Eksekusi Tindak Pidana Korupsi dan Dasar

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan sekalian Alam, yang memberikan kita harapan dan
pengetahuan untuk mengenal, mempelajari dan berbuat sesuatu yang menguntungkan bagi
kemaslahatan makhluk.
Makalah ini disusun selain untuk menyelesaikan tugas kelompok juga untuk memberi
pandangan pengetahuan dan ilmu tambah bagi semua mahasiswa mengenai tata cara eksekusi
terhadap tindak pidana korupsi, oleh karena itu penulis yang berbentuk kelompok ini
menuliskan sebuah makalah yang berjudul Eksekusi Tindak Pidana Korupsi dan Dasar
Hukum.
Terima kasih penulis ucapkan kepada guru-guru pembimbing yang senantiasa
mengarahkan dan memberikan masukan baik materi maupun ide-ide demi tersusunnya
makalah ini.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman anggota kelompok yang
sudah meluangkan waktu, menyalurkan ide-ide, memberikan pengarahan, menciptakan pola
penyususan yang sistematis untuk terwujudnya makalah ini.
Harapan penulis dan kelompok adalah tercipta pola pikir yang mementingkan
kepentingan khalayak ramai dibandingkan dengan kepentingan yang bersifat koruptif yang
merugikan diri mereka sendiri, masyarakat, negara dan generasi mendatang. Selain itu
penulis juga berharap dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan pandangan umum
mengenai tata cara eksekusi asset tipikor berdasarkan perundang-undangan atau dasar hukum
yang berlaku.

Penulis dan kelompok juga berharap sudi kiranya para pembaca untuk memberikan
kritik membangun, dan saran yang berguna agar makalah ini dapat memberikan makna
dalam, yang kita dan pembaca dapat mengambil sarat makna.
Jakarta, 18 November 2014

Kelompok 3 Pendidikan Anti Korupsi

Pendidikan Anti Korupsi | Eksekusi Tindak Pidana Korupsi dan Dasar Hukum

1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii
PENDAHULUAN ..............................................................................................................1
PEMBAHASAN
A. Pengertian Eksekusi ......................................................................................................2
B. Macam-Macam Eksekusi ..............................................................................................3
C. Dasar Hukum Eksekusi .................................................................................................3
D. Contoh Kasus ................................................................................................................4

E. Cara Penyitaan Asset Dalam Negeri .............................................................................6
F. Cara Penyitaan Asset yang Berada Di Luar Negeri ......................................................7
G. Faktor Penghambat Pengembalian Asset yang Di Luar Negeri ....................................8
H. Pelelangan Barang Hasil Korupsi ..................................................................................8
KESIMPULAN ................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA

12

Pendidikan Anti Korupsi | Eksekusi Tindak Pidana Korupsi dan Dasar Hukum

2

PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang sarat akan perkara korupsi bahkan sudah mendarah
daging dalam tubuh bangsa ini, data yang dikumpulkan oleh World Bank menunjukkan
indonesia adalah negara terkorup di asia tenggara, dengan berbagai kasus yang menggerogoti
bak kanker ganas mulai dari sektor pemrintahan pusat, kementerian, bahkan ke sektor-sektor
kecil diperdesaan.
Berbicara mengenai korupsi, banyak kalangan berpendapat bahwa korupsi sudah

menjadi budaya bangsa ini dikarenakan korupsi memang sudah terjadi mulai saat bangsa ini
didirikan, namun sebagian lagi berpendapat bahwa korupsi bukanlah budaya namun lebih
didasari atas prilaku tamak, dan sifat konsumtif yang tidak dibaringi dengan pendapat.
Negara ini merupakan negara hukum, yang tentunya sangat menjunjung tinggi nilainilai hukum, dalam hal ini pemerintah membentuk komite-komite dan instansi pemerintah
yang mengawasi kinerja dan transparansi penggunaan anggaran pemerintah dan penilaian
kinerja seperti, KPK, BAPPENAS yang sekarang dikenal dengan OJK, BPKP dan lainnya
yang ditempatkan disetiap daerah di indonesia. Selain itu pemerintah juga membuka jalur
komunikasi dengan masyarakat guna melaporkan setiap tindakan yang mencurigakan yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah demi meminimalkan tindakan penyalahgunaan wewenang.
Bagi pejabat negara yang terbukti melalukan tindakan korupsi dan atau menyalahkan
wewenang jabatannya untuk memperkaya diri sendiri, kelompok atau golongan tertentu maka
akan diadili, setelah putusan hakim maka seluruh asset dan harta yang dihasilkan dari hasil
korupsi akan disita dan dieksekusi oleh negara, dalam makalah ini penulis akan membahas
mengenai tata cara peng-eksekusian dan dasar-dasar hukum.
Adapun poin-point yang akan dijabarkan adalah membahas mencakup :
1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.

Pengertian Eksekusi bagi Tindak Pidana Korupsi
Dasar-Dasar Hukum Eksekusi
Contoh Kasus Tindak Pidana Korupsi yang di Eksekusi
Tindakan-Tindakan yang di Ambil Jika Terjadi Penolakan Eksekusi
Cara Penyitaan Asset Korupsi Dalam dan Luar Negeri
Hambatan Pemulangan Asset Korupsi yang Berada Di Luar Negeri
Pelelangan Barang Hasil Korupsi
PEMBAHASAN

A. Pengertian Eksekusi

Eksekusi adalah hal menjalankan putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan
hukum tetap. Putusan Pengadilan yang dieksekusi adalah putusan Pengadilan yang
mengandung perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang, atau
juga pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap,
sedangkan pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela
sehingga memerlukan upaya paksa dari Pengadilan untuk melaksanakannya. Putusan

Pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang mempunyai kekuatan
eksekutorial. Ada pun yang memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan
Pengadilan terletak pada kepada putusan yang berbuyi “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di samping itu putusan Pengadilan yang mempunyai titel
eksekutorial adalah putusan yang bersifat atau yang mengandung amar “condemnatoir”,
sedangkan putusan Pengadilan yang bersifat deklaratoir dan constitutif tidak
dilaksanakan eksekusi karena tidak memerlukan eksekusi dalam menjalankannya.
Menurut Sudikno Mertokusumo (1988 : 201) eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah
realisasi daripada kewajiban pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi yang tercantum
dalam putusan Pengadilan tersebut. Pihak yang menang dapat memohon eksekusi pada
Pengadilan yang memutus perkara tersebut untuk melaksanakan putusan tersebut secara
paksa (execution force). Dalam pelaksanaan eksekusi dikenal beberapa asas yang harus
dipegangi oleh pihak Pengadilan, yakni sebagai berikut :
1. Putusan Pengadilan harus sudah berkekuatan hukum tetap.
Sifat putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap adalah tidak ada lagi upaya
hukum, dalam bentuk putusan tingkat pertama, bisa juga dalam bentuk putusan
tingkat banding dan kasasi. Sifat dari putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap
adalah litis finiri opperte, maksudnya tidak bisa lagi disengketakan oleh pihakpihakyang berperkara. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap mempunyai
kekuatan mengikat para pihak-pihak yang berperkara dan ahli waris serta pihakpihak yang mengambil manfaat atau mendapat hak dari mereka. Putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap dapat dipaksa pemenuhannya melalui Pengadilan jika

pihak yang kalah tidak mau melaksanakannya secara sukarela.

2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 196 . dan Pasal 207 R.Bg maka ada dua cara
menyelesaikan pelaksanaan putusan yaitu dengan cara sukarela karena pihak yang

kalah dengan sukarela melaksanakan putusan tersebut, dan dengan cara paksa
melalui proses eksekusi oleh Pengadilan. Pelaksanaan putusan Pengadilan secara
paksa dilaksanakan dengan bantuan pihak kepolisian sesuai dengan Pasal 200 ayat
(1) .
B. Macam-Macam Eksekusi
Sudikno Mertokusumo,SH. (1988:201) mengemukakan ada tiga jenis eksekusi
yaitu: (1) eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar
sejumlah uang sebagaimana diatur dalam Pasal 196, dan Pasal 208 (2) eksekusi putusan
yang menghukum orang untuk melakukan sesuatu perbuatan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 225, dan Pasal 259 (3) eksekusi riil yaitu pelaksanaan putusan hakim yang
memerintahkan mengosongkan benda tetap kepada orang yang dikalahkan, tetapi
perintah tersebut tidak di laksanakan secara sukarela.
Eksekusi terak ini diatur dalam Pasal 1033 Rv. dalam Pasal 200 ayat (11), dan
Pasal 218 ayat (2). hanya mengenal eksekusi riil dalam penjualan lelang. Dalam

praktek Peradilan dikenal dua macam eksekusi yaitu (1) eksekusi riil atau nyata
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 200 ayat (11), Pasal 218 ayat (2). dan Pasal 1033
Rv yang meliputi penyerahan, pengosongan, pembongkaran, pembahagian, dan
melakukan sesuatu, (2) eksekusi pembayaran sejumlah uang melalui lelang atau
executorial verkoop sebagaimana tersebut dalam Pasal 200. dan Pasal 215.
C. Dasar Hukum Eksekusi
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara

Pidana
2. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih

dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
3. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi
4. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi
6. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tindak Pidana Pencucian Uang

7. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya

Manusia KPK
8. Undang-Undangn No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
9. Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah No. 63 Tahun 2005 Tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia
KPK
10. Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

D. Contoh Kasus
Bandung- Hakim Mahkamah Agung (MA) memvonis terpidana kasus Bansos
Pemkot Bandung anggaran 2009-2010, Uus Ruslan hukuman enam tahun penjara
denda Rp 300 juta subsider kurungan 8 bulan penjara.
Putusan itu diketuk pimpinan Majelis hakim di MA, Artidjo Alkostar. Hukuman
kepada Uus lebih berat dibanding putusan di Pengadilan Tinggi (PT) Jabar yang
memvonis Uus dengan hukuman 2,5 tahun penjara.

Bahkan di tingkat Pengadilan Negeri (PN) Bandung Uus dan enam terdakwa
lainnya pada kasus ini hanya divonis 1 tahun penjara. Saat di PN Bandung, ketua
majelis hakimnya Setyabudi Tejocahyono.
Dalam salinan petikan putusan yang diterima PN Tipikor Bandung, majelis
hakim menyatakan terdakwa Uus Ruslan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sma dan berlanjut.
"Menjatuhkan pidana penjara selama 6 enam tahun dan denda Rp 300 juta, jika
denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 8 bulan," demikian
dalam petikan putusan MA.
Kahumas PN Tipikor Bandung Djoko Indiarto didampingi Panmud Tipikor
Susilo Nandang Bagio mengatakan, petikan putusan MA baru diterima PN Bandung
Selasa (23/9/2014).
Putusan MA itu sendiri ditandatangani oleh hakim ketua Artidjo Alkostar dan
dua hakim anggota yakni MS Lumme dan Leopold Luhut Hutagalung pada 13 Januari
2014." Jadi salinannya baru kita terima 9 bulan setelah putusan di MA," katanya.
Dia menyebutkan, pada salinan putusan MA itu juga tertera kewajiban bagi Uus
untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 1,4 miliar. Namun karena sebelumnya Uus
dan enam terdakwa lainnya sudah mengembalikan kerugian negara pada kasus korupsi
tersebut, maka kewajiban membayar uang pengganti itu langsung digugurkan.
Menurut Djoko, setelah menerima salinan putusan MA itu pihaknya sesegera

mungkin bakal menyampaikan surat pemberitahuan kepada Uus Ruslan dan Kejaksaan
Tinggi (Kejati) Jawa Barat.

Jika pemberitahuan itu sudah sampai ke Kejati, selanjutnya tugas jaksa untuk
melakukan eksekusi terhadap terdakwa."Mengenai kapan waktu eksekusinya, itu
sepenuhnya kewenangan jaksa," kata Djoko.
Terdakwa Kasus BBJ Kembalikan Kerugian Negara
KBRN Jember: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jawa Timur, Jumat
(5/9/2014), kembali melanjutkan sidang dugaan Kasus Korupsi Bulan Berkunjung
Jember (BBJ) 2012 dengan menghadirkan 2 Terdakwa SSH, Mantan Kabaghumas
Pemkab Jember dan GTH Ketua KONI.
Dengan agenda sidang Penyampaiaan Tuntutan Tim Jaksa Penuntut Umum.
Dalam sidang yang digelar Selasa (2/9/2014), kemarin, Pengacara kedua terdakwa
menitipkan uang pengembaliaan atas kerugiaan negara yang ditimbulkan dalam kasus
korupsi BBJ 2012, sehingga hal tersebut menjadi pertimbangaan dalam penyampaiaan
tuntutan tim jaksa yang akan dibacakan saat persidangaan kali ini.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Jember Hambaliyanto
mengungkapkan, pengembaliaan kerugiaan negara yang dilakukan kedua terdakwa
menjadi pertimbangaan tersendiri dalam penyampiaan Tuntutan bagi keduanya, sebab
hal itu sudah menunjukan itikad baik atas pertanggung jawaban pengembaliaan

kerugiaan negara dari kedua terdakwa.
“Dalam sidang kemarin, kedua terdakwa melalui pengacaranya menitipkan
pengembaliaan kerugiaan negara sebesar 175 juta lebih atau sesuai dengan hasil audit
yang dikeluarkan BPKP Jawa Timur,” ujar Hambaliyanto, Jumat (5/9/2014).
Ditambahkan olehnya, Pengembalian uang kerugian negara itu bisa menjadi
pertimbangan yang meringankan hukuman terdakwa dan menjadi pertimbangan
tersendiri bagi jaksa penuntut umum untuk menyusun tuntutan kedua terdakwa kasus
korupsi BBJ itu.
Dalam kasus BBJ 2012, selain dua nama pejabat yang saat ini telah
disidangkan, masih ada satu nama terdakwa lain yaitu SND yang merupakan Bendahara
panitia BBJ 2012, namun sejauh ini yang bersangkutan belum dapat disidangkan
menyusul kondisi kesehataan.

“Untuk terdakwa SND masih terus kita pantau kondisi kesehataannya, hasil
pemeriksaan Dokter yang bersangkutan divonis terkena Stroke sehingga tidak
memungkinkan untuk diperiksa, namun jika kondisinya membaik tetap akan kita proses
sesuai aturan hukum,” pungkas Hambaliyanto. (GL/AKS)
E. Cara Penyitaan Asset dalam Negeri
Upaya Jaksa Penuntut Umum dalam Melakukan Penyitaan Harta Kekayaan
Sebagai Uang Pengganti Dari Terpidana Tindak Pidana Korupsi
Uang Pengganti adalah hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan kepada
terpidana berupa pembayaran sejumlah uang yang disesuaikan dengan kerugian negara
yang timbul karena perbuatan pidana korupsi.
Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat tindak
pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni
dalam bentuk pembayaran uang pengganti.
Pasal 39 menyebutkan yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya;
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana ;
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilaktikan.
f. Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga
disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana,
sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).
F. Cara Penyitaan Aset yang Berada Diluar Negeri
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai berikut:
1. Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara
korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas,
menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana
korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun
perdata, aset yang berada di dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak,
dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara korban hasil tindak
pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak
pidana korupsi. Juga termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau
calon pelaku tindak pidana korupsi.

2. Terdapat pula mekanisme dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak
pidana korupsi, yaitu: pertama dengan melakukan pelacakan, selanjutnya aset yang
sudah dilacak dan diketahui kemudian dibekukan, terakhir, aset yang dibekukan lalu
disita dan dirampas oleh badan berwenang dari negara di mana aset tersebut berada,
dan kemudian dikembalikan kepada negara tempat aset tersebut diambil melalui
mekanisme-mekanisme tertentu.
Dengan diaturnya ketentuan mengenai bantuan hukum timbal balik di dalam
UNCAC, maka upaya pengembalian aset dapat terlaksana dengan maksimal. Cara
paling mudah dalam melakukan proses pengembalian aset yang berada di luar
yurisdiksi negara korban adalah melalui bantuan hukum timbal balik. Ketika aset-aset
hasil tindak pidana korupsi ditempatkan di luar negeri, negara korban yang diwakili
oleh penyelidik, penyidik, atau lembaga otoritas dapat meminta kerjasama dengan
negara penerima untuk melakukan proses pengembalian aset. hal ini sesuai dengan apa
yang diatur dalam Pasal 46 UNCAC, di mana negara-negara penerima aset harus
memberikan bantuan kepada negara korban dalam rangka proses pengembalian aset.
Lebih jauh dikritisi bahwa bantuan timbal balik merupakan hakikat dari kerja
sama internasional dalam pengembalian aset. UNCAC memberikan jalan keluar yang
sangat mudah kepada negara-negara korban dalam melakukan proses pengembalian
aset. UNCAC mewajibkan setiap negara peserta untuk memberikan bantuan (timbal
balik) kepada para negara korban yang membutuhkan. Bahkan penulis melihat bahwa
bantuan timbal balik ini memberikan terobosan bagi para negara korban untuk
menembus batasan-batasan konvensional yang selama ini menjadi penghambat dalam
proses pengembalian aset.
G. Faktor Penghambat Pengembalian Asset yang Di Luar Negeri
Faktor-faktor penghambat atau permasalahan tersebut antara lain:
1. Pengaturan Hukum Nasional yang tidak Menunjang Keberlakuan UNCAC di
Indonesia.
Semenjak UNCAC di adopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi
58/ 4 tanggal 31 Oktober 2003, Indonesia telah meratifikasinya melalui Undangundang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC pada
tanggal 18 April 2006.
Hingga saat ini, pemerintah belum membentuk suatu peraturan pelaksana
terhadap keberlakuan UNCAC di Indonesia. UNCAC menyediakan sarana kepada

para negara korban untuk dapat melakukan kerja sama internasional dalam upaya
pengembalian aset, tetapi setiap negara peserta harus mempunyai suatu peraturan
nasional yang dapat memberlakukan UNCAC tersebut.
Permasalahannya di sini adalah ratifikasi Indonesia terhadap UNCAC tidak
menjadikan penerapan proses pengembalian aset menjadi terlaksana secara
maksimal. Karena Indonesia belum memiliki pengaturan khusus mengenai proses
pengembalian aset yang didasarkan atas kerja sama internasional.
2. Tidak Adanya Kemauan Politik Pemerintah yang Kuat terhadap Upaya
Pemberantasan Korupsi.
Proses pengembalian aset sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi
memerlukan dukungan kuat dari pemerintah negaranya. Kemauan politik pemerintah
merupakan faktor utama yang menentukan dalam berhasil tidaknya suatu upaya
pemberantasan korupsi di suatu negara, khususnya terhadap proses pengembalian
aset.
Hal ini terlihat dalam proses hukum kasus mantan Presiden Soeharto, di mana
hingga saat Soeharto meninggal pun belum ada satu aset pun (hasil tindak pidana
korupsi) yang berhasil dikembalikan.
H. Pelelangan Barang Hasil Korupsi
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi melelang sejumlah
barang hasil sitaan dari berbagai kasus korupsi yang sudah berkekuatan hukum tetap. Kepala
Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha mengatakan, kegiatan lelang ini
dilakukan KPK setidaknya setahun sekali.
"Bukan barang rampasan tahanan, tapi barang yang statusnya dirampas untuk negara
melalui putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap," ujar Priharsa melalui pesan singkat,
Rabu (12/11/2014).
Sebanyak 42 barang sitaan yang dilelang oleh KPK, yang terdiri dari ponsel berbagai
merek, laptop bermerek Toshiba, netbookbermerek Fujitsu, dan proyektor bermerek Toshiba.
Harga limit yang diterapkan beragam, tergantung jenis barang yang dilelang. Misalnya,
untuk ponsel merek BlackBerry, kisaran harga limitnya antara Rp 400.000 hingga Rp 800.000.
Sementara proyektor Toshiba dikenakan harga limit sebesar Rp 500.000, laptop Toshiba
dikenakan harga limit sebesar Rp 750.000, serta netbook bermerek Fujitsu dikenakan harga
limit sebesar Rp 400.000.
Sebelum pelaksanaan lelang, peserta diminta menyerahkan uang jaminan lelang
sejumlah yang tertera di daftar barang. Uang jaminan yang ditetapkan pun berbeda pada setiap
barang, dengan kisaran antara Rp 20.000 hingga Rp 300.000.
Pemenang lelang diwajibkan melunasi harga lelang disertai biaya lelang sebesar dua
persen, paling lambat lima hari kerja setelah disahkan sebagai pemenang lelang. Jika tidak

dilunasi, maka akan dianggap wanprestasi dan uang jaminan akan disetorkan ke kas negara.
Peserta tersebut juga akan dimasukkan ke dalam daftar hitam lelang.
Priharsa mengatakan, uang hasil lelang akan diserahkan ke kas negara. Setoran tersebut
akan diserahkan dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

KESIMPULAN
Eksekusi adalah hal menjalankan putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum
tetap. Putusan Pengadilan yang dieksekusi adalah putusan Pengadilan yang mengandung
perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan
putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah
tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari
Pengadilan untuk melaksanakannya.
Dalam pelaksanaan eksekusi dikenal beberapa asas yang harus dipegangi oleh pihak
Pengadilan, yakni sebagai berikut :
1. Putusan Pengadilan harus sudah berkekuatan hukum tetap
2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela.
Macam-macam

Eksekusi

menurut

mengemukakan ada tiga jenis eksekusi yaitu:

Sudikno

Mertokusumo,SH.

(1988:201)

1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah
uang sebagaimana diatur dalam Pasal 196, dan Pasal 208.
2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan sesuatu perbuatan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 225, dan Pasal 259.
3. Eksekusi riil yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan mengosongkan benda
tetap kepada orang yang dikalahkan, tetapi perintah tersebut tidak di laksanakan secara
sukarela.
Penyitaan asset dalam negeri diatur oleh Pasal 39 yang menyebutkan bahwa hal-hal
yang dapat dikenakan penyitaan adalah :
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh
dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
c.
d.
e.
f.

untuk mempersiapkannya;
Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana ;
Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilaktikan.
Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita
untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang
memenuhi ketentuan ayat (1).
Sedangkan cara penyitaan asset yang berada diluar negeri hasil tindak pidana korupsi

sebagai berikut:
1. Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban
(victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas
aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian
proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset yang berada di dalam
maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas, disita, dan
dikembalikan kepada negara korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat
mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi. Juga termasuk untuk
memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau calon pelaku tindak pidana korupsi.
2. Terdapat pula mekanisme dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi, yaitu: pertama dengan melakukan pelacakan, selanjutnya aset yang sudah dilacak
dan diketahui kemudian dibekukan, terakhir, aset yang dibekukan lalu disita dan dirampas
oleh badan berwenang dari negara di mana aset tersebut berada, dan kemudian
dikembalikan kepada negara tempat aset tersebut diambil melalui mekanisme-mekanisme
tertentu.
Faktor-faktor penghambat atau permasalahan tersebut antara lain:

1. Pengaturan Hukum Nasional yang tidak Menunjang Keberlakuan UNCAC di Indonesia.
2. Tidak Adanya Kemauan Politik Pemerintah yang Kuat terhadap Upaya Pemberantasan
Korupsi
Barang-barang hasil eksekusi akan dilelang kepada khalayak ramai, dan hasil
pelelangan tersebut akan dimasukkan ke kas negara, s etoran tersebut akan diserahkan dalam
bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

DAFTAR PUSTAKA
http://www.kpk.go.id/id/tentang-kpk/undang-undang-pendukung
inilah.com
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/135559-T%2027980-Implikasi%20perampasanMetodologi.pdf
kompas.com
http://itskiyanafs.blogspot.com/2013/11/eksekusi-dalam-hukum-acara-perdata.html