentingan partai politik yang sedikit.


B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut maka penulis melakukan spesifikasi dalam
hal melakukan kajian dengan melakukan analisis terhadap Penguatan Sistem
Presidensial Melalui Penyederhanaan Partai Politik ?

2

Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Cetakan Ketujuh (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010),

hlm 160
3

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, Cetakan Pertama (Jakarta: PT. Ikrar
Mandiriabadi, 2008), hlm 418.

C. Pembahasan
1. Sistem Presidensial Indonesia
Pemerintahan dengan sistem presidensial merupakan suatu pemerintahan
yang menempatkan eksekutif bertanggung jawab kepada rakyat yang memilih.

Berbeda halnya dengan sistem parlementer dimana eksekutif bertanggung jawab
kepada parlemen (DPR), dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada diluar
pengawasan secara langsung parlemen. Dalam sistem presidensial, presiden
memiliki kekuasaan yang kuat, karena selain sebagai kepala negara juga sebagai
kepala pemerintahan.
Ciri-ciri yang mendasari dari sistem Presidensial adalah adanya pemisahan
kekuasaan yang meliputi cabang-cabang eksekutif, legislatif dan yudikatif, di
Indonesia pemisahan kekuasaan tidak dilakukan secara murni melainkan
menerapkan sistem pembagian kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif hal
ini, dapat dilihat dari pembentukan peraturan perundang-undangan eksekutif dan
legislatif

bersama-sama

membentuk

undang-undang.

sedangkan


sistem

parlementer yang dicirikan oleh lembaga legislatif sebagai penyusunan undangundang secara mutlak sedangkan eksekutif memiliki hak veto untuk menolak
diberlakukannya undang-undang yang bersangkutan.
Sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945, Presiden memiliki kekuasaan yang sangat kuat (executive heavy) karena
disamping mempunyai kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-undang
juga menguasai cabang-cabang kekuasaan yudikatif hal ini dapat dilihat dalam
pemberian amesti, abolisi dan grasi. Sehingga kekuasaan yang begitu besar pada
pemerintah menimbulkan tindakan yang otoriter, yang mengabaikan kepentingan
rakyat, artinya UUD 1945 dipandang memiliki celah untuk disalahgunakan
dimana memiliki sifat yang multi tafsir.
Sedangkan secara substantif, UUD 1945 banyak sekali mengandung
kelemahan. Hal itu dapat diketahui antara lain; pertama kekuasaan eksekutif
terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip check and balances yang memadai,
sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy, dan itu menguntungkan bagi
siapa saja yang menduduki jabatan presiden, kedua, rumusan ketentuan UUD
1945 sebagian besar bersifat sangat sederhana, umum, bahkan tidak jelas (vague),
sehingga banyak pasal yang menimbulkan multi tafsir; ketiga, unsur-unsur
konstitusionalisme tidak dielaborasi secara memadai dalam UUD 1945; keempat,


UUD 1945 terlalu menekankan pada semangat penyelenggara negara; kelima,
UUD 1945 memberikan atribusi kewenangan yang terlalu besar kepada presiden
untuk mengatur pelbagai hal penting dengan UU. Akibatnya, banyak UU yang
substansinya hanya menguntungkan Presiden dan DPR selaku pembuatnya
ataupun saling bertentangan satu sama lain. Keenam, banyak materi muatan yang
penting justru diatur di dalam penjelasan UUD, tetapi tercantum di dalam pasalpasal UUD 1945. Ketujuh, status dan materi penjelasan UUD 1945. Persoalan ini
sering menjadi objek perdebatan tentang status penjelasan, karena banyak materi
penjelasan yang tidak diatur di dalam pasal-pasal UUD 1945, misalnya materi
negara hukum, istilah kepala negara dan kepala pemerintahan, istilah mandataris
MPR, pertanggung jawaban Presiden dan seterusnya. 4
Pascra reformasi tahun 1998, pemerintah Indonesia melakukan upaya
perubahan dalam konsep sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia selama
ini. Perubahan tersebut antara lain dengan mengurangi kuasa yang cenderung
koruptif pada lembaga kepresidenan (eksekutif), serta memberi porsi yang lebih
banyak pada parlemen (legislatif) untuk melakukan fungsi kontrol terhadap
kekuasaan presiden dan untuk menghindari pemerintah yang otoriter seperti
pemerintahan orde baru.
Perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dari eksecutif heavy
menuju legislative heavy tersebut menimbulkan masalah tersendiri, dimana

kekuasaan presiden menjadi dilematis karena sistem politik yang ‘legislative
heavy’ tersebut menimbulkan keharusan bagi Presiden untuk melakukan
kompromi-kompromi politik dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Akibatnya, selama penyelenggaran sistem pemerintahan pasca reformasi dinilai
telah terjadi tarik-menarik kepentingan antara presiden dan parlemen dalam
berbagai hal terutama dalam pengambilan keputusan.
Tarik-menarik kepentingan tersebut dipetakan menjadi dua basis yaitu
kompromi internal dan eksternal. Posisi presiden yang akomodatif dan posisi
partai politik di parlemen yang intervensif menjadikan kompromi tersebut
mereduksi kewenangan-kewenangan yang seyogianya dimiliki oleh presiden
dalam sistem presidensial. Implikasi negatifnya, terjadi kerapuhan struktur politik
dan beragam ancaman dari parlemen kepada presiden dalam berbagai kebijakan.
Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia (Kajian terhadap Dinamika Perubhan UUD
1945), (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm 4-5.
4

2. Partai Politik Di Indonesia
Partai politik menjadi keharusan dalam sistem demokrasi, partai politik
tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsinya sebagai wadah bagi aspirasi
rakyat. Partai politik merupakan sarana bagi orang-orang dalam mendapatkan
legitimasi rakyat untuk menduduki jabatan-jabatan politis tertentu. Sehingga,
kehadiran partai politik juga perlu diletakkan dalam kerangka yang lebih luas dan
tidak terbatas pada sistem pemerintahan. Baik buruknya kaderisasi dan rekrukmen
atau regenerasi dalam tumbuh organisasi partai politik akan menentukan kualitas
calon-calon pemimpin bangsa yang akan mendatang.
Di Indonesia Partai politik merupakan sarana bagi rakyat untuk turut serta
atau berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan negara. Sebagai organisasi
politik, partai bukan sesuatu yang dengan sendirinya ada melainkan adanya proses
pembentukan partai politik. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang.
Namun di Indonesia partai politik, bisa dikatakan partai politik yang masih muda
atau lebih muda dibandingkan dengan organisasi partai politik yang ada di
berbagai negara belahan dunia ini
Menurut Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, Pasal
1ayat (1) “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk
oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan citacita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik
dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional untuk
melaksankan programnya. 5
Partai politik adalah sekelompok orang-orang satu ide dan memiliki citacita yang sama dalam suatu level negara, yang terorganisasi dengan rapi terutama
dalam orientasi terhadap nilai-nilai kehidupan, oleh karena itu mereka mempunyai
sasaran merebut kedudukan politik tertentu sehingga memperjuangkan kekuasaan,

5

Miriam Budiardjo, Dasar ... op. cit., hlm 404.

agar secara konstitusional, absah dilegitinasi serta kebijaksanaannya diterima
kemudian ikut dalam pengambilan keputusan pemerintahan. 6
Indonesia mempunyai sejarah yang panjang dalam berbagai jenis sistem
multi-partai. Sistem ini telah melalui beberapa tahapan dengan bobot kompetitif
yang berbeda-beda. Mulai 1989 Indonesia berupaya untuk mendirikan suatu
sistem multi-partai yang mengambil unsur-unsur positif dari pengalaman masa
lalu. Sambil menghindari unsur negatifnya. 7 Salah satu dampak sistem multipartai yang kaku seperti yang dikenal dalam era Orde Baru ialah banyaknya
dinamika politik under-currents yang tak bisa tercermin dalam sistem kepartaian
yang ada. Masalah perwakilan politik bagi berbagai segmen masyarakat
nonpower.8
Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem multi partai,
sistem multi-partai merupakan sistem yang dianggap tepat mengingat di Indonesia
memiliki perbedaan yang cukup tajam dalam hal pengaturan ras, agama, budaya
dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, sehingga dengan sistem multi partai
akan dapat mengakomodir semua kepentingan dengan idiologi yang di anut oleh
masing-masing partai yang ada.

6

Inu Kencana Syafiie, Teori dan Analisis Politik Pemerintahan (Dari Orde Lama, Orde Baru
sampai Reformasi), (Jakarta: PT Perca, 2003), hlm 27.
7
Miriam Budiardjo, Dasar ... op. cit., hlm 429.
8
Ichlasun Amal dan Samsurizal Panggabean, Reformasi Sistem Multi-Partai dan Peningkatan
Peran DPR dalam Proses Legislatif (Dalam Buku Teori-Teori Partai Politik), Cetakan Kedua,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hlm 179.

3. Analisis Penguatan Sistem Presidensial Melalui Penyederhanaan Partai
Politik
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan aktualisasi nyata demokrasi dalam
praktek bernegara saat ini, pemilu menjadi sarana utama bagi rakyat untuk
menyatakan kedaulatan rakyat atas negara dan pemerintahan. Kedaulatan rakyat
diwujudkan dalam proses partisipasi rakyat untuk menentukan pilihannya
terhadap siapa yang akan menjadi pemimpin. Rakayat memilih pemimpin yang
dipercaya rakyat untuk menjalankan kekuasaan politik untuk mencapai tujuantujuan hidup rakyat.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengatakan bahwa kedaulatan di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut UUD, Negara Indonesia adalah negara hukum, jika
kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum yang dimaksud dengan dilaksanakannya
pemilu dimana pemilu ini dilakukan untuk memilih legislatif dan eksekutif,
dimana salah satu fungsi pemilu adalah sebagai mekanisme rotasi pemindahan
kekuasaan secara patut dan realistis.
Pasal 2E ayat (2) UUD 1945, menegaskan bahwa pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Dalam parlemen tersebut maka wakil-wakil tersebut akan melebur
menjadi satu. Dilema yang terjadi dengan sistem multi partai dalam pemilu adalah
terkait dengan pengaturan bagaimana dengan partai politik yang hanya
mendapatkan minoritas suara dalam pemilu? Sehingga dalam mengatasipasi hal
tersebut, pilihan koalisi yang dapat dilakukan. Selain itu koalisi juga diperlukan
dalam sistem presidensial agar mendapat dukungan dari parlemen untuk
membentuk peraturan.
Pada negara yang menganut sistem multipartai, koalisi telah menjadi
keharusan sebagai hal yang wajib dilakukan bagi partai pemenang pemilu. Hal ini
didasari bahwa jumlah masa akan terpecah pada banyak partai yang ada di
parlemen. Negara yang menganut sistem Presidensial multipartai seperti Indonesia
harus dilakukan koalisi agar pemerintah dapat menajalankan pemerintah dengan
tepat, cepat dan tepat atas dukungan anggota parlemen yang tergabung atas
anggota koalisi.

Tabel Jumlah Kursi DPR
Peserta Pemilihan Umum Tahun 2009

Partai

Kursi

Koalisi

Oposisi

Partai Demokrat

148 kursi

148 kursi

Partai Golongan Karya

108 kursi

108 kursi

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

93 kursi

Partai Keadilan Sejahtera

59 kursi

59 kursi

Partai Amanat Nasional

42 kursi

42 kursi

Partai Persatuan Pembangunan

39 kursi

39 kursi

Partai Kebangkitan Bangsa

26 kursi

26 kursi

Partai Gerakan Indonesia Raya

30 kursi

30 kursi

Partai Hati Nurani Rakyat

15 kursi

15 kursi

Jumlah

560 Kursi

93 kursi

422 Kursi

138 Kursi

Sumber : www.kpu.go.id di akses pada tanggal 20 Juli 2013

Peta politik hasil Pemilu tahun 2009, menghasilkan dua pembagian dalam
lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu koalisi

dan oposisi. Partai koalisi

berjumlah 422 kursi sedangkan partai oposisi berjumlah 138 kursi. Berdasarkan tabel
tersebut, presiden memiliki legitimasi politik yang kuat karena dipilih secara langsung
melalui dan didukung mayoritas partai politik di parlemen. Dengan demikian
kebijakan dan langkah pemerintah pun teramankan oleh koalisi besar dalam legislatif.
Namun realita yang terjadi berbeda, pemerintahan SBY-Budiono saat ini,
dinilai sangat lamban, ragu-ragu dan seakan-akan tidak memiiliki ketegasan. Hal ini
terjadi karena adanya keraguan sistem gabungan partai politik (koalisi) yang ada
dalam parlemen. Pemerintahan SBY cenderung memikirkan kepentingan koalisi agar
tetap terjaga dan tidak terpecah. Sehingga kebijakan-kebijakan yang dibentuk oleh
pemerintahan SBY memiliki kepentingan-kepentingan politik yang harus diakomodir
oleh semua partai koalisi.

Hal ini diperburuk lagi saat-saat menjelang Pemilu, keretakan atau pergeseran
dalam koalisi mungkin saja terjadi mengingat para politisi dalam pemerintahan pun
pada saat-saat ini kembali ke partai untuk melakukan pencitraan partai politik.
Indonesia, menjadi salah satu arena terbuka bagi krisis koalisi yang berulang karena
tidak adanya pengaturan yang baku mengenai pelembagaan koalisi yang dibangun
baik sebelum pemilihan presiden maupun sesudah pemilihan presiden, terlebih
dengan sistem multi partai, sehingga kesepakatan koalisi tidak efektif dalam
menjalankan sistem pemerintahan.
Dengan sistem multi partai tentu pemerintahan harus memberikan ruang
politik kepada partai politik gabungan koalisi tersebut. Dengan banyaknya partai
politik pemerintah harus melakukan lobi-lobi yang dapat mengakomodir semua
kepentingan partai tersebut. Sehingga kebijakan yang dibuat tidak efektif dan bahkan
tidak berpihak kepada rakyat melainkan keberpihakan kepada golongan tertentu yang
ada di parlemen.
Berbeda halnya jika dalam pemerintahan hanya memiliki sedikit partai politik
anggota koalisi, tentu kepentingan yang adapun sangat terbatas. Sehingga
pemerintahan akan dapat berjalan dengan baik, efektif dan lebih cepat di realisasikan.
Untuk negara Indonesai dengan pemerintahan yang Presidesial dengan peserta Pemilu
yang multi partai tentu sangat tidak efektif dan pemerintah cenderung lemah. Untuk
itu dalam upaya melakukan pengauatan sistem presidensial hal yang dilakukan adalah
dengan penyederhanaan partai politik yang ada, dengan metode piramid terbalik. Dari
tahun ke tahun pemilu adanya pembatasan suara untuk ikut pemilu selanjutnya
dengan jumlah suara tertentu, jika jumlah suara yang dibatasi tersebut tidak tercapai
maka tidak mendapatkan legalitas untuk ikut pemilu selanjutnya. Dengan demikian,
partai politik peserta pemilu dari tahun ke tahun akan mengalami pengurangan
(penyederhanaa), sehingga partai-partai yang memiliki kemampuan dan regenerasi
yang baiklah yang akan tetap bertahan untuk mengikuti pemilihan umum selanjutnya.
Penyederhaaan partai politik dalam

pemilu

tentu akan

melahirkan

penyederhaaan partai yang ada di parlemen, sehinggadalam membangun koalisi
pemerintahan tentu sangat efektif. Kepentingan-kepentingan partai politik yang
dominan dapat di minimalisir, sehingga akan melahirkan sistem presidesial yang kuat
dan dapat menjalankan pemerintahan dengan baik dan lebih tepat, tanpa ragu-ragu
seperti yang dijalankan pada pemerintahan SBY saat ini.

D. Penutup
Dengan dominannya koalisi di parlemen, tentu akan memperkuat kedudukan
presiden, hal ini dikarenakan presiden memiliki legitimasi politik yang kuat karena
dipilih secara langsung melalui dan didukung mayoritas partai politik di parlemen.
Dengan demikian kebijakan dan langkah pemerintah pun teramankan oleh koalisi
besar dalam legislatif.
Namun realita yang terjadi berbeda, pemerintahan SBY-Budiono saat ini,
dinilai sangat lamban, ragu-ragu dan seakan-akan tidak memiiliki ketegasan. Hal ini
terjadi karena adanya keraguan sistem gabungan partai politik (koalisi) yang ada
dalam parlemen. Pemerintahan SBY cenderung memikirkan kepentingan koalisi agar
tetap terjaga dan tidak terpecah. Sehingga kebijakan-kebijakan yang dibentuk oleh
pemerintahan SBY memiliki kepentingan-kepentingan politik yang harus diakomodir
oleh semua partai koalisi.
Dengan sistem multi partai tentu pemerintahan harus memberikan ruang
politik kepada partai politik gabungan koalisi tersebut. Dengan banyaknya partai
politik pemerintah harus melakukan lobi-lobi yang dapat mengakomodir semua
kepentingan partai tersebut. Sehingga kebijakan yang dibuat tidak efektif dan bahkan
tidak berpihak kepada rakyat melainkan keberpihakan kepada golongan tertentu yang
ada di parlemen.
Untuk itu dalam upaya melakukan pengauatan sistem presidensial hal yang
dilakukan adalah dengan penyederhanaan partai politik yang ada, dengan metode
piramid terbalik. Dari tahun ke tahun pemilu adanya pembatasan suara untuk ikut
pemilu selanjutnya dengan jumlah suara tertentu, jika jumlah suara yang dibatasi
tersebut tidak tercapai maka tidak mendapatkan legalitas untuk ikut pemilu
selanjutnya. Dengan demikian, partai politik peserta pemilu dari tahun ke tahun akan
mengalami pengurangan (penyederhanaa), sehingga partai-partai yang memiliki
kemampuan dan regenerasi yang baiklah yang akan tetap bertahan untuk mengikuti
pemilihan umum selanjutnya. Penyederhaaan partai politik dalam pemilu tentu akan
melahirkan penyederhaaan partai yang ada di parlemen, sehinggadalam membangun
koalisi pemerintahan tentu sangat efektif.

Daftar Pustaka

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Cetakan Pertama. Jakarta: PT.
Ikrar Mandiriabadi, 2008.
Huda, Ni’matul. Politik Ketatanegaraan Indonesia (Kajian terhadap Dinamika Perubahan
UUD 1945). Yogyakarta: UUI Press, 2001.
Kencana Syafiie, Inu. Teori dan Analisis Politik Pemerintahan (Dari Orde Lama, Orde Baru
sampai Reformasi). Jakarta: PT Perca, 2003.
Subakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik, Cetakan Ketujuh. Jakarta: Kompas Gramedia,
2010
Ichlasun Amal dan Samsurizal Panggabean, Reformasi Sistem Multi-Partai dan Peningkatan
Peran DPR dalam Proses Legislatif (Dalam Buku Teori-Teori Partai Politik). Cetakan
Kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996