Wacana dan Identitas Pengaruh Mitos Loka

ABSTRACT
Nama
Program Studi
Judul

:
:
:

Lidia Kristri Afrilita
Ilmu Linguistik
Wacana dan Identitas : Pengaruh Mitos Lokal terhadap
Identitas Penyandang Disabilitas di Nusa Tenggara Timur

Disability issue has been a new focus in Eastern Part of Indonesia due to the high number
of poverty and people with disability. Different problems have been addressed in order to
create a more positive identity of people with disability. However, one of the challenges
towards this effort is the local myths. Two local mtyhs; curse and fate myth, and work
motivation and land cultivation myth, are discussed in this paper. Anna De Fina’s view on
identity as a social contructionism and Roland Bathes’ theory on connotation and myth
are used to analyze the phenomenon.

Keywords: local myth, disability in NTT, identity, social constructionism.
1. Pendahuluan
Pada tanggal 21 Oktober 2013, sebagai tindaklanjut Deklarasi Bali yang membahas
kesetaraan hak-hak penyandang disabilitas, situs resmi Kemenkokesra melansir:
“Perlindungan terhadap penyandang disabilitas tidak lagi sifatnya hanya
memberikan sumbangan tapi lebih kepada kesetaraan hak, mereka sama
seperti orang normal. Kesetaraan terutama aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas dimulai pada sarana-sarana publik” 1
Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
penyandang disabilitas, yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997. Meskipun
demikian, peraturan ini ternyata tidak begitu berhasil menjamin kesejahteraan
penyandang disabilitas di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya angka
penyandang disabilitas di Indonesia dari tahun ke tahun, baik yang disebabkan oleh
gizi buruk, bawaan sejak lahir, kecelakaan, bencana alam, ataupun konflik. Meskipun
belum lengkap, menurut data dari Kementrian Sosial, jumlah penyandang disabilitas
di 14 propinsi di Indonesia sampai tahun 2010 mencapai 1.167.111 jiwa (Irwanto,
dkk, 2010:7). Dari jumlah tersebut, angka penyandang disabilitas yang hidup dibawah
garis kemiskinan sangat tinggi, yaitu mencapai 1.033.698 jiwa. Menindaklanjuti
keadaan ini, Indonesia telah menyempurnakan peraturan ini dengan meratifikasi
konvensi PBB mengenai hak-hak penyandang disabilitas melalui Undang-Undang

1 Pernyataan Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri, dalam pertemuan Deklarasi Bali di
Semarang.

1

No.19 tahun 2011. Dengan adanya peraturan baru ini, pemerintah Indonesia berharap
dapat memberikan solusi terhadap berbagai masalah sosial yang dihadapi penyandang
disabilitas di Indonesia, penyetaraan hal hak-hak dan partisipasi penyandang
disabilitas dalam pengambilan keputusan di segala lini masyarakat.
Persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas di Indonesia sangat kompleks, mulai
dari masalah kesehatan, pendidikan, akses yang tidak tersedia, minimnya partisipasi
dalam masyarakat, hingga ke persoalan paling riskan, yaitu stigma negatif dari
masyarakat. Bukan hal yang asing lagi ketika penyandang disabilitas diperlakukan
tidak setara dengan orang-orang normal pada umumnya. Meminjam istilah Mike
Oliver (1994) bahwa penyandang disabilitas cenderung mengalami perlakuan
exclusion, alih-alih inclusion dalam masyarakat. Selain itu, penyandang disabilitas
juga menjadi kelompok minoritas yang riskan terhadap kekerasan, penganiayaan,
eksploitasi, dan pembiaran dikarenakan keadaan fisik mereka yang lemah maupun
kondisi mental yang berbeda, terutama secara intelektual.
Dari sisi pendidikan, kebanyakan penyandang disabilitas memiliki tingkat pendidikan

yang lebih rendah dibandingkan dengan orang-orang non-disabilitas pada umumnya.
Persoalan lain yang sering dialami oleh penyandang disabilitas adalah penolakan dari
pihak sekolah untuk menerima anak-anak cacat di sekolah reguler. Dari sisi ekonomi,
mayoritas penyandang disabilitas tergolong ke dalam masyarakat miskin yang minim
keahlian atau keterampilan. Hal ini memperburuk kondisi hidup penyandang
disabilitas, sehingga risiko kesehatan dan pendidikan menjadi semakin besar. Dari sisi
kesehatan, penyandang disabilitas juga belum maksimal menerima pelayanan
kesehatan, termasuk bantuan alat-alat kesehatan semisal kursi roda, alat bantu
pendengaran, tongkat, dan sebagainya. Salah satu faktor yang menyebabkan masalahmasalah sosial ini adalah terbatasnya APBN (Anggaran Pengeluaran Belanja Negara)
untuk masalah kesejahteraan sosial terkait penyandang disabilitas.
Menyikapi

persoalan

diatas,

Kementrian

Koordinasi


Kesejahteraan

Rakyat

(Kemenkokesra) menginstruksikan agar pemerintah di semua level mulai melakukan
pengarusutamaan penyandang disabilitas di Indonesia sebagai tindaklanjut konvensi
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) tentang hak-hak penyandang disabilitas. Hal ini
bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup penyandang disabilitas dan menghilangkan
2

stigma negatif masyarakat terhadap mereka. Dalam program nasional ini, Menkokesra
menginstruksikan tim dari PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat)
untuk melakukan penilaian terkait kondisi penyandang disabilitas di lapangan,
khususnya di 12 propinsi di Indonesia timur. Tujuan utama dari program ini adalah
untuk melihat kondisi penyandang disabilitas di lapangan dan usaha-usaha apa saja
yang telah dan akan dilakukan oleh organisasi-organisasi penyandang disabilitas,
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan pemerintah setempat dalam meningkatkan
kesejahteraan dan partisipasi kelompok minoritas ini. Selain itu, program ini juga
bertujuan untuk melihat sejauh mana upaya-upaya tersebut membawa perubahan
positif terhadap image penyandang disabilitas di mata masyarakat.

Melalui observasi dan wawancara di lapangan dengan sejumlah organisasi yang
bergerak dalam isu kecacatan dan instansi-instansi pemerintah yang terkait seperti
dinas kesehatan, dinas sosial, dinas pendidikan, dan Bupati setempat, diperoleh data
bahwa penyandang disabilitas masih mendapat diskriminasi dari masyarakat maupun
pemerintah setempat. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu kondisi
kecacatan mereka dan budaya masyarakat setempat, termasuk penyandang disabilitas
itu sendiri. Tak jarang usaha peningkatan taraf hidup penyandang disabilitas ini malah
mendapat halangan dari masyarakat dan penyandang disabilitas itu sendiri. Tulisan ini
akan melihat bagaimana budaya masyarakat lokal memengaruhi wacana identitas
penyandang disabilitas di Kabupaten Manggarai, Propinsi NTT.
2. Identitas sebagai Bentuk Konstruksi Sosial
Istilah identitas sebagai sebuah bentuk konstruksionisme sosial dikemukan oleh De
Fina dalam De Fina, Schriffrin, dan Bamberg (2006:352). Identitas dipandang bukan
sebagai sebuah produk, melainkan sebuah proses yang terjadi dalam interaksi sosial,
yang terpatri dalam praktik-praktik wacana keseharian. Artinya identitas bukan lahir
begitu saja tapi dibentuk oleh unsur-unsur masyarakat sehingga identitas bersifat
dinamis, dapat berubah sesuai dengan cara pandang masyarakat dan perubahan yang
terjadi dalam sistem.
Medium untuk mengkonstruksi identitas sosial menurut Van Dijk (1993:250-251)
adalah wacana, dalam hal ini bahasa. Ia mengaitkan antara bahasa dengan kuasa sosial

(social power) dari kelompok elit, institusi atau kelompok, yang berakibat pada
perlakuan yang tidak adil dalam bidang politik, budaya, etnik, ras, dan masalah
3

jender. Bahasa, baik tertulis maupun lisan, memiliki kekuatan untuk membentuk
pandangan, pengetahuan, kepercayaan, ideologi, pemahaman, sikap, dan perilaku
masyarakat terhadap isu tertentu.
Identitas tidak hanya menyangkut diri pribadi, tapi juga menentukan posisi individu
dalam sebuah kelompok. Sack dalam De Fina, Schriffrin, dan Bamberg (2006:2)
menyatakan bahwa konstruksi identitas berhubungan dengan dua istilah, yaitu
kategori inklusi dan eksklusi individu dalam masyarakat mayoritas, yang bisa dilihat
dari aktifitas keseharian masing-masing anggota masyarakat. Dalam kasus
penyandang disabilitas, disebabkan masalah kecacatan yang mereka hadapi, mereka
memiliki ruang gerak yang terbatas, kemampuan berpikir yang tidak sama dengan
orang rata-rata, kondisi fisik yang lemah, dan ketergantungan yang tinggi dengan
keluarga. Kondisi yang demikian menyebabkan penyandang disabilitas dipandang
sebagai kelompok yang berbeda dengan orang-orang ‘normal’ karena aktifitas
keseharian yang mereka lakukan berbeda dengan orang-orang pada umumnya.
Anggapan mengenai perbedaan ini, melahirkan konstruksi sosial bahwa identitas
penyandang disabilitas bukanlah bagian dari masyarakat umum (inklusi) melainkan

kelompok minoritas (eksklusi) yang termarjinalkan. Mereka tidak lagi dipandang
sebagai individu yang memiliki masalah kesehatan saja, melainkan dikonstruksi
menjadi ‘bagian masyarakat yang lain’, sebagaimana diungkapkan oleh Wendell
dalam Reinikainen (2006:51-55),
“....the biggest obstacle in the deconstruction of disabling social restrictions
and barriers, for example by legislation and socio-political reforms, lies in the
othering cultural constructions of disability, which produce otherness for
disabled people.”
3. Konotasi yang Berkembang Menjadi Mitos
Mike Oliver yang juga seorang penyandang disabilitas, pada halaman pertama
makalahnya mengutip Swan (1981:14) dalam kumpulan tulisan karya anak-anak
penyandang disabilitas berjudul What It’s Like to be Me:
I am not a disability, I’m me.
I have dislexia and I’ve had polio
But I’m not ‘a dyslexic’ or ‘a cripple’ I’m me.
Selasa, 19 November 2013, ABC News Australia melansir berita mengenai insiden
protes di Adelaide, Australia disebabkan sebuah toko pakaian berlabel Art of Aztec
memasarkan produk baju kaos dan jaket bertuliskan Retarde di bagian depannya. Para
4


pemrotes menganggap penggunaan kata tersebut sebagai sebuah bentuk diskriminasi
dan penghinaan bagi penyandang disabilitas karena kata Retarde, menurut mereka,
hanya digunakan sebagai olok-olok.
“The word retard, or retarde, only means one thing. It’s a word that’s used to
bully. Kids are killing themselves, kids are comitting suicide because they’re
being bullied”
Kedua contoh diatas cukup kiranya memberikan gambaran bagaimana sebuah kata
dapat menjadi medium untuk menciptakan diskriminasi dalam masyarakat. Kata
dyslexic dan cripple yang pada mulanya digunakan dalam ranah kesehatan, bisa
berubah fungsi menjadi kata-kata yang merujuk pada nilai-nilai negatif, seperti orang
yang rendah kemampuan intelektualnya, orang yang tidak memiliki potensi untuk
memiliki masa depan yang cerah, orang yang memiliki kekurangan fisik, sehingga
tidak bisa melakukan banyak aktivitas seperti orang kebanyakan, dan banyak
pemaknaan negatif lainnya. Begitu juga dengan kata retarde yang ditolak
penggunaannya karena mengandung makna yang negatif pula.
Di Indonesia, istilah ‘penyandang cacat’ adalah yang pertama disepakati untuk dipakai
oleh masyarakat umum dan para pemangku kepentingan hingga awal tahun 2010.
Namun, istilah ini dianggap mengandung nilai yang negatif karena dianggap
mengandung makna konotasi ‘orang-orang yang tidak berdaya, tercela, tidak berguna,
dan hanya menjadi beban keluarga’. Atas dasar ini, pada tanggal 8-9 Januari 2010,

pemerintah resmi menghapuskan penggunaan istilah ‘penyandang cacat’ dan
menggantinya

dengan

terminologi

penyandang

disabilitas,

yang

dianggap

mengandung makna lebih positif (Daksa Foundation, 2013).
Pemberian makna kedua, ketiga, dan seterusnya ini menurut Barthes, yang dikutip
oleh Hoed (2011:13), disebut konotasi. Sebuah kata, selain memiliki makna denotasi,
juga memiliki makna yang ditambahkan (konotasi). Jadi, makna sebuah kata tidak
bersifat stabil, tapi dapat berubah menjadi makna baru yang diberikan oleh

pemakainya sesuai latar belakang pengetahuan, konvensi baru dalam masyarakat,
pandangan budaya, pandangan politik, atau ideologi pemberi makna, misalnya pada
kata dyslexic, cripple, dan retarde diatas. Penambahan makna pada suatu kata atau
konsep akan memengaruhi perlakuan seseorang terhadap objek yang dimaksud,
sebagaimana ditekankan oleh Oliver (1994:5) berikut ini.
“At the policy level, I have the suspicion that calling someone a 'retardate' or
'a schizophrenic' makes it easier for us as a society to lock them up, drug them
into insensibility, electrocute or even kill them.”
5

Kata retarde pada masa sekarang mempunyai makna konotatif ‘orang yang bodoh,
idiot, menjadi aib dan beban keluarga, tidak berguna, dan dijauhi oleh masyarakat’.
Ketika seseorang memberikan label retarde kepada penyandang disabilitas, maka
konsep yang akan muncul dalam kognisinya adalah bahwa mereka perlu dikurung,
diperlakukan sedemikian rupa, atau bahkan dibunuh agar tidak membebani
masyarakat.
Selain itu, Oliver (1994:7), dalam tulisan yang sama juga mengutip Foucault:
“The way we talk about the world and the way we experience it are
inextricably linked - the names we give to things shapes our experience of
them and our experience of things in the world influences the names we give

to them.”
Kutipan diatas juga mendukung pendapat bahwa wacana yang digunakan untuk
melabeli seseorang atau sesuatu tidak hanya berupa wujud bahasa yang
merepresentasikan suatu objek, tapi juga memengaruhi cara pandang dan perlakuan
yang kita berikan terhadap objek tersebut. Bahasa tidak memiliki hubungan langsung
dengan referen, melainkan harus melalui sebuah proses pembentukan dan pemahaman
konsep di dalam kognisi, sebagaimana konsep segitiga makna Ogden dan Richard.
Konsep pemaknaan bahasa dalam kognisi bergantung pada pengalaman dan budaya
seseorang. Satu kata bisa saja dimaknai secara berbeda oleh kelompok masyarakat
yang berbeda, sehingga bisa melahirkan konotasi, yang apabila terus berkembang
dalam waktu yang lama akan berubah menjadi mitos. Konsep konotasi yang
berkembang menjadi mitos seperti ini menurut Barthes, digunakan untuk menjelaskan
bagaimana gejala budaya memperoleh makna khusus dari anggota masyarakatnya.
Dan di Indonesia, sebagai negara yang kaya akan budaya-budaya lokal, banyak sekali
ditemukan bentuk-bentuk konotasi yang berkembang menjadi mitos di dalam
kehidupan sosial masyarakatnya, salah satunya di Nusa Tenggara Timur.
4. Pengaruh Mitos Lokal terhadap Identitas Penyandang Disabilitas di Indonesia
Timur
Berdasarkan transkripsi rekaman wawancara PNPM dengan Yayasan Ayo Indonesia,
yang merupakan sebuah yayasan non-pemerintah yang aktif bergerak menangani isu
penyandang disabilitas di Kabupaten Manggarai, penulis ini menemukan ada
beberapa faktor yang membentuk wacana penyandang disabilitas di kabupaten
6

tersebut. Salah satu yang mendasar adalah masih adanya pengaruh budaya lokal yang
menjadi hambatan untuk memperbaiki taraf hidup penyandang disabilitas itu sendiri.
Berdasarkan data tersebut, penulis ini melihat paling tidak ada dua (2) bentuk mitos
yang membentuk wacana identitas penyandang disabilitas di Kabupeten Manggarai,
yaitu mitos kutukan dan kepasrahan, dan mitos motivasi kerja dan pemanfaatan lahan.
Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi penyandang
disabilitas di Kabupaten Manggarai. Pada bagian awal wawancara, informan
menjelaskan tentang keadaan penyandang disabilitas yang mayoritas tergolong
masyarakat miskin dan dimarjinalkan oleh masyarakat karena dianggap tidak
‘normal’. Teks wawancara dengan informan diambil sebagai representasi pandangan
umum masyarakat lokal kabupaten Manggarai. Asumsi ini dibuat berdasarkan fakta
bahwa organisasi ini telah lama aktif melayani penyandang disabilitas di daerah
setempat dan aktif melakukan pendekatan-pendekatan ke masyarakat lokal dalam
rangka mensosialisasikan kesetaraan hak penyandang disabilitas.
Mitos Kutukan dan Kepasrahan
Sebagai masyarakat lokal dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, Kabupaten
Manggarai dihadapkan pada rentetan dampak kemiskinan, seperti minimnya akses
pendidikan, fasilitas publik, lapangan pekerjaan, dan rentannya tingkat kesehatan.
Kondisi sosial seperti ini memberikan dampak ganda bagi penyandang disabilitas,
disamping stigma negatif masyarakat akan keberadaan mereka. Penyandang
disabilitas memiliki keterbatasan ruang gerak dalam keseharian mereka, sehingga
mereka sangat bergantung pada orang-orang terdekatnya, yaitu keluarga dan tetangga.
Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan masyarakat setempat menjadi pemicu
lahirnya mitos bahwa penyandang disabilitas merupakan sebuah kutukan dari Tuhan.
Anak-anak dengan kecacatan dianggap sebagai sebuah aib dan beban bagi keluarga
dikarenakan penampilan fisik mereka yang tidak sempurna dan ketidakmampuan
mereka membantu ekonomi keluarga.
Yang menarik adalah kenyataan bahwa ditengah-tengah masyarakat yang mayoritas
telah mengenal agama ini, masih ada sisa-sisa kepercayaan zaman dulu yang melekat
di dalam masyarakat tersebut. Disabilitas dianggap sebagai sebuah hukuman dari
leluhur kepada keluarga yang bersangkutan. Masyarakat percaya bahwa keluarga
yang memiliki anak dengan disabilitas sedang dihukum oleh leluhur atas perbuatan
buruk yang mereka lakukan di masa lampau. Hal ini menyebabkan para tetangga
7

enggan untuk berkomunikasi apalagi membantu keluarga dengan penyandang
disabilitas. Mitos semacam ini menyebabkan tak hanya penyandang disabilitas yang
mendapat perlakuan diskriminasi, tapi juga keluarga penyandang disabilitas itu
sendiri. Keadaan ini menambah beban sosial keluarga sehingga keluarga semakin
terbebani dengan kehadiran penyandang disabilitas di tengah-tengah keluarga mereka.
Alasan ini menjelaskan mengapa penyandang disabilitas sering disembunyikan di
dalam rumah, atau bahkan dipasung di belakang rumah.
”Ada kesan juga di beberapa tempat tertentu kalau saya menolong keluarga
yang sedang dalam tanda kutip “dikutuk” ya... dikutuk itu juga bisa sampai
kepada saya. Tapi itu di masyarakat yang belum masuk dalam kelompok
agama yang besar.”
Masih adanya mitos kutukan ini merupakan cerminan dari belum menyeluruhnya
sosialisasi pemerintah ataupun lembaga terkait dalam rangka menghapus persepsi
yang salah mengenai penyandang disabilitas. Realitas ini membuktikan bahwa
kepercayaan yang telah lama ada dalam kelompok masyarakat tertentu akan berubah
menjadi mitos, dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengubahnya kembali.
Keberadaan agama pun tidak menjadi jaminan bahwa mitos kutukan ini bisa sematamata lenyap.

Menerima kecacatan sebagai sebuah kutukan menjadikan penyandang disabilitas dan
keluarganya bersikap pesimis dan menutup diri dari peluang memperbaiki keadaan
hidup mereka. Keluarga lebih memilih untuk terus menyembunyikan anak mereka.
Keadaan ini menjadikan penyandang disabilitas kehilangan hak-hak mereka, seperti
hak mendapatkan perawatan kesehatan di rumah sakit atau pusat rehabilitasi, hak
untuk terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan, dan hak memperoleh pendidikan yang
layak. Kepasrahan ini tercermin dari kutipan berikut:
“....tidak usah diubah lagi, sudah toh begitu. Tidak ada harapan pada
perubahan.”

“Saya lebih mau hidup dengan anak-anak saya apapun situasinya.”

8

“Kalau orangtuanya bertani, anak-anak cacat ditinggalkan di rumah, main
dengan anjing atau dititip ke tetangga. Mereka hanya berpikir kapan anak ini
mati, supaya kami tidak ada beban.”

Kepasrahan ini mencerminkan keadaan keluarga penyandang disabilitas, yaitu miskin
secara finansial dan miskin secara pengetahuan. Penerimaan ini sekedar menjadi
pelarian keluarga yang tidak mampu melakukan sesuatu untuk anak mereka.
Memberikan ‘perubahan’ berarti membutuhkan biaya untuk perawatan rumah sakit,
dan memberikan akses pendidikan berarti menciptakan beban baru bagi keluarga.
Penyandang disabilitas semata-mata dipandang sebagai, tak hanya beban moril, tapi
juga beban materiil bagi keluarga. Ketidakhadiran mereka dalam keluarga dianggap
lebih baik daripada keberadaan mereka.

Mitos Motivasi Kerja dan Pemanfaatan Lahan
Satu diantara program yang sedang digalakkan oleh Yayasan Ayo Indonesia adalah
memberikan keterampilan cara bertani kepada penduduk setempat, terutama
penyandang disabilitas. Dasar dilaksanakannya program ini adalah banyaknya lahan
produktif di NTT yang tidak diolah oleh pemiliknya. Adiyoga dan Herawati (2008)
menyatakan bahwa persentase lahan yang tidak digunakan di Manggarai adalah
18,62%, sedangkan lahan yang diolah untuk berladang hanya 12,73%. Hal ini cukup
ironis, mengingat masyarakat NTT sebenarnya telah mengenal konsep pengelolaan
lahan untuk berladang sejak lebih dari setengah abad yang lalu. Mayoritas
penduduknya hidup dari sektor agraris, yang ditandai dengan adanya pranata-pranata
pengelolaan lahan yang diatur oleh adat. Daerah Manggarai sendiri dikenal sebagai
salah satu kabupaten penghasil padi, jagung, kopi, cengkeh, dan kemiri.
Secara logis, jika ada program pelatihan bercocok tanam, tentulah sasarannya adalah
masyarakat yang belum memiliki pengetahuan mengenai pertanian. Namun, tidak
demikian yang terjadi di masyarakat NTT. Remigius (1993:37-57) menjelaskan
bahwa masyarakat di NTT telah memiliki kearifan lokal yang diterapkan dalam
pengelolaan lahan. Mereka dulunya mempraktikkan kearifan lokal untuk merawat
lahan pertanian dan memberikan sanksi adat kepada mereka yang melanggarnya.
Tujuannya agar keberlangsungan siklus pertanian dapat terus berlanjut dan lahan tetap
terjaga kesuburannya. Dari fakta ini, penulis ini berpendapat bahwa masyarakat NTT
9

bukanlah kelompok masyarakat yang tidak paham cara bertani, sehingga
membutuhkan pelatihan cara bercocoktanam. Namun, peneliti ini melihat ada masalah
lain yang tercermin dari kutipan-kutipan berikut:
“Suruh orang normal saja di desa sini untuk menanam sayur, satu kali dia
diajarkan menanam sayur, sedikit-sedikit setelah itu dia tidur lagi, apalagi
penyandang cacat.”
“Most of the people here have their own piece of land, not the big one.
Normally a family has some small plot in front of their house, but traditionally
they don’t make use of it. They abandoned it. They just give it for the dogs and
chicken to play at.
“You can teach people how to use organic fertilizer everyday. They can learn.
They can have the knowledge and the skill, but to keep them doing this after,
you know it is like a culture, way of thinking. It is not about something you
can do, but something inside it. They cant see how they should change their
habit now.”

Dari kutipan diatas, penulis ini melihat bahwa permasalahannya bukanlah
permasalahan teknis, melainkan tidak adanya motivasi dari diri masyarakat untuk
memberdayakan diri mereka sendiri. Faktor kemalasan ini dijelaskan oleh klausa
sedikit-sedikit setelah itu dia tidur lagi. Tidur sebagai representasi sifat malas,
mewakili perilaku masyarakat setempat yang dianggap menjadi penghambat laju
perbaikan ekonomi. Informan juga menyandingkan dua kelompok masyarakat dalam
pernyataannya, yaitu orang normal dan penyandang cacat. Dengan penggunaan kata
penghubung

perbandingan

apalagi,

informan

secara

tidak

langsung

ikut

melanggengkan mitos bahwa penyandang disabilitas selalu mempunyai kemampuan
lebih rendah daripada orang normal, sehingga jika orang normal dianggap malas dan
sulit diajari, maka penyandang cacat akan dianggap lebih malas dan lebih sulit diajari.
Sesuai dengan tradisi berladang masyarakat NTT sejak puluhan tahun yang lalu,
banyak masyarakat yang memiliki lahan yang berpotensi produktif. Yayasan Ayo
Indonesia melihat peluang untuk menghimbau pemanfaataan lahan untuk, minimal
pemenuhan kebutuhan keluarga (self-subsistence). Namun, klausa but traditionally
they don’t make use of it, they abandoned it, they just give it for the dogs and chicken
to play in, kembali menegaskan bahwa inisiatif pemanfaatan ladang itu belum ada di
masyarakat Manggarai. Alih-alih menggunakan sumber daya yang berada sangat
10

dekat dengan mereka (lahan), mereka lebih suka memelihara anjing untuk berburu
dan ayam untuk beternak. Padahal, dibandingkan dengan berburu dan beternak,
bertani sayur-sayuran di pekarangan rumah tidak membutuhkan biaya dan tenaga
yang besar.
Faktor rendahnya motivasi kerja dianggap telah tumbuh dan mengental dalam diri
masyarakat, it is like a culture, way of thinking, it is not about something you can do,
but something inside it. Salah satu faktor penyebab yang mungkin adalah masalah
status kepemilikan lahan di NTT. Di beberapa komunitas, kekuasaan tanah berada di
tangan pemuka adat atau tuan tanah (Remigius, 1993:56). Masyarakat umum hanya
diberikan hak pakai atas tanah, bukan hak milik. Hak pakai inilah yang kemudian
diwariskan kepada anak cucu mereka. Penulis ini melihat bahwa keengganan
masyarakat di Manggarai untuk bercocoktanam dapat disebabkan oleh faktor
kepemilikan tanah yang tidak jelas ini. Oleh karena itu, tidak jarang masyarakat
setempat lebih memilih keluar dari daerah mereka untuk memperoleh pekerjaan
bercocoktanam di daerah lain.
5. Simpulan
De Fina dalam De Fina, Schriffrin, dan Bamberg (2006) mengatakan bahwa wacana
identitas tidak hanya berada pada tataran individu, tetapi juga menyangkut bagaimana
posisi individu dalam tataran masyarakat yang dominan. Pemerolehan identitas tidak
terjadi dalam satu waktu, melainkan melalui proses panjang dalam praktik-praktik
keseharian. Identitas menjadi penting karena identitas dapat menentukan perlakuan
seperti apa yang akan diberikan kepada individu.
Dari gambaran diatas, tampak bahwa identitas penyandang disabilitas di Nusa
Tenggara Timur masih didefinisikan berdasarkan konsep ‘normal’ dan ‘tidak normal’
secara fisik dan psikis. Hal ini berdampak pada perlakuan yang diterima oleh
penyandang disabilitas di keluarga dan masyarakat di tempat mereka tinggal. Mitos
lokal menjadi salah satu praktik sosial yang membentuk identitas penyandang
disabilitas seperti ini. Sebagaimana Barthes, yang dikutip oleh Hoed (2011:18),
mengatakan bahwa masyarakat budaya tertentu memiliki konotasi yang berbeda, yang
dapat berkembang menjadi mitos dan ideologi. Ia mendefinisikan mitos sebagai
bentuk kepercayaan yang tertanam dalam suatu masyarakat, yang telah mengental
dalam praktik-praktik keseharian, bahkan tanpa kita sadari. Mitos-mitos lokal inilah
11

yang menjadi salah satu penghambat keberhasilan program pemerintah dan lembaga
swadaya masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup dan menciptakan identitas yang
lebih positif bagi penyandang disabilitas di Nusa Tenggara Timur.

DAFTAR ACUAN
Adiyoga dan Herawati. (2008). Acuan Mengkaji Kemiskinan di Era Otonomi
Daerah: Kasus Propinsi Nusa Tenggara Timur (diakses dari http://manggaraintt.blogspot.com/2008/09/pola-nafkah-lokal.html pada tanggal 18 Desember
2013)
Daksa Foundation (3 Juni 2013). Istilah Penyandang Disabilitas sebagai
Pengganti Penyandang Cacat (diakses dari http://daksa.or.id/istilahpenyandang-disabilitas-sebagai-pengganti-penyandang-cacat/ pada tanggal 24
November 2013).
De Fina, Anna. 2006. “Introduction”, dalam Anna de Fina, Deborah Schiffrin, dan
Michael Bamberg (ed). Discourse and Identity. Cambridge : Cambridge
University Press.

12

Hoed, Benny.H. (2011). Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu:
Jakarta.
http://www.menkokesra.go.id/content/ri-ratifikasi-konvensi-penyandang-disabilitas
(diakses pada tanggal 28 Novermber 2013).
http://www.abc.net.au/news/2013-11-09/row-over-retarde-clothing-range/5100528
(diakses pada tanggal 28 November 2013).
Irwanto, dkk. (2010). Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia :
Sebuah Desk-Review. Depok : Pusat Kajian Disabilitas FISIP UI.
Kementerian Sekretariat Negara RI (10 November 2011). Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
19
Tahun
2011
(diakses
http://www.bphn.go.id/data/documents/11uu019.pdf
pada
tanggal
Desember 2013).

dari
18

Oliver, Mike. (1994). Politic and Language: Understanding the Disability
Discourse. Paper in the MA in Disability Studies Programme: Dept. Of
Psychotherapy, University of Sheffield (diakses dari http://disabilitystudies.leeds.ac.uk/files/library/Oliver-pol-and-lang-94.pdf pada tanggal 24
November 2013).
Reinikainen, Marjo-Riitta. (2006). Everyday Discourses on Disability: A Barrier
to Successful Disability Policy?. Women’s Studies University of Jyväskylä,
Department of Social Science and Philosophy (diakses dari
http://www.idunn.no/ts/nsa/2006/03/everyday_discourse_on_disability_a_barri
er_to_successful_disability_policy pada tanggal 18 November 2013).
Remigius, Dewa. “Perubahan Pranata Pengelolaan Lahan pada Komunitas
Peladang di Nusa Tenggara Timur: Kasus Lio dan Iwanggete di Pulau Flores”.
Ekonesia. A Journal of Indonesian Human Ecology. Vol.1, No.1, 1993, hal.3757. Jakarta: Program Studi Antropologi, Program Pascasarjana Universitas
Indonesia.
Van Dijk, Teun. (1993). Principal of Critical Discourse Analysis. Journal of
Discourse and Society, vol 4(2): 249-283. London : SAGE.

13