Kepailitan dan penundaan pembayaran Amerika

Hukum Arbitrase Komersial
Rekonstruksi Hukum Kepailitan di Indonesia

Oleh :
Arifin Dwi Cahyono

E0010

Athoy Yoga

E0010

Itok Nugroho

E0010

Muhammad Imam D P

E0010242

Wahyu


E0010

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Globalisasi ditandai dengan berakhirnya perang dingin, peningkatan
perdagangan internasional, revolusi teknologi komunikasi, kemajuan bidang
transportasi, dan meningkatnya kreativitas perekonomian dengan menggunakan
komputer dan internet. Lebih dari itu sistem yang berlaku akan berubah lebih efisien
dan produktif.
Peradilan juga akan terkena dampak globalisasi. Hal ini diungkapkan Hilario
G. Davide Jr. (Chief Justices of the Court of the Republic of the Philipines),
“Globalisasi adalah pergerakan ekonomi dari masa depan. Dunia Global

menyodorkan banyak kesempatan untuk mencapai peradilan yang independen. Dalam
kalimat yang senapas, hal itu juga mengandung jebakan riil yang akan mengikis
independensi peradilan itu sendiri.”
Banyak negara, khususnya negara berkembang, harus menyesuaikan diri dan
memperbaharui sistem peradilan mereka, karena desakan kebutuhan internasional,
yakni

masuknya

perusahaan-perusahaan

asing

(multinasional).

Kondisi

ini

ditenggarai sebagai salah satu faktor pendorong perbaikan instrumen badan peradilan

di negara berkembang, termasuk di Indonesia. Gejolak moneter pada pertengahan
tahun 1997 menimbulkan kesulitan besar bagi perekonomian nasional, terlebih lagi
muncul kondisi sebagian pelaku usaha/debitor tidak mampu memenuhi kewajiban
pembayaran utang kepada para lembaga pembiayaan/kreditor. Hal ini merupakan
akibat ekspansi usaha yang mereka lakukan.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, pada 22 April 1998 pemerintah
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Kepailitan yang kemudian disahkan
menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (selanjutnya UUK)
pada 24 Juli 1998. UUK merupakan penyempurnaan dari Failissement Verordening
Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 jo. Staatsblad tahun 1906 No. 384. UUK
diharapkan menjadi sarana efektif yang dapat digunakan secara cepat sebagai
landasan penyelesaian utang-piutang.
Salah satu soal penting setelah penyempurnaan aturan kepailitan adalah
pembentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan
Peradilan Umum. Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk adalah Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat. Selanjutnya berdasarkan Keppres Nomor 97 tahun 1999, 18 Agustus
1998, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan, dan Semarang.
Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa

niaga secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti masalah
pembuktian, verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya. Di sinilah kadang
terjadi persimpangan dengan kompetensi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal
pemeriksaan perkara, teruama perkara-perkara yang bersifat perdata. Melalui UUK,
kewenangan mutlak (kompetensi absolut) Pengadilan Umum untuk memeriksa
permohonan pailit dialihkan ke Pengadilan Niaga.
Belakangan ini eksistensi Pengadilan Niaga disorot kuat, antara lain karena
terjadi penurunan jumlah perkara yang masuk. Penurunan ini mencemaskan,
mengingat Pengadilan Niaga juga ditujukan untuk menyelesaikan masalah lain di
bidang perniagaan lainnya. Artinya, sejak awal Pengadilan Niaga dirancang untuk
diperluas kompetensinya. Saat ini perluasan kompetensi itu mencakup kewenangan
untuk memeriksa masalah-masalah yang terkait dengan Hak atas Kekayaan
Intelektual (HaKI), yang meliputi kewenangan memeriksa sengketa merek, paten,
desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu.

Namun pengakuan atas keberadaan dan eksistensi Pengadilan Niaga dalam
masing -masing UU tersebut belum bersifat integratif dan koordinatif. Hal ini antara
lain terlihat dari pengaturan prosedur beracara, atau hukum acara perkara niaga di
luar masalah kepailitan. Hukum acara yang selama ini digunakan dalam pemeriksaan
perkara kepailitan di Pengadilan Niaga masih menggunakan ketentuan Herziene

Indonesisch Reglement/ Rechtsreglement Buitengewesten (HIR/R.BG).
Suatu perkara di Pengadilan seyogianya harus mengkombinasikan tiga hal
secara simultan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum.
Untuk itu, perluasan pengembangan Pengadilan Niaga akan mendasarkan pada ketiga
poin tersebut dengan melihat dari eksistensi Pengadilan Niaga saat ini dalam
kaitannya sebagai pengadilan yang memutus perkara-perkara kepailitan/Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan HaKI.
Beberapa masalah yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: apa dan bagaimana
eksistensi Pengadilan Niaga saat ini; dan sejauhmana prospek pengembangan
Pengadilan Niaga untuk memeriksa perkara-perkara lain di luar bidang perniagaan.
Ruang lingkup permasalahan penelitian ini mencakup:
1.

Kompetensi Pengadilan Niaga. Terkait didalamnya adalah kewenangan
absolut dan kewenangan relatif Pengadilan Niaga untuk mengadili suatu
perkara.

2.

Eksistensi Pengadilan Niaga. Masalah yang melingkupi hal ini adalah: (1)

landasan hukum; (2) administrasi; (3) keberadaan para hakim niaga maupun
hakim ad hoc; (4) pengawasan terhadap Pengadilan Niaga; (5) sarana dan
prasarana terkait dengan kesiapan Pengadilan Niaga di luar Jakarta, dan; (6)
kemampuan Pengadilan Niaga menyelesaikan perkara.

Arah pengembangan Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan perkara-perkara lain
di luar Kepailitan/PKPU; sejauh mana suatu bidang hukum perniagaan lain dapat
diselesaikan di Pengadilan Niaga.

B. Rumusan Masalah :
a. Bagaimana existing condition hukum kepailitan di Indonesia sekarang
ini?
b. Bagaimana praktek kepailitan di Amerika ?
c. Bagaimana implementasi Undang-Undang Kepailitan yang ideal untuk
Indonesia ?

BAB II
PEMBAHASAN

Eksistensi Pengadilan Niaga dan Perluasan Kompetensinya

Sebelum diberlakukannya UUK, para pelaku ekonomi memperkirakan
sedikitnya ada 1800 perusahaan di Indonesia yang akan dikenai proses kepailitan.
Kenyataannya, setelah setahun UUK diberlakukan, kasus kepailitan tidak lebih dari
100 dan dari data statistik tahun 1998-1999, permohonan pailit hanya 29 persen yang
dikabulkan.
Berdasarkan data hasil rekapitulasi yang dilakukan Bappenas, jumlah perkara
yang masuk ke Pengadilan Niaga pada periode 1998-2002 terbanyak di Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat, yaitu sejumlah 315 perkara (Tabel 1). Di Pengadilan Niaga
Surabaya hanya ada 11 perkara, sementara di Pengadilan Niaga Semarang hanya lima
perkara. Dari jumlah tersebut, yang berhasil diputus Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
sebanyak 308 perkara. Yang diputus Pengadilan Niaga Surabaya sebanyak sembilan
perkara dan yang diputuskan pengadilan niaga Semarang lima perkara.

Tabel 1
REKAPITULASI JUMLAH PERKARA NIAGA
Periode Tahun 1998-2002

Jumlah Perkara
Putu
No

Pengadilan Niaga Masuk s
1
Jakarta Pusat
315
308
2
Surabaya
11
9
3
Semarang
5
5

Cabut Kabul Kasasi PK
60
103
168
99
2

4
4
2
0
3
3
0

Sumber: Diolah dari hasil survey penelitian mengenai pengadilan niaga,
kerjasama Komisi Hukum Nasional dan Universitas Andalas, Tahun
2002
Di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terjadi penurunan jumlah perkara yang
masuk. Pada tahun 1999 terdapat 100 perkara. Tahun berikutnya menurun jadi 84
perkara dan tahun 2001 menurun lagi menjadi 61 perkara. Dan pada tahun 2002
tinggal 39 perkara. Penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain faktor ekonomi, sosial dan yuridis.
Dari aspek ekonomi, para pelaku ekonomi telah menyadari bahwa belum
saatnya memohon kepailitan, karena pada saat yang bersamaan daya beli masyarakat
(market price) masih rendah. Masyarakat masih kesulitan membeli aset perusahaan
pailit yang dilelang. Sedangkan dari aspek sosial beberapa kreditor bersikap hati-hati

menghadapi dampak sosial kepailitan yang dapat menimbulkan pengangguran
massal. Sementara itu dari aspek yuridis penanganan sengketa kepailitan terkesan

masih lamban dan sulit diperkirakan. Sementara pada saat yang bersamaan terdapat
sarana/lembaga publik lainnya yang dapat menangani asset recovery akibat
wanprestasi tersebut (misal: PUPN, BPPN, Jakarta Initiative). Dengan kata lain, dari
segi yuridis, penurunan jumlah perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga disebabkan
oleh ketidakpuasan para pencari keadilan akan kinerja lembaga tersebut.
Menurut survei yang dilakukan tim peneliti, kemungkinan terbesar yang
menyebabkan turunnya jumlah perkara yang ditangani Pengadilan Niaga adalah
ketidakpuasan terhadap hasil putusan dan adanya hasil putusan yang tidak
mencerminkan asas keadilan (Tabel 2). Kemungkinan terkecil adalah akan dipilihnya
Pengadilan Negeri sebagai pengganti Pengadilan Niaga. Kemungkinan yang terakhir
ini kecil karena perkara kepailitan dan HaKI merupakan wewenang penuh Pengadilan
Niaga. Selain itu masih ada ketidakpercayaan yang cukup besar dari responden
terhadap kinerja Pengadilan Negeri.
Tabel 2

PENYEBAB TURUNNYA JUMLAH PERKARA NIAGA
DI PENGADILAN NIAGA


Pengacara/K
o
nsultan

Faktor Penyebab Turunnya jumlah

No
Perkara
Hakim Hukum
1 Tidak Puas atas Hasil Putusan
1
5
Hasil Putusan Tidak Mencerminkan asas
2

3
4

5

Keadilan
Tidak

ada

informasi

mengenai

perluasan

yurisdiksi
Pengadilan Niaga ke bidang HaKI

Prosedur yang Berbelit-belit
Kuasa

Hukum

Pengadilan
Negeri

atau

Advokat

Lebih

Memilih

1

5

0
1

4
2

0

3

6

Lainnya (Kemungkinan dipilih ADR)

3

0

Sumber: Diolah dari hasil survey penelitian mengenai pengadilan niaga,
kerjasama Komisi Hukum Nasional dan Universitas Andalas, Tahun
2002
Terlepas dari masalah di atas, Pengadilan Niaga telah berhasil melaksanakan
terobosan waktu penyelesaian perkara. Perubahan besar dalam asas kecepatan
penanganan perkara, yang didukung oleh transparansi penggunaan waktu yang sangat
ketat, menunjukkan bahwa Pengadilan Indonesia telah berhasil melakukan perubahan
ke arah yang lebih baik.

4. Arah Pengembangan Kompetensi Pengadilan Niaga
a. Pengembangan Kompetensi Absolut
Pembentukan Pengadilan Niaga merupakan salah satu dari sekitar 50 program
utama yang disyaratkan IMF dalam Letter of Intent (LoI) ketika pemerintah Indonesia
mengajukan bantuan. Pengadilan Niaga (commercial court) juga ditujukan untuk
menyelesaikan berbagai sengketa tertentu di bidang perniagaan. Sementara itu
cakupan perluasan yang diamanatkan UUK hanya spesifik pada bidang kepalitan dan
PKPU.
Ide dasar dan struktur pembentukan Pengadilan Niaga tidak dimaksudkan agar
Pengadilan Niaga berhenti sebagai “pengadilan untuk perkara kepailitan”. Tuntutan
dunia ekonomi secara keseluruhan berbanding lurus dengan keinginan meningkatkan
kinerja Pengadilan Niaga. Secara umum peningkatan kinerja tersebut dapat dilihat

dari dua jalur pengembangan, yaitu pengembangan dari sudut kewenangan absolut,
dan pengembangan dari sudut kewenangan relatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada keinginan dari para pihak yang
terkait untuk memperluas kewenangan absolut ke bidang-bidang lain yang terkait
dengan niaga. Setidaknya ada lima bidang dominan yang ingin diperluas kewenangan
absolutnya, yaitu perbankan, perseroan, asuransi, pasar modal, dan HaKI. Bidang
yang terakhir ini kini sudah diselenggarakan Pengadilan Niaga. Kewenangan absolut
tersebut juga diperluas dengan menambahkan kewenangan pemeriksaan sengketa
pada merek dan paten. Bidang-bidang yang dapat ditangani Pengadilan Niaga, antara
lain adalah Desain Industri dan Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Pengembangan kompetensi absolut Pengadilan Niaga merupakan tuntutan,
tantangan, dan harapan dari para pihak terkait. Dalam rangka pengembangan
kompetensi Pengadilan Niaga di era globalisasi, diperlukan konsep yang matang
untuk mempersiapkan perluasan kompetensi absolut tersebut, agar Pengadilan Niaga
dapat dipercaya dan kredibel di mata pencari keadilan.
Pengadilan Niaga dapat merujuk pada konsep Commercial Court di negara
bagian Lousiana, New Orleans, Amerika Serikat (AS), sebagai alternatif
perbandingan. Commercial Court di New Orleans, telah berkembang sejak tahun
1839 berdasarkan UU No.17 di bawah kewenangan La Constitusi Bab IV, Bagian 4
(1812). Menurut UU tersebut DPR negara bagian New Orleans kemudian membentuk
Pengadilan Niaga yang sejajar kedudukannya dengan Pengadilan Negeri (First
Judicial District Court).
Ruang lingkup kewenangan Commercial Court terbatas. Ia tidak menangani
kasus-kasus perselisihan yang berkenaan dengan kepemilikan sebidang tanah;
kepemilikan

budak;

hubungan

rumah

tangga;

tuntutan

kerugian;

atau

pengambilalihan atas hak. Peraturan ini juga memberikan kesempatan para pihak
yang terkait untuk mengalihkan kasus- kasus yang tertunda dan memiliki

kompleksitas yang tinggi di pengadilan yang ada kepada Commercial Court. Hal ini
merupakan upaya melepaskan beban pada pengadilan umum. Mengingat banyaknya
kasus dan kerumitan teknis atas perselisihan usaha yang bermunculan di kota-kota di
Louisiana, pihak legislatif berinisiatif memudahkan penyelesaian perselisihan secara
cepat untuk mendorong perkembangan perniagaan di New Orleans. Dengan demikian
permohonan banding dari Commercial Court ditujukan kepada Pengadilan Tinggi
(Supreme Court). Berdasarkan penelitian dengan sampel acak, diketahui bahwa lebih
dari separuh (51%) perkara yang masuk ke Commercial Court di New Orleans
berkaitan dengan instrumen keuangan pengadilan tersebut, seperti pinjaman (31%),
Bills of Exchange (12%), maupun instrumen lainnya (8%). Sisa perkara lainnya
melibatkan utang untuk barang perniagaan 26%; utang untuk pelayanan 8%; sewa
4%; dan perselisihan lainnya. Kasus-kasus yang diajukan berkisar dari tindakan
sederhana hingga masalah rumit. Penggugat menerima keputusan dengan cepat atas
kasus-kasus yang membutuhkan pembuktian rumit.
Dalam rangka mempersiapkan sebuah institusi Pengadilan Niaga yang lebih
baik di Indonesia, maka beberapa kewenangan Pengadilan Negeri, khususnya
perkara-perkara yang memiliki tingkat kerumitan cukup tinggi dapat dialihkan ke
Pengadilan Niaga secara bertahap, sehingga hal ini dapat mengurangi beban
Pengadilan Umum. Yang perlu dipersiapkan tatkala kewenangan perkara dari
Pengadilan Umum dilimpahkan ke Pengadilan Niaga adalah: perkara yang
dilimpahkan itu sesuai dengan karakteristik Pengadilan Niaga, yaitu prosesnya cepat
dan prosedur pembuktiannya sederhana. Kedua hal itu merupakan satu kesatuan.
Soalnya, tidak mungkin dilaksanakan proses yang cepat, jika tetap mengacu kepada
hukum acara yang saat ini berlaku di Pengadilan Negeri. Konsekuensi logisnya
adalah perkara yang dilimpahkan tersebut harus disederhanakan, baik dalam konteks
prosedural maupun pembuktiannya.

5. Obyek Perluasan Kompetensi
a. Perbankan
Bank sangat terkait dengan kepentingan masyarakat. Bubarnya suatu
bank akan menimbulkan dampak luas bagi masyarakat. Setidaknya ada sekitar
65 kasus di Pengadilan Niaga yang berhubungan dengan perbankan,
mencakup masalah kredit modal kerja, kartu kredit, L/C, kredit pembiayaan,
jaminan pribadi, anjak piutang, dan kredit sindikasi. Demikian data dari
Himpunan Putusan-putusan Pengadilan Niaga Dalam Perkara Kepailitan Jilid
1-9 untuk kurun waktu 1998-2001. Masalah hukum perbankan tidak
sesederhana sebagaimana persyaratan pailit dan membutuhkan pembuktian
yang tidak sumir. Putusan di tingkat Pengadilan Niaga sampai dengan
Mahkamah Agung, kenyataannya telah memutuskan pengertian utang pada
beberapa definisi. Hal ini terjadi lantaran UUK tidak tegas mendefinisikan
utang, sehingga dalam praktik berkembang dua macam pertimbangan hakim
Selain itu interpretasi terhadap pembuktian yang dapat dijadikan dasar bagi
hakim dalam menerima atau menolak perkara belum diatur dalam kriteria
yang tegas.
b. Asuransi

Kasus kepailitan yang melibatkan bidang asuransi menurut data
kumpulan Himpunan Putusan-putusan Pengadilan 1998-2000 baru berjumlah

dua perkara. Ini belum ditambah kasus Manulife pada pertengahan tahun 2002
dan kasus Prudential Life Insurance yang dipailitkan pada akhir April 2004.
Pemailitin itu patut dipertanyakan, mengingat terkadang kondisi keuangan
perusahaan asuransi tersebut tergolong cukup baik. Pada Prudential misalnya,
hingga 31 Desember 2003, tingkat solvabilitas atau kemampuan perusahaan

untuk membayar dana pada pihak ketiga cukup kuat: 255%. Kondisi ini jauh
melampaui ketentuan yang dipersyaratkan Depertamen Keuangan yakni 100%
per Desember 2003. Kondisi ini adalah refleksi dari keberadaan aturan dalam
UUK yang belum secara tegas mengatur mengenai kepailitan bagi perusahaan
asuransi. Keadaan ini sebetulnya tidak perlu terjadi, seandainya revisi UUK
sudah dilakukan. Pasal 2 ayat (5) revisi UUK menyebutkan bahwa “..Dalam
hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, permohonan pernyataan pailit hanya
dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.”
Lembaga penyelesaian sengketa niaga untuk bidang asuransi sangat
dibutuhkan, mengingat para pencari keadilan masih menganggap Pengadilan
Niaga sebagai lembaga penyelesaian yang murah, cepat, dan mudah.
c. Pasar Modal
Idealnya,

mekanisme

pasar

yang

berjalan

di

Pasar

Modal

diimbangi dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.
Saat ini ada Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) yang
menyediakan sarana alternatif penyelesaian sengketa di bidang pasar modal
yang cepat, transparan, mandiri, dan adil. Di masa depan tidak menutup
kemungkinan pengajuan perkara yang berkaitan dengan pasar modal dapat
diajukan ke Pengadilan Niaga, karena ruang lingkup pasar modal terkait
dengan bidang-bidang hukum lain seperti perbankan dan asuransi; suatu
bidang yang erat kaitannya dengan Pengadilan Niaga.

6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan :
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Sebagai suatu proses, pembentukan Pengadilan Niaga merupakan simbol
bergulirnya proses restrukturisasi institusi Peradilan dalam mengimbangi
perkembangan sosial dan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Secara umum
Pengadilan Niaga layak diharapkan berperan sebagai ujung tombak kekuasaan
peradilan dalam merespon kebutuhan masyarakat yang makin kompleks.
2. Membicarakan kompetensi Pengadilan Niaga berarti berbicara mengenai
kewenangan mutlak dan kewenangan relatif yang dimilikinya. Kewenangan
absolut terkait dengan ruang lingkup kewenangan memeriksa yang dimiliki badan
peradilan. Sementara kewenangan relatif terkait dengan pembagian kekuasaan
mengadili antara pengadilan serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat.
Bukan tidak mungkin
kedua kewenangan Pengadilan Niaga tersebut kerap bertautan dengan Pengadilan
Negeri.
Dasar permohonan merupakan unsur esensial untuk menyelesaikan soal ini, untuk
membedakan dasar sengketa yang menjadi dasar suatu gugatan yang diajukan ke
Pengadilan Negeri. Suatu utang piutang yang telah jatuh tempo dan salah satu di
antaranya dapat ditagih, merupakan prasyarat mutlak untuk menyelesaikan
sengketa di Pengadilan Niaga, apakah itu terkait dalam ruang lingkup perseroan,
perbankan, maupun pasar modal. Kemudian masalah pembuktian yang sederhana
menjadi unsur penyelesaian. Apabila tidak memenuhi unsur-unsur tersebut,
kewenangan untuk mengadili jatuh kepada Pengadilan Umum (Negeri).
3. Eksistensi Pengadilan Niaga saat ini adalah memeriksa perkara kepailitan/PKPU
dan bidang HaKI. Berbagai masalah yang terkait dalam ruang lingkup hal ini,
antara lain landasan hukum; administrasi; keberadaan sumber daya manusia,
yakni para hakim, apakah itu hakim niaga maupun hakim ad hoc; pengawasan
terhadap Pengadilan Niaga, yang meliputi pelaksanaan hukum acara dan kualitas

putusan yang dihasilkan, serta dissenting opinion; sarana dan prasarana terkait
dengan kesiapan Pengadilan Niaga di daerah-daerah lain di luar Jakarta; dan
kemampuan

Pengadilan

Niaga

menyelesaikan

perkara

lain

di

luar

kepailitan/PKPU, yaitu perkara di bidang HaKI.
Sebagian besar pihak-pihak yang terlibat menginginkan perluasan kompetensi
Pengadilan Niaga, sehingga dapat menangani masalah lain di luar kepailitan dan
HaKI). Tentu perluasan kompetensi ini akan meningkatkan jumlah perkara yang
masuk ke Pengadilan Niaga.
Rekomendasi
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat
disarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam rangka mengembangkan Pengadilan Niaga di Indonesia, yang diperlukan
adalah pembaharuan, terutama di bidang kompetensi dan hukum acara. Perlu
diciptakan aturan yang jelas mengenai kompetensi dan hukum acara Pengadilan
Niaga.
2. Beberapa hal yang patut diperhatikan dalam penyempurnaan hukum acaranya
adalah:
(1) perlu ada sanksi terhadap putusan pailit yang melewati jangka waktu yang
telah ditetapkan dalam UU; (2) sistem pembuktian perlu disederhanakan,
disesuaikan dengan jangka waktu proses penyelesaian perkara di Pengadilan
Niaga yang cepat;
(3) perlu pengertian lebih tegas terhadap sejumlah istilah di dalam hukum acara
kepailitan yang masih menimbulkan perdebatan dan dapat menimbulkan
perbedaan persepsi di kalangan hakim niaga dan ketidakpastian hukum. Misalnya
pengertian utang, kreditor, utang yang telah jatuh tempo, penetapan sementara

serta jumlah minimum utang.
3. Mengenai hukum acara di dalam paket UU mengenai HaKI, tampaknya masih
dibutuhkan waktu untuk mengetahui perkembangan pelaksanaannya lebih lanjut.
Sebab, perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga masih sedikit. Yang perlu
digalakkan saat ini adalah sosialisasi mengenai HaKI itu sendiri, peranan dan
kepentingannya di masa datang dalam era perdagangan bebas.
4. Perihal eksekusi dalam pelaksanaannya kadang masih membutuhkan penetapan
dari Pengadilan Negeri seyogianya dihapus. Putusan dari Pengadilan Niaga harus
dipandang

sebagai

putusan

yang

bersifat

mengikat

pihak-pihak

yang

bersangkutan.
5. Kinerja Pengadilan Niaga yang cepat karena dibatasi jadwal waktu (time
frame)
sangat ketat harus didukung kesiapan seluruh infrastruktur penunjang. Misalnya
Sumber daya manusia, sarana operasional, kebijakan regulasi dan hukum acara
yang terunifikasi dengan baik. Dengan jadwal waktu ketat untuk putusan hakim,
maka hal-hal mengenai pembuktian dapat menimbulkan permasalahan. Karena
itu, untuk mengisi kekosongan peraturan, perlu ada pasal yang mengatur, seperti
terdapat dalam
UU Kepailitan.
6. Dalam rangka mempersiapkan sebuah institusi Pengadilan Niaga yang lebih baik,
maka beberapa kewenangan Pengadilan Negeri, khususnya perkara-perkara yang
memiliki tingkat kerumitan tinggi dapat dialihkan ke Pengadilan Niaga secara
bertahap. Kekhawatiran dari para pihak yang terlibat akan muncul bila Pengadilan
Niaga membuka lebar-lebar kesempatan berperkara di bidang niaga. Dengan
demikian perlu disiapkan kriteria agar tiap perkara yang dilimpahkan dari
Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga sesuai dengan karakteristik Pengadilan
Niaga, yaitu prosesnya cepat dan memiliki prosedur pembuktian yang relevan

dengan objek perkara.
7. Perluasan bidang hukum tertentu hanya bisa dilakukan bila ada Peraturan
Pemerintah yang mendasarinya. Perluasan kompetensi Pengadilan Niaga untuk
memeriksa perkara HaKI telah diwujudkan dalam bentuk undang-undang. Hal ini
sesuai dengan amanat Pasal 281 ayat (2) UUK. Konsekuensinya adalah harus ada
rambu-rambu yang tegas sebagai syarat asas kepastian hukum bagi bidang-bidang
yang akan diperluas.
Sehubungan dengan peningkatan sumber daya para hakim, disarankan untuk
mengangkat Hakim Ad-Hoc, yakni hakim dari kalangan profesional dan ahli di
bidang Niaga tertentu. Para hakim Pengadilan Niaga juga perlu mendapat
kejelasan tetang peningkatan jenjang karir dan pola mutasi mereka, agar muncul
hakim niaga yang profesional. Dengan demikian Mahkamah Agung seharusnya
memberi perhatian lebih, dengan membuat aturan yang jelas tentang jenjang karir
Hakim Niaga.

B.
Perkembangan hukum ekonomi di Indonesia berkembang dengan sangat
pesat. Perkembangan ini dipengaruhi oleh perkembangan globalisasi perekonomian.
Dari sisi hukum, perkembangan hukum ekonomi ini memunculkan transplantasi di
bidang hukum. Yaitu perpindahan dari suatu aturan atau sistem hukum dari satu
negara ke negara lain. Dari sejarah perkembangan hukum di Indonesia di ketahui
bahwa transplantasi hukum di Indonesia terjadi sejak jaman kolonial dan berkembang
pesat pada era globalisasi.
Di bidang hukum kepailitan, pemerintah kolonial Belanda dengan asas
konkordansi memberlakukan Failissemenst Verordening terhadap golongan Eropah
berdasarkan Pasal 131 IS Jo. 163 IS. Berlakunya hukum kepailitan ini ternyata juga
dalam prakteknya diberlakukan terhadap golongan bumi putera. Sejak terjadinya

krisis moneter di Indonesia, hukum kepailitan selanjutnya diganti oleh Perpu No. 1
Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998.
Disempurnakannya FV menjadi Perpu No. 1 Tahun 1998 dan dikuatkan menjadi UU
NO. 4 Tahun 1998 tidak terlepas dari kelemahan yang terkandung dalam FV tersebut.
Dari segi substansi,terdapat beberapa kelemahan dalam FV 1905,[2] yaitu :
Pertama, tidak jelasnya time frame yang dapat diberikan untuk menyelesaikan
kasus kepailitan. Akibatnya untuk menyelesaikan sebuah kasus kepailitan dibutuhkan
waktu yang sangat lama.[3] Kedua, jangka waktu untuk penyelesaian utang melalui
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) juga sangat lama, yaitu memakan
waktu 18 bulan. Ketiga, apabila Pengadilan menolak PKPU, Pengadilan tersebut
tidak diwajibkan untuk menetapkan debitur dalam keadaan pailit. Keempat,
kedudukan kreditur masih lemah. Umpamanya dalam hal pembatalan perbuatan
debitur yang dapat merugikan kreditur, jangka waktu yang diberikan hanya selama 40
hari sebelum pailit, sedangkan dalam UU NO. 4 Tahun 1998 jangka waktu tersebut
diberikan sampai 4 tahun.
Dari segi implementasi, FV 1905 tampaknya jarang digunakan oleh
masyarakat golongan pribumi karena FV 1905 tersebut memang awalnya tidak
ditujukan bagi golongan Bumi Putera, tetapi ditujukan bagi golongan Eropa dan
golongan Timur asing kecuali Bumi Putera tersebut melakukan penundukan secara
sukarela. Oleh karenanya, peraturan kepailitan tersebut tidak dirasakan sebagai
peraturan milik golongan pribumi, dan karenanya tidak pernah tumbuh dalam
kesadaran hukum masyarakat.
Apabila diperhatikan sejarah hukum kepailitan ini diketahui terjadi perubahan
dari hukum kepailitan yang lama (Faillisement Verordening) yang bercirikan Sistem
Eropah Kontinental ke arah Sistem Hukum Anglo Saxon. Di sini terjadi proses
tranplantasi hukum. Uraian selanjutnya dalam tulisan ini akan mencoba untuk
membandingkan hukum kepailitan di Indonesia yang semula bercirikan Eropah

Kontinental Sistem dengan Sistem Hukum Anglo Saxon. Jika ditelusuri sejarah
hukum tentang kepailitan, diketahui bahwa hukum tentang kepailitan itu sendiri
sudah ada sejak zaman Romawi.[5]
Kata bangkrut, yang dalam bahasa Inggris disebut bankrupt berasal dari
Undang-undang di Itali yang disebut dengan banca rupta. Di abad pertengahan di
eropa ada praktek kebangkrutan dimana dilakukan penghancuran bangku-bangku dari
para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa
harta para krediturnya. Sedangkan di Venetia (Italy) pada waktu itu, dimana para
pemberi pinjaman (bankir) saat itu yang banco (bangku) mereka yang tidak mampu
lagi membayar hutang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar-benar telah
patah atau hancur. Bagi negara-negara dengan tradisi hukum common law yang
berasal dari Inggris Raya, tahun 1952 merupakan tonggak sejarah, karena pada tahun
1952, hukum pailit dari tradisi hukum romawi diadopsi ke negeri Inggris dengan
diundangkannya oleh parlemen di masa kekaisaran Raja Henry VIII sebagai Undangundang yang disebut dengan Act Against Suuch Persons As Do Make Bankrupt.[6]
Undang-undang ini menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi
debitur nakal yang ngemplang untuk membayar hutang sambil menyembunyikan
aset-asetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok kreditur yang
tidak dimiliki oleh kreditur secara individual. Peraturan di masa-masa awal
dikenalnya hukum pailit di Inggris banyak yang mengatur tentang larangan properti
tidak dengan itikad baik (fraudulent conveyance statute) atau apa yang sekarang
populer dengan sebutan actio pauliana.
Di samping itu, dalam Undang-undang lama di Inggris tersebut juga di atur
antara lain tentang hal-hal sebagai berikut :
1.

Usaha menjangkau bagian harta debitur yang tidak diketahui (to part unknown);

2.

Usaha menjangkau debitur nakal yang mengurung diri di rumah (keeping house)

karena dalam hukum Inggris lama, seseorang sulit dijangkau oleh hukum jika dia
berada dalam rumahnya berdasarkan asas man’s home is his castle;
3.

Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk tinggal di tempat-

tempat tertentu yang kebal hukum, tempat mana sering disebut dengan istilah
sanctuary. Mirip dengan kekebalan hukum bagi wilayah kedutaan asing dalam hukum
modern;
4. Usaha untuk menjangkau debitur nakal yang berusaha untuk menjalankan sendiri
secara sukarela terhadap putusan atau hukuman tertentu, yang diajukan oleh
temannya sendiri. Biasa untuk maksud ini terlebih dahulu dilakukan rekayasa tagihan
dari temannya untuk mencegah para krediturnya mengambil aset-aset tersebut. Di
Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang termasuk kedalam kelompok negara
dengan sistem hukum Anglo Saxon, hukum kepailitan diatur dalam Bankruptcy Code.
Charle Jordan Tabb menjelaskan bahwa: Kepailitan telah meresap ke dalam
kesadaran nasional kita dan hati nurani. Sebuah undang-undang kepailitan federal
telah berada di buku-buku selama apapun, tetapi yang tertua di antara kita telah
hidup. Untuk sebagian besar Amerika, kebangkrutan mungkin adalah identik dengan
gagasan keluar dari utang seseorang. Tidak heran, sejak Amerika Serikat mungkin
memiliki debit hukum paling liberal di dunia. Ide dari hukum kepailitan tanpa debit
tersedia secara bebas tampaknya tak terbayangkan. Namun, yang tak terbayangkan
adalah norma sejarah. Kepailitan telah sekitar selama hampir setengah milenium di
Anglo yurisprudensi Amerika. Namun debit seperti yang kita kenal di Amerika
Serikat tidak ada sampai pergantian abad ini. Negara beradab lainnya di dunia saat ini
tidak menawarkan debitur terbebani debit dari utang mereka sama sekali. Bahkan
Inggris, sumber hukum kepailitan kita sendiri, menawarkan debitur debit jauh lebih
murah hati dari Amerika Serikat.

Sejarah hukum kepailitan di Amerika Serikat dimulai dengan perdebatan
konstitusional yang menginginkan Kongres memiliki kekuatan untuk membentuk
suatu aturan yang uniform tentang kebangkrutan. Perdebatan ini sudah dimulai sejak
diadakannya Constitutional Convetion di Philadelphia pada tahun 1787. Dalam The
Federalist Papers, seorang Founding father dari Amerika Serikat yaitu James Madison
mendiskusikan tentang apa yang disebut dengan Bankruptcy Clause sebagai berikut :
Kewenangan untuk menciptakan sebuah aturan hukum yang uniform
mengenai kebangkrutan adalah sangat erat hubungannya dengan aturan mengenai
perekonomian (commerce), dan akan mampu mencegah terjadinya begitu banyak
penipuan, dimana para pihak atau harta kekayaannya dapat dibohongi atau
dipindahkan ke negara bagian yang lain secara tidak patut.[8]
Kemudian kongres di Amerika Serikat mengundangkan undang-undang
pertama tentang kebangkrutan dalam tahun 1800, yang isinya sama dengan Undangundang Kebangkrutan di Inggris saat itu. Akan tetapi selama dalam abad ke 18, di
beberapa negara bagian di USA telah ada Undang-undang negara bagian yang
bertujuan untuk melindungi debitur (dari hukuman penjara karena tidak membayar
hutang) yang disebut dengan Insolvency Law. Selanjutnya Undang-undang Federal
Amerika Serikat Tahun 1800 tersebut diubah atau diganti antara lain dalam tahun
1841, 1867, 1878, 1898, 1938 (The Candhler Act), 1867, 1898, 1978 dan 1984.
Antara tahun 1841 sampai tahun 1867, tidak terdapat sama sekali Undang-undang
mengenai kebangrutan. Sebab Undang-undang lama telah dicabut sementara Undangundang pengganti baru terbentuk dalam tahun 1867.
Henry R. Cheeseman menyebutkan bahwa kongres diundangkan UndangUndang Kepailitan asli pada tahun 1878. Kemudian Undang-Undang Kepailitan asli
diubah pada tahun 1938 oleh Undang-Undang Chandler, dan hukum pelengkap yang
direvisi oleh UU Kepailitan Reformasi tahun 1978. Tindakan di tahun 1978, yang

menjadi efektif pada tanggal 1 Oktober 1979 secara substansial berubah dan mereda
karena ada persyaratan untuk pengajuan kebangkrutan.
Selanjutnya beberapa tahun kemudian, kongres berlaku amandemen
Kepailitan dan UU Judgeship Federal di tahun 1984, yang membuat bagian
kebangkrutan pengadilan pengadilan distrik federal dan system yang terpasang di
pengadilan kebangkrutan untuk setiap pengadilan distrik. Hakim kepailitan diangkat
oleh Presiden untuk 14 tahun. Ketentuan lain mengenai amandemen yang diperbaiki
di tahun 1984, yaitu mengenai pelanggaran dan penyalahgunaan kebangkrutan dan
mengklarifikasi prosedur untuk pengajuan kebangkrutan. Sedangkan reformasi
tindakan kebangkrutan ditahun 1978, sebagaimana telah diubah, yang disebut
kemudian sebagai Kode Kepailitan.
Dari latar belakang sejarah hukum kepailitan di Amerika Serikat yang dapat
disimpulkan bahwa, seluruh ide menemukan struktur jauh di dalam yang rumit,
artefak bersejarah seperti Kode Kepailitan dapat ditakdirkan dari awal. Mengingat
puluhan ribu anggota kongres, hakim dan pengacara yang telah memberi kontribusi
pada isi hukum bankrupty, itu akan menjadi keistimewaan jika semua dari mereka
didorong oleh dorongan etika yang sama setiap kali keputusan legislatif dibuat. Teks
hukum terletak dalam sejarah, dan hanya sebagai penjelasan historis yang sangat
kompleks, sehingga harus kita mengharapkan penjelasan juriprudential yang menjadi
jauh lebih rumit, berdasarkan entropi, anomi, konflik, dan kebingungan, serta diktat
logika dan alasan.[12]
Dalam Bussines Law Text and Cases, John W. Collins dkk, menguraikan latar
belakang Hukum federal kebangkrutan yaitu:
1.
2.

Kepailitan hukum didasarkan pada konstitusi.
Dari tahun 1800-1803 kebangkrutan hanya tersedia untuk pedagang, pedagang

atau calo dan kasus disengaja.

3.

Pada tahun 1841, semua debitur bisa mengambil keuntungan dari kebangkrutan

aftardan ada
kedua ketentuan sukarela dan tidak sukarela.
4.

Pada tahun 1978, tindakan Reformasi kebangkrutan disahkan dan menjadi

efektif pada tahun 1979. Dan ini telah diubah sejak saat tertentu, terutama untuk
masalah yang berurusan dengan yurisdiksi undang-undang ini yang tidak
konstitusional. Di tahun 1978 yang bertindak dan mengkoreksi selanjutnya disebut
sebagai kode kebangkrutan.

B.

Struktur dari Kode Kepailitan.

1.

Ada delapan bab yang bernomor ganjil, 1 - 15.

2.

Ada tiga jenis dasar dari kebangkrutan: Bab 7 likuidasi; Bab 11 reorganisasi,

dan bab 13 rencana upah pencari nafkah.
C.

Tujuan Hukum kebangkrutan.

Hal ini dimaksudkan untuk merehabilitasi debitur.
a.

menyediakan untuk debit, yang merupakan pembatalan utang debitur.

b.

melindungi properti debitur dari klaim kreditur melalui pengecualian.

2.

menyediakan untuk pengumpulan tertib dan distribusi harta debitur.

Likuidasi
Bab

7

Likuidasi

melibatkan

pembulatan

sampai

properti

debitur,

mengubahnya menjadi uang tunai, dan menggunakan uang tunai untuk membayar
kreditor seperti debitur. Kemudian debitur tidak mempunyai utang.

A.
1.

Dimulainya Suatu Kasus
Kepailitan dimulai dengan mengisi petisi yang dapat berupa sukarela, yaitu

dimulai oleh debitur, atau disengaja, yang dimulai oleh kreditor.
a.

itu harus diajukan di mana debitur telah tinggal atau memiliki tempat

utama nya bisnis untuk enam bulan sebelumnya.
b.

Ini harus disertai dengan pengajuan biaya dan jadwal yang daftar aset

dan kreditur debitur.
2.

Petisi sukarela dapat diajukan oleh siapapun dan sebagian besar bank dan

perusahaan asuransi.
a.

Debitur tidak perlu insovent atau bahkan menyatakan bahwa ada utang.

b.

Pengajuan permohonan sukarela sama dengan perintah oleh pengadilan

kepailitan dan debitur berhak untuk mendapat bantuan.
3.

Sebuah pengadilan kepailitan dapat memberhentikan permohonan debitur jika,

setelah mendengar, mereka menentukan bahwa setiap orang akan lebih baik dilayani
oleh pemecatan tersebut. Ini disebut suatu abstain. Hal ini disebabkan oleh
keterlambatan yang merugikan debitur atau oleh penyalahgunaan substansial dari
undang-undang kepailitan, tetapi ada anggapan dalam mendukung pemberian
permohonan debitur.
4.

Petisi paksa dapat diajukan hanya jika debitur:
a.

Apakah tidak membayar utangnya karena mereka menjadi jatuh tempo,

b.

Seorang penerima (custodian) telah ditunjuk oleh pengadilan (dalam

atau

waktu 120 hari setelah negara penerima ditunjuk).

5.

Petisi sukarela hanya dapat diajukan dalam bab 7, dan pasal 11 dan bukan

terhadap organisasi petani, kotamadya atau amal. Lihat Di Dapur Serikat Re (Re
United Kitchen), kasus yang berurusan dengan organisasi amal.
6.

Untuk memerlukan kebangkrutan paksa harus ada:
a.

Sebuah debitur dengan dua belas atau lebih kreditur, dan minimum tiga

kreditor harus berutang setidaknya $ 5.000 dalam utang tanpa jaminan.
b.

Debitur A memiliki kurang dari dua belas kreditur, salah satu kreditur

dengan klaim $ 5.000 tanpa jaminan dapat mengajukan permohonan, dan jika tidak
ada kreditur satu dengan klaim tanpa jaminan dari setidaknya $ 5.000 dari sejumlah
kreditur dengan jumlah yang dapat bergabung.
c.

Klaim tanpa jaminan tidak dapat dikenakan sengketa yang dibesarkan dengan

itikad baik.
7.

Karyawan dan orang dalam tidak termasuk dalam menentukan jumlah kreditur

diperlukan untuk mengajukan petisi paksa. Di United Kitchen Associates, Inc, Dalam hal ini, pengadilan tidak memilih untuk menghitung karyawan sebagai
kreditur untuk mengajukan petisi, tapi tidak akan ada paksaan kebangkrutan karena
organisasi tersebut adalah sebuah organisasi amal.
8.

Debitur dapat kontes petisi yang disengaja setelah ia masuk untuk sidang pada

isu-isu, dan pengadilan dapat memberhentikan atau hibah petisi. Penghargaan dapat
dibuat untuk menutupi biaya pengacara debitur dan biaya pengadilan sebagai ganti
rugi terhadap debitur sukses.
9.

Seperti disebutkan sebelumnya, hanya melemparkan permohonan beroperasi

sebagai tetap otomatis yang mengakibatkan suspensi dari setiap kasus dan melarang
penegakan hukum atas penilaian ulang debitur. Dengan kata lain, semua upaya
koleksi harus gagal.

Melakukan dari Kasus Kepailitan
1.

Para kreditur harus diberitahu setelah perintah bantuan telah dimasukkan.

2.

Pengawas memiliki apa yang disebut untuk menghindari kekuasaan yang

memungkinkan wali amanat untuk menghindari pengalihan tertentu properti, dan
properti yang membawa kembali ke perkebunan debitur.
3.

Wali amanat dapat menghindari masuknya oleh seorang debitur, yang disebut

preferensi, yang merupakan utang sebelumnya yang utang dibayar ketika debitur
pailit dalam waktu 90 hari sejak tanggal pengajuan permohonan.
a.

Kepailitan didefinisikan sebagai ketika piutang debitur lebih besar dari

nilai dari semua harta miliknya.
b. Pengecualian jika pembayaran utang tersebut timbul dalam kegiatan usaha
atau jika transfer menciptakan kepentingan keamanan untuk nilai baru. Dalam kasus
Re Marston, pengadilan harus memutuskan apakah hak gadai khusus pada properti
yang menjadi kiriman istimewa.
4.

Wali amanat dapat menghindari penipuan angkut.
a.

Sebuah alat angkut penipuan didefinisikan sebagai kiriman yang dibuat

dengan maksud sebenarnya untuk menghambat, menunda, atau menipu kreditur, atau
jika ada niat, kiriman dibuat saat debitur pailit, atau membuatnya bangkrut, atau
debitur menerima kurang dari nilai properti yang dikirim.
b.

Wali amanat dapat kembali selama satu tahun sebelum pengajuan

permohonan untuk menghindari penipuan angkut.
c.

Sebuah alat angkut penipuan juga merupakan dasar untuk menyangkal

debitur dalam keluarnya utang. Ini terjadi di dalam kasus Re Kaiser (In Re Kaiser)

di mana pengadilan membantah debitor karena debitor menaruh semua properti di
nama istrinya sebelum mengajukan permohonan pailit.
5.

Seorang wali amanat dalam kebangkrutan telah berulangkali berbohong kepada

semua properti debitur, dan dengan demikian ia merupakan kreditur dari debitur pada
tanggal permohonan diajukan.
a.

Dengan demikian kepercayaan memiliki hak dari kreditur tanpa jaminan

yang sebenarnya untuk menghindari kiriman atau hak-hak kreditur klien dalam
hipotik di peradilan. (Seolah-olah membawa kepercayaan setelah sukses untuk
menegakkan klien).
b.

Kekuatan klien dari wali amanat adalah disebut "kekuatan lengan yang

kuat" karena dengan kekuatan ini wali amanat dapat menghindari kepentingan
keamanan yang tidak disempurnakan pada tanggal permohonan diajukan.
c.

Sebuah klaim wali amanat adalah unggul daripada pemegang

kepentingan keamanan yang tidak disempurnakan karena klaim wali amanat yang
muncul pada tanggal kebangkrutan.
6.

Wali dapat memilih untuk menghindari kepentingan keamanan dalam mengikuti

situasi :
a.

Dengan penyediaan lengan yang kuat dari klien wali amanat itu.

b.

Jika kiriman itu istimewa.

c.

Jika kiriman itu adalah penipuan angkut.

d.

Wali amanat dapat memulai melanjutkan, dikenal sebagai musuh

melanjutkan, untuk memulihkan keadaan tersebut.
PENGECUALIAN

1.

Debitur A memiliki sejumlah properti yang dibebaskan dari kreditur di bawah

kebangkrutan.
2.

Pembebasan ini dapat terpusat atau jika negara memiliki ketentuan opt-out, jika

mereka akan ditentukan negara untuk pengecualian.
3.

Mayoritas negara memiliki ketentuan opt-out. Dalam kasus Re Neihheisel.

Pengadilan berhubungan dengan ketetapan op-out dan diskusi sejarah serta kebijakan
di balik ketentuan tersebut.
4.

Debitur dapat menghindari hak gadai yang mungkin terjadi pada kreditur

properti yang dikecualikan nya.
5.

Debitur dapat menghindari setiap klien peradilan pada setiap properti yang

dibebaskan.
a.

Negara mendapatkan daftar properti yang dikecualikan untuk tujuan gadai

penilaian berbeda dari yang tercantum untuk tujuan kebangkrutan.
6.

Debitur dapat menghindari keamanan di properti yang dibebaskan dan untuk

mempertahankan layak bebas klaim dari kreditur yang dijamin jika:
a.

Properti barang rumah tangga, alat, atau artikel penting yang berhubungan

dengan pekerjaan lain yang digunakan oleh debitur dalam pekerjaan, dan
b.

Properti dalam kepemilikan debitur, dan

c.

Kepentingan keamanan bukan uang yang membeli kepentingan keamanan.

DEBIT
1.

Hanya individu dan bukan perusahaan berhak keluar, (Sebuah korporasi bisa

dibubarkan dan dengan demikian tidak perlu pelepasan).

2. Entah wali atau kreditor dapat menolak pemberian pelepasan. Dalam kasus Matter
of Wilson di pengadilan yang membantah keluarnya debitur atas permintaan kreditur.
3. Seorang debitur yang tidak memperoleh pelepasan akan kehilangan semua harta
tetapi properti dibebaskan dan masih akan menjadi milik kreditur. Debitur yang tidak
memperoleh pelepasan mempertahankan properti yang sama, tetapi bebas dari segala
hutang kecuali yang tidak mampu.
4.

Sebuah utang yang tidak mampu dalam kebangkrutan, dan setiap kreditur yang

membuat klaim ini harus mencari putusan pengadilan kepailitan bahwa utang adalah
ketidakmampuan. Sebuah kreditor yang gagal harus membayar ke pengadilan,
debitur, konsumen biaya, dan biaya pengacara. Elemen yang menjadi kreditur harus
membuktikan

dalam

rangka

untuk

menetapkan

bahwa

hutang

adalah

ketidakmampuan yang dibahas dalam kasus dalam Re Andrews, di mana kreditur
diklaim oleh debitor telah menggunakan laporan keuangan palsu.
YANG LAIN UNTUK PEMBAYARAN KREDITUR.
1.

Klaim harus dilakukan dalam waktu persyaratan pemberitahuan dan keberatan

yang dapat dibuat klaim kreditor.
2.

Kreditur dibayar dalam urutan sebagai berikut (masing-masing secara penuh

sebelum berikutnya):
a.

Kreditor dijamin untuk tingkat jaminan mereka (tidak efisien

diperlakukan sebagai klaim tanpa jaminan).
b.

Beban administrasi kebangkrutan.

c.

Tanpa jaminan kreditur dalam kasus sukarela untuk biaya bisnis biasa.

d.

Upah karyawan tertentu sampai $ 2.000.

e.

Beberapa kontribusi untuk kesejahteraan karyawan.

f.

Sampai batas $ 900 pengembalian dana ke beberapa pesanan konsumen

g.

Klaim dari Pemerintah.

h.

Tanpa jaminan kreditur.

terisi.

Bab 134 - Upah Rencana pencari nafkah
1.

Mereka harus diuji untuk bagian 13, mereka adalah debitur dengan penghasilan

tetap, utang tanpa jaminan kurang dari $ 100.000 dan dijamin atas utang kurang dari
$ 350.000.
2.

Karena debitur memiliki pendapatan, properti tidak dapat dikumpulkan dan

dijual, tetapi utang dilunasi dari pendapatan masa depan dengan menunda tanggal
jatuh tempo dan mengurangi jumlah utang pada utang.
3.

Debitur harus mengajukan rencana dengan itikad baik dan membayar kreditor

setidaknya jauh karena mereka akan menerima dalam likuidasi yang terdapat di bab
7.
4.

Debitur bahkan dapat mengusulkan bahwa utang kepada kreditur dijamin

dimodifikasi.
5.

Sebuah petisi sukarela diperlukan untuk pendapat bab 13 untuk melanjutkan,

dan ini dapat dikonversi ke suatu proses 7 Bab setiap saat. Sebuah Pengadilan
menolak untuk mengkonfirmasi rencana debitur yang menggambarkan the caseof in
Re Canada.
ORGANISASI: BAB 11
1.

Siapapun yang dapat mengajukan bab 7 kecuali makelar (broker) saham atau

komoditas makelar dapat mengajukan pasal 11 untuk melanjutkan.

2.

Bab 11 dapat berupa sukarela atau paksa dan dapat dikonversi ke bab 7.

3.

Bab 11 menyatakan bahwa bisnis terus beroperasi selama reorganisasi, dan

debitur, disebut debitur dalam kepemilikan, bahkan dapat terus menjalankan bisnis itu
sendiri.
4.

Tujuan untuk operasi bisnis yang terkandung adalah bahwa hal ini dapat

mendatangkan uang lebih dari likuidasi lengkap.
5. Sebagai di bawah 13, bab 11 membutuhkan debitur untuk mengajukan rencana
itikad baik untuk membayar utang-utangnya. Rencana tersebut dapat mengusulkan
pembayaran berbeda waktu dan struktur utang.
6.

Para amandmen tempat kebangkrutan batas kemampuan bisnis untuk

menghindari kontrak serikat buruh selama reorganisasi 11 Bab. Harus ada konsultasi
diantara perwakilan karyawan dan wali amanat atau debitur dalam kepemilikan, dan
persetujuan pengadilan diperlukan untuk penolakan atau perubahan kontrak lbor
(alteration of a lbor contract). Dalam kasus Industri Re Polytherm, Inc,
Mengilustrasikan rencana tipe op yang dapat diusulkan dalam Bab 11 Kepailitan
merupakan salah satu bagian yang sangat penting dan sangat populer dari kepailitan
kode adalah apa yang disebut dengan Bab 11 tentang Reorganisasi yang tidak
dijumpai dalam hukum kepailitan di Indonesia.
Bab 11 Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat atau populer dengan
sebutan Chapter 11 adalah salah satu bab dalam Undang-Undang Kepailitan tentang
reorganisasi sesuai hukum kepailitan Amerika Serikat. Bidang usaha berbentuk apa
pun bisa meminta perlindungan Bab 11 Undang-Undang Kepailitan termasuk
perseroan, perusahaan perseorangan, atau perorangan yang memiliki utang tanpa
jaminan paling sedikit AS$336.900,00 atau utang beragun paling sedikit
AS$1.010.650,00. Walaupun demikian, perlindungan Bab 11 sebagian besar hanya
diajukan oleh badan perseroan.

Sebagai perbandingan, Bab 7 mengatur prosedur likuidasi ketika terjadi
kepailitan. Sementara itu, Bab 13 mengatur prosedur reorganisasi untuk mayoritas
perorangan dengan utang tanpa jaminan kurang dari AS$336.900,00 dan utang
beragun kurang dari AS$1.010.650,00 (berlaku sejak 1 April 2007).
Ketika pemilik usaha tidak lagi mampu menyelesaikan utang atau membayar
kreditor, pemilik usaha atau kreditor bisa mengajukan perlindungan Bab 7 atau Bab
11 Undang-Undang Kepailitan Amerika Serikat. Berdasarkan Bab 7, pemilik usaha
menghentikan semua operasi sementara wali amanat menjual semua aset, dan
membagikan hasil penjualan aset kepada kreditor atau investor. Pemilik usaha yang
meminta perlindungan Bab 11 biasanya mencoba bertahan beroperasi sementara
pengadilan kepailitan mengawasi "reorganisasi" kewajiban utang pemilik usaha.
Pengadilan dapat mengabulkan pembebasan seluruh atau sebagian utang dan
kewajiban perusahaan sehingga perusahaan bisa memulai lagi usaha dari awal.
Kadang-kadang, bila utang pemilik usaha melebihi aset yang dimiliki, di akhir
prosedur kepailitan, pemilik usaha sudah tidak punya apa-apa lagi. Semua hak dan
kepemilikan dari pemilik lama berakhir, dan perusahaan yang sudah selesai
direorganisasi menjadi hak milik kreditor.
Kepailitan terbesar dalam sejarah dialami oleh bank investasi AS Lehman
Brothers Holdings Inc. yang menyebutkan aset senilai $639 milyar ketika
mengajukan Bab 11 pada 2008.

C.
Cross-Border Insolvency Regulation
Undang-undang kepailitan di Indonesia seharusnya mengatur tentang sistem
Cross-Border Insolvency Regulation, sebab dengan isi undang-undang kepailitan
yang sekarang apabila ada debitor yang dinyatakan pailit di indonesia, dan diketahui

asetnya berada di luar negeri. Masalah pun timbul, yakni dimana secara hukum
putusan kepailitan di Indonesia tidak berlaku di luar negeri. Sehingga berakibat
kepada sulitnya kurator Indonesia untuk menyita aset debitor Indonesia dan
sebaliknya, kurator luar negeri sulit menyita aset debitor yang tinggal di indonesia.
Hal tersebut dapat tambah berdampak buruk, dimana akan adanya kerjasama
ekonomi antar negara-negara ASEAN pada tahun 2015 mendatang. Sehingga
berdampak para pebisnis di Indonesia tidak hanya melakukan bisnisnya di sektor
dalam negeri saja, melainkan juga harus meluaskan bisnisnya hingga luar negeri.
Dengan adanya kerja sama ekonomi antar negara-negara di ASEAN, maka
para pebisnis atau pelaku usaha di Indonesia akan mempunyai harta dan aset tidak
hanya di dalam negeri saja, melainkan diluar negeri juga. Hal tersebut bisa
berdampak kedepannya, dimana apabila ada debitor yang dinyatakan pailit di
Indonesia, maka diluar negeri debitor tersebut tidak dinyatakan pailit. Sehingga harta
dan aset yang bisa disita kurator hanya aset dan harta yang ada di Indonesia saja.
Sedangkan harta dan aset debitor di luar negeri yang dinyatakan pailit di Indonesia
tidak dapat disita.
Jadi untuk melakukan sita harta dan aset debitor diluar negeri maka para
negara-negara di ASEAN seharusnya menerapkan Cross-Border Insolvency
Regulation di dalam aturan hukum kepailitan negaranya masing-masin