Pemahaman Nilai Filosofi Etika dan Estet

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

 

ABSTRAK

 

Wayang termasuk karya seni dan budaya Indonesia yang adi luhung. Di samping bernilai
filosofi yang dalam, wayang juga sebagai wahana atau alat pendidikan moral dan budi pekerti
atau yang dikenal dengan etika. Dunia perwayangan memberi peluang bagi orang Jawa untuk
melakukan suatu pengkajian filsafi dan mistis sekaligus. Di sisi lain, cerita wayang merupakan
suatu jenis cerita didaktik yang di dalamnya memuat ajaran budi pekerti yang menyiratkan
tentang perihal moral. Bahkan bidang moral merupakan anasir utama dalam pesan-pesan yang
disampaikan wayang. Sebagai jenis kesenian yang mencakup beberapa cabang seni (seni
teater, ukir, musik, dan sastra), estetika wayang begitu indah dan mempesonakan. Nilai filosofi,
etika, dan estetika itulah yang jika ditemukan dalam ritual ruwatan, sebuah tradisi kebudayaan
Jawa yang ditandai dengan pergelaran wayang purwa cerita Bathara Kala dalam lakon
“Murwakala”


 
1.
PENDAHULUAN

 

Banyak orang, terutama bangsa Barat menganggap, pertunjukan wayang kulit sebagai shadow
play
atau

1 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

schaduwenspel
, sebuah permainan dengan bayang-bayang. Anggapan demikian terlalu naif. Pergelaran
wayang tidak bisa disamakan dengan

show
boneka panggung Michael Meschke (73) asal Swedia di Teater Kecil TIM awal Maret 2005 lalu,
yang diadaptasi dari teknik wayang Jepang, Bunraku. Wayang mengandung arti jauh lebih
dalam. Ia mengungkapkan gambaran hidup semesta atau
wewayanganing ngaurip
, yang tidak ada hubungannya dengan bayang-bayang berupa
silhouette
hitam pada kelir yang ditimbulkan oleh sesuatu benda yang diterangi
blencong.

 

Wayang memberikan gambaran lakon perikehidupan manusia dengan segala masalahnya yang
menyimpan nilai-nilai pandangan hidup dalam mengatasi segala tantangan dan kesulitannya.
Dalam wayang selain tersimpan nilai moral dan estetika, juga nilai-nilai pandangan hidup
masyarakat Jawa. Melalui wayang, orang memperoleh cakrawala baru pandangan dan sikap
hidup umat manusia dalam menentukan kebijakan mengatasi tantangan hidup. Hal itulah yang
dirasakan Dr Franz Magnis Suseno SJ, seorang sarjana filsafat dan rohaniawan kelahiran
Jerman yang kini bermukim di Jawa. Setelah menekuni wayang, sampaikah dia pada
kesimpulan bahwa dalam memasuki kebudayaan Jawa, ternyata manusia memasuki kesadaran

paling dalam seluruh umat manusia. Kebijaksanaan Jawa yang paling dalam, ternyata milik
seluruh umat manusia. 1) Cerita wayang merupakan suatu jenis cerita didaktik yang memuat
ajaran budi pekerti. Bahkan bidang moral, merupakan anasir utama dalam pesan-pesan
wayang. Dua aspek (filosofi dan etika) dalam wayang ini disempurnakan dengan nilai estetika
wayang sehingga seni wayang yang mencakup cabang kesenian ini (seni teater, musik, sastra,
ukir, dan sebagainya), menjadi sebuah seni yang bernilai tinggi. Bisa dipahami, jika di tahun
2004 lalu, seni dan budaya wayang kulit dari Indonesia ini (the Wayang Puppet Theater of
Indonesia
) dinobatkan sebagai
karya adiluhung (
masterpi
ece
)
oleh PBB. Menurut Unesco, 28 jenis seni dan kebudayaan di dunia ini, wayang kulit menempati
urutan pertama sebagai karya adi luhung lisan warisan kemanusiaan yang tak dapat dinilai (
Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).

 

2 / 30


Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

1.
I PENGERTIAN ISTILAH

 

Sebagai kelanjutan dari yang disebutkan dalam pendahuluan, perlu disampaikan uraian
mendalam dalam sebuah judul “Pemahaman Nilai Filosofi, Etika, dan Estetika dalam Wayang”.
Untuk memperoleh kesamaan tolak pangkal berpijak dan guna menghindari kesimpangsiuran
interpretasi, perlu kita sepakati apa yang dimaksud dengan nilai, filosofi, etika, estetika, dan wa
yang
, dalam makalah ini.

 
1.
Nilai


 

Perkataan “nilai” dapat didefinisikan sebagai perasaan tentang apa yang baik atau apa yang
buruk, apa yang diinginkan atau apa yang tidak diinginkan, apa yang harus atau apa yang tidak
boleh ada (Bertrabd 1967). Nilai berhubungan dengan pilihan, dan pilihan itu merupakan
prasyarat untuk mengambil suatu tindakan. Seorang berusaha mencapai segala sesuatu yang
menurut sudut pandangannya mempunyai nilai-nilai. Robin Williams (1960) membicarakan “nilai
sosial”, yaitu nilai yang dijunjung tinggi orang banyak. Ada juga “nilai etika atau moral”, yakni
ketentuan-ketentuan atau cita-cita dari apa yang dinilai baik atau benar oleh masyarakat. Satu
lagi, “nilai budaya” yakni konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagai besar
masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup.
(Koentjaraningrat 1980).

3 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26


 
1.
Filosofi

 

Istilah filosofi berasal dari kata Yunani “philosophia” yang berarti “cinta kearifan”. Kata lain dari
filosofi adalah filsafah, falsafah, falsafat), yang berarti pengetahuan dan penyelidikan dengan
akal budi mengenai hakikat segala yang ada. Sebab, asal, dan hukumnya. Definisi lain, ilmu
yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi. Sementara Kamus Umum
Bahasa Indonesia susunan WJS Poerwadarminta didefinisikan dengan : pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab, asas hukum, dan sebagainya tentang segala
yang ada dalam alam semesta, ataupun mengenai kebenaran arti “adanya” sesuatu.

 

Filsafat menurut anggapan orang Jawa ialah, usaha manusia untuk memperoleh pengertian
dan pengetahuan tentang hidup menyeluruh dengan mempergunakan kemampuan rasio plus
indera batin (cipta-rasa). Maka bagi kita, berfilsafat berarti “cinta kesempurnaan” (ngudi
kasampurnan, ngudi

kawicaksanan
) dan bukan semata-mata “cinta kearifan”. 2) Jika orang jawa menyebut bahwa wayang
mengandung filsafat yang dalam, dunia perwayangan memberi peluang bagi orang Jawa untuk
melakukan suatu pengkajian filsafi dan mistis sekaligus. Dunia perwayangan kaya sekali
dengan lambang atau
pasemon
, bahkan hampir seluruh eksistensi wayang itu sendiri adalah “
pasemon
”.

4 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

1.
Etika

 


Bidang yang bersifat normatif, yang bersangkut paut dengan kesusilaan (akhlak, moral),
merupakan salah satu bidang filsafat yang disebut “etik” atau “etika”. Dalam hal ini, etik
memberi nilai buruk atau baik atas perbuatan seseorang. Dengan demikian, etik atau etika (ethi
ce
),
merupakan filsafat tingkah laku yang di dalamnya memuat perihal penilaian, yaitu penilaian
terhadap tindakan yang dapat dikatakan baik atau buruk berdasarkan ukuran-ukuran tertentu.
Oleh karena itu, Miklananda mendefinisikan etika sebagai ilmu yang mengajarkan manusia
“bagaimana seharusnya hidup”, atau Plato memandangnya sebagai ilmu yang mengajar
manusia “bagaimana manusia bijaksana hidup”, (Hazim Amir 1991; 97). Hal ini sesuai dengan
konsep etika menurut wayang yakni mendidik manusia ke arah tingkah laku yang sempurna,
yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

 
1.
Estetika

 


Estetika (estetis) adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni (art) dan keindahan (beauty
). Istilah estetika berasal dari kata Yunani “
aesthesis
”, yang berarti pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau bisa juga berarti pengamatan
spiritual. Istilah

5 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

art
(seni) berarti seni, keterampilan, ilmu, atau kecakapan. Keindahan atau estetika merupakan
bagian dari sebuah filsafat, sebuah ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan
epistemologi. Batasan keindahan sulit dirumuskan. Karena keindahan itu abstrak, identik
dengan kebenaran. Maka batas keindahan pada sesuatu yang indah, dan bukannya pada
“keindahan sendiri”

 

1.
Wayang.

 

Yang dimaksud wayang di sini, pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor
dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung di mana sutradara
(dalang) ikut bermain yang peranannya dapat mendominasi pertunjukan seperti dalam wayang
Purwa di Jawa, wayang Ramayana di Bali, dan wayang Banjar di Kalimantan.. 3) Ada puluhan
jenis wayang yang terbesar di Indonesia. Dari semua jenis wayang itu, yang paling terkenal
dan tersebar luas di dalam dan di luar negeri adalah, wayang purwa. Sebuah jenis pertunjukan
wayang kulit lakon-lakon yang semula bersumber pada cerita kepahlawanan India, yaitu
Ramayana dan Mahabharata. Dari Jawa Timur, wayang purwa menyebar ke Bali, Kalimantan,
dan Sumatra dan dipentaskan dengan bahasa-bahasa setempat. Wayang purwa atau wayang
kulit (meski nama ini tidak tepat), telah disebut dalam
Kakawin Arjuna Wiwaha
karya Mpu Kanwa di zaman Airlangga (109-1043), dalam sarga V syair ke-9.

 


Wayang yang dibahas dalam makalah ini adalah jenis wayang purwa, yang difokuskan pada
telaah ritual ruwatan dengan lakon Murwakala. Di sini digunakan cara pendekatan yang
berpangkal tolak dari penguraian wayang purwa, yang ciri-ciri pokoknya dapat dibandingkan

6 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

dengan jenis-jenis wayang lainnya.

 
1.
NILAI FILOSOFI WAYANG

 

Filsafat dan wayang, keduanya tidak dapat dipisahkan. Berbicara tentang wayang berarti kita
berfilsafat. Wayang adalah filsafat Jawa. Karena wayang mengambil ajaran-ajarannya dari
sumber sistem-sistem kepercayaan, wayang pun menawarkan berbagai macam filsafat hidup
yang bersumber pada sistem-sistem kepercayaan tersebut, yang dari padanya dapat kita tarik
suatu benang merah filsafat wayang.

 
1.
Tujuan Hidup Manusia

 

Hidup haruslah berdasarkan kepada apa yang dinamakan kebenaran. Dan menurut wayang,
“kebenaran sejati” (ultimate truth) hanyalah datang dari Tuhan. Untuk mendapatkan ini,
manusia harus dapat mencapai “kesadaran sejati” (
ultimate
awareness

7 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

) dan memiliki “pengetahuan sejati” (
ultimate
knowledge
). Untuk itu, manusia harus dapat melihat “kenyataan sejati” (
ultimate reality
) dengan melakukan dua hal. Pertama, mempersiapkan jiwa raganya sehingga menjadi
manusia yang kuat dan suci, dan kedua memohon berkah Tuhan agar dirinya terbuka bagi
hal-hal tersebut (
tinarbuka
).

 

Dimaksudkan terbuka di sini adalah, sesuatu yang dicapai bukan melulu dari kekuatan
penalaran atau rasio. Saat rasio terhenti, untuk mencapai kebenaran sejati, manusia harus
menggunakan “rasa sejati” (ultimate feeling) melalui mistik. Jika filsafat oleh orang Barat
dilakukan atas dasar rasio semata (akal, budi, pikiran, nalar), maka bagi dunia kejawen
pengkajian kebenaran dilakukan melalui rasio plus indera batin. Inilah bedanya antara “
ilmu
” dan “
ngelmu
”. Dengan mistis, manusia dapat melihat “kenyataan sejati” tentang dirinya, asal mula diri dan
kehidupannya, yang semua itu dirangkum dalam ajaran “
sangkan paraning dumadi
” (asal mula dan akhir kehidupan manusia). 4)

 

Wayang semacam “Kitab Undang-undang Hukum Dharma” (KUHD) yang menuntun manusia
dalam meniti jalan kehidupan antara “sangkan” (asal) dan “paran” (tujuan) menuju yang abadi
(Tuhan). UU Dharma itu tidak dituang dalam berbagai bab, pasal, dan ayat sebagaimana UU
Hukum Kenegaraan,malainkan terjalin dalam serangkaian kisah-kisah simbolik yang menarik
semacam “
dharmakathana”
atau “
dharmmasarwacastra
” yang menggambarkan pertarungan dua kekuatan yang berlawanan dalam diri manusia.
Kekuatan
destruktif

8 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

(napsu rendah, keangkaramurkaan) yang menuju kepada kemungkaran (hidup sesat,
urip sasar-susur
),
dan satu lagi
kekuatan
konstruktif
(napsu luhur, keutamaan) yang mengangkatnya kepada kebenaran. 5) Sebagai pasemon,
perlengkapan wayang seperti kotak kelir,
blencon
g, dan dalang yang digunakan dalam pertunjukan wayang, juga mengandung nilai filosofi
tentang ilmu
sangkan
paraning dumadi
. Kelir melambangkan
jagad kang gumelar
,
blencong
sebagai surya yang meneranginya, wayang diperjalankan oleh dalang yang melambangkan
Gusti, sementara kotak sebagai alam baka setelah berkiprah di jagad “pakeliran”.

 

Seni pertunjukan wayang itu sendiri, juga mengandung nilai filosofi. Sebagai contoh,
gending-gending pembukaan (talu) yang mengawali sebuah pergelaran wayang, sudah
dibakukan jenis dan urutannya. Gending
patalon itu terdiri
dari
Cucur
bawuk
,
dilanjutkan
Pare Anom
,
Ladrang Srikaton
,
Ketawang
Sukmailang
, naik ke
Gending Ayak-ayakan Manyura
dan
Srepegan Manyura
, dan dipungkasi Gending
Manyura
. Gending patalon ini melambangkan suatu tataran tingkat kehidupan manusia, atau
penjelmaan zat. Gending patalon ditabuh sebelum pertunjukan sebagai lambang penjelmaan

9 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

zat sebelum manusia lahir di alam kehidupan nyata. Ini berarti, rancangan tataran tingkat
kehidupan manusia sudah ada terlebih dulu di zaman alam baka.

 
1.
Ketauladanan dalam Wayang

 

Manusia sebagai makhluk batas antara kedua kekuatan yang berlawanan (konstruktif dan destr
uktif
)
, selalu diharapkan kepada suatu pilihan yang dilematis, yakni konflik dengan dirinya sendiri. Di
sini, terserah kepada manusia sendiri jalan mana yang dipilihnya, dengan resiko
masing-masing. Dalam menghadapi dualisme demikian ini, manusia memerlukan pemimpin
yang dianggap bisa membimbing dan menuntunnya menuju jalan yang benar menurut ajaran
dharma yang berlaku dan dianutnya.

 

Secara teologis, kepemimpinan dalam agama atau kepercayaan adalah petunjuk Tuhan dalam
Kitab Suci (Alquran, Bible, Wedha dan sebagainya). Yang berwujud figur manusia, bisa berupa
Nabi, Rasul, dan Orang-orang Suci. Ada beberapa tokoh pewayangan yang bisa dijadikan
pemimpin atau panutan bagi manusia hidup di dunia. Uniknya, dalam sistem filsafat
perwayangan, tokoh pemimpin sentralnya ternyata bukanlah seorang raja yang menjadi
pahlawan dalam sebuah lakon seperti Sri Ramawijaya, Prabu Basukarna, Sri Kresna, Prabu
Suyudana, atau Bathara Guru. Lalu siapa? Kiai Semar Badranaya sang panakawan
(punakawan). Para panakawan adalah sahabat-sahabat yang arif. Mereka selalu mengabdi
kepada kesatria yang berbudi luhur, dari pihak yang memperjuangkan kebenaran dan
keagungan.

10 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

 

Semar adalah tokoh Panakawan asli bangsa Indonesia sejak 2500 tahun lalu. Tetapi dalam
kisah perwayangan, Semar adalah Bathara Ismaya. Dewa ini turun ke bumi di
Karangkedhempel dengan misi suci mengabdi kepada manusia yang berbudi luhur. Istilah
Jawanya, “dewa ngawula kawula kang ngawula dewa’, dewa mengabdi manusia yang beriman
kepada Tuhannya. Jika nabi dari rasul adalah pemimpin yang mendasarkan kepemimpinannya
atas ajaran Kitab Suci, Semar kepemimpinannya atas kelima prinsip “
sangkan paraning dumadi
”. Semar lebih banyak berada di belakang layar sebagai panakawan (abdi, batur) yang selalu “
tut wuri handayani’
. Karena itu, siapa saja yang diemong Semar (yang berarti iman kepada Allah), akan
memperoleh kejayaan. Sebagai pasemon, Semar melambangkan kesadaran kita yang paling
dalam, yakni
rasa eling
(ingat). Rasa eling inilah yang memimpin kita meniti jalan kehidupan kita antara
sangkan
dan
paran
menuju “Yang Abdi”. Rasa eling ini diharapkan senantiasa melindungi kita dari goda dan
bencana. Jika dalam menghadapi kemelut apapun dan sebesar apapun, kita
selalu eling dan waspada
, insya Allah kita akan aman dan
rahayu slamet nir sambekala.

 
1.
Aspek Filosofi dalam Ritual Ruwatan

 

Satu lagi aspek pertunjukan wayang yang mengandung nilai filosofi adalah, ritual ruwatan. Awal
mulanya, wayang memang sebagai upacara keagamaan masyarakat Jawa yang

11 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

berkepercayaan animisme dan dinamisme, tetapi kemudian menjadi sarana ritual
ruwatan
dan pertunjukan yang profan. Ritual
ruwatan
sejak zaman Majapahit ini bisa dilihat pada relief yang dibangun di zaman itu seperti pada
Candi Sukuh (Jateng) dan Candi Tegalwangi (Jatim). Ruwatan bertujuan untuk membersihkan
manusia dari kesialan (
sukerta
) demi penyelamatan manusia melalui ritual tertentu dan pergelaran wayang
ruwatan
dengan lakon
Murwakala
. Ritual ini masih sering dilakukan masyarakat Jawa, baik secara perorangan maupun berupa
ruwatan massal. Seluruh pola lakon Murwakala bersumberkan asli Jawa, yang bisa ditilik dari
rekaman nama-nama para pelakunya seperti Jusmati, Nyai Randha Prihatin, dan Buyut
Wangke. Bahkan Bathara Wisnu pun beralih nama menjadi Dalang Kandha Buwana, dan
Narada menjadi Pengendhang Karurungan.

 

Sinopsis lakon Murwakala dengan ritual ruwatan itu sebagai berikut. Bathara Kala adalah putra
Sang Hyang Manikmaya (Bathara Guru) dengan Dewi Umayi yang keenam. Ketika keduanya
pesiar mengendarai Lembu Andini, Manikmaya terangsang berat untuk menyenggamai istrinya.
Karena Umayi menolak, dia dikutuk menjadi
ra
seksi
bernama Bethari Durga dan bermukim di Setra Gandamayit. Mani (
kama, rahsa
) Manikmaya jatuh ke samudra dan lahirlah bayi raksasa yang membuat keonaran di laut. Hal
ini membuat Dewa Laut mengadu ke Suralaya, yang kemudian mengerahkan para dewa untuk
memeranginya, namun kalah. Baru setelah dikenai
aji kemayan
, bayi itu menyerah. Taring kanannya dipotong dan berubah menjadi keris Kalanadah, sedang
taring kiri berubah menjadi Kaladita. Bayi raksasa itu kemudian diakui sebagai anak Bathara
Guru dan dinamai Bathara Kala diberi wewenang untuk menjadi
jalma
atau
janma sukerta
dan orang
aradan
, yaitu orang yang lalai dalam kehidupannya.

12 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

 

Dahi Bathara Kala digores dengan tiuisan Rajah Kalacakra. Bagi orang yang mampu
membacanya, dia terlepas jadi santapannya. Bathara Kala juga diberi gada (bedana) oleh
Bathara Guru untuk memburu calon mangsanya. Pemberian hak dan wewenang istimewa ini
diprotes Bethara Narada karena dianggap berlebihan yang mengakibatkan kekacauan di dunia.
Bathara Guru menginsyafi kesalahannya dan kemudian mengutus Bathara Wisnu sebagai
Dalang Kandha Buwana untuk menggagalkan ulah Bathara Kala. Ketika Kandha Buwana
sedang memainkan wayang lakon
Murwakala
, datanglah Bathara Kala mengejar-ngejar mangsanya yang
jalma sukerta
. Maksudnya menjadi terhalang ketika Kandha Buwana mampu mewedar
-kan Rajah Kalacakra di dahi Bathara Kala. Demikianlah, Bathara Kala lalu diruwat
atau disucikan ki dalang, termasuk mangsanya pun ikut tersucikan.

 

Ada 136 jenis dan kriteria janma sukerta tandha kala yang menjadi mangsa Bathara Kala
sehingga orang itu perlu diruwat. Ruwata
n
dengan aneka sesajian seperti
nasi gurih
,
tumpeng robyong
, jadah, bubur, sirih, buah, bunga, telur ayam, sepasang burung dan lain-lain menurut bentuk
ruwatan
yang akan dijalankan. Seluruh upacara dipimpin oleh dalang, Selain adat potong rambut dan
yang diruwat mengenakan busana kain putih (
lawon
), yang pasti ditandai dengan pergelaran wayang kulit dengan lakon
Murwakala
. Biasanya pergelaran ruwatan ini diselenggarakan di siang hari.

 

13 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

Ritual ruwatan yang merupakan tradisi Jawa yang bisa dianggap sebagai kegiatan yang
irasional. Tetapi seperti disebutkan di muka, kebenaran dalam dunia
kejawen
tidak selamanya harus mandek pada rasio, tetapi rasio plus indera batin. Pendekatan
ruwatan
haruslah dengan pendekatan kultural yang dalam hal ini budaya Jawa. Filosofi dari ritual
ruwatan
harus dipandang sebagai sarana untuk membebaskan predikat
sukerta
manusia. Manusia
sukerta
adalah manusia yang dilahirkan secara kodrati membawa kelainan psikologis (bukan sakit jiwa).
Sehingga memerlukan terapi khusus berupa
ruwatan
.
Ruwatan
dilakukan oleh dalang sejati Kandha Buwana yang sudah mempunyai dalam hal
ngelmu sangkan
paraning dumadi
melalui ajaran yang tersirat dalam
Rajah Kala Cakra
.

 

Ruwatan merupakan hasil budaya manusia Jawa yang mengandung simbol ajaran-ajaran yang
dalam tentang kehidupan. Budaya ini bisa dikaji melalui berbagai disiplin ilmu: pedagogi,
psikologi, antropologi, filsafat, dan juga melalui budaya spriritual. Lewat
ruwatan,
diharapkan mampu membuka kesadaran yang paling dalam pada diri manusia untuk mengenali
diri sendiri dan kedudukannya di tengah kehidupan alam semesta. Dengan penyadaran itu,
diharapkan manusia menjadi
tinarbuka
dan menyadari akan kekuatan dan kelemahannya, serta menyadari alam kekuasaannya dan
kepasrahannya. Pada hakikatnya,
ruwatan
merupakan simbol penyelamatan kondisi psikologis manusia, melepaskan diri dari sukerta atau
kesialan. Hilangnya gigi atau taring Bathara Kala, memperjelas pemaknaan simbolik yang
dikandung, bahwa yang diincar sebagai mangsanya bukan bentuk fisiknya, melainkan
ketimpangan psikisnya yang tak seimbang. Terapinya lewat jalur kultural, yakni pembudayaan
dan pendidikan yang holistik.

14 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

 
1.
NILAI ETIKA DALAM PERWAYANGAN

 

Nilai etika yang dibahas dalam makalah ini, adalah nilai-nilai yang terkandung dalam cerita
wayang, baik menurut babon Ramayana atau Mahabharata maupun cerita dalam lakon pedhal
angan
.
Cuplikan cerita hanya merekomendasi sebagian tata nilai dari kompleksitas nilai budaya yang
pernah berkembang pada masyarakat Jawa Kuna.

 
1.
Anasir Pendidikan Etika dalam Wayang

 

Cerita perwayangan memuat anasir pendidikan. Karena itu, dapat digunakan sebagai salah
satu media dalam upaya untuk mengubah tingkah laku atau sikap seseorang dalam rangka
mendewasakan manusia. Cerita wayang bukan saja merupakan salah satu sumber pencarian
nilai-nilai bagi kelangsungan hidup masyarakat, namun juga sebagai wahana atau alat
pendidikan. 6) Sebagai alat pendidikan, wayang menawarkan ajaran dan nilai-nilai yang tidak
secara dogmatis sebagai indotrinasi. Terserah penikmat menafsirkan, menilai, dan memilih

15 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

nilai-nilai itu. Karena itu, satu sisi tokoh Kumbakarna bisa dinilai sebagai pengkhianat karena
berpihak kepada Rahwana kakak kandungnya yang menculik Dewi Sinta, namun di sisi lain dia
bisa dinilai sebagai pahlawan karena jiwa patriotiknya membela Tanah Airnya. Ajaran dan
nilai-nilai tersebut juga dihadirkan melalui tokoh-tokoh tertentu seperti Bambang Sumantri yang
patriotik, atau Puntadewa yang ,ukhlis, dan Dewi Sembadra yang feminis.

 

Karena cerita wayang merupakan wahana atau alat pendidikan, wayang merupakan wahana
bagi proses sosialisasi ataupun enkulturasi. Bahkan dengan proses sosialisasi, wayang
mengemban fungsi edukatif mempersiapkan anggota masyarakat agar mampu memainkan
peran-peran sosial sesuai dengan pilihan hidupnya, dengan jalan mengembangkan sikap
mental, menanamkan nilai-nilai dan kemampuan mengendalikan diri, dan memberikan orientasi
pemahaman. Wayang merupakan salah satu wahana untuk mendewasakan manusia secara
sosial (maturasi), sebagaimana yang diharapkan oleh Begawan Abiyasa kepada para
Pandawa lewat adegan
wejangan-nya. Karena itu, cerita wayang merupakan
cerita didaktik yang didalamnya memuat ajaran budi pekerti yang menyiratkan tentang perihal
moral. Bidang yang bersifat normatif, yang bersangkutan dengan kesusilaan atau akhlak,
merupakan salah satu bidang filsafat yang disebut “etika”, dalam hal ini etika memberi nilai
buruk atau baik atas perbuatan seseorang.

 
1.
Komunikasi Simbolik dan Media Ekspresi

 

Kehadiran wayang tidak dapat dipisahkan dalam komunikasi. Sebab, di samping isinya
menggambarkan tentang bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam rangka
interaksi antar umat manusia, juga mengemban fungsi sebagai media komunikasi, yakni
menjadi alat untuk menyampaikan pesan-pesan, utamanya yang berhubungan dengan bidang

16 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

etik. Karena pesan-pesan etik senantiasa dikemukakan secara eksplisit, malah seringkali
secara implisit tersirat dalam alur cerita, maka diperlukan penafsiran terhadap makna-makna
simbolik yang tersirat. Untuk kepentingan komunikasi, dunia ideal itu dieksternalisasikan ke
dalam dunia material, baik dalam bentuk perilaku verbal yang menghasilkan teks ataupun
perilaku kinesik. Ditinjau dari idealisme, pergelaran wayang terkait dengan proses komunikasi,
dimana pengetahuan dan kemauan yang berkenaan dengan etika dieksternalisasikan.

 

Internalisasi simbolik adalah interaksi dan komunikasi yang memberikan kehidupan sosial yang
ditandai oleh penggunaan bahasa (dalam arti luas) atau tindakan-tindakan yang bersifat
simbolik. Untuk menangkap makna-makna yang terkandung dalam cerita wayang, diperlukan
interpretasi terhadap tingkah laku bersimbol dari pemeran cerita. Keberadaan wayang lebih
terkait dengan proses komunikasi simbolik, tepatnya komunikasi simbolik satu arah. Banyak
ahli berpendapat, bahwa 75 % dari pengetahuan manusia bisa sampai ke otaknya, melalui
mata, dan selebihnya menggunakan indra pendengar dan indra-indra yang lain. Dengan
demikian, menyampaikan pesan moral lewat wayang yang menggunakan media ekspresi
audio-visual, merupakan cara yang lebih efektif dalam rangka pendidikan etik.

 
1.
Nilai-nilai Etik dalam Wayang

 

Nilai etik yang dibahas dalam makalah ini adalah cerita atau lakon dalam perwayangan Banyak
lakon yang mengandung nilai etika atau moral, seperti lakon Dewa Ruci tentang keteguhan hati
seseorang, lakon
Bale
Sigala-gala
tentang kuasa Tuhan yang menyelamatkan hambanya yang teraniaya. Nilai etika itu juga
terdapat pada figur Semar sebagai pamong, di mana Semar yang hidup sepanjang zaman

17 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

dalam pergelaran wayang purwa ini selalu mengabdi kepada para kesatria yang berwatak
luhur. Biasanya induk semangnya bukan orang kaya, bahkan seringkali kesatria yang sedang
sengsara menghadapi berbagai cobaan berat dalam perjuangan menegakkan kesatria yang
sedang sengsara menghadapi berbagai cobaan berat dalam perjuangan menegakkan kesatria
yang sedang sengsara menghadapi berbagai cobaan berat dalam perjuangan menegakkan
kebenaran.

 

Meski hanya seorang abdi, namun nasihat-nasihat Semar pantang untuk dilanggar. Jika sekali
dua kali dilanggar, maka celakalah asuhannya itu seperti yang diperagakan dalam lakon Kilat
Bawana, Semar Kuning, Semar Papa
, dan sebagainya. Baru setelah bendaranya minta maaf kepada Semar, mereka terlepas dari
kesengsaraan. Namun, tidak selamanya Semar berada di belakang layar. Pada saat yang
gawat, ia turun tangan mengambil inisiatif secara aktif. Saat Bathara Guru berlaku tidak adil dan
menyeleweng dari hukum kebenaran (
dharma
), maka Semar tak segan-segan melabraknya tanpa ampun. Begitulah etika pemimpin yang
diperagakan oleh tokoh Semar. Tentu banyak nilai etika yang diperoleh dari kisah atau
figur-figurnya. Hampir setiap tokoh wayang, di samping memiliki sisi buruk juga memiliki sisi
baik yang bisa diteladaninya.

 
1.
Nilai Etik pada Lakon “Murwakala”

 

Nilai etika atau moral juga terdapat dalam lakon “Murwakala” yang digelar setiap ritual ruwatan.
Murwakala mengisahkan tentang
asal-usul kehidupan atau

18 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

purwaning dumadi
. Sebuah ajaran spiritualisme yang disampaikan lewat simbol dan
pasemon
, yang mendorong kita untuk melakukan kajian filsafati tentang kehidupan di dunia yang penuh
tantangan ini. Tetapi, ajaran moral yang diproyeksikan dalam adegan akhir lakon “
Murwakala
”, justru sebenarnya yang menjadi inti ajaran spiritual yang perlu dimaknai secara cermat. Ia
adalah sebuah terapi psikologis agar manusia mampu menguasai “Sang Kala” (kendala dan
kerawanan) untuk meniti masa depannya.

 

Sebagai ajaran moral, cerita Murwakala mengingatkan manusia akan akibat dari perilaku seks
menyimpang. Asal-usul manusia tidak bisa dipisahkan dari kejahatan seperti terjilma dalam
tokoh Bathara Kala yang dari kama salah. Jadi
Murwak
ala
sebenarnya merupakan upaya orang Jawa untuk menerangkan adanya akibat kejahatan seks.
Dalam dunia pendidikan, Bathara Kala yang dalam perwayangan berwanda barong ini, sebagai
lambang keangkaramurkaan yang harus diperangi.

 

Mengapa Bathara Kala dilahirkan Bathara Guru, raja para dewa di Kahyangan? Orang Jawa
selalu bertolak dari pengalaman konkrit. Dalam pengalaman itulah ia merasa bahwa sejak
kelahirannya tidak bisa lepas dari pengaruh kejahatan. Kejahatan itu demikian besar
pengaruhnya, sampai raja dewa pun terkena. Bukan Bathara Guru yang melahirkan kejahatan,
tetapi ia terkenal oleh kejahatan (nafsu) sehingga lahirlah Bathara Kala. Bahwa Bathara Guru
bisa terkena kejahatan, itu disebabkan oleh pandangan tradisional masyarakat Jawa tentang
anthropoformisme para dewa. Dewa bisa berubah dan bertingkah laku seperti manusia,
sehingga Bathara Guru pun bisa bersalah. Apalagi dalam pandangan orang Jawa, para dewa
bukan termasuk tataran tertinggi yang sudah sempurna. Tataran tertinggi yang sempurna
adalah jagad raya sendiri dan kesuciannya.

 

19 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

Tapi sekali lagi, orang Jawa tidak terlalu bersoal dengan teori akstrak tentang kejahatan. Yang
lebih penting adalah penyelamatan dari kejahatan itu, sehingga acara ruwatan sebenarnya
lebih merupakan praktik penyelamatan dari kejahatan daripada kisah asal-usul kejahatan itu
sendiri. Kisah Bathara Kala bukanlah yang utama. Ia hanya semacam pengantar untuk masuk
ke pelaksanaan ruwatan, di mana dalang mengucapkan kata-kata suci dan bertuah. Dalam
pelaksanaan ruwatan itu dalang me-wedar-kan makna Rajah Kalacakra, yakni kawruh sejatinin
g urip
,
pengetahuan tentang kehidupan sejati. Dengan kekuatan ini manusia diharapkan mampu
mengenyahkan keadaannya yang
sukerta
, dari keadaan tidak sempurna menjadi sempurna. Keadaan sukerta ini sebenarnya tidak
terbatas pada kekurangan fisik seperti anak ontang-anting dan sebagainya, tetapi keadaan
sukerta sendiri adalah keadaan umum, nasib dari setiap manusia. Artinya setiap manusia,
entah berapa kadarnya, terkena oleh keganasan kejahatan. Maka setiap manusia sebenarnya
perlu disucikan, perlu di
ruwat
agar menjadi sempurna.
Ruwatan
yang sebenarnya untuk membebaskan segala mala petaka (
sukerta
) kehidupan ini tiada lain adalah sebuah upaya melalui pendidikan yang holistik, termasuk
pendidikan budi pekerti.

 

Orang memang harus berusaha sendiri menghapus keadaan sukerta, tetapi harus diingat
bahwa penyempurnaan akhir tidak terletak pada dirinya, tapi pada kekuatan ilahi. Ucapan
ruwatan pada hakikatnya adalah kepasrahan manusia untuk menyerahkan diri pada kekuatan
ilahi agar kekuatan itu mampu mengenyahkan kejahatan pada dirinya dengan perantaraan
seorang dalang yang dianggap bijaksana dan bisa menyelamatkan.

 
1.
Nilai Estetika dalam Perwayangan

20 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

Sebagai sebuah pertunjukan, wayang memiliki nilai estetik yang begitu tinggi. Sama dengan cur
iga
(pusaka), kuda (kendaraan), dan kukila (burung), kesenian wayang merupakan klangenan bagi
orang Jawa. Ini dikarenakan, wayang bukan saja memiliki filosofi yang begitu dalam, namun
juga bernilai estetik tinggi.

 
1.
Pelaksana dan Peralatan Wayang

 

Sebagai karya seni, pergelaran wayang meliputi beberapa cabang kesenian (seni teater, ukir,
sastra, musik). Dari unsur pelaksana dan peralatan, wayang terdiri dari dalang (sutradara), niya
ga
(pemain gamelan) dan
pesinden
(penyanyi wanita) atau gerong (kor penyanyi pria). Dari unsur peralatannya terdiri dari wayang
kulit,
kelir, blencong
(lampu tradisional), gedhebog (batang pisang),
kothak, cempala
(kayu pemukul kotak),
kepyak
(dari kuningan), dan gamelan. Sedang unsur pertunjukan yang bisa dilihat adalah
sabetan
(gerak wayang), dan yang didengar meliputi (
janturan), carios atau kandha, ginem
(pocapan
)
suluk
, tembang,
dhodhogan, kepyakan, gendhing, gerong

21 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

,
sindhenan
.

 

Betapa tinggi nilai estetika pada wayang di antaranya bisa dilihat dari seni ukir wayang (tatah
sungging
). Pembuatan setiap tokoh wayang, memiliki ciri dan watak tersendiri. Bineka wayang itu tidak
menggambarkan manusia secara wajar, tetapi watak berbagai tokoh dalam dunia
perwayangan. Setiap wayang melukiskan secara wajar, tetapi watak berbagai tokoh dalam
dunia perwayangan. Aetiap wayang melukiskan watak tertentu dan dalam keadaan batin
tertentu. Setiap pola bentuk wayang memiliki
wanda
, ungkapan watak atau ekspresi batin.
Wanda wayang
Kresna misalnya, berbeda dengan
wanda
Arjuna. Sementara wanda Arjuna beraneka ragam pula jenisnya,
seperti wanda
kinanthi, kanyut, mangu
dan sebagainya. Setiap
wanda
melukiskan ekspresi keadaan batin tertentu dalam diri Arjuna. Karena itu, jumlah wayang kulit
yang semestinya cukup 200 biji dalam satu kotak, karena adanya
wanda tersebut
jumlahnya bisa menjadi 650 biji lebih.

 

Ini belum lagi nilai estetika pada seni musiknya. Dalam pergelaran baku wayang kulit semalam
suntuk, bunyi gamelan yang mengiringinya terbagai dalam tujuh pase. Yaitu, klenengan, talu,
patet nem, patet sanga, patet
manyura
,
tancep kayon
(penutup), dan
golek

22 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

. Sambil menunggu kehadiran penonton atau tamu, pertunjukan diawali dengan
klenengan
dengan gending-gendhing
Sriwidana, Kadrang Slamet
,
dan Pangkur
, baru kemudian masuk ke
talu
. Selain mengandung nilai filosofi, dalam dramaturgi sebuah pertunjukan, fungsi gending
patalon
sebagai intro dari sebuah pertunjukan wayang.

 
1.
Telaah Sastra Lakon Murwakala

 

Jika di depan diuraikan tentang aspek filosofi dan etika dalam ruwatan dengan lakon Murwakal
a
, pada
bagian ini diuraiakan tentang aspek lakon Murwakala, khususnya dari aspek seni sastranya.
Sastra menurut pangawikan Jawa ialah pengetahuan bukan saja yang diperoleh dari apa yang
tersurat, melainkan juga tersirat. Alur kisah
Murwakala
mulai j
ejer
awal sampai tancap kayon, ditemukan suatu komposisi lakon yang unik yang tidak lazim
jejer
awal sampai
tancep kayon
, ditemukan suatu komposisi lakon yang unik yang tidak lazim ditemui dalam lakon-lakon
lainnya. Dalam
Murwakala
, terdapat dua bagian yang masing-masing berdiri sendiri, meski saling mengisi. Bagian
pertama tentang kelahiran Bathara Kala dari

23 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

kama
salah Bathara Guru di atas Lembu Andini. Cerita ini diakhiri dengan Bathara Kala yang turun ke
bumi dengan hak untuk memakan manusia
sukerta
, antara lain manusia lahir tunggal (ontang-anting).

Sampai di sini, cerita pertama itu selesai, lalu disusul bagian kedua yang temanya berlainan
sekali. Bagian ini mengisahkan bertapa anak ontang-anting bernama Jatusmati merusaha
menghindar dan menyelamatkan diri dari kejaran Bathara Kala. Ia akhirnya diselamatkan
Dalang Kandha Buwana lewat
ruw
atan
-nya. Bagaian kedua inilah yang merupakan inti masalah yang membentuk lakon
Murwakala
. Jadul
Murwakala
memang terasa dubius. Bisa diartikan asal mula Bathara Kala, tetapi bisa juga berarti
“Menguasai Sang Kala”. Di sini Kala diartikan sukerta (kendala, kesulitan, kerawanan). Tema
Murwakala dalam lakon
Murwakala
bukan terletak pada lahirnya Bathara Kala, melainkan pada
ruwatan
itu sendiri “Menguasai Sang Kala”. Kisah lahirnya Bathara Kala dalam ruwatan sekadar sebagai
prolog untuk menerangkan Sang Kala”. Kisah lahirnya Bathara Kala dalam ruwatan sekadar
sebagai prolog untuk menerangkan alur ruwatan.

 

Perbedaan mencolok antara prolog dan lakon utama Murwakala, dapat dilihat dari struktur
komposisi para pelaku pendukung yang mewakili karakter masing-masing. Dalam sebuah lakon
terdapat tiga kelompok kekuatan yang saling berhubungan dan berlawanan, yakni apa yang
disebut protagonis, antagonis, dan tritagonis. Dalam prolog atau cerita pertama, jelas sekali
Bathara Kala lah yang menjadi tokoh protagonisnya (pemeran utama), sedang para dewa yang
memerangi (Wisnu, Narada) sebagai pihak protagonis. Bathara Guru bisa disebut sebagai
tokoh tritagonis karena dialah penyebab utama timbulnya konflik karena ulahnya itu.

 

24 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

Pada bagian kedua (tema pokok), pola kedudukan peranan masing-masing berbalik. Bathara
Kala menjadi tokoh antagonis, sedang protagonisnya Jatusmati, dan para dewa (Bathara
Wisnu, Narada, Brahma) menjadi tritagonis sebab Bathara Wisnu menjadi Dalang Kandha
Budawa dan dewa-dewa lain me-ruwat Jatusmati. Tetapi yang paling unik dalam pakeliran
Murwakala adalah, bahwa yang menjadi protagonis paling utama adalah anak-anak laki-laki
dan/atau perempuan dari orang tua yang punya gawe ruwatan, yang diproyeksikan pada
adegan akhir. Pada adegan akhir inilah dilakukan upacara ruwatan yang sebenarnya dan bukan
lagi sebagai adegan wayang.

 

Dengan kemampuan kita menangkap apa yang tersirat dari ruwatan, kita bisa membaca
simbol-simbol atau pasemon yang tersiratkan melalui cerita Murwakala yang terkesan monoton
atau terlalu datar itu. Di sinilah letak bobot nilai sastra dalam lakon Murwakala, hingga menjadi
bergitu indah mempesonakan. Wayang memberikan peluang besar kepada orang Jawa untuk
melakukan kajian filsafat tentang kehidupan di dunia yang penuh tantangan ini. Upacara
ruwatan
pada hakikatnya merupakan usaha manusia menjawab tantangan tersebut yang dilakukan
dengan pertunjukan wayang, dalam hal ini melalui Sang Dalang Sejati Kandha Buwana dalam
lakon
Murwakala.

 
1.
Penutup

 

Demikianlah, dengan menikmati wayang, orang akan memperoleh nilai-nilai filosofi yang
terkandung di dalamnya, di samping nilai-nilai etika atau budi pekerti dan nilai estetika yang
tinggi. Wajarlah jika seni dan budaya wayang kulit dari Indonesia ini dinobatkan sebagai karya

25 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

adi luhung lisan warisan kemanusiaan yang tak dapat dinilai ketinggiannya. Dalam ikut
membangun peradaban modern seperti sekarang ini, kiranya nilai-nilai yang terkandung dalam
wayang masih relevan untuk dikembangkan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Direktorat Pembinaan Kesenian Depdikbud. 1979. Ensiklopedi Wayang Purwa 1 (Compendium
), Cet ke-1, Jakarta.

 

Gurirno, Pandam. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila, Cet ke-1, Jakarta:
UI-Press.

 

Hardjowirogo. 1982 Sejarah Wayang Purwa Cet ke-1. Jakarta: Balai Pustaka.

 

Koentjoroningrat, R.M. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi Cet ke-3. Balai Pustaka, Jakarta:
Balai Pustaka.

26 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

 

Mulder, Niels. Dr. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa Cet ke-2. Jakarta:
Percetakan Gramedia.

 

Mulder, D.C.Dr. 1966. Pembimbing ke Dalam Ilmu Filsafat Cet ke-1. Jakarta: BPK.

 

Mulyono, Sri. Ir. 1989. Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya Cet ke-3. Jakarta: Haji
Masagung.

 

Padmosoekotjo, S. 1985. Silsilah Wayang Purwa Mawa carita I-VII Cet ke-1 Surabaya: PT
Mitra Jaya Murti.

 

Premadasa, C. 1989. Darah Merah di Kuruhsetra Cet ke-1. Jakarta: Yayasan Dharma Sarati.

 

27 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

Poerbatjaraka, RM Ng. 1954. Kapustakan Djawi Tjet ke-2. Djakarta: Penerbit Djambatan.
Rasjidi, H.M. 1967.
Islam dan Kebatinan Cet
ke-1. Jakarta: Jajasan Islam Studi Club Indonesia.

 

Sajid, Raden Mas. 1958. Bauwarna Wayang Cet ke-1. Jogjakarta: Pertjetakan Republik
Indonesia.

 

Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1,2,3, Cet. Ke-5. Yogyakarta:
Yayasan Kanisius.

 

Tirtohamidjojo, S. 1987. Wayang Ilmu Pengetahuan Hidup Cet ke-1. Jakarta: Wiratama
Prasetya Sakti.

 

BIODATA

 

28 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

Nama : RM Yunani Prawiranegara

Lahir : Ngawi, 01 Oktober 1948

Istri : Sumiati

Anak : 1. Heti Palestina

: 2. Ahmad Romawi

Alamat : Rumah : Putat Jaya C Barat XI/20 Surabaya

: Kantor : Bukit Darmo Golf Regency Kav. R 31-32 Surabaya

Telepon : 08155067242, 031.7382800, Faks 031,7382700

Email : redaksi@surabayapost.info

Pendidikan : SLTA

Jabatan : 1. Komisaris PT Mitra Media SP Surabaya

: 2. Redaktur Opini dan Budaya Harian Sore Surabaya Post

29 / 30

Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang
Written by Wayang-Indonesia
Wednesday, 26 January 2011 04:02 - Last Updated Thursday, 03 March 2011 03:26

Jabatan lain : 1. Anggota Dewan Kehormatan PWI Jawa Timur

: 2. Penasihat Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS)

: 3. Seksi Humas Ikatan Persaudaraan haji (IPHI) Jawa Timur.

 

 

 

 

 

30 / 30