Refleksi Gerakan Terorisme dan Penanggul

A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang Masalah
Karya sastra merupakan lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium.
Karya sastra adalah refleksi kehidupan sosial, baik yang terjadi di lingkungan sekitar
maupun di luar pengarang. (Sapardi Djoko Damono, 1978:1). Realitas kehidupan yang
menarik, ramai dibicarakan orang, dan menyentuh sifat kemanusiaan, menjadi tema
utama pengarang di dalam karya sastranya. Di dunia sekarang ini, terutama saat
terjadinya penghancuran gedung WTC dan Pentagon di Amerika Serikat, isu terorisme
mencuat begitu kuat ke permukaan. Pemboman atas menara kembar World Trade Center
di New York dan Pentagon pada tanggal 11 September 2001, dilakukan oleh sebuah
jaringan terorisme transnasional Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden. (Brigitte L.
Nacos, 2003: 24).
Secara eksplisit, penyerangan tersebut merupakan bentuk penolakan atas modernitas,
sekulerisasi, dan kapitalisme. Di dalam tradisi filsafat, modernitas dan sekulerisasi adalah
bentuk “Konsep Pencerahan”. Pencerahan tidak hanya berarti periode tertentu yang
secara historis bertepatan dengan abad ke-18, melainkan juga afirmasi atas demokrasi dan
pemisahan kekuasaan politik dari kepercayaan keagamaan yang dijadikan fokus oleh
Revolusi Perancis dan juga Revolusi Amerika Serikat (Hendropriyono, 2009: 7)
Misi itulah yang dijalankan oleh kelompok Islam radikal, yaitu untuk meruntuhkan
sistem demokrasi yang sudah terbangun itu. Menurut mereka, sistem yang laik digunakan
untuk mengatur negara dan segala aspek kehidupan hanya sistem Islam. Langkah

formalisasi Islam dalam tata negara harus terbangun mengingat perintah Allah di dalam
al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 2081 yang menurut penafsiran mereka merupakan
perintah untuk menjadikan Islam sebagai sistem yang formal dalam segala lini
kehidupan.
Indonesia telah diguncang oleh rentetan peristiwa bom bunuh diri diantaranya
bom Bali I (2002), JW Marriot (2003), Kedubes Australia (2004), Bom Bali II (2005),
dan bom Ritz Carlton (2006). Pemerintah Indonesia telah membentuk satuan khusus
1 Ayat tersebut berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang
nyata bagimu.”

1

penanggulangan terorisme yang disebut Densus 88. Hard power ini berhasil menangkap
dan mengeksekusi para teroris, dari mulai kelas teri hingga kelas kakap. Namun,
banyaknya pelaku aksi terorisme yang ditangkap tidak menyurutkan aksi-aksi terornya.
Pemboman kerap terjadi bahkan muncul aksi baru yaitu perampokan salah satu bank
besar di Indonesia pada tahun 2010. Tindakan yang diambil pemerintah dengan
menembak mati para tersangka kasus terorisme dalam kenyataannya tidak membuat ciut
kelompok Islam radikal. Bahkan memicu mereka untuk melakukan aksi balas dendam

sebagaimana yang kita saksikan akhir-akhir ini.
Oleh karena itu, diperlukan soft power yang bisa menyentuh secara langsung jiwa
dan hati kelompok radikal tersebut. Langkah tersebut juga marak dilakukan atas
dukungan pemerintah oleh para ulama, psikolog, dan termasuk para sastrawan sendiri
yang peduli terhadap isu kemanusiaan. Para sastrawan menuangkan segala isi perasaan,
pemikiran, dan pandangan mereka tentang isu terorisme melalui karya sastra. Mereka
ingin agar masyarakat bisa mengerti dan waspada terhadap aksi-aksi terorisme yang
mengatasnamakan agama. Genre puisi, novel, cerpen, dan genre-genre sastra lainnya
serempak mengangkat isu terorisme sebagai bentuk perlawanan dan pemberi pemahaman
kepada masyarakat tentang bahaya terorisme.
Di Indonesia, gerakan tersebut terbilang cukup aktif. Penulis menemukan enam
buah novel yang mengangkat isu terorisme dan sebuah antologi puisi. Semuanya sepakat
bahwa aksi terorisme adalah sebuah kejahatan yang mesti dihentikan. Novel-novel
tersebut adalah Demi Allah Aku Jadi Teroris karya Damien Dematra (2009), Pengantin
Bom karya Sidik Jatmika (2009), Naksir Anak Teroris karya Ditta Arieska (2009),
Pengantin Teroris karya Abu Ezza (2010), Pedang Rasul karya Jusuf A.N. (2013), dan
Aku Istri Teroris karya Ebidah El Khaliqy (2014).
Sedangkan Antologi puisi diluncurkan secara resmi pada tanggal 22 September
2014 atas kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Lembaga
Daulat Bangsa, dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Antologi puisi tersebut diberi

judul “Pengantin Langit” yang berisikan kumpulan puisi 50 penyair Indonesia. Di antara
para penyair yang menyumbangkan puisinya ke dalam antologi puisi tersebut adalah
Salman Yoga S (Aceh), Syarifuddin Arifin (Padang), Dimas Arika Miharja (Jambi),
2

Anwar Putra Bayu (Palembang), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Alex R. Nainggolan
(Jakarta), Abdullah Wong (Jawa Tengah), Beni Setia (Jawa Timur), Rezqi Muhammad
AlFajar Atmanegara (Kalsel), Arther Panther Olii( Manado), Usman D. Ganggang
(NTB), A. Nabil Wibisana (NTT), dan Sang Presiden Penyair Indonesia, Sutardji
Calzoum Bachri.2
Jika kita perhatikan tahun terbit novel-novel di atas, Damien Dematra, Sidik
Jatmika, dan Ditta Arieska berada di garis depan munculnya novel terorisme. Disusul
kemudian oleh Abu Ezza, Jusuf A.N. dan Ebidah El Khaliqy. Dari tahun 2009 hingga
sekarang ini, sudah terlihat semangat dan bukti nyata novelis Indonesia dalam misi
pemberantasan aksi terorisme melalui karya sastra. Jika dilihat dengan pendekatan
Geistesgeschichte yang mendasarkan teorinya pada pada asumsi bahwa setiap periode
memiliki semangat zaman (time spirit) yang khas (Wellek dan Warren, 1989: 147), maka
pada rentang waktu yang cukup panjang tersebut, para pengarang memiliki semangat
zaman yang sama dan khas. Penulis banyak menemukan banyak persamaan dengan
berbagai modifikasinya terutama di dalam tiga novel: Demi Allah Aku Jadi Teroris,

Pengantin Teroris, dan Pengantin Bom. Ketiga novel tersebut menceritakan salah satu
bentuk aksi terorisme yaitu aksi bom bunuh diri.
Penelitian ini hanya mengambil salah satu dari ketiga novel di atas, yaitu novel
Demi Allah Aku Jadi Teroris (Gramedia, 2009) karya Damien Dematra. Novel ini
memiliki kualitas yang tinggi dalam penceritaan bentuk terorisme di Indonesia. Dalam
penelitian ini, penulis meneliti mekanisme, motif, dan tipologi gerakan terorisme serta
cara penanggulangannya yang terefleksikan di dalam novel tersebut.
2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dipecahkan di

dalam penelitian ini adalah
a. Bagaimana mekanisme, motif, dan tipologi dari gerakan terorisme di
kalangan mahasiswa yang terkandung di dalam novel Demi Allah Aku Jadi
Teroris?
250 Penyair Nasional tolak Terorisme. Artikel diakses dari http://lintasgayo.co/2014/07/16/50penyair-nasional-tolak -terorisme pada tanggal 24 Desember 2014 pukul 09.19 WIB
3

b. Bagaimana mekanisme penanggulangan aksi terorisme di dalam novel Demi

3.

Allah Aku Jadi Teroris?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini memiliki dua aspek capaian, yaitu aspek teoritis dan praktis.

Dalam aspek teoritis, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap salah satu bentuk aksi
terorisme, yaitu bom bunuh diri, khususnya di kalangan mahasiswa dan penanganannya.
Dengan terungkapnya hal ini maka akan memberi gambaran bagaimana virus terorisme
dapat menjangkiti kalangan mahasiswa dan cara menanggulanginya.
Dalam aspek praktis, penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
apresiasi penulis terhadap karya sastra. Apresiasi ini dapat menjadi sarana untuk
mengangkat prospek penulis novel, terutama penulis yang mengangkat isu terorisme di
dalam novelnya. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran masalah dan
solusi yang diberikan dalam usaha penanggulangan aksi-aksi terorisme di Indonesia.
4.

Kerangka Teori
Untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka perlu teori yang


relevan. Untuk menemukan motif dan tipologi serta implikasi aksi terorisme yang
terdapat di dalam novel Demi Allah Aku Jadi Teroris, maka cara yang paling tepat adalah
dengan menggunakan telaah struktur intrinsik novel melalui teori strukturalisme. Telaah
struktur sebuah karya sastra merupakan tahap awal untuk mendapatkan pemahaman yang
optimal tentang sebuah karya sastra yang diteliti. Inilah yang ditekankan di dalam
pendekatan strukturalisme sebagai sebuah orientasi objektif (Pradopo, 1995: 141 dan
Hawkes, 1977: 26-29).
Secara operasional, analisis karya sastra dengan menggunakan teori strukturalisme
dilakukan dengan memusatkan kajiannya pada karya sastra, unsur-unsur pembangunnya,
dan pertalian antara unsur-unsur tersebut. (Chamamah, 1991: 16). Novel sebagai sebuah
bentuk sastra terbangun dari beberapa unsur intrinsik karya sastra antara lain alur,
penokohan, sudut pandang, gaya bahasa, tema dan amanat. Di dalam penelitian ini,
penulis melihat unsur-unsur pembangun novel tersebut bukan sebagai unsur yang
memiliki fungsi dan kedudukan tertentu, tetapi dianggap sebagai unsur yang dinamis
sebagaimana diungkapkan oleh Piaget (Jean Piaget, 1973: 5-16).
4

Menurut Levi-Strauss, struktur adalah model yang dihasilkan oleh para antropolog
untuk memahami dan menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya. Ada dua
macam struktur, struktur luar dan struktur dalam. Struktur luar merupakan relasi antar

unsur yang tampak dan dibangun atas dasar ciri empiris dari relasi-relasi tersebut.
Sedangkan struktur dalam merupakan relasi antar unsur yang tidak tampak pada sisi
empiris dan fenomena yang dipelajari. Struktur dalam adalah model untuk memahami
fenomena yang diteliti (Ahimsa-Putra, 2001:61). Konsep inilah yang menjadi payung
teori penelitian ini. Penulis mengkaji fenomena aksi terorisme dan penanggulangannya
yang terdapat di dalam novel Demi Allah Aku Jadi Teroris.
5.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dengan pendekatan tekstual-

objektif. Langkah-langkah yang dilalui dalam proses penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Tahap pengumpulan data. Pada tahapan ini dilakukan studi kepustakaan, baik
terkait objek penelitian melalui proses close reading maupun buku-buku
penunjang lainnya.
b. Tahap pengolahan data. Pada tahapan ini dilakukan proses analisis atas data
yang terkumpul.
c. Tahap penyajian data yang terdiri atas hasil analisis data yang disajikan
dengan format tertentu.

B. REFLEKSI GERAKAN TERORISME DI DALAM NOVEL DEMI ALLAH
1.

AKU JADI TERORIS DAN PENANGGULANGANNYA
Sinopsis Novel
Novel Demi Allah Aku Jadi Teroris mengangkat isu bom bunuh diri yang paling

sering dilancarkan oleh kelompok Islam radikal. Damien menjadikan tokoh wanita
sebagai pelaku bom bunuh diri tersebut, persis seperti apa yang dilakukan oleh Yasmina
Khadra, seorang sastrawan Aljazair di dalam novelnya The Attack (2008). Ia mengawali
ceritanya dengan perjalanan seorang mahasiswi kedokteran yang bernama Kemala.
Kemala termasuk aktivis kampus yang berparas cantik dan gemar mengikuti kegiatan
keislaman. Hingga akhirnya ia terperangkap ke dalam sebuah kelompok Islam radikal
yang menganggap kafir semua orang di luar kelompok mereka.
5

Setelah terdoktrin oleh ajaran-ajaran radikal, ia kemudian mendapatkan sebuah
mandat untuk menjalankan tugas suci demi mendapatkan surga. Ia berencana meledakkan
sebuah kafe yang bernama Kafe Bistro Americana. Sebelum tiba masa eksekusi misi bom
bunuh diri tersebut, ia berkenalan dan sering bertemu dengan Prakasa. Ia adalah seorang

anggota Intel yang sedang menyelidiki Kemala terkait keterlibatannya dalam aksi
terorisme. Dari pertemuan itu, tanpa diduga benih-benih cinta mulai tumbuh di antara
mereka berdua,
Damien mengakhiri ceritanya dengan pertemuan antara dua insan tersebut yang
saling jatuh cinta dalam diam itu di sebuah kafe tepat saat pelaksanaan misi bom bunuh
diri. Prakasa berhasil menghentikan Kemala yang saat itu memegang remote control
dengan cara menembak lengannya. Kemala kemudian masuk penjara dan taubat setelah
menjalani terapi deradikalisasi selama tinggal di dalam sel tahanan. Selepas bebas dari
penjara, Kemala dan Prakasa akhirnya menikah dan dikarunia seorang anak.
2.

Ruang Lingkup Terorisme di Indonesia
Kata terorisme secara etimologis berasal dari bahasa Latin, terror. Kata tersebut

merupakan bentuk kata benda terrere yang artinya membuat takut dan mencekam. Kata
tersebut kemudian diipakai dalam bahasa Inggris dan terbentuklah istilah terrorism dan
terrorist. Terorisme difahami sebagai ancaman atau tindakan kekerasan dalam mencapai
tujuan-tujuan politik, agama, dan lainnya dengan cara intimidasi, menimbulkan
ketakutan, dan sebagainya yang diarahkan kepada penduduk atau warga negara tertentu.
(Chomsky dalam Aprinus dkk, .t.t: 1). Aksi terorisme dilakukan secara sistematis dan rapi

sebagaimana dikatakan oleh Paul Wilkinson saat membedakan antara kata teror dan
terorisme. (Marius H. Livingston, 1978:402)
Di Indonesia, aksi-aksi terorisme terutama aksi peledakan bom marak dilakukan
sejak tahun 2000. Peristiwa tersebut diawali dengan peledakan gereja dan terus berlanjut
sampai tahun 2005. Di antara tragedi peledakan bom (termasuk bom bunuh diri) yang
paling siginifikan dari segi jumlah korban dan dampak di dunia internasional adalah Bom
Bali I (2002), Bom Marriot I (2003), Bom Kedutaan Besar Australia (2004), dan Bom
Bali II (2005). Namun, berbeda dari aksi-aksi bom bunuh diri di negara-negara lain
seperti Palestina, Irak, Afganistan, dan Pakistan yang terjadi tiada henti, bahkan terus
6

meningkat secara kualitatif dan kuantitatif. Aksi peledakan bom di Indonesia berangsurangsur dapat dikendalikan polisi dan akhirnya antara 2005-2009 Indonesia bisa dikatakan
relatif bebas bom. (Sarwono, 2012: 76)
Aksi tersebut dilakukan oleh mereka yang sudah siap mengorbankan nyawanya
demi cita-cita jihad sehingga membuatnya masuk surga. Keyakinan tersebut tidak muncul
begitu saja namun telah melalui beberapa proses doktrinasi yang sistematis. Sarlito
Wirawan Sarwono, seorang psikolog yang khusus menangani terorisme di Indonesia
menegaskan bahwa ada beberapa poin penting yang ditanamkan ke dalam pikiran korban
sebagai calon teroris saat proses doktrinasi, antara lain:
a. Rasa kebencian terhadap negara dan pemerintah. Pemerintah dianggap sebagai

thaghut (setan), karena tidak menjadikan al-Qur’an sebagai dasarnya.
b. Kecintaan kepada sesama anggota kelompoknya lebih besar dan diutamakan
daripada kecintaannya terhadap keluarga.
c. Umat Islam di luar kelompoknya dianggap kafir. (Sarlito Wirawan Sarwono,
2012: 120)
Untuk mengatasi isu terorisme ini, pemerintah RI telah melakukan langkah-langkah
strategis di antaranya adalah pembentukan Densus 88 di tubuh POLRI, revitalisasi fungsi
intelejen, pengaktifan Koter (Komando Teritorial) di tubuh TNI, dan program
deradikalisasi untuk menetralisir pemikiran radikal para teroris. (A.M. Fatwa, 2006: 127134 dan Sarwono, 2012: 132).

3.

Mekanisme, Motif, dan Tipologi Gerakan Terorisme dalam Novel Demi Allah
Aku Jadi Teroris
Di dalam novel Demi Allah Aku Jadi Teroris, gerakan terorisme dan antiterorisme,

masing-masing dilakukan oleh tokoh utama dalam cerita tersebut yang bernama Kemala
dan Prakasa. Kemala berperan sebagai pelaku aksi bom bunuh diri, sedangkan Prakasa
berperan sebagai pahlawan yang mengagalkan aksi bom bunuh diri tersebut. Kedua tokoh
ini menjadi fokus penceritaan di dalam novel ini sehingga bisa disebut tokoh utama.
Bahkan di akhir cerita mereka hidup bersama sebagai suami-istri yang bahagia. Pada

7

bagian ini, tokoh yang akan menjadi pokok pembicaraan dalam hubungannya dengan
latar belakang tokoh tersebut menjadi seorang teroris adalah Kemala. Sedangkan Prakasa
akan menjadi topik pembicaraan pada bagian penanggulangan aksi terorisme.
Awal mula Kemala masuk ke dalam kelompok Islam radikal adalah saat ia
mendapatkan bimbingan keagamaan di kampusnya. Isu utama yang membuatnya tercuci
otak adalah isu ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di negara Republik Indonesia.
Ketimpangan tersebut berupa ketimpangan dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan,
agama, dan bidang-bidang lainnya. Penyebab utama dari ketimpangan-ketimpangan
tersebut adalah sistem kenegaraan yang tidak sesuai dengan hukum Allah. Sistem
demokrasi menurut mereka adalah sistem buatan manusia, bukan sistem yang berasal dari
Allah. Sistem yang berasal dari Allah hanya berupa Syariat Islam. Allah telah
memerintahkan hamba-Nya untuk tunduk dan taat hanya kepada Syariat Islam. Oleh
karena itu, ketaatan kepada hukum selain hukum Allah disebut kafir atau musyrik. Solusi
yang ditawarkan oleh para pembimbing keagamaan mereka bertiga adalah hiijrah dari
sistem demokrasi menuju sistem Syariat Islam.
Itulah dorongan utama Kemala masuk ke dalam kelompok Islam radikal dan
membuatnya menjadi seorang teroris. Sebagai seorang mahasiswi kedokteran tentu
Kemala termasuk orang yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Namun, saat doktrin
agama merasukinya, kecerdasan tersebut seringkali tidak berguna untuk menyaringnya.
Kemala telah melewati proses doktrinasi panjang sejak ia bergabung ke dalam kelompok
pengajian yang dipimpin oleh Ustaz Amir hingga ia menjadi seorang pelaku bom bunuh
diri. Proses doktrinasi tersebut telihat pada obrolan antara dia bersama jamaah wanita
lainnya dari berbagai latar belakang dengan Ustaz Amir:
“...dalam negara ini telah terjadi banyak kemasiatan. Kalian dapat melihatnya di
koran-koran dan majalah. Bayi-bayi dibuang, terjadi banyak pembunuhan,
penculikan, penganiayaan, mutilasi. Nah, mengapa semua ini terjadi?! Karena kita
semua tidak hidup dalam sebuah negara yang melandaskan diri pada hukum Allah.
Apa itu Hukum Allah?”
Purbani berbisik pelan, “Al-Qur’an”
“Tepat Sekali...” (halaman 77)
Kemudian Ustaz Amir dengan fasih, tenang, sabar, dan penuh keyakinan berbicara
mengenai kehidupan yang ideal di bawah Syariah Islam sampai akhirnya, menjelang
akhir pengajian, ia bertanya,”Apakah menurut kalian hal ini mustahil?”
8

...
“Tidak, hal ini bukan sebuah kemustahilan. Tapi bagaimana caranya?...” (halaman
78)
“...yang perlu kalian lakukan adalah melakukan hijrah ke dalam sebuah negara yang
menerapkan hukum Islam secara penuh” (halaman 88)
Doktrinasi di atas sangat mudah diterima oleh Kemala yang sedang mengalami
goncangan batin. Ia menginginkan ketenangan dan kenyamanan dalam hidup yang tak
pernah ia rasakan. Menurutnya, ketenangan dan kenyamanan tersebut hanya dapat
direalisasikan jika hukum Allah diformalisasikan ke dalam hukum negara. Hidup di
bawah naungan hukum Allah dapat berujung kenikmatan surga di akhirat kelak. Berikut
kutipannya:
“...Saat membuka mata dan menatap kamarnya yang nyaman dan mungil, ia
terngiang-ngiang pertemuannya semalan tentang sebuah kehidupan yang ideal di
surga...alangkah nikmatnya hidup di surga sana. Tidak ada peperangan, tidak ada
tangisan. Seperti kata Ustaz Amir. Indahnya kalau tidak terjadi lagi kemaksiatan di
bumi ini, dan semuanya hidup rukun di bawah satu hukum. Hukum Allah. AlQur’an” (halaman 78)
Kemala menerima tawaran dari Ustaz Amir berupa jalan menuju surga yang penuh
dengan kenyamanan dan keindahan. Kemala yang sejak kecil mengalami rasa sepi karena
ditinggal mati oleh ibunya dan tidak pernah mendapatkan kehangatan kasih sayang sang
ayah, mengalami tekanan psikologis yang terbawa hingga ia berusia dewasa. Keindahan
surga begitu menggodanya sehingga ia ingin segera memasukinya (halaman 79).
Ditambah lagi tayangan-tayangan yang sering ia saksikan yaitu video-video
penganiayaan dan penindasan umat Islam di Irak dan Afganistan (halaman 145).
Emosinya semakin melonjak tinggi hingga ia ingin segera membunuh orang-orang kafir.
Penyakit terorisme yang menjangkiti Kemala kian akut sebagaimana tergambar di dalam
kutipan berikut:
“Sepanjang pagi sampai sore hari, Kemala melihat berbagai peperangan antara umat
muslim dan non-muslim, peperangan di Afganistan dan di Irak. Ia melihat berbagai
pertikaian dan kezaliman terhadap kaumnya. Hati kemala miris. Ia tidak dapat
mengalihkan pandangannya dari layar, bahkan setelah sang Ustaz selesai memutar
filmnya. “Nah? Bagaimana? Apakah ada yang berkomentar?”

9

“Saatnya kaum muslim didengarkan!” seorang wanita berteriak, menatap ke arah
yang lainnya. Para wanita itu menyadari tatapan mata sang ketua dan mulai bersorak
dengan yel-yel yang sama, “saudah waktunya kita melwan orang kafir!” mereka
bersorak kembali, sekali ini lebih keras.
“Kemala?’ sang ustaz menatap wajah murid barunya, “Bagaimana menurut anti?”
“hal ini patut ditangisi.”
...
“Menurut Ustaz, bagaimana saya sebaiknya bersikap?”
Sang ustaz melantunkan penjelasannya, yang berarti, “Perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian”
Kemala tidak berkata apa-apa lagi. Ia tahu segala perkara yang dilihatnya
menimbulkan rasa amarah dalam dadanya. Namun, lebih dari itu, ia merasakan
kesedihan yang amat dalam terhadap berbagai peperangan, terutama terhadap para
korban”
...
Saat film-film itu diputar kembali dan kesakitan itu dieksploitasi dalam satu sisi,
Kemala pun akhirnya bangkit berdiri, “Kita harus memerangi ketidakadilan ini.
Keberadaan pasukan sekutu telah memperparah keadaan saudara-saudara kita!”
Sang ustaz berkata, “bunuhlah orag-orang musyrikin di mana saja mereka kamu
jumapi mereka..!!!”. Mereka yang lain berteriak serentak, “Kita harus memerangi
para kafir! Kita adalah pejuang! Kita hrus memerangi mereka!” (halaman 145-148)
Kutipan di atas jelas menggambarkan penanaman aksi-aksi radikalisme dan
terorisme yang sangat cerdas dan strategis. Isu-isu kemanusiaan begitu mudah dijadikan
alat propaganda karena menyentuh sisi paling sensitif di dalam jiwa manusia. Oleh
karena itu, saat sisi sensitif tersebut disentuh lalu dibawa ke ranah agama atau ideologi,
maka perasaan dan keinginan untuk membalas perlakuan keji tersebut dapat muncul tak
terkendali hingga pelakunya tidak lagi peduli pada nyawanya sendiri demi melakukan
jihad. Kemala selepas menonton film-film propaganda tersebut menjadi sadar untuk
melakukan aksi pembalasan, melakukan jihad dan pengorbanan harta dan jiwa. (halaman
147)
Puncaknya, Kemala bersedia menjalankan misi jihadnya untuk membunuh orangorang kafir dan para pelaku maksiat atas instruksi dari kordinator aksi, Ustaz Ziki. Aksi
tersebut berupa aksi bom bunuh diri di sebuah kafe yang bernama Kafe Bistro
Americana. Kafe tersebut menjadi tempat berkumpulnya orang-orang asing terutama
orang Barat yang sedang mencari “hiburan”. Orang Indonesia pun banyak yang ikut
mendatangi kafe tersebut dengan tujuan yang sama (halaman 161).

10

Ustaz Zaki melihat sisi lain dari diri Kemala sebagai seorang wanita yang lembut,
namun di balik itu, Kemala memiliki sisi hitam, gelap dan keras. Ustaz Ziki berhasil
menempa sisi lain Kemala tersebut dan meyakinkannya bahwa sisi gelap itu adalah
kepribadian sebenarnya dari dirinya (Halaman 150-151). Akhirnya, Kemala bersedia
menyamar menjadi wanita penghibur di kafe tersebut dan berganti nama menjadi
Kassandra. Berikut ini pernyataan Kemala saat ditawari aksi bom bunuh diri di Kafe
Bistro Americana:
“Anti akan diberi tugas, Kemala. Apa Anti sudah siap?” Ustaz Ziki menatap Kemala.
“Kiai, ada satu ajaran yang tidak pernah saya lupakan. Saya telah merenungkannya
berulang-ulang dan saya meyakininya.”
“Apa itu?” Sang Ustaz bertanya-tanya dalam hatinya.
“Mati Syahid. Saya siap dengan segala konsekuensinya.”
Ustaz Ziki menatap Kemala dengan pandangan terkejut. Dulu ia adalah wanita yang
sangat berbeda. “Dulu Anti saya harus ajari, bagaimana menjadi pejuang, dan
sekarang anti yang sudah cepat-cepat ingin berperang.” (halaman 152-153)
Selanjutnya, menjelang aksi bom bunuh diri dilancarkan, Kemala sudah bersiap
dengan bom di dalam perutnya. Para dokter yang terlibat dalam aksi tersebut
menanamkan bom berdaya ledak tinggi di dalam perut Kemala. Meski benih cinta telah
tumbuh di dalam hatinya yang membuat dirinya ragu atas keyakinannya, ia lebih memilih
bersegera menemui kenikmatan menjadi seorang syahid. (halaman 194)
4.

Penanggulangan Aksi Terorisme dalam Novel Demi Allah Aku Jadi Teroris
Penanggulangan aksi terorisme telah diupayakan oleh pemerintah RI dengan dua

jenis pendekatan. Pertama, upaya penegakkan hukum dan, kedua, program deradikalisasi.
Penegakkan hukum mesti dilakukan atas tersangka aksi terorisme sesuai dengan aturan
yang berlaku. Penangkapan para teroris gencar dilakukan oleh tim khusus
penanggulangan terorisme yang disebut Densus 88. Tim tersebut menyerbu tempattempat persembunyian para teroris dan menangkap mereka bahkan ada yang langsung
ditembak di tempat karena melakukan perlawanan.
Sedangkan pendekatan kedua adalah program deradikalisasi. Program tersebut
dimaksudkan untuk menetralisir ideologi radikal yang telah meracuni otak si pelaku aksi
terorisme. langkah tersebut dapat dilakukan, baik saat para teroris masih beroperasi lalu
11

ia mengurungkan niatnya untuk melancarkan aksinya maupun saat mereka sudah ditahan
didala penjara dengan menjalani terapi dari para psikolog dan ulama.
Di dalam novel ini, aksi penanggulangan terorisme dengan pendekatan penegakkan
hukum dan deradikalisasi tergambarkan dalam aksi tokoh Prakasa yang menjadi anggota
divisi khusus anti teror. Ia seorang lulusan akademi militer dan sempat mengenyam
pendidikan militer di Amerika Serikat selama beberapa tahun. (halaman 127)
Dalam aksinya, ia mengawasi pergerakan para tertuduh terorisme yang dianggap
akan melancarkan aksinya. Lalu satu per satu para teroris dapat ditangkap dan sebagian
lagi dilumpuhkan dengan timah panas. Aksi tersulit ia hadapi saat mendekati Kemala
yang secara tidak sadar telah membuat Prakasa kehilangan fokusnya. Kehilangan fokus
tersebut disebabkan oleh benih-benih cinta yang tumbuh di dalam hatinya. Prakasa
berusaha menyadarkan Kemala dengan cara menyentuh nurani kemanusiaannya yang
suka menolong dan peduli terhadap orang lemah dan terzalimi. Ia berpura-pura menjadi
korban pemukulan yang dilakukan oleh para preman di depan Kemala. Hati Kemala pun
terketuk untuk menolong Prakasa, namun tidak bertahan lama setelah ia teringat kembali
bahwa hatinya hanya milik Allah. (halaman 187-188)
Langkah di atas, yaitu penanaman rasa cinta yang alami ke dalam hati seorang teroris
memiliki pengaruh yang sangat besar sehingga membuatnya berfikir kembali untuk
merusak rasa kemanusiaannya. Keyakinannya untuk menjadi seorang yang mulia di sisi
Allah dengan cara membunuh orang-orang yang dianggapnya musuh Allah padahal
bukan, sedikit demi sedikit menjadi luluh. Semakin kuat intensitas dan frekuensi rasa
cinta merasuki hatinya, maka semakin melemah keinginannya untuk melakukan aksi-aksi
terorisme. Kemala, setelah gagal melakukan aksi bom bunuh dirinya karena tertembak
lengannya oleh Prakasa, mengalami penurunan yang signifikan dalam hal keyakinannya
yang salah tentang jihad. Berikut kutipan pernyataan persuasif Prakasa kepada Kemala
sesaat setelah dirinya menembak jatuh kekasihnya:
“Sayang, semua tentang aku tidak ada yang benar, kecuali bahwa aku mencintaimu.
Tidak ada yang dapat meruntuhkan dinding pertahanan hatiku kecuali engkau, dan
aku masih tetap mencintaimu dan seluruh hatiku saat ini. Aku tahu, hatimu lembut
dan penuh cinta, hatimu mencintai kedamaian di atas kekerasan, dan aku akan
mendapatkan sisi hatimu yang telah hilang itu kembali, Kemala”

12

“Aku akan merebutnya kembali untukmu. Percayalah padaku. Tidak ada kata
terlambat untuk itu. Setiap manusia dapat berubah. Aku berubah, dan aku yakin,
kamu juga dapat berubah. Kemala, aku mohon padamu’ (halaman 205)
Sisi

kemanusiaan

Kemala

semakin

memperlihatkan

kemenangannya

dan

mengalahkan sisi gelapnya sebagai seorang teroris pada saat ia siuman pasca operasi
pengangkatan bom dari dalam perutnya. Prakasa memperlihatkan kepadanya liputan
eksklusif penyerbuan tim anti teror di camp tempatnya berlatih dan direkrut menjadi
seorang “pengantin bom.” Jiwanya semakin terguncang ketika Prakasa menusuknya
dengan kata-kata yang tajam sebelum keluar meninggalkannya:
“Apapun yang terjadi di sekitar kita, bukan hak kita untuk mencabut nyawa manusia.
Kita tidak memiliki hak untuk menggantikan posisi Tuhan, menjadi hakim sekaligus
eksekutor hidup dan mati sesama. Siapapun dia. Tidak pernah ada yang melantik
manusia untuk mendapatkan jabatan itu.” (halaman 209)
Kutipan di atas menggambarkan rasa cinta Prakasa sebagai representasi dari tim anti
teror yang berusaha memulihkan kembali sisi kemanusiaan Kemala sebagai representasi
dari para teroris, yang tertutupi oleh sisi gelap dan kerasnya. Cinta sesama manusia
terutama dari anggota keluarga teroris dapat menjadi salah satu solusi permasalahan
terorisme di Indonesia khususnya.
Selain deradikalisasi dengan cara memulihkan kembali sisi kemanusiaan para
tersangka kasus terorisme, juga harus meluruskan pemahamannya yang salah tentang
beberapa ajaran Islam. Ada tiga hal yang seringkali disalahfahami oleh para teroris
sehingga mesti diluruskan: pertama, interpretasi ayat-ayat yang berhubungan dengan
perang. Kedua, pemaknaan kata jihad. Ketiga, hakikat agama Islam.
Damien Dematra di dalam novelnya ini, memaparkan ketiga hal tersebut secara jelas
untuk membantah penafsiran para teroris yang salah. Tokoh yang bernama Ustaz Akil
Damien hadirkan sebagai representasi para ulama yang bertugas meluruskan pemahaman
keagamaan yang salah. Selama ditahan di dalam penjara, Kemala dibimbing oleh Ustaz
Akil sehingga membuatnya bertobat dari apa yang telah diperbuat dan diyakininya. Ustaz
Akil mulai meluruskan tiga hal yang disalahfahami oleh Kemala. Pertama, interpretasi
ayat-ayat yang berhubungan dengan perang. Berikut ini kutipan percakapan antara
Kemala dan Ustaz Akil:
13

“Anti hampir menambah penderitaan umat manusia, Kemala. Allah tidak perlu
dibela. Ia terlalu besar dan terlalu kuat untuk kita bela. Dia adalah Allah kita.
Pencipta seluruh alam semesta ini”
“Tapi, bukankah dalam Surah Muhammad dikatakan bahwa jika kamu menolong
Allah, maka Allah akan menolong kamu?”
Ayat itu belum sempurna. Kelanjutan ayat itu berbunyi...dan Ia mengukuhkan kakikaki kamu.”
“Maksud Ustaz?”
“Itu adalah ayat perang. Artinya kalau Anti di medan perang pertempuran dan anti
amu membela kaum muslimin, maka Allah akan menguatkan kaki-kaki anti agar
tidak mundur dari medan pertempuran. Anti tahu tidak, bahwa Surah Muhammad
memiliki nama lain. Surah Qital yang artinya surat perang?”
“Bukankah kita sedang dalam masa peperangan dengan kaum kafir di mana-mana?”
“Apa itu kaum kafir menurut anti?”
“Orang kafir, ya, orang-orang yang membunuh kaum muslimin, terutama Amerika.”
“Praktek Nabi Muhammad tidak membunuh orang kafir di mana-mana seperti
penjelasan dalam Surah Muhammad menghadapi musuh dalam medan perang. Mari
kita pikir kembali, sudah cocokkah praktek anti dengan praktek Nabi Muhammad?”
(halaman 211-212)
Pada percakapan di atas, jelas terdapat kesalahan Kemala dalam menempatkan ayat
yang seharusnya dipraktekkan pada saat perang dan di medan perang. Inilah kesalahan
utama yang diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh para pelaku aksi terorisme.
Kesalahan selanjutnya adalah pemahaman mereka tentang makna jihad. Jihad difahami
oleh mereka sebagai upaya membunuh orang-orang yang tidak seagama dan sealiran
dengan mereka. Padahal jihad yang sesungguhnya adalah melawan hawa nafsu
sebagaimana Nabi Muhammad sabdakan. Berikut kutipan pernyataan Ustaz Akil tentang
hakikat jihad:
“Jihad yang sesungguhnya adalah melawan hawa nafsu sebagaimana Nabi
Muhammad katakan “kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar.” Kala
itu perang baru selesai. Artinya, menghadapi diri sendiri dengan tidak mencederai
dan membunuh orang lain lebih utama daripada perang itu sendiri. Membangun umat
Islam dan mempersatukan umat Islam juga bagian dari jihad. Sepantasnya kita
memperhatikan kesejahteraan umat Islam di sekitar kita daripada melukai sesama
umat Islam dan bangsa kita sendiri.” (halaman 212)
Ustaz Akil melanjutkan wejangannya kepada Kemala tentang hakikat Islam:

14

“Islam adalah agama yang damai, seperti firman Allah swt dalam surah al-Anbiya
ayat 107 berbunyi...wa ma arsalnaka illa ramatan lil’alamin...dan Kami tidak
mengutusmu ya Muhammad kecuali sebagai rahmat dan perdamaian untuk sekalian
alam.” (halaman 212)
Setelah Kemala mendengarkan nasehat demi nasehat dari Ustaz Akil, keyakinannya
yang sebelumnya radikal menjadi moderat. Ada ketenangan yang lebih menentramkan
daripada apa yang dirasakan sebelumnya. Kemala pada akhirnya menyatakan bahwa
Islam adalah agama yang damai dan ia akan bekerja sama dengan tim anti teror untuk
mengungkap jaringan terorisme yang telah menjerumuskannya ke dalam jurang
kehancuran. (halaman 213)
C. KESIMPULAN
Rentetan peristiwa bom bunuh diri mengguncang Indonesia. Tak kurang dari lima
tragedi bom bunuh diri yang terjadi di beberapa tempat sepanjang tahun 2002 hingga
2006, seperti bom Bali I (2002), JW Marriot (2003), Kedubes Australia (2004), Bom
Bali II (2005), dan bom Ritz Carlton (2006). Penyerangan tersebut dilakukan oleh
sekelompok orang garis keras yang mengaku sebagai muslim.
Tragedi di atas direfleksikan oleh Damien Dematra dalam novelnya Demi Allah Aku
Jadi Teroris. Pemahaman yang dangkal terhadap ajaran Islam menjadi sebab utama
seseorang menjadi teroris yang tidak memiliki jiwa kemanusiaannya demi sebuah citacita ideal. Damien Dematra mengungkapkan dorongan seseorang melakukan aksi
terorisme, salah satunya aksi bom bunuh diri. Ada beberapa faktor yang mendorong
seseorang melakukan aksi bom bunuh diri, di antaranya adalah sebagai aksi balas dendam
atas apa yang telah dilakukan negara-negara Barat terhadap umat Islam di Timur Tengah,
usaha melenyapkan simbol kapitalisme, dan upaya menegakkan Syari’at Islam secara
utuh dan formal di dalam institusi negara.
Cara menanggulangi aksi bom bunuh diri dapat dilakukan melalui penegakan
hukum dan deradikalisasi para pelaku aksi terorisme. Kedua cara tersebut harus
dijalankan bersama-sama agar dapat membatasi ruang gerak para teroris dan meluruskan
kembali pemahaman mereka yang salah tentang ajaran Islam. Upaya penegakkan hukum
dilakukan dengan menangkap dan mengadili para teroris serta menyerbu markas dan
15

tempat-tempat persembunyiannya. Usaha deradikalisasi dijalankan dengan melibatkan
semua elemen masyarakat dan pemerintah, mulai dari keluarga pelaku, tetangga,
masyarakat, dan ulama, untuk mengembalikan rasa kemanusiaan para teroris dan
meluruskan pemahamannya yang keliru tentang beberapa ajaran Islam, seperti konsep
jihad dan Syariat Islam.

DAFTAR PUSTAKA
A.N, Jusuf. 2013. Pedang Rasul. Jogjakarta: Diva Press.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Galang Press.
Ariesta, Ditta. 2009. Naksir Anak Teroris. Jogjakarta: Sheila.
Brigitte L. Nacos. 2003. “Terrorism as Breaking News: Attack to America” Political
Science Quarterly [online] Vol.118 No. 1 (Spring , 2003), 23-52. The Academy of
Political Science.
Chamamah, Soeratno. 1991. Hikayat Iskandar Zulkarnaen. Jakarta: Balai Pustaka.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Dematra, Damien. 2009. Demi Allah Aku Jadi Teroris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
El Khaliqy, Abidah. 2014. Jakarta: Solusi Publishing.
Ezza. Abu. Pengantin Teroris. Jawa Timur: Azhar Risalah.
Fatwa, A.M. 2006. Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme. Jakarta: Blantika
Hawkes, Terence. 1977. Structuralism and Semiotics. California: University of California
Press.
Hendropriyono, A.M. 2009. Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, dan Islam.
Jakarta: Kompas.
Jatmika, Sidik. 2009. Pengantin Bom. Jogjakarta: Liber Plus.
Livingston, Marius H. 1978. International Terrorism in The Contemporary World.
Westport (Connecticut): Greenword Press.
Piaget, Jean. 1973. Structuralism. London: Routledge and Kegan Paul.
Pradopo, Rachmat Djoko. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
16

Salam, Aprinus dan Ramyda Akmal. T.t. Terorisme Negara, dan Novel Indonesia. diakses
dari https://www.academia.edu/1483466/ terorisme_dan_sastra_indonesia pada 22
Desember 2014.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2012. Terorisme di Indonesia. Ciputat: Pustaka Alvabet.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Penerjemah: Melani
Budianta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

17