Penomena Golput Di Indonesia Pasca Orde Baru : Studi Kasus Pada Pemilu 2004

(1)

FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA

PASCA ORDE BARU

(STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Oleh

Acu Nurhidayat

NIM: 104033201077

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H./2009 M.


(2)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA

PASCA ORDE BARU

(STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Oleh

Acu Nurhidayat

NIM: 104033201077

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H./2009 M.


(4)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(5)

FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA

PASCA ORDE BARU

(STUDI KASUS PADA PEMILU 2004)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh

Acu Nurhidayat

NIM: 104033201077

Pembimbing

Drs. Idris Thaha, M.Si

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1430 H./2009 M.


(6)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PASCA

ORDE BARU (STUDI KASUS PADA PEMILU 2004) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta pada 2 Maret 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik

Islam.

Jakarta, 2 Maret 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.A. NIP: 150262447 NIP: 150270808

Penguji I, Penguji II,

A. Bakir Ihsan, M.Si. M. Zaki Mubarak, M.Si.

NIP: 150326915 NIP: 150371093

Pembimbing,

Idris Thaha, M.Si. NIP: 150318684


(7)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 11 Februari 2009


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

memberikan berbagai limpahan karunia kepada penulis sehingga dengan karunia

dan izin-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad

SAW, sebagai suri tauladan ummat yang telah rela menyumbangkan segenap

jiwa dan raganya demi kebahagiaan umat yang dicintainnya.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menemui kesulitan dan

hambatan terutama pengumpulan literatur, mengingat data-data golput masih

sedikit sekali dalam buku. Memang ada beberapa buku yang khusus membahas

golput, akan tetapi dirasa kurang mencukupi. Dengan keyakinan kuat, untuk itu

penulis memberanikan diri meneruskan penyusunan skripsi ini walaupun

data-data yang penulis dapatkan masih berceceran dalam bentuk opini-opini. Namun, berkat bimbingan, dorongan alhamdulillah karya ini dapat tersusun.

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Orang Tua, Ibunda Iyoh tercinta yang selalu memberikan cinta dan kasih

sayangnya yang tak terbatas dan ridho maupun doa yang selalu mengiringi

setiap langkah penulis. Ayahanda Husni tercinta yang telah berjuang

sekuat tenaga untuk mendidik dan menyekolahkan penulis hingga ke


(9)

2. Keluarga tercinta, terutama kakak-kakak penulis yang selalu memberikan

motivasi: Kang Nana dan Ceu Yayah sekeluarga, Kang Oding dan Teh Embet sekeluarga, Kang Encep dan Ceu Amih sekeluarga, A’ Rosid dan

Ceu Euis sekeluarga. Serta adik penulis, Ida Nurhayati dan

keponakan-keponakan penulis semuanya. Juga kepada keluarga besar yang selalu

memberikan dorongan dan doa kepada penulis.

3. Bapak Dr. Amin Nurdin, M.A., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fil. dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag.,

Ketua dan Sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat UIN Jakarta. Terima kasih atas segala bantuan yang selalu

terkait dengan masalah administrasi di jurusan.

5. Bapak Drs. Idris Thaha, M.Si., pembimbing skripsi penulis. Terima kasih

atas bimbingan, pengarahan selama penulis di bimbing.

6. Bapak A. Bakir Ihsan, M.Si. dan Ibu Suryani M.Si., terima kasih atas

nasihat dan masukan-masukan sebelumnya sehingga penulis terinspirasi

mengambil judul golput. Juga kepada Bapak Dr. Sirojudin Aly, M.A., Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si., serta kepada seluruh dosen Jurusan

Pemikiran Politik Islam, yang telah membimbing, mendidik dan

mewariskan ilmunya kepada penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu, tapi tidak mengurangi rasa hormat penulis. Semoga ilmu yang

telah diberikan menjadi bermanfaat dan menjadi amal ibadah dan pahala di


(10)

7. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin dan Perpustakaan Syariah UIN Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam pencarian literatur yang diperlukan.

8. Pimpinan dan staf Perpustakaan Nasional, Perpustakaan LIPI,

Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan DKI Jakarta, bagian Humas

Komisi Pemilihan Umum (KPU), penulis ucapkan terima kasih.

9. Pimpinan dan semua Pengurus Yayasan Amal Abadi Beasiswa ORBIT

(YAAB-ORBIT), khusunya Mba Ibet, Mba Muji, dan Mas Tobar. Terima

kasih atas bantuan beasiswa pendidikannya selama ini, semoga amal yang

telah diberikan menjadi amal baik. Amin.

10.Teman-teman BEMJ PPI periode 2006-2007 serta teman-teman

seperjuangan di Jurusan Pemikiran Politik Islam: Hafiz, Gozy, Azis, Iin

Solihin, Mulyani, Dhika M. Hayat, Bayu K.W, Ipeh, Siti Suraidah, Dieny

Aulia Pratiwi, Wulan, Bunda Lulut Lutfiyah, dan teman-teman semuanya yang tidak cukup penulis tuliskan di sini. Terima kasih atas bantuan dan

kerjasamanya baik di organisasi maupun selama studi.

11.Teman-teman di HMI KOMFUF: Fahru, Subairi, Muhali, dan semuanya.

Juga teman-teman seperjuangan hidup di Aula Insan Cita (AIC) HMI

Cabang Ciputat: K. Rafi’i, Cak Burhani, Rony Setiawan, Husni, Deden

Sandi, Azra, Adul, Jawa. Khusus kepada Mang Usman, terima kasih atas

diskusi dan masukannya, Pak Amay dan Saudara Apung terima kasih atas

bantuan dan pinjaman bukunya. Tidak lupa teman-teman di Lembaga


(11)

Syifa S.F., Hasanuddin, Maheso Jenar, Nurul, Alvi. Selamat berjuang

demi menggapai hari esok yang lebih cerah.

12.Teman-teman Forum Silaturahmi Alumni Anbim-ORBIT (FSAA ORBIT):

Fathul Arif, Zamzam, Kang Deni Kurniawan, Mas Ahmad Rifa’i, Mba

Filda Angelia, dan semuanya.

13.Teman-teman di Persatuan Mahasiswa Bekasi (Permasi-Bekasi): Amir

Hamzah, Arif Riyadi, Iwan Rahmat, Oeng, Syamsul Rijal, Adi dan

semuanya. Semoga jiwa persatuan kita tetap kuat dan selalu terus terjaga.

14.Teman-teman Sosiologi Agama: Siti Nurhayati (Aya), Iik Ikrimah, Lina

Hermawati, Siti Nay Nurjanah, dan Nadzariyah. Terima kasih atas bantuan

semuanya dan semoga silaturahmi kita tetap terus terjalin.

15.Seluruh teman-teman yang telah membantu atas penyusunan skripsi ini.

Terima kasih atas motivasi dan bantuan semuanya.

“Tak ada gading yang tak retak,” kira-kira ungkapan inilah yang cocok untuk skripsi ini. Penulisan skripsi ini jauh dari kesempurnaan, baik isi, bahasa,

penulisan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun

sangat diharapkan untuk perbaikan kedepannya.

Terakhir, hanya kepada Allah SWT penulis pasrahkan. Smoga skripsi ini

dapat bermanfaat adanya. Amin.

Jakarta, 11 Februari 2009


(12)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah... 11

C. Tujuan Penelitian... 11

D. Metode Penelitian ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GOLPUT A. Pengertian dan Jenis-jenis Golput ... 15

B. Penyebab Seseorang Golput... 19

C. Golput dalam Sejarah Pemilu di Indonesia... 27

BAB III SEKILAS GAMBARAN PEMILIHAN UMUM TAHUN 2004 A. Pemilihan Umum Anggota Legislatif... 37

1. Kontestan Partai-partai Politik ... 41

2. Perolehan Suara Partai-partai Politik ... 43


(13)

B. Pemilihan Umum Presiden Langsung ... 49

1...Pe milu Presiden Putaran Pertama... 51

2....Has

il Pemilu Presiden Putara Pertama... 53

3....Pe

milu Presiden Putaran Kedua ... 54

4....Has

il Pemilu Presiden Putaran Kedua ... 55

BAB IV FENOMENA GOLPUT DI INDONESIA PADA PEMILU 2004 A. Golput sebagai Sikap Kekecewaan Rakyat... 57

B. Golput karena Masalah Teknis ... 68

C. Jenis-jenis Golput pada Pemilu 2004... 74 1....Gol

put Politis ... 75

2...Gol put Teknis Administratif ... 79

3....Gol

put Teknis Non-Administratif ... 81

D. Eksistensi Golput pada Pemilu 2004 sebagai Dampak

Liberalisasi Politik Pasca Orde Baru ... 83


(14)

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran-saran... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan umum (pemilu) dalam sebuah negara demokrasi sudah menjadi

rutinitas dalam menentukan regenerasi kepemimpinan. Para teoretisi klasik, dari

Alexis Tocquiville hingga Thomas Jefferson percaya bahwa partisipasi politik,

khususnya pemberian suara dalam pemilihan umum (voting) merupakan kunci

menuju suatu pemerintahan yang demokratis.1 Pada momen pemilu itulah

masyarakat dapat berpartisipasi dalam menentukan pemimpinnya.

Di Indonesia, sejak paca kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia

telah melaksanakan sembilan kali pemilihan umum. Pemilu pertama diadakan

tahun 1955 yang merupakan pemilu pertama paling demokratis yang diikuti oleh

banyak partai politik. Pada masa Orde Baru pemilu dilaksanakan sebanyak enam kali yakni pemilu 1971 yang hanya diikuti oleh sepuluh kontestan peserta pemilu

kemudian dilanjutkan pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 yang hanya

diikuti oleh tiga kontestan. Selanjutnya pasca Orde Baru, bangsa Indonesia telah melaksanakan dua kali pemilu, yakni pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 kontestan

partai politik dan pemilu 2004 yang diikuti 24 kontestan partai politik.

Namun di balik cerita penyelenggaraan pemilu tersebut, pasca pemilu

1955, yakni pada era 1970an ada satu isu penting yang dimotori oleh sebagian

intelektual dan budayawan di tengah situasi penyelenggaraan pemilu yang tidak

jujur dan adil itu. Isu tersebut yaitu adanya gerakan moral yang memboikot

1

Badri Khaeruman, dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput (Jakarta: PT Nimas Multima, 2004), h. 67.


(16)

pemilu dengan cara tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemilu tiba.

Kelompok ini dikenal dengan nama golongan putih (golput).

Golput adalah golongan yang secara sadar menyatakan untuk tidak

memilih. Golput mulai muncul pada pemilu 1971 yang digagas oleh Arief

Budiman. Bersama rekan-rekannya waktu itu, ia memboikot pemilu sebagai

kekecewaan terhadap pemerintahan Soeharto yang dianggapnya tidak demokratis

dengan membatasi partai-partai politik. Dengan membatasi jumlah partai,

pemerintah sudah melanggar asas demokrasi yang paling mendasar, yakni

kemerdekaan berserikat dan berpolitik.2Dalam hal ini ungkapan Arief Budiman

perlu untuk dikutip:

“…Sebagai protes kepada UU pemilu yang waktu itu membatasi jumlah partai. Soeharto membatasi jumlah partai dan mencegah orang-orang yang kritis masuk menjadi anggota partai. Waktu itu saya dan teman-teman berbicara, “ini sama juga bohong, katanya kita boleh

memilih”…atas dasar itu kita memboikot pemilu….”3

Sikap tidak senang terhadap campur tangan pemerintah dalam urusan

internal partai politik dan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah dalam

pengerahan masa yang hanya dikhususkan untuk mendukung partai pemerintah

dan bahkan masyarakat dikerahkan hanya untuk bekerja dan tidak punya peran

sama sekali dalam politik. Maka, kelompok-kelompok mahasiswa bersatu

menganjurkan pencoblosan di luar prosedur resmi. Kelompok ini oleh Arief

Budiman dinamakan golongan putih (golput) karena mengacu pada rekomendasi

2

Arief Budiman, Kebebasan, Negara, Pembangunan (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006), h. 105.

3

Pernyataan ini disampaikan pada acara diskusi Metro TV dalam acara Election Watch tanggal 29 Januari 2004. Lihat “Menghadang Politisi Busuk,” dalam Talk Show Denny J.A Metro TV, Election Watch: Meretas Jalan Demokrasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 41.


(17)

kelompok tersebut untuk mencoblos bagian kosong (putih) kertas pemilu. Putih

disebandingkan dengan lawannya yakni hitam, kotor.4

Di samping kekecewaan terhadap pemerintahan Orde Baru, Pada masa itu,

partai-partai politik juga hanya dijadikan sebagai mesin politik bagi rezim yang

sedang berkuasa. Orang-orang yang memimpin partai politik nampak sebagai elit

pemerintah dan menjadi corong terhadap program-program pemerintah. Mereka

sama sekali terpisah dengan massa sehingga dengan meningkatnya kemuakan di

tingkat akar rumput (grass root) terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, serta kota-kota besar lainnya muncul apatisme dari

masyarakat terhadap parpol-parpol yang ada yang diangapnya tidak mewakili

aspirasi masyarakat di bawah.5

Jadi jelas bahwa golput yang digagas oleh Arief Budiman dan

kawan-kawan adalah merupakan sikap yang secara sadar sebagai sebuah gerakan moral

yang sengaja dilakukan sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah dan terhadap partai-partai politik.

Fenomena golput pasca 1971 masih terus menampakkan eksistensinya

setiap kali pemilu. Pengaruh golput menjadi lebih meluas, kali ini golput muncul bersama dengan berbagai bentuk protes yang ada dalam masyarakat. Seperti yang

diungkapkan Arbi Sanit bahwa golput sudah tidak lagi merupakn gerakan protes

yang berdiri sendiri di kalangan luas pada umumnya dan di kalangan masyarakat

yang kritis terhadap penguasa pada khusunya. Akan tetapi golput telah menyatu

ke dalam berbagai gerakan yang bertujuan memperbaiki dan mencari alternatif

4

Diakses pada 29 November 2008 dari http://mohon-aaf.blogspot.com/2008/04/gerakan-golput-dan-masa-depan-bangsa.html

5


(18)

dalam rangka penyempurnaan sistem politik Indonesia yang berdasarkan

prinsip-prinsip demokrasi universal.6

Kemunculan golput berikutnya bertujuan untuk mendorong proses

demokratisasi di Indoensia dengan cara menggugat secara langsung keabsahan

(legitimacy) kekuasaan rezim Orde Baru. Tidak hanya pada pelaksanaan pemilu, akan tetapi dalam pelaksanaan sistem politik yang sudah ada.7

Dalam pemilu 1977, fenomena golput muncul di tengah-tengah krisis

politik yang dihadapi pemerintah Orde Baru. Di antaranya, adanya kebijakan fusi

terhadap partai politik (1973), munculnya kerusuhan Malari (1974),

terbongkarnya kasus korupsi Pertamina (1975), dan kasus korupsi di

departemen-departemen. Pada pemilu 1982, perpecahan-perpecahan politik di tingkat elit lebih

banyak dibicarakan orang. Terjadi konflik-konflik politik di tingkat elit.

Ketidakpuasan elit-elit terhadap Orde Baru terlihat dengan muncunlnya pressure

groups seperti kelompok Petisi 50.8

Pada pemilu 1987, Golkar mendapatkan suara paling tinggi yaitu 73,2%.

Kemenangan Golkar harus dibayar dengan biaya tinggi, yakni munculnya

ketegangan baru di kalangan elit-elit politik. Ketegangan ini berpusat pada masalah-masalah strategis dalam pemerintahan yang belum terselesaikan yaitu

proses pergantian kepemimpinan nasional, stabilitas nasional, dan pembangunan

ekonomi.9 Dalam pemilu tahun ini proses regenerasi kepemimpinan menjadi isu

politik yang paling penting.

6

Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h.32.

7

Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya (Yogyakarta: LEKHAT, 1994), h.8.

8

Ibid., h. 8-10.

9


(19)

Pada pemilu 1992, isu yang paling muncul yaitu demokratisasi politik dan

ekonomi. Keduanya adalah reaksi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru yang banyak merugikan rakyat. Dalam situasi seperti inilah sikap dan

dukungan terhadap golput muncul di tengah-tengah protes tersebut. Sikap golput

tidak saja berkembang di kalangan pelajar, tetapi juga orang-orang miskin kota

dan desa yang merasakan secara langsung dampak dari pembangunan seperti

penggusuran tanah, buruh-buruh kehilangan pekerjaannya. Penggusuran

besar-besaran seperti terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah. Situasi inilah yang antara

lain membuat isu golput mendapatkan dukungan dari masyarakat. 10

Pemilu 1997 juga tidak banyak berbeda, bahkan ada semacam ketegasan

bahwa pemilu sudah kehilangan legitimasinya. Kali ini suara golput mencapai

sekitar 9,42%.11Ketidakpuasan masyarakat terlihat pasca pemilu, mereka

menganggapnya bahwa pemilu tersebut sarat dengan praktek-praktek yang kurang

demokratis. Apalagi setelah lebih dari 30 tahun Golkar berkuasa, kini memenangkan kembali. Dengan menangnya kembali Golkar pertanda matinya

demokrasi di Indonesia.12

Isu golput juga terjadi tidak hanya pada masa Orde Baru saja yang dianggap oleh sebagian masyarakat kurang demokratis. Pada era Reformasi

sekalipun ternyata fenomena ini sering terus ditemukan setiap kali pemilihan

umum baik pada pemilu 1999 maupun pada pemilu 2004.

10

Ibid., h. 11-12.

11

Mengenai data-data golput dari setiap pemilu dapat dilihat dalamAA GN Ari Dwipayana,

Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009: Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?” artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26

12

Diakses pada 11 Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20 sah%20dan%20Suharto%20harus%20dipertahankan%20.htm


(20)

Pada pemilu 1999 jumlah golput mencapai 10,21%.13 Angka ini cukup

tinggi jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu masa Orde Baru. Di antara penyebabnya adalah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah. Hilangnya kepercayaan masyarakat pada masa ini karena

pemerintahan Habibie dinilainya telah gagal dalam menyelesaikan berbagai

macam masalah, diantaranya seperti berlarut-larutnya penuntasan kasus KKN

Soeharto dan kroni-kroninya.14

Jika kita amati, ternyata fenomena ini (baca: angka golput) pasca Orde

Baru mengalami peningkatan. Menurut AA GN Ari Dwipayana, Dosen Fisipol

UGM, mengutip hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), menuliskan

bahwa Pemilu 1971 angka golput mencapai 6,64%, pemilu 1977 mencapai 8,40%,

pemilu 1982 mencapai 8,53%, pemilu 1987 mencapai 8,39%, pemilu 1992

mencapai 9,09%, pemilu 1997 mencapai 9,42%, pemilu 1999 mencapai 10,21%

dan pemilu 2004 mengalami peningkatan signifikan yakni mencapai 23,34%.15

Pemilu 2004 adalah pemilu langsung pertama kali dilaksanakan dalam

sejarah Indonesia untuk memilih presiden. Pada tahun ini rakyat Indonesia

mendapatkan kesempatan memilih secara langsung sesuai dengan amandemen pasal 1 (ayat 2) UUD 1945 yang menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat

dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang.” Dengan kata lain saatnya rakyat

berdaulat atas kehendak dan hak-hak politiknya.16Sepanjang sejarahnya, baru

13

Mengenai 10,21% diambil dari artikelnya AA GN Ari Dwipayana, “Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009 Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?” diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26

“Pemilihan Presiden, Pemilu, dan Demokrasi di Indonesia,” dalam Pax Benedanto dkk., Pemilihan Umum1999: Demokrasi atau Rebut Kursi? ( Jakart: LSPP, 1999), h.7.

15

AA GN Ari Dwipayana, Politik Indonesia Menjelang Pemilu 2009:

Apakah Ada Harapan di Tengah Predatory Politics?”artikel diakses pada 18 Oktober 2008 dari http://www.pspk-ugm.or.id/artikel_detail.php?id=26

16


(21)

tahun ini bangsa Indonesia mencapai keberhasilan dalam meraih pencapaian

demokrasi terbesar.17

Ada hal menarik di sini yang perlu penulis teliti lebih jauh pada pemilu

2004, yakni tingginya angka golput dibandingkan dengan pemilu-pemilu

sebelumnya. Meningkatnya angka golput pada pemilu kali ini mengejutkan semua

kalangan. Padahal pada pemilu 2004 ini masyarakat sudah diberikan kebebasan

untuk berpolitik, tidak seperti pada era 70-an yang disebut-sebut pemilu kurang

demokratis. Sehingga, logis jika masyarakat ada yang tidak menyalurkan aspirasi

politiknya baik karena kekecewaan terhadap pemerintah saat itu ataupun sistem

pemilu yang tidak jurdil dan selalu dimenangkan oleh Golkar.

Akan tetapi pasca tumbangnya Orde Baru, partai politik sebagai wadah

agregasi dan artikulasi kepentingan rakyat banyak bermunculan, masyarakat

diberikan kebebasan untuk memilih sesuai dengan aturan perundang-undangan

yang ada. Fenomena yang terjadi justru malah sebaliknya, tingkat partisipasi masyarakat malah menurun, bahkan pada pemilu 2004 tingkat partisipasi

masyarakat paling rendah dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya.

Menurut Faisal Baasir, Wakil Ketua Komisi IX DPR-RI menuturkan bahwa meningkatnya angkat golput pada pemilu 2004 juga perlu dicermati, sebab

fenomena golput tidak terjadi hanya pada masa Orde Baru saja yang disebutkan

terjadi kecurangan dalam pemilu, pada tahun 1955 dan era Reformasi sekalipun

yang disebut-sebut pemilu paling demokratis, ternyata masih ditandai oleh

tingginya angka golput,18 sehingga kehadiran golongan ini tidak bisa diabaikan

17

Ibid., h. 1.

18

Faisal Baasir, “Fenomena Golput dalam Pemilu 2004,” artikel diakses pada 18 Oktober 2008 darihttp://www.suaramerdeka.com/harian/0405/27/opi03.htm


(22)

begitu saja mengingat pemerintahan yang kurang didukung dengan partisipasi

tinggi dikhawatirkan kurang stabil.

Begitu juga dalam temuan Demos,19golongan putih (golput) masih

bertengger di urutan pertama pada pemilu 2004. Jumlah mereka diperkirakan akan

mencapai 34.509.246 suara (23,34%) pada pemilu legislatif. Dengan

meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 adalah indikasi apatisme politik

yang mengejutkan.20

Yang menjadi pertanyaan mendasar adalah, faktor apa yang menyebabkan

golput mengalami peningkatan pada pemilu 2004? Apakah memang semata-mata

merupakan bentuk kekecewaan terhadap pemerintah? Ataukah karena faktor lain,

misalnya pencoblosan tidak benar yang mengakibatkan surat suara rusak, sedang

berada di luar kota ketika pemilu berlangsung, atau dampak dari liberalisasi

politik pasca Orde Baru? Ataukah karena masalah kendala teknis, misanya karena

tidak terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)?

Pasca Orde Baru memang menyisakan kompleksitas permasalahan yang

ada, mulai dari tuntutan terhadap perbaikan ekonomi yang merupakan dampak

dari krisis 1998 yang tidak kunjung reda, korupsi terjadi di semua lini baik di pemerintahan maupun di DPR, elit-elit politik dianggap tidak memperhatikan

aspirasi rakyat yang pada akhirnya mengakibatkan masyarakat kecewa terhadap

elit-elit politik yang berkuasa.

19

Demos adalah lembaga kajian demokrasi dan hak asasi. Sisipan Demos merupakan kerja sama antara Tempo dengan perkumpulan Demos, sebuah perkumpulan di Jakarta yang bergiat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah demokrasi dan hak asasi manusia. Sisipan ini disponsori oleh Uni Eropa. Dalam edisi ketiganya, Demosmenampilkan topik partai politik pasca Orde Baru.

20

Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05.


(23)

Akibat dari kekecewaan tersebut di atas, tidak jarang mereka

mengungkapkannya dengan cara tidak mencoblos pada saat pemilu tiba. Berdasarkan wawancara Indepth terhadap responden pendukung golput, mereka

mengaku tidak akan menghadiri bilik suara/golput, setidaknya mempunyai empat

alasan. Pertama, Pemerintahan di era Reformasi, baik di masa pemerintahan Gus

Dur, maupun di masa Megawati Soekarnoputri telah gagal, pemerintah tidak

sanggup memperbaiki kondisi ekonomi yang telah terpuruk sejak pertengahan

1997. Kedua, mereka menilai kehadirannya ke bilik suara tidak ada arti apa-apa,

justru yang ada malah kerugian baik waktu, tenaga maupu finansial. Ketiga,

adanya urusan yang lebih penting. Urusan lebih penting di sini harus dipahami

dalam konteks tidak adanya nilai lebih. Daripada mencoblos lebih baik

mengerjakan yang lebih penting misalnya ke toko dan lain sebagainya. Keempat,

karena malas, malas dalam hal ini harus ditempatkan dalam kerangka tidak

adanya nilai lebih terhadap aktivitas politik dalam pemilu.21

Menurut Demos, fenomena golput ini setidaknya menjelaskan tiga hal.

Pertama, mulai mencuatnya rasionalitas pemilih, dengan pemilu yang relatif aman, damai, dan demokratis, rakyat bisa lebih leluasa dalam mengekspresikan kebebasan dan kedaulatannya. Pada pemilu 2004 membuktikan bahwa rakyat

punya rasionalitas sendiri. Elit-elit politik dinilainya hanya mementingkan

golongan dan partainya. Kedua, belum memadainya partai alternatif. Kebebasan memang menciptakan peluang sekaligus juga ancaman akan terpragmentasinya

kekuatan reformis, ini disebabkan partai-partai baru muncul “setengah hati”

dengan ragam interes primordialnya, sehingga akan menjadi hambatan tersendiri

21


(24)

bagi terciptanya konsolidasi demokrasi. Ketiga, partai politik mengalami malfungsi, terutama kaitannya dengan fungsi representasi. Partai politik tidak

mampu mengagregasikan kepentingan rakyat.22

Selain faktor di atas, ada juga indikasi meningkatnya golput disebabkan

oleh faktor lain. Misalnya adanya kesalahan dalam hal pencoblosan yang

mengakibatkan kertas suara menjadi tidak sah, ada juga karena kesalahan teknis

pendataan yang kurang akurat. Mengenai indikasi yang terakhir dapat dilihat

misalnya pada saat penetapan hasil pemilu legislatif 5 Mei 2004 lalu, KPU

menyebutkan sejumlah faktor. Diantara faktor-faktor tersebut yaitu adanya

pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali baik di tempat yang sama maupun di

tempat yang berbeda, adanya kartu pemilih yang tidak dapat dibagikan karena

pemiliknya tidak dikenali, adanya warga yang belum berhak memilih tapi sudah

mendapat kartu pemilih, adanya pemilih sudah meninggal dunia yang masih

terfdaftar, dan adanya pemilih terdaftar yang tidak menerima kartu pemilih.23 Untuk membuktikan indikasi-indikasi tersebut di atas, penulis merasa

tertarik mengungkap fenomena golput di Indonesia paca Orde Baru (era

Reformasi) yang mengalami trend peningkatan. Dalam hal ini penulis mencoba untuk melihat dan menggali lebih jauh lagi khusus pada pemilu 2004 yang

merupakan pemilu langsung baik untuk memilih anggota legislatif maupun

presiden dalam sejarah pemilu di Indonesia. Hal ini akan disusun dalam sebuah

tulisan berbentuk skripsi dengan judul: “Fenomena Golput di Indonesia Pasca

Orde Baru (Studi Kasus pada Pemilu 2004).”

22

Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05

23

Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/3/ Mengapa-golput


(25)

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, agar jangkauan skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi permasalahan tersebut mengenai fenomena

golput di Indonesia pada pemilu 2004.

Berpijak pada batasan serta latar belakang masalah tersebut, maka penulis

perlu merumuskan permasalahan ini dalam bentuk pertanyaan: Faktor apa yang

menyebabkan meningkatnya golput di Indonesia pada pemilu 2004?

Adapun sub-sub permasalahan yang akan ditelusuri sebagai berikut:

1. Apa yang menyebabkan masyarakat kecewa terhadap parpol dan elit-elit

politik pada pemilu 2004?

2. Apakah meningkatnya golput pada pemilu 2004 juga disebabkan oleh

adanya faktor kendala teknis?

3. Apakah golput pada pemilu 2004 ada kaitannya dengan dampak dari

liberalisasi politik pasca Orde Baru?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk menguraikan dan menganalisa lebih jauh tentang fenomena golput pada pemilu 2004 lewat

indikator-indikator sebagai berikut:

1. Adanya kekecewaan masyarakat terhadap parpol dan elit-elit politik.

2. Adanya faktor kendala teknis, baik administratif maupun non administratif


(26)

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan berupa pengumpulan

data dari berbagai literatur. Penulis menggunakan jenis penelitian Library

Research (studi kepustakaan) yaitu dengan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan pemilu 2004 berupa buku-buku, artikel dari berbagai media baik

elektronik maupun cetak yang kemudian dibahas dan dianalisis lalu ditulis dalam

bentuk karya ilmiah.

Analisa data dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua

metode yaitu metode deskriptif dan analisis yaitu dengan mendeskripsikan dan

kemudian menganalisisnya sesuai dengan temuan penulis.

Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis menggunakan Pedoman

Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CeQDA, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyusun ke dalam lima bab. Bab I

Pendahuluan, pada bab ini penulis menjelaskan secara ringkas konteks serta permasalahan yang diangkat sebagai cerminan isi skripsi ini secara global. Bab ini

mencakup latar belakang masalah, tujuan penelitian, rumusan dan batasan

masalah, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II, penulis membahas golput sebagai variabel pertama. Pada Bab ini

pembahasan meliputi pengertian dan jenis-jenis golput yang diutarakan oleh para

pengamat. Tidak sedikit para pengamat mengomentari tentang golput, bahkan


(27)

antaranya, ada golput ideologis, golput politis, golput pragmatis dan golput karena

kecelakaan; penyebab seseorang memilih golput, di sini diuraikan tentang apatis, anomi, alienasi, dan sinisme yang merupakan bentuk ketidakikutsertaan

masyarakat dalam berpartisipasi; mengulas sekilas tentang sejarah golput di

Indonesia, di sini penulis menjabarkan sejarah golput dari pemilu 1971 hingga

pemilu pasca Orde Baru yakni pemilu 1999.

Selanjutnya pada Bab III, penulis membahas sekilas tentang pemilu

presiden dan legislatif pada pemilu 2004 yang merupakan variabel kedua dari

skripsi ini. Bahasan terdiri dari kontestan partai-partai politik peserta pemilu. Di

antara kontestan partai politik pemilu 2004, ada yang berasaskan Islam, sekuler

dan nasionalis yang nantinya akan penulis uraikan; hasil perolehan suara

partai-partai politik, di sini penulis juga menjelaskan tentang perbandingan suara yang

sah dan tidak sah serta jumlah keseluruhan pemilih; selanjutnya koalisi

partai-partai politik, di sini penulis akan menjabarkan tentang koalisi yang terjadi pada saat itu yang pada akhirnya berujung pada terjalinnya koalisi kebangsaan dan

koalisi kerakyatan pada tahapan pemilihan presiden putaran kedua; dan terakhir

membahas tentang pemilihan presiden secara langsung yang merupakan pemilu pertama di Indonesia, bahasan meliputi pelaksanaan pemilu presiden dan hasil

dari pilpres putaran pertama, pelaksanaan pilpres putaran kedua dan perolehan

hasil pilpres putaran kedua.

Selanjutnya pada Bab IV sebagai inti skripsi ini, penulis akan

menguraikan fenomena golput di Indonesia pada pemilu 2004. Mengenai

pemahaman golput tentunya penulis mengacu pada pandangan para tokoh yang


(28)

kedua. Permasalahan-permasalahan yang akan diangkat terkait dengan

menigkatnya golput pada pemilu 2004 yaitu adanya indikasi-indikasi sebagai berikut: adanya kekecewaan masyarakat terhadap partai dan elit-elit politik,

adanya kendala teknis baik administratif maupun non administratif, dan adanya

dampak liberalisasi politik pasca Orde Baru.

Pada Bab V penulis menutup dengan kesimpulan-kesimpulan yang

berkaitan dengan masalah yang diajukan dari keseluruhan skripsi ini. Karena

bahasan golput ini masih jarang yang meneliti dan penulis ketika mencari data

juga merasa kesulitan, pada bab ini juga penulis menambahkan saran-saran

terutama menyarankan kepada peneliti-peneliti lain agar dapat meneliti mengenai

golput lebih jauh lagi. Bagaimana pun juga, kita setuju atau tidak setuju terhadap

golput, yang jelas golput sudah menjadi fenomena yang selalu ada di setiap

pemilihan umum dan keberadaannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Pacsa Orde

Baru, rakyat sudah diberikan kebebasan dalam segala hal, khususnya dalam bidang politik. Untuk itu, pada bab ini penulis juga menyarankan kepada khalayak

umum agar menggunakan hak pilihnya pada setiap pemilu/pilkada sebagai bentuk


(29)

BABA II

TINJAUAN UMUM TENTANG GOLPUT

A. Pengertian dan Jenis-jenis Golput

Berbicara mengenai golput adalah berbicara sebuah fenomena yang selalu

ramai diperbincangkan setiap kali pemilu. Realitas yang ada membuktikan bahwa

di setiap pemilu dari mulai pemilu 1955-2004, angka pemilih yang tidak sah dan

atau warga yang tidak menggunakan hak pilihnya selalu terus ditemukan. Apakah

angka-angka tersebut masuk pada kategori golput?

Untuk itu, walaupun golput hanyalah suatu fenomena dan belum bisa

dikategorikan secara akademis, paling tidak pada bab ini, penulis ingin

menguraikan terlebih dahulu pengertian dan jenis-jenis golput menurut pandangan

para pengamat. Sehingga, nantinya penulis tidak bias dalam mengartikan golput

itu sendiri.

Golput atau “golongan putih” adalah sebutan yang dialamatkan kepada

orang yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Atau sering pula

didefinisikan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu partai peserta pemilu. Intinya, golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada

sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu untuk

menentukan pemimpinnya.24

Dalam literatur perilaku memilih, penjelasan golput merujuk pada perilaku

nonvoting. Perilaku nonvoting umumnya digunakan untuk merujuk pada fenomena ketidakhadiran seseorang dalam pemilu karena tiadanya motivasi. Di

24

Badri Khaeruman dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput (Jakarta: PT Nimas Multima, 2004), h. 69.


(30)

beberapa negara dunia ketiga, perilaku nonvoting umumnya termanifestasikan dalam berbagai bentuk. Di Brazil misalnya, di samping dimanifestasikan dalam bentuk ketidakhadiran, juga dimanifestasikan dalam bentuk merusak kartu suara

atau tidak mencoblos (blank and spoiled ballots). Perilaku tidak memilih seperti ini biasanya dipakai oleh para pemilih sebagai bentuk protes terhadap pemerintah,

partai politik dan lembaga-lembaga demokrasi lainnya. Bentuk semacam ini juga

banyak ditemui di negara-negara yang menerapkan hukum wajib coblos seperti

Australia, Belgia, Italia, Brazil, dan yang lainnya.25

Menurut Ramlan Surbakti, Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU)

2004, menuturkan bahwa golput khusus dialamatkan hanya kepada mereka yang

memang sengaja tidak menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara

atau sengaja merusak surat suaranya. Golput harus dilakukan sebagai sebuah

kesadaran politik.26

Berbeda dengan Ramlan Surbakti, Menurut Indra J. Piliang, peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), golput terbagi ke dalam tiga

kategori. Pertama, golput ideologis, yaitu golput yang disebabkan oleh penolakan terhadap sistem ketatanegaraan. Sebagaimana halnya golput era 1970-an, yakni

semacam gerakan anti-state. Orang yang golput menganggap bahwa pemilu

dianggapnya hanya bagian dari korporasi elit-elit politik yang sebenarnya tidak

punya legitimasi kedaulatan rakyat. Kaum golput seperti ini memandang

bahwasanya undang-undang pemilu hanyalah bagian dari rekayasa segelintir

orang untuk mencari keuntungan atau kenikmatan. Kedua, golput pragmatis,

yaitu golput yang didasarkan oleh perhitungan rasional. Orang yang golput

25

Muhammad Asfar, Presiden Golput (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), h. 241-242.

26

Diakses pada 27 November 2008 dari http://p4ndu3121990.wordpress.com/2008/08/13/ mengapa-golput/


(31)

memandang bahwa pemilihan umum baginya tidak berdampak apa-apa. Golput

model ini mirip dengan fardu ‘ain dan fardu Kifayah dalam hukum Islam, yakni

bagi orang yang memilih sudah mewakili keseluruhan, sementara bagi orang yang

tidak ikut memilih tidak ada “dosa politik kolektif.” Orang-orang yang mencari

nafkah dan orang-orang yang tidak hadir pada hari pemilihan dengan berbagai

macam alasan termasuk golput model ini. Sikap mereka setengah-setengah

memandang pemilu, antara percaya dan tidak. Ketiga, golput politis, yaitu golput

yang disebabkan oleh faktor-faktor politik. Contoh Gus Dur menyatakan dirinya

golput akibat keputusan KPU dan Ikatan Dokter Indonesia yang memutuskan

bahwa ia tidak memenuhi syarat menjadi calon presiden. Juga golput yang

dilakukan oleh pendukung fanatik pasangan calon presiden dan wakil presiden

yang kalah dalam putaran pertama. Tapi sebenarnya kelompok ini masih percaya

kepada negara, juga percaya pada pemilu. Hanya saja akibat preferensi politiknya

berubah atau sistemnya secara sebagain juga merugikan mereka.27

Sementara menurut Arief Budiman28, Sosiolog dan pengajar di Universitas

Melbourne, Australia, menggolongkan golput pada tiga macam. Pertama golput

yang disebabkan oleh karena alasan politik, umpamanya golput akibat dari protes terhadap undang-undang pemilu yang dianggapnya tidak jurdil dan kurang

demokratis atau karena semua calon yang ada di matanya kuarng layak. Kedua, golput karena memang benar-benar apatis terhadap pemilu. Baginya urusan

politik adalah urusan elit-elit politik, politik di Indonesia dianggap sangat elitis,

27

Indra J. Piliang, “Golput dan Masyarakat Baru di Indonesia,” artikel diakses pada 29 November 2008 dari http://64.203.71.11/kompas-cetak/0407/28/opini/1163352.htm

28

Arief Budiman adalah salah satu pelopor gerakan golput. Ia dan rekan-rekannya memboikot pemilu 1971 dengan cara menyatakan tidak akan memilih pada pemilu tersebut. Pemilu waktu itu dianggapnya tidak demokratis. Golkar dan aparat pemerintah dianggap telah melakukan tindakan tidak wajar terhadap para peserta pemilu yang lain. Lihat “Golongan putih” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid 6 (Jakarta: PT Delta Pamungkas, 2004), h.197.


(32)

dampak dari pemilu tidak akan berguna bagi masyarakat, karena para elit hanya

memikirakan kepentingan dirinya sendiri. Ketiga, golput karena “kecelakaan”. Banyak orang yang tidak memahami aturan pemilu, sehingga tata cara

pencoblosan yang benar tidak mereka ketahui misalnya tidak boleh mencoblos di

luar gambar atau tidak boleh mencoblos lebih dari satu kali.29

Eep Saefulloh Fatah, selaku Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi

Indonesia mengungkapkan bahwa golput pasca Orde Baru mewakili spektrum

luas dan beragam. Dalam hal ini ia membagi golput kepada beberapa jenis. Ada

golput karena teknis-teknis tertentu (keluarga meninggal, ketiduran dan lain-lain),

berhalangan hadir ke TPS atau mereka yang salah mencoblos sehingga surat

suaranya rusak. Ada juga golput teknis-politis, misalnya mereka yang tidak

terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga

statistik, penyelenggara pemilu). Selanjutnya golput politis, mereka yang golput

menganggap bahwa semua kandidat yang ada di matanya tidak ada yang bagus dan pada akhirnya ia tidak punya pilihan terhadap kandidat yang ada atau tidak

percaya bahwa pilkada [pemilu] akan membawa perubahan dan perbaikan. Dan

kelima, golput ideologis, yakni mereka yang tidak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tidak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan

fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.30

29

Arief Budiman, “Golput, Gejala dan Masa Depannya,” artikel diakses pada 29 November 2008 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/07/19/KL/mbm.20040719. KL93851id.html

30

Di masa Orde Baru, memilih terkesan merupakan kewajiban. Pengingkaran atas kewajiban kerap kali mesti berhadapan dengan koersi dan represi, sehingga golput merupakan semacam perlawanan. Pasca Orde Baru, memilih merupakan hak, memilih atau tidak, tidak ada sanksi. Dalam kontek ini, maka golput tidak hanya mewakili kelompok homogen (kelompok yang protes )saja. Akan tetapi, golput sudah mewakili sebuah spektrum luas dan beragam. Lihat: Eep Sefuloh Fatah, “Analisis Politik: Mengelola Golput Jakarta,” artikel diakses pada 08 Desember 2008 dari http://www.lsi.or.id/liputan/273/analisis-politik-mengelola-golput-jakarta


(33)

Pada realitasnya, dalam penghitungan hasil pemilu, golput biasanya

dipakai untuk menggambarkan banyak fenomena, misalnya tidak hadir, kertas suara kosong, surat suara rusak disengaja atau surat suara rusak yang tidak

disengaja. Panitia biasanya melabel terhadap surat suara tersebut dengan sebuatan

suara tidak sah, kecuali untuk yang tidak hadar.31

Dari pandangan para tokoh di atas, penulis lebih sepakat terhadap

pengkategorian golput tersebut menjadi beberapa jenis mengingat sulitnya untuk

mengidentifikasi secara pasti berapa jumlah golput yang memang benar-benar

tidak memilih yang disebabkan atas kekecewaan. Hal ini hanya dapat diprediksi

dari hasil lembaga-lembaga survei yang melakukan penelitian dan itu pun jika

penelitiannya valid. Dengan adanya survei setidaknya bisa mengidentifikasi suara

tidak sah tersebut. Dalam konteks pemilu 2004, dengan melihat indikator yang

sudah dipaparkan pada bab I, penulis mengklasifikasikan golput menjadi tiga:

golput politis, golput teknis administratif, dan golput teknis non administratif. Ketiga kategori golput tersebut akan penulis uraikan pada bab selanjutnya.

B. Penyebab Seseorang Golput

Golput adalah suatu hal yang selalu ada di setiap pemilu. Apalagi terhadap

negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa

semakin demokratis suatu negara, maka semakin sedikit angka pengembalian

suara.32

Di negara-negara maju seperti Amerika sekalipun, tingkat partisipasi

masih rendah. Di beberapa kota di Amerika, masalah-masalah politik bukan

31

Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 296.

32


(34)

menjadi perhatian masyarakat. Mereka lebih memusatkan pada kegiatan-kegiatan

yang menyangkut makanan, seks, percintaan, keluarga, pekerjaan, kesenangan, tempat berteduh, kenyamanan, persahabatan, harga diri sosial, dan yang

lainnya.33

Dalam studi perilaku pemilih (voter behavior), ada tiga teori yang menjelaskan fenomena golput. Pertama, teori sosiologis. Seseorang tidak ikut dalam pemilihan akibat dari latar belakang sosiologis. Misalnya faktor agama,

pendidikan, pekerjaan, ras dan sebagainya. Kedua, teori psikologis. Keputusan seseorang untuk ikut memilih atau tidak ditentukan oleh faktor psikologis seperti

kedekatan (attachment) dengan partai atau kandidat yang ada. Ketiga, teori ekonomi politik. Keputusan untuk memilih atau tidak dilandasi oleh pertimbangan

rasional, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa membawa

perubahan lebih baik. Atau ketidakpercayaan akan adanya perubahan, dan

sebagainya.34

Idris Thaha dalam bukunya menuliskan, ada dua faktor yang menyebabkan

partisipasi warga negara dalam politik. Pertama, kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara. Kedua, sikap dan kepercayaan atau penilaian warga negara terhadap pemerintah. Akan tetapi, keduanya tidak bisa berdiri

sendiri. Bisa jadi faktor tinggi rendahnya partisipasi politik masyarakat di

pengaruhi juga oleh faktor lain, misalnya status sosial dan ekonomi, afiliasi

politik orang tua dan pengalaman berorganisasi.35

33

Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amin Rais (Jakarta: Teraju Mizan, 2005), h. 224.

34

“Studi Golput dalam Pilkada DKI Jakarta,” dalam catatan kaki, diakses pada 27 Januari 2009 dari www.lsi.co.id/media/MATERI_PENDAMPING_STUDI_EXIT_POLL_

35

Idris Thaha, Demokrasi Religius Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amin Rais. h. 224-225.


(35)

Seymour Martin Lipset, berdasarkan data pemilihan umum dari Amerika

Serikat dan beberapa negara Eropa Barat seperti Jerman, Swedia, Norwegia dan Finlandia menemukan bahwa di negara-negara tersebut orang kota lebih banyak

memberikan suara daripada orang desa; mereka yang berumur 35 dan 55 lebih

banyak daripada yang usianya di bawah 35 tahun ataupun di atas 55 tahun; pria

lebih banyak daripada wanita; yang kawin lebih banyak daripada yang belum

kawain. Lebih lanjut Lipset mengungkapkan bahwa orang yang berpendapatan

tinggi, yang berpendidikan baik, dan yang berstatus sosial tinggi, cenderung lebih

banyak daripada orang yang berpendidikan dan berpendapatan rendah.36

Berbeda dengan Lipset, Muhammad Asfar dalam bukunya

mengungkapkan bahwa di Indonesia khususnya pada era Reformasi, justru para

pendukung golput (orang yang tidak berpartisipasi memberikan suara) malah dari

orang-orang yang pendidikannya memadai. Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa

dari hasil wawancara dengan para responden, diketahui setidaknya terdapat dua

penjelasan. Petama, pendidikan tinggi memungkinkan seseorang dapat mengakses

informasi lebih memadai, sehingga mereka mempunyai informasi yang cukup

tehadap kebijakan yang diambil pemerintah. Dengan demikian mereka bisa tahu baik keberhasilan-keberhasilan pemerintah maupun kekurangan-kekurangannya.

Kedua, perguruan tinggi memungkinkan seseorang untuk dapat membaca dan menganalisis realitas sosial, ekonomi dan politik, sehingga lewat pergurun tinggi

tersebut seseorang mengetahui seperangkat “ alat” baik berupa teori, konsep untuk

36

Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 9.


(36)

menjelaskan dan menganalisis fenomena sosial dan politik. Sehingga informasi

yang mereka dapatkan tidak ditelan dengan mentah-mentah.37

Dalam bukunya Badri Khairuman, tipologi dari orientasi-orientasi yang

menandai ketidakikutsertaan masyarakat dalam urusan-urusan politik, termasuk

dalam pemberian suara pada saat pemilihan umum disebabkan oleh tiga faktor.

Pertama apatis (masa bodoh), sikap ini lebih dari sekedar manifestasi kepribadian otoriter. Sikap ini terjadi akibat dari ketertutupan terhadap rangsangan politik,

baginya kegiatan politik tidak memberikan manfaat dan kepuasan, sehingga

mereka tidak punya minat dan perhatian terhadap politik. Kedua anomi (terpisah),

sikap ini merujuk kepada sikap ketidakmampuan, terutama kepada keputusasaan

yang dapat diantisapasi. Ia masih mengakui bahwa kegiatan politik adalah sesuatu

yang berguna, akan tetapi ia merasa tidak dapat memengaruhi peristiwa-peristiwa

dan kekuatan-kekuatan politik. Singkat kata, Anomi adalah sikap—jika hal ini

menjadi ekstrem dan meluas—akan mencakup suatu perasaan ketidakberdayaan dalam mengendalikan hidup secara umum. Ketiga alienasi (terasing), sikap ini berbeda dari apatis dan anomi. Alienasi merupakan sikap tidak percaya pada

pemerintah yang berasal dari keyakinan bahwa pemerintah tidak mempunyai dampak terhadap dirinya. Individu yang teralienasi tidak hanya menarik diri dari

kegiatan politik, akan tetapi ia juga dapat mengambil alternatif untuk

menggulingkan kekuasaan dengan cara-cara kekerasan, atau dengan cara tanpa

kekerasan atau melakukan hijrah.38

Michael Rush dan Phillip Althoff mengemukakan pendapat serupa

terhadap orang-orang yang tidak turut serta berpartisaipasi dalam masalah politik.

37

Muhammad Asfar, Presiden Golput, h. 259-262.

38

Badri Khaeruman, dkk., Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput, h. 87-88.


(37)

Di samping ketiga yang sudah disebutkan tadi seperti apatis, alienasi (terasing),

anomi (terpisah), ia menambahkan sinisme. Sinisme merupakan satu sikap yang dapat diterapkan baik pada aktivitas maupun ketidakaktifan.39

Robert Agger dan rekan-rekannya mendefinisikan sinisme sebagai

“kecurigaan yang buruk dari sifat manusia”. Sinisme merupakan perasaan yang

menghayati tindakan dan motif orang lain dengan rasa kecurigaan, bahwa

pesimisme lebih realistis daripada optimisme; bahwa individu harus

memperhatikan kepentingan sendiri, karena masyarakat itu pada dasarnya

ego-sentris (memusatkan segala sesuatu pada diri sendiri). Secara politis, sinisme

menampilkan diri dalam berbagai cara: bahwa politik adalah urusan kotor, bahwa

politisi itu tidak dapat dipercaya, bahwa individu menjadi bulan-bulanan dari

kelompok yang melakukan manipulasi, bahwa kekuasan sebenarnya dilakukan

oleh orang-orang tanpa muka.40

Menurut Azyumardi Azra, penyebab golput di Indonesia belum bisa dipastikan apakah memang benar-benar oleh karena ideologi, sikap apatis atau

karena faktor lain, seperti tidak terdaftar sebagai pemilih. Adanya golput di

Indonesia tidak sama seperti di negara-negara lain, misalnya Inggris dan Amerika yang memang di sebabkan oleh sikap apatis. Akan tetapi di Indonesia berbeda

dengan negara lain.41

Sedangkan menurut Roby Muhamad, dalam artikelnya menulis sedikitnya

ada tiga alasan mengapa seseorang memilih golput. Pertama, seseorang memilih

39

Michael Rush dan Phillip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 146.

40

Ibid., h. 146-147.

41

Pernyataan ini dikemukakan oleh Azyumardi Azra kepada wartawan di sela-sela acara seminar bertema “Membangun Jati Diri Bangsa untuk Masa Depan Indonesia” di gedung rektorat Universitas Brawijaya Malang, Sabtu (17/7) ketika masih menjabat Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diakses pada 27 November 2008 dari http://www.sinarharapan.co.id/Berita/ 0302/05/nas10.html/


(38)

golput karena diluar kehendak, misalanya sakit parah yang mengakibatkan ia tidak

bisa memilih. Kedua, golput sebagai pernyataan politik yang mengisyaratkan

ketidakpercayaan pada sistem yang ada. Ketiga, menggangap memilih tidak

memberi keuntungan apa-apa bagi dirinya.42

Robi Cahyadi Kurniawan, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, dalam

opininya menulis, golput erat kaitannya dengan partisipasi. Partisipasi merupakan

perilaku atau aktivitas. Basis partisipasi menurut Huntington dan Nelson

(1977:15) dapat berupa individu maupun kolektif/kelompok.43 Hal senada juga

terdapat dalam bukunya Ramlan Surbakti, bahwa partisipasi politik dapat pula

dikategorikan berdasarkan jumlah pelaku, yakni individual dan kolektif.

Partisipasi individual maksudnya, seseorang yang menulis surat berisi tuntutan

atau keluhan kepada pemerintah. Yang dimaksud partisipasi kolektif ialah

kegiatan warga negara secara serentak seperti kegiatan dalam proses pemilihan

umum. Partisipasi kolektif dibedakan menjadi dua, yakni partisipasi kolektif konvensional seperti pemilihan umum dan partisipasi kolektif yang tidak

konvensional, seperti pemogokkan yang tidak sah, huru-hara dan lain

sebagainya.44

Menurut Gabriel A. Almond yang dikutip oleh Cheppy Haricahyono,

bentuk partisipasi seperti aktivitas pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye, bergabung dengan kelompok kepentingan, atau melakukan

komunikasi dengan pejabat-pejabat politik maupun administratif dianggapnya

42

Robi Mumahamad, “Golput dan Memilih dengan Rasional,” artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/07/01002822/golput.dan. memi-lih.denagn rasional

43

Robi Cahyadi Kurniawan, “Mencermati Fenomena Golput,” artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008080409245940

44

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Grasindo, Anggota IKAPI, 1999), h. 143.


(39)

sebagai bentuk yang normal atau yang sudah umum biasa dilakukan dalam

demokrasi modern.45

Penelitian individu di Barat umumnya memiliki basis individual,

menekankan pada kegiatan politik individu warga negara. Dalam hal ini bekaitan

dengan sistem nilai individualisme atau disebabkan kesadaran politik warga

negaranya tinggi. Sementara di Indonesia menekankan pada komunalisme

(kebersamaan atau gotong royong), artinya tindakan politik seseorang dipengaruhi

oleh struktur politik yang ada, status sosio-ekonominya, juga dipengaruhi oleh

kesadaran terhadap politik dan kepercayaan terhadap pemerintah. Apabila

seseorang memiliki kesadaran politik dan tingkat kepercayaan terhadap

pemerintah tinggi, maka tingkat partisipasi akan tinggi dan cenderung aktif.

Sebaliknya apabila tingkat kesadaran dan kepercayaan terhadap pemerintah

rendah, maka partisipasi cenderung pasif (apatis).46

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam bukunya menuliskan, bentuk partisipasi politik ada yang dimobilisasi dan ada yang otonom. Partisipasi

yang dimobilisasi adalah kegiatan/aktivitas yang dikendalikan oleh orang lain di

luar si pelaku, dimaksudkan untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Misalnya petani-petani memberikan suara karena disuruh berbuat

demikian oleh tuan tanahnya. Di antara mereka juga ada yang memang tidak

mengerti makna tindakan mereka. Sementara partisipasi yang otonom adalah

sebaliknya yaitu aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh pelaku sendiri yang

bermaksud untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Tingkat

45

Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 181-182.

46

Robi Cahyadi Kurniawan, “Mencermati Fenomena Golput,” artikel diakses pada 27 November 2008 dari http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2008080409245940


(40)

partisipasi yang otonom pada umumnya lebih tinggi dalam sistem-sistem politik

yang demokratis daripada dalam sistem-sistem diktator.47

Pada konteks Indonesia, penulis melihat bahwa partisipasi politik yang

dimobilisasi banyak terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa ini banyak

masyarakat yang dimobilisasi oleh pemerintah untuk memenangkan salah satu

kontestan peserta pemilu pendukung pemerintah, para pejabat sipil dilarang

berpolitik agar loyal pada negara yang pada akhirnya juga dimobilisasi untuk

memilih Golkar. Pasca tumbangnya Orde Baru, terjadilah liberalisasi politik,

masyarakat bebas memilih partai manapun, termasuk tidak memilih merupakan

hak rakyat. Dalam konteks kebebasan itulah maka partisipasi yang terjadi adalah

partisipasi otonom, yakni adanya kebebasan sepenuhnya untuk menentukan siapa

calon pemimpin yang akan dipilihnya.

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa tinggi-rendahnya

partisipasi masyarakat tidak bisa dipengaruhi oleh satu faktor saja, akan tetapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lainnya, misalnya faktor tingkat kepercayaan

masyarakat; faktor mobilisasi seperti yang terjadi pada masa Orde Baru; faktor

sosiologis seperti ikut-ikutan keluarga, pengaruh lingkungan tempat tinggal, lingkungan organisasi; Faktor tingkat pendidikan, ekonomi, demografi dan tingkat

pendapatan (income); juga oleh faktor psikologis misalnya seperti kedekatan dengan calon atau bahkan kekecewaan terhadap calon/kontestan peserta pemilu

yang pada akhirnya berujung pada sikap apatis.

Morris Rosenberg yang dikutif oleh Rush dan Althoff, mensugestikan tiga

alasan pokok apati politik. Pertama, adanya konsekuensi yang ditanggung dari

47

Untuk lebih jelasnya mengenai partisipasi yang dimobilisasi dan yang otonom lihat Samuel P. Hungtinton dan Joan M. Nelson, Partisipasi politik: Tak Ada Pilihan Mudah (Jakarta: PT.Sangkala Pulsar, 1984), h. 7-12.


(41)

aktivitas politik. Dalam hal ini dapat mengambil beberapa bentuk, misalnya

individu merasa bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap berbagai aspek hidupnya. Kedua, adanya anggapan pada individu dan masyarakat bahwa partisipasi politik adalah hal yang sia-sia saja, oleh karenanya tidak efektif. Ia

beranggapan bahwa menggabungkan diri dengan orang lain untuk mendapatkan

suatu tujuan politik adalah tidak berguna. Ketiga, tidak adanya rangsangan yang memadai di mata rakyat untuk berpartisipasi, baik materil maupun non materil.

Dengan tidak adanya perangsang menambahkan perasaan apati.48

Penyebab golput pada pemilu 2004, menurut penulis disebabkan oleh

banyak faktor. Di antaranya, faktor psikologis yakni adanya kekecewaan pada

elit-elit politik. Dalam hal ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap elit politik

khususnya pemerintah sangat rendah, sehingga yang terjadi adalah sikap apatis.

Bagi mereka ikut memilih tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa yang pada

akhirnya minat untuk berpartisipasi menjadi tidak ada. Selain faktor kekecewaan tersebut, ada juga faktor lain yang ikut memengaruhinya seperti faktor

pendidikan, ekonomi, demografi, liberalisasi politik, dan daftar pemilih kurang

akurat juga termasuk sebagai penyebab meningkatnya golput pada pemilu 2004.

C. Golput dalam Sejarah Pemilu di Indonesia

Pemilihan umum (pemilu) pertama di Indonesia diadakan tahun 1955

untuk memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante. Pemilu 1955 adalah

pemilu yang dianggap paling demokratis pertama kalinya yang pernah diadakan di

Indonesia. Pada saat itu rakyat bergairah untuk berperan serta dalam

48


(42)

mensukseskan pemilu tersebut. Kemungkinan pada saat itu belum ada fenomena

golongan putih (golput) kalaupun mungkin ada tidak terdengar suaranya. Kira-kira sekitar 91,54% dari jumlah rakyat pemilih terdaftar ikut menyampaikan

suaranya dalam pemilihan anggota DPR dan kira-kira sekitar 90% dari rakyat

pemilih terdaftar ikut menyampaikan suaranya dalam pemilihan anggota Dewan

Konstituante.49

Golput muncul pada awal tahun 1970-an, sebagai reaksi terhadap segala

kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah saat itu, pada saat menjelang pemilu

tahun 1971. Para pelopor golput adalah para aktivis angkatan ’66 diantaranya

Arief Budiman, Marsilam Simanjuntak, Julius Usman, Imam Waluyo dan juga

Adnan Buyung Nasution. Yang kemudian gerakan ini mendapatkan dukungan

dari berbagai daerah seperti Bogor, Bandung, Yogyakarta, Semarang serta Solo.50

Menurut Harian Kami terbitan tanggal 4 Juni 1971, golput lahir di Balai Budaya

Jakarta dengan menyatakan tidak akan memilih salah satu tanda gambar peserta pemilu waktu itu. Gerakan ini memperoleh dukungan dari beberapa dewan

mahasiswa dan senat mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Indonesia,

terutama di Jawa.51

Sebenarnya hakikat dari sikap dasar aktivis pendukung golput terhadap

rezim Orde Baru tertangkap dari perjuangan angkatan ’66 dalam merealisasikan

dan melahirkan Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA). Tuntutan pertama yaitu

bubarkan PKI menjadi sasaran pergolakan mahasiswa dan komponen Orde Baru

49

Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya

(Yogyakarta: LEKHAT, 1994), h. iv. Lihat juga: Adnan Buyung Nasution, The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia a Socio-legal Study of The Indonesia Konstituante 1956-1959, h. 30

50

Priambudi Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya, h. 2.

51

“Golongan putih,” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 6 (Jakarta: PT. Delta Pamungkas: 2004), h. 197.


(43)

lainnya yang meliputi dua sistem kekuasaan otoritarianisme yang sedang tumbuh

di Indonesia. Pertama Demokrasi Terpimpin Soekarno sejak pertengahan tahun 1959 dan kedua Partai Komunis yang meniti puncak usahanya untuk menguasai

negara lewat kudeta 30 September 1965. Tuntutan kedua, di balik kabinet sebagai

sasaran tuntutan mahasiswa, terihat sistem pemerintahan yang kurang efektif

sekalipun telah dibekali dengan kekuasan memusat berupa kewenangan untuk

mengintervensi DPR GR dan dilandasi oleh hanya tiga kekuatan politik

(Angkatan Darat, PKI dan PNI). Demokratisasi dan pengepektifan sistem

pemerintahan adalah hakikat dari tuntutan mahasiswa mengenai perombakan

kabinet.Tuntutan ketiga, penurunan harga yang bermakna pembangunan ekonomi

secara terencana dan terkontrol.52

Kesenjangan tujuan dan realitas pemilu dengan demokrasi sebagi cita-cita

Orde Baru antara lain tercermin di dalam tuntutan pertama TRITURA yaitu

pembubaran PKI sebagai realitas dan simbol dari kekuatan non demokrasi Orde Lama. Inilah yang memotivasi lahirnya golput sebagai gerakan protes politik.

Seperti terungkap dalam deklarasinya pada tanggal 28 Mei 1971, mereka menolak

pelanggaran peraturan pemilu oleh segenap kontestan. Mereka tidak menerima perlakun istimewa pemerintah terhadap Golkar. Semuanya itu menurut gerakan

52

Secara formal tuntutan pertama terpenuhi melalui TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan aktivis serta penyebaran ideologinya di seluruh Indonesia. Ketetapan ini sebagai bentuk pengukuhan konstitusional terhadap pembubaran PKI yang dilaksanakan lewat Surat Perintah 11 Maret 1966 yang dibuat Presiden Soekarno kepada Jendral Soeharto sebagai pelaksana kekuasaan presiden. Adapaun tuntutan kedua adalah Tap MPR No. XLIV tahun 1968 tertanggal 27 Maret 1968 tentang pengangkatan Jendral Soeharto sebagai presiden, sehingga posisinya sebagai pelakasana kekuasaan presiden ditetapkan oleh MPRS No. IX tanggal 21 Juni 1966 ditingkatkan. Walau demikian pelaksanan Tritura kedua dan ketiga tidak selesai dengan politik secara formalitas sebab pengembangan sistem pemerintahan dan pelaksanan sistem pembangunan menyangkut aspek kehidupan dan kelembagaan masyarakat dan kenegaraan yang luas. Gerakan protes golput periode awal ini, sesungguhnya berpangkal kepada tuntutan rakyat untuk melakasanakan pembaruan sistem pemerintahan. Untuk lebih jelasnya lihat: Drs. Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h.19-20.


(44)

golput tidak sejalan dengan maksud untuk menumbuhkan demokrasi secara

konkret.53

Golput bukanlah berbentuk sebuah organisasi. Menjelang pemilu 1971

golput muncul hanyalah suatu kekuatan moral yang merupakan jawaban terhadap

situasi politik yang tidak sehat. Jadi golput muncul sebagai sebuah sikap protes

terhadap suramnya iklim demokrasi di negeri ini. Sebagai kekuatan moral, golput

tidak mempunyai keanggotaan yang resmi dan terorganisir dengan baik.54

Dalam deklarasinya juga disebutkan bahwa keanggotaan golput

diperuntukkan bagi “mereka yang tidak puas dengan keadaan sekarang karena

aturan permainan demokrasi di injak-injak, tidak saja oleh partai politik, tapi juga

oleh golongan karya, dalam usahaya untuk memenangkan pemilu menggunakan

aparat pemerintah di luar batas aturan main yang demoktratis”. Siapa saja yang

tidak suka, tidak setuju dengan sistem politik, dapat bergabung dengan golput.

Golput terbuka untuk orang-orang yang mendukung terwujudnya sistem politik yang demokratis.55

Walaupun golput bukan sebuah organisasi, pada waktu itu golput seperti

halnya partai-partai lain juga melakukan pendidikan politik kepada masyarakat agar masyarakat dapat bersikap kritis dan kreatif terhadap kehidupan politik di

Indonesia. Yang dimaksud pendidikan politik di sini adalah menanamkan

kesadaran kepada masyarakat bahwa di dalam suatu pemilihan umum, tidak ikut

memilih juga merupakan hak setiap waga negara.56

53

Ibid., h.26-27.

54

Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia Kasus Peristiwa Yogya, h. 3.

55

Ibid., h.3.

56


(45)

Dalam memberikan ceramah yang dilakukan di kampus IPB, Marsilam

Simanjuntak dan Julius Usman melakukan kampanye golput dan bertukar pikiran terhadap 250 orang mahasiswa IPB, Univ. Inbu Chaldun, IAIN, dan wakil

organisasi mahasiswa seperti GM-sos, PMKRI, HMI, GMKI, GMNI dan Laskar

Hasanudin Noor.57

Selain memberikan ceramah-ceramah dan pendidikan politik, golput juga

melakukan kampanye untuk menyebarkan ide-idenya. Dalam hal ini misalnya

yang sering mereka lakukan seperti membuat pernyataan di media-media cetak,

penempelan tanda gambar golput berupa segi lima hitam di atas kertas/kain

dengan warna dasar putih dengan tulisan golput di bagian bawahnya berdekatan

dengan tanda gambar peserta pemilu lain. Dengan melihat cara-cara yang

dilakukannya, golput tampaknya bukanlah sekedar suatu gerakan moral, tetapi

telah menyerupai tindakan politik suatu kekuatan sosial politik peserta pemilu.

Bedanya partai politik sebagai peserta pemilu untuk memperkenalkan program-programnya dijamin oleh undang-undang pemilu, sementara golput tidak

memiliki jaminan itu. Oleh sebab itu, oleh pemerintah gerakan ini dinilainya

inkonstitusional.58

Pada pemilu selanjutnya yakni pemilu 1977, 1982, 1987, dan pemilu 1992

pembicaran mengenai golput selalu muncul. Protes golput pada tahun-tahun ini

berbeda dengan golput pada pemilu 1971. Dalam hal ini Arbi Sanit menjelaskan:

“… Protes golput terhadap pelaksanaan pemilu 1977, 1982, 1987 dan bahkan terhadap pemilu tahu 1992 mendatang mengarah perhatiannya kepada proses pembentukkan legitimasi sistem politik. Itu berarti bahwa tingkah laku pemilih yang tergolong pada kategori golput merupakan ujud dari protes mereka terhadap proses pemenuhan kebutuhan sistem politik di

Indonesia akan dukungan masyarakat yang dipandang tidak

57

Arbi Sanit, Golput: Aneka Pandangan dan Fenomena Politik, h. 28.

58


(46)

mengoperasikan pengembangan demokrasi. Secara spesifik dapat

dibedakan dua protes golput setelah 1971. Pertama, ialah memprotes

proses pemilu sebagai mekanisme bagi pembentukkan legitimasi bagi format politik Orde Baru yang mampu menegakkan stabilitas politik akan tetapi menjurus kepada pemusatan kekuasaan dan berwatak penekan.

Kedua, golput merupakan gerakan protes terhadap proses pemilu sebagai mekanisme legitimasi bagi kebijaksanaan dan kegiatan pembangunan dan berhasil meningkatkan penghasilan nasional akan tetapi diwarnai oleh berbagai kesenjangan.”59

Pada pemilu 1977, golput mendapat perhatian kembali, walaupun

beberapa tokohnya tidak aktif lagi, pembicaraan mengenai golput muncul di

tengah-tengah krisis yang dihadapi oleh Orde Baru yakni krisis munculnya

kerusuhan Malari (1974), terbongkarnya juga kasus korupsi pada Pertamina

(1975) dan kasus-kasus korupsi lainnaya. Juga adanya fusi terhadap partai-partai

politik (1973) tidak luput dari protes masyarakat, para pendukung partai-partai

politik, terutama dari kalangan Umat Islam yang menganggapnya kebijakan

tersebut sebagai sikap anti Islam.60

Protes juga diikuti oleh para tokoh pendiri Orde Baru sendiri: para jendral, intelaktual, seniman, wartawan dan politisi sipil lainnya. Di samping dari para

tokoh di atas, protes juga datang dari para mahasiswa. Orde Baru menjawabnya

dengan sikap represif. Penangkapan terhadap para tokoh mahasiswa di seluruh Indonesia makin memperdalam krisis politik di Indonesia. Dalam kondisi seperti

ini, golput menjadi pilihan politik bagi kalangan terpelajar tersebut.61

Pada pemilu 1982, terjadi konflik-konflik politik di tingkat elit. Ketidak

puasan para elit terhadap pemerintah Orde Baru terlihat dengan munculnya

kelompok-kelompok penekan (pressure groups) seperti kelompok Petisi 50 yang

merupakan kelompok oposisi yang anggota-anggotanya terdiri dari para jenderal

59

Ibid, h.30-31.

60

Sulistiyanto, Politik Golput di Indonesia, h. 9.

61


(47)

dan politisi sipil. Peranan mahasiswa pada tahun ini dibekukan oleh rezim Orde

Baru dengan arsiteknya Daud Yusuf sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan dan dilanjuktkan oleh Prof. Nugroho Notosusanto dengan memberlakukan

normalisasi kehidupan kampus pada awal 1980-an. Mahasiswa dijauhkan dari

diskusi-diskusi politik.62

Dalam pemilu 1987, isu penting yang menjadi perdebatan yaitu mengenai

proses regenerasi kepemimpinan. Dalam pemilu tahun ini, tuntutan masyarakat

akan terwujudnya demokratisasi dalam bidang politik dan ekonomi muncul di

mana-mana. Termasuk dalam perubahan kepemimpinan nasional dan keadilan

sosial. Protes-protes dari masyarakat terlihat memenuhi pemberitaan media masa

akhir tahun 1980-an yang meliputi konflik-konflik tanah, masalah perburuhan,

pelanggaran HAM serta kerusakan lingkungan. Namun yang sering mendapat

perhatian dari masyarakat adalah menyangkut isu monopoli dalam bidang

ekonomi yang melibatkan aktivitas bisnis keluarga Soeharto. Pemberitaan tersebut menjadikan isu ekonomi tersebut menjadi isu politik yang besar menjelang pemilu

1992.63

Pemilu 1992 diadakan pada situasi disaat masyarakat sedang memprotes kebijakan pemerintah terkait dengan demokratisasi politik dan demokratisasi

ekonomi. Reaksi tersebut cermin dari masyarakat terhadap kebijakan pemerintah

Orde Baru yang banyak merugikan rakyat. Dalam situasi seperti ini, sikap protes

dan dukungan juga muncul terhadap golput. Kali ini, pendukung golput tidak saja

dari kalangan terpelajar, tetapi dari orang-orang miskin kota dan desa yang merasa

62

Ibid., h. 10-11.

63


(48)

dirugikan langsung dari pembangunan Orde Baru. Misalnya petani digusur

tanahnya dan buruh-buruh yang kehilangan pekerjaannya.64

Protes juga terjadi di beberapa tempat misalnya, rakyat dirugikan oleh

proyek-poyek pembangunan seringakali rakyat mengancam secara

terang-terangan akan memboikot pemilihan umum 1992 yang berarti mereka sudah tidak

percaya terhadap Golkar dan partai-partai politik yang lainnya sebagai wakil

rakyat. Misalnya satu kasus terjadi di Kedung Ombo, Jawa Tengah, ribuan rakyat

tergusur untuk membuat proyek waduk besar.65 Situasi seperti ini yang dirasa

golput mendapatkan dukungan dari masyarakat.

Pada pemilu 1997 juga tak banyak berbeda. Bahkan ada semacam

ketegasan bahwa pemilu telah kehilangan legitimasinya. Hasil dari jajak pendapat

TEMPO Interaktif, masyoritas responden menyatakan tidak akan memilih atau golput, yakni (64%) akan memilih “yang lain” dari tiga OPP yang ada. Yang

dimaksud dengan “yang lain”, sebagian responden menyatakan “tidak ada OPP yang dipilih”. Kelompok kedua mengenai yang lain yang mereka maksud adalah

“golput”, ada lagi yang menyatakan tidak akan memilih yang berarti tidak akan

datang ke TPS. Masih dari kelompok yang ini menyatakan “masih bingung, belum tahu, atau belum menentukan pilihan”.66 Dari sikap responden tersebut

jelas bahwa mereka masih ragu terhadap tiga kontestan yang ada akan membawa

perubahan.

Pasca pemilu 1997, banyak pihak yang tidak puas dengan hasil pemilu.

Mereka menganggapnya bahwa pemilu tersebut sarat dengan praktek-praktek

64

Ibid., h. 14.

65

Ibid.

66

“Golkar Akan Mengang, tapi Golput Kian Mengancam,” dalam Pemilu 1997: Jajak Pendapat dan Analisa (T.tp.: Institut Studi Arus Informasi, 1997), h.10-11.


(49)

yang kurang demokratis. Apalagi setelah kurang lebih 30 tahun Golkar berkuasa

kini memenangkan kembali. Dengan menangnya kembali Golkar sebagai pertanda matinya demokrasi di Indonesia. Ketidakpuasan terhadap pemerintah Orde Baru

dapat dilihat pada setiap unjuk rasa mahasiswa yang selalu membawa keranda

mayat. Di banyak universitas telah muncul aksi protes dari mahasiswa sebagai

penolakan terhadap pemilu yang tidak jurdil itu. Mereka juga melihat bahwa

pemilu 1997 merupakan rekayasa pemerintah untuk mempertahankan status

quo-nya. Mereka menganggap pemerintahan Soeharto yang membuat masa depan

bangsa ini menjadi kelam.67 Aksi mahasiswa yang menentang terpilihnya kembali

Soeharto semakin marak. Isu melakukan reformasi di segala bidang dan turunkan

Soeharto dari kursi kepresidenan mulai disuarakan oleh mahasiswa. Aksi secara

bersamaan hampir di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.68

Pemilu 1999 merupakan episode puncak dari gerakan reformasi sejak

awal 1998. Gerakan ini telah berhasil menurunkan Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998. Sejak saat itu saluran aspirasi masyarakat

terbuka lebar antara lain dengan bermunculannya partai-partai politik, tumbuh

pesatnya media massa,69diberikannya hak kebebasan masyarakat di segala bidang

termasuk dalam bidang politik. Pada pemilu kali ini masyarakat sudah tidak bisa

dimobilisasi lagi sebagaimana pemilu-pemilu Orde Baru, masyarakat bebas

menentukan pilihannya, termasuk tidak memilih juga merupakan hak mereka.

Pada pemilu tahun ini bukan berarti tidak ada golput, justru pada pemilu tahun ini

67

“Kemenangan Golkar adalah Kekalahannya di Bidang Moral,” artikel diakses pada 11 Desember 2008 dari http://kontak.club.fr/Apakah%Pemilu%201997%20sah%20dan%20Suharto% 20harus%20dipertahankan%20.htm

68

Al-Chaidar, Reormasi Prematur (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 15.

69

“Pemilihan Presiden, Pemilu, dan Demokrasi di Indonesia,” dalam Pax Benedanto dkk.,


(50)

jumlah golput mengalami peningkatan, yakni mencapai 10,21%. Angka ini cukup

tinggi jika dibandingkan dengan angka-angka golput semasa Orde Baru.

Menurut hasil wawancara Indepth terhadap responden pendukung golput

yang mengaku tidak akan memilih, di antara alasannya adalah pemerintahan di era

Reformasi baik di masa Gus Dur maupun Megawati telah gagal membawa amanat

rakyat dan tuntutan reformasi. Pemerintah gagal dalam memperbaiki kondisi

ekonomi yang telah terpuruk sejak pertengahan tahun 1997. Pemerintah juga

dinilai gagal dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, seperti tidak

sanggup memperbaiki sisi buram pemerintahan masa lalu, yaitu memberantas

KKN. Tidak hanya pemerintah, anggota DPR juga baik secara individu maupun

kelembagaan dinilai tidak mampu memperjuangkan kepentingan rakyat. Bahkan

DPR/DPRD juga dinilai terjangkit praktek-praktek KKN. Di samping itu, partai-

partai politik juga dianggapnya tidak memperdulikan nasib rakyat, hanya sibuk

mengurusi kepentingan kelompok dan elit-elitnya.70

70


(1)

Lampiran 1:

Hasil perolehan suara 24 partai politik peserta pemilu 2004 No.

Urut

Partai Politik Jumlah

Suara

Persen Jmh Kursi

1 PNI Marhaenisme 923.159 0,81% 1

2. Partai Buruh Sosial Demokrat 636.397 0,56% 0 3. Partai Bulan Bintang 2.970.487 2,62% 11

4. Partai Merdeka 842.541 0,74% 0

5. Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 8,15% 58 6 Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 1.313.654 1,16% 5 7 Partai Perhimpunan Indonesia Baru 672.952 0,59% 0 8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan 1.230.455 1,08% 1

9 Partai Demokrat 8.455.225 7,54% 57

10. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1.424.240 1,26% 1 11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia 855.811 0,75% 1 12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah

Indonesia

895.610 0,79% 0 13. Partai Amanat Nasional 7.303.324 6,44% 52 14. Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 2,11% 2 15. Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 10,57% 52 16. Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 7,34% 45 17. Partai Bintang Reformasi 2.764.998 2,44% 13 18 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 18,54% 109 19 Partai Damai Sejahtera 2.414.254 2,13% 12 20 Partai Golongan Karya 24.480.757 21,58% 128


(2)

21. Partai Patriot Pancasila 1.073.139 0,95% 0 22. Partai Sarikat Indonesia 679.296 0,60% 0 23. Partai Persatuan Daerah 657.916 0,58% 0

24. Partai Pelopor 878.932 0,77% 2

Jmh 113.462.414 100,00% 550

Perbandingan suara pemilih yang sah dan suara yang tidak sah

Pemilih Jumlah Presentase

Suara sah 113.462.414 91,19% Suara tidak sah 10.957.925 8,81% Total Pemilih 124.420.339 100,00%

Perbandingan hasil suara yang memilih dan yang tidak menggunakan hak pilih (golput)

Jenis Jumlah Presentase

Memilih 124.420.339 84,07%

Golput (tdk memilih)

23.580.030 15,93% Grand Total 148.000.369 100,00%


(3)

Lampiran 2:

Hasil perolehan suara pilpres putaran pertama No.

Urut

Pasangan Capres dan Cawapres Jumlah Suara

Presentase 1. Wiranto – Salahuddin Wahid 26.286.788 22,15% 2. Megawati Soekarnoputri–Hasyim Muzadi 31.569.104 26,61% 3. Amin Rais-Siswono Yudohusodo 17.392.931 14,66% 4 Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla 39.838.184 33,57% 5 Hamzah Haz-Agum Gumelar 3.569.861 3,01% Jmh

Suara

119.656.868 100,00%

Perbandingan hasil suara pemilih yang sah dan yang tidak sah Pemilih Jumlah Suara Presentase

Suara sah 119.656.868 97,84% Suara tidak sah 2.636.976 2,16% Total Pemilih 122.293.844 100,00%

Perbandingan hasil suara yang memilih dan yang tidak menggunakan hak pilih (golput)

Jenis Hasil Suara Presentase Memilih 122.293.844 79,76% Golput

(tdk memilih)

31.026.700 20,24% Grand Total 153.320.544 100,00%


(4)

Lampiran 3:

Hasil perolehan suara pilpres putaran kedua

No.Urut Pasangan Capres dan Cawapres Jumlah Suara

Presentase 2 Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi 44.990.704 39,38% 4 Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla 69.266.350 60,62% Jumlah

Suara Sah

114.257.054 100,00%

Perbandingan suara pemilih yang sah dan suara yang tidak sah Pemilih Jumlah Suara Presentase

Suara sah 114.257.054 97,94% Suara tidak sah 2.405.651 2,06% Total Pemilih 116.662.705 100,00%

Perbandingan hasil suara yang memilih dan yang tidak menggunakan hak pilih (golput)

Jenis Hasil Suara Presentase

Memilih 116.662.705 77,44%

Golput (tdk memilih)

33.981.479 22,56% Grand Total 150.644.184 100,00%


(5)

Nomor : Istimewa Lamp : 1 (satu) bundle

Perihal : Pengajuan Judul Skripsi Kepada Yth,

Ketua Jurusan Program Studi Pemikiran Politik Islam di-

tempat

Assalamu’alaikum wr. Wb.

Sehubungan dengan tugas akumulatif akhir perkuliahan untuk mencapai gelar kesarjanaan, maka saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Acu Nurhidayat NIM : 104033201077

Fak/ Jur : Ushuluddin dan Filsafat/Pemikiran Politik Islam Semester : IX

Dengan ini saya mengajukan proposal skripsi dengan judul : “Fenomena Golput di Indonesia Pasca Orde Baru; Studi Kasus Pada Pemilu 2004

”. Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini saya lampirkan : 1. Outline

2. Abtraksi

3. Daftar Pustaka Sementara

Demikian pengajuan proposal judul skripsi ini saya buat, atas perhatian dan persetujuan bapak/ibu saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ciputat, 22 Oktober 2008

Dosen Penasehat Pemohon

A. Bakir Ihsan, M.Si Acu Nurhidayat

NIP: 150 326 915 NIM: 104033201077

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pemikiran Politik Islam

Drs. Agus Darmadji, M.Fils NIP : 150 262 447


(6)