DESKRIPSI PEMIKIRAN dan DEMOKRASI Kebang

DESKRIPSI PEMIKIRAN DEMOKRASI K. H. ABDURRAHMAN WAHID
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan meluasnya partai-partai berhaluan Islam kesetiap tempat dengan gaya yang menarik perhatian banyak
orang, dan didukung oleh bertambahnya kesadaran dunia terhadapppp masalah demokrasi setelah runtuhnya
ideologi komunis, permasalahannya kemudian beralih pada hubungan antara islam dan demokrasi, yang ramai
dibicarakan dalam berbagai pusat penelitian dan media masa. Akibatnya muncul pertemuan-pertemuan, yang
menghujat corak nuansa Islam dan kaum muslim.
Para pengkaji dan peneliti barat dengan gencar melakukan penelitian dan pengkajian tentang masalah tersebut
(hubungan antara Islam dan demokrasi). Mayoritas diantara mereka menyimpulkan adanya pertentangan tajam
antara islam dan demokrasi.
Sebuah artikel yang dimuat Washington Post pada maret 1992, yang bertajuk “Islam dan demokrasi tidak pernah
sejalan “, dalam artikel tersebut, Amwes Berlmouter, si penulis artikel, menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Aljazair tidak hanya menyangkut masalah demokrasi di dunia ketiga atau negara-negara Islam, sebagaimana yang
digambarkan oleh sebagian orang. Tetapi, masalah terpenting yang menyangkut apa yang terjadi di Aljazair adalah
hakekat sikap Islam –yang diibaratkan oleh penulis artikel ini sebagai-“ menentang dan tidak memperoleh
demokrasi”.
Mereka dengan panjang lebar berbicara tentang sistem liberalisme dan Nasionalis untuk dijadikan sebagai acuan
pedoman dalam tatanan negara.
Tetapi jika ada yang berbicara tentang sistem Islami, mereka menganggap sebagai sesuatu “yang tidak ada”. Bahkan
kadang mereka menyebut sebagai sesuatu “yang konservatif”, dan pada saat yang lain mereka menyebutnya sebagai

“sistem yang kejam”.1
Dari berbagai macam permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka penyusun mencoba mengkaji Demokrasi
yang ada relevansinya dengan ajaran agama Islam. Islam telah didiskreditkan dalam dua hal. Pertama, ketika ia
dibandingkan dengan demokrasi dan kedua, ketika dikatakan bahwa Islam bertentangan dengan demokrasi. Karena
membandingkan antara keduanya merupakan hal yang salah, seperti halnya menganggapnya saling bertentangan
juga salah.
Dari segi metode, perbandingan antara kedua hal tersebut di atas tidak bisa dibenarkan, karena Islam merupakan
agama dan risalah yang mengandung azas-azas yang mengatur ibadah, akhlaq dan muamalah manusia. Sedangkan
demokrasi hanya sebuah sistem pemerintahan dan mekanisme kerja sama antara anggota masyarakat serta simbol
yang membawa banyak nilai-nilai positif.2
Bagi kebanyakan orang Barat, konsep “demokrasi Islam “ merupakan sesuatuanatema.3 Sebagian orang tidak
memandang demokrasi sekarang ini sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan pada kebebasan, kerjasama,
politik, pluralisme, lain sebagainya. Tetapi memandangnya sebagai rumusan bagi konsep barat yang memperburuk
citra kaum muslim. Paling tidak media informasi di barat menampakkan permusuhan kepada Islam. Dengan
demikian, tidak diakuinya demokrasi versi barat ini tidak dapat dianggap sebagai penolakan terhadap demokrasi itu
sendiri, tapi pada hakekatnya, penolakan tersebut berdasarkan pada konsep yang disodorkan.4
Demokrasi merupakan sebuah idiom yang oleh sebagian orang dipersepsikan sebagai pilihan sistim politik,
menuntut persyaratan bagi terwujudnya sebuah masyarakat madani (Civil Society).5
Dalam perspektif pengelolaan negara bangsa, dimana pluralisme sebagai bagian dari Sunatullah (Natural law),
memerlukan negara dan pemerintahan yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan dipenuhinya prasyarat the rule

of law 6). Maka, jika kualitas demokrasi baik, kualitas hukum akan baik, dan jika demokrasi bobrok, hukumnya pun
akan jelek. 7Dengan demikian demokrasi adalah suatu keharusan dan sudah berjalan. Sejelek-jeleknya demokrasi
tetapi masih lebih baik dari sistem politik yang lain. Ketangguhan demokrasi ada pada aspek rationalitas yang dapat
dikritik dan diperdebatkan (rational discourse) dan adanya kontrol dari rakyat. 8
Perkembangan di dalam negeri selain dipengaruhi oleh mulai munculnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya
demokrasi namun dipengaruhi oleh gerakan pro-demokrasi di luar negeri. Runtuhnya rezim otoritarium komunis di
negara-negara eropa timur pada awal tahun 1990-an, oleh gerakan pro demokrasi (dan civil society) merupakan
faktor eksternal yang mendorong dimulainya babakan baru menuju masyarakat yang lebih demokratis di Indonesia. 9
Demokratisasi yang sedang diagendakan oleh masyarakat Indonesia sekarang ini masih menghadapi banyak
tantangan.10 Belum terwujudnya stabilitas politik – yang krusial bagi pemulihan ekonomi-, serta elit politik dan
banyak kalangan masyarakat belum siap dengan demokrasi keadaban (civilizated democracy). Kenyataan ini bisa

dilihat dari perkembangan berikut : konflik dan fragmentasi politik yang semakin meluas di kalangan elit politik ;
parpol-parpol yang kian rentan konflik dan perpecahan ; serta aksi-aksi demonstrasi yang cenderung tergelincir
menjadi anarkisme.11
Di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia, perkembangan Demokrasi tersendat-sendat, bahkan ada
yang tidak bisa muncul sama sekali. Seperti disinyalir oleh Huntington, kawasan ini disebut sebagai penganut
sistem politik tradisional. Ada dua corak sistem politik yang dominan pada negara berkembang yaitu : negara
feodal dan negara birokratis. Di dalam kedua corak sistem politik itu ditandai oleh adanya pemusatan kekuasan.
Karena itu, peluang untuk berkembang suburnya demokrasi pada negara yang sistem politik semacam itu kecil

sekali. Pandangan pesimisme Huntington mengenai tumbuhnya demokratisasi bila diterapkan dalam konteks
Indonesia bisa dimengerti, karena sistem politik Indonesia sebalum Era-Reformasi adalah Feodal danBirokratis.
Kedua sistem nilai ini ( Feodal dan Birokratis ) merupakan faktor penghambat demokratisasi.12
Salah satu kesulitan muncul sebagai kiblat para akademis ( politik) kurang berminat untuk mendiskusikan, menulis,
atau meneliti secara akademis persoalan yang berkaitan dengan proses demokratisasi. Kecenderungan yang tampak
saat ini adalah mereka lebih tertarik berbicara sebagai pengamat ( agak mirip selebritis ) di berbagai media
( terutama media kaca ). Mereka dengan kemampuan seadanya dan tanpa didukung pengalaman empiris
( penelitian ) diminta dan berusaha menanggapai persoalan-persoalan politik praktis bersifat temporer. Akibatnya,
terasa ada kekosongan pengetahuan tentang arah demokrasi dan demokratisasi.
Dalam suasana demikian ini, unsur –unsur masyarakat yang ingin melestarikan kepincangan sosial yang ada dewasa
ini, tentu akan berusaha sekuat tenaga membendung aspirasi demokratis yang hidup di kalangan mereka yang telah
sadar akan perlunya kebebasan ditegakkan di negeri ini (Indonesia).13
Di indonesia sendiri, demokrasi-demokratisasi bagi sebagian orang, dipersepsikan secara beragam. Sebagian
memandang demokrasi sebagai suatu keniscayaan sejarah. Ada pula yang menolaknya lantaran konsep demokrasi
berbau barat (western terminology). Ada pula kelompok intelektual muslim moderat yang memposisikan diri dengan
mencoba mensintesakan kedua kubu pemikiran tersebut. Dalam waktu bersamaan, ketika demokratisasi itu
diperjuangkan, fajar baru harapan muncul partisipasi publik atau masyarakat secara seimbang akan dapat
diwujudkan. Dan tampaknya, sebuah masyarakat dengan nuansa emansipasi partisipatoris itulah menjadi obsesi
K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). 14
Argumentasi penyusun memilih K. H. Abdurrahman Wahid sebagai tokoh yang dikaji, karena keberaniannya,

kekuatan, dan keyakinannya dalam mengemukakan pemikirannya tanpa ada rasa takut terhadap resiko yang akan
dihadapi. K. H. Abdurrahman Wahid termasuk tokoh agama dan politik di Indonesia yang pemikiran dan sepak
terjangnya sering dipandang kontroversial. Karena, pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid memang sangat sering
memancing reaksi pro-kontra dan mengundang perdebatan, apalagi baik pemikiran ataupun perilakunya tak jarang
yang melawan arus atau menyimpang dari wacana publik yang lazim terutama bagi umat Islam. Ada yang memuji
dan simpati , atau mencoba netral dan tak mau peduli, atau menyatakan terang-terangan ketidak senangan dan
beroposisi terhadapnya.
Prof. DR. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif pernah mengatakan, bisa jadi kekontroversialnya muncul karena banyaknya
kemampuan yang dimilikinya, atau mungkin juga ia memang memiliki karakter unik yang berbeda dari manusia
kebanyakan.15 K. H. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Dur yang menarik adalah watak liberal
yang melekat pada sosok Gus Dur selama ini ternyata masih ada walaupun ia berposisi sebagai decision
maker( membuat keputusan), bahkan mungkin orang yang paling penting tidak hanya bagi satu kelompok, tapi bagi
banyak kelompok yang tentunya jauh lebih beragam, mulai dari tingkat tradisional sampai internasional dapat
beradaptasi dengan baik.
Terlepas dari persoalan di atas, keunikannya justru merangsang banyak orang untuk melakukan segala penafsiran
tentang orisinalitas pemikiran Gus Dur. Namun, dari sekian banyaknya tafsiran, penjelasan dan eksplorasi tentang
Gus Dur tidak kemudian bisa dikatakan sebagai kesimpulan akhir tentang pemikiran Gus Dur. 16
Mengenai penyusun memberikan batasan waktu terhadap kajian pemikiran K. H .Abdurrahman Wahid , yaitu mulai
tahun 1999-2003. karena setelah habis masa jabatan K. H .Abdurrahman Wahid menjadi ketua umum PBNU, secara
mengejutkan K. H .Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Dalam masa cukup singkat

kekuasaanya itu, K. H .Abdurrahman Wahid sesungguhnya memiliki sejarah besar membangun demokrasi,
kebebasan pers dan berbicara, serta perjuangan hak-hak kaum minoritas. K. H .Abdurrahman Wahid selama
berkuasa menjadi Presiden telah memberikan wacana yang menarik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Paling tidak, selama kurang dua tahun menjadi Presiden banyak sekali sumbangan K. H .Abdurrahman Wahid bagi
bangsa. Bahkan, proyek desakralisasi istana, supremasi sipil, deformalisasi Islam, perebutan tafsir konstitusi (konflik
dengan parlementer) menjadi wacana politik yang menakjubkan di masanya.17
Setelah lepas jabatan menjadi Presiden Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid masih tetap gigih
memperjuangkan demokrasi di negara Indonesia, walaupun juga kadang melakukan tindakan otoriter. Demokrasi

yang diperjuangkan K.H. Abdurrahman Wahid, bukanlah demokrasi ala barat maupun timur, melainkan demokrasi
yang memang bersumber dari martabat kemanusiaan, berupa nilai-nilai moralitas, intelektualitas, religiusitas dan
hati nurani yang bersifat fithriah.18
B. Pokok Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, terdapat permasalahan yang layak dikaji,yaitu :
1. Bagaimana pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid tentang demokrasi.
2. Analisis terhadap pemikiran demokrasi K.H. Abdurrahman Wahid tahun 1999-2003.
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dan kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah :
1.Tujuan
1. Untuk menjelaskan bagaimana konsep demokrasi menurut

K.H. Abdurrahman Wahid.
b. Untuk melihat manuver politik K.H. Abdurrahman Wahid tahun 1999- 2003.
2. Kegunaan
1. Kegunaan dari penyusunan skripsi ini adalah diharapkan dapat menambah wawasan
pengetahuan pemikiran Islam khususnya yang menyangkut tentang demokrasi.
2. Untuk memberikan kontribusi kepada penyusunan lebih lanjut, terutama yang berminat
dibidang politik Islam.

D. Telaah Pustaka
Penyusun mencoba mengkaji dan menyajikan pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid utamanya dalam perjuangannya
yang gigih dalam menegakkan demokrasi. Memang sudah cukup banyak buku-buku atau tulisan yang membedah
tentang pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid , diantaranya :
Buku Gus Dur NU dan masyarakat sipil, di dalam buku ini berisi tujuh artikel yang ditulis oleh orang dalam dan
luar negeri. Di dalam buku ini ada satu artikel yang menulis tentang pembahasan K. H. Abdurrahman Wahid yaitu:
“Pemahaman K. H. Abdurrahman Wahid tentang pancasila dan penerapannya dalam era pasca asas tunggal”, ditulis
oleh : Douglas E. Ramage, Ph. D. Tulisan ini disusun untuk keperluan yang khas :mengkaji pikiran-pikiran dan
perilaku politik pemimpin NU K. H. Abdurrahman Wahid berkenaan dengan pancasila. Menurut pendapat K. H.
Abdurrahman Wahid, pancasila adalah serangkain prinsip-prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik
tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan.19 Namun dalam tulisan ini tidak mencakup seluruh keberadaan
NU, terlebih lagi tentang politik Islam di Indonesia, serta tidak ada tulisan yang membahas tentang demokrasi dalam

Islam. Sebagai editor buku ini adalah Ellyasa K. H. Dharwis.
Selanjutnya buku Tuhan tidak perlu dibela Abdurrahman Wahid di dalam buku ini merupakan kumpulan tulisantulisan yang diambil dari majalah Tempo dasa warsa 1970-an dan 1980-an. Didalam buku ini terdiri atas tiga
bagian . Bagian pertama, Refleksi kritis pemikiran Islam, Bagian kedua, intensitas kebangsaan dan kebudayaan ,
dan Bagian ketiga, Demokrasi ideologi dan pengalaman politik luar negeri. Disini Gus Dur menggambarkan
bagaimana paradoks-paradoks yang terjadi di sekitar pemikiran Islam, perdebatan politik, sosial keagamaan dan
ideologi antar kelompok dalam konteks kebangsaan Indonesia. Akan tetapi pada bab ketiga kurang memaparkan
pengalaman demokrasi di dalam negeri (Indonesia), dan pemikiran-pemikiran demokrasi yang dikembangkan dari
ajaran agama Islam, inilah yang menjadi konsern dan konsistensi yang tinggi oleh K. H. Abdurrahman Wahid dalam
mensikapi, mengarahkan, dan sekaligus menjadi basis pemikiran kehidupan negara bangsa Indonesia.. Diterbitkan
oleh LkiS bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford foundation.
Selanjutnya buku PKB jendela politik Gus Dur di dalam buku ini membahas bagaimana warga NU membangun
suatu partai yang telah di deklarasikan pada 23 juli 1998 di kediaman Gus Dur Ciganjur, Jakarta. Dengan di beri
nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB diharapkan benar-benar bisa menjadi wadah poilitik warga NU untuk
berperan secara optimal. Karena selama pemerintahan rezim Soeharto, kekuatan politik warga NU selalu di kebiri
dan di pinggirkan secara sistematik. Maka kehadiran PKB ditingkat perpolitikan nasional sungguh merupakan kajian
yang menarik, apalagi dikaitkan dengan tokoh sentralnya, Gus Dur, yang pada tutup tahun 1998 menyajikan
“akrobat” politik yang benar-benar menakjubkan. Buku ini disusun oleh Asmawi atas dorongan dan prakarsa Fauzi
Rahman, selaku direktur utama penerbit Titian Ilahi Press.
Buku Islam Demokrasi atas bawah polemik strategi perjuangan umat model Gus Dur dan Amien Rais di dalam
buku ini berisi tentang pemikiran kedua tokoh organisasi besar di Indonesia yaitu K. H. Abdurrahman Wahid (Gus


Dur) dan Amien Rais, bahwa kedua tokoh tersebut memiliki pemikiran yang berbeda. Di dalam buku ini berisi
kumpulan artikel tentang demokrasi dan politik. Terdapat dua artikel yang membahas tentang K. H Abdurrahman
Wahid, yaitu :
1. “Gus Dur dan perbedaan politik umat” di tulis oleh Muhammad AS Hikam. Di dalam tulisan ini ada tiga
kepedulian utama pemikiran politik K. H. Abdurrahman Wahid, yaitu :
a. Revitalisasi khasanah Islam tradisional Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya kurang di pahami dan
dikembangkan oleh NU.
b. keterlibatan dalam wacana dan kiprah modernitas.
c. pencarian jawaban atas persoalan konkrit yang dihadapi umat Islam bangsa Indonesia. 20)
2. “Islam pluralisme dan demokratisasi” di tulis oleh K. H. Abdurrahman Wahid, menulis tentang perkembangan
hubungan Islam dan sistem kekuasaan yang menunjukkan gambaran menarik pada dua puluh lima tahun pertama di
masa orde baru. Selama kurun waktu itu, telah terjadi perkembangan gerakan Islam yang berlawanan arah akibat
ambivalensi kebijakan-kebijakan pemerintah. Di satu pihak, dapat disaksikan bahwa sebagai kekuatan politik
formal, Islam telah berhasil di gusur dari panggung politik oleh
kebijakan dealiranisasi atau dekonfessionalisasi yang dilakukan pemerintah, sedangkan di pihak lain, kekuatan
politik informal Islam berkembang dengan baik.21 Sebagai penyunting buku ini adalah Arief Afandi.
Buku membaca pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi di tulis oleh Umaruddin Masdar. Buku ini
mengkategorisasikan sebagai upaya rekonsiliasi peradabanIslam barat menyangkut gagasan demokrasi. Penelitian
buku ini berusaha menemukan titik temu dan merunut kompatibilitas Islam dan demokrasi. Melalui usaha elaboratif

metodologi us}u>l fiqh, titik temu atau kompatibilitas itu akan dijadikan konteks diskursus intelektual Sunni vis a
vis pemikiran politik Syi’i, dengan menjadikan pemikiran Amien Rais dan K. H. Abdurrahman Wahid sebagai
obyek sentral penelitian.
Di dalam buku ini tidak membahas keberhasilan pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid dalam membuktikan vitalitas
dan telah mampu merubah kultur Islam tradisional dalam wacana dan kiprah modernitas. Karena pemikiran dan
strategi pemberdayaan demokrasi yang diperjuangkan K. H. Abdurrahman Wahid terjadi banyak tantangan.
Tantangan dan hambatan baik dari NU sendiri maupun dari kelompok di luarnya, termasuk negara, senantiasa
muncul.
Selanjutnya buku Demokratisasi dan prospek hukum Islam di Indonesia studi atas pemikiran Gus Dur, ditulis oleh
Abdul Ghofur, M.Ag, diterbitkan atas kerjasama Walisongo Press dengan pustaka pelajar. Buku ini di tulis oleh
saudara Abdul Ghofur, yang merupakan hasil kerja kerasnya dalam menyelesaikan Tesis S.2 di IAIN Syarif
Hidayatullah (sekarang UIN) Jakarta. Buku ini mecoba memotret dan menyajikan pemikiran Gus Dur utamanya
dalam perjuangannya yang gigih melakukan demokratisasi dan substansi hukum Islam. Di dalam buku ini menulis
pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi, yaitu : pemikiran ke Islaman dan gagasan Demokratisasi
K. H. Abdurrahman Wahid. Di dalam bab ini terdapat tiga kelompok dari empat tokoh, antara lain :
1. Greg Barton, 2. Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, 3. AS Hikam. Dari ketiga kelompok tersebut mengemukakan
pendapatnya pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid seorang intelektual dan agamawan di kalangan tradisional
Ahlussunnah Waljama’ah yang lebih mengedepankan pada pendekatan kontekstual dari pada tekstual dan mencoba
memadukan pemikiran khazanah pemikiran Islam tradisional dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat
modern.

Di dalam bab ini K. H. Abdurrahman Wahid tidak sekedar menggunakan produk-produk pemikiran Islam
tradisional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan metodologi (manhaj), teori hukum (us}u>l fiqh), dan kaidahkaidah hukum (Qawa>id Fiqhiyah) dalam kerangka pembuatan suatu sintesa untuk melahirkan gagasan baru
sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual di masyarakat. Akan tetapi di dalam buku ini tidak ada dalil
Al-Qur’an/Nash sebagai dasar demokrasi dalam Islam, dan di dalam buku ini tidak mengkaji tentang analisa
demokrasi pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang meliputi aplikasi demokrasi, transisi demokrasi, Militer dan
demokratisasi.
Dan juga masih banyak lagi tulisan-tulisan yang membahas pemikiran
K. H. Abdurrahman Wahid, baik berupa buku, artikel, dan lain-lain. Dari berbagai karya tentang K. H.
Abdurrahman Wahid, sepanjang pelacakan data yang dilakukan penyusun, belum ada satu karya yang secara khusus
membahas dan mengungkapkan secara jelas tentang pemikiran deskriptif K. H. Abdurrahman Wahid mulai tahun,
dengan analisa demokrasi pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid yang meliputi aplikasi demokrasi, transisi
demokrasi, Militer dan demokratisasi.
E. Kerangka Teoritik
Pemerintahan dalam Islam adalah pemerintahan demokratis berdasarkan musyawarah. Islam tidak membatasi
bagaimana cara bermusyawarah. Inilah sistem bersifat intern yang bisa berubah sesuai dengan situasi dengan
memandang waktu dan tempat, dan merupakan kebebasan jama’ah dalam ketentuan dan penerapannya. 22

Definisi Demokrasi oleh Lincoln, yaitu pemerintahan rakyat, melalui rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Makna,
tanpa diragukan lagi, telah tercakup dalam sistem pemerintahan Islam, kecuali bahwa pengertian istilah masyarakat
harus dipahami secara tertentu dan menyeluruh.23

Sistem kenegaraan/pemerintahan dalam Islam harus dibedakan antara teori dan praktek. Teori adalah konsep-konsep
yang tertulis dalam Nas} (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad S. A. W. ). Praktek adalah praktek yang
dilakukan kaum muslim sepanjang sejarah Islam. Nas} (Al-Qur’an) yang berbicara tentang prinsip-prinsip dan
sistim pemerintahan/kenegaraan. Diantaranya adalah :
24
‫وا لذ ين استجا بوا لربهم واقاموا ا لصلوة وا مرهم شورى بينهم ومما رزقنا هم ينفقون‬
25
‫فا ع نهم واستتفرلهم وشاورهم فى المر‬
26
‫برا ة من ل ورسوله الى الذ ين ا هد تم من المشركين‬
Dari ketiga ayat tersebut dapat ditegaskan beberapa prinsip :
1. Kedaulatan adalah di tangan rakyat ( umat)
2. Bentuk pemerintahan adalah berdasarkan Musyawarah ( Syu>ra)
3. Kepala pemerintahan adalah Imam atau khalifah, yaitu pelaksana Syari’ah (ajaran Islam).

4. Kepala pemerintahan diangkat dan diberhentikan oleh rakyat (umat).27
Imam Razi berkata saat menafsirkan ayat Al-Qur’an
28

‫يايها ا لذ ين ا منوا ا طيعوا ا ل وا طيعوا ا لرسول وا ولىا لمرمنكم‬
Perintah Allah S. W. T untuk taat disini bersifat pasti. Dan siapa yang diperintahkan untuk ditaati haruslah sosok
yang ma's}um, sehingga perintah Allah itu tidak membawa pada perbuatan yang salah dan mengikuti kesalahan itu.
Kemudian dia mengatakan bahwa sosok yang maksum itu tidak dapat dicerminkan seorang individu atau sebagian
umat, namun merupakan bentuk kolektif umat itu, yang terwakilkan dalam diri ahli ijtihad.
Firman Allah Surat An-Nisa’ (4) : 59 dapat dijadikan dalil atas validitas Ijma’ sebagai sumber hukum. Disimpulkan
dari situ bahwa yang dimaksud dengan ulil amri itu adalah ahlul halli wal aqdi, dari ulama’ umat yang mampu
berijtihad dan menyimpulkan hukum, jika mereka bersepakat dalam sesuatu.29
Muhammad Abduh menyamakan Ahl al-Hall Wa al-‘aqd dengan ulil Amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat AnNisa’ : 59. Ia menafsirkan Ulil Amri atau Ahl al-Hall Wa al-‘aqd sebagai kumpulan orang dari berbagai profesi dan
keahlian yang ada dalam masyarakat.30 Ahl al-Hall Wa al-‘aqd lembaga yang paling dikenal sebagai
pelaksana syura.Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan secara eksplisit ditegaskan oleh
Al-Qur’an surat Asy-Syura (42) : 38.
Sesuai dengan kedudukannya sebagai sekedar salah satu elemen demokrasi dan sesuai pula dengan kenyataan bahwa
Islam menetapkan syu>ra baru dalam bentuk prinsip umum yang penjabarannya diserahkan kepada umat pada
setiap masa dan tempat, maka semata-mata Syura tidak dapat menjamin tegaknya kehidupan yang
demokratis. Syu>raakan berhasil jika memang tersedia situasi dan kondisi yang kondusif, yakni ketika elemenelemen demokrasi yang lain seperti kesetaraan, pertanggungjawaban, keadilan dan kebebasan benar-benar telah
tegak dalam masyarakat. Tanpa tersedianya situasi dan kondisi semacam itu, mustahil untuk mengharapkan
berlangsungnya Syu>ra dengan demokratis.31
Menurut Hasan al-Turabi : Sebagian orang mengartikulasikan demokrasi semuanya dan bukan didasarkan pada
hakekat maknanya secara gramatikal-yakni pemerintahan oleh rakyat-bahkan juga bukan bagaimana demokrasi
diartikan di barat. Sepanjang sejarah perjalanannya di barat, kata demokrasi dikaitkan erat dengan sekularisme dan
hal itu tentu saja bertentangan dengan sifat gerakan Islam. Dengan politik yang amoral demokrasi tentu saja menjadi
sesuatu yang ditentang. Sama sekali jauh dari sifat-sifat agama. 32
Tujuan demokrasi dalam Islam adalah menolak diktatorisme yang berkuasa, menolak kekuasaan penguasa yang
sewenang-wenang, yang pada saat sekarang lazim disebut Tiran. Karena maksud dari demokrasi ialah
pemberdayaan rakyat untuk memilih para penguasa seperti mereka kehendaki, memperhitungkan perilaku mereka,
menolak perintah mereka jika bertentangan dengan undang-undang negara, yang jika di Istilahkan menurut Islam :
Jika mereka kepada kedurhakaan. Mereka berhak mencopot para penguasa itu jika menyimpang, tidak mau
menerima nasehat dan peringatan.33
Islam adalah agama yang mengajak kepada keadilan, melawan penindasan, menolak eksploitasi dan manipulasi serta
membebaskan manusia dari praktek-praktek ekonomi dan politik tidak bermoral. Substansi ditegakkannya nilai dan
praktek demokrasi adalah dalam upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum. Dan ini secara nyata
tercermin dan dipraktekkan oleh Nabi dan al-khulafa ar-Rasyidun pada masa awal Islam. 34
Demokrasi bisa diambil sebagai sebuah sistem politik utuh dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tapi,
hanya sebatas tataran pranata sosial-politik An-sich. Sebaliknya, menolak dengan tegas ‘demokrasi’ dengan embel-

embel ideologi tertentu. Apa yang diajarkan Nabi dalam praktek negara Madinah menunjukkan adanya
kehidupan ‘Demokratis’ berdasarkan aturan wahyu Ilahi.35
Menurut K. H. Abdurrahman Wahid , landasan demokrasi adalah keadilan dalam arti terbukanya peluang kepada
semua orang dan berarti juga kemandirian untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini. Intinya
demokrasi menuntut adanya otonomi setiap individu. Akan tetapi demokrasi tidak mengakui adanya kemutlakan,
sebab dasarnya demokrasi merupakan proses tawar-menawar dan negosiasi secara terus-menerus. Dengan demikian
demokrasi selalu menyisakan hal-hal yang masih bisa dinegosiasikan. Dalam konteks ini K.H. Abdurrahman Wahid
berpendapat bahwa perjuangan menegakkan demokrasi tidak bisa dilakukan sekali jadi, tapi butuh waktu yang
panjang dan kesabaran yang tinggi disamping juga keseriusan.36
Melalui pendekatan sejarah berkembangnya pemikiran demokrasi K.H. Abdurrahman Wahid pada waktu
terbentuknya forum demokrasi. Forum demokrasi terbentuk setelah terjadinya peristiwa Tabloid Monitor dan
didirikannya ICMI. Pada bulan oktober 1990 terjadi sesuatu yang merupakan alamat buruk bahwa telah terjadi
peralihan serius dalam kebijakan rezim yang berkuasa terhadap Islam. Hal ini berkaitan dengan Tabloid
pop Monitor. Tabloid ini mempunyai hubungan dengan harian Kompas dan the Jakarta post lewat penopangpenopangnya, yang merupakan orang-orang Cina Katolik.37
Munculnya ICMI dengan dukungan penuh Presiden Soeharto membuat khawatir K.H. Abdurrahman Wahid dan
yang lain-lainnya, seperti Djohan Effendi, yang merasa bahwa Soeharto berencana menggunakan santri konservatif
untuk mendukungnya dalam usahanya agar terpilih kembali sebagai Presiden. K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus
Dur merasa prihatin bahwa dibentuknya perhimpunan kaum elit intelektual Islam ini akan mendorong tumbuhnya
sentimen sektarian dan dengan demikian akan dimainkan oleh kaum konservatif.
K.H. Abdurrahman Wahid dan sejumlah teman yang sepaham dengannya merasa prihatin dengan meningkatnya
arus sektarianisme atau aliran. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membentuk suatu organisasi untuk
membela pluralisme dan demokrasi. Pada awal 1991, empat puluh intelektual yang berasal dari berbagai kelompok
agama dan masyarakat di Indonesia mendirikan Forum demokrasi. K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih
menjadi ketua dan juru bicara forum ini. Ketenaran dan pengaruh Gus Dur akan membuat organisasi baru ini
mendapatkan kepercayaan publik. Forum demokrasi didirikan untuk memberikan kekuatan pengimbang terhadap
lembaga-lembaga seperti ICMI yang mendorong tumbuhnya pemikiran sektarian. 38
Elaborasi demokrasi menurut K.H. Abdurrahman Wahid berangkat dari paradigma kontekstualisasi pemikiran
Fiqh dan Qawa>id Al-Fiqh. K.H. Abdurrahman Wahid secara tegas dan siap memperlihatkan perhatiannya yang
tinggi terhadap perubahan dan persoalan-persoalan masyarakat modern, termasuk masalah demokrasi dan hak asasi
manusia. K.H. Abdurrahman Wahid menerima terhadap gagasan demokrasi modern dengan
sendirinya legitimasi secara Fiqh.39
Menurut Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, yang mengelompokkan pemikiran K.H. Abdurrahman Wahid
sebagai Neo-Modernisme. Pola pemikirannya mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam
pergaulan modernisme dan hal ini tidak harus dengan menghilangkan tradisi Islam yang mapan. Dalil yang
mendasari pemikiran ini adalah :
40
‫المماففظة لى القد يم ا لصالح والاذ بالجد يد الالح‬
Mengisi proses perubahan pasca otoriterisme di Indonesia saat ini, salah satu agenda krusial yang belum
terselenggara adalah melakukan penataan ulang hubungan sipil militer dalam kerangka demokrasi yakni
membangun sebuah sistem politik yang menempatkan posisi militer dalam kerangka demokrasi, dengan meminjam
Huntington (1957) sebagai militer profesional yang dikontrol secara obyektif oleh supremasi sipil. Sebagaimana
pengalaman berbagai negara, gelombang demokratisasi ternyata juga diikuti demilitereisasi. Biasanya, salah satu
problem serius negara-negara demokrasi baru itu adalah membendung kekuasaan dan pengaruh politik militer,
memposisikan militer tunduk pada pemerintahan sipil demokratis, lalu mejadikan angkatan bersenjata suatu badan
profesional berkomitmen melindungi keamanan negeri.41
Strategi dalam istilah militer menunjukkan pemanfaatan praktis atas semua sumber daya yang tersedia yang dimiliki
oleh suatu negeri untuk mecapai tujuannya dengan cara militer. Jika terjadi pertentangan kepentingan, pertentangan
tersebut dapat diselesaikan dengan jalan damai, tetapi jika pada pihak lain, kemungkinan untuk mencapai
pemecahan yang tersisa adalah tindakan militer tetapi banyak faktor yang ikut mempengaruhinya secara langsung
ataupun tidak langsung.42
Menilai kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai komandan militer. Nabi Muhammad SAW memiliki banyak sifat
yang membuatnya disukai oleh setiap orang yang berhubungan dengannya dan yang membuatnya menjadi pujaan
para pengikutnya. Beliau sangat ramah, sopan, rendah hati dan penyayang dan menarik hati orang-orang sehingga
mereka bersedia untuk mengorbankan segalanya untuknya.43
Nabi Muhammad SAW selalu siap untuk mengadakan perdamaian kapan saja diperlakukan, karena beliau tidak
pernah menginginkan perang dengan siapapun juga, melainkan harus melakukannya karena dipaksa oleh musuhnya.

Tujuan utamanya melakukan peperangan adalah untuk menghapuskan agresi dan penindasan dan memulihkan
perdamaian di muka bumi. Qur’an menyebutkan prinsip ini dengan kata-kata berikut :
44
.‫ وا ن يريد وا ا ن يخد وك فا ن بس ا ا ل هوا لذي ا يد ك بنصره و با لمؤمنين‬.‫وا ن جنموا للسلم فا جنح لها وتوكل لى ا ل ا نه هوا لسميع ا لعليم‬
Menurut Huntington, pemberlakuan prinsip supremasi sipil identik dengan kontrol yang efektif dari pihak
sipil terhadap militer dengan membuat militer sebagai lembaga yang profesional. 45 karenanya, dari sekarang
sebenarnya telah dituntut kesediaan bersama untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi
yang hidup di negeri Indonesia. Perjuangan itu haruslah di mulai kesediaan menumbuhkan moralitas baru dalam
kehidupan bangsa, yaitu moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan rakyat di bawah. 46
F. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dalam melacak data,
menjelaskan, menyimpulkan obyek pembahasan dalam skripsi ini penyusun menempuh metode-metode sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan, library research, karena itu tehnik yang
digunakan adalah pengumpulan data secara literatur yaitu penggalian bahan-bahan pustaka yang koheren dengan
obyek bahasan.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, yaitu dengan memaparkan pemikiran-pemikiran demokrasi dalam Islam
kajian terhadap K. H. Abdurrahman Wahid yang nantinya dilakukan analisis dengan kerangka teori.
3. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dipakai dalam penelitian ini,adalah :
Pendekatan normatif (Agama)
Normatif adalah prinsip-prinsip atau pedoman-pedoman yang menjadi petunjuk manusia pada umumnya untuk
hidup (bermasyarakat).47Pedekatan ini penyusun gunakan untuk mendekati masalah dalam skripsi dengan melihat
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kaidah-kaidah menguji relevansi dan keabsahan Demokrasi dalam Islam serta
pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid.
4. Pengumpulan Data
Mengingat jenis penelitian ini adalah metode dokumentasi, yakni menelaah data primer dan sekunder. Sedangkan
tokoh yang dikaji masih hidup, maka tokoh tersebut diposisikan sebagai sumber data primer. Namun sumber data
primer berupa tulisan beliau yang sudah dijadikan buku, yaitu karya buku Tuhan tidak perlu di bela Abdurrahman
Wahiddan Prisma pemikiran Gus Dur Buku ini merupakan kumpulan tulisan K. H Abdurrahman Wahid yang di edit
oleh Muhammad Sholeh Isre dan diterbitkan oleh LkiS Yogyakarta. Data sekundernya adalah buku-buku yang
berkaitan dengan topik skripsi dan sumber data lainnya baik berupa jurnal, majalah, surat kabar dan lainnya.
5. Analisis Data
Analisis yang digunakan dengan analisa kualitatif dengan pemaparan secara deduktif, yaitu metode yang bertitik
tolak dari pengetahuan yang bersifat umum, untuk kemudian diperoleh pengertian yang bersifat khusus.
G. Sistematika Pembahasan
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah, maka akan dibagi menjadi lima bab, yang masing-masing bab
saling erat kaitannya.
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menjadi landasan ide dasar lahirnya dari skripsi ini. Dengan membaca
bab pertama ini akan dapat diperoleh gambaran apa sebenarnya yang melatar belakangi perlunya pembahasan
mengenai demokrasi dalam Islam kajian terhadap pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid serta signifikansinya
terhadap khazanah keilmuan yang telah ada. Dalam bab ini di paparkan mulai dari latar belakang masalah sampai
munculnya pokok permasalahan, Tujuan dan Kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, pendekatan dan
metode yang digunakan dalam penelitian, serta sistematika pembahasan.
Selanjutnya Bab kedua, membahas tentang gambaran umum tentang demokrasi dalam sebuah pemahaman yang
meliputi : pengertian Demokrasi, sejarah demokrasi, beberapa konsep Demokrasi, serta relevansi demokrasi dengan
Islam. Bab II akan menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud demokrasi dan bagaimana demokrasi di dalam
Islam. Penjelasan ini penyusun anggap perlu sebab untuk mengetahui apa sesungguhnya demokrasi. Setelah itu,
perlu pula dijelaskan bagaimana hubungan demokrasi dengan ajaran agama Islam.
Bab ketiga, membahas tentang Biografi K. H. Abdurrahman Wahid meliputi :
Latar belakang keluarga, pendidikan, serta sosial-politik yang mengitarinya dan pemikiran K. H. Abdurrahman
Wahid yang berkaitan dengan demokrasi. Hal ini penyusun anggap penting, karena untuk mengetahui secara
komprehensif gagasan yang dilontarkan dan diperjuangkan oleh K. H. Abdurrahman Wahid, penyusun terlebih

dahulu harus mengetahui bagaimana situasi dan kondisi lingkungan yang telah membentuk dirinya. Dan mengetahui
apa latar belakang pemikiran dan gagasan yang dilontarkan tersebut secara global.
Selanjutnya Bab keempat, berisi tentang analisis terhadap pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tentang demokrasi
yang meliputi : Aplikasi demokrasi menurut K. H. Abdurrahman Wahid, K. H. Abdurrahman Wahid dan transisi
demokrasi,. K. H. Abdurrahman Wahid dan militer dan demokratisasi. Bab ini memperlihatkan manuver politik
tentangdemokrasi menurut pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid tahun 1999-2003.
Bab terakhir yaitu Bab kelima, sebagai bab penutup yang terdiri dari: kesimpulan dan saran-saran, kemudian diakhiri
dengan daftar pustaka, serta lampiran-lampiran. Dalam uraian kesimpulan tersebut berisi tentang pokok pikiran
sebagai hasil refleksi panjang penyusun. Didalam kesimpulan akan membandingkan pemikiran demokrasi K. H.
Abdurrahman Wahid dengan pemikiran tokoh Islam yang lain. Apakah pemikiran K. H. Abdurrahman Wahid
identik dengan salah satu tokoh Islam yang lain.

BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG DEMOKRASI

A.Pengertian Demokrasi
Dalam arti harfiahnya, demokrasi (Inggris : Democracy) berasal dari bahasa Yunani, yani demos artinya rakyat
dan kratia artinya pemerintahan. Dengan demikian demokrasi berarti pemerintahan (oleh) rakyat.48 Prinsip
terpenting demokrasi adalah kewarganegaraan(citizenship). Ini mencakup hak untuk mendapatkan perlakuan sama
dengan orang lain berkenaan dengan pilihan-pilihan bersama, dan kewajiban pihak yang berwenang melaksanakan
pilihan tersebut untuk bertanggungjawab dan membuka akses terhadap seluruh rakyat. Sebaliknya, prinsip ini juga
membebankan kewajiban pada rakyat, untuk menghormati keabsahan pilihan-pilihan yang bersama secara sengaja,
dan hak penguasa untuk bertindak dengan kewenangan, untuk mendorong efektivitas pilihan-pilihan ini, serta untuk
melindungi negara dari ancaman-ancaman atas kelangsungannya. 49 Secara faktual demokrasi telah menjadi
semacam spirit radikal yang bercakupan universal bagi individu dan sekelompok individu yang bernaung dibawah
institusi negara untuk terlibat dalam perdebatan dan pergulatan publik dalam rangka mewujudkan cita-cita
kemanusiaan universal yang terbentuknya tata sosial yang adil, egaliter dan manusiawi.50
Sementara itu secara terminologis demokrasi sebagai berikut :
a. Menurut Josefh A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan
politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas
suara rakyat.
b. Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang
penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas
dari rakyat dewasa.
c. Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn karl, demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana
pemerintah dimintai tanggungjawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik warga negara, yang bertindak
secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerjasama dengan para wakil mereka yang telah terpilih. 51

Secara teoritis, bahwa demokrasi sejak semula mempunyai dua pengertian, yaitu : demokrasi dalam arti formil dan
demokrasi dalam arti materiil. Arti demokrasi secara materiil, ialah bahwa inti dari demokrasi itu justru terletak
dalam jaminan yang diberikan terhadap hak-hak yang berdasar pada pengakuan kemerdekaan tiap-tiap orang yang
menjadi warga negara. Arti demokrasi secara formil hanya sekedar mengandung pengakuan bahwa faktor yang
menentukan dalam negara ialah kehendak rakyat yang kemudian menjadi sebagian besar dari rakyat (Volonto
general : dari Rousseau), akan tetapi dengan tidak ada sesuatu pembatasan untuk menjamin kemerdekaan seseorang.
Pengertian demokrasi materiil yang kian lama memberikan pengaruh dalam pengertian demokrasi hingga dewasa
ini. walaupun demokrasi dalam arti formil tidak ditinggalkan, namun demokrasi dalam arti materiil di pandang
sesuai dengan tujuan demokrasi yang sebenar-benarnya.
Dalam peneterapannya, demokrasi itu direalisir dalam dua tahap, yaitu : menyusun kekuasaan dan pelaksanaan
kekuasaan. Pada tahap petama, demokrasi itu mempunyai sifat langsung dan pada tahap kedua sifatnya tidak
langsung. Yang langsung, ialah adanya pemberian suara oleh 80 rakyat dalam pemilihan umum, sedangkan yang
tidak langsung dalam penyusunan kekuasaan itu, ialah adanya keharusan tanggungjawab pemerintah kepada
perwakilan rakyat, dan dalam kerjasama diantara kedua instansi itu mewujudkan dasar-dasar umum kebijaksanaan
pemerintah.52
Demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Definisi yang tepat sulit dirumuskan karena demokrasi merupakan
sebuah entitas dinamis yang memiliki berbagai macam pengertian sepanjang waktu. Banyak dari dinamika ini
berasal dari perubahan dalam masyarakat dan berbagai analis mengenai konsekuensi perubahan bagi demokrasi.
Dengan pembangunan masyarakat diberbagai tingkat dan melalui cara yang berbeda-beda dewasa ini, tidaklah
mengherankan bahwa makna demokrasi masih menjadi bahan perdebatan.
Untuk keperluan analitis, perlu membangun sebuah konsep yang memberikan identifikasi yang jelas mengenai
apakah esensi dari demokrasi. Inti dari demokrasi politik mempunyai tiga dimensi : kompetisi, partisipasi, serta
kebebasan sipil dan politik. Ketika mengkaji status demokrasi disuatu negara, langkah pertama yang harus diambil
adalah melihat ketiga elemen tersebut. Dalam konteks ini perlu diperhatikan salah satu indeks demokrasi-misalnya,
indeks Freedom House. Dalam rangka membuat penafsiran demokrasi secara komprehensif, juga harus mengkaji
suatu negara secara cermat karena sistem demokrasi sangat bervariasi dalam hal pola kelembagaan dan dalam
dimensi lainnya. Kondisi sosial ekonomi juga mempengaruhi kualitas demokrasi.53

B. Sejarah Demokrasi
Menurut catatan sejarah, di Yunani kuno pernah ada demokrasi, yang lebih sering disebut demokrasi langsung.
Sebab Yunani waktu itu hanya sebuah negara kecil atau bahkan barangkali hanya sebuah kota kecil (city state).
Dalam logika sederhana, pelaksanaan demokrasi dalam satu wilayah yang sekecil itu tentu merupakan sesuatu yang
mudah diterima akal.54
Kisah demokrasi modern dimulai 2500 tahun yang lalu dalam lingkungan budaya sebuah bangsa kecil yang juga
menjadi tempat kelahiran filsafat sebagai ilmu serta salah satu pusat kreativitas seni terbesar segala zaman, yakni
bangsa Yunani. Tepatnya pada tahun 508 SM, seorang yang bernama Chleisthenes mengadakan beberapa
pembaruan dalam sistem pemerintahan kota Athena. Bentuk pemerintahan baru itu kemudian
dinamakan Demokratia ,” pemerintahan (oleh) rakyat”,.
Asal-usul demokrasi sebagai sesuatu sistem politik dapat ditelusuri sampai pada sekitar lima abad sebelum masehi,
ketika orang-orang Yunani membentuk Polis (Negara-Kota) mencoba menjawab pertanyaan bagaimana suatu sistem
politik harus diorganisasikan agar dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan bersama masyarakat. 55
Dua puluh tiga abad setelah eksperimen demokrasi di Athena, dunia menyaksikan berbagai bentuk sistem politik
yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan prinsip-prinsip demokrasi. Yang mendominasi sejarah
adalah monarchi, kesultanan dan negara-negara teokratik. Sementara eksperimen demokrasi dapat dikatakan sudah
tenggelam dalam sejarah. Puncak peradaban di India, Cina, Timur Tengah semasa kejayaan Islam dan kebangkitan
Eropa tidak berhutang budi sedikitpun pada konsep demokrasi.
Di zaman pertengahan (600-1400M), gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia barat
waktu bangsa Romawi, yang sedikit banyak masih mengenal kebudayaan Yunani, dikalahkan oleh suku bangsa
Eropa Barat. Dimana masyarakat abad pertengahan di dirikan struktur sosial yang feodal, yang kehidupan sosial
spiritualnya dikuasai oleh paus dan pejabat-pejabat agama serta kehidupan politiknya ditandai oleh adanya
perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Akan tetapi dilihat dari sudut perkembangan demokrasi
abad pertengahan menghasilkan suatu dokumen penting yaitu Magna Charta (Piagam agung) pada tahun 1215M.
Selanjutnya pada akhir abad ke-15 dan abad ke-16 sebagai awal dari zaman Renaissance.56) Di Eropa muncul teori
politik yang mulai mempertanyakan segi-segi manusia dalam hubungan antara penguasa dan rakyat serta kedudukan
agama dalam masalah-masalah publik. Tokoh-tokoh pemikir seperti Nicollo Mochiavelli (1469-1527) dari Italy

dengan ide sekulerismenya, Jean Bodin dari Prancis dan Thomas Hobbes (1588-1679) dari Inggris dengan ide
negara kontraknya, mulai menguak dimensi-dimensi moralitas sekular dan hakekat hukum politik.
Pada abad pencerahan (Enlightment) di abad ke-17 dan ke-18 yang juga dikenal sebagai masa “Aufklarung” (16501800), pemikiran-pemikiran demokratik mulai bermunculan lagi diatas permukaan. John Locke (1632) dengan
idenya tentang konstitusi negara dan liberalisme, serta pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga
federal. Ide ini selanjutnya disempurnakan oleh Baron De Motesduieu (1689-1755) dengan idenya tentang
pemisahan kekusaan menjadi lembaga legislatif, eksekutif dan Yudikatif. Di tambah dengan ide-ide tentang
kedaulatan rakyat dan kontrol sosial yang diperkenalkan oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778).
Sebagai kelanjutannya, pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai
program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas
asas-asas kemerdekaan individu, kesamaan hak (the equal of rights) serta hak pilih untuk semua warga negara. 57

C. Beberapa Konsep Demokrasi
Diantara sekian banyak aliran yang menamakan demokrasi, penyusun akan menjelaskan tiga macam demokrasi,
yaitu dua kelompok aliran demokrasi yang terkenal di dunia dan satu demokrasi perwakilan di Indonesia, yakni
demokrasi Liberal atau konstitusional, demokrasi kerakyatan atau Sosialis yang pada hakekatnya mendasarkan
dirinya atas komunisme, dan demokrasi pancasila.
1. Demokrasi Liberal
Demokrasi ini sering juga disebut dengan demokrasi konstitusional, yaitu demokrasi yang berdasarkan pada
kebebasan atau individualistis. Ciri khas demokrasi ini adalah bahwa pemerintahannya terbatas kekuasaanya dan
tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Cara yang terbaik untuk membatasi
kekuasaan pemerintah tersebut ialah melalui suatu konstitusi. Dimana konstitusi tersebut menjamin hak-hak warga
negaranya dan menyelenggarakan kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekuasaan eksekutif di imbangi oleh
kekuasaan legislatif (parlemen) dan kekuasaan Yudikatif (lembaga hukum Yudikatif).58
Perkembangan pemikiran mengenai demokrasi liberal telah dirangkum oleh C. B. Mac Pherson dalam tiga model :
1. Demokrasi Protektif.
2. Demokrasi pembangunan.

3. Demokrasi ekuilibrium (keseimbangan). 59
Dari ketiga model demokrasi diatas tidak dibahas secara rinci, namun akan membahas tentang pemikiran pendapat
demokrasi liberal, yang bertujuan untuk mengetahui beberapa isu penting yang muncul dalam berbagai panggung
pemikiran mengenai demokrasi.
Ciri-ciri demokrasi liberal menurut M. Carter dan John Herz adalah bahwa demokrasi ditandai secara konstitusional
pembahasan-pembahasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberi perlindungan bagi individu dan kelompok
dengan menyusun penggantian pemimpin secara berkala, tertib, damai dan melalui alat-alat perwakilan rakyat yang
efektif. Dalam hal sikap, demokrasi liberal memerlukan toleransi terhadap pendapat yang berlawanan, keluwesan
serta kesediaan untuk bereksperimen.
Henry B. Mayo menyebutkan bahwa demokrasi adalah dimana kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas
oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas
prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Disamping itu,
menurutnya demokrasi itu tidak hanya merupakan suatu bentuk negara ataupun sistem pemerintahan, tetapi
merupakam suatu gaya hidup serta tata masyarakat tertentu yang mengandung unsur-unsur moril sehingga dapat
dikatakan bahwa demokrasi didasarkan oleh beberapa nilai.60
2. Demokrasi komunisme
Istilah komunisme mulai populer dipergunakan setelah revolusi tahun 1830 di Prancis. Revolusi menghendaki
pemerintahan parlementer dengan menghapuskan raja, tetapi hasilnya adalah penghapusan republik dan
naiknya Louis Philippe sebagai raja. Sebagai akibatnya muncullah perkumpulan-perkumpulan revolusioner rahasia
di Paris pada tahun-tahun tiga puluhan itu, terutama ditahun empat puluhan. Tidak dapat dikatakan dengan pasti bila
sebenarnya istilah komunisme itu muncul, tetapi istilah ini dipergunakan terhadap perkumpulan-perkumpulan serta
paham-paham yang dianutnya.
Istilah komunisme tadi dari mulanya mengandung dua pengertian. Pertama, ada hubungannya dengan komune
(commune), satuan dasar bagi wilayah negara yang berpemerintahan sendiri, dengan negara itu sendiri sebagai
federasi dari komune-komune itu. kedua, dari istilah komunisme, ia menunjukkan milik atau kepunyaan bersama.
Pengertian kedua inilah yang dipergunakan oleh Cabet dan pengikut-pengikutnya. Pengertian pertama lebih erat
hubungannya dengan serikat-serikat rahasia dan serikat-serikat yang hidup terbuang, seperti perkumpulan liga

komunis (1847) dikalangan orang-orang Jerman yang hidup dalam buangan diluar negeri (Paris); Manifesto
Komunis merupakan garis pedoman liga itu.61
Tipe dari demokrasi Komunisme ini yakni demokrasi Proletar, Marxis Komunisme atau demokrasi Sovyet. Tokoh
dari aliran ini antara lain : Robert Awen (1771-1858) dari Inggris, Saint Simon (1760-1825), Faurier (1772-1837) di
Perancis dan yang terpenting adalah Karl Marx (1825-1883). Masyarakat yang dicita-citakan oleh Marx adalah
masyarakat komunis yaitu masyarakat yang tidak ada kelas sosial dimana manusia dibebaskan dari keterikatan
kepada milik pribadi dan tidak ada eksploitasi, penindasan dan pakasaan. Ironisnya untuk mencapai masyarakat
yang bebas dari paksaan itu perlu melalui jalan paksaan serta kekuataan yaitu perebutan kekuasaan oleh kaum buruh
dari tangan Borjuis (pemilik modal).62
3. Demokrasi pancasila
Demokrasi yang dikembangkan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Demokrasi Pancasila,
sebab Undang-Undang Dasar 1945 merupakan penjabaran dan perwujudan dari pancasila sebagai dasar falsafah
negara. Istilah Demokrasi Pancasila secara formal pertama kali tertuang dalam TAP MPRS. NO.
XXXVII/MPRS/1968 yaitu ketetapan tentang pedoman pelaksanaan Demokrasi Pancasila.
Maksud dari pedoman pelaksanaan Demokrasi Pancasila, didalamnya berisi pedoman, tata cara bermusyawarah dan
cara pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dan atau berdasar suara terbanyak, jadi belum menggambarkan
pengertian yang utuh, bulat tentang sistem pemerintahan berdasar Demokrasi Pancasila, atau hakikat Demokrasi
Pancasila itu sendiri.
Demokrasi Pancasila adalah Demokrasi yang bersumber pada falsafah hidup bangsa Indonesia Pancasila, yang
perwujudannya seperti tercantum dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945. Jadi yang
membedakan Demokrasi di Ind