Pengembangan Human Capital dan Pendidika

Pengembangan Human Capital dan Pendidikan
Kosmopolitan
Muhadi Sugiono

The man whose whole life is spent in performing a few simple operations, of which the effects, too, are
perhaps always the same, or very nearly the same, has no occasion to exert his understanding, or to
exercise his invention, in finding out expedients for removing difficulties which never occur. He
naturally loses, therefore, the habit of such exertion, and generally becomes as stupid and ignorant as
it is possible for a human creature to become. The torpor of his mind renders him not only incapable
of relishing or bearing a part in any rational conversation, but of conceiving any generous, noble, or
tender sentiment, and consequently of forming any just judgment concerning many even of the
ordinary duties of private life.
(Adam Smith 1776/1976, 752)

Human capital merupakan salah satu konsep yang paling penting di dunia saat ini.
Konsep ini sangat berpengaruh terutama, sekalipun mungkin tidak secara ekslusif, dalam
bidang ekonomi. Dalam kerangka ini, human capital dianggap sangat berperan dalam
pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran sebuah negara. Oleh karenanya, negara-negara
yang ingin menikmati pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran harus memperhatikan dan
mengembangkan secara serius human capital yang dimilikinya. Pengembangan human
capital adalah sebuah bentuk investasi (investing in people) dan merupakan tuntutan dari

ekonomi modern yang tidak bisa dihindarkan.
Tulisan ini berusaha melihat konsep human capital dengan cara yang lebih kritis.
Berangkat dengan perspektif kosmopolitan, tulisan ini akan, pertama, mengkaji bangun
teoretis yang mendasari konsep human capital yang dominan saat ini; kedua, mengkaji
signifikansi konsep human capital yang dominan bagi tantangan yang dihadapi oleh umat
manusia (human beings) dan ketiga, melihat peran pendidikan sebagai manifestasi dari
pengembangan human capital.

Manusia, Human Capital dan Ekonomi: Teori dan Konsep
Pada dasarnya, human capital adalah konsepsi yang berusaha untuk mengkaitkan peran
manusia dengan proses ekonomi, sebagai bagian dari upaya untuk menjawab pertanyaanpertanyaan dasar seperti 'apa yang mendorong pertumbuhan ekonomi?' atau 'mengapa
dan bagaimana sebuah bangsa mampu menghasilkan kekayaan dan kemakmuran.' Dalam
artian ini, human capital sebenarnya bukanlah sebuah konsep baru dalam teori ekonomi.
Sekalipun tidak menggunakan label human capital, peran manusia sebagai penentu dalam
ekonomi telah menjadi perhatian utama dalam pemikiran ekonomi klasik. Tetapi, dalam
perkembangan dari pemikiran ekonomi klasik ke pemikiran ekonomi modern terdapat
pergeseran makna yang sangat besar mengenai peran manusia dalam ekonomi. Sementara
pemikiran ekonomi klasik cenderung memiliki karakter humanis dan memberikan peran
agency kepada manusia, pemikiran ekonomi modern cenderung berangkat dari
pemahaman yang instrumental tentang manusia dalam ekonomi.

1

Dalam pemikiran ekonomi klasik, peran agency manusia dalam ekonomi terlihat dengan
sangat jelas misalnya dalam pemikiran Adam Smith. Melalui karya besarnya, An Inquiry
into the Nature and Causes of The Wealth of Nations1 (1776/1976), Smith berusaha
menjelaskan bagaimana sebuah bangsa berhasil secara ekonomi, dalam arti menghasilkan
kekayaan dan kemakmuran. Bagi Smith, rahasia keberhasilan ekonomi sebuah bangsa
terletak pada peran manusia secara indvidual yang bekerja melalui sebuah mekanisme
yang disebutnya dengan invisible hand, yang sebenarnya tidak lain adalah mekanisme
pasar. Prinsip dari mekanisme pasar adalah membiarkan setiap orang bertindak dengan
pertimbangan yang sangat personal, yakni kepentingannya sendiri tanpa ada intervensi
otoritatif terhadap pertimbangan tersebut. Dengan mekanisme ini, pertimbangan yang
pada dasarnya sangat individual dan tanpa mempertimbangkan kepentingan bersama,
akan menghasilkan konsekuensi positif secara kolektif.
Penekanan Smith terhadap kepentingan yang bersifat individual sebagai motor bagi
ekonomi kolektif ditunjukkannya secara eksplisit dalam salah satu bagian di dalam The
Wealth of Nations, 'Bukanlah karena kebaikan si tukang danging, si pembuat bir, atau si
tukang roti kalau kita mendapatkan makan malam kita, tetapi dari pertimbangan mereka
akan kepentingan diri mereka sendiri (1776/1976, 27; huruf miring adalah penekanan
oleh penulis). Argumen Smith ditegaskan lagi saat dia menulis di bagian lain dalam buku

yang sama,
. . . setiap individu pasti tidak bekerja keras untuk membantu meningkatkan pendapatan
masyarakatnya. Secara umum dia memang tidak bermaksud mengemban kepentingan umum,
ataupun tahu seberapa besar dia mengemban kepentingan umum tersebut . . . Dia hanya
bermaksud memperoleh keuntungannya sendiri, dan dia, dalam hal ini dan dalam banyak kasus
yang lain, diarahkan oleh suatu tangan yang tidak nampak untuk mengemban tujuan yang bukan
bagian dari yang dimaksudkannya . . . Dengan mengejar kepentingannya sendiri, dia seringkali
meningkatkan kepentingan masyarakat secara lebih efektif daripada jika dia secara sengaja
bermaksud mengemban kepentingan masyarakat tersebut (456)

Kutipan di atas secara jelas menunjukkan bahwa, tidak seperti yang dipahami banyak
orang, pandangan Smith tentang manusia pada dasarnya jauh dari intrumentalis. Bahkan,
sebaliknya, dengan menekankan pada peran dan makna manusia dalam ekonomi, pada
dasarnya pandangan Smith cenderung sangat humanis.
Berbeda dengan pemikiran ekonomi klasik yang humanis, pemikiran ekonomi yang lebih
kontemporer cenderung menempatkan manusia pada status instrumental. Pandangan
instrumentalis ini menempatkan fungsi manusia sebagai faktor ekonomi, sederajat dengan
faktor-faktor yang lain: modal dan sumber daya alam. Melalui model-model ekonomi,
Robert Solow, misalnya, pada tahun 1950an berusaha menjelaskan hubungan antara
berbagai faktor tersebut dengan pertumbuhan ekonomi. Dalam pandangan Solow,

pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran sebuah bangsa merupakan fungsi dari
ketersediaan modal fisik dan sumber daya manusia.
Sekalipun pada awalnya tidak cukup jelas apa yang dimaksud dengan sumber daya
manusia, pemahaman instrumentalis ini semakin berkembang pada tahun 1960an dan
menghasilkan konsepsi mengenai teori human capital yang sangat dominan sebagaimana
yang kita pahami saat ini. Para teoretisi human capital disatukan oleh pemahaman
bersama bahwa sumber daya manusia, dan bukan sumber daya alam maupun modal fisik,
adalah penentu bagi perkembangan ekonomi maupun sosial suatu bangsa. Psacharopoulos
dan Woodhall, misalnya, secara tegas menulis,
Sumber daya manusia adalah dasar utama bagi kekayaan sebuah bangsa. Modal dan sumber
daya alam merupakan faktor-faktor produksi yang pasif, manusia adalah pelaku aktif yang
1 Selanjutnya diacu dengan The Wealth of Nations.
2

mengumpulkan modal, mengeksploitasi sumber-sumber alam, membangun organisasi sosial,
ekonomi dan politik, serta menjalankan pembangunan nasional (1997, 102)

Tentu saja, konsepsi human capital tidak mengacu secara eksklusif pada sumber daya
manusia dalam artian kuantitas, melainkan juga pada kualitas. Human capital bukanlah
sumber daya manusia dalam artian pekerja, yang semata-mata mengandalkan kemauan

dan kemampuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik, tetapi sumber daya manusia
yang berpendidikan. Dalam artian ini, human capital mengacu pada sumber daya manusia
dengan kemampuan, pengetahuan dan kompetensi yang dapat memenuhi tuntutan
ataupun meningkatkan produktivitas dalam ekonomi.
Konsepsi human capital sebagai sumber daya manusia yang menekankan pada pentingnya
kualitas, disamping kuantitas, mendorong para teoretisi human capital untuk
mengasosiasikan human capital dengan pendidikan (Schultz 1971; Psacharopoulos and
Woodhall 1997; Fagerlind and Saha 1997; Robert 1991).2 Pendidikan merupakan sarana
untuk membangun human capital dan oleh karenanya negara harus mengalokasikan
sumber daya yang sangat besar pada dunia pendidikan. Sebagai instrumen bagi human
capital, pendidikan menghasilkan keuntungan ganda: secara individu maupun kolektif.
Secara individu, peningkatan pendidikan secara teoretis meningkatkan pendapatan yang
diperolehnya, sementara secara kolektif, peningkatan taraf pendidikan dalam masyarakat
akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat.

Human Capital dan Tantangan Global Umat Manusia
Sekalipun memiliki perbedaan teoretis dan konseptual yang signifikan mengenai konsepsi
human capital, sebenarnya pemikiran ekonomi klasik dan modern masih memiliki
kesamaan secara metodologis. Mereka berangkat dengan tujuan yang sama, yakni
berusaha menjelaskan rahasia keberhasilan (dan ketidakberhasilan) ekonomi sebuah

bangsa: mengapa dan bagaimana sebuah bangsa berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi
dan menghasilkan kemakmuran. Secara metodologis, baik pemikiran ekonomi klasik
maupun moderen, bersifat nasional, dalam arti bahwa konsep human capital hanya masuk
akal dan memiliki implikasi praktis jika dipahami dalam kerangka nasional. Untuk itu,
sangat menarik melihat signifikansi dan makna konsep human capital dalam konteks
dunia yang berubah ke arah global saat ini.
Bagi sementara teoretisi, tidak terlalu sulit mengadaptasi konteks global ke dalam konsep
human capital. Kok-Yee Ng, Mei Lin Tan dan Soon Ang, misalnya, konteks global tidak
menjadikan konsep human capital tidak relevan. Konteks global hanya menuntut
ditambahkannya suatu kualitas tertentu dalam pemahaman mengenai human capital. Jika
dalam konteks nasional, human capital sangat terkait dengan kualitas yang bersumber
pada pendidikan formal, yang outputnya adalah pengetahuan dan ketrampilan teknis,
konteks global menuntut kita untuk memberi perhatian pada pendidikan non-formal.
Termasuk dalam kategori pendidikan non-formal ini adalah pengalaman dan ketrampilan
yang diperoleh dari interaksi sosial dalam kerangka kultural yang berbeda-beda.
Tambahan kualitas ini menjadikan konsepsi human capital bersifat kosmopolitan. Dengan
kata lain, konteks global menuntut kita untuk membangun human capital yang
2 Pemahaman yang sama mengenai pentingnya pendidikan bagi pengembangan human capital sebenarnya lebih
terletak pada level teoretis dan konseptual. Pada level yang lebih praktis terdapat perbedaan yang sangat tajam
diantara para teoretisi human capital terkait dengan pertanyaan bagaimana mengukur dimensi pendidikan yang

relevan dalam kaitannya dengan pengembangan human capital. Untuk pembahasan komprehensif mengenai
perdebatan pada level praktis ini, lihat Son (2010).
3

kosmopolitan, cosmopolitan human capital (Ng, Tan dan Ang 2011).
Esensi human capital yang kosmopolitan adalah sumber daya manusia yang
berpendidikan dan memiliki ketrampilan serta pengalaman yang memungkinkan seorang
individu untuk bekerja dengan baik (dalam arti efektif) dalam lingkungan kultural yang
berbeda. Karakter human capital yang kosmopolitan ini bertolak belakang dengan human
kapital yang berkarakter lokal atau nasional yang hanya mampu bekerja dengan baik
dalam konteks kulturalnya sendiri (Haas 2006). Disamping itu, sementara seorang dengan
atribut kosmopolitan memiliki visi yang sangat luas dan melampaui komunitasnya sendiri,
seorang dengan atribut lokal (nasional) memiliki visi yang sangat terbatas, yakni di
komunitasnya sendiri. Dalam artian inilah seorang dengan atribut kosmopolitan memiliki
kelebihan yang penting dibandingkan dengan seorang yang tanpa memiliki atribut
tersebut.
Kemampuan berpikir dan berkomunikasi melampaui batas-batas komunitasnya memang
merupakan salah satu manifestasi dari cara berpikir yang kosmopolitan. Oleh karenanya,
konsepsi human capital yang kosmopolitan bisa dilihat sebagai sebuah upaya untuk bisa
mengakomodasi tuntutan-tuntutan ke arah global. Tetapi, konsepsi human capital yang

kosmopolitan yang dikemukakan di atas sebenarnya tidak beranjak jauh secara teoretis
dari konsepsi human capital yang dominan karena konsepsi tersebut tetap menempatkan
manusia dalam posisi instrumental dalam kaitannya dengan ekonomi. Atribut
kosmopolitan dalam konteks human capital yang kosmopolitan di atas tetap sangat
instrumental dalam artian bahwa penambahan atribut dan karakter kosmopolitan dalam
konsepsi human capital sangat diperlukan bagi keberhasilan aktivitas ekonomi, yang saat
ini cenderung bergerak ke arah global. Dengan kata lain, atribut kosmopolitan akan
menjadikan sumber daya manusia lebih sesuai dengan tuntutan-tuntutan aktivitas
ekonomi yang melintasi batas-batas teritorial sebuah komunitas tersebut.
Konsekuensinya, penambahan atribut kosmopolitan dalam human capital menjadi
human capital yang kosmopolitan ini tidak memiliki kontribusi yang signifikan bagi
kosmopolitanisme sebagai sebuah proyek politik.
Pada dasarnya, kosmopolitanisme adalah pemikiran yang dibangun atas dua prinsip
(Brock and Brighouse 2005; Fine 2007; Delanty 2009). Pertama, setiap individu adalah
dan harus dilihat sebagai bagian dari umat manusia. Kedua, sebagai konsekuensinya,
karena umat manusia adalah sebuah kategori yang alami, keberadaan setiap individu di
seluruh dunia adalah sederajat dan bersifat absolut dalam arti bahwa manusia tidak dapat
dinilai atau diperlakukan berbeda hanya karena mereka dikelompokkan berdasarkan
atribut-atribut artifisial seperti misalnya kewarganegaraan. Konkretnya, status
kewarganegaraan seseorang tidak menjadikan hak atau kewajiban seseorang lebih tinggi

atau lebih rendah daripada hak dan kewajiban orang lain dalam kaitannya dengan
keberadaan mereka sebagai bagian umat manusia secara keseluruhan.
Secara umum, pemikiran kosmopolitanisme muncul dalam dua manifestasi: kultural dan
politik (Hennerz 2006). Secara kultural, kosmopolitanisme dimanifestasikan dalam
bentuk sikap yang terbuka terhadap perbedaan kultur. Kosmopolitanisme
menggambarkan toleransi dan keterbukaan pikiran untuk menerima orang lain tanpa
diskriminasi apapun basisnya. Human capital yang kosmopolitan di atas secara jelas
dibangun atas kosmopolitanisme dalam manifestasi kultural ini. Secara politik,
kosmopolitanisme bisa dilihat sebagai sebuah proyek, yakni proyek politik. Sebagai proyek
politik, kosmopolitanisme merupakan pemikiran yang termasuk dalam kategori kritis dan
berkarakter transformatif. Kosmopolitanisme menggambarkan upaya untuk mengubah
semua tatanan sosial yang menghambat realisasi gagasan tentang umat manusia adalah
satu kategori tunggal. Manifestasi politik dari pemikiran kosmopolitan muncul dalam
4

berbagai bentuk norma-norma ataupun institusi-instusi internasional yang sangat kritis
terhadap tatanan modern terutama, tetapi tidak eksklusif, yang terkait dengan konsep
negara-bangsa dengan atribut kedaulatannya yang sangat absolut.
Kosmopolitanisme memiliki signifikansi yang semakin besar saat ini dengan
berkembangnya realitas sosial yang cenderung bersifat global. Termasuk dalam kategori

kondisi global ini adalah tantangan-tantangan yang dihadapi oleh umat manusia. Saat ini,
sebagai konsekuensi dari modernitas, umat manusia dihadapkan pada tantangantantangan bersama. Tantangan-tantangan ini bersifat global dalam arti tidak bisa diatasi
secara parsial dan sektoral (Giddens 1990; 1999; Beck 1992). Artinya, institusi-institusi
modern yang cenderung membagi umat manusia ke dalam kategori-kategori artifisial yang
berbasis politik seperti kewaranegaraan, misalnya, bukanlah basis yang tepat untuk
menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Tetapi, sekalipun signifikan, transformasi
politik semata-mata tidak cukup memadai sebagai upaya untuk menghadapi tantangan
bersama umat manusia. Transformasi politik harus disertai juga dengan transformasi
secara kultural.
Adalah dalam artian yang terakhir ini, pengembangan human capital yang kosmopolitan
menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Tetapi, karakter kosmopolitan pengembangan
human capital tidak boleh dipahami secara instrumental semata-mata, sebagai upaya
untuk mengatasi hambatan kultural dalam kaitannya dengan ekspansi aktivitas ekonomi
melampaui batas-batas teritorial, melainkan sebagai bagian dari upaya untuk membangun
visi dan kesadaran akan umat manusia sebagai sebuah kategori tunggal dan bermakna.
Artinya, membangun human capital yang kosmopolitan adalah membangun sumber daya
manusia yang bukan hanya memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat bekerja
secara lebih produktif, termasuk dalam aktivitas ekonomi yang bersifat global, tetapi juga
yang memiliki pemahaman bahwa tujuan dari aktivitas ekonomi harus mendukung
realisasi dari visi dan kesadaran akan pentingnya umat manusia sebagai sebuah kategori

tunggal tersebut.
Konkretnya, mengembangkan human capital yang kosmopolitan berarti menciptakan
individu-individu yang memiliki kesadaran kosmopolitan. Individu-individu ini adalah
individu-individu yang melihat tantangan-tantangan global seperti kerusakan lingkungan,
kesenjangan ekonomi dan sosial global, kemiskinan, kelaparan, terorisme dan tantangantantangan yang lain sebagai tantangan bersama yang dihadapi umat manusia. Artinya,
tantangan-tantangan tersebut menyangkut kelangsungan umat manusia secara
keseluruhan dan, oleh karenanya, solusi terhadap tantangan-tantangan tersebut hanya
mungkin diperoleh melalui upaya bersama umat manusia, tanpa melihat atribut sosial,
ekonomi ataupun politik yang secara artifisial telah memisahkan mereka dalam kategorikategori yang berbeda.

Pendidikan dan Pengembangan Human Capital Kosmopolitan
Seperti halnya konsep human capital yang dominan memberikan peran yang sangat
penting kepada pendidikan, konsep human capital yang kosmopolitan juga menekankan
perlunya pendidikan (Nussbaum 1997; Aloni 2002). Tetapi, pendidikan dalam kaitannya
dengan pengembangan human capital yang kosmopolitan dimaknai secara lebih luas
daripada pendidikan formal semata. Kesadaran akan perbedaan dan pentingnya
menghargai perbedaan seringkali berkembang tidak di ruang kelas, melainkan melalui
pengalaman personal dalam interaksi sosial. Oleh karenanya, pengembangan human
5

capital yang kosmopolitan harus memberikan ruang yang sangat besar bagi munculnya
interaksi sosial yang multikultural. Meskipun demikian, pentingnya pengalaman personal
dalam pengembangan human capital yang kosmopolitan tidak menjadikan kebutuhan
akan pendidikan formal hilang atau berkurang. Pendidikan formal tetap menjadi bagian
penting, sekalipun bukan yang terpenting, dalam pengembangan human capital yang
kosmopolitan.
Tujuan pendidikan bagi pengembangan human capital yang kosmopolitan bukanlah
semata-mata sebuah proses yang menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan dalam
sebuah aktivitas ekonomi, yakni individu dengan pengetahuan dan keahlian yang
dibutuhkan dalam proses produksi atau individu-individu yang mampu mendorong dan
menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Pendidikan (dalam arti formal) adalah sebuah
proses yang harus juga mampu menghasilkan individu yang memiliki visi kosmopolitan.
Pendidikan harus mampu membuka cakrawala dan mind-set yang memungkinkan
individu-individu tersebut untuk bukan hanya bisa menerima tetapi juga sangat
menghargai perbedaan sebagai sebuah berkah, bukan masalah.
Martha Nussbaum (1997), misalnya, menggambarkan pendidikan yang bervisi
kosmopolitan sebagai proses yang mengajarkan tentang dunia di luar batas-batas politik
maupun batasan-batasan lain yang dimiliki oleh seorang individual dan menjadikan
seorang individu dengan sadar merasa sebagai bagian dari 'warga dunia.' Dengan kata lain,
pendidikan adalah proses untuk mendidik individu menjadi warga dunia. Tentu saja,
pendidikan dengan visi kosmopolitan menuntuk perubahan yang sangat signifikan
terhadap kurikulum, struktur maupun proses pendidikan yang berlangsung saat ini. Yang
paling signifikan dalam artian ini adalah mengubah orientasi pendidikan sebagai proses
untuk memupuk nasionalisme dan patriotisme menjadi proses yang sangat condong pada
humanisme.
Tidak dapat dipungkiri, reorientasi pendidikan menjadi lebih kosmopolitan bukanlah
pekerjaan yang mudah. Tantangan terhadap upaya reorientasi pendidikan juga tidak kecil.
Secara politik, menjadikan pendidikan lebih berorientasi kosmopolitan akan
menghadapkan kita kepada kelompok-kelompok yang secara ideologis nasionalis, yang
melihat pendidikan sebagai sarana untuk menghasilkan warga negara yang patriotis dan
nasionalis. Tantangan politis ini juga semakin besar dalam kaitannya dengan benturan
kultural maupun religius. Dengan alasan yang berbeda, banyak orang yang juga sangat
skeptis terhadap reorientasi pendidikan ini. Setidaknya, bagi mereka pendidikan dalam
kerangka kosmopolitan yang berorientasi pada perubahan visi dan sikap dilihat sangat
normatif dan tidak memungkinkan dilakukannya pengukuran dan standarisasi terhadap
hasil dari proses yang terjadi. Melihat pendidikan dalam kaitannya dengan prestasi
menjadi sangat tidak mungkin.
Sebenarnya, tidak terlalu sulit merespon berbagai kritik terhadap pendidikan yang
berorientasi pada pengembangan human capital yang kosmopolitan tersebut. Secara
politik, tidak ada kontradiksi antara gagasan kosmopolitanisme dengan nasionalisme atau
setidaknya kosmopolitanisme dan nasionalisme bukanlah dua kutub yang berseberangan
dalam sebuah kontinuum (Fine 2007). Setidaknya, sejarah menunjukkan bahwa visi
kosmopolitanisme seorang individu dapat hidup berdampingan tanpa harus
menghancurkan semangat nasionalismenya. Perubahan politik yang terjadi di Indonesia
pada tahun 1998, runtuhnya negara-negara sosialis pada akhir tahun 1980an serta
perkembangan kontemporer politik di Tumur Tengah saat ini secara jelas menunjukkan
bahwa individu tidak bisa hidup hanya dengan semangat nasionalisme. Mereka akan
memberontak dan melawan tindakan represi yang dilakukan oleh para pemimpin dan
sistem politik mereka sekalipun atas nama kepentingan nasional (nasionalisme).
6

Kritik yang melihat visi kosmopolitanisme sebagai visi yang sangat normatif dan tidak
praktis tentu saja sangat mudah dipatahkan. Orientasi generasi muda untuk eksis dalam
ranah global dalam berbagai manifestasinya adalah gambaran sederhana tentang
kosmopolitanisme dalam praktik keseharian. Juga, kritik mereka yang melihat
ketidakmungkinan pendidikan yang berorientasi untuk membangun visi dan sikap
kosmopolitan untuk menghasilkan standar-standar yang bisa diukur dengan mudah dan
akurat, bukannya tanpa masalah. Ukuran dan standar yang mereka ajukan sebagai kriteria
untuk menilai 'prestasi' sebenarnya sama ilusifnya dengan visi dan sikap. Setidaknya, kita
harus menjelaskan makna dan signifikansi ukuran dan standar-standar tersebut: apakah
kita melihat dan memberi makna standar dan ukuran tersebut sebagai instrumen atau
tujuan?. Kegagalan memberi makna yang tepat terhadap ukuran dan kriteria hanya akan
menghasilkan daftar urutan 'keberhasilan' yang sebenarnya tidak menggambarkan apapun
dan juga tidak mencerminkan realitas yang ingin digambarkannya. Tanpa kejelasan posisi
dan makna ukuran dan stardarisasi, logika yang digunakan menjadi terbalik, seperti
seorang kusir yang menempatkan kereta di depan kuda.

Penutup
Paper ini berangkat dari keprihatinan terhadap kecenderungan untuk mereduksi peran
dan signifikansi manusia dalam posisi instrumental sebagai bagian dari faktor produksi
untuk mencapai tujuan ekonomi, terutama dalam artian pertumbuhan. Membangun
human capital, oleh karenanya, dimaknasi sebagai upaya untuk menghasilkan manusia
dengan kriteria yang sesuai dengan tujuan tersebut. Kosmopolitanisme merupakan
pemikiran yang kritis terhadap semangat reduksionis yang mendasari konsep human
capital yang dominan saat ini. Dilihat dalam kerangka ini, perpektif kosmopolitan
menawarkan gagasan mengenai human capital yang sangat berbeda. Secara esensial,
perspektif kosmopolitan mengenai human capital dibangun di atas dua dasar: pertama,
human capital yang kosmopolitan mengembalikan posisi dan signifikansi individu sebagai
agency dan tujuan (nilai), bukan instrumen untuk tujuan atau nilai yang lain. Kedua,
human capital yang kosmopolitan mendorong munculnya solidaritas dan empati
individual terhadap sesamanya sebagai bagian dari umat manusia secara keseluruhan.
Kutipan dari rangkaian kalimat yang ditulis oleh Adam Smith di bagian awal tulisan ini,
secara jelas menggambarkan visi kosmopolitan pemikiran ekonomi klasik. Tetapi,
pemikiran ini nampaknya menjadi lebih relevan saat ini daripada satu seperempat abad
yang lalu saat Smith menulis. Solidaritas dan empati ini merupakan kualitas human
capital yang sangat diperlukan saat ini dan semakin diperlukan di masa mendatang pada
saat realitas sosial berkembang ke arah yang cenderung mengabaikan batasan-batasan
artifisial baik yang berasal dari bidang politik, sosial maupun ekonomi dan menghasilkan
tantangan-tantangan bersama umat manusia. Hanya dalam artian inilah kita bisa
berharap akan kelangsungan hidup bersama umat manusia.

Daftar Pustaka
Aloni, Nimrod. 2002. Enhancing humanity: the philosophical foundations of humanistic
education. Dordrecht: Kluwer Academic Publication.
7

Beck, Ulrich. 1986. Risikogesellschaft. Auf dem Weg in eine andere Moderne. Suhrkamp:
Frankfurt a.M.
Brock, Gillian and Harry Brighouse. 2005. The Political Philosophy of Cosmopolitanism.
Cambridge: Cambridge University Press.
Delanty, Gerard. 2009. The Cosmopolitan Imagination The Renewal of Critical Social
Theory. Cambridge: Cambridge University Press.
Fagerlind, A. and Saha, L.J. 1997. Education and National Development. New Delhi: Reed
Educational and Professional Publishing Ltd.
Fine, Robert. 2007. Cosmopolitanism – Key Ideas. London: Routledge.
Giddens, Anthony. 1999b. Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives.
London: Profile.
Giddens, Anthony. 1990. Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press.
Giddens, Anthony. 1999. “Risk and Responsibility.” Modern Law Review, 62, 1: 1-10.
Haas, M.R. 2006. 'Acquiring and Applying Knowledge in Transnational Tems: The Roles of
Cosmopolitan and Locals.' Organization Science, 17, 3. 367-84.
Hannerz, Ulf. 2006. 'Two Faces of Cosmopolitanism: Culture and Politics.' Serie
Dinámicas interculturales Número 7. Barcelona: Fundació CIDOB
Ng, Kok-Yee, Mei Ling Tan and Soon Ang. 2011. 'Culture Capital and Cosmopolitan
Human Capital: the Impact of the Global Mindset and Organizational Routines on
Cultural Intelligence and International Experiences.' In Alan Burton-Jones and J.-C.
Spender, eds. Oxford Handbook of Human Capital. Oxford: Oxford University Press:
96-119.
Nussbaum, Martha C. 1997. Cultivating Humanity: A Classical Defense of Reform in
Liberal Education. Cambridge, Massachusetts and London, Harvard University
Press.
Psacharopolous, G. And Woodhall, M. 1997. Education for Developmnt: An Analysis of
Investment Choice. New York: Oxford University Press.
Robert, B. 1991. 'Economic Growth in a Cross Section of Countries. Quarterly Journal of
Economics, 106, 2: 407-14.
Schultz, T.W. 1971. Investment in Human Capital. New York: The Free Press.
Smith, Adam. 1776. An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, edisi
Liberty Classics, 1976. Indianapolis: Liberty Classics.
Solow, Robert R. 1956. 'A Contribution to the Theory of Growth.' Quarterly Journal of
Economics, 70, 1: 65-94.
Son, Hyun H. 2010. Human Capital Development – ADB Economic Working Paper Series
No. 225. Manila, Philippines: Asian Development Bank.

8